TT3 Mkdu4108
TT3 Mkdu4108
TT3 Mkdu4108
Jika dibandingkan, pada triwulan kedua tahun ini dengan periode yang sama tahun lalu,
ekonomi Indonesia meningkat kurang lebih 6,4 %.
Pertumbuhan ini tetap masih terpusat di pulau Jawa dengan peningkatan sebesar 57,5%.
apabila di akumulasikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester i tahun 2022 lebih baik
dibandingkan dengan semester i tahun 2011 yang tumbuh sekitar 6,3%.
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai mengalami bias atau anomali. Hal ini
dikatakan oleh Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi Indonesia for Global Justice. Ia
berpendapat, pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Tidak hanya itu, Daeng juga memaparkan, sekurang- kurangnya ada empat faktor yang
membuat ekonomi Indonesia mengalami bias.
Pertama, perekonomian Indonesia lebih banyak ditengarai oleh utang asing yang nilainya terus
meningkat.
"Utang Indonesia mencapai Rp 2.865 triliun. Utang asing pemerintah meningkat setiap
tahunnya. Utang ini menjadi sumber penghasilan utama pemerintah dan menjadi pendorong
tumbuhnya ekonomi Indonesia," ujar Daeng.
Ketiga, ekonomi Indonesia pertumbuhannya didorong oleh eksport bahan mentah, contohnya
hasil perkebunan, hutan, migas dan bahan tambang, sehingga kurang menciptakan nilai tambah
dan lapangan pekerjaan. Faktor terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia di dorong oleh
penanaman asing yang menjadikan sumber daya alam Indonesia makin di kuasai asing. Di lain
pihak, A Tony Prasetiantono, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia di topang oleh sektor domestik.
Menurutnya, dampak krisis global melalui defisit neraca perdagangan dan penurunan ekspor
baru akan terasa pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini. Ia menilai kontribusi ekspor
terhadap pdb tidak besar.
Selaras dengan itu, ekonom Mirza Adityaswara berpendapat bahwa sejumlah sektor ekonomi
dalam negeri tumbuh karena didorong oleh suku bunga rendah. Hal ini tampak dari peningkatan
kredit yang mencapai 26-28% sekaligus didukung oleh harga BBM yang rendah sebab masih
disubsidi oleh pemerintah.
Lebih lanjut Mirza meyampaikan, sektor yang berorientasi dalam negeri mengalami
pertumbuhan tinggi, misalnya: otomotif, manufaktur, transportasi, komunikasi, dan
perdagangan.
Dampaknya pertumbuhan sektor yang berorientasi dalam ngeri memiliki kecenderungan defisit
neraca perdagangan yang semakin besar.
Menurut A Tony Prasetiantono, belanja pemerintah yang lebih cepat dan besar juga sangat
membantu pertumbuhan. Seiring dengan hal itu, tingkat inflasi yang berada dibawah 5% cukup
membantu, walaupun hal tersebut ada dampaknya, yakni nilai subsidi energi yang terus
membengkak yang sebetulnya tidak sehat.