Bab I - 3 Fix

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan tempat hidup dipenuhi oleh makhluk patogen, mulai dari


mikroorganisme, parasit yang tergolong metazoa, hingga jamur (Subowo, 2010).
Dengan adanya hal ini, manusia dilengkapi dengan sistem pertahanan tubuh yang
diharapkan dapat mengidentifikasi dan menghilangkan patogen seperti bakteri,
virus, jamur, tumor, kanker dan zat – zat asing lain yang dapat menimbulkan
berbagai gangguan penyakit (Tjokronegoro, 1990). Dalam menghadapi invansi
patogen maupun sel abnormal tubuh, sistem imunitas tubuh akan melakukan
pertahanan yang bersifat nonspesifik dan spesifik dengan mekanisme humoral
ataupun selular (Tizard, 2002).

Imunitas dan infeksi merupakan dua persitiwa yang tidak terpisahkan


(Subowo, 2010). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, terjadi
peningkatan prevalensi penyakit infeksi di Indonesia yang dapat dilihat dari data
beberapa penyakit yaitu diare, hepatitis, tuberkulosis serta penyakit kanker
(Riskesdas, 2018). Salah satu zat yang berfungsi sebagai pencegah penyakit dan
dapat meningkatan daya tahan alami tubuh adalah imunostimulan. Imunostimulan
sebagai imunomodulator tidak menghadapi secara langsung patogen penyebab
penyakit, melainkan sistem pertahanan tubuh akan didorong untuk menghadapi
patogen penyebab penyakit melalui efektor sistem imunitas (Subowo, 2010).

Imunostimulan dapat bersumber dari bahan alami maupun bahan sintesis.


Keuntungan imunostimulan yang berasal dari bahan alam, khususnya tumbuh –
tumbuhan dibandingkan dengan imunostimulan sintesis dapat dengan mudah
diperoleh, tidak mahal dan bertindak terhadap spektrum patogen yang luas
(Shahbazi & Bolhassani, 2017). Salah satu tumbuhan yang dinilai memiliki
aktivitas sebagai imunostimulan adalah herba meniran (Phyllanthus niruri L.)
(Sriningsih & Agung, 2009). Meniran sebagai tanaman yang hidup pada daerah
tropis dengan mudah dijumpai di tanah gembur yang mengandung pasir, ladang,
tepi sungai dan pantai (Depkes, 1978).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

Penelitian mengenai ekstrak meniran sebagai imunostimulan pada


penyakit infeksi telah banyak dilakukan baik secara preklinik dan klinik
(Tjandrawinata et al, 2017). Penelitian preklinik yang dilakukan oleh (Sriningsih
& Agung, 2009) menyatakan bahwa ekstrak etanol 80% herba meniran memiliki
aktivitas sebagai imunostimulan berdasarkan kemampuan fagositik makrofag.
Suatu penelitian menyatakan subfraksi etil asetat dari herba meniran dapat
meningkatkan produksi titer antibodi dan jumlah sel leukosit pada mencit putih
jantan (Farhan, 2013). Namun, penelitian mengenai aktivitas fraksi air meniran
yang berasal dari ekstrak etanol meniran sebagai imunostimulan belum pernah
dilakukan sebelumnya.

Tanaman lain yang dinilai mampu memodulasi sistem imun yang berasal
dari genus curcuma adalah temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) (Rahman,
2016). Bagian rimpang temu hitam telah digunakan sejak lama sebagai obat
tradisional atau jamu oleh masyarakat Indonesia untuk mengobati berbagai
penyakit seperti peradangan, jamur, infeksi oleh bakteri, asma dan tumor (Simoh
& Zainal, 2015). Ekstrak etanol temu hitam dinilai mampu mempertahankan
keutuhan organ limpa tikus yang diinduksi sel kanker, meningkatkan aktivitas
imunosurveilans tikus dengan meningkatkan produksi sitokin dan mampu
menekan angka insidensi tumor (Nurhasanah, 2016). Bau aromatik yang
dikeluarkan pada rimpang temu hitam dipercaya mengindikasikan adanya
kandungan minyak atsiri di dalamnya. Minyak atsiri pada rimpang temu hitam
mengandung senyawa golongan terpenoid dan polifenol yang dinilai bertanggung
jawab dalam meningkatkan imunitas tubuh (George & Britto, 2015).

Pemanfaatan imunostimulan dari bahan alam dapat ditemui dalam bentuk


obat tradisional. Pemanfaatan tumbuh – tumbuhan dalam pengobatan tradisional
salah satunya digunakan dalam bentuk Obat Herbal Terstandar (OHT). Obat
herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji preklinik dan bahan bakunya telah
distandarisasi (BPOM, 2005).

Penelitian ini dilakukan sebagai bentuk bagian dari pengujian preklinik in


vivo dalam pengembangan Obat Herbal Terstandar (OHT) dengan memanfaatkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

kombinasi ekstrak etanol rimpang temu hitam (Curcuma aerginosa Roxb.) dan
fraksi air herba meniran (Phyllanthus niruri L.) yang berasal dari ekstrak etanol
herba meniran. Kombinasi kedua tanaman tersebut diharapkan mampu
menghasilkan aktivitas imunostimulan yang sinergis.

Parameter yang diamati untuk melihat aktivitas imun tubuh adalah


histopatologi limpa, indeks limpa, serta pengamatan titer antibodi yang
merupakan gambaran respon imun spesifik humoral. Penelitian in vivo dilakukan
terhadap beberapa kelompok tikus putih jantan galur Sprague – Dawley yang akan
diinduksi oleh antigen sel darah merah domba (SDMD). Alasan pemilihan Sel
SDMD sebagai antigen karena SDMD telah umum digunakan pada pengujian
yang melibatkan sistem imun dan dapat digunakan dalam jumlah yang banyak
(Tizard, 2002).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, apakah fraksi air dari
ekstrak etanol herba meniran (Phyllanthus niruri L.) dan ekstrak etanol rimpang
temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) memiliki aktivitas sebagai
imunostimulan?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui aktivitas imunostimulan kombinasi fraksi air dari


ekstrak etanol meniran (Phyllanthus niruri L.) dan ekstrak etanol temu hitam
(Curcuma aeruginosa Roxb.).

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui aktivitas imunostimulan kombinasi fraksi air dari


ekstrak etanol herba meniran (Phyllanthus niruri L) dan ekstrak etanol rimpang
temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb) terhadap histopatologi limpa, indeks
limpa dan titer antibodi tikus putih jantan galur Sprague – Dawley yang diinduksi
Sel Darah Merah Domba (SDMD).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

1.4 Hipotesis

Kombinasi fraksi air herba meniran (Phyllanthus niruri L.) dan ekstrak
etanol rimpang temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dapat mempengaruhi
histopatologi limpa, indeks limpa dan titer antibodi tikus putih jantan galur
Sprague – Dawley yang diinduksi Sel Darah Merah Domba (SDMD).

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai


aktivitas kombinasi fraksi meniran (Phyllanthus niruri L) dan ekstrak temu hitam
(Curcuma aeruginosa Roxb) sebagai imunostimulan.

1.5.2 Manfaat Metodologi

Penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi untuk peneliti atau


akademisi lain dalam mempelajari aktivitas kombinasi fraksi herba meniran
(Phyllanthus niruri L) dan ekstrak temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb).

1.5.3 Manfaat Aplikatif

Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi masyarakat dalam


penggunaan kombinasi herba meniran (Phyllanthus niruri L) dan rimpang temu
hitam (Curcuma aeruginosa Roxb) sebagai imunostimulan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meniran (Phyllanthus niruri L)


2.1.1 Deskripsi Tanaman
Tanaman meniran merupakan tanaman yang penyebarannya terdapat di
negara India, Cina, Malaysia, Filipina, Indonesia dan Australia. Tanaman ini
berasal dari daerah Asia tropis. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama
meniran ijo, memeniran (Sunda) dan meniran (Jawa). Meniran tumbuh di
ketinggian 1 – 1000 m di atas permukaan laut dan tumbuh liar pada tempat yang
lembap dan berbatu. Tanaman meniran dapat ditemukan di tanah gembur yang
mengandung pasir, ladang, tepi sungai dan pantai (Depkes, 1978). Di berbagai
negara, meniran dikenal dengan nama kilaneli (India), zhen chu cao, ye xia zhu
(China), child pick a back (Inggris). Secara tradisional tanaman ini sering
digunakan untuk pengobatan pada gangguan fungsi hati, sebagai obat gonorrhea,
infeksi saluran kemih, sakit perut, sakit gigi, demam, batu ginjal dan disentri
(Suhirman & Winarti, 2007).

2.1.2 Taksonomi
Meniran tumbuh tegak dengan tinggi 50 cm – 1 m dan memiliki
percabangan yang terpencar. Batang tumbuhan berwarna hijau pucat atau
kemerahan. Pada setiap cabang terdapat daun tunggal yang berseling dan tumbuh
mendatar dari batang utama. Daun meniran berukuran kecil dan berbentuk bulat
telur sampai bundar memanjang. Setiap cabang atau ranting terdiri dari 8 – 25
helai daun. Meniran memiliki akar tunggang dan sepasang bunga yaitu bunga
jantan dan bunga betina. Bunga keluar dari ketiak daun; bungan jantan terletak di
bawah ketiak daun, berkumpul 2 – 4 bunga, gagang bunga berukuran 0,75 mm – 1
mm, helaian mahkota bunga berbentuk bundar telur sampai bundar memanjang
dengan tepi berwarna hijau muda. Buah tumbuhan ini bertekstur licin, bulat pipih,
dengan diameter 2 – 2,5 cm dengan warna hijau kekuningan hingga kuning
kecoklatan. Kepala sari meniran yang sudah matang akan pecah secara membujur
(Depkes, 1978).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

Gambar 2.1. Herba meniran


Sumber : plantamor.com

Klasifikasi dari tumbuhan meniran adalah :

Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Euphorbiales
Famili : Phyllanthaceae
Genus : Phyllanthus
Spesies : Phyllanthus niruri L.
2.1.3 Kandungan
Komponen aktif metabolit sekunder pada herba meniran yaitu flavonoid,
terpenoid, lignan, isolignan dan alkaloid (Sasmito, 2017). Golongan flavonoid
terdiri atas rutin, kuersetin, kuersitrin, astralgin dan katekin. Golongan terpenoid
terdiri atas limonen, p – cymene, lupeol, kumarin, dan metil breviolin karboksilat.
Golongan tanin terdiri atas asam repandusinat, geraniin, dan korilagin. Golongan
lignan utamanya terdiri filantin dan hipofilantin. Senyawa alkaloid terdiri dari
norsekurinin. Senyawa yang dinilai bertanggung jawab terhadap aktivitas

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

imunomodulator pada tanaman meniran adalah golongan flavonoid (Narendra et


al, 2012). Golongan flavonoid merupakan subkelompok dari senyawa fenolik
yang memiliki kemampuan sebagai imunomodulator dengan adanya aktivitas
sebagai antioksidan hingga mampu menangkal serangan patogen penyebab
penyakit infeksi (Hoffman, 2003).

2.1.4 Aktivitas Farmakologi


Meniran memiliki berbagai aktivitas biologik seperti hipoglikemik,
hipotensif, diuretik, antioksidan, antiinflamasi, antipiretik, ekspektoran, sebagai
pelancar haid dan penambah nafsu makan (Dalimartha, 2002). Dalam sebuah uji
klinis, meniran dinilai berfungsi sebagai inhibitor angiotensin converting enzyme
yang berperan sebagai antihipertensi pada pasien dengan komplikasi Diabetes
Mellitus (Yedjou CG, 2015). Penelitian mengenai antipiretik (Wuisan, 2015)
menunjukan bahwa ekstrak etanol meniran dosis 300 mg/200 grBB dapat
menurunkan suhu rektal tikus wistar yang diinduksi dengan vaksin DPT – HB.
Infusa dari herba meniran digunakan sebagai penambah nafsu makan, anti
spasmodik, pencahar serta diuretik (Udupa et al., 2010). Aktivitas hepatoprotektif
dan penangkal radikal bebas juga ditunjukan oleh ekstrak air meniran (Chatterjee,
2007).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Nworu, et al 2010) melaporkan


bahwa ekstrak air meniran mengaktivasi sel limfosit tikus dan menginduksi
proliferasi limfosit B dan T, produksi IFN-γ, IL-4 dan memicu pelepasan TNF-α.
Penelitian yang dilakukan oleh (Sriningsih & Agung, 2009) menyatakan bahwa
ekstrak etanol 80% herba meniran memiliki aktivitas sebagai imunostimulan
berdasarkan kemampuan fagositik makrofag. Meniran telah diteliti mampu
berperan dalam penghambatan infeksi dari bakteri S. thypii. Sebuah uji klinis
tanaman meniran membuktikan bahwa pada penderita penyakit tuberkulosis,
kelompok yang mengkonsumsi meniran mengalami peningkatan IFN-γ. Selain itu
beberapa uji klinis lain telah membuktikan bahwa meniran berperan sebagai
imunomodulator beberapa penyakit infeksi seperti, hepatitis B kronis,
tonsillofaringitis, vaginal candidiasis dan infeksi varicella zooster (Tjandrawinata
et al, 2017)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

2.2 Temu Hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.)


2.2.1 Deskripsi Tanaman
Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu hitam tersebar luas di Asia
Tenggara. Tanaman ini dikenal dengan nama temu erang, temu hitam (Melayu),
tamu hitam (Minang), koneng hideung (Sunda), temu ireng (Jawa), temo ereng
(Madura), tamu leteng (Makassar). Tanaman ini tumbuh pada ketinggian tempat
antara 400 m – 750 m di atas permukaan laut dan tumbuh liar pada daratan yang
ditumbuhi rumput – rumput atau pada hutan jati dan sering ditanam penduduk
sebagai tanaman di pekarangan (Depkes, 1978).

2.2.2 Klasifikasi

Gambar 2.2 Tanaman temu hitam (kiri) dan rimpang temu hitam (kanan)
Sumber : (Dalimartha, 2003)

Tanaman temu hitam memiliki batang semu dengan tinggi ±2 m yang


berwarna hijau atau coklat gelap. Rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang
– cabang, kuat, sebagian berwarna biru dan sebagian berwarna putih. Tiap
tumbuhan memiliki 2 – 9 helai daun yang berbentuk bundar memanjang sampai
berbentuk lanset yang berwarna hijau atau coklat keunguan. Panjang daunnya 31
cm – 84 cm dengan lebar 10 cm – 18 cm. Perbungaan di ketiak daun, gagangnya
ramping dan berambut. Bulir berbentuk bulat memanjang dengan banyak daun
pelindung. Panjang bulir melebihi atau kadang – kadang sebanding dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

mahkota bunga dan berbentuk bundar telur sunsang atau bundar telur jorong
dengan warna merah, ungu atau putih dengan sebagian dari ujungnya berwarna
ungu, bagian bawah berwarna hijau atau keputihan. Buah tanaman ini berbulu
dengan panjang 2 cm (Depkes, 1978).

Klasifikas tumbuhan temu hitam adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae
Divisi : Mangnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma aeruginosa Roxb
2.2.3 Kandungan
Rimpang temu hitam mengandung senyawa – senyawa bioaktif seperti
saponin, flavonoid, polifenol, triterpenoid, dan glukan (Sweetymol & Thomas,
2014; Kitamura et al., 2007). Rimpang temu hitam mengandung minyak atsiri,
tannin, kurkumenol, isokurkumenol, kurzerenon, kurdion, kurkumalakton,
germakron, α-Elemene, βElemene, γElemene, linderazulekurkurmin,
demethyoxykurkumin, bisdemethyoxykurkumin (Dalimartha 2004). Minyak atsiri
yang terkandung di dalam minyak atsiri yang terkandung pada rimpang temu
hitam mengandung 18 senyawa metabolit sekunder aktif. Senyawa yang dinilai
berperan terhadap aktivitas yang dapat meningkatkan sistem imun ialah senyawa
Naftalen 1,2,3,4,4a,5,6,8a-oktahidro-1,8a-dimetil-7-(1-metiletenil) dan
Benzofuran 6-etenil 4,5,6,7-tetrahidro-3,6-dimetil-5-isopropenil-,trans (George &
Britto, 2015).

2.2.4 Aktivitas Farmakologi


Rimpang temu hitam digunakan untuk ramuan galian dan anti rematik atau
inflamasi (Reanmongkol et al., 2006), penyakit kulit (Djauharia dan Sufiani,
2007), meningkatkan kadar trombosit darah (Moektiwardoyo et al., 2014), batuk
dan asma (Nasrullah et al., 2010), antimikroba (Angel et al., 2012), antijamur

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

(Srivastava et al., 2006), antivirus pada HIV – 1 (Otake et al., 1995) dan
antioksidan (Nurcholis et al., 2015). Rimpang temu hitam juga berfungsi sebagai
pengobatan gastrointestinal seperti diare, infeksi jamur dan antiandrogenik
(Suphorm et al., 2012).

Sebuah penelitian terbaru menunjukan bahwa ekstrak etanol temu hitam


mampu meningkatkan aktivitas imun melalui produksi nitrit oksida dari makrofag
peritoneum tikus dalam memerangi infeksi bakteri. Ekstrak tanaman ini juga
mampu meningkatkan ekspresi sitokin IFN-γ dan TNF-α sebagai bentuk respon
terhadap inflamasi akibat pemberian DimetilBenzen(α)Antrasena dengan dosis
efektif yang menekan insidensi tumor sebesar 80 mg/200 gBB (Rahman, 2016).
Ekstrak etanol temu hitam dinilai mampu mempertahankan keutuhan organ limpa
tikus yang iinduksi sel kanker, meningkatkan aktivitas imunosurveilans tikus
dengan meningkatkan produksi sitokin dan mampu menekan angka insidensi
tumor (Nurhasanah, 2016)

2.3 Antigen dan Antibodi


2.3.1 Antigen
Antigen merupakan substansi yang berperan penting dalam suatu respon
imun. Antigen umumnya juga dikatakan sebagai imunogen yang dapat
merangsang terbentuknya suatu antibodi yang spesifik. Umumnya, antigen terdiri
dari protein dan polisakarida. Lipid dan asam nukleat juga dapat bersifat antigenik
apabila terikat dengan protein dan polisakarida. Senyawa antigen biasanya berasal
dari mikroorganisme atau senyawa lain yang berasal dari substansi antara lain
serbuk sari tumbuhan, zat putih telur, molekul sel darah merah, protein serum dan
molekul yang terdapat pada permukaan organ atau jaringan yang akan
ditransplantasi (Radji, 2015).

