201760hk-S3bab Ii
201760hk-S3bab Ii
201760hk-S3bab Ii
BAB II
Satu perkara yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa
kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan
syara’.1Hanya saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahiah itu tidak dimonopoli
oleh Kepala Negara (Khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena
kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’ (baik dari segi hukum maupun
kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang
hukum syariat Islam. Kontrol pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah
serta tolak ukur yang jelas (yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini
kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad. Di
antara para pemikir muslim berpendapat bahwa Madinah adalah negara Islam
yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW, setelah hijrah dari
dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai Kepala Negara
1
H. Munawir Sadzali, Op.cit., hlm. 70 - 78
29
30
Islamdikenal adanya tiga kelompok pemikiran tentang hubungan antara Islam dan
Politik.
Di kalangan umat Islam dewasa ini terdapat tiga aliran tentang hubungan
dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempuma (kaffah) dan
termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama dari aliran ini antara lain
Syaikh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan Abul
A’la al-Maududi.
aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasaa seperti halnya Rasul-
Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada
jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral dan Nabi tidak
Mesir, Ali Abd ar-Raziq dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan,
2
Ibid., hlm. 16 - 17
31
3) Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya
terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh yang
Rahman.
Terlepas dari perbedaan pendapat para pakar politik dalam Islam di atas,
yang perlu diketahui saat ini adalah bahwa dalam kepustakaan Islam telah lama
dengan penduduk, yang diatur dalam Fiqh al-Daulah.3 Politik menurut perspektif
syari’at, ialah yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, kembali dan
sasarannya, sistem dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syari’at dan sistem yang
3
Yusuf Qardhawy, Op.cit., hlm. 23
32
dianut juga berdasarkan syari’at. Islam adalah aqidah dan syari’ah, agama dan
bidang kenegaraan dan kebijakan publik dan hukumnya adalah masuk dalam
bidang hukum publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum
pidana dan hukum acara. Telah banyak fuqaha terdahulu yang membahas masalah
ini, yang dimasukkan dalam pembahasan fiqh secara umum dan bahkan ada yang
Imam al-Mawardi (wafat 450 H) diterbitkan oleh Maktabah Dar Ibnu Qutaibah di
Kuwait pada tahun 1409 H, dan al-Ahkam al-Sulthaniyah, karya Abul Ya’la al-
Farra’ al-Hambali (wafat 458 H), Ghiyyats al-Umam fi al-Tiyats al- Dhulam,
karya al-Imam al-Juwaini al-Haramain al-Syafi’i (wafat 476 H), diterbitkan oleh
Dar al-Dakwah di Beirut, tanpa tahun. Kitab al-Siyasah al- Syar’iyah fi Ishlah al-
Ra’yu war Ra’iyyah karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) diterbitkan oleh Dar
al-Kitab al-Arabiyyah Arab Saudi pada tahun 1951. Beberapa karya dari murid
dan sahabat Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab al-Thuruq
Islamy al-Markazy Arab Saudi tahun 1985, termasuk kitab klasik al-Kharaj karya
Abu Yusuf (wafat 181 H) yang diterbitkan oleh al-Matba’ah Salafiyyah Kairo
pada tahun 1302 H, salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi
4
Ibid., hlm. 35
33
Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik
adalah sama dengan apa yang dikemukan oleh al-Qardhawy,5 yaitu tidak
dipisahkannya politik dengan syari’at Islam. Politik adalah bagian dari syari’at
Islam yang diatur oleh syari’at dan tujuannya untuk tegaknya syari’at itu. Politik
dalam pandangan para ulama salaf, diartikan dalam dua makna, yaitu : (1) dalam
makna umum, yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan
dunia mereka berdasarkan syari’at agama, dan (2) politik dalam makna khusus
Politik harus didasarkan pada fiqh Islami, yang berasal dari segala mazhab
fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh
menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah
yang dihadapkan dengan realitas dan inilah bidang politik, yaitu antara lain
tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan
menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap
Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan
5
Ibid., hlm. 38
34
karena kemiskinan.
pandangan di antara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai
dengan pandangan seorang ulama al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan
Islam wa Ushul al-Hukm (tahun 1925), yang pada pokoknya menyatakan bahwa
Islam adalah agama yang tidak memiliki daulah, negara. Islam adalah risalah
rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan negara dan ini tidak
terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan Negara, karena memang beliau tidak
memiliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan sultan dan bukan pula
Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama al-Azhar dan
putusan dalam pertemuan format Syaikh al-Azhar beserta 24 anggota tetap dan
memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah
yang sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang
6
Ibid., hlm. 29
35
Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal, 7 bahwa dalam al-
Qur’an dan Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci
mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang
dapat dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan
dan pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan
Salah satu ajaran Islam itu adalah berkenaan dengan kehidupan bernegara
(politik). Agama dan Negara (politik) merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan bagaikan saudara kembar yang lahir dari satu ibu (tawamun), bahkan
7
Muhammad Khayr Haykal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo :
Maktabah Dar al-Salam, 2005), Jilid I, hlm. 662. Musda Mulia, op. cit., hlm. 1997:289-290.
8
Lihat Abu al-A’la al-Maududi, Islamic Law and Constitution, (Karachi : Islamic
Publications LTD, 1960), hlm. 2. Maurice Duverger, Sociologi Politik, (Jakarta : Sultanwali,
1985), hlm. V. M. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani,
(Jakarta : Logos, 2000), hlm. 58-61.
36
Dalam hal ini, ada tiga perbedaan pendapat tentang hubungan Negara dan
agama yaitu: (1) Pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak membahas masalah
kenegaraan. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bhawa konsep
Negara ditemui dalam islam, (2) Islam mempunyai perangkat kenegaraan dan
karenanya tidak ada alasan untuk memisahkan keduanya, dan (3) pendapat yang
Sejalan dengan pandangan diatas, menurut Din Syamsuddin yan dikutip oleh
Abdul Halima da tiga pola hubungan antara agama dan Negara, yaitu (1) pola
integralistik artinya agama dan negara tidak dapat dipisahkan, apa yang menjadi
wilayah agama otomatis menjadi wilayah politik. Konsekwensi dari pandangan ini,
maka islam harus menjadi dasar negara, bahwa syariah harus diterima sebagai
konstitusi negara. (2) pola simbiotik artinya bahwa agama dan negara berhubungan
satu sama lain secara timbal balik dan saling memerlukan. (3) pola sekularistik
artinya yang memisahkan antara agama dan negara. Negara menghlangkan sama
sekali agama (syariah) dari dasar negaranya dan mengadopsi sepenuhnya hukum
Khilafah menurut makna bahasa merupakan masdar dari fiil madhi Khalafah
Ibrahim Anis, adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan
9
Abul a’la Almaududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung : Mizan 1998), hlm.72
10
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm 11-12
11
Ahmad Warsun al-Wunawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984) hlm. 390
37
dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama
Islam itu sendiri.16 Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama
fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan
demikian, walaupun secara literal tak ada satupun ayat al-Qur’an yang menyebut
12
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, 2007), Juz , hlm. 251.
Abi Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut : Dar al-Masyriq, tt),
Juz II, hlm. 210.
13
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, Beirut :
Dar al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 199.
14
Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi, Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, (Beirut : Dar
al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 8-9.
15
Abdurrahman al-Baghdadi, “Mafhum al-Khalifah wa al-Khilafah fi al-Hadharah al-
Islamiyah.” Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No 1 Tahun I, Sya’ban 1415 H/Januari 1995 M.
(Jakarta : al-Markaz al-Istitiratiji li al-Buhuts al-Islamiyah. I995), hlm. 20.
16
Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam. (Kuwait: Darul
Buhuts al-‘Ilmiyah.l980), hlm. 226.
38
kata “al-Dawlah al-Islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak
ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama
terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam
dengan istilah lain yang lebih spesifik yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah
Dar al-Islami.17
sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan
keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha
menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang
Khilafah.18
17
Lihat Sulaiman al-Thamawi, al-Sulthan al-Tsalats, (Dar al-Ilm al-Malayin, tt), hlm. 245;
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, 2007), Juz
IX, hlm. 823.
18
Abd al-Majid al-Khalidi, op. cit., hlm. 227.
39
mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia.19 Kata lain dari Khilafah adalah
Imamah, di mana Khilafah dan Imamah memiliki makna yang sama. Sebagaimana
berkait dengan perkara khusus maupun umum yang ada hubungannya dengan
terhalang hak-haknya.20
pemerintahan yang menerapkan sistem hukum Islam atas seluruh rakyatnya dan
keseluruh penjuru dunia. Adapun Khalifah adalah Sulthan al-A’zham, yaitu kepala
negara di dalam sistem Khilafah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin
Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.
Hanya saja Umar bin Khattab lebih suka disebut dengan Amirul Mukminin atau
Ali bin Abi Thalib yang lebih suka disebut dengan Imam. Semua itu memiliki
makna yang sama dengan Khalifah.21 Pendapat lain mengatakan bahwa istilah
khilafah dan imamah, meskipun diambil dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an
19
Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Khilafah al-Islamiyyah, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, tt),
hlm. 3. Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah, tt), Jilid II,
hlm. 15.
20
Abu al-Ma’ali Abd al-Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyawaih al-
Sanbisi al-Juwaini, al-Thariq ila al-Khilafah, (Beirut : Darun Nahdlah al-Islamiyah, tt), hlm. 19.
21
Muhammad Ya’kub, Kamus al-Muhith, (Jakarta : Pustaka FEB, 1995), hlm. 727.
40
dan Sunnah, akan tetapi dalam praksis politik yang berkembang di dunia Islam
istilah ini digunakan oleh dua kelompok yang secara politik dipandang
2. Menurut Imam al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti
bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan
3. Menurut ‘Adhu al-Din al-Iji (w. 756 H/1355 M), Kilafah adalah
agama dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam
penegakan agama.25
22
Dhiya’a al-Din al-Rais, Islam dan Khilafah, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1985), hlm. 59. Abu al-A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam, Terj. Asep Hikmat, (Bandung:
Mizan, 1990), hlm. 71.
23
Abu al-Ma’ali Abd al-Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyawaih al-
Sanbisi al-Juwaini (Imam al-Haramayn), Ghiyats al-Umam., (Beirut : Dar al-Masyriq, tt), hlm. 15.
24
Imam al-Baidhawi, Hasyiyah Syarah al-Thawali, (Riadh : Dar al-Ihya al-Kutub al-
Arabiyyah, tt), hlm. 225.
25
Adhu al-Din al-Iji, I’adah al-Khilafah, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, 2006), hlm. 32.
41
umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW
dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati
5. Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan
7. Menurut al-Kamal ibn al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah
8. Menurut Imam al-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-
9. Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah
10. Menurut Syaikh al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti
kaum muslimin.32
11. Menurut Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w. 1354 H/1935 M), seorang
12. Menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada
masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam
Islam.34
13. Menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum
dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW.35
Dari ke tiga belas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya
31
Shadiq Hasan Khan, Iklil al-Karamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, (Riadh : Dar al-
Kutub al-Arabiyyah, tt), hlm. 23.
32
Syeikh Ibrahim bin Syeikh Muhammad al-Bajuri, Tuhfah al-Murid ‘Ala Jauhar al-
Tauhid, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz II, hlm. 45.
33
Muhammad Bakhit al-Muthi’i, I’adah al-Khilafah, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, tt),
hlm. 33.
34
Mustafa Shabri, Mawqif al-Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Alim, (Kairo: Maktabah Dar al-Salam,
tt), Juz IV, hlm. 363.
35
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Beirut ; Dar al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 350.
43
agama namun pada akhir kalimat beliau menyatakan, “Khilafah lebih utama
agama”.
diketahui bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi
wilayah “urusan dunia” dan “urusan agama” daripada sebuah definisi yang
bersifat syar’i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi
menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan
keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif
44
menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat
Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru
dipahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar’i (al-ta’rif asy-syar’i) atau definisi
non syar’i (al-ta’rif ghayr al-syar’i).36 Definisi syar’i merupakan definisi yang
digunakan dalam nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, semisal definisi shalat dan
zakat. Sedang definisi non syar’i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam
nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu
atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi’il, dan harf (dalam ilmu
bertolak dari realitas (al-waqi’), bukan dari nash-nash syara’, baik realitas empirik
36
Abd al-Qadim Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, (Kairo: Maktabah Dar al-Salam,
1985), hlm. 51.
45
yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau
faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar’i, maka dasar
perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara’ al-Qur’an dan Sunnah, bukan
syar’i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash
syar’i’.37 Jadi, perumusan definisi syar’i, misalnya definisi sholat, zakat, haji,
jihad dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar’i yang berkaitan
telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam” yang masih satu akar
kata dengan kata Khilafah/Imamah, misalnya hadis Nabi yang bersumber dari
“Bersumber dari Abu Sa’id al-Khudriy ia berkata Rasulullah SAW bersabda, Jika
dibaiat dua orang khalifah, maka buruhlah yang terakhirdari keduanya.”38
37
Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyah, op. cit., Juz III, hlm. 38-442;
Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Ma’lumat li al-Syabab, op. cit., hlm. 1-3.
38
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi
bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri dan Anas bin Malik dengan nama-nama periwayat :
Hadits ini shaheh menurut syarat Imam al-Bukhari dan Muslim. Lihat Abu al-Husayn bin al-Hajjaj
al-Qushairiy Muslim al-Naisabutiy, disebut Imam Muslim, shahih Muslim, (Semarang : Maktabah
Toha Putra, 2003), Juz VI, hlm. 23. Abu Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdullah bin
Muhammad bin Na’im bin al-Hakam al-Dhabbi Ath-Athahmani An-Nasaiburi, disebut Imam al-
Hakim, al-Mustadrak‘ala al-Shihayn, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz II, hlm 169. Abu Bakar
Muhammad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khusrujardi, disebut Imam al-Baihaqi, Sunan al-
Baihaqi al-Kubra, (Beirut : Dar ar-Fikr, tt), Juz II, hlm. 403.
46
luartapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah.
Nashkelompok pertama, misalnya nash hadits yang bersumber dari Abdullah bin
Umarsebagai berikut :
“Bersumber dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap
kepemimpinannya, seorang Imam yang (memimpin) atas manusia adalah
(bagaikan) seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap
gembalaannya (rakyatnya).”40
39
Ali Belhaj, al-Damghah al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah al-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan
Demokrasi), Terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), hlm. 15.
40
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Turmudzi dan
Imam Ahmad, bersumber dari Abdullah bin Umar, dengan nama-nama periwayat : Hadits ini
berstatus shaheh mcnurut syarat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Lihat Imam al- Bukhari,
op.cit., Juz I, hlm. 304 dan 431, Juz II, hlm. 848, 901-902, Juz III, 101, 133 dan 134. Imam
Muslim, op. cit., Juz XII, hlm. 213, Abu Dawud Sulaiman bin Al - Asy’ats As – Sijistani
47
bersifatumum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang
mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah
disebut sebelumnya. Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh
dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Kesatuan Khilafah untuk seluruh
imammadzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan
Imam Ahmad.41
khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :
rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas
khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu
disebut Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Hadits Nomor 2928, Juz III,
hlm. 342-343, Abu Isa Muhammad bin Saurah al-Turmudzi, disebut Imam al-Turmudzi, Sunan al-
Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Hadits Nomor 1705, Juz IV, hlm. 308.
41
Lihat Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba'ah. (Beirut : Dar al-Fikr,
2000), Juz V, hlm. 308, Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf
al-A’immah, (Kairo: Dar al-Manar, tt), hlm. 208.
48
jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan
secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi khilafah adalah kepemimpinan umum
Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang
telah dirumuskan oleh Imam al-Mawardi yang kemudian terlihat dalam definisi
istilah khilafah dan imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja
42
Ibid., Juz V, hlm. 309.
43
Syaikh Taqiy al-Din al-Nabhani, op. cit., Juz II, hlm. 3.
49
dalam Shiddiq Hassan Khan, khilafah dan imamah dirumuskan sebagai berikut :
44
Ide negara hukum (rule of law) pada pokoknya sejalan dengan praktik
orang per orang, melainkan sistem aturan berdasarkan syari’at yang diwahyukan
oleh Allah SWT dan Sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sejak
zaman Nabi Muhammad SAW , beliau selalu digambarkan dan menampilkan diri
44
Shiddiq Hasan Khan, al-Karaamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, (Kairo : Maktabah
Dar al-Salam, 2006), hlm. 23.
50
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab 21)45
imamah. Dalam pengertian sehari-hari untuk keperluan yang bersifat praktis, kata
juga disebut pemimpin. Dalam pengertian demikian pemimpin atau al-imam itu
tidak lain adalah seorang atau persona tokoh yang menjalankan fungsi
“Bersumber dari Abdillah ibnu ‘Umar ra. Berkata saya telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda. “kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua
bertanggung jawab atas apa yang kamu pimpin. “Imam itu adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya, orang laki-laki (suami)
itu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang
istri adalah pemimpin di dalam keluarga suaminya dan ia bertanggung jawab
yang dipimpinnya. Pembantu itu adalah pemimpin harta majikannya, dan ia
45
Tim Penterjemah Depag RI, Op.cit., hlm. 911
51
merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa
pemimpin adalah pahlawan, idola dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia
dirinya menuju pada kesempumaan yang lebih.48 Di antara nash al-Qur’an yang
46
Imam Muslim, Op.cit., Juz III, hlm. 145. Imam al-Bukhari, Op.cit., Juz I, hlm. 304 dan
431, Juz II, hlm. 848, 901-902, Juz III, hlm. 101, 133 dan 134. Abu Isa Ahmad bin Saurah al-
Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, (Beirut : Dar al-Fikr,tt) Juz IV, hlm. 208. Imam al-Baihaqiy,
Op.cit., Juz VI, hlm. 287.
47
Haidar Bagir dan Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis.
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 6-17.
48
Ibid., hlm. 17. Lihat Sudjana, E., Visi Pemimpin Masa Depan : Menggagas Politik
Berkeadilan. (Bandung : Penerbit Marja’, 2003), hlm. 12.
52
Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua
bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun
hukun dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan
syari’ah adalah amanah. Di sinilah letak wajibnya memilih seorang Khalifah atau
pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzui (sebab-sebab turun ayat)
QS. al-Nisa’ : 58 adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (peminpin yang
sah).50 Iqbal dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang
“Mush’ab bin Sa’ad berkata, aku mendengar Ali bin Abi Thalib
berkata, “Hak atas seorang imam adalah menghukumi dengan apa yang
diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam
telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk
mendengarkan, mentaati dan menjawab panggilannya. perkataan yang
paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-Qur’an adalah
kitab Allah dan melaksanakan amanah yang dilimpahkan melalui
wewenangnya secara adil dan bijaksana”.51
Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang
49
Tim penterjemah Depag RI, Op.cit., hlm. 87.
50
Iqbal, Negara Ideal Menurut Islam, (Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia, 2002) hlm. 28.
51
Ibid., hlm. 33. Imam al-Thabrani, op.cit., hlm. 282.
53
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (al-Hadits), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya”.53 (QS al-Nisa’: 59)
Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka
memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhimya dipercaya untuk
Khalifah. Umat Islam pun terhindar dari keretakan dan perpecahan. Tidak
dipungKiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang
pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi ia merupakan kelaziman
maka dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan : tidak biasa sempurna kecuali
52
Ibnu Taimiyah, op.cit., hlm. 175.
53
Tim Penterjemah Depag RI, Op.cit., hlm. 88
54
Iqbal, op.cit., hlm. 35. Lihat Imam al-Syaukani, Irsyad ar-Fukhu ila Tahqiq al-Haq min
IIMI al-Ushul, (Beirut : Dar al-Fikr, Beirut, tt), Juz II, hlm 86. al-Amidiy, al-Ihkam (Beirut : Dar
al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 117.
54
(1) adil dalam arti yang luas, (2) punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di
sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah
cepat, (5) pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum,
(6) berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh, dan (7) dari
keturunan Quraisy.55
Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang
harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih sederhana dibandingkan
dengan al-Mawardi, yaitu; (1) dari kalangan Qurasy, (2) baligh, (3) laki-laki, dasar
yang digunakan adalah sabda Rasulullah, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang
Allah SWT berfirman “Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir
untuk (menguasai) kaum mukmin” (QS. al-Nisa’ : 141), dan (5) paling menonjol
taqwa kepada Allah SWT dan tidak diketahui berbuat fasik.56 Sementara Imam al-
55
Imam al-Mawardi, op.cit., hlm. 4. Yusuf Musa, Politik dan Negara Dalam Islam,
(Surabaya : al-Ikhlas, 1990), hlm. 59.
56
Yusuf Musa, Ibid., hlm. 60.
55
merdeka, (2) laki-laki, (3) mujtahid, (4) berwawasan luas, (5) adil, (6) baligh, dan
(7) tidak boleh wanita.58 Menurut Ibn Khaldun, syarat yang harus dipenuhi oleh
mujtahid dan tidak bertaklid. Kedua, adil, pemimpin adalah jabatan tertinggi,
selain menduduki dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan politik di tengah-
(Dari segi politik) kepemimpinan umat sebagai pengganti keNabian (khilafah al-
Nubuwwah) dapat ditegakkan dengan adanya pilar-pilar agama yang dianut dan
dihayati sebagai kekuatan moral, penguasa yang kharismatik, berwibawa dan
57
Ibid., hlm. 61.
58
Ibid., hlm. 61-62.
59
Ibid., hlm. 61. Lihat Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 395.
56
Negara.
60
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 1. Lihat Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah : Ajaran Sejarah
dan Pemikiran (Jakarta : PT Sultan Grafindo Persada, 1999), hlm. 227.
57
lain. Yang tersebut terakhir dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu : Ketiga
ikhlas, siap membantu dengan loyalitas yang tinggi, (c) Berlaku adil
61
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta; UI
Press, 1993), hlm. 62.
58
ini, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruhnya bisa terlihat pada karya Nizamul
Mulk Tusi dan Ibn Khaldun. Ibn Khaldun, yang diakui peletak dasar sosiologi dan
pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi al-
62
Muhammad Azhar, Filsafat Politik (Perbandingan Antara Islam dan Barat), (Jakarta: PT.
Sultan Grafindo Persada, 1997), hlm. 83.
63
Azyurmadi Azhar, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundementalisme, Modernisme dan
Post Modernisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), hlm. 4.
59
hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat
dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral
ini hampir dikatakan pragmatis, apabila dibaca pada bagian pertama kitabnya
dalam kerangka politik dalam hubungan yang bersifat simbiotik di mana di antara
sifatnya yang simbiotik tersebut, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup
64
Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 349-350.
65
Ibid., hlm. 26.
66
Syamsul Arifin dan Tabroni, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta:
SIPRESS, 1994), hlm. 48
60
sebagai negara yang berdasarkan Syari’at Islam, jika umat Islam merupakan
dapat pula kita menghubungkannya dengan perdebatan yang tak kunjung tuntas
internasionalisme dan konsep Khilafah. Seperti sudah dijelaskan di atas, kita harus
mengenai kepemimpinan oleh sistem aturan atau sistem hukum itulah dapat
konsep-konsep dasar tentang otonomi dan kebebasan setiap manusia yang menjadi
pengertian sistem kepemimpinan model baru yang di zaman Nabi sama sekali
Pemimpin suatu kaum atau komunitas yang dalam pengertian modern yang
67
Qamaruddin Khan, op.cit., hlm. 58 Abu al-A’la al-Maududi, op.cit., 355.
61
dalam berorganisasi negara. Jika sebelum Islam, para pemimpin negara itu selalu
diangkat berdasarkan keturunan, maka sejak zaman Nabi dan Khulafa al-Rasyidin,
substantif.68
Islam, khusus yang tercermin dalam lima Khalifah, pertama, yaitu; (1) Abu bakar
Siddik, (2) Umar ibn Khattab, (3) Usman ibn Affan, dan (4) Ali ibn Abi Thalib,
serta (5) Mu’awiyah ibn Abi Sofyan. Meskipun yang biasa disebut sebagai
Khulafa al-Rasyidin hanya empat saja, yaitu tidak termasuk Mu’awiyah ibn Abi
bin Abi Thalib juga tidak didasarkan atas hubungan keturunan dengan Ali bin Abi
sendiri. Mu’awiyah sendiri ditetapkan menjadi Khalifah penerus Khalifah Ali ibn
Abi Thalib melalui kudeta berdarah sebagai salah satu contoh pola suksesi atau
pergantian kekuasaan yang sering terjadi dalam semua tradisi dan dalam semua
sistem. Kudeta itu sendiri sering terjadi dalam sejarah umat manusia dimana saja,
68
Ibid., hlm. 59 Abu al-A’la al-Maududi, op.cit., hlm. 356.
69
Ibid.
62
baik dalam sistem Kerajaan maupun dalam sistem republik. Namun, sebelum
zaman Islam, kudeta hanya terjadi dalam sistem Kerajaan, raja yang satu
ditumbangkan, diganti dengan raja yang baru. Dari waktu ke waktu, dinasti demi
Ibnu Khaldun.70
mana-mana hanya terjadi melalui cara turun temurun atau melalui perebutan
oleh rakyat, kekuasaan oleh public seperti yang tercermin dalam istilah ‘republik’.
Namun yang memimpin negara dimaksud tetaplah seorang raja atau ratu. Hanya
saja, yang diimpikan oleh Plato untuk menjadi pemimpin yang ideal itu adalah
seorang “Philofopher ‘s King”, yaitu seorang raja filosof.71 Karena itu, negara
yang ideal itu tetap saja berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh raja atau ratu.
Impian Plato tentang “res publica” itu barulah dalam tataran wacana filosofis.
tempat lain di dunia ketika itu, tetaplah merupakan bangunan organisasi yang
tradisi yang baku. Hal ini memang sering terjadi dalam sejarah, tidak saja di
70
Ibnu Khaldun, op.cit., hlm. 84.
71
BN. Marbun, op.cit., hlm. 394.
63
Dengan perkataan lain, konsepsi tentang republik di zaman Yunani Kuno itu
seperti yang diimpikan oleh Plato itu belumlah menjadi gambaran kenyataan
Dalam kaitan itulah maka praktik yang terjadi pada awal perkembangan
sejarah Islam, mulai dan masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sampai
Muhammad SAW menjadi pemimpin, di samping sebagai Nabi dan Rasul tidak
didasarkan atas keturunan, melainkan karena adanya ‘social trust’ dan ‘social
yang bersifat langsung dan terbuka yang dimotori oleh Umar ibn Khattab.
“bai’at” itu untuk mengambil sumpah agar para pengikutnya tunduk dan taat
kepada pimpinan yang membai’at. Kebiasaaan demikian ini tentu saja sangat
salah. Bai’at itu sendiri yang benar adalah seperti yang dilakukan Umar ibn
Khattab ketika membai’at Abu Bakar al-Shiddiq menjadi Khalifah pengganti Nabi
72
Ibid., hlm. 395.
73
Montgomery Watt, Muhammad; Prophet and Statesman. (Oxford : University Press,
1964), hlm. 92-94.
64
SAW.74 Sesudah Umar ibn Khattab menyatakan “bai’at”nya maka para sahabat
kepada atasan.
karena itu, sistem bai’at yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab kepada Abu Bakar
al-Shiddiq itu, dapat disebut sebagai cikal bakal sistem pemilihan kepala negara
yang pertama dalam sejarah umat manusia. Karena itu, sistem Khilafah al-Rasul
yang dipraktikkan di zaman sepeninggal Nabi Muhammad tidak lain dan tidak
bukan adalah sistem republik yang diimpikan Plato di zaman yunani kuno. Impian
Plato tentang “res publica” dituliskannya dalam buk “Republics” belum dapat
berikutnya juga diangkat menjadi “amirul mu’minin” dengan cara yang tidak
bersifat turun temurun. Bersamaan dengan itu, seperti sudah diuraikan di atas
semua masalah yang menyangkut kepentingan umum selalu diputuskan oleh para
74
Ibnu Khaldun, op.cit., hlm. 395. Montogomery Watt, op.cit., hlm. 94
75
Montgomery Watt, Ibid., hlm. 95.
65
dengan prinsip demokrasi perwakilan. Hal demikian ini tidak lain merupakan
konsep republik seperti yang diimpikan Plato dan seperti yang pertama kali
diterapkan dalam praktik di zaman Nabi Muhammad dan masa Khulafa al-
yang diimpikan oleh banyak kalangan segera diakhiri saja. Suatu republik, jika
berkembang maju dan kuat dapat saja meluas pengaruhnya ke seluruh dunia.
Misalnya republik Amerika Serikat yang ada sekarang sangat luas pengaruh
kekuasaannya di seluruh dunia. Jika ada satu dua republik yang mayoritas
penduduknya adalah umat Islam, lalu berkembang sangat maju dan kuat, baik
secara militer, secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, maka negara Muslim
dimaksud tidak sulit untuk berperan seperti satu ke Khalifahan yang kuat seperti
di masa-masa lalu, yaitu ke Khalifahan Islam antara abad ke-6 sampai dengan
abad ke-13 atau setidaknya seperti ke Khalifahan Ottoman sampai abad ke-19 dan
sebelum Perang Dunia Pertama yang masih dikenal sangat kuat pengaruhnya di
dunia.76 Tradisi-tradisi yang tumbuh dan hidup dalam sejarah Islam dapat
ditafsirkan tidak menolak sistem republik. Bahkan tradisi Islam itu lah yang justru
pertama kali menerapkan prinsip-prinsip yang di kemudian hari kita kenal sebagai
76
Ibid., hlm. 96.
66
konsep republik dan konsep demokrasi. Konsep republik yang diidealkan dan
dengan baik di masa awal perkembangan Islam dan dari sana terus berkembang
pandangan para juris sunni wajib menurut hukumagama sebagai pengganti tugas
menegakkan hukum yang telah ditetapkan, membela umat dari gangguan musuh,
memeratakan penghasilan negara bagi rakyat dan mengatur perjalanan haji dengan
sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum harus sesuai dengan syari’at. 77
77
Dikutip dalam Lambton, op.cit., hlm.,73 dan 76.
67
yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma’ oleh salaf (generasi pertama umat
penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah Islam dan memelihara
kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik jiwa maupun harta.
orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui
eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan
syara’, nas’ dan ijtihad. Kedelapan, mengatur penggunaan harta baitul mal secara
Kesepuluh, dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala
adalah lembaga yang memiliki keuasaan dan menjadi alat melaksanakan syari’at,
78
Lihat catatan 101.
79
Lihat catatan 76.
80
Al-Mawardi, op. cit., hlm. 15-16.
68
demi terwujudnya kesejahteraan umat, lahir dan batin serta tegaknya keadilan dan
kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits.82 Tidak berbeda dari pendahulunya, Ibn
dari keberadaan manusia. Kehidupan manusia di dunia ini adalah satu marhalah
Islam yang bersifat politik menaruh perhatian terhadap kehidupan dunia. Maka
akhirat.83
dusturi (berasal dari bahasa Persia). Semula artinya adalah seseorang yang
bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau
pembinaan. Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar
81
Lihat catatan 125 dan 126.
82
Ibn Taimiyah, Al-Siyasat., hlm. 9-29.
83
Ibn Khaldun, Muqaddimat, op. cit., hlm. 190.
69
dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah
negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi).84
konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah negara yang
konstitusi sejalan dengan aspirasi dan jiwa masyarakat dalam negara tersebut.
landasan yang kuat undang-undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk
Sementara sumber penafsiran adalah otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan
atau menjelaskan hal-hal yang perlu pada saat undang-undang dasar tersebut
diterapkan.86
84
Muhammad Iqbal, Fiqh Siayasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), hlm. 153-154.
85
Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syarifah, (Cairo : Dar al-Anshar,1977), hlm. 25-40.
86
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 154.
70
rakyat ditentukan oleh adat istiadat. Karena adat istiadat ini tidak tertulis, maka
dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang hak
kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersikap absolut dan otoriter terhadap rakyat
main” dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.88 Lewat revolusi, ada juga
yang dibangun karena lahirnya sebuah negara baru, contoh seperti ini seperti
Pakistan dan Indonesia. Pendiri negara yang bersangkutan itulah yang terlibat
di Eropa yang menjadi sumber utama dari konstitusi itu adalah adat istiadat yang
Dari adat inilah muncul teori hubungan timbal balik antara penguasa dan rakyat,
yaitu disebut dengan “Kontrak Sosial” yang ditemukan oleh Thomas Hobbes.
87
Ibid., hlm. 155.
88
Contoh kasus ini adalah revolusi Perancis tahun 1789 yang melawan kesewenang-
wenangan Sultan Lauis XVI. Dalam revolusi ini, rakyat berhasil menjatuhklan sultan dan
memenggal lehernya dan keluarganya. Contoh lain yang kontemporer adalah revolusi Iran yang
dipimpin oleh Ayatullah Khumeini yang berhasil menjatuhkan penguasanya, Reza Pahlavi dan
mengusirnya dari tanah Iran (1979). Pasca revolusi Iran mengadakan dan merumuskan kembali
Undang-Undang Dasar.
71
Teori ini menginspirasi lahirnya konstitusi tertulis yang mengatur batas-batas hak
tidak merinci secara detail bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyatnya
serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Al-Qur’an hanya memuat dasar-
dasar atau prinsip umum ketatanegaraan secara global dan ayat yang mengatur
tentang ketatanegaraan pun tidak banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ayat yang
masih global tersebut dijabarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya,
tolak dari hal itu, teori-teori hukum Islam seperti ijma’, qiyas, istihsan dan
ruh syari’at.
menghadapi masyarakat Madinah yang majemuk antara golongan muslim dan non
kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua
89
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 155.
72
bentuk perbedaan pendapat yang timbul dalam kehidupan bersama. Perjanjian ini
dibuat pada tahun pertama Hijrah, sebelum perang Badar dan dikenal dengan
perjanjian Piagam Madinah sebagai keputusan yang amat luhur dan merupakan
fase politik yang telah diperlihatkan Nabi Muhammad SAW dengan segala
kepadanya dengan rasa kagum.90 Banyak pakar politik menyatakan bahwa Piagam
bersama dalam keamanan.92 Dalam piagam inilah untuk pertama kali dirumuskan
kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan
bela negara.93 Piagam Madinah sebagai dokumen politik yang patut dikagumi
bukan hanya seorang Rasul melainkan juga seorang negarawan. 94 Piagam tersebut
90
Musdah Mulia, Negara Islam Pemikiran Politik Husain Haekal, (Jakarta : Paramedina,
2001), hlm. 187-188.
91
Zaenal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW Sebagai Konstitusi Negara
Tertulis Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 52.
92
Muhammad Hamidullah, Pengantar Studi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.25-
26. Lihat Munawir Sadzali, op.cit., hlm. 9-10.
93
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm.195.
94
Munawir Sadzali, op.cit., hlm. 15-16.
73
sangat revolusioner dan sangat mendukung gagasan Nabi Muhammad SAW bagi
masyarakat Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antar suku dengan
suatu kesepakatan95 dan piagam madinah sekaligus sebagai landasan hukum hidup
suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW dan diterima
SAW , ketiga unsur tersebut terlihat secara nyata, yaitu : (1) Masyarakat tersebut
Muhammad SAW sebagai pemimpin dan pemegang otoritas politik yang sah
95
Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta : LKIS, 1993), hlm. 19.
96
Musda Mulia, op.cit., hlm. 190.
97
Ibid., hlm. 172-175.
98
Ibid., hlm. 191.
74
bernegara bagi umat Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammas SAW
Muhammad SAW wafat sampai pada masa Dinasti Bani Abbassiyah tidak ada
lagi konstitusi tertulis untuk mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.
diberbagai dunia Islam, setelah dunia Islam mengalami penjajahan dunia Barat.
Pemikiran ini sebagai reaksi atas kemunduran umat Islam dan merespon gagasan
politik barat dengan kolonialismenya terhadap dunia Islam. Negara yang pertama
konstitusi irii sebagai semi otokratis, karena hak-hak dan kekuasaan Sultan lebih
dominan atau lebih besar.100 Konstitusi ini tidak berjalan secara efektif karena
Sultan Usmani masih memegang kekuasaan yang begitu besar, yang akhirnya oleh
dan terbentuklah Republik Turki yang sekuler di bawah pimpinan Mustafa Kamal
99
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 158.
100
Harun Nasution, op. cit., hlm. 112.
75
sebagai Undang-Undang Dasar negara dan syari’ah sebagai hukum dasar yang
politik dan dewan perwakilan rakyat, yang ada adalah dewan syura yang
anggotanya diangkat oleh sultan, namun demikian, tidak berarti sultan berkuasa
menyebutkan syari’ah sebagai sumber hukum. Oleh sebab itu hukum perdata dan
pidana tidak berdasarkan pada syari’at melainkan sebagian diwarnai oleh hukum
agama negara dan bahasa arab sebagai bahasa resmi negara dan juga disebutkan
persamaan hak warga negara tanpa membedakan asal usul dan agama. 104 Negara
lain adalah Tunisia yang dalam konstitusinya menegaskan bahwa negara Tunisia
berbentuk republik dan Islam sebagai agama resmi negara. Dalam konstitusinya
Hukum Islam (fiqih) adalah sebagai sumber hukum untuk mengatur masalah
hukum keluarga kewarisan dan perwakafan. Sedang masalah hukum pidana fiqh
sebagai salah satu sumber hukum dari banyak sumber hukum lainnya. Model
101
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 159.
102
Munawir Sadzali, op. cit., hlm. 22.
103
Ibid., hlm. 23.
104
Muhammad Iqbal, loc. cit.
76
konstitusi negara Tunisia ini di ikuti oleh negara-negara Arab lainnya seperti
konstitusinya (UUD 1945) tidak menegaskan salah satu agama sebagai agama
resmi negara tetapi menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya. 106
Berangkat dari catatan sejarah konstitusi di atas, dapat diklasifikasi ada tiga
tipe konstitusi, yaitu : (1) Negara yang tidak ada pembaharuan dan
memberlakukan hukum fiqh secara mutlak, seperti Saudi Arabia, (2) Negara yang
sepenuhnya hukum dari negara barat, seperti Turki, dan (3) Negara yang
memadukan Islam dan sistem hukum lainnya. Contoh negara ini adalah Mesir,
Hasil penelitian para ahli menyimpulkan bahwa tidak ada satu ayat pun
yang secara khusus menerangkan bentuk negara. Oleh karena itu, tidak heran jika
bentuk negara dalam Islam berkembang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat,
sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga kini.108 Hal ini, tidak berarti bahwa
seperangkat nilai etika untuk dijadikan bahan rumusan konstitusi sebagai landasan
105
Munawir Sadzali, loc. cit.
106
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 160.
107
Ibid., hlm. 161
108
Harun Nasution, Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Ohor
Indonesia, 1985), hlm. 10.
77
sesama manusia, persamaan antar manusia dan kebebasan manusia. 109 Ketiga
Madinah, yaitu
maupun agama.111
berpikir dan kebebasan beragama. Oleh sebab itu, hak-hak individu dijamin,
mereka dapat hidup dalam kondisi yang sejahtera dan tentram. 112 Prinsip-
Berdasarkan ketiga prinsip dasar di atas, maka dalam hukum Islam tidak
mengenal bentuk pemerintahan tertentu, artinya apapun sistem dan bentuknya asalkan
sistem tersebut dapat menjamin persamann di antara para warga negaranya, baik
dalam hak maupun kewajiban mereka dan juga persamaan di muka hukum.
berpegang pada tata nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh Islam bagi
pemerintahan dalam hukum Islam terikat oleh kehendak rakyat larangan dan perintah
tidak bersifat absolut karena penguasa harus bermusyawarah dengan rakyatnya dan
terikat oleh hasil musyawarahnya dan terikat pula oleh apa yang diwahyukan dalam
112
Ibid., hlm. 241-242.
113
Ibid., hlm. 205.
79
kebebasan di atas, lebih mengarah atau sejalan dengan sistem pemerintahan yang
bercorak demokratis. Hal ini dapat dikemukakan alasan, yaitu : (1) Sejarahawal
dipengaruhi oleh unsur kebudayaan barat, (2) Dalam hukum Islamterdapat sistem
oleh kebudayaan Arab. Bangsa Arab sejak dulu dikenaldengan bangsa yang
Arab, hal ini terbukti terdapat lembaga Dar al-Nadwah diMakkah, tempat
pemuka masyarakat. Ada empat carayang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW
114
Ibid., hlm. 220.
80
dipraktekkan Nabi Muhammad SAW sejak pertama hijrah dan selama menetapdi
Madinah, juga karena didasarkan padafirman Allah QS. Ali Imran ayat 159
pada masa awal Islam yaitu sejak hijrah Nabi SAW dan selama menetap di
kebebasan yang bertumpu pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam kepemerintahan Nabi SAW telah tertulis dalam konstitusi yaitu pada Piagam
Madinah. Khusus teori pemisahan kekuasaan negara yaitu Eksekutif, Yudikatif dan
Legislatif, walaupun belum dikenal oleh pemerintahan di masa Nabi SAW, namun
115
Munawir Sadzali, op. cit., hlm. 16-17.
81
dalam sejarah Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabaladalah dua orang diangkat
mereka ini telah memenuhi kualifikasi tersebut. Ini memberiisyarat bahwa jauh
dan Legislatif yang belum dikenal pada masa Nabi SAW, tidakmenjadi persoalan,
karena dalam suatu negara hukum yang penting bukan atautidaknya pemisahan
1. Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah,
mewakili pihak kaum Muslimin yang terdiri dari warga Quraisy dan warga
Yathrib serta para pengikutnya yaitu mereka yang beriman dan ikut serta
berjuang bersama mereka.
2. Kaum Muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan
dengan kelompok-kelompok masyarakat lain.
3. Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy, dengan tetap memegang
teguh prinsip aqidah, mereka bahu-membahu membayar denda yang perlu
dibayarnya. Mereka membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota
yang ditawan.
4. Bani ‘Auf dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik dan
adil membayar tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan.
5. Bani Al-Harits (dari warga Al-Khazraj) dengan teguh memegang prinsip
aqidah, mereka bahu-membahu membayar denda pertama mereka. Setiap
116
Muhammad Tahir Azhari, op. cit., hlm. 169-170.
117
Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hlm. 49-50.
82
kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya
yang ditawan.
6. Bani Sa’idah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar denda dengan
baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
7. Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik
dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
8. Bani An-Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warga yang tertawan.
9. Bani Amr bin ‘Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
10. Bani An-Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
11. Bani Al-Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
12. (a) Kaum Muslimin tidak membiarkan seorang Muslim yang dibebani
dengan utang atau beban keluarga. Mereka memberi bantuan dengan baik
untuk keperluan membayar tebusan atau denda. (b) Seorang Muslim tidak
akan bertindak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba sahaya) Muslim
yang lain.
13. Kaum Muslimin yang taat (bertakwa) memiliki wewenang sepenuhnya
untuk mengambil tindakan terhadap seorang Muslim yang menyimpang dari
kebenaran atau berusaha menyebarkan dosa, permusuhan dan kerusakan di
kalangan kaum Muslimin. Kaum Muslimin berwenang untuk bertindak
terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak Muslim sendiri.
14. Seorang Muslim tidak diperbolehkan membunuh orang Muslim lain untuk
kepentingan orang kafir dan tidak diperbolehkan pula menolong orang kafir
dengan merugikan orang Muslim.
15. Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada di pihak mereka
yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang Muslim, dalam
pergaulannya dengan pihak lain, adalah pelindung bagi orang Muslim yang
lain.
16. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak
persamaan setara akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar
yang merugikan.
83
17. Perdamaian bagi kaum muslimin adalah satu. Seorang Muslimin tidak akan
mengadakan perdamaian dengan pihak luar Muslim dalam perjuangannya
menegakkan agama Allah kecuali atas dasar persamaan keadilan.
18. Keikutsertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara
bergiliran.
19. Seorang Muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung
bagi Muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang mengancam
keselamatan jiwanya.
20. (a) Kaum Muslimin yang taat berada dalam petunjuk yang paling baik dan
benar. (b) Seorang musyrik tidak diperbolehkan melindungi harta dan jiwa
orang Quraisy dan tidak diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu
yang merugikan seorang Muslim.
21. Seorang yang ternyata berdasarkan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang
Muslim, wajib dikisas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya.
Dan semua kaum Muslimin mengindahkan pendapat wali terbunuh. Mereka
tidak diperkenankan mengambil keputusan kecuali dengan mengindahkan
pendapatnya.
22. Setiap Muslim yang telah mengakui perjanjian yang tercantum dalam naskah
perjanjian ini dan ia beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tidak
diperkenankan membela atau melindungi pelaku kejahatan (criminal), dan
barang siapa yang membela atau melindungi orang tersebut, maka ia akan
mendapat laknat dan murka Allah pada Hari Akhir. Mereka tidak akan
mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah.
23. Bila kami sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaklah perkaranya
diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad.
24. Kedua pihak; Kaum Muslimin dan Kaum Yahudi bekerjasama dalam
menanggung pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama.
25. Sebagai satu kelompok, Yahudi Bani ‘Auf hidup berdampingan dengan kaum
Muslimin. Kedua pihak memiliki agama masing-masing. Demikian pula halnya
dengan sekutu dan diri masing-masing. Bila di antara mereka ada yang
melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan
ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
26. Bagi kaum Yahudi Bani An-Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf.
27. Bagi kaum Yahudi Bani Al-Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Bani ‘Auf.
28. Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani ‘Auf.
29. Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani ‘Auf.
84
30. Bagi kaum Yahudi Bani Al-Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani ‘Auf.
31. Bagi kaum Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Bani ‘Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa
dalam hubungan ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya
sendiri.
32. Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa’labah berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah.
33. Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum
Yahudi Bani ‘Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa.
34. Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa’labah tidak berbeda dengan Bani Tsa’labah
itu sendiri.
35. Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu
sendiri.
36. Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali
mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas)
orang lain yang lebih melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya.
Barang siapa yang membunuh orang lain sama dengan membunuh diri dan
keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya. Sesungguhnya
Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
37. Kaum Yahudi dan Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua
belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak
yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam
perjanjian ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasihat
dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.
38. Seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya, dan orang yang
teraniaya akan mendapat pembelaan.
39. Daerah-daerah Yathrib terlarang perlu dilindungi dari setiap ancaman untuk
kepentingan penduduknya.
40. Tetangga itu seperti halnya diri sendiri, selama tidak merugikan dan tidak
berbuat dosa.
41. Sesuatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas
kehormatan itu.
42. Sesuatu peristiwa atau perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang
menyetujui piagam ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan
bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah dan Muhammad sebagai utusan-
Nya. Allah akan memperhatikan isi perjanjian yang paling dapat memberikan
perlindungan dan kebajikan.
43. Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang
mendukungnya tidak akan mendapat pembelaan.
85
44. Semua warga akan saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang
melancarkan serangan terhadap Yathrib.
45. (a) Bila mereka (penyerang) dajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu
serta melaksanakan perdamaian tersebut maka perdamaian tersebut dianggap
sah. Bila mereka mengajak berdamai seperti itu, maka kaum Muslimin wajib
memenuhi ajakan serta melaksanakan perdamaian tersebut, selama serangan
yang dilakukan tidak menyangkut masalah agama. (b) Setiap orang wajib
melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
46. Kaum Yahudi Aus, sekutu (hamba sahaya) dan dirinya masing-masing
memiliki hak sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui
perjanjian ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari
kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya kebajikan itu berbeda dengan
perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan
yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian yang paling murni
dan paling baik.
47. Surat perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan
dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah
maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan
dosa. Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari
keburukan.118
Muhammad Rasulullah SAW
Dari kajian yang dilakukan terhadap pemikiran politik Islam beberapa orang
tokoh tidak memperoleh keterangan teori mereka mengenai sumber kekuasaan bagi
kepala negara. Apakah menurut teori ketuhanan, teori kekuatan dan atau teori kontrak
sosial. Untuk mengetahui hal ini hanya bisa dipahami berdasarkan tafsiran terhadap
pemikiran dan gagasan mereka mengenai proses terbentuknya negara, cara pemilihan
118
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Agama, Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta:
UI Press, 1990), hlm. 10-15.
86
diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh
pihak yang menang dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat
hukum.120 Teori ini dikemukakan juga oleh Ibn Khaldun. Menurutnya masyarakat
sesama. Al-Wazi’ diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatnya.
kekuasaan politik.121 Sedangkan teori kontrak sosial adalah suatu teori yang
lembaga.122
Al-Mawardi, Al-Juwaini dan Ibn Khaldun lebih mungkin ditarik kepada paham
teori kontrak sosial. Artinya, sumber kekuasaan bagi mereka berasal dari
atas dasar kehendak manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik untuk
119
Lihat Krenenburg dan TK. Sabaruddin, Ilmu Negara Umum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1986, hlm. 9
120
F. Isywara, Pengantar Ilmu Politik, Angkasa, Bandung, 1982, hlm. 153.
121
Ibn Khaldun, Muqqadimat, (Dar al-Fikr, tt), hlm. 139.
122
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, Sultanwali, Jakarta, 1982, hlm. 79.
87
memenuhi kebutuhan hidup. Tapi tabiat manusia yang demikian mereka kaitkan
daigan keyakinan agama. Sebagai ciptaan dan kehendak Tuhan atas manusia
Dalam kerjasama itu mereka memerlukan seorang pemimpin yang akan mengatur
urusan mereka. Untuk tampilnya seorang pemimpin menurut para tokoh ini harus
diangkat melalui pemilihan oleh ahl al-‘aqd wa al-halli yang disertai dengan baiat
atau persetujuan masyarakat. Hal ini merupakan “perjanjian sosial” di antara dua
belah pihak atas dasar sukarela. Tapi tidak jelas apakah anggota lembaga pemilih
itu bersifat perwakilan dan diangkat oleh rakyat. Yang dapat dipahami mengenai
pandangan mereka dalam hal ini adalah bila para anggota pemilih sebagai anggota
akan mentaatinya.
Ibn Abi Rabi’ lebih dekat ditarik kepada teori ketuhanan. Hal ini didasarkan
demikian sumber kekuasaan kepala negara bukan berasal dari rakyat, melainkan
datang dari Allah yang melimpahkan-Nya kepada sejumlah kecil orang pilihan.
surat al-Nisa yang memerintahkan orang-orang mukmin taat kepada Allah, kepada
RasulNya dan kepada para pemimpin dan ayat 26 surat Ali Imran yang
123
Ibn Abi Rabi’, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, (al-Qahirat: Dar al-Sya’ab, 1970),
hlm. 102.
88
negara atau sultan adalah bayangan Allah di atas bumiNya. Karena itu rakyat
Nabi-Nabi dan para pemimpin. Para Nabi bertugas untuk membimbing rakyat ke
jalan yang benar dan para sultan atau pemimpin mengendalikan rakyat agar tidak
kemaslahatan rakyat.124
Ali Abd al-Mu’thi Muhammad, mengandung arti bahwa kekuasaan kepala negara
itu muqaddas (suci). Karenanya rakyat wajib mentaati segala perintahnya. Sistem
Tapi meskipun seorang menjadi sultan atau kepala negara atas kehendak
dan tauliyat (pengangkatan dari orang lain). Dengan ini ia berbeda dari Rabi’.
Menurutnya ada tiga cara untuk memperoleh tafwidh dan tauliyat itu, yaitu dengan
cara penetapan dari Nabi, penetapan dari sultan yang sedang berkuasa dengan
124
Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam (al-Mishriyat: Dar al-Jami’at,
Iskandariat, 1978), hlm.393, dikutip dari al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk,
Cairo, 1317 H, hlm. 40-41.
125
Muhammad Jalal Syaraf, op. cit., hlm. 393.
89
dengan baiat oleh ulama yakni ahl al-halli wa al-‘aqd.126 Baiat yang sifatnya
terbatas.
Sedangkan pendapat Ibn Taimiyah dapat ditinjau dari dua sudut pandang.
Bila didasarkan pada penolakkannya terhadap doktrin syi’ah tentang adanya nash
penetapan Ali sebagai imam sesudah Nabi, maka ini berarti ia menerima sistem
pemilikan dan sumber kekuasaan adalah rakyat. Tapi bila dilihat pada pendapatnya,
“makhluk adalah hamba Allah dan para pemimpin adalah wakil-wakil Allah atas
sekuat tenaga dengan mengerahkan berbagai daya upaya untuk menjadi penguasa.
126
Al-Ghazali, Al-Iqtishad, Fi al-‘Itiqad (Mishr : Maktabat al-Jund, 1978), hlm. 106.
127
Ibn Taimiyah, al-Siyasat, Al-Syar’iat fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’Iyat (Beirut : Dar al-
Kutub al-‘Arabiyat, 1966), hlm. 14.
128
Aristoteles, Sultanwali Pers, Jakarta, 1998, hlm. 45-46.
129
Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami, disebut Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, (Beirut; Dar al-Fikr. tt), hlm. 83
130
Abu Harnid Muhammad bin Muhammad Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut: Darul
Ma’rifah, tt), Juz VI, hlm. 173-174.
90
Sebagai sebuah agama yang tidak mengenal distingsi antara yang profan
(duniawi) dan yang transendental (ukhrawi), Islam pun mengatur masalah politik
dan kekuasaan. Pada perjalanan sejarahnya, teori politik yang pertama kali
muncul dalam Islam sebagaimana yang ditegaskan Harun Nasution adalah tentang
jabatan kepala negara.131 Terkait dengan jabatan kepala negara itu pula, Ibnu
kewajiban agama yang penting. Hal itu karena agama juga bisa tegak dengan
adanya kekuasaan. Selain itu, kepentingan umum masyarakat tidak akan terwujud
amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas
dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan
dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan
yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram. Hal inilah
yang membuat Islam tidak menerima pandangan Vilfredo Pareto, ahli politik
harus orang yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan ini sebagai acuan
131
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001),
hlm.97.
132
Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah al-Harani, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Beirut :
Dar al-Ma’rifah, tt), hlm. 217
133
Mukhlis Zamzami Can, Profil Pemimpin Islam, (Jakarta : Gramedia, 1990), hlm 82.
Lihat QS. al-Baqarah: 246-250.
91
berarti taat dan patuh serta takut melanggar/mengingkari dari segala bentuk
perintah Allah.
Sebagai kitab suci agama Islam yang mengandung perintah dan aturan dari
pengangkatan thalut sebagai sultan untuk berperang melawan Jalut yang direkam
mereka karena dianggap bukanlah dari kalangan orang kaya. Namun Thalut
pemimpin karena ia berhasil mengalahkan pihak agresor yang dipimpin oleh Jalut.
Dari sinyalemen al-Qur’an tersebut, diketahui bahwa faktor ilmu pengetahuan dan
jasmani merupakan dua hal yang penting dalam memilih seorang pemimpin yang
merupakan salah satu tokoh penting dalam merumuskan teori dan konsep yang
134
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 3
92
merupakan sesuatu yang wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara
rasional.135
Pada proses pemilihan seorang imam, jika belum ada seorang pemimpin,
maka dibentuk terlebih dahulu dewan pemilihan (ahl al-Ikhtiyar/ ahlul aqdi wal
Halli) dan ditentukan para kandidat pemimpin. Orang-orang yang menjabat dalam
dewan pemilihan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : (1) Adil yang
sebagai pemimpin sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, (3) Memiliki
pandangan yang luas dan kebijaksanaan agar betul-betul bisamemiliki siapa yang
pemimpin yang baik adalah seorang warga negara setempat yang betul-betul
persyaratan, yaitu : (1) Adil yang meliputi segala aspeknya, (2) Berilmu
berbagai peristiwa dan hukum yang timbul, (3) Sehat indranya, seperti penglihatan,
dihadapi, (4) Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu
akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat, (5) Memiliki
135
Ibid., hlm. 4
136
Ibid., hlm. 5
93
pihak yang lemah dan menghadapi musuh, (7) Keturunan dari suku Quraisy,
Kesanggupan (capability); (4) Sehat jasmani dan rohani; (5) Keturunan Quraisy.138
Terkait dengan kriteria atau syarat pemimpin, Khalifah Abu Bakar al-
Rasulullah SAW. Inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pandangan dalam
memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan
sebagai berikut :
Yang dapat diambil dari inti pidato Khalifah Abu Bakar ra ini, di antaranya :
(1) Sifat rendah hati, (2) Sifat terbuka untuk dikritik, (3) Sifat jujur dan memegang
137
Ibid., hlm. 5-6
138
Ibid.
139
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Terj. Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 59
94
amanah, (4) Komitmen dalam perjuangan. (5) Bersikap demokratis, (6) Berbakti
lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara. Ia juga menyatakan
bahwa tugas utama imamah ialah menjalankan fungsi keNabian dalam melindungi
perintah agama, dan bukan karena pertimbangan akal. Pemilihan imam dilakukan
melalui ijma’ (konsensus) umat Islam dan hukumnya adalah wajib. Dengan kata
lain, imam dipilih melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh pemilih yang
pendapat Syi’ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nash
(penetapan oleh Tuhan atau Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam
140
Ibid., hlm. 60
141
Ali ibn Muhammad Habib Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Shulthaniyah al-
Wilayah al-Diniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, 1989), hlm. 2.
95
kewajiban sosial atau bersama (fardhu kifayah), seperti kewajiban mencari ilmu
dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib.142 Dengan kata lain,
imam dipilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang
keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu,
jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak
Bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini,
“Jabatan imamah dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi, yaitu : (1) dia
dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki
wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model ‘al-Ikhtiar, dan
(2) ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi
dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada
eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah
sebelumnya, Abu Bakar al-Shiddiq.143
142
Ibid., hlm. 3
143
Ibid., hlm. 4-5.
96
“Dan adapun mereka yang berhak menempati jabatan imam atau kedudukan
sebagai khalifah harus memenuhi tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu adalah:
(1) sikap adil dengan semua persyaratannya, (2) ilmu pengetahuan yang
memadai untuk ijtihad, (3) sehat pendengaran, penglihatan, dan lisannya, (4)
144
Lihat Qamaruddin Khan, Negara al-Mawardi, Ali Bahasa Karsidi Diningrat (Bandung:
Pustaka, 2002), hlm. 5.
97
98
99
1) Menjaga agama sesuai dengan ajaran dasar yang pasti dan ajaran-ajaran
7) Mengumpulkan harta fai’, pajak dan sedekah yang telah ditetapkan oleh
syara’.
150
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 7-8. A. Hasjmi, op. cit., hlm. 205.
100
pemberi fatwa. Istilah lembaga legislatif dalam Islam lebih popular dengan
berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat. Adapun para ahli fiqh
untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kata
Para ahli fiqh Siyasah dalam menamai istilah Ahl al-halli wa al-‘aqd
b. Kewajiban taat kepada Ulil Amri baru mengikat apabila pemimpin itu
dipilih.
pemerintah danrakyat.
ketatanegaraan Islam, badan legislatif ini mulai dikenal pada masa Daulah
ini. Imam al-Mawardi menyebut lembaga ini dengan sebutan ahl ikhtiyar,
151
Suyuthi, Pulungan, op. cit., hlm. 67.
152
Ibid., hlm. 68.
153
Ibid.
102
ini, seperti halnya al-Baghdadi menyebut lembaga ini dengan sebutan ahl
ahl al-syura.
Ahl halli wa al-aqdi ini lebih popular dengan sebutan ahl syura
ini secara yuridis tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Secara
yaitu adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan
154
Ibid., hlm. 138.
155
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 9.
103
dimaksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan hukum Allah SWT dan
arah kehidupan mulia dan terhormat. Menurut Islam, kepala negara bukanlah
makhluk yang suci dan kebal hukum, sebab kepala negara juga termasuk
warga negara yang terkena aturan dan perundangan yang berlaku, karenanya
tanggung jawab dan beban yang lebih berat, karena iadipercaya untuk
mengurus agama dan dunia sekaligus. Karena itu dalam prinsipini, sumber
Jika kepala negara berbuat salah, umat mempunyai hak untuk menasehati,
lembaga ahl al-halli wa al-Aqd. Kekuasaan ini terus berlanjut selama masih
156
Sayuti Pulungan, op. cit., hlm. 139.
157
Ibid., hlm. 10.
104
bahwa umat mempunyai hak untuk memecat kepala negara apabila ada
khalifah itu ditaati selama berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul,
bahwa umat adalah sebagai sumber kekuasaan dan hubunganantara umat dan
Tetapi karena ini tidak mungkin diterapkan dalam negara yang luas dan di
negara yang kecil pun mengalami banyak kesulitan, maka tepatlah bahwa
158
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 7
159
Syaikh Muhammad Abduh, al-Islam wa al-Nashraniyyah, (Kairo: Dar al-Manar, tt),
hlm.63-65.
105
lebih baik kepentingan dan keinginan mereka sendiri daripada penduduk kota
lain.Begitu juga mereka dapat menilai dengan lebih baik kemampuan dan
negara yang sama. Oleh karena itu, para anggota legislatif haruslah tidak
dipilih dari badan umum suatu negara, tetapi pada tempatnyalah bahwa dalam
setiap kota sedapat mungkinseorang wakil harus terpilih oleh penduduk kota
melakukannya, hal ini adalah salah satu kesulitan utama untuk menegakkan
pemilihan wakil rakyat, kecuali para penduduk yang berada dalam situasi
eksekutif, karena tidak begitu cocok. Tetapi lembaga perwakilan ini boleh
hukum telah dijalankan sebagaimana mestinya, suatu hal yang cocok dengan
kemampuan mereka yang tidak seorang pun kecuali mereka yang dapat
melakukannya dengan tepat. Dalam suatu negara semacam ini, selalu ada
mereka berbaur dengan rakyat kebanyakan dan hanya memiliki bobot satu
suara seperti orang lain, maka kebebasan umum di mata rakyat akan
yang dapat terjadi hanya apabila mereka membentuk suatu badan yang
batas. Oleh karena itulah, kekuasan legislatif harus dipercayakan pada badan
yang terdiri dari para bangsawan dan badan lain yang mewakili rakyat, yang
menentang mereka. Bagian badan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan
yang telah ditetapkan pihak lain dengan kewenangan mereka sendiri. Yang
orang yang memiliki kekuasaan untuk menolak juga dapat mempunyai hak
istimewanya untuk menolak. Jadi hak menyetujui itu secara otomatis adalah
ada sejak masa Rasulullah SAW, para sahabat dan pemikir politik Islam
abad klasik, pertengahan hingga kontemporer. Sebut saja pada zaman klasik,
160
Munawwir Sadzali, op. cit., hlm. 21
108
Mawardi memberikan tujuh syarat bagi seorang hakim, yaitu: (1) Laki-
laki, syarat ini mengandung dua unsur sekaligus, yaitu baligh dan tidak
jauh dari sifat lupa,(3) Merdeka, (4) Islam, lebih jauh al-Mawardi
berpendapat orang non Islam tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk
kaum muslimin, bahkan untuk orang kafir sekalipun, (5) Adil, yang
cabang-cabangnya.
161
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 122, 143, 398.
109
Berwibawa, (4) Bersih, (5) Tidak ambisius, dan (6) Menjauhi hal-hal
162
Ibid., hlm. 82.
110
penipuan timbangan atau jual beli, (10) Mendesak orang yang menangguhkan
kewajibannya.164
negara tersebut dan beliau melaksanakan fungsi ini selaras dengan hukum
menurunkan kepada Musa As dan sesudah itu kepada Rasul orang Israil
sejalan dengannya. Sesudah itu turunlah Isa As dengan wahyu baru dan al-
adalah orang-orang kafir, zhalim dan fasik. Setelah ini, harus ditekankan
pemilihan langsung dari rakyat, karena khalifah atau pemimpin sifatnya sebagai
melalui lembaga syura atau ahl al-hall wal al-‘Aqd,166 karenanya tidak layak
165
Tim Penterjemah Depag RI, op. cit., hlm. 725.
166
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 12.
113
membutuhkan biaya besar untuk tampil sebagai pucuk pimpinan bahkan harus
suara rakyat melalui segala cara agar rakyat mendukungnya. Ada yang
mengatakan cara yang ditempuh pemimpin dalam sistem demokrasi sama dengan
rakyat. Bila nasib mujur dengan didukung oleh tim sukses maka ia akan
bahwa Islam memiliki konsep kepemimpinan yang jelas, terang dan dapat
dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada rakyat, tapi lebih lagi kepada Allah
SWT.
Dibawah ini penulis paparkan salah satu contoh Praktek Pemerintahan Islam
berikut. Dalam Al-Quran ada dua ayat yang menyatakan pujian terhadap orang-
114
Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mendirikan sholat,
sedangkan urusan mereka (diselesaikan) dengan musyawarah diantara mereka
(Q.S al-Syura/42:38)
dan musyawarah di antara mereka dalam semua urusan, dan apabila sudah
mengambil keputusan mengenai suatu perkara mereka bertawakAllah kepada
Allah. (Q.S Ali Imran/3:159)
perintah musyawarah dalam ayat terakhir ini biasa bermakna khusus: Hai
terkadang beliau hanya bermusyawarah dengan sebagian sahabat yang ahli dan
cendikia, dan terkadang pula hanya meminta pendapat dari salah seorang mereka.
Tapi bila masalah penting dan berdampak luas bagi kehidupan social masyarakat,
115
Perang Badar tahun ke-2 H. 624 M. perang ini merupakan kontak senjata
pertama antara kaum muslimin dan kaum musyrik. Nabi dalam menghadapi
lebih dahulu untuk mendapat persetujuan kaum Muhajirin dan Anshar. Untuk itu
beliau membicarakan kondisi mereka, seperti belanja perang yang mereka punyai,
dan jumlah mereka sedikit. Beliau juga minta kaum Anshar sebagai golongan
suatu tempat, Badar, terletak antara Mekah dan Madinah. Ketika menjelang
tempat dekat satu mata air di Badar. Mengetahui hal ini Hubab al Mundzir,
penentuan posisi ini atas petunjuk Allah yang karenanya kita tidak boleh maju
atau mundur dari tempat itu, ataukah keputusan itu semata-mata pendapat Rasul?
Rasul menjawab bahwa keputusan itu bukan atas petunjuk Allah melainkan
pendapatnya sendiri. Hubab berkata: “ Kalau begitu, tempat ini sungguh tidak
tepat ya Rasulullah. Sebaiknya kita maju lebih ke mata air dari pada musuh, lalu
kita bawa banyak tempat air untuk kita isi dari mata air itu kemudian kita
167
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Muhamad Al Fikr al Syiasi fi al Islam, Dar al
Jami’at al Mishriyat, iskandaraiyat 1978 hlm 72-73.
168
Ibn Ishaq, Sirat Rasulalalh op.cit hlm 293294. Muhammad rasyid Ridha, tafsir al-Manar
Jilid IV hlm 200, dan al Tahabari, Tarikh al Umam wa al Muluk jilid III, Dar al –Fikr,
Bairut,1987, hlm 31 dan 43
116
menimbunnya dengan pasir sehingga kita dapat minum, sedangkan musuh tidak”
Rasul menjawab: “saya setuju dengan pendapat ini”. Kemudian beliau bersama
pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat: “ya Nabi Allah,
mereka itu adalah keluarga dan saudara-saudara Nabi, maka saya berpendapat
agar engkau mengambil imbalan tebusan tunai dari mereka yang demikian kita
dapat mengambil kekuatan dari mereka dan menjadi penolong bagi kita dan
menjawab. “Demi Allah saya tidak sependapat dengan Abu Bakar, akan tetapi
saya berpendapat bahwa kalau engkau membari kuasa kepadaku seseorang, maka
saya akan memotong lehernya, dan engkau beri kuasa kepada Hamzah agar ia
memotong leher saudaranya, juga engkau beri kuasa kepada Ali untuk membunuh
saudaranya Aqil. Dengan demikian Allah mengetahui bahwa di dalam hati kita
tidak bersifat lemah lembut terhadap orang-orang kafir. Sebab mereka itu adalah
para pemuka dan pemimpin kaum Quraisy”. Nabi dalam mengambil keputusan,
bakar. Namun beliau memberi kebebasan kepada para sahabat untuk memilih,
169
Al-Thabari, ibid, hlm 47, Muhamamd Rasyid Ridha, dan Muhammad Jalal Syaraf dan
Ali Abd al-Muthi Muhammad, op.cit hlm 71.
117
untuk sepuluh orang. Besok harinya Umar menemukan Nabi duduk bersama Abu
Bakar dan keduanya sedang menangis. Umar menanyakan apa yang membaut
meminta tebusan dari para tawanan, dan seandainya turun azab pada waktu itu
Karena memang tidak lama setelah pelaksanaan putusan itu kemudian turun
wahyu yang mencela tindakan Nabi mengambil tebusan dari para tawanan yaitu
yaitu apakah bertahan dalam kota Madinah atau keluar menyongsong musuh dari
170
Ibn Ishaq, op.cit. hlm 339, dan Al Thabari, op.cit,hlm 79
118
Mekkah itu. Nabi berpendapat lebih baik bertahan dalam kota. Pendapat ini
disongkong oleh Abdullah bin Ubay, pimpinan kaum munafik Madinah. Tapi
karena mayoritas sahabat berpendapat keluar dari kota, maka Nabi mengikuti
bin ubay bersama pengikutnya, sepertiga dari jumlah pasukan, menarik diri
meminta bantuan kepada kaum Yahudi, yang ketika itu adalah sekutu orang-orang
pertahanan dalam kota. Pendapat ini ditantang oleh kaum Ansar dan Muhajirin.
persetujuannya.172
Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Mekah, Nabi membuat naskah
171
Ibn Ishaq, op.cit. hlm 371-372
172
Ibn Atsir, Al Kamil fi al Tharikh Jilid II Dar Bairut, Bairut,1965 Hlm 178-179
119
perjanjian yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib tidak menggubris pendapat
sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar. Beliau selalu mevngikuti kehendak
Suhail bin ‘Amr wakil kaum Quraisy. Ketika Nabi memerintahkan Ali
menuliskan: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,”
Suhail protes dengan mengatakan ia tidak mengenal kalimat itu dan meminta di
menulis: “Ini adalah naskah perjanjian Muhammad utusan Allah bersama Suhail
bin ‘Amr. Suhail lagi-lagi tidak setuju dengan alasan jika ia percaya bahwa
minta “ Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu.” Nabi menyetujuinya dan
Muhammad bin Abdullah bersama Suhail bin ‘Amr. Para sahabat sangat marah
karena Suhail yang mewakili mayoritas penduduk Mekah yang masih musyrik
tidak dapat menerimanya. Tujuh kata yang dihapus adalah: Bismi, Allah, Al-
Rahman Al-Rahim, Muhammad, Rasul dan Allah174. Demikian juga isi perjanjian
kurang dapat diterima para sahabat karena lebih menguntungkan pihak Quraisy.
173
Ibn Ishaq, op.cit. hlm 339, dan Al Thabari, op.cit,hlm 226-227
174
Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa penghapusan kalimat’ dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya ‘yang berjumlah tijuh kata dari piagam jakarta.
120
besar mengikuti kehendak musuh. Yang penting baginya bukan apa yang
perjanjian damai berhasil diwujudkan dan dampak yang akan diperoleh dibalik
itu, eksistensi umat Islam telah diakui oleh kaum Quraisy Mekah.
Perlakuan Nabi terhadap jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika
minta pula agar Rasul bersedia menyembahyangkannya dan beliau pun memenuhi
permintaan itu. Mengetahui hal ini, Umar mengingatkan Rasul supaya tidak
memenuhi permintaan tersebut, sebab Al Quran (surah al Taubah ayat 80) telah
sekalipun diminta ampun sebanyak tujuh puluh kali. Allah tidak akan
lama kemudian turun wahyu seperti terdapat dal Al Quran surat Al Taubah ayat
pendapat Umar dua kali mendapat pembenaran dari Allah melalui wahyu-Nya.176
175
Al-Qurthubi, Tafsir al-jami’ li Ahkam al-Quran al-Karim Dar al Sya’ab hlm 3057-
3058.
176
Umar bin Khatab memang dikenal sebagai seorang sahabat yang sangat aktif memberi
pendapat kepada Rasul baik diminta maupun tidak dan pendapatnya sering menunjukan
kebenaran. Ia kemudian mencatat rekor kemasyhuran dan keagungan yang luar biasa dalam
sejarah Islam serta dikenal pula sebagai pembaru dalam Islam. Maka tidak lah mengherankan bila
121
politik yang dihadapi. Dan beliau mentolerir adanya perbedaan pendapat diantara
pendapat beliau sendiri, tanpa menggubris pendapat para sahabat, dan terkadang
pula mengambil keputusan sendiri tanpa lebih dahulu konsultasi dengan para
sahabat dan walaupun kemudian ada sahabat yang mengkeritiknya beliau tetap
memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem
yang bermusyawarah.
Bila praktek musyawarah tersebut didalami lebih lanjut dengan melihat dari
surut kuantitas peserta yang Nabi minta pendapatnya dan kualitas masalah, maka
praktek musyawarah yang dilakukan oleh kepala negara atau pemerintah di zaman
persis, tapi paling tidak ada kemiripannya yang biasa menjadi iktibar bagi umat
Islam. Bila Nabi mengadakan musyawarah dengan jumlah peserta yang besar dan
pemerintah yang meminta pendapat atau saran dari wakil-wakil rakyat (DPR).
Tapi bila beliau minta pendapat dari beberapa orang sahabat terkemuka, biasa
diidentikan dengan seorang presiden yang minta pendapat dari pada menteri
sebagai pembantu presiden, sedangkan jika beliau minta pendapat dari seorang
dengan penasehat presiden. Adapun bila beliau mengambil suatu keputusan atau
biasaa diidentikan dengan seorang presiden atau kepala Negara yang mempunyai
hak istimewa untuk memutuskan hal-hal penting dan strategis. Pengidentikkan ini
semata-mata penafsiran terhadap fakta-fakta historis yang ada. Atentu biasa benar
dan biasa pula salah. Tapi yang jelas dilihat dari ilmu kenegaraan, dengan praktek
123
hubungan yang harmonis antara warga Negara muslim dan non muslim yang
disahkan dalam piagam Madinah, namun mereka memperoleh hak yang sama
utusan-utusan beliau, seperti kepada Kaisar Romawi, Kisra Persia (dua kerajaan
besar saat itu) penguasa Mesir, penguasa Bahrain, dan penguasa Basrah dan
sebagainya.177
diperkirakan berjumlah 30 buah pucuk surat. Memang inti surat-surat itu untuk
tujuan dakwah, mengajak mereka kepada Islam, sebagai bagian dari misi
terjadi pada tingkat hubungan diplomatik seperti yang dikenal sekarang. Tetapi
pada sisi lain tersirat kehendak Nabi agar tercipta hubungan damai. Dengan
177
Al-Bukhari, Sahih al bukhari,jilid II Juz 4 hlm 54-57.
124
adanya hubungan damai dan saling penertian diharapkan para penguasa tersebut
dapat menerima kehadiran Islam di wilayah kekuasaan mereka. Ini dapat disebut
Negara lainnya tampak pula pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat
pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin
Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau
tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan
mampu.
(sekretaris) sebagai ‘amil (pengelola zakat) dan sebagai qadhi (hakim). Untuk
seorang amil untuk setiap daerah atau provinsi. Pada masa Rasulullah Negara
madinah terdiri dari sejumlah provinsi, yaitu Madinah, Tayma, al Janad daerah
Banu Kindah, Mekah, Najran, Yaman, Hadramaut, Oman, dan Bahrain. Masing-
perkara, karena secara struktural ia tidak berada di bawah wali. Ali bin Abi Thalib
125
dan Muaz bin Jabal adalah dua orang qadhi yang diangkat Nabi, yang bertugas di
Nabi juga selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di Madinah bila beliau
beliau sebagai panglima perang, beliau sering wakilkan kepada para sahabat,
seperti pada perang Muktah (8H), beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai
panglimanya. Beliau juga berpesan “kalau Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib
memegang pimpinan, dan kalau Ja’afar gugur maka Abdullah bin Rawaha
menjadi bagian dari tugas kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW
menunjukkan keadilan dan kesejahterahan sosial rakyat Madinah. Untuk itu beliau
mengelola zakat, infaq, dan sadaqah yang berasal dari kaum muslimin,
ghanimahyaitu harta rampasan perang dan jizyah yang berasal dari warganegara
non muslim. Jizyah oleh kalangan juris muslim disebut juga “pajak
perlindungan”.181
terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakamnya, dan
178
Muhammad A. al-Buraey, Islam landasan alternative administrasi pembangunan,
Rajawali, Jakarata, 1986, hlm. 254-255
179
Baca Ibn Hisyam, Sirat al nabawiyah, Jilid II hlm. 54-56,57 dan 143.
180
Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, op.cit. hlm. 405
181
Said Rahman, Islamic law :its Scope and Equity 2nd Edition, 1970 hlm.134.
126
182
sekali beliau wakilkan kepada sahabat untuk melaksanakannya. Kedudukannya
sebagai hakam dan tugas ini pernah beliau wakilkan kepada sahabat, dan
penunjukan Muaz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib sebagai hakim, merupakan
SAW tersebut, tampak bahwa beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara
beliau termasuk Piagam Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekalipun itu
sangat mungkin beliau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat
mengenai bentuk dan corak Negara Madinah tersebut di zaman Rasulullah. Ali
dan tidak pula membentuk kerajaan. Sebab beliau hanya seorang Rasul sebagai
mana Rasul-rasul lainnya, dan bukan seorang raja atau pembentuk Negara.
umum, mencakup soal dunia dan akhirat. Karena sebagi seorang Rasul beliau
harus mempunyai kekuasaan yang lebih luas dari kekuasaan seorang raja terhadap
182
Ibn Hisyam, op.cit. hlm 57, 134 dan 170.
127
membawa ajaran baru, dan bukan kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya
pendapat ini, Khuda Baks, penulis dari Gerakan Aligrah India, menyatakan bahwa
Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama baru, tetapi juga membentuk
suatu pemerintahan yang bercorak teokratis yang puncaknya berdiri seorang wakil
Pada umumnya, para ahli berpedapat, masyarakat yang dibentuk oleh Nabi
di Madinah itu adalah Negara, dan beliau sebagai kepala Negaranya. Watt,
Madinah bukan hanya masyarakat agama, tetapi juga masyarakat politik sebagai
ini adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya. Sebab
beliau disamping seorang Rasul juga adalah Kepala Negara. 185 Hitti juga
Negara ini berdiri Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah wakil Tuhan di muka
seperti kepala Negara biasaa. Dari Madinah teokrasi Islam tersebar ke seluruh
183
Ali Abd al-Raziq, Al Islam wa Ushul al Hukm, al Qahirat, 1925 hlm.64-69.
184
Khuda Baks, politics in Islam Asharaf, Lahore, 1954, hlm. 1
185
W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman,Ozford University Press, London,
1964 hlm. 223-225.
128
Arabia dan kemudian meliputi sebagian terbesar dari Asia Barat sampai Afrika
Utara.186
Dalam Negara madinah itu memang ada dua kedaulatan, yaitu kedaulatan
syariat Islam sebagai undang-undang Negara itu, dalam kedaulatan umat. Syariat
hukumnya sudah jelas dalam nash syariat. Tapi di segi lain ia memberi hak
kebebasan kepada umat untuk menetapkan hukum suatu hal yang belum jelas
Yaitu urusan yang belum jelas hukumya dalam nash syariat. Ini telah dicontohkan
186
Philip K. Hitti, History of The Arabs, The Macmillan PressLTD, Lonon, 1970, hlm 120-
121.
187
Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rayis, hlm.297
188
Al-Maududi, Nazhariyah al Islam waHadyah fi al Syasat wa al Qanun wa al-Dustur,
Dar al Su’udiyat, Jeddah, 1985, hlm. 36-38.
129
oleh Nabi Muhammad sebagai salah satu aktivitasnya yang menonjol di bidang
prantara sosial politik dalam memimpin Negara Madinah. Jadi Negara Madinah
itu adalah Negara yang berdasarkan syariat Islam, tapi ia memberi hak
tampak aktivitas beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah keNabian (dalam
masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis, penganut agama dan keyakinan yang
beragama, prinsip persamaan bagi semua lapisan sosial, prinsip keadilan sosial