LP Danaskep Demam
LP Danaskep Demam
LP Danaskep Demam
E
DENGAN DIAGNOSA MEDIS DEMAM TIFOID DI RUANG
BOUGENVILLE RSUD Dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
Disusun Oleh:
NIM : 2018.C.10a.0938
Pembimbing Akademik
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat Asuhan Keperawatan Pada Ny. E
Dengan Diagnosa Medis Demam Tifoid Di Ruang Bougenville Rsud Dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya ”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas
(PPK2). Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners STIKes
Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Yelstria Ulina Tarigan, S.Kep, Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan
keperawatan ini
4. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan pengabdian
kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini dapat
mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1.3 Etiologi
Demam tifoid merupakan Salmonella typhi, Salmonella yang tergolong dalam
family Enterobacteriaceae. Salmonela besrsifat bergerak, berbentuk batang, tidak
membentuk spora, tidak berkapsul, dan gram suhu (-). Tahan terhadap berbagai
bahan kimia, beberapa hari atau minggu, bahan limbah, bahan farmasi , bahan
makanna kering, serta tinja. Salmonella mati pada suhu 54.4°C dalam 1 jam, atau
60°C dalam 15 menit. Salmonella mempunyai antigen O (Somatic) yaitu komponen .
Dinding sel dari lipopolisakarida yang satbil pada panas, dan antigen H (flagellum)
merupakan protein yang labil terhadap panas. Pada Salmonella typhi, terdapat juga
pada Salmonella dublin, dan Salmonella hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu
polisakarida kapsul (Widagdo, 2011).
Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di
kalangan masyarakat adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Salmonela typhi yang menyerang saluran pencernaan. Kuman ini masuk ke dalam
tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar, baik saat memasak ataupun
melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih. Selanjutnya, kuman itu diserap
oleh usus halus yang masuk bersama makanan, lantas menyebar ke semua organ 25
tubuh, terutama hati dan limpa, yang berakibat terjadinya pembengkakan dan nyeri.
Setalah berada di dalam usus, kuman tersebut terus menyebar ke dalam peredaran
darah dan kelenjar limfe, terutama usus halus. Dalam dinding usus inilah, kuman itu
membuat luka atau tukak berbentuk lonjong. Tukak tersebut bisa menimbulkan
pendarahan atau robekan yang mengakibatkan penyebaran infeksi ke dalam rongga
perut. Jika kondisinya sangat parah, maka harus dilakukan operasi untuk
mengobatinya. Bahkan, tidak sedikit yang berakibat fatal hingga berujung kematian.
Selain itu, kuman Salmonela Typhi yang masuk ke dalam tubuh juga mengeluarkan
toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala demam pada anak. Itulah sebabnya,
penyakit ini disebut juga demam tifoid (Fida & Maya, 2012).
2.1.4 Klasifikasi
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik
berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini 27
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus dari pada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut
kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika
infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat (Putra et al.,
2012).
2.1.5 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus
pada ileum terminalis. Bakteri melekat pada mikrovili di usus, kemudian melalui
barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan
internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke
sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan
gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode
inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. 26 Bakteri dalam pembuluh darah ini akan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat
melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia
sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada
Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis
dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ system
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya
Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier
(Linson et al., 2012).
Web Of Caution (WOC)
Food (makanan dan minuman) Feses Fomitus (muntahan) Fingers (jari)
Demam Typhoid
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Kuman berlebih Kuman masuk Kuman masuk Diare Kuman masuk System cerna
dibronkus aliran darah kedalam usus kedalam usus terganggu
Muntah
Proses peradangan endotoksin Kuman berkembang Kehilangan banyak air Menghasilkan Anoreksia
biak di usus dan elektrolit toksin mual muntah
Akumulasi secret dibronkus Terjadi
kerusakan sel Imunitas humoral Proses inflamasi Anoreksia
Peningkatan metabolisme
(IgA) kurang baik local pada usus nutrisi
Suara nafas ronchi halus
Merangsang pelepasan adekuat
Kehilangan cairan tubuh
zat pirogen oleh leukosit Masuk kesaluran Respon patologis
Batuk dehidrasi
limfatik
Penurunan
Zat pirogen beredar Sekresi cairan dan
Bersihan jalan Resiko ketidak tonus otot
dalam darah Diileum terminalis membentuk mucus
nafas tidak efektif seimbangan cairan
limpoid plaque payeri Kelemahan fisik
Isi usus berlebihan
Sebagian masuk kelamina propia
Intoleransi aktifitas
Mempengaruhi Masuk ke aliran limfe Makanan dengan cepat
termogulasi dihipotalamus terdorong ke anus
Menyerang organ
Suhu tubuh meningkat RES DIARE
Hipertermi Hati
Hepatomegali
Nyeri tekan
abdomen
kanan atas
Nyeri Akut
2.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat
baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau
timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini 27
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat
muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari
jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika
infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat
(Putra et al., 2012).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi Interestinal
1) Pendarahan Interestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka akan terjadi pendarahan. Selanjutnya jika
luka menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena
luka, pendarahan juga dapat terjadi karena koagulasi darah (Widodo et al,
2014)
2) Perforasi usus
Perforasi usus biasanya terjadi pada minggu ketiga, namun juga dapat
timbul pada minggu pertama. Gejala yang terjadi adalah nyeri perut hebat
di kuadran kanan bawah kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda-tanda
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan dapat terjadi
syok leukositosis dengan pergeseran ke kiri dengan menyokong adanya
perforasi (Widodo et al, 2014).
Komplikasi Ekstra-Intestinal
1) Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati dari ringan sampe sedang.. Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang (Widodo et al,
2014).
2) Pakreasitis tifosa
Pankreasitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri,
cacing, maupun farmakologik. Penatalaksanaan pakreasitis sama seperti
pankreasitis pada umumnya, antibiotic yang diberikan adalah antibiotic
intravena, antibiotic yang diberikan adalah seftriaxon dan kuinolon
(Widodo et al, 2014).
3) Miokarditis
Pada pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau
dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kohesif, aritma, syok
kardiogenik dan perubahan elektrokardiograf. Komplikasi ini disebabkan
kerusakan mikrokardium oleh kuman S.typhi (Widodo et al, 2014).
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Farmakaologis
a. Kloramfenikol dosis tinggi yaitu 100 mg/kg BB/ hari oral atau IM/IV
bila dianjurkan.
b. Tiamfenikol
Dengan pemberian tiamfenikol demam turun setelah 5-6 hari.
Komplikasi hematologi pada pengguna tiamfenikol jarang terjadi. Dosis
oral yang di anjurkan 50-100 mg/kg BB/ hari, selama 10-14 hari.
c. Kotrimoxazol
Kelebihan kotrimoxazol bagi penderita Thypus Abdominalis antara lain
digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol,
penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya
kekambuhan 21 pengobatan lebih kecil dibandingkan dengan
kloramfenikol. Kelemahannya adalah dapat terjadi Skin Rash ( 1-15 % ),
sindrom Steven Jhonson, trombositopenia, Anemia Megaloblastik.
d. Ampixillin dan amoxillin
Ampixillin mempunyai dara bakteri yang lambat untuk menurunkan
demam di banding dengan kloramfenikol tapi lebih efektif untuk
mengobati karier serta kurang toksis. Kelemahannya dapat terjai skin
rash ( 3-18% ), dan diare ( 11% ) Amoxillin mempunyai daya bakteri
yang sama dengan ampixillin, tetapi penyerapan per oral lebih baik
sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dasn lebih sedikit
timbulnya kekambuhan ( 2-5 % ) dan karier ( 0-5 % ). Dosis yang di
anjurkan adalah : 1) Ampixillin 100-200 mg/ kg BB/hari, selama 10-14
hari 2) Amoxillin 100 mg/kg BB/ hari, selama 10-14 hari
( T.H.Rampegan, 60 : 2010 ).
2. NonFarmakologis
1) Tirah baring
Tirah baring (bed rest) dilakukan pada pasien yang membutuhkan
perawatan akibat sebuah penyakit atau kondisi tertentu dan merupakan
upaya mengurangi aktivitas yang membuat kondisi pasien menjadi lebih
buruk. Petunjuk dari dokter akan diberikan berupa apa saja yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama bed rest. Semua itu
tergantung pada penyakit yang diderita pasien. Ada yang hanya diminta
untuk mengurangi aktivitas, ada yang memang benar – benar harus
beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas
apapun(Kusumastuti,2017).
2) Kebiasaan mencuci tangan
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada
kejadian demam tifoid, untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk
meningkatkan praktik cuci tangan sebelum makan untuk mencegah
penularan bakteri Salmonella typhi ke dalam makanan yang tersentuh
tangan yang kotor dan mencuci tangan setelah buang air besar agar
kotoran atau feses yang mengandung mikroorganisme patogen tidak
ditularkan melalui tangan ke makanan(Andayani dan Fibriana, 2018).