2.3.2 Antibodi
Antibodi merupakan suatu protein (imunoglobulin) yang dibuat oleh tubuh
sebagai respon terhadap masuknya antigen. Antibodi dapat mengenali dan
mengikat antigen secara spesifik sehingga antibodi mampu membantu proses
perusakan dan pemusnahan antigen. Antibodi bersifat spesifik dalam mengenali
determinan antigenik dari suatu antigen sesuai dengan epitop yang dimiliki oleh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

antigen (Radji, 2015). Karakteristik masing – masing imunoglobulin dapat dilihat


pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Imunoglobulin

Fungsi Lokasi Presentase


IgG Antibodi utama yang dibentuk atas Darah, kelenjar limfe 80 %
adanya antigen. Meningkatkan dan intestinal
fagositosis, menetralkan toksin bakteri
dan virus dan sebagai imunitas neonatal

IgA Imunoglobulin utama dalam sekresi Darah, kelenjar limfe, 10 – 15%


seromukosa untuk menjaga permukaan sekresi saliva, air
luar tubuh. IgA ditemukan pada sekresi mata, air susu, mukosa
asam lambung, saluran pernapasan, intestinal
saluran urogenital sebagai proteksi
infeksi
IgM Aglutinasi antigen, IgM adalah antibodi Darah, kelenjar limfe, 5 – 10%
yang diproduksi sebagai respon permukaan sel B
terhadap infeksi pertama

IgD Belum jelas, inisiasi respon imun Reseptor sel B, darah 0,2%
dan kelenjar limfe
IgE Menimbulkan alergi, syok anafilaksis. Terikat pada sel 0,002%
Pertahanan terhadap parasit dan cacing mastosit, basofil
seluruh tubuh dan
darah

2.3.3 Hemaaglutinasi
Hemaaglutinasi berdasarkan penyebab terjadinya digolongkan ke dalam
dua jenis yaitu hemaaglutinasi imun dan hemaaglutinasi non – imun (Hartanto,
Nisa, 2001). Hemaaglutinasi imun merupakan cara untuk menemukan antibodi
atas dasar aglutinasi sel darah merah. Sebagai antigen, dapat digunakan sel darah
merah atau antigen yang mensensitasi sel darah merah. Hemaaglutinasi terbagi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

menjadi uji direk (secara langsung) dan indirek (tidak langsung) (Baratawidjaja,
2014).
Pada uji hemaaglutinasi direk, sel darah merah akan bereaksi dengan
antibodi menghasilkan reaksi aglutinasi. Uji hemaaglutinasi direk dilakukan untuk
menentukan antigen selular antara lain antigen yang berada pada sel darah merah,
bakteri dan jamur. Uji hemaaglutinasi indirek dilakukan terhadap antibodi yang
tidak efektif mengaglutinasi sel darah merah. Cara ini efektif digunakan terhadap
antigen yang bukan berasal dari sel darah merah. IgM dalam cairan biologis akan
diikat oleh antigen spesifik pada sel darah merah meskipun ada muatan negatif
pada sel darah merah (Baratawidjaja, 2014).

Pengujian hemaaglutinasi dilakukan menggunakan mikroplat yang


memiliki banyak sumuran sehingga lebih praktis. Jumlah antigen yang dimasukan
ke dalam sumur – sumur mikroplat sama banyak, akan tetapi jumlah serum yang
mengandung antibodi diencerkan sedemikian rupa sehingga dapat diketahui titer
antibodi yang diperiksa (Radji, 2015).

2.4 Sistem Imun


Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi disebut sistem imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup seperti bakteri, virus, toksin, jamur, serta jaringan asing lainnya.
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau nonspesifik/ natural/
innate/ native/ nonadaptif dan didapat atau spesifik/ adaptif/ acquired
(Baratawidjaja, 2014).
2.4.1 Sistem Imun Nonspesifik
Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh yang
selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ke dalam
tubuh dengan cepat untuk disingkirkan. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh
infeksi. Sistem imun nonspesifik tidak ditunjukkan terhadap antigen tertentu dan
siap berfungsi sejak lahir. Mekanisme sistem imun nonspesifik tidak
menunjukkan spesifisitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh
terhadap banyak patogen potensial dan merupakan pertahanan terdepan dalam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung


(Baratawidjaja, 2014).

2.4.1.1 Pertahanan Fisik


Dalam sistem pertahanan fisik, kulit, selapur lendir, silia saluran nafas,
batuk dan bersin merupakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi.
Keratinosit dan lapisan epidermis kulit sehat dan epitel mukosa yang utuh tidak
dapat ditembus kebanyakan mikroba. Tekanan oksigen yang tinggi di paru bagian
atas membantu hidup kuman obligat aerob seperti tuberkulosis (Baratawidjaja,
2014).

2.4.1.2 Biokimia
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata, air susu ibu merupakan
pertahanan biokimia untuk melindungi tubuh terhadap mikroba gram positif
dengan cara menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Saliva
mengandung enzim laktooksidase yang mampu merusak dinding mikroba serta
mengandung antibodi serta komplemen yang dapat berfungsi sebagai opsonin
dalam sel mikroba. Asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik, antibodi
dan empedu dalam usus halus menciptakan lingkungan asam yang mencegah
infeksi mikroba (Sudianto, 2014).

2.4.1.3 Humoral
Pertahanan humoral sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai
molekul larut tertentu yang diproduksi di tempat infeksi atau cidera yang
berfungsi lokal pada area bersangkutan. Molekul tersebut antara lain adalah
peptida anti mikroba, seperti defensin, katelisidin dan IFN. Faktor larut lainnya
diproduksi di tempat yang lebih jauh dan dikerahkan di jaringan sasaran melalui
sirkulasi seperti komplemen, protein fase akut, sitokin dan mediator asal
fosfolipid (Bratawidjaja, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

2.4.1.4 Selular
Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun
nonspesifik selular. Sel – sel ini dapat ditemukan dalam dalam sirkulasi atau
jaringan. Sel yang ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil,
monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah dan trombosit. Contoh sel dalam
jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK
(Bratawidjaja, 2014).

2.4.2 Sistem Imun Spesifik


Perbedaan sistem imun spesifik dengan sistem imun non spesifik adalah
kemampuan sistem untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi sistem.
Benda asing yang telah terpajan sebelumnya akan segera dikenal oleh sistem imun
spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi sehingga antigen yang sama dan
masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat untuk dihancurkan. Sistem
imun spesifik humoral merupakan tugas limfosit B atau sel B yang berasal dari sel
asal multipoten di sumsum tulang belakang. Sel B akan berproliferasi jika
dirangsang oleh benda asing dan akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi yang dapat ditemukan pada serum darah. Limfosit T
berperan dalam sistem imun spesifik selular. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri
dari beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4+ (Th1, Th2),
CD8+ atau Th3 atau Tc atau Ts. Fungsi utama sistem imun spesifik selular adalah
pertahanan terhadap bakteri intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan
(Bratawidjaja, 2014).

2.4.3 Proses Imunologi


2.4.3.1 Nonimunologik
1. Permukaan Tubuh
Garis pertahanan pertama terhadap infeksi ialah permukaan tubuh. Dalam
mengawali infeksi, sejumlah patogen berupaya dapat menempel pada permukaan
sel – sel epitel permukaan tubuh. Permukaan tubuh tersebut mencakup saluran
pencernaan, saluran pernapasan, saluran kemih, saluran genital dan lain – lainnya.
Karena permukaan tubuh dilengkapi dengan sawar yang kokoh, patogen harus
dapat menembus pertahanan tersebut. Sawar tersebut mencakup kulit dan epitel

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

lapisan mukosa – meskipun tidak spesifik dan imunologik, namun sawar tersebut
merupakan komponen vital pertahanan tubuh (Subowo, 2010).

Semua lapisan mukosa yang selalu basah terjadi karena adanya lapisan
lendir yang secara berkesinambungan disekresi. Aktivitas ini menyebabkan
mikroba tidak mudah untuk menempel langsung pada sel. Mikroba akan
terperangkap dan tertahan pada lapisan lendir pada lapisan mukosa, terlebih
dengan adanya gerakan silia yang terdapat di bawah lapisan lendir secara
terkoordinasi yang dapat mengeluarkan patogen dari dalam tubuh. Pengusiran
tersebut dipermudah dengan adanya refleks batuk dan bersin dalam organ saluran
pernapasan atau gerak peristaltik pada saluran pencernaan (Subowo, 2010).

Selain dengan lapisan lendir, pertahanan dari permukaan tubuh dilakukan


dengan adanya keberadaan sejumlah bahan yang berfungsi sebagai desinfektan
dan bersifat antimikrobial. Kulit banyak mengandung asam lemak yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dana fungi. Asam lambung memiliki pH antara
1 – 2 yang mampu membunuh patogen yang menginvansi saluran cerna. Enzim
lisozim yang terdapat pada air mata dan sekresi lapisan mukosa lain juga memiliki
efek bakterisidal terhadap sejumlah bakteri gram – Positif. Sejumlah protein
mukosa lain mempunyai aktivitas spesifik terhadap mikroorganisme tertentu,
seperti laktoferin yang terdapat gugus Fe sebagai pemelihara kadar Fe di
sekitarnya agar mikroba tidak dapat tumbuh di daerah tersebut (Subowo, 2010).

2. Radang
Peradangan adalah reaksi pertahanan utama yang diawali oleh infeksi atau
kerusakan jaringan. Imunoglobulin dan sel – sel fagosit berperan besar dalam
pertahanan tubuh pada permukaan luar meskipun kedua komponen tersebut juga
berperan dalam pertahanan tubuh sistemik. Mediator pertama yang mengawali
terjadinya peradangan dilepaskan untuk mengatur adhesi pada sel – sel endotel
dan leukosit. Pengaturan ini menyebabkan tahapan – tahapan ekstravasasi leukosit
yang diawali dengan gerakan menggelinding sepanjang permukaan dinding
pembuluh darah yang diakhir dengan keluarnya dari pembuluh darah sampai
perpindahan sel – sel radang melalui gerakan kemotaktik menuju tempat
peradangan. Proses peradangan selanjutnya dipertahankan yang melibatkan IL-1,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

TNF dan kemokin seperti IL-8. Peradangan diatur oleh protein regulator sistem
komplemen, PGE-2, TGF-β, glukokortikoid dan IL-10.

Peradangan muncul dari proses pertahanan awal oleh permukaan tubuh


yang dapat ditembus oleh mikroorganisme. Komponen respons peradangan
mencakup sel – sel fagosit, faktor solubel (komplemen, metabolit, asam
arakhidonat) dan respons setempat dalam jaringan tubuh dan organ (seperti contoh
percabangan pembuluh darah). Sel NK dan faktor IFN merupakan faktor penting
dalam pertahanan non spesifik. Invansi oleh mikroorganisme akan menyebabkan
perubahan – perubahan dalam jaringan tubuh yang akan menarik fagosit,
khususnya polimorfonuklear. Sel – sel PMN biasanya merespons lebih dahulu dan
berkumpul pada daerah infeksi yang kemudian akan memicu fagosit lain (sel
makrofag dan sel PMN lain). Produk sel PMN menyebabkan perubahan seperti
vasodilatasi. Makrofag kemudian akan melepaskan sitokin seperti IL-1, TNF dan
IFN. Keseluruhan tersebut dapat menyebabkan demam yang dapat memperbesar
reaksi radang dengan menarik sel – sel lain dan vasodilatasi. Ketidakmampuan
menghilangkan agen inisasi menjurus kearah respons peradangan kronik terutama
yang dikuasai makrofag yang sering membentuk granuloma.

2.4.3.2 Imunologik
Pertahanan imunologik terhadap infeksi salah satunya dilakukan oleh
antibodi. Antibodi memberikan fungsi penting dalam pertahanan tubuh, baik
sendiri maupun bekerja sama dengan efektor nonspesifik. Molekul antibodi tidak
dapat membunuh mikroba secara langsung di dalam tubuh yang mengalami
infeksi. Kematian mikroba dengan keterlibatan antibodi terjadi dengan adanya
fagositosis. Fagositosis dengan bantuan molekul antibodi disebut dengan
opsoniasi. Opsoniasi berlangsung dengan bantuan sistem komplemen (C3b)
karena pada permukaan sel makrofag terdapat reseptor molekul C3b (CR1) dan Fc
dari antibodi FcR. Fungsi antibodi diantaranya netralisasi aktivitas biologik
toksin mikroba (mekanisme proteksi vaksin toksoid tetanus dan difteri),
menghambat aktivitas enzim patogen menghalangi pelekatan mikroba pada
permukaan mukosa dan menghambat pertumbuhan prokariot (Subowo, 2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

Gambar 2.3 Diagram respons imun non-spesifik dan spesifik sesudah


terserang mikroorganisme dari antigen.
Sumber : Buku Sistem Kekebalan Tubuh (Sudiono, 2014)

Fagositosis juga berperan dalam pertahanan imunologik. Sel fagosit


memerankan fungsi penting dalam pertahanan tubuh. Sel – sel tersebut
menyediakan peran non-spesifik seperti fagositosis dan sekresi monokin dan
enzim. Sel – sel fagosit dan NK dapat memiliki reseptor untuk Fc dari antibodi
sehingga dapat membunuh sel terinfeksi melalui mekanisme ADCC. Jika sel yang
terinfeksi virus atau jamur terbungkus oleh molekul – molekul antibodi IgG
sangat rawan terbunuh oleh sel NK yang memiliki reseptor Fc (Subowo, 2010).

2.5 Imunostimulan
Imunomodulator adalah bahan alami atau sintetis yang mengatur sistem
kekebalan tubuh dan menginduksi mekanisme sistem imun bawaan dan adaptif.
Zat ini diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu imunostimulan dan
imunosupresan (Shahbazi & Bolhassani, 2017). Imunostimulan digunakan pada
pengobatan penyakit infeksi, kanker dan penyakit imunodefisiensi (Goodman &
Gillman, 2008). Sebaliknya, zat yang berfungsi sebagai imunostimulan
kontraindikasi terhadap penyakit autoimun, reaksi hipersensitifitas dan
transplantasi organ (Hoffman, 2003).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

Imunostimulan adalah suatu zat yang dapat memperbaiki fungsi sistem


imun dengan cara merangsang sistem imun (Baratawijaya, 2014). Imunostimulan
dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai infeksi melalui
peningkatan tingkat respon imun dasar. Agen – agen ini dapat meningkatkan
aktivitas oksidatif neutrofil, menambah aktivitas menelan sel – sel fagosit dan
merangsang sel sitotoksik sebagai mekanisme pertahanan yang diperlukan
(Shahbazi & Bolhassani, 2017). Bahan imunostimulan terbagi atas dua jenis yaitu
imunostimulan yang berasal dari bahan biologis dan imunostimulan yang berasal
dari bahan sintetik (Baratawidjaja, 2014).

2.5.1 Biologis
2.5.1.1 Hormon Timus
Hormon timus ditemukan dalam darah dan kadarnya menurun pada
berbagai penyakit imun, usia lanjut atau bila organ timus diangkat. Terdapat
empat jenis hormon timus, yaitu timosin alfa, timostimulin, timopoetin dan faktor
humoral timus. Jenis hormon tersebut dapat diperoleh dari sapi dan dapat
disintesis dengan rekayasa genetika. Hormon tersebebut meningkatkan jumlah,
fungsi dan reseptor sel T dan beberapa aspek imunitas selular. Efek samping yang
dapat terjadi berupa reaksi alergi lokal atau sistemik (Baratawidjaya, 2014).
2.5.1.2 Limfokin
Limfokin atau sitokin merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh
leukosit dan sel – sel yang berkaitan dan memiliki peran penting dalam respons
imun selular. Beberapa jenis limfokin seperti IL–2 dan TNF yang diproduksi
makrofag dapat disintesis dengan rekayasa genetik (Baratawidjaya, 2014).
2.5.1.3 Interferon
Interferon terbagi atas tiga jenis, yaitu IFN-α, IFN-β, dan IFN-γ. Semua
jenis IFN dapat menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal, sel ganas
serta memodulasi sistem imun. Pada dosis tinggi IFN dapat menghambat
proliferasi sel B dan sel T sehingga menurunkan respons imun selular dan
humoral. Pada dosis rendah, IFN merangsang sistem imun dengan meningkatkan
aktivitas sel Natural Killer (NK), makrofag, sel T dan mengatur produksi
antibodi. Dalam klinik, IFN digunakan pada terapi berbagai kanker seperti
melanoma, karsinoma sel ginjal, leukemia mielostik kronik dan Kaposi’s

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

sarcoma. Efek samping yang dapat ditimbulkan pada pemberian pemberian IFN
adalah sindrom flu, emesis, diare, leukopeni, trombositopeni dan aritmia
(Nafriadi, 2012).
2.5.1.4 Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal dapat mengikat komplemen, membunuh sel tumor
manusia dan tikus pada pengujian in vivo. Antibodi monoklonal diperoleh dari
penggabungan dua sel; satu sel yang dapat membentuk antibodi dan sel lain yang
dapat hidup berkesinambungan untuk membiakan antibodi. Antibodi monoklonal
dapat memacu respons anti tumor (Baratawidjaya, 2014).
2.5.1.5 Ekstrak Leukosit
Berbagai ekstrak leukosit yaitu dialysed leukocyte extract dan transfer
factor telah digunakan dalam imunostimulasi pada penyakit kandidiasis
mukokutan kronik, koksidiodomikosis, lepra lepromatosa, tuberkulosis, vaksinia
gangrenosa (melalui transfusi leukosit) (Baratawidjaya, 2014).
2.5.1.6 Lymphokine – Activated Killer cells
Lymphocyte Activated Killer cells adalah sel T sitotoksik syngeneic yang
dihasilkan in vitro dengan menambahkan sitokin seperti IL-2 ke sel – sel
seseorang yang kemudian diinfuskan kembali. Prosedur tersebut merupakan
imunoterapi terhadap keganasan (Baratawidjaya, 2014).
2.5.1.7 Bahan Asal Bakteri dan Bahan Asal Jamur
Bahan asal bakteri imunostimulan biologis salah satunya adalah Bacillus
Calmette Guerin (BCG) yang merupakan mikobakterium bovis hidup yang
dilemahkan dan dapat mengkatifkan sel T, memperbaiki produksi limfokin dan
mengaktifkan sel NK. Bahan asal jamur dihasilkan dari berbagai bahan seperti
lentinan, krestin, glukan dan schizophyllan. Bahan – bahan tersebut dapat
meningkatkan fungsi makrofag (Baratawidjaya, 2014).
2.5.2 Sintetik
2.5.2.1 Levamisol
Levamisol adalah obat sintetis yang menginduksi limfosit B dan T,
monosit, dan makrofag. Levamisol digunakan dalam terapi ajuvan dengan 5-
fluorourasil setelah reseksi bedah pada pasien dengan stadium C kanker kolon.
Efek samping yang ditimbulkan dalam penggunaannya adalah alergi, mual, flu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

dan nyeri otot. Levamisol juga telah berhasil digunakan dalam kombinasi dengan
polimer untuk pengobatan gangguan dermatologis (Biswajit, 2014).
2.5.2.2 Isoprisonin
Isoprinosin merupakan bahan sintetis dapat meningkatkan kadar sitokin
termasuk IL-1, IL-2, dan IFN-γ. Isoprinosin meningkatkan proliferasi limfosit
terhadap rangsangan mitogenik atau antigenik. Selain itu, isoprinosin menambah
sel T yang aktif dan penanda permukaan sel T yang diinduksi pada
prothymocytes. Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi herpes simpleks,
epstein-barr dan virus campak. Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari
penggunaannya adalah depresi minor sistem syaraf pusat, mual dan peningkatan
kadar asam urat dalam serum dan urin (Patil, Jaydeokar, & Bandawane, 2012).
2.5.2.3 Thalidomide
Thalidomide dapat menurunkan sirkulasi TNF-α pada pasien dengan
eritema nodosum leprosum. Sebaliknya, thalidomide meningkatkan TNF-α pada
pasien dengan HIV-positif. Selanjutnya, efek terapeutiknya ditemukan juga pada
rheumatoid arthritis yang parah dan angiogenesis (Patil et al., 2012).
2.5.2.4 Muramil Dipeptida
Muramil dipeptida merupakan komponen aktif terkecil dari dinding sel
mikobakteri yang telah dapat disintesis. Pada pemberian oral, MDP dapat
meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Bila diberikan dengan minyak dan
antigen, MDP dapat meningkatkan respons imun selular maupun humoral. MDP
dapat diberikan dengan vaksin pengobatan tumor untuk mencegah infeksi dan
kejadian tumor berulang (Baratawidjaya, 2014).
2.5.2.5 Biological Respons Modifier (BRM)
Biologic Respons Modifier (BRM) adalah molekul dengan spektrum luas
yang dapat meningkatkan fungsi sistem imun penjamu, misalnya IFN dan TNF
untuk limfosit B, limfotoksin, MAF dan faktor kemotaktik. Terapi ini digunakan
untuk menyingkirkan infeksi atau penyakit (Baratawidjaya, 2014).
2.5.2.6 Arginin
Arginin merupakan asam amino yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen dan menunjukan fungsi imunomodulasi (Baratadwidjaya,
2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

2.5.2.7 Antioksidan
Antioksidan adalah molekul yang menghambat oksidasi molekul lain.
Reaksi oksidasi dapat menimbulkan radikal bebas yang dapat merusak atau
mematikan sel. Antioksidan mengakhiri rantai reaksi ini dengan mengeluarkan
radikal bebas intermediat dan mencegah reaksi oksidasi lain (Baratawidjaya,
2014). Antioksidan terbagi atas dua sistem yaitu sistem enzimatik dan sistem
nonenzimatik (Hoffman, 2003).

2.6 Limpa
2.6.1 Fungsi
Sistem limfatik terdiri atas organ limfoid primer dan organ limfoid
sekunder. Organ limfoid primer merupakan organ yang meproduksi komponen sel
dari sistem imun. Kelompok organ limfoid primer meliputi sumsum tulang dan
organ timus. Organ limfoid sekunder merupakan tempat dimana respon imun
terjadi. Organ limfoid sekunder terdiri dari kelenjar getah bening, tonsil dan limpa
(Kierszenbaum, A. L., Tres, L. L., 2012).

Limpa merupakan organ limfoid sekunder terbesar yang fungsi utamanya


sebagai penyaring darah. Selain itu, limpa berfungsi sebagai pendaur ulang zat
besi yang dikembalikan ke dalam susmsum tulang untuk disintesis kembali
menjadi hemoglobin. Bagian globin dari hemoglobin terdegradasi menjadi asam
amino konstitutifnya dan bagian heme termetabolisme menjadi bilirubin yang
dibuang di hati (Mebius, R.E., Kraal, G., 2005).

Struktur limpa yang memiliki jejaring atau anyaman retikular padat


memungkinkan limpa berfungsi sebagai penyaring antigen, mikroorganisme,
trombosit dan eritrosit tua atau eritrosit abnormal. Materi yang terperangkap pada
anyaman retikular limpa kemudian dibuang dari darah oleh makrofag dan sel
retikular fagositik. Limpa juga berfungsi sebagai reservoir darah karena
strukturnya yang mirip spons yang dapat menampung banyak darah yang jika
diperlukan dan dapat dikembalikan ke sistem sirkulasi (Eroschenko, 2003).

Fungsi utama limpa terletak pada sirkulasi sistemik. Oleh karena itu, limpa
memiliki banyak pembuluh limfatik. Dua bagian limpa yaitu pulpa merah dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

pulpa putih memiliki fungsi yang berbeda. Pulpa merah berfungsi sebagai
penyaring darah dan menghilangkan benda yang dianggap asing serta eritrosit
yang telah rusak. Pada hewan pengerat, pulpa merah berfungsi sebagai tempat
hematopoesis, terutama pada fetus dan neonatus. Fungsi limpa sebagai
penginisiasi respon imun yang disebabkan oleh blood – borne antigen diperankan
pada bagian pulpa putih (Cesta, 2006).

Komponen sel dari pulpa putih mirip dengan sel pada kelenjar getah
bening, kecuali bila antigen memasuki limpa dari darah bukan dari sel getah
bening. Bagian pulpa merah merupakan bagian yang menfiltrasi sel darah merah
yang telah rusak dan mikroorganisme dari sirkulasi darah. Bagian ini juga
menyimpan sel darah merah. Bakteri dapat diidentifikasi oleh makrofag pada
pulpa merah dan dimusnahkan secara langsung atau dengan melibatkan protein
komplemen yang disintesis di hati dan imunoglobulin yang diproduksi di bagian
pulpa putih (Kierszenbaum, A. L., Tres, L. L., 2012).

2.6.2 Histologi
Organ limpa berwarna merah tua higga biru kehitaman dengan bentuk
memanjang. Limpa terletak di bagian kranial abdomen kiri. Bagian terluar dari
limpa tersusun atas sel mesotelial yang umumnya tidak tampak pada pengamatan
histologi. Limpa dibungkus oleh kapsula yang tersusun atas jaringan fibroelastis
dan otot halus. Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limpa ialah trabekula
bercabang yang tersusun atas otot halus dan jaringan fibroelastis. Trabekula terdiri
atas arteri, vena, saraf, dan pembuluh limfe (Aughey, Frye, 2001). Trabekula yang
membawa pembuluh darah membentuk pulpa merah. Trabekula yang terpotong
melintang terlihat bulat dan nodular. Limpa tidak memiliki korteks dan medula,
tetapi bagian stroma pada limpa terdiri atas jejaring retikular.

Bagian arteri limpa memasuki hilum lalu terhubung dengan arteri


trabekular. Arteri yang meninggalkan daerah trabekular membentuk
Periarterioral Lymphoid Sheath (PALS) dan mempenetrasi limfonodulus (bagian
pulpa putih). Limpa ditandai dengan sejumlah agregat limfonodulus.
Limfonodulus memiliki pusat germinal; jumlah secara progresif berkurang seiring
dengan pertambahan usia. Pulpa putih terdiri atas 3 sub kompartemen yaitu:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

Periarterioral Lymphoid Sheath (PALS), folikel dan zona marginalis (Cesta,


2006). Gambar 2.3 menunjukan bagian parenkim limpa tikus. Tabel 2.2
menunjukan resume fungsi dari kompartemen histologi limpa.

Gambar 2.3 Gambaran Histologik Pulpa Putih Tikus Normal


Sumber : (Cesta, 2012)

Arteri sentralis melewati setiap limfonodulus. Arteri sentralis merupakan


percabangan dari arteri trabekula yang mendapat selubung jaringan limfatik saat
meninggalkan trabekula. Arteri sentralis meninggalkan pulpa putih menjadi arteri
penisilar. Bagian penisilar arteri berakhir sebagai macrophage – sheated
cappilaries. Bagian terminal ini dapat terhubung langsung dengan bagian sinusoid
limpa (sirkulasi tertutup) atau engan bagian pembuluh terbuka – tertutup di dalam
pulpa merah (sirkulasi terbuka). Pulpa merah mengandung mengandung arteri
pulpa, sinus vernosus dam korda limpa (Billborth) (Kierszenbaum, A. L., Tres, L.
L., 2012).

Diatara pulpa merah dan pulpa putih terdapat zona marginal sinus yang
menerima arteriol radial dari arteri sentral atau arteriol. Zona marginal sinus
terhubung pada sinusoid kecil yang berlokasi pada bagian terluar zona marginal.
Pada bagian zona marginal, darah terhubung dengan jaringan parenkim yang
mengandung makrofag fagositik dan APC. Sel T dan Sel B memasuki limpa dan
disegregasikan di bagian spesifik pada limpa (Kierszenbaum, A. L., Tres, L. L.,
2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Tabel 2.2 Resume fungsi kompartemen histologi organ limpa

Bagian Limpa Deskripsi Fungsi / Komposisi


Pulpa Putih
Area Sel T Area limfosit – limfosit Predominan limfosit CD4
berukuran kecil dimana
terdapat pembuluh limfe yang
mengelilingi arteri
Folikel Sel B Area bentuk bundar/lonjong Memproduksi sel IgG
tempat limfosit berukuran dan sel memori
kecil yang dikelilingi oleh
limfosit berukuran sedang
(pusat germinal biasanya ada
pada daerah ini)
Zona Perifollicular Area di antara zona pulpa Tempat aliran darah
putih dan pulpa merah yang berinteraksi dengan sel
mengandung banyak eritrosit darah, sel – sel lain,
dan sedikit struktur sinusoidal antigen dan antibodi.
pulpa merah
Pulpa Merah
Sinus / cord tissue Jaringan yang terdapat Menghilangkan partikel
with sheathed jaringan jejaring dari sel darah. Tempat
cappilaries bertemunya antigen baru
dengan sel reticular
Nonfiltering Area Area pulpa merah dengan Kemungkinan tempat
sedikit kapiler dan terdapat terjadinya reaksi imun
limfosit
Tepi perivaskular Area kecil pada sepanjang Terhubung dengan
cabang – cabang pembuluh limfatik
yang mengandung limfosit
dan sel plasma

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilakukan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Februari
hingga bulan Agustus 2019. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengembangan
Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Kawasan Puspitek Serpong.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat

Alat gelas (Labu Erlenmeyer, Gelas Ukur, Labu Ukur, Lumpang, Alu,
Tabung Reaksi, Corong, Cawan Penguap dan Batang Pengaduk), Tanur (Furnace
1400), Titrator Karl Fischer, Moisture Analyzer, Oven (Memmert), Desikator,
Lemari Asam, Spektrofotometer (Helios), Kuvet, Vortex (VELP Scientica),
Sonikator (Elmasonic S15), kelengkapan hewan uji (Sonde Oral, Kandang Hewan
Uji dan Tempat Pakan), Sentrifus (Hettich Micro 22), Sentrifus Besar (Universal
320 R), Pipa Kapiler, Syringe, Hemasitometer (Nebauer), Timbangan Analitik
(Radwag), Microplate 96 (Costar), Mikropipet (Eppendorf), alat bedah hewan uji
(Papan Bedah, Pisau Bedah, Gunting Bedah, Pins dan Pinset), alat fiksasi limpa
(Cawan Petri, Pinset, Pot Plastik dan Kertas Saring) dan alat pengamatan
histopatologi limpa (Mikroskop Cahaya (Zeiss) yang terhubung Kamera (Zeiss
Axiocam), Kaca Objek dan Cover Glass).

3.2.2 Bahan
3.2.2.1 Tanaman Uji

Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba meniran dan
rimpang temu hitam. Tanaman temu hitam diperoleh dari koleksi kebun Djamoe
Organik Martha Tilaar, Cikarang. Tanaman meniran diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO), Bogor.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

3.2.2.2 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan antara lain adalah kombinasi fraksi air ekstrak
etanol meniran dan ekstrak etanol rimpang temu hitam (FMTH) yang diperoleh
dari Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika
(LAPTIAB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong,
sediaan meniran komersil, Sel Darah Merah Domba (SDMD) yang diperoleh dari
darah domba (Ovis aries) yang dimiliki oleh Pusat Teknologi Produksi Pertanian
(PTPP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Serpong, Na – CMC
0,5% (Natrium Karboksil Metil Selulosa), NaCl 0,9% (Natrium Klorida) dan
larutan alsever.

Bahan kimia yang digunakan antara lain aquadest destilata, pereaksi dalam
penapisan fitokimia: Amoniak 30%, HCl 2% (asam klorida), kloroform, pereaksi
Mayer, pereaksi Dragendorff, eter, pereaksi Liebermann-Bouchard, Asam Asetat
Anhidrat, Asam Sulfat Pekat, FeCl3 1%, Serbuk Magnesium, HCl 25% (asam
klorida) dan amilalkohol, pereaksi dalam analisis kadar total flavonoid dan
fenolik: metanol, AlCl 3% (alumunium klorida), CH3COOK 1 M (kalium asetat),
Folin Ciocalteu 1% dan Na2CO3 6% (Natrium Karbonat), pereaksi dalam
penetapan parameter spesifik dan nonspesifik sampel: pereaksi Karl Fischer dan
HCl 10% (asam klorida), BNF 10% (Buffer Neutral Formaline), etanol 70%,
etanol 85%, etanol 95%, etanol 100%, xylol dan pewarna Hematoksilin – Eosin.

3.2.2.3 Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur Sprague – Dawley sehat yang diperoleh dari Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM), Jakarta. Ethical Clearance diperoleh dari Komite Etik FKUI-
RSCM Salemba.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen hewan coba menggunakan rancangan


acak lengkap (RAL). Penelitian ini menggunakan tiga puluh ekor tikus. Tikus
diacak menjadi 6 kelompok perlakuan dengan jumlah pengulangan berdasarkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

rumus federer yang dapat dilihat pada Lampiran 1 (Federer W, 1991). Sebanyak
tiga puluh ekor tikus dibagi ke dalam 6 kelompok yaitu: kelompok kontrol normal
(N), kelompok kontrol positif (KP), kelompok kontrol negatif (KN), kelompok
FTMH 1 dosis 10mg/kgBB, kelompok FMTH 2 dosis 20mg/kgBB dan kelompok
FMTH 3 dosis 40mg/kgBB (n=5).

Gambar 3.1 Alur Waktu Penelitian


Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri atas determinasi tanaman uji,
penyiapan kombinasi fraksi herba meniran dan ekstrak rimpang temu hitam,
penapisan fitokimia, penetapan parameter spesifik dan nonspesifik kombinasi
fraksi meniran dan ekstrak temu hitam, aklimatisasi hewan uji, penimbangan berat
badan hewan uji, pemberian kombinasi fraksi meniran dan ekstrak temu hitam
secara oral, imunisasi antigen SDMD secara intraperitoneal, pengambilan darah
dan isolasi serum hewan uji, pengujian titer antibodi, isolasi limpa, pembuatan
preparat histologi limpa dan analisis histopatologi limpa.

Alur penelitian in vivo dimulai dengan mengadaptasi tikus selama dua


minggu dengan lingkungan baru. Selama 14 hari berikutnya, tikus kontrol dosis
FMTH diberikan kombinasi FMTH berdasarkan dosis yang telah ditentukan.
Kelompok kontrol positif diberikan perlakuan sediaan meniran komersil
berdasarkan dosis yang telah ditentukan. Sedangkan, kelompok kontrol normal
dan kelompok kontrol negatif hanya diberikan Na – CMC 0,5%.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

Pada hari ke – 7, ke – 9 dan ke – 12, tikus kelompok kontrol negatif,


kontrol positif dan kontrol dosis FMTH diimunisasi dengan SDMD yang
diadministrasikan secara intraperitonial. Sedangkan, kelompok kontrol normal
hanya diinjeksikan dengan larutan NaCl 0,9% (Natrium Klorida). Pada saat
imunisasi perlakuan terhadap setiap dengan sediaan meniran komersil dan
kombinasi FMTH tetap diberikan.

Pada hari ke – 14 dilakukan pengambilan darah tikus untuk memanfaatkan


serum darah tikus sebagai bahan uji titer antibodi. Uji titer antibodi dilakukan
dengan metode hemaaglutinasi direk. Darah hewan uji diambil melalui sinus
orbital mata kanan atau kiri sebanyak ± 2 mL. Sesudah pengambilan darah, semua
tikus pada masing – masing kelompok dikorbankan dengan metode dislokasi leher
lalu tikus dibedah untuk mengisolasi organ limpa. Organ limpa yang telah
diisolasi kemudian ditimbang dan difiksasi untuk dibuat preparat histologi.
Pembuatan preparat limpa dilakukan dengan dengan metode pewarnaan
Hematoksilin – Eosin (HE) yang dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner
(BBLITVET), Bogor. Penilaian histopatologi limpa diukur berdasarkan diameter
pulpa putih, tebal zona marginalis dan diameter pusat germinal yang diamati pada
mikroskop cahaya.

3.4 Prosedur Kerja


3.4.1 Determinasi Tanaman

Sebelum dilakukan penelitian, herba meniran dan rimpang temu hitam


dideterminasi terlebih dahulu di Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan
Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – LIPI Bogor.

3.4.2 Kombinasi Fraksi Air Meniran dan Ekstrak Temu Hitam

Kombinasi fraksi air ekstrak etanol herba meniran dan ekstrak rimpang
temu hitam didapatkan dari Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri
Agro dan Biomedika (LAPTIAB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) Serpong.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

3.4.3 Penapisan Fitokimia


1. Alkaloid

Sejumlah 200 mg sampel ditambahkan dengan 5 ml amoniak 30% lalu


digerus di dalam lumpang, kemudian ditambahkan 20 ml kloroform dan digerus
kembali dengan kuat. Campuran tersebut disaring dengan kertas saring, filtrat
berupa larutan organik diambil (sebagai larutan A). Sebagian larutan A diekstraksi
dengan 10 ml HCl 2% 1:10 dengan pengocokan pada tabung reaksi dan diambil
larutan bagian atas (sebagai larutan B). Larutan A diteteskan pada kertas saring
kemudian ditambahkan pereaksi Dragendorff, terbentuknya warna merah atau
jingga pada kertas saring menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid.
Larutan B dibagi dalam dua tabung reaksi, masing-masing ditambahkan pereaksi
Dragendorff dan Mayer. Terbentuknya warna merah bata dengan pereaksi
Dragendorff dan endapan putih dengan pereaksi Mayer menunjukkan adanya
alkaloid (Rosidah et al, 2012).

2. Flavonoid

Sejumlah 200 mg sampel dimasukan ke dalam tabung reaksi dan


ditambahkan 10 ml air panas lalu didihkan selama 5 menit, kemudian disaring
menggunakan kertas saring. Sejumlah 5 ml larutan filtrat ditambahkan serbuk
magnesium dan 1 ml HCl 25%. Selanjutnya, ditambahkan 5 ml amil alkohol lalu
dikocok dengan kuat dan biarkan 2 fase memisah. Terbentuknya warna dalam
amil alkohol menujukkan adanya senyawa flavonoid (Rosidah et al, 2012)

3. Saponin

Sebanyak 200 mg sampel uji dimasukan ke dalam tabung reaksi lalu


ditambahkan 10 mL air panas lalu didinginkan dan dikocok kuat selama 10 detik.
Terbentuknya buih yang mantap selama tidak kurang 10 menit setinggi 1 – 10 cm
menunjukan adanya kandungan saponin. Pada penambahan HCl 2N buih tidak
akan hilang (Depkes RI, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

4. Polifenol
Sebanyak 200 mg sampel uji dimasukan ke dalam tabung reaksi lalu
ditambahkan dengan 1 mL larutan FeCl3 10%. Jika terbentuk warna biru tua, biru
kehitaman atau hitam kehijauan menunjukkan adanya senyawa polifenol dan tanin
(Robinson, 1995; Jones dan Kinghorn, 2006).

5. Steroid dan Triterpenoid


Sebanyak 200 mg sampel uji dilarutkan di dalam 20 ml eter selama 2 jam
lalu disaring dan diambil filtratnya sebanyak 5 ml. kemudian, filtrat diuapkan lalu
ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi
Lieberman – Burchard). Jika terbentuk warna hijau atau merah menunjukkan
adanya senyawa golongan steroid dan diterpenoid (Rosidah et al, 2012).

6. Minyak Atsiri
Sejumlah 200 mg sampel uji ditambahkan 10 mL petroleum eter dan
dipasang corong glass (yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air)
pada mulut tabung, dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air. Kemudian
didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh, diuapkan pada cawan penguap.
Residu dilarutkan dengan 5 mL alkohol dan disaring. Filtrat yang diperoleh,
diuapkan pada cawan penguap. Hasil positif adanya minyak atsiri ditandai dengan
residu yang berbau aromatic (Depkes RI, 1995).

3.4.4 Penentuan Parameter Spesifik dan Nonspesifik


3.4.4.1 Parameter Spesifik
1. Identitas Ekstrak
Dideskripsikan tata nama yang meliputi (Depkes, 2000) :

 nama ekstrak (generik, dagang, paten)


 nama latin tumbuhan (sistematika botani)
 bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsbg)
 nama Indonesia tumbuhan
 senyawa identitas ekstrak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

2. Organoleptis
Penentuan parameter ekstrak dengan menggunakan panca indera yang
mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa.

3. Kadar Sari Larut Air


Sejumlah ± 5 gram ekstrak ditimbang, dimaserasi selama 24 jam dengan
100 mL air-kloroform LP, menggunakan labu bersumbat kaca sambil berkali –
kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam.
Kemudian disaring, dipipet sejumlah 20,0 mL filtrat dan diuapkan hingga kering
dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara sebelumnya. Residu
dipanaskan pada suhu 105℃ hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut air,
dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes,
2000).

4. Kadar Sari Larut Etanol


Sejumlah ± 5 gram ekstrak ditimbang, dimaserasi selama 24 jam dengan
100 mL etanol 96%, menggunakan labu bersumbat kaca sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian
disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol, dipipet sejumlah 20,0 mL
filtrat dan diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah
ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105℃ hingga bobot tetap. Kadar sari yang
larut dalam etanol, dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan
di udara (Depkes, 2000).

5. Analisis Kadar Total Flavonoid


Sampel uji dilarutkan di dalam metanol dengan konsentrasi 20.000 μg/ml.
Sebanyak 250 μl sampel ditambahkan ke dalam kuvet dengan penambahan 750 μl
metanol, kemudian di tambahkan 50 μl AlCl3 10% dan 50 µL perekasi
CH3COOK 1 M. Sampel dihomogenkan dan diinkubasi selama 30 menit pada
suhu ruang. Absorbansi masing – masing larutan standar dan larutan sampel
dibaca pada panjang gelombang 425 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Kadar flavonoid total dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier dari
kurva kalibrasi kuersetin yang telah diukur sebelumnya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

6. Analisis Kadar Total Fenolik


Sampel uji dilarutkan di dalam metanol dengan konsentrasi 1000 μg/ml.
Sebanyak 200 μl sampel ditambahkan ke dalam kuvet dengan penambahan 750 μl
Pereaksi Folin Ciocalteu 1% dan diinkubasi selama 5 menit. Kemudian
ditambahkan 750 μL Na2CO3 6% dan diinkubasi selama 60 menit. Absorbansi
masing – masing larutan standar asam galat dan larutan sampel dibaca pada
panjang gelombang 725 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Kadar
fenolik total dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier dari kurva
kalibrasi asam galat yang telah diukur sebelumnya.

3.4.4.2 Parameter Nonspesifik


1. Kadar Abu Total
Sebanyak ±500 mg sampel uji yang telah digerus dan ditimbang seksama,
dimasukkan dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara. Dipijarkan
perlahan-lahan hingga arang habis lalu diinginkan di desikator dan ditimbang. Jika
dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas lalu saring
melalui kertas saring bebas abu dalam krus yang sama. Filtrat dimasukan ke
dalam krus, diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap lalu ditimbang (Depkes,
2000). Perhitungan yang digunakan sebagai berikut :

𝑾𝟐−𝑾𝟎
% Kadar Abu Total = 𝑾𝟏−𝑾𝟎 𝒙 𝟏𝟎𝟎

W0 = Berat Krus Kosong (g)


W1 = Berat Krus + Sampel (g)
W2 = Berat Krus + Hasil Pemijaran (g)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

2. Kadar Abu Tidak Larut Asam


Abu yang sebelumnya telah diperoleh pada penetapan kadar abu total,
didihkan dengan 25 mL asam sulfat encer selama 5 menit. Dikumpulkan bagian
yang tidak larut dalam asam melalui penyariingan dengan kertas saring bebas abu.
Dicuci dengan air panas kembali dan dipijarkan hingga bobot tetap kemudian
ditimbang (Depkes, 2000).

𝑾𝟐−𝑾𝟎
% Kadar Abu Tidak Larut Asam = 𝒙 𝟏𝟎𝟎
𝑾𝟏−𝑾𝟎

W0 = Berat Krus Kosong (g)

W1 = Berat Krus + Sampel (g)

W2 = Berat Krus + Hasil Pemijaran (g)

3. Susut Pengeringan
Ditimbang sampel uji secara seksama sebanyak ±200 mg dan dimasukkan
ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada
suhu 105 ºC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang ekstrak
diratakan dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol hingga terbentuk
lapisan tipis. Kemudian dimasukkan kedalam eksikator dalam keadaan tutup
terbuka, dikeringkan pada suhu 105 ºC hingga bobot tetap. Sebelum setiap
pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator
hingga suhu kamar. Dikeringkan kembali hingga bobot tetap (Depkes, 2000).

4. Kadar Air
Sejumlah ±500 mg sampel uji ditetapkan kadar airnya dengan
menggunakan metode titrimeter karl fischer. Prinsip penetapannya yaitu sampel
dititrasi dengan larutan iodine dalam methanol. Reagen lain yang digunakan
adalah sulfur dioksida dan piridin. Rasio mutlak antara air dengan iod adalah 1:1
(titik akhir titrasi), sekali konsenterasi iod dalam pereaksi karl fischer ditetapkan,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

konsentrasi iod dalam peaksi fischer ditetapkan, konsentrasi air dalam contoh
dapat ditetapkan secara elektrometrik (Gangga, Purwati, & Farida, 2017).

5. Cemaran Logam Berat


5 seri konsentrasi kurva baku timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dibaca
dengan spektrometer serapan atom pada panjang gelombang 217,0 nm untuk
timbal (Pb) dan 228,8 nm untuk kadmium (Cd). Lampu yang digunakan adalah
BGC-D2 dan volume yang diinjeksikan sebesar 20 μL. Kemudian dihitung
persamaan regresi liniernya. Sampel yang diujikan, dibaca dengan spektrometer
serapan atom pada panjang gelombang 217,0 nm untuk timbal (Pb) dan 228,8 nm
untuk kadmium (Cd). Nilai absorbansi yang diperoleh dimasukkan ke dalam
persamaan regresi linear pada kurva baku masing-masing logam dan diperoleh
hasil kadar cemaran logam (ppm). Dilakukan replikasi minimal 3 kali (Hanwar,
Dedi., et al, 2018).

6. Cemaran Mikroba
Percobaan dilakukan dengan metode media agar padat (Angka Lempeng
Total dan Angka Kapang Khamir) dengan cara disiapkan 5 tabung reaksi yang
masing-masing berisi 9 mL pengencer larutan dapar fosfat. Dari hasil
homogenisasi pada penyiapan contoh dipipet 1 mL pengenceran 10-1 ke dalam
tabung pertama hingga diperoleh pengenceran 10-2 dan dihomogenkan, lakukan
prosedur yang sama hingga pengenceran 10-6. Dari setiap pengenceran dipipet 1
mL ke dalam cawan petri dan dibuat triplo. Ke dalam cawan petri dituang 15-20
mL Nutrient Agar cair (45±1 oC) untuk angka lempeng total dan 15-20 mL Potato
Dextrose Agar cair (45±1 oC) untuk angka kapang kamir, lalu dihomogenkan.
Dibiarkan memadat pada suhu ruangan, kemudian diinkubasi pada suhu 35oC -
37oC untuk media Nutrient Agar selama 24 - 48 jam dan 25oC untuk media Potato
Dextrose Agar selama 1-7 hari (Gangga, et al 2017).

3.4.5 Persiapan Hewan Uji


Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus (Rattus norvegicus) jantan
galur Sprague – Dawley yang sehat secara fisik dengan ditandai bulu tidak berdiri,
warna putih bersih, mata jernih, tinja tidak lembek, tingkah laku normal dan aktif.
Tikus diaklimatisasi selama empat belas hari sebelum diberi perlakuan dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

tujuan untuk mengadaptasi hewan coba dengan lingkungan baru dan memperkecil
pengaruh stress terhadap metabolisme yang dapat mengganggu hasil pengamatan.
Hewan coba di tempatkan pada kandang yang diisi 6 ekor dengan suhu ruangan
20 – 26oC (Air Conditioner), kelembaban udara (Rh) 60 – 70% dengan perlakuan
12 jam gelap dan terang dengan bebas akses makanan dan minum (Rahman,
2016).

3.4.6 Pengelompokan Hewan Uji


Perlakuan yang diberikan terdiri dari kelompok sebagai berikut :

Tabel 3.1 Kelompok Hewan Uji

Kelompok Perlakuan Antigen


Kontrol
Normal (N) CMC-Na 0,5% Larutan NaCl 0,9%

Kontrol CMC-Na 0,5% Sel Darah Merah


Negatif (KN) Domba (SDMD)

Kontrol Sediaan Meniran Komersil Sel Darah Merah


Positif (KP) Domba (SDMD)
Sampel Kombinasi Fraksi
Dosis 1 Meniran dan Ekstrak Temu Sel Darah Merah
(FMTH 1) Hitam 10 mg/kgBB Domba (SDMD)
Sampel Kombinasi Fraksi
Dosis 2 Meniran dan Ekstrak Temu Sel Darah Merah
(FMTH 2) Hitam 20 mg/kgBB Domba (SDMD)
Sampel Kombinasi Fraksi
Dosis 3 Meniran dan Ekstrak Temu Sel Darah Merah
(FMTH 3) Hitam 40 mg/kgBB Domba (SDMD)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

1. Kelompok kontrol normal (N) merupakan kelompok yang diberikan Na –


CMC 0,5% dan diinjeksi dengan larutan NaCl 0,9%.
2. Kelompok kontrol negatif (KN) merupakan kelompok pembanding negatif
yang diberikan Na – CMC 0,5% dan diimunisasi dengan SDMD.
3. Kelompok kontrol positif (KP) merupakan kelompok pembanding positif yang
diberikan sediaan meniran komersil 4,5 mg/kgBB dan diimunisasi dengan
SDMD.
4. Kelompok dosis 1 (FMTH 1) adalah kelompok yang diberi perlakuan dosis 10
mg/kgBB kombinasi fraksi air meniran dan ekstrak temu hitam yang
diimunisasi dengan SDMD.
5. Kelompok dosis 2 (FMTH 2) adalah kelompok yang diberi perlakuan dosis 20
mg/kgBB kombinasi fraksi air meniran dan ekstrak temu hitam yang
diimunisasi dengan SDMD.
6. Kelompok dosis 3 (FMTH 3) adalah kelompok yang diberi perlakuan dosis 40
mg/kgBB kombinasi fraksi air meniran dan ekstrak temu hitam yang
diimunisasi dengan SDMD.
3.4.7 Pembuatan Antigen Sel Darah Merah Domba
Darah diambil dari vena jugularis domba (Ovis aries). Darah segar yang
didapat kemudian ditambahkan dengan larutan Alsever yang berfungsi sebagai
antikoagulan. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4oC
selama 15 menit. Sel darah merah domba yang didapat kemudian dicuci dengan
larutan NaCl 0,9% sebanyak 3 kali pencucian menggunakan sentrifus (Ladics,
2006). SDMD dibuat konsentrasi 2% sebagai bahan untuk uji hemaaglutinasi
(Bekierkunst et al, 1971).

3.4.8 Imunisasi Sel Darah Merah Domba


Imunisasi antigen SDMD dilakukan pada hari ke – 7, 9 dan 12. Imunisasi
dilakukan melalui rute intraperitoneal. Jumlah SDMD yang harus diinjeksikan ± 4
x 108 sel/mL. Penghitungan jumlah sel dilakukan menggunakan hemasitometer
(Ladics, 2006).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

3.4.9 Penimbangan Berat Badan Tikus


Penimbangan dilakukan selama penelitian berlangsung. Hal ini bertujuan
untuk melihat pengaruh kombinasi ekstrak temu hitam dan fraksi herba meniran
terhadap metabolisme hewan uji.

3.4.10 Pengambilan Darah dan Isolasi Serum Hewan Uji


Pada hari ke – 14, sampel darah diambil melalui sinus orbital mata kanan
atau kiri sebanyak ± 2 mL. Darah ditampung ke dalam tube lalu disentrifugasi
pada kecepatan 3000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit, kemudian plasma
dipindahkan ke tabung baru. Lapisan atas yang jernih (serum) diambil dengan
mikropipet dipisahkan dengan plasma.

3.4.11 Isolasi Limpa


Tikus dikorbankan dengan cara dislokasi leher (cervical dislocation) dan
diambil organ limpa yang berwarna merah kehitaman yang berlokasi di bagian
abdomen kiri tikus. Organ limpa ditimbang terlebih dahulu dengan timbangan
analitik, kemudian direndam dengan larutan BNF 10%. Pembuatan preparat
histologi limpa dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLITVET),
Bogor.

3.4.12 Analisis Histologi Limpa


Limpa yang telah direndam BNF 10%, dideparafinasi dan dipotong
menjadi preparat yang tipis lalu diberi pewarna Hematoksilin - Eosin (HE) (Fukui
et al., 2013). Sediaan diperiksa menggunakan mikroskop cahaya untuk melihat
gambaran histologi jaringan limpa tikus. Bagian jaringan limpa yang diamati
adalah diameter pulpa putih, tebal zona marginalis dan diameter pusat germinal.
Analisis juga dilakukan pada jumlah pulpa putih di dalam satu irisan preparat
limpa. Pengukuran dilakukan di bawah mikroskop pada perbesaran 100x.
Pengukuran diameter pulpa putih dan pusat germinal ditentukan dari hasil
pengukuran diameter terpanjang bagian terukur dan diameter terpendek dibagi dua
menggunakan perangkat lunak Zeiss Imaging for Windows.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

3.4.13 Pengujian Titer Antibodi Hewan Uji

Bagan prosedur kerja titer antibodi dengan metode hemaaglutinasi direk:

Sumur – sumur pada mikroplat Ditambahkan 25 µL NaCl kedalam


garis horizontal diberi label sumur nomor 2 – 8
sesuai tingkat pengenceran

25 µL serum dari sumur nomor 1 Ditambahkan 50 µL serum darah


ditambahkan ke dalam sumur nomor tikus ke dalam sumur nomor 1
2 lalu dihomogenkan

Dilakukan pengenceran seperti point 4 sampai sumur nomor 8 sehingga didapatkan 8


seri pengenceran dengan secara double dilution 1, ½, ¼, 1/8, 1/16, 1/32, 1/64, 1/128
kali

Ditambahkan SDMD 2% sebanyak 25 µL ke dalam sumur nomor 1 – 8, kemudian


dihomogenkan lalu mikroplat diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam

Dilakukan pengamatan pengenceran tertinggi dan serum darah tikus jantan yang
masih dapat mengaglutinasi sel darah merah domba (Mukhriani, et al 2015).

Angka hasil pembacaan titer yang berupa deret ukur dikonversikan ke


dalam deret hitung dengan rumus sebagai berikut :

2 Log (titer) + 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

3.5 Alur Penelitian


Determinasi Tanaman

Ekstraksi dan Fraksinasi


Standarisasi Kombinasi
Fraksi Ai Meniran dan
Didapatkan Kombinasi Fraksi Air Meniran dan Ekstrak
Ekstrak Temu Hitam
Etanol Rimpang Temu Hitam

Alur In Vivo Penapisan Fitokimia

Didapatkan Tiga Puluh Ekor Tikus Jantan Galur Sprague


– Dawley dari BPOM, Jakarta.

Pengelompokan Tikus
Aklimatitasi selama 2 minggu
Menjadi 6 Kelompok Secara
Acak (5 ekor/kelompok)

Kelompok Perlakuan Dosis

Positif (KP) Normal (N)

FMTH 1 FMTH 2 FMTH 3 Negatif (KN)


KN(KN)

Pemberian Na
Pemberian Dosis 1 : 10 mg/kgBB; Dosis 2 : 20 Pemberian Meniran CMC 0,5%
mg/kgBB; Dosis 3 : 40 mg/kgBB selama14 hari Komersil selama 14 hari selama 14 hari

Imunisasi
Imunisasi SDMD dengan rute Intraperitoneal pada hari ke - 7, 9 dan 12 NaCl 0,9%

Pengambilan Darah dari Sinus Orbital dan Isolasi Serum Pada Hari ke 14

Pembedahan dan
Isolasi Limpa pada Penimbangan Pembuatan Preparat Pengujian
hari ke 14 Organ Limpa Histologi Limpa Titer Antibodi

Pengamatan
Histologi

Analisis Data

tata

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

3.6 Analisis Data

Data pengamatan titer antibodi dan histopatologi limpa diolah dengan


menggunakan perangkat lunak SPSS versi 25.0 for Windows. Data dianalisis
statistik melalui uji normalitas (Saphiro – Wilk) dan uji homogenitas (Lavene).
Jika keduannya memenuhi syarat, maka dilanjutkan dengan uji parametrik
ANOVA (Analysis Of Variance) satu jalur. Jika terdapat perbedaan signifikan,
maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil. Jika data tidak terdistribusi
normal, maka dilanjutkan dengan uji non – parametrik metode Kruskall – Wallis
untuk menentukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan. Jika
terdapat perbedaan signifikan pada setiap kelompok terhadap parameter uji, maka
dilanjutkan dengan uji post hoc metode Mann – Whitney untuk melihat
perbandingan antar kelompok perlakuan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai