Pemeriksaan Sistem Persyarafan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

1

PANDUAN SKIL LAB


KEPERAWATAN DEWASA SISTEM MUSKULOSKELETAL
INTEGUMEN PERSARAFAN, PERSEPSI SENSORI DAN
PERSARAFAN

PEMERIKSAAN SISTEM PERSYARAFAN

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU 2023
2

PEMERIKSAAN SISTEM PERSYARAFAN


A. Pendahuluan
Pemeriksaan sistem neurologi memerlukan kemampuan dan pemahaman yang
benar terhadap fungsi dari masing-masing bagian dalam sistem saraf. Pengkajian
sistem persyarafan semestinya dilakukan secara sistematis, logis dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi pasien. Pengkajian sistem
persyarafan meliputi pengkajian keluhan utama dan dilanjukan dengan
pemeriksaan fisik terkait.

Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan instruksional umum
Setelah mengikuti skill lab ini mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada
pada pasien dengan gangguan system neurologi.

2. Tujuan instruksional khusus


1) Mampu melakukan anamnesis keluhan utama
2) Mampu melakukan pengkajian kesadaran
3) Mampu melakukan pemeriksaan rangsang meningeal
4) Mampu melakukan pemeriksaan saraf kranial

B. Alat dan Bahan


Pemeriksaan fisik pada sistem persyarafan diperlukan beberapa alat yang akan
digunakan untuk memeriksa yang tentunya akan menentukan keakuratan dari
pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
1. Garpu tala
2. Kapas dan lidi kapas
3. Penlight atau senter kecil
4. Jarum pentul
5. Spatel tongue
6. 2 tabung berisi air panas dan air dingin
7. Bahan-bahan yang beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum, minyak
kayu putih
8. Bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula atau cuka
9. Baju periksa
10. Sarung tangan

C. Landasan Teori
1. Keluhan utama
1) Gangguan vaskuler
Gannguan vaskuler dapat berupa stroke baik iskemik dan hemoragik.
Pada kasus ini akan terdapat karakteristik berupa kelumpuhan anggota
badan sebelah (hemiparesis/ hemiplegi). Gejala klinis tersebut dapat
disertai dengan mual, muntah, kejang, afasia, disartria, disfagia dan
3

penurunan kesadaran. Gejala ini timbul akibat adanya permasalahan pada


pusat kordinasi yaitu di otak. Keluhan yang timbul tergantung dari besar
lesi dan letak lesi yang terjadi pada otak. Semakin besar lesi makan gejala
klinis yang tampak akan semakin jelas dan banyak, demikian juga letak
lesi pada bagian batang otak akan lebih berbahaya jika dibandingkan
dengan letak lesi yang terjadi di korteks serebri.
2) Trauma kepala dan medulla spinalis
Trama kepala dan medulla spinalis gejala klinis yang sering dijumpai
adalah penurunan kesadaran. Hal ini diakibatkan oleh adanya gangguan
pada pusat kesadaran (Reticullar Activating System) di batang otak dan
korteks serebri. Selain penurunan kesadaran gejala klinis lain yang
menyertai dapat berupa nyeri kepala, mual, muntah, periode amnesia.
3) Space occupying lesion (SOL)
Keluhan utama pada gangguan neurologi akibat Space occupying lesion
(SOL) berupa sakit kepala yang makin lama makin progresif. Sakit
kepala ini diakibatkan karena adanya peningkatan tekanan intra kranial
akibat desakan dari SOL tersebut. Sakit kepala biasanya terjadi
puncaknya pada saat bangun tidur akibat adanya akumulasi CO2 salama
fase istirahat pada malam hari yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh
darah serebral yang akan meningkatan tekanan intrakranial. Gejala lain
yang menyertai dapat berupa kehilangan keseimbangan, gejala tekanan
intrakranial yang lain berupa mual, muntah, gangguan penglihatan.
4) Infeksi (meningitis, ensefalitis, vasculitis)
Keluhan utama pada pansien dengan infeksi sistem neurologi dapat
dijumpai berupa riwayat demam, sakit kepala dan kaku kuduk. Gejala
demam muncul akibat adanya mikroorgranisme yang masuk dalam
sirkulasi darah dan merangsang sistem imunologi melakukan mekanisme
pertahanan. Sakit kepala muncul akibat adanya peningkatan tekanan
intrakranial akibat inflamasi. Sedangkan kaku kuduk diakibatkan adanya
iritasi pada lapisan pelindung otak (meningen).

2. Pengkajian Tingkat Kesadaran


1) Pengkajian tingkat kesadaran
Pengkajian tingkat kesadaran dapat dilakukan dengan menggunakan
stimulus. Urutan stimulus yang dilakukan yaitu: panggil klien dengan
namanya, panggil namanya dengan keras, - kombinasikan panggil
namanya dengan sentuhan ringan kombinasikan panggil namanya
dengan sentuhan kasar (guncangan atau kejutan), berikan rangsang nyeri.
2) Tingkat Kesadaran
Adapun tingkat kesadaran secara kualitatif yang biasa digunakan adalah:
a. Compos mentis: normal, sadar penuh akan sekeliling, orientasi baik
terhadap orang, tempat, waktu
b. Apatis: Pasien sadar penuh tapi kurang berespon dengan
lingkungan sekitar
4

c. Somnolen/Letargi: mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah


sederhana ketika dirangsang
d. Stupor: diam, kelihatan tidur, sulit dibangunkan, dapat mengikuti
perintah sederhana atau bicara satu kata/frase pendek, memberi
respon terhadap rangsang nyeri, terganggu oleh cahaya, terganggu
oleh rangsang suara yang keras
e. Sporokoma: tidak mengikuti perintah atau inkoheren, bergerak
ketika dirangsang
f. Koma: tidak sadar, tidak ada respon terhadap rangsang nyeri atau
verbal, Refleks masih ada : muntah, lutut, kornea.

Beberapa bukus teks kesehatan menganjurkan untuk tidak


menggunakan istilah-istilah seperti diatas, karena mungkin bisa
menimbulkan interpretasi yang berbeda antar tenaga kesehatan dalam
menilai kondisi pasien. Untuk itu, dapat digunakan juga pemeriksaan lain,
terutama pada kasus cedera kepala lebih sering digunakan pengkajian
kesadaran secara kuantitatif berupa Glasgow Coma Scale (GCS), dengan
menggunakan tiga parameter respon terhadap rangsangan, yaitu
membuka mata, respon motorik, dan verbal.

Respon Mata (E): Nilai


Membuka mata secara spontan 4
Membuka mata bila dipanggil atau diperintah 3
Membuka mata bila diberi rangsang nyeri 2
Mata tidak membuka terhadap rangsangan apapun 1

Respon Motorik (M):


Mematuhi perintah, misalnya diminta mengangkat 6
tangan
Dapat menentukan lokasi rangsang nyeri, tidak 5
mematuhi perintah tapi berusaha menunjukkan
lokasi nyeri yang diberikan mencoba
menghilangkan rangsang nyeri tersebut
Reaksi normal fleksi, lengan fleksi bila diberi 4
rangsanga nyeri, berusaha menjauhkan
ekstrimitas dari rangsang nyeri
Fleksi abnormal terhadap nyeri (dekortikasi ), 3
lengan fleksi di siku dan pronasi tangan
mengepal, kaki plantarfleksi
Ekstensi abnormal terhadap nyeri (deserebrasi): 2
ekstensi lengan di siku, lengan biasanya adduksi
dan bahu rotasi ke dalam
Tidak ada respon terhadap nyeri : flaccid 1
5

Respon Verbal (V):


Orientasi baik, dapat berbicara, mengetahui 5
siapa dirinya, dimana berada, bulan dan tahun
berapa
Bingung, dapat berbicara tetapi disorientasi 4
Kata yang diucapkan tidak tepat, susunan kata tidak 3
tepat, kacau
Suara menggumam, tidak dapat dimengerti, 2
mengeluarkan suara tetapi tidak ada kata-kata
yang dapat diketahui
Tidak berespon, tidak mengeluarkan suara 1
apapun walaupun diberi rangsang nyeri

Gambar 1: Motorik abnormal (dekortikasi dan deserebrasi)

3. Pengkajian rangsang meningeal


1) Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan pemeriksa
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian
kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk
kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk
dapat bersifat ringan atau berat.
2) Kernig sign
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu
tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk
sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa
nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat , maka dikatakan
kernig sign positif.
6

Gambar 2: Kernig sign

3) Leasig sign
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring salah satu kakinya
difleksikan pada sendi panggulnya dalam keadaan lurus sampai
membentuk sudut 70 derajat. Bila ada tahanan dan rasa nyeri sebelum
atau kurang dari sudut 70 derajat, maka dikatakan leasig positif.
4) Brudzinski I
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang
satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada..Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul
dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara
reflektorik.
Gambar 3: Brudzinski I

5) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada
sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul.
Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral
pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

4. Pengkajian saraf cranial


1) Saraf Kranial I (Olfaktorius)

Saraf ini mengantarkan bau menuju otak dan kemudian


diolah oleh otak. Cara pemeriksaan:
Minta klien menutup kedua mata dan salah satu lubang hidungnya.
Kemudian dekatkan zat-zat yang beraroma dan tidak bersifat iritatif,
seperti bubuk kopi, teh, atau sabun ke lubang hidung yang tidak ditutup.
7

Minta klien menebak apa nama zat tersebut. Lakukan hal yang sama untuk
kedua lubang hidung klien. Ketidakmampuan untuk mengenal bau
(anosmia) dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti adanya penyakit
sinusitis, infeksi saluran nafas, tumor pada sulkus olfaktorius, meningitis,
perdarahan subarachnoid, fraktur basal tengkorak atau cedera kepala yang
mengenai serabut saraf yang melalui lamina kribrosa.
Gambar 4: Tes syaraf kranial 1

2) Saraf Kranial II (Optikus)

Pemeriksaan saraf Optikus untuk mengevaluasi ketajaman penglihatan,


lapang pandang dan pemeriksaan papil.
Cara emeriksaan:
a) Tajam penglihat
Ketajaman penglihatan diperiksa dengan menggunakan tes Snellen.
Jika tidak ada, klien dapat diminta membaca berbagai ukuran huruf
pada surat kabar. Jika klien biasa menggunakan kacamata, sebaiknya
tetap digunakan. Menurunnya ketajaman penglihatan dapat karena
penyakit mata, atau saraf optikus
Gambar 5: Tes syaraf kranial 2

b) Lapang pandang
Pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan meminta klien
menutup salah satu matanya sambil menghadap lurus ke depan.
Pemeriksa menggerakkan pensil atau jari memasuki area lapang
pandang dari empat arah. Klien diminta menyebutkan kapan pensil
atau jari mulai terlihat memasuki lapang pandang. Lakukan
pemeriksaan ini pada kedua mata klien. Hasilnya kemudian
dibandingkan dengan hasil pemeriksaan si pemeriksa, yang dianggap
normal. Kerusakan retina dapat menimbulkan blind spot. Lesi saraf
8

optikus dapat menimbulkan kebutaan parsial atau keseluruhan pada


sisi yang sama. Kerusakan kiasma optikus dapat menimbulkan
hemianopsia bitemporal, yaitu kebutaan pada kedua sisi lateral lapang
pandang. Tekanan pada traktus optikus dapat menyebabkan
homonimus hemianopsia, yaitu kebutaan separuh sisi pada sisi yang
berlawanan dengan lesi pada kedua mata. Lesi pada lobus temporal
atau parietal dapat menimbulkan kebutaan kontralateral pada
kuadran atas atau bawah penglihatan kedua mata (defisit kuadran).
Gambar 6: Tes syaraf kranial 2 (lapang pandang)

c) Pemeriksaan papil
Pemeriksaan papil saraf optikus dapat dilakukan dengan menggunakan
optalmoskop. Dua hal yang sering ditemukan adalah papil edema
dan atropi saraf optikus. Perubahan pada papil dapat terjadi karena
tumor, infeksi atau trauma. Dapat juga terlihat eksudat, perdarahan
atau kelainan vaskuler yang ada hubungannya dengan diabetes atau
hipertensi.
Gambar 7: Tes syaraf kranial 2 (Papil edema)

3) Saraf Kranial III, IV, VI (Okulomotor, Troklear dan Abdusens)


Ketiga saraf ini diperiksa bersama-sama karena mereka bekerjasama
mengatur otot-otot ekstraokuler. Selain itu saraf okulomotor juga berfungsi
mengangkat kelopak mata atas dan mempersarafi otot konstriktor yang
mengubah ukuran pupil.
Cara pemeriksaan:
a) Persarafan otot ekstraokuler diperiksa dengan meminta mata klien
mengikuti jari atau pensil yang digerakkan ke atas, bawah, kiri, kanan.
Kelemahan otot diketahui bila mata tidak dapat mengikuti ke arah
tertentu. Saraf kranial okulomotor mengatur gerakan mata ke
samping kiri atas, samping kanan atas, samping kiri, dan samping
9

kanan bawah. Saraf troklear mengatur gerakan ke samping kiri


bawah dan saraf kranial abdusens mengatur gerakan mata ke samping
kanan. Jika klien tidak sadar, dapat dilakukan pemeriksaan dengan
cara mengkaji okulocepalik atau tes doll’s eye. Tes doll’s eye dilakukan
dengan menggerakan kepala klien kesatu sisi dengan cepat dan
melihat respon mata klien. Tes ini tidak boleh dilakukan jika klien
diduga mengalami spinal injury. Normalnya jika kedua mata klien
bergerak melawan arah perputaran kepala
Gambar 8: Tes syaraf kranial 3

b) Pupil diperiksa dengan memberi cahaya yang agak redup. Perhatikan


bentuk, ukuran, kesimetrisan kedua pupil, reaksi cahaya langsung
(RCL) dan reaksi cahaya tidak langsung (RTCL). Ukuran kedua pupil
harus bulat dan sama besar, meskipun sekitar 20-25% ukuran pupil
manusia tidak sama besar, tetapi bedanya jarang melebihi 1 mm.
Pupil diukur dalam satuan millimeter (mm)
Gambar 9: Tes syaraf kranial 3

c) Perhatikan kelopak mata klien, normal atau lemah/jatuh. Miastenia


Gravis merupakan penyebab penting kelemahan pada lebi dari satu
otot dan ptosis. Sindrom Horner berupa ptosis kelopak mata,
konstriksi pupil, dan bagian wajah yang sama tidak dapat
mengeluarkan keringat.
10

Gambar 10: Tes Ptosis

d) Nistagmus dapat terjadi pada sembarang arah dan dapat bersifat


unilateral atau bilateral, disebabkan oleh sklerosis multiple, lesi pada
salah satu hemisfer serebellum, dan tumor pada salah satu sisi otak,
atau karena penggunaan barbiturat dan obat-obat penenang.

4) Saraf Kranial V (Trigeminus)


Saraf ini mempunyai serabut sensorik dan motorik yang mengatur otot
temporalis dan maseter, yang merupakan otot pengunyah. Saraf
Trigeminus mengontrol sensasi pada kornea dan wajah
Cara pemeriksaan :
a) Bagian motorik diperiksa dengan meminta klien mengatupkan gigi
dan menggerakkan rahang ke samping sementara itu pemeriksa
meraba otot dan menilai kekuatan kontraksinya.
b) Serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama
saraf oftalmikus, maksilaris dan mandibularis. Masing-masing
daerah ini diperiksa dengan meminta klien bersepon terhadap
sentuhan kapas dan yang tajam seperti jarum pada daerah dahi, pipi,
dagu. Jika respon klien tidak tepat, ganti dengan sensasi suhu, yang
hangat dan dingin. Refleks kornea diperiksa dengan menyentuhkan
kapas yang ujungnya diruncingkan pada kornea, sehingga klien akan
mengedipkan mata. Lakukan pemeriksaan ini pada kedua mata. Tumor
pada daerah fossa posterior menyebabkan kehilangan refleks kornea,
baal pada wajah. Gangguan yang paling sering adalah neuralgia
trigeminal atau tic duoloureux, yang menyebabkan nyeri singkat dan
hebat sepanjang cabang saraf maksilaris dan mandibularis saraf
trigeminus. Miastenia Gravis dan sklerosis amiotropik lateral dapat
menyebabkan kelemahan otot-otot pengunyah.
Gambar 11: Syaraf kranial V
11

5) Saraf Kranial VII (Fasialis)


Saraf ini mempunyai fungsi sensorik dan motorik. Serabut sensorik
mengantarkan persepsi pengecapan bagian anterior lidah, dan serabut
motorik mempersarafi semua otot ekspresi wajah, seperti tersenyum,
mengerutkan dahi, menyeringai, dan lain-lain.
Cara Pemeriksaan:
a) Bagian sensorik diperiksa dengan meminta klien membedakan rasa
manis, asam, asin yang dioleskan pada lidahnya. Penting diingat bahwa
rasa pahit hanya dapat dirasakan pada bagian posterior lidah yang
diatur oleh saraf kranial ke sembilan, yaitu glosofaringeus.
b) Bagian motorik diperiksa dengan meminta klien melakukan
berbagai gerakan wajah dan memperhatikan cara bicara klien. Lesi
bagian batang otak, fraktur basal tengkorak, miastenia gravis dan
bell’s palsy sering menimbulkan kelemahan saraf fasialis.
Gambar 12: Syaraf kranial VII

6) Saraf Kranial VIII (Vestibulokoklearis)


Saraf ini mengatur keseimbangan dan mengantarkan impuls
pendengaran. Keseimbangan diatur oleh bagian vestibularis dan
pendengaran oleh koklearis.
Cara pemeriksaan:
a) Bagian koklearis diperiksa dengan menggunakan garputala, berupa
tes Rhinne dan tes Weber. Tes Rhinne dilakukan dengan
menggetarkan garputala, lalu menempelkannya pada tulang prosesus
mastoideus klien, lalu minta klien memberitau jika getaran tidak terasa
lagi. Kemudian segera pindahkan garputala ke telinga klien. Kalau
klien masih dapat mendengar getaran, berarti hantaran udara lebih
baik dari hantaran tulang, dan hasilnya disebut Rhinne positif. Rhinne
negatif dapat terjadi gangguan hantaran karena penyakit di telinga
tengah. Tes Weber dilakukan dengan menggetarkan garputala lalu
menempelkannya di atas kepala, atau dahi. Kemudian tanyakan
ke klien telinga manayang mendengar getaran paling keras.
Normalnya kedua telinga mendengar sama kerasnya. Kalau klien
mengalami tuli hantar, suara lebih keras pada telinga yang tuli, kalau
klien mengalami tuli saraf maka suara lebih keras pada telinga yang
sehat.
12

Gambar 13: Syaraf kranial VIII

b) Bagian vestibular diperiksa dengan tes kalori dingin. Kepala klien


menengadah dan alirkan air dingin sekitar 5 ml pada telinga.
Normalnya kedua mata akan nistagmus, vertigo, mual, muntah. Saraf
ini mudah mengalami gangguan pada fraktur basis cranii, sumbatan
vaskuler, atau tumor batang otak.

7) Saraf Kranial IX dan X ( Glosofaringeus dan Fagus)


Kedua saraf ini secara anatomi dan fisiologi berhubungan erat. Saraf
glosofaringeus bagian sensorik mengantarkan pengecapan bagian
posterior lidah, mempersarafi sinus karotikus dan korpus karotikus dan
sensasi faring. Bagian motorik mempersarafi dinding posterior faring.
Saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan
mengantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru. Secara klinis
tidak memungkinkan memeriksa semua fungsi ini, karena itu pemeriksaan
difokuskan pada fungsi motorik palatum, faring, laring.
Cara pemeriksaan:
a) Pemeriksaan kedua saraf cranial ini dengan menilai palatum mole,
simetris atau miring ke salah satu sisi. Minta klien mengucapkan kata
“ah” . Palatum mole harus terangkat secara simetris.
b) Pemeriksaan refleks muntah/gag, sentuh dinding posterior faring
maka palatum akan terangkat dan otot faring akan berkontraksi.
c) Refleks menelan dikaji dengan memperhatikan klien saat minum
air. Apakah ada kesulitan menelan atau regurgitasi cairan ke hidung
yang menandakan kelemahan palatum mole dan ketidakmampuan
menutup nasofaring waktu menelan. Gunakan laringoskopi untuk
13

melihat pita suara jika klien mengeluh gangguan suara. Trauma atau
tumor daerah foramen jugular, pembedahan leher, miastenia gravis, dan
sklerosis lateral amiotropik dapat menyebabkan gangguan pada kedua
saraf ini.
Gambar 14: Syaraf kranial IX dan X

8) Saraf Kranial XI (aksesorius)


Saraf aksesorius adalah saraf motorik yang mengatur otot
sternokleidomastoideus yang berfungsi memutar kepala ke samping dan
bagian atas otot trapezius yang memutar scapula bila lengan diangkat ke
atas.
Cara pemeriksaan:
a) Untuk menguji kekuatan otot sternokleidomastoideus klien diminta
memutar kepala ke salah satu sisi bahu dan berusaha melawan usaha
pemeriksa untuk menggerakkan kepala kea rah yang berlawanan.
Lakukan tes ini untuk sisi yang berlawanan.
b) Untuk menguji otot trapezius klien diminta mengangkat bahu dan
pemeriksa berusaha menekan ke bawah. Kemudian klien diminta
mengangkat tangan ke arah vertikal. Klien dengan kelemahan otot
trapezius tidak dapat melakukan ini. Saraf aksesorius berdekatan
dengan saraf glosofaringeus dan fagus, sehingga tumor yang
menyerang kedua saraf ini sering mempengaruhi saraf aksesorius.
Trauma daerah leher paling sering mengganggu saraf aksesorius
Gambar 15: Syaraf kranial XI

9) Saraf Kranial XII (Hipoglosus)


Saraf hipoglosus mengatur otot-otot lidah. Kelemahan ringan bilateral
dapat menyebabkan kesulitan mengucapkan konsonan dan menelan.
Cara pemeriksaan;
a) Pemeriksaan lidah untuk melihat asimetris, deviasi pada satu sisi.
Mula-mula lidah diperiksa dalam keadaan istirahat di dalam mulut.
Kekuatan otot dinilai dengan cara klien diminta mendorong pipi
14

dengan lidah kemudian pemeriksa berusaha melawan arah dorongan


dengan mendorong pipi tersebut
b) Nuklei Saraf hipoglosus terletak dalam medulla oblongata dibawah
dasar ventrikel ke empat dan mendapat persarafan dari kedua hemisfer.
Cedera pada leher dapat menyebabkan kelemahan lidah unilateral
disertai atrofi dan fasikulasi. Tumor pada dasar fossa posterior dekat
foramen magnum dapat mengakibatkan paralisis ipsilateral pada lidah.
sklerosis lateral amiotropik dan miatenia gravis dapat menyebabkan
kelemahan bilateral.
Gambar 16: Syaraf kranial XII

Referensi:
Lumbantobing, S. M. (2011). Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental (Cetakan ke-
14). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Brunner, L. S. (2010). Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical nursing (Vol. 1). S. C.
C. Smeltzer, B. G. Bare, J. L. Hinkle, & K. H. Cheever (Eds.). Lippincott Williams & Wilkins.

Hickey, J. (2013). Clinical practice of neurological & neurosurgical nursing. Lippincott


Williams & Wilkins.

Examination of the Cranial Nerves.


https://informatics.med.nyu.edu/modules/pub/neurosurgery/cranials.html
15

FORMAT PENILAIAN UJIAN SKILL LAB


PEMERIKSAAN SISTEM PERSYARAFAN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Nama Mahasiswa:

NMPM :
Penguji :
Tgl Ujian :

NILAI BOBOT X
NO KEGIATAN BOBOT
(10-100) NILAI
1 Anamnesa sesuai kasus 1
2 Pemeriksaan kesadaran kulaitatif 3
3 Pemeriksaan GCS 3
4 Pemeriksaan kaku kuduk 1
5 Pemeriksaan kernig 1
6 Pemeriksaan leasig 1
7 Pemeriksaan bruzinki I 1
8 Pemeriksaan bruzinki II 1
9 Pemeriksaan saraf cranial a 1
10 Pemeriksaan saraf cranial b 1
11 Pemeriksaan saraf cranial c 1

JUMLAH

Nilai = ……………………………

Penguji,

(…………………………………………….)

Anda mungkin juga menyukai