CONTOH EBN ICU Pengkajian Nyeri Dengan CPOT Vs BPS
CONTOH EBN ICU Pengkajian Nyeri Dengan CPOT Vs BPS
CONTOH EBN ICU Pengkajian Nyeri Dengan CPOT Vs BPS
OLEH :
OLEH :
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
v
2.2 Konsep Pasien Kritis ................................................................... 18
vi
LAMPIRAN ............................................................................................... 43
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
Intensive Care Unit atau biasa disebut dengan ICU merupakan ruang
dengan staf khusus dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi
secara ketat dan terus menerus, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
organ tubuh menjadi utama. Salah satu tindakan suportif adalah pemasangan
merupakan alat bantu pernafasan yang digunakan untuk pasien yang mengalami
gagal nafas atau tidak mampu bernafas secara mandiri. Ventilator akan
1
paru pasien untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien yang terganggu
(Purnawan , Iwan, & Saryono , 2010). Ventilator mekanik merupakan salah satu
aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang kritis di
Intensif Care Unit (ICU) dengan penggunaan di Amerika Serikat mencapai 1,5
juta pertahun (Susanti , Wasito, & Yulia , 2015). Di Indonesia jumlah pasien
kritis yang terpasang ventilator menempati dua per tiga dari seluruh pasien ICU
masalah fisik, psikososial dan spiritual (Bastian , Suryani , & Emaliyati , 2016).
menyebabkan pasien tidak dapat berbicara, menyebabkan rasa nyeri dan tidak
nyaman (AHA , 2019). banyak pasien dewasa yang sakit kritis mengalami rasa
nyeri yang signifikan selama rawat inap. Lebih dari 30% pasien di ICU
merasakan nyeri yang signifikan saat sedang beristirahat dan lebih dari 50%
pasien mengalami nyeri yang signifikan selama proses perawatan rutin, seperti
menunjukkan bahwa pasien kritis dewasa yang mengalami nyeri berusia 18-40
tahun sebanyak 23,3%, usia 41-60 tahun sebanyak 38,3%, lebih dari 60 tahun
2
sebanyak 38,8%, dan persentase tertinggi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak
gangguan tidur, dan stress pada pasien kritis di ICU (Prawesti, Ibrahim , &
Nusiswati, 2016). Selain itu nyeri yang tidak terkelola dengan baik juga bisa
menyebakan peningkatan tekanan intra kranial pada tingkatan yang lebih tinggi
Nusiswati, 2016).
yang tepat. Pelaporan nyeri secara verbal merupakan indikator penilaian nyeri
yang paling valid karena pada area keperawatan kritis banyak pasien yang tidak
mampu berkomunikasi untuk menunjukkan tingkat rasa nyeri mereka, baik secara
alat bantu skala nyeri, hal ini membuat pegkajian nyeri sulit dilakukan dalam
kelompok pasien ini(Wahyuningsih S. I., 2019). Penilaian nyeri pada pasien kritis
yang tidak mampu melaporkan rasa nyeri secara verbal dapat dinilai dengan Pain
Verbal Adult Pain Scale (NVPS) dan Behavioral Pain Scale (BPS)
oleh Puntilo et al tahun 1990. Instrumen tersebut digunakan untuk pasien di ICU
yang sulit berkomunikasi secara verbal namun sadar dan tidak tersedasi. NVPS
3
digunakan untuk mengukur nyeri pasien dewasa yang terintubasi dan tersedasi
interrater reliability yaitu 0,86. Behavioral Pain Scale (BPS) adalah instrumen
penilaian nyeri yang digunakan untuk menilai nyeri pasien yang tersedatif (Herr
et al, 2006). Beberapa instrumen penilaian nyeri tersebut belum dilakukan uji
sensitivitas dan spesifisitas. Salah satu instrumen nyeri yang sudah dilakukan uji
(Wahyuningsih et al, 2017). Akan tetap, American Society for Pain Management
dan reliabel untuk menilai nyeri pada pasien yang tidak mampu melaporkan nyeri
juga telah digunakan sebagai instrumen penilaian nyeri di negara Amerika dan
Eropa (Gelinas et al, 2006; Marmo et al, 2009). Namun, instrumen tersebut
Indonesia.
Ruang ICU RSUP dr. Soebandi Jember saat ini menggunakan Behavior
Pain Scale (BPS) dalam menilai intensitas nyeri. Behavior Pain Scale (BPS)
merupakan instrumen pengkajian nyeri pada pasien kritis. BPS terdiri dari tiga
antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat) Setiap item tersebut
4
Di Indonesia penilaian nyeri pada pasien kritis dengan penurunan
kesadaran masih kurang dilakukan padahal nyeri yang terjadi pada pasien kritis
CPOT sebagai intrumen nyeri yang valid dan reliabel untuk nyeri pada pasien
BPS.
5
pengkajian nyeri pasien dengan penurunan kesadaran.
a. Manfaat Teoritis
b. Manfaat Praktis
sakit terkait sistem skoring nyeri khususnya pada pasien yang terpasang
nyeri.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
(International Association for The Study of Pain [IASP], Smletzer & Bare, 2012). Nyeri
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
Nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan
terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia sedang nyeri (Perry & Potter, 2015).
Menurut Handayani (2015) nyeri adalah kejadian yang tidak menyenangkan, mengubah
gaya hidup dan kesejahteraan individu, dimana nyeri adalah ketidaknyamanan yang
dapat disebabkan oleh efek dari penyakit-penyakit tertentu atau akibat cedera.
1. Nyeri Akut
telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya
2. Nyeri Kronik
7
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri
yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, meski enam bulan
1. Pengalaman
nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran dibanding orang yang hanya
2. Ansietas
3. Budaya
4. Usia
Pengaruh usia pada presepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara
luas.
5. Makna nyeri
Dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu yang akan
8
6. Perhatian
7. Keletihan
kemampuan koping.
8. Gaya koping
Salah satu teori mengenai nyeri dari Melzack dan Wall (1965) adalah tentang
pengendalian nyeri (Gate Control Theory) yang menjelaskan bagaimana dua jenis serat
saraf yang berbeda (tebal dan tipis) bertemu di korda spinalis dapat dimodifikasi
sebelum ditransmisi ke otak. Sinaps dalam dorsal medulla spinalis beraktifitas seperti
pintu untuk mengijinkan impuls masuk ke otak. Serat yang tebal akan lebih kuat dan
9
lebih cepat menangani rasa sakit daripada yang tipis. Ketika kedua sinyal rasa sakit
bertemu, sinyal yang lebih kuat cenderung menekan yang lebih lemah (Lemone &
Burke, 2016).
Ada empat tahapan proses terjadinya nyeri menurut Smeltzer & Bare (2013):
1. Transduksi
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimulus ini
dapat berupa stimulus fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi
dapat timbul karena rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya
rabaan.
2. Transmisi
melewati korda dorsalis, dari spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang
3. Persepsi
10
4. Modulasi
pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri.
(penghambatan).
1. Subjektif
yang sedang terjadi dan menentukan tujuan untuk fungsi kenyamanan bagi
Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang
10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang
11
c. Faces Analog Scale
Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri pada anak usia
dibawah 12 tahun, terdiri dari enam wajah kartun yang diurutkan dari
seorang yang tersenyum (tidak ada rasa sakit), meningkat wajah yang
kurang bahagia hingga ke wajah yang sedih, wajah penuh air mata (rasa
2. Objektif
perilaku tersebut.
BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada
tubuh. BPS terdiri dari tiga penilaian yaitu ekspresi wajah, pergerakan
12
ekstremitas, dan komplians dengan mesin ventilator. Setiap sub skala
diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu
skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS
sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat
S Description Score
Facial Relaxed 1
Partially tightened 2
Fully tightened 3
Grimacing 4
Partially bent 2
Permanently retracted 4
Tolerating movement 1
Compliance with
Fighting ventilator
4
Unable to control ventilation
13
2. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)
injuri, memiliki fungsi motorik yang baik. CPOT terdiri dari empat domain
Tujuan dari penatalaksanaan nyeri adalah menurunkan nyeri sampai tingkat yang
14
kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila
dilakukan sebelum nyeri menjadi parah dan jika diterapkan secara simultan.
1. Intervensi Farmakologis
a. Analgesik narkotik
Opiote merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri pada
b. Analgesik local
Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari infus yang diisi narkotik
Penggunakan narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada klien dengan nyeri
kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan koagulasi atau klien dengan terapi
pirocixam, serta keterolac (toradol). Selain itu terdapat pula golongan NSAIDs
yang lain seperti asam mefenamat, meclofenomate, serta phenlybutazone dan lain-
lain.
15
2. Intervensi Non Farmakologis
memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri. Massage dapat membuat pasien
Terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri dalam
bidang reseptor yang sama seperti pada cedera, terapi es dapat menurunkan
keuntungan meningkatakan aliran darah kesuatu area dan kemungkinan dapat turut
digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera
kulit.
menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS menurunkan nyeri dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri dalam area yang sama seperti pada serabut yang
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana
16
terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat
konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama
setiap inhalasi dan ekhalasi. Pada saat mengajarkan teknik ini, akan sangat
cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efekpositif tertentu. Imajinasi
terbimbing untuk meredakan nyeri dan relaksasi dapat terdiri atas menggabungkan
napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan.
setiap napas yang diekshalasi secara lambat, ketegangan otot dan ketidaknyamanan
dikeluarkan, menyebabkan tubuh rileks dan nyaman. Setiap kali napas dihembuskan,
membawa pergi nyeri dan ketegangan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi
yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis, mekanisme kerja hipnosis tampak
hipnotik individu, bagaimanapun pada beberapa kasus teknik ini tidak akan bekerja
(Smeltzer, 2012).
17
mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak, keefektifan
sensori selain nyeri, distraksi berkisar dari hanya pencegahan monoton hingga
menggunakan aktivitas fisik dan mental seperti misalnya kunjungan keluarga dan
teman, menonton film, melakukan permainan catur, mendengarkan musik, dan lain-
lainnya.
didefinisikan sebagai pasien yang berisiko tinggi untuk masalah kesehatan aktual
ataupun potensial yang mengancam jiwa. Semakin kritis sakit pasien, semakin besar
kemungkinan untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan kompleks, membutuhkan
terapi yang intensif dan asuhan keperawatan yang teliti (Nurhadi, 2014).
Keluarga dalam lingkup ini diartikan sebagai orang yang berbagi secara intim dan rutin
sepanjang hari kehidupan dalam proses asuhan keperawatan. Orang- orang tersebut
mengalami gangguan homeostasisnya oleh karena masuknya pasien ke area kritis. Siapa
saja yang merupakan bagian penting dari pola hidup normal pasien dipertimbangkan
bagian integral dari perawatan pasien di ICU dan telah memiliki kontribusi positif
18
2.2.3. Respon Keluarga Terhadap Kondisi Pasien Kritis
seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makna serta lingkungan disebut dengan perilaku kesehatan. Respon atau
reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersikap
Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok yaitu: sakit,
penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Terkait dengan respon keluarga
pada anggota keluarga yang dirawat di ruang intensif, keluarga seringkali merasakan
Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil dalam
pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien. Respon keluarga
terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap stress, kekuatan, dan perubahan gaya
hidup yang dirasakan terkait dengan penyakit kritis pada anggota keluarga. Pada titik
kritis ini, fungsi keluarga inti secara signifikan berisiko mengalami gangguan (Nurhadi,
2014).
keseimbangan dan mendapatkan ketahanan. Menurut Mc. Adam, dkk (2008), dalam
19
5. Coaching, yaitu keluarga sebagai pendorong dan pendukung pasien.
Pasien yang berada dalam perawatan kritis menilai bahwa keberadaan anggota
keluarga di samping pasien memiliki nilai yang sangat tinggi untuk menurunkan level
keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan
memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup yang penuh stres.
Strategi koping keluarga ketika menghadapi stres dapat dilakukan melalui pencarian
Dukungan yang diberikan oleh perawat intensif kepada anggota keluarga pasien
merupakan salah satu bentuk dukungan sosial formal. Dukungan sosial yang diberikan
oleh keluarga, teman dan tetangga disebut ‘informational support’ dan dukungan sosial
yang diberikan oleh penyedia layanan formal disebut ‘formal support’. Ketika
kebutuhan pasien dan keluarga bersinergi dengan kompetensi perawat, maka hasil
bahwa individu dalam keluarga dicintai dan disayangi. Kebutuhan emosional ini
pada perawatan kritis bermanfaat agar keluarga dapat mengontrol pada situasi rentan
20
dan hal tersebut juga dapat dilakukan oleh petugas kesehatan ketika berada pada
21
BAB 3
ANALISIS JURNAL
Observation Tool and the Behavioral Pain Scale for Pain Assessment among
Unconscious Patients
5. Accuracy of Critical Care Pain Observation Tool and Behavioral Pain Scale to
observational study
instrument CPOT.
2. Artikel 2 : Studi ini menunjukkan bahwa CPOT lebih detail daripada BPS
3. Artikel 3: CPOT dan BPS merupakan instrumen untuk mengukur nyeri pada
22
yang rendah, tetapi dalam artikel ini menjelaskan bahwa reliabilitas BPS
lebih baik.
pasien kritis dengan tingkat validitas yang baik dan dapat secara sensitif
5. Artikel 6 : Pada pasien dengan ventilasi mekanik yang sakit kritis, baik
kritis/tidak sadar.
1. Atikel 1 : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriani, dkk (2018)
23
ICU RSUD Ratu Zalecha Martapura dengan jumlah sampel sebanyak 31
adalah pasien yang berusia ≥12 tahun, pasien dengan tingkat kesadaran
somnolent dan stupor, pasien tidak dalam pemberian terapi sedasi. Kriteria
ekslusi pasien yang hemodinamik tidak stabil. Berdasarkan hasil uji statistik
nyeri pada saat istirahat dan saat perubahan posisi pada pasien penurunan
CPOT.
inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan oleh peneliti. Criteria inklusi
dalam penelitian ini adalah pasien yang masih bisa merespon nyeri dan
24
tetraplegi, gangguan neuropati perifer, dan agitasi. Berdasarkan uji statistik
BPS.
3. Artikel 3 : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazari, dkk (2019)
ICU salah satu RS di Iran Selatan dengan jumlah sampel sebanyak 45 pasien
kritis dimana ckriteria inklusi dan eksklusi sudah ditentukan oleh peneliti.
hasil p-value 0,00 dari setiap instrument yang digunakan, sehingga terdapat
4. Artiekl 4 : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang, dkk (2017)
sebanyak 316 yang terdiri dari 213 pasien sadar dan 103 pasien tidak sadar.
nyeri. Instrument CPOT dinilai lebih detail dalam menilai perilaku nyeri,
intensif harian untuk mengelola nyeri dengan lebih baik pada pasien kritis.
25
5. Artikel 5 : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Paolo, dkk (2016)
CPOT dan BPS menunjukkan kriteria dan validitas yang baik (p-
tingkat spesifik yang lebih baik daripada CPOT, sedangkan CPOT memiliki
3.1.4 Kesimpulan
dalam megkaji nyeri pada saat istirahat dan saat perubahan posisi pada
2. Artikel 2 : Instrumen CPOT dan BPS memiliki tingkat validitas yang sama-
samabaik, tetapi dalam penelitian ini menjelaskan bahwa CPOT lebih detail
dan CPOT. Tetapi dalam penelitian ini menunjukkan pengkajian nyeri pada
26
3. Artikel 5 : Instumen CPOT dan BPS memiliki keunggulan masing-masing
dalam menilai nyeri pada pasien kritis. Pada instrument CPOT dinilai lebih
27
BAB 4
METODE
Pencarian padadatabaseGoogle
Scholar dan Science Direct
28
4.2 Pengumpulan Data
Desain penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang
pada satu titik waktu tertentu di seluruh populasi sampel atau subset yang telah
ditentukan.
Sumber data menggunakan data sekunder, yaitu data yang secara tidak
langsung didapatkan dari objek penelitian, tetapi peneliti memperoleh data dari
Strategi pencarian dan pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu peneliti
melakukan pencarian artikel yang relevan di situs jurnal Google Scholar, dengan
29
Kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu artikel yang sesuai dengan
permasalahan yang akan diteliti, dalam hal ini yaitu artikel yang mengandung
perbandingan alat observasi nyeri untuk penilaian nyeri untuk pasien kritis.
Peneliti memilih artikel dengan rentang waktu maksimal 5 tahun yaitu dari tahun
2016 hingga tahun 2022, dan menemukan sebanyak 2 Google Scholar dan 2 di
Science Direct. Jadi, total artikel yang ditemukan adalah 102 artikel. Setelah
diidentifikasi lebih lanjut dari 102 artikel yang ditemukan hanya 5 artikel yang
memenuhi kriteria, yaitu daru sumber database Google Scholar dan Scien Direct.
Sedangkan kriteria eksklusi dalam penulisan EBN ini, yaitu artikel dan populasi
yang tidak berkaitan dengan topik serta artikel dengan rentang waktu di bawah
tahun 2016.
diperoleh sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono,
30
2014). Analisis data dalam EBN (Evidance Based Nursing) ini dimulai dengan
menelaah hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya dan sudah relevan sesuai
dengan variabel dan tujuan penelitian. Selain itu, perlu diperhatikan terkait analisis,
penelitian dari jurnal yang telah di telaah, penelitian mana yang saling mendukung
peneliti membuat suatu gambaran hasil penelitian dari jurnal atau artikel yang
didapat.
31
BAB 5
PEMBAHASAN
CPOT bagus sekali untuk mengkaji nyeri pasien dengan penurunan kesadaran
dan pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Indikator pengkajian
instrumen CPOT terdiri dari ekspresi wajah, gerakan tubuh, keteraturan terhadap
Ventilator untuk pasien yang terintubasi, vokalisasi nyeri untuk pasien yang
mewakili gambaran ekpresi rasa nyeri yang mereka rasakan walaupun mereka
tidak dapat mengungkapkan secara verbal, namun perawat yang mengkaji nyeri
pasien dapat menangkap pesan yang di sampaikan pasien melalui perilaku dalam
psikometrik. CPOT dengan sifat psikometrik bukan hanya gelisah di ICU tetapi
mencatat bahwa kriteria perilaku nyeri lainnya. BPS dengan sifat psikometrik
ventilator, dan ketegangan otot. BPS memiliki tiga kategori yaitu, ekspresi
32
membedakan prosedur nosiseptif dan nonnosiseptif. Ketidakmampuan instrumen
kepatuhan pasien dengan ventilator mungkin karena fakta bahwa pasien dibius
dan menerima relaksan otot dan karena itu mentoleransi ventilasi mekanis
dengan lebih baik. BPS dalam penelitian ini menunjukkan bahwa validitas
diskriminan skalanya rendah. Meskipun ukuran efek CPOT dan BPS kecil,
ukuran efek BPS lebih besar dari pada CPOT yang menunjukkan bahwa BPS
kemampuan skrining yang lebih baik daripada BPS tetapi perbedaan ini tidak
demikian, CPOT mungkin lebih unggul dari BPS dalam mengukur nyeri pasien
sakit kritis karena dua alasan. Pertama, CPOT menilai gerakan seluruh tubuh,
sedangkan BPS hanya menilai gerakan ekstremitas atas. Reaksi nyeri tubuh
pasien sakit kritis tidak terbatas pada ekstremitas atas, dan gerakan ekstremitas
atas mereka mungkin terbatas karena pengekangan fisik. Pasien-pasien itu malah
akan merespon rasa sakit dengan memutar anggota tubuh bagian bawah mereka.
bahwa sebagian besar pasien yang sakit kritis menunjukkan kekakuan atau
resistensi otot ketika mengalami rasa sakit. Skor CPOT dan BPS, RR, HR dan
MAP meningkat dan SpO2 menurun selama penyedotan endotrakeal atau pada
33
tindakan keperawatan. Sejalan dengan penelitian Darmanto, (2022) menjelaskan
bahwa COPT lebih unggul dari pada BPS. Diaman CPOT lebih detail dari pada
kategori yaitu ekspresi wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot pada pasien yang
diintubasi pada ventilator atau verbalisasi tanpa intubasi, sehingga CPOT adalah
dari ringan, sedang, berat menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat nyeri. Hasil
skor nyeri dari ringan, sedang menjadi sedang, berat. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa skor CPOT menilai pasien lebih detail dibandingkan BPS.
Penelitian sebelumnya pada tahun 2016 oleh Severgnini juga memiliki hasil
yang serupa, berupa peningkatan skor nyeri sebelum perawatan nyeri ke waktu
setelah perawatan nyeri. CPOT lebih detail dalam menilai skala nyeri pada
peningkatan skor nyeri pada pasien sebelum prosedur nyeri dan selama prosedur
pasca nyeri.
VAS, CPOT dan BPS. Dalam penelitiani ini dimana BPS terdiri dari raut wajah
meringis), gerkan tungkai atas (tidak ada gerakan, bengkok sebagian, ditekuk
34
(gerakan toleransi, batuk tapi ditahan untuk sebagian waktu, melawan ventilator,
tidak dapat mengontrol ventilasi), sedangkan pada item CPOT raut wajah
(santai, tegang, meringis), gerakan tubuh (tidak ada gerakan, perlindungan, dan
ventilator). Ketegangan (santai, tegang kaku, sangat tegang). VAS adalah skala
linier dan mengidentifikasi nyeri berdasarkan laporan diri pasien, dan dianggap
sebagai standar emas untuk evaluasi nyeri pada pasien yang sadar. Pada
penelitian ini menjelaskan untuk CPOT dan BPS itu pasien tidak sadar sedang
lebih sedikit. Ekspresi wajah adalah parameter paling penting yang terkait
yang lebih baik. Di sisi lain, spesifisitasnya lebih tinggi dari CPOT tetapi lebih
Kombinasi dari CPOT dan BPS dimana akan meningkat secara terpisah
selama asuhan keperawatan pada pasien yang tidak sadar dan sadar, ekspresi
wajah menunjukkan perubahan yang lebih besar untuk penilaian nyeri, pada
35
pasien sadar, selama asuhan keperawatan, BPS menunjukkan spesifisitas yang
lebih tinggi, dan sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan CPOT dan
kombinasi BPS dan CPOT dapat dianggap sebagai alat yang berharga untuk
Misalnya, item BPS lebih sederhana dan lebih mudah digunakan daripada item
CPOT karena yang pertama lebih ringkas kata-katanya, meskipun setiap item
BPS memiliki empat opsi respons dan setiap item CPOT memiliki tiga opsi
respons. Namun, kata-kata yang ringkas dari beberapa item BPS menyisakan
pada gerakan ekstremitas atas terbukti menjadi indikator nyeri yang tidak dapat
diandalkan dalam kondisi tertentu. BPS memiliki tiga item serupa yang terkait
memiliki item keempat yang menilai kekakuan otot, dan kepatuhan ventilator
dengan revisi skala nyeri nonverbal, CPOT dianggap lebih baik penggunaannya.
College of Critical Care Medicine sebagai skala nyeri perilaku yang paling valid
dan handal untuk menilai nyeri pada pasien ICU dewasa yang tidak dapat
36
melaporkan diri sendiri, tetapi dengan fungsi motorik utuh dan perilaku yang
dapat diamati.
nyeri dengan instrumen CPOT lebih unggul karena evaluasi nyeri didasarkan
penelitian Darmanto et al, (2022) berdasrkan uji statistic dengan p-value 0,0001
dimana skor CPOT lebih detail daripada BPS. CPOT alat ukur yang lebih
definisi operasional yang lebih detail serta dapat digunakan pada pasien yang
tidak terintubasi. Namun, sebagian besar pasien di ICU tidak dapat melaporkan
rasa sakit mereka karena perubahan kesadaran, ventilasi mekanis, atau sedasi.
pasien, sehingga penting untuk dilakukan pengkajian nyeri pada pasien ICU agar
dapat diketahui manajemen nyeri yang tepat. Nyeri adalah masalah umum di
nyeri yang paling umum pada pasien di ICU adalah intervensi bedah, nyeri
pasca trauma, dan nyeri yang terkait dengan prosedur seperti penempatan jalur
arteri, pelepasan selang dada, pengisapan jalan napas, dan selama perawatan
luka. Selain itu, pasien di ICU mungkin mengalami nyeri selama perawatan non-
nosiseptif biasa dan bahkan saat istirahat. Nyeri yang tidak terdiagnosis dan
37
tidak dikelola dapat mengakibatkan komplikasi dan sangat mempengaruhi
dan peningkatan konsumsi oksigen. Sebagian besar pasien di ICU tidak dapat
atau sedasi dan dapat meningkatkan angka kematian. Meskipun upaya besar
untuk menilai nyeri secara akurat pada pasien di ICU, rasa sakit mereka masih
anastesia epidural dan analgesia epidural memiliki masa rawat di ICU lebih
pendek, masa rawat inap lebih pendek, dan mengalami separuh jumlah
CPOT memiliki kategori yang lebih detail dari pada instrumen lainya. Tetapi
akan lebih baik, apabila CPOT dan BPS dapat dikombinasikan untuk
memperoleh hasil yang lebih valid dalam mengukur tingkat nyeri pasien dengan
penurunan kesadaran.
38
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
a. Instrumen CPOT dinilai lebih unggul dalam pengukuran skala nyeri oleh
beberapa peneliti, dimana instrument CPOT ini menilai empat item yaitu
tanda perilaku dan memiliki definisi operasional yang lebih detail sebagai
menilai nyeri dengan tiga item, yaitu ekspresi wajah, anggota badan sebelah
atas dan, kepatuhan dengan ventilasi mekanik. Dengan perbedaan jumlah item
yang dinilai membuat instrument CPOT dianggap lebih detail dan valid dalam
mengkaji nyeri dengan penurunan kesadaran. Akan tetapi meskipun BPS hanya
masing dalam hal ini, yaitu CPOT dan BPS. Tetapi banyak penelitian yang
CPOT dan BPS juga dapat diaplikasikan untuk memperoleh hasil yang lebih
39
6.2 Saran
CPOT dengan BPS dan Wong Bekker sebagai instrumen nyeri dan dapat
selanjutnya.
Diharapkan Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi rumah sakit
terkait sistem skoring nyeri pada pasien yang terpasang ventilator, serta dapat
menambah wawasan, pengetahuan dan dapat sebagai dasar teori atau rujukan
40
DAFTAR PUSTAKA
41
Wahyuningsih , I. S. (2017). ensitivity and Specificity of the Comfort Scale to Assess
Pain in Ventilated Critically Ill Adult Patients in Intensive Care Unit. Nurse.
Nurse Media Journal of Nursing, 7(1), 35-45.
Wahyuningsih, S. I. (2019). Sensitivitas dan Spesifisitas Critical Care Pain
Observational Tool (CPOT) sebagai Instrumen Nyeri pada Pasien Kritis Dewasa
Paska Pembedahan dengan Ventilator. Jurnal Keperawatan BSI, VII (1 ), 26-31.
LeMone, Burke, & Bauldoff, (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa.
Jakarta: EGC
Nurhadi. (2014). Gambaran dukungan perawat pada keluarga pasien kritis di rumah
sakit umum pusat Dr. Kariadi. Program studi S1 Ilmu Keperawatan,
Universitas Diponegoro
Perry, A.G & Potter, P. A. 2012. Fundamental Keperawatan, Konsep, Klinis Dan
Praktek. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta: EGC.
42
LAMPIRAN
Artikel 1
43
Artikel 2
44
Artikel 3
Artikel 4
45
Artikel 5
46