Tangan harus dicuci dengan sabun setidaknya selama 15 detik dibilas
dan dikeringkan dengan baik(Upadhyay, et al., 2015).
3) Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring
adalah perawatan ditempat, termasuk makan, minum, mandi, buang air
besar, dan buang air kecil akan membantu proses penyembuhan. Dalam
perawatan perlu dijaga kebersihan perlengkapan yang dipakai (Widodo
et al 2014).
4) Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid. Berdasarkan tingkat kesembuhan pasien, awalnya pasien
diberi makan bubur saring, kemudian bubur kasar, dan ditingkatkan
menjadi nasi. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari
komplikasi dan pendaraham usus (Widodo et al 2014)
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian Keperawatan
1. B1 (Breathing)
Biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus berat biasanya didapatkan
komplikasi yaitu pneumonia.
2. B2 (Blood)
TD menurun, diaphoresis terjadi pada minggu pertama, kulit pucat, akral
dingin, penurunan curah jantung dengan adanya bradikardi kadang terjadi
anemia, leukopeni pada minggu awal, nyeri dada, dan kelemahan fisik
3. B3 (Brain)
Pada klien dengan typhoid biasanya terjadi derilium dan diikuti penurunan
kesadara didiri composmentis keapatis, somnolen hingga koma pada
pemeriksaan GCS.
4. B4 (Bladder)
Pada kondisi berat akan terjadi penurunan output respon dari curah jantung
5. B5 (Bowel)
1) Inspeksi
Lidah kotor,terdapat selaput putih, lidah hipertermis, stomatis, muntah,
kembung, adanya distensi abdomen dan nyeri abdomen, diare atau
konstipasi
2) Auskultasi
Penurunan bisisng usus 5x/menit pada minggu pertama dan selanjutnya
meningkat akibat adanya diare
3) Perkusi
Didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya kembung
4) Palpasi
Adanya hepatomegali, spelenomegali, mengidentifikasi adanya infeksi pada
minggu kedua. Adanya nyeri tekan pada abdomen
6. B6 (Bone)
Adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise . Kelemahan umum,
integument : timbulnya roseola temboli dari kuman diman didalamnya
mengandung kuman salmonella Ttphosa, yang timbul diperut, dada, dan bagian
bokong, turgor kulit menurun. Kulit kering (Muttaqin, 2011)
2.2.2 Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
2. Hipertermi (D.0130)
3. Nyeri akut (D.0020)
4. Resiko ketidak seimbangan cairan (D.0034)
5. Diare (D.0020)
6. Intoleransi Aktifitas (D.0056)
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : wanita
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : S-1 Ekonomi
Status Perkawinan : belum menikah
Alamat : Jl. Rafleesia No.72
Tgl MRS : 14-09-2020
Diagnosa Medis : Demam Tifoid
3.1.2 Riwayat Kesehatan /Perawatan
1. Keluhan Utama :
Klien mengatakan “ saya merasa pusing”
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien Pada tanggal 07 september 2020 jam 11.40 klien merasa demam disertai
mual dan muntah. lalu pada tanggal 13 september 2020 klien mengatakan
demamnya masih tinggi dan masih disertai mual muntah sehingga klien dibawa
oleh keluarga kerumah sakit Dr.Doris Sylvanus dan langsung dilakukan
pemeriksaan di IGD pada tanggal 13 september 2020 . keadaan umum pada
saat dilakukan pemeriksaan di IGD yaitu kesadaran klien delirium, mukosa
bibir tampak kering, lidah tampak kotor, Nyeri tekan di bagian epigatrium ,
TTV : TD: 100/60mmHg, HR:100 x/menit, S:40° C, RR: 24 x/menit. Klien
kemudian dibawa ke ruang Bougenville untuk mendapat perawatan dan
pemeriksaa lebih lanjut.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Klien mengatakan bahwa klien sebelumnya belum pernah dirawat dirumah
sakit dan klien mengatakan belum pernah melakukan operasi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan “dari anggota keluarga saya tidak ada yang mengalami
penyakit yang sama seperti saya baik penyakit menular seperti hepatitis,HIV,
maupun penyakit keturunan seperti hipertensi,DM dan lain-lain.”
Keterangan :
: Laki-Laki : Meninggal
2. Status Mental :
Tingkat kesadaran klien delirium, dengan ekspresi wajah tampak
gelisah ,bentuk badan klien sedang, klien dalam posisi supinasi , klien
berbicara dengan jelas, penampilan sedikit kurang rapi , Fungsi kognitif untuk
orientasi klien dapat mengetahui waktu pagi,siang dan malam, untuk orientasi
orang klien dapat membedakan keluarga dan perawat, untuk orientasi tempat
klien tau bahwa sekarang dirawat dirumah sakit. Insight klien baik, mekanisme
pertahana diri adaptif.
3. Tanda-tanda Vital :
Pada saat pengkajian tanda-tanda vital didapatkan hasil : suhu yang diukur di
aksila menunjukan 400C, nadi yaitu 100 x/menit , pernafasan yaitu 24x/ menit,
dan tekanan darah yaitu 100/60 mmHg.
4. Pernapasan (Breathing)
Pengkajian system pernafasan ditemukan:saat inspeksi tampak bentuk dada
klien normal (simetris). tidak ada nyeri dada, dengan tipe pernafasan dada dan
perut dengan irama yang teratur, tidak ada suara nafas tambahan yang
terdengar.
Pada system pernafasan terdapat masalah keperawatan
5. Cardiovasculer (Bleeding)
Pengkajian pada system cardiovascular (bleeding) klien mengeluh sakit
kepala.selain itu, tidak didapatkan masalah pada pengkajian lainnya. Klien juga
tidak tampak pucat. Untuk CRT atau capillary refill time didapatkan hasil
kurang dari 2 detik. Ictus cordis klien tidak terlihat, suara jantung terdenganr
(S1dan S2 reguler) dengan bunyi lub-dub. Nadi teraba kuat dan teratur, akral
hangat, konjungtiva anemis.
“Pada system cardiovascular didapatkan masalah keperawatan
Hipertermi”
6. Persyarafan (Brain)
Pengkajian pada system persyarafan didapatkan : nilai GCS klien untu eye
adalah 3; untuk verbal adalah 2; untuk motoric klien bernilai 5 dan dengan data
tersebut didapat total nilai GCS adalah 11(delirium). Pupil klien isokor dengan
reflex cahaya untuk kanan dan kiri adalah positif. Klien tampak cemas. Untuk
uji saraf kranial, saraf I (olfaktori) :pada saat pengkajian Klien dapat
membedakan bau susu dan kopi Saraf kranial II (Optikus): klien mampu
melihat dengan jelas membaca nama di name tag perawat. Saraf kranial III
(Okulomotor): Bola mata klien mampu beraksi terhadap cahaya. Saraf kranial
IV (Troklearis): Klien dapat menggerakkan bola matanya dengan normal. Saraf
kranial V (Trigeminalis): Klien dapat mengunyah yang makanan yang
disediakan kepada klien dengan baik. Saraf kranial VI (Abdusen): klien dapat
menggerakan bola matanya ke kiri dan kekanan. Saraf kranial VII (Fasialis):
Klien dapat bereaksi terhadap rasa manis dan asin. Saraf kranial VIII
(Auditorius): klien dapat menjawab dengan benar dimana suara detik jam
tangan perawat di telinga kiri dan kanan. Saraf kranial IX (Glosofaringeus):
klien dapat merasakan rasa asam. Saraf kranial X (Vagus): psaat makan klien
mampu mengontrol proses menelan. Saraf kranial XI (Assesorius): Klien dapat
menggerakkan leher dan bahu dengan bebas. Saraf kranial XII (Hipoglosus):
klien mampu mengeluarkan lidahnya.
Hasil uji koordinasi ekstremitas atas jari ke jari positif, jari ke hidung positif.
Ekstremitas bawah tumit ke jempol kaki, uji kestabilan positif; pasien dapat
menyeimbangkan tubuhnya, refleks bisep dan trisep kanan dan kiri postif
dengan skala 5, refleks brakioradialis kanan dan kiri positif dengan skala 5,
refleks patela kanan dan kiri positif dengan skala 5, refleks akhiles kanan dan
kiri positif dengan skala 5, refleks babinski kanan dan kiri positif dengan skala
Uji sensasi pasien di sentuh bisa merespon.
Pada system persayarafan, tidak ada keluhan lainnya dan tidak ada masalah
keperawatan.
7. Eliminasi Uri (Bladder) :
Pada system eliminasi urine didapatkan :produksi urine yang dihasilkan adalah
± 300 mL dalam 24 jam dengan warna kuning, bau khas amoniak/pesing
Pada system eliminasi uri tidak ada keluhan lain dan Tidak ada masalah
keperawatan.
8. Eliminasi Alvi (Bowel) :
Pada pengkajian system eliminasi alvi didapatkan: yaitu mukosa bibir kering,
gigi pasien lengkap dan kebersihan juga cukup; pada gusi tidak ada pendarahan
dan peradangan; pada lidah tampak kotor ; mukosa terlihat lembab; pada tonsil
tidak ada masalah; rectum tidak ada kelainan dan klien heaemoroid. BAB 7 x
sehari, hasil dari auskultasi bising usus hiperaktif, konsistensi cair pada saat
palpasi ditemukan adanya hepatomegaly, ditemukan nyeri tekan pada
epigatrium.
“masalah keperawatan pada sistem ini ditemukan resiko ketidak
seimbangan cairan”
9. Tulang - Otot – Integumen (Bone) :
Pengkajian pada system tulang-otot-integumen didapatkan : klien memiliki
kemampuan untuk menggerakan sendinya secara bebas. Hemiparese tidak
ada ,bengkak tida ada , uji kekuatan otot didapatkan pada ekstremitas atas 5/5
dan pada ekstremitas bawah 5/5.
Berdasarkan hasil pengkajian diatas, tidak terdapat masalah keperawatan
10. Kulit-Kulit Rambut:
Klien tidak memiliki riwayat alergi baik pada obat,makananm dan kosmetik.
Suhu kulit pasient hangat, warna kulitnya normal,turgor baik/elastis kembali
dalam waktu 1 detik dan teksturnya halus. Pada kuit pasient tidak terdapat
jaringan parut,macula,pustule,nodula,vestikula, papula dan ulkus. Tekstur
rambut pendek, berwarna hitam dan terdistribusi secara merata. Bentuk kuku
klien juga simetris. Pada system integume tidak ada ditemukan masalah
keperawatan.
11. Sistem Penginderaan :
sistem pengindraan meliputi mata,telinga dan hidung hasil pemeriksaan adalah:
mata pasien tidak mengalami ganguan dan dapat melihat, bola mata bergerak
normal,visus mata kanan dan kiri tidak dikaji, sclera berwarna putih atau
normal dan kornea, tampak bening, telinga pasien tidak mengalami ganguan.
Bentuk hidung pasien pun tampak simetris, tidak terdapat adanya lesi, tidak
terdapat patensi, tidak terdapat obstruksi,tidak terdapat nyeri tekan pada sinus.
Septum nasal juga tidak mengalami deviasi dan tidak terdapat polip pada
hidung.
Pada sistem pengindraan tidak ada keluhan dan tidak ada masalah keperawatan
yang muncul.
12. Leher Dan Kelenjar Limfe
Pada pemeriksaan daerah leher dan kelenjar limfe, tidak ada ditemukan
adannya massa, tidak ada jaringan parut,kelenjar limfe dan tiroid tidak teraba,
dan mobilitas leher klien bergerak terbatas. Untuk pemeriksaan reproduksi
tidak dilakukan pemeriksaan.
1.1.5 Pola Fungsi Kesehatan
1. persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit :
Klien menerima keadaan yang dia alami sekarang dan berharap cepat sembuh
dan bisa berktifitas kembali seperti dulu
2. Nutrisida Metabolisme
Klien mengatakan bahwa selama sakit nafsu makan kurang baik dan tidak ada
selera makan. Klien ada makan sekitar setengah porsi saja.pemeriksaan
selanjutnya didapatkan pola makan sehari-hari klien sebelum sakit/hari dan saat
sakit hanya 1 kali /hari karena klien berada di RS. Porsi yang bisa dihabiskan
sebelum sakit 1 porsi, saat sakit mendapat kan 1 porsi makanan hanya bisa
menghabiskan ½ porsi saja. Jenis makanan yang dikonsumsi sebelum sakit
nasi+ lauk dan jenis makana sesudah sakit bubur+lauk, jenis minuman klien
sebelum sakit yaitu air putih saja dan sedudah sakit hanya air putih juga. Klien
dapat menghabiskan minum sebelum sakit ±1200-1500 cc/hari, sedangkan saat
sakit ± 700-100 cc/liter dalam sehari. Klien tidak merasa mual dan muntah. BB
sebelum sakit 60 kg dan saat sakit 58 kg.bentuk badan sedang IMT klien
58
=21,32
1,65 x 1,65
1. Pada hasil USG menunjugan bahwa terjadi pembesaran pada hati klien
hepatosplenomegal
3.1.8 PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi medis Dosis Rute Indikasi
No
1. RL 20 tpm IV Untuk mengembalikan keseimbangan
elektrolit pada dehidrasi
Palangka Raya,
…………………………………
Mahasiswa,
(………………………………..)
ANALISIS DATA
normal 40°C
Terjadi kerusakan sel
Kulit terasa hangat
Klien tampak pucat
Terjadi kerusakan sel
TTV :
TD : 100/60 mmHG
Merangsang pelepasan zat
N : 100 x/menit pirogen oleh leukosit
S : 40 ° C
RR : 24 x/menit
zat pirogen beredar dalam
darah
Mempengaruhi
termogulasi dihipotalamus
Hipertermi
ANALISIS DATA
3. Diare Berhubungan dengan proses inflamasi local pada usus ditandai dengan
Defekasi klien lebih dari tiga kali dalam 24 jam,Konsistensi feses klien cair,
klien terlihat lemas Frekuensi peristaltic usus 5-35x/menit , Bising usus
hiperaktif
42
RENCANA KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab hipertermia 1. Mengetahui penyebab kenaikan suhu
invasi bakteri Salmonella typhi keperawatan selama 1x 7 jam 2. Monitor suhu tubuh klien
ditandai dengan ,klien tampak diharapkan suhu tubuh menurun 2. Mengontrol keadaan suhu tubuh klien
3. Sediakan lingkungan yang dingin
lemas, suhu tubuh klien diatas dengan 3. Memudahkan penurunan suhu pada
normal 40°C, kulit klien terasa 4. Menganjurkan tirah baring tubuh klien
Kriteria hasil :
hangat, TTV: TD :100/60, HR : 100 4. Membantu mengurangi aktifitas klien
x/menit, S: 40°C, RR :24x/ menit 1. suhu tubuh cukup membaik
dengan nilai 5
2. pucat cukup menurun dengan
nilai 5
3. Suhu kulit cukup membaik 4
43
1. Resiko setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status hidrasi (mis, frekuensi 1. Memantau pemenuhan hidrasi pada
ketidakseimbangan cairan keperawatan 1 x 7 jam diharapkan nadi, kekuatan nadi, akral , pengisian tubuh klien.
berhubungan dengan Diare dan cairan tubuh klien terpenuhi kapiler, kelembapan mukosa, turgor 2. Memudahkan oksigen terpenuhi untuk
Muntah ditandai dengan klien kulit, tekanan darah) klien
tampak pucat, mukosa bibir kriteria hasil: 3. Memenuhi asupan cairan klien
2. Catat intake- output balans cairan 24
klien kering, lidah klien kotor, 1. Asupan cairan meningkat cukup 4. Membantu mempercepat pemenuhan
jam
klien dehidrasi meningkat dengan nilai 4 cairan lewat intravena pada tubuh klien
2. Dehidrasi menurun dengan nilai 3. Berikan asupan cairan,kebutuhan
5 kebutuhan
3. Kelembapan membrane mukosa
4. Berikan cairan intravena ,jika perlu
cukup membaik dengan nilai 4
4. Denyut nadi radial sedang
dengan nilai 3
5. Membrane mukosa cukup
membaik dengan nilai 4
44
Tanda tangan
Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Nama Perawat
Senin -17-09 2020 1. Mengidentifikasi penyebab hipertermia S:-
4. Memberikan cairan intravena, jika perlu klien masih terlihat agak lemas
Purnadi nakalelu
5. berkaloborasi pemberian obat pengeras feses ( mis.
Frekuensi peristaltic usus 5-35x/menit
DAFTAR PUSTAKA
Soedarmo, P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., Satari, H. I., 2015. Buku Ajar Infeksi
dan pediatri Tropis. 2nd ed. jakarta: badan penerbit IDAI.
Ramatillah, D. L., Eff, A. R., & Lukas, S. (2015). CASE REPORT TYPHOID
FEVER AT PGI CIKINI HOSPITAL, JAKARTA. Wood Industry Drvna Industrija,6.
Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India,
63.
Widodo, D., 2015. Demam Tifoid. In: Siti, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp.
Fida & Maya. (2012). Pengantar Ilmu kesehatan Anak. Jogyakarta: D-Medika