0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
30 tayangan101 halaman

201760hk-S3bab Ii

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 101

29

BAB II

SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya.

Satu perkara yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa

kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan

syara’.1Hanya saja pesan-pesan syara’ yang sifatnya ilahiah itu tidak dimonopoli

oleh Kepala Negara (Khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena

kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’ (baik dari segi hukum maupun

kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang

pelaksanaan politik itu terpusat kepada Khalifah, tidak menyebabkan kelemahan

negara Islam, malah justru memperkuatnya.

Kekuasaan Khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan

hukum syariat Islam. Kontrol pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah

serta tolak ukur yang jelas (yakni nash-nash syara’) telah menjadikan daulah ini

kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad. Di

antara para pemikir muslim berpendapat bahwa Madinah adalah negara Islam

yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW, setelah hijrah dari

Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan memerankan

dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai Kepala Negara

Islam Madinah. Walapun demikian, dalam literatur Sejarah Peradaban

1
H. Munawir Sadzali, Op.cit., hlm. 70 - 78

29
30

Islamdikenal adanya tiga kelompok pemikiran tentang hubungan antara Islam dan

Politik.

Di kalangan umat Islam dewasa ini terdapat tiga aliran tentang hubungan

antara Islam, politik dan negara,2 yaitu :

1) Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam

pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia

dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempuma (kaffah) dan

lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia,

termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama dari aliran ini antara lain

Syaikh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan Abul

A’la al-Maududi.

2) Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian

Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut

aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasaa seperti halnya Rasul-

Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada

jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral dan Nabi tidak

dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini

dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama

Mesir, Ali Abd ar-Raziq dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan,

al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar Kekuasaan), pernah

mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang Rasul dan juru

dakwah, bukan seorang pemimpin negara.

2
Ibid., hlm. 16 - 17
31

3) Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang

serba lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah), tetapi juga menolak

anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya

mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini

berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi

terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh yang

mendukung pendapat ini adalah Mohammad Husein Haekal dan Fazlur

Rahman.

Terlepas dari perbedaan pendapat para pakar politik dalam Islam di atas,

yang perlu diketahui saat ini adalah bahwa dalam kepustakaan Islam telah lama

dikenal Fiqh Politik (Fiqh al-Siyasah), yang mendasari pandangannya bahwa

Syari’at Islam di samping mengatur tentang ketuhanan, hubungan antara manusia

dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup

hubungan individu dengan daulah (Negara dan pemerintah), atau hubungan

pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengar terdakwa, hubungan pejabat

dengan penduduk, yang diatur dalam Fiqh al-Daulah.3 Politik menurut perspektif

syari’at, ialah yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, kembali dan

bersandar kepadanya, mengaplikasikannya di muka bumi, menancapkan ajaran-

ajaran dan prinsip-prinsipnya di tengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan

sasarannya, sistem dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syari’at dan sistem yang

3
Yusuf Qardhawy, Op.cit., hlm. 23
32

dianut juga berdasarkan syari’at. Islam adalah aqidah dan syari’ah, agama dan

daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan.4

Dalam kepustakaan modern, bidang-bidang ini adalah termasuk dalam

bidang kenegaraan dan kebijakan publik dan hukumnya adalah masuk dalam

bidang hukum publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum

pidana dan hukum acara. Telah banyak fuqaha terdahulu yang membahas masalah

ini, yang dimasukkan dalam pembahasan fiqh secara umum dan bahkan ada yang

mengupasnya dalam kitab-kitab tersendiri, seperti al-Ahkam al-Sulthaniyah, karya

Imam al-Mawardi (wafat 450 H) diterbitkan oleh Maktabah Dar Ibnu Qutaibah di

Kuwait pada tahun 1409 H, dan al-Ahkam al-Sulthaniyah, karya Abul Ya’la al-

Farra’ al-Hambali (wafat 458 H), Ghiyyats al-Umam fi al-Tiyats al- Dhulam,

karya al-Imam al-Juwaini al-Haramain al-Syafi’i (wafat 476 H), diterbitkan oleh

Dar al-Dakwah di Beirut, tanpa tahun. Kitab al-Siyasah al- Syar’iyah fi Ishlah al-

Ra’yu war Ra’iyyah karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) diterbitkan oleh Dar

al-Kitab al-Arabiyyah Arab Saudi pada tahun 1951. Beberapa karya dari murid

dan sahabat Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab al-Thuruq

al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyah, diterbitkan oleh Rabithah Ma’ahid al-

Islamy al-Markazy Arab Saudi tahun 1985, termasuk kitab klasik al-Kharaj karya

Abu Yusuf (wafat 181 H) yang diterbitkan oleh al-Matba’ah Salafiyyah Kairo

pada tahun 1302 H, salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi

kitab-kitab lainnya termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.

4
Ibid., hlm. 35
33

Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik

adalah sama dengan apa yang dikemukan oleh al-Qardhawy,5 yaitu tidak

dipisahkannya politik dengan syari’at Islam. Politik adalah bagian dari syari’at

Islam yang diatur oleh syari’at dan tujuannya untuk tegaknya syari’at itu. Politik

dalam pandangan para ulama salaf, diartikan dalam dua makna, yaitu : (1) dalam

makna umum, yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan

dunia mereka berdasarkan syari’at agama, dan (2) politik dalam makna khusus

yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang

dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi

kerusakan yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus.

Politik harus didasarkan pada fiqh Islami, yang berasal dari segala mazhab

fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh

Islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan, serta berbuat untuk

memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syari’at. Syari’at tidak

menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah

alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul. Banyak contoh dan

tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang kelenturan syari’at Islam

yang dihadapkan dengan realitas dan inilah bidang politik, yaitu antara lain

suatu saat Rasulullah pernah memerintahkan untuk memenjarakan seorang

tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan

menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap

Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan

5
Ibid., hlm. 38
34

hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta

mengambil zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai

keringanan. Khalifah Umar juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri

karena kemiskinan.

Setelah runtuhnya Khilafah Islamiyah mulai berkembang perbedaan

pandangan di antara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai

dengan pandangan seorang ulama al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan

Islam wa Ushul al-Hukm (tahun 1925), yang pada pokoknya menyatakan bahwa

Islam adalah agama yang tidak memiliki daulah, negara. Islam adalah risalah

rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan negara dan ini tidak

termasuk risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasul yang bertugas

melaksanakan dakwah agama secara murni tidak dicampur kecenderungan

terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan Negara, karena memang beliau tidak

memiliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan sultan dan bukan pula

seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan negara.6

Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama al-Azhar dan

putusan dalam pertemuan format Syaikh al-Azhar beserta 24 anggota tetap dan

memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah

yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan

yang sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang

yang berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama al-Azhar dan dicabut

kepakarannva serta diberhentikan dari jabatannya.

6
Ibid., hlm. 29
35

Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal, 7 bahwa dalam al-

Qur’an dan Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci

mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang

dapat dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan

dan pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan

bagi pengaturan hidup kenegaraan. Tuntunan al-Qur’an mengenai kehidupan

bernegara tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal

menyimpulkan bahwa soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan

kepada ijtihad ummat Islam. Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar

yang harus dipedomani dalam mengelola negara. Prinsip-prinsip itu mengacu

pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi pengelolaan hidup bermasyarakat, yaitu

prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan.

1. Hubungan Agama Dengan Negara

Salah satu ajaran Islam itu adalah berkenaan dengan kehidupan bernegara

(politik). Agama dan Negara (politik) merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan bagaikan saudara kembar yang lahir dari satu ibu (tawamun), bahkan

keduanya merupakan satu kesatuan yang bersifat organis. Agama memerlukan

Negara untuk mengembangkan dirinya, sebaliknya Negara menjadikan agama

sebagai pembimbing etika dan moral.8

7
Muhammad Khayr Haykal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyyah, (Kairo :
Maktabah Dar al-Salam, 2005), Jilid I, hlm. 662. Musda Mulia, op. cit., hlm. 1997:289-290.
8
Lihat Abu al-A’la al-Maududi, Islamic Law and Constitution, (Karachi : Islamic
Publications LTD, 1960), hlm. 2. Maurice Duverger, Sociologi Politik, (Jakarta : Sultanwali,
1985), hlm. V. M. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani,
(Jakarta : Logos, 2000), hlm. 58-61.
36

Dalam hal ini, ada tiga perbedaan pendapat tentang hubungan Negara dan

agama yaitu: (1) Pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak membahas masalah

kenegaraan. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bhawa konsep

Negara ditemui dalam islam, (2) Islam mempunyai perangkat kenegaraan dan

karenanya tidak ada alasan untuk memisahkan keduanya, dan (3) pendapat yang

mengatakan bahwa agama dan negara saling membutuhkan.9

Sejalan dengan pandangan diatas, menurut Din Syamsuddin yan dikutip oleh

Abdul Halima da tiga pola hubungan antara agama dan Negara, yaitu (1) pola

integralistik artinya agama dan negara tidak dapat dipisahkan, apa yang menjadi

wilayah agama otomatis menjadi wilayah politik. Konsekwensi dari pandangan ini,

maka islam harus menjadi dasar negara, bahwa syariah harus diterima sebagai

konstitusi negara. (2) pola simbiotik artinya bahwa agama dan negara berhubungan

satu sama lain secara timbal balik dan saling memerlukan. (3) pola sekularistik

artinya yang memisahkan antara agama dan negara. Negara menghlangkan sama

sekali agama (syariah) dari dasar negaranya dan mengadopsi sepenuhnya hukum

dari negara barat.10

Khilafah menurut makna bahasa merupakan masdar dari fiil madhi Khalafah

berarti menggantikan atau menempati tempatnya.11Makna khilafah menurut

Ibrahim Anis, adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan

tempatnya (jaa’a ba’dahu fa shaara makaanahu), dan makna khilafah dikaitkan

9
Abul a’la Almaududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung : Mizan 1998), hlm.72
10
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm 11-12
11
Ahmad Warsun al-Wunawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, (Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1984) hlm. 390
37

dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama

dan menggantikan kedudukannya.12

Menurut Imam al-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan

mengapa al-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai

khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan

posisinya.13 Hal ini sejalan dengan pendapat Imam al-Qalqasyandi mengatakan

bahwa menurut tradisi umum istilah khilafah dalam perkembangan selanjutnya

digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (al-za’amah al-uzhma), yaitu

kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat dan

pemikulan tugas-tugas mereka.14

Dalam pengertian syariah, khilafah digunakan untuk menyebut orang yang

menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (al-Dawlah al-

Islamiyah).15 Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam

perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara

Islam itu sendiri.16 Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama

fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan

demikian, walaupun secara literal tak ada satupun ayat al-Qur’an yang menyebut

12
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, 2007), Juz , hlm. 251.
Abi Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut : Dar al-Masyriq, tt),
Juz II, hlm. 210.
13
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, Beirut :
Dar al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 199.
14
Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi, Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, (Beirut : Dar
al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 8-9.
15
Abdurrahman al-Baghdadi, “Mafhum al-Khalifah wa al-Khilafah fi al-Hadharah al-
Islamiyah.” Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No 1 Tahun I, Sya’ban 1415 H/Januari 1995 M.
(Jakarta : al-Markaz al-Istitiratiji li al-Buhuts al-Islamiyah. I995), hlm. 20.
16
Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam. (Kuwait: Darul
Buhuts al-‘Ilmiyah.l980), hlm. 226.
38

kata “al-Dawlah al-Islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak

ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama

terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam

dengan istilah lain yang lebih spesifik yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah

Dar al-Islami.17

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda

ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib al-Khilafah). Sebagian ulama

memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har al-siyasi), yakni

sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan

kekuasaan (al-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham ol-hukm). Sementara

sebagian lainnya memandang khilafah, sebagai penampakan agama (al-mazh-har

al-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya,

menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya

pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum

keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha

menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang

menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk

Khilafah.18

Menurut al-Nabhani, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh

kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dan

17
Lihat Sulaiman al-Thamawi, al-Sulthan al-Tsalats, (Dar al-Ilm al-Malayin, tt), hlm. 245;
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, 2007), Juz
IX, hlm. 823.
18
Abd al-Majid al-Khalidi, op. cit., hlm. 227.
39

mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia.19 Kata lain dari Khilafah adalah

Imamah, di mana Khilafah dan Imamah memiliki makna yang sama. Sebagaimana

kousep al-Mawardi, menurut Imam al-Haramain, al-Juwaini, Imamah (atau

Khilafah) adalah kepemimpinan yang sempurna dan mencakup umum, yang

berkait dengan perkara khusus maupun umum yang ada hubungannya dengan

agama maupun dunia, di dalamnya tercakup penjagaan atas negeri-negeri (kaum

Muslim), memelihara urusan masyarakat menegakkan dakwah melalui hujjah dan

pedang, mengatasi kezhaliman dan kesewenang-wenangan sekaligus mengganjar

pelakunya yang zhalim, serta memberikan hak-hak terhadap orang-orang yang

terhalang hak-haknya.20

Berdasarkan uraian di atas, maka Khilafah itu merupakan sistem

pemerintahan yang menerapkan sistem hukum Islam atas seluruh rakyatnya dan

menyebarluaskan dakwah Islam dengan dakwah (hujjah) dan jihad fi sabilillah

keseluruh penjuru dunia. Adapun Khalifah adalah Sulthan al-A’zham, yaitu kepala

negara di dalam sistem Khilafah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin

Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.

Hanya saja Umar bin Khattab lebih suka disebut dengan Amirul Mukminin atau

Ali bin Abi Thalib yang lebih suka disebut dengan Imam. Semua itu memiliki

makna yang sama dengan Khalifah.21 Pendapat lain mengatakan bahwa istilah

khilafah dan imamah, meskipun diambil dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an

19
Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Khilafah al-Islamiyyah, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, tt),
hlm. 3. Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah, tt), Jilid II,
hlm. 15.
20
Abu al-Ma’ali Abd al-Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyawaih al-
Sanbisi al-Juwaini, al-Thariq ila al-Khilafah, (Beirut : Darun Nahdlah al-Islamiyah, tt), hlm. 19.
21
Muhammad Ya’kub, Kamus al-Muhith, (Jakarta : Pustaka FEB, 1995), hlm. 727.
40

dan Sunnah, akan tetapi dalam praksis politik yang berkembang di dunia Islam

istilah ini digunakan oleh dua kelompok yang secara politik dipandang

berseberangan, yaitu Sunni dan Syiah.22

Sebagai perbandingan pengertian imamah menurut Imam al-Mawardi yang

mengidentikkannya dengan khilafah, berikut ini disebutkan beberapa definisi

Imamah dan Khilafah menurut para ulama sebagai berikut :

1. Menurut Imam al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah

kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah tammah) sebagai

kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum

dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.23

2. Menurut Imam al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti

bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan

hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat yang wajib diikuti

oleh seluruh umat.24

3. Menurut ‘Adhu al-Din al-Iji (w. 756 H/1355 M), Kilafah adalah

kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) dalam urusan-urusan dunia dan

agama dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam

penegakan agama.25

22
Dhiya’a al-Din al-Rais, Islam dan Khilafah, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1985), hlm. 59. Abu al-A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam, Terj. Asep Hikmat, (Bandung:
Mizan, 1990), hlm. 71.
23
Abu al-Ma’ali Abd al-Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyawaih al-
Sanbisi al-Juwaini (Imam al-Haramayn), Ghiyats al-Umam., (Beirut : Dar al-Masyriq, tt), hlm. 15.
24
Imam al-Baidhawi, Hasyiyah Syarah al-Thawali, (Riadh : Dar al-Ihya al-Kutub al-
Arabiyyah, tt), hlm. 225.
25
Adhu al-Din al-Iji, I’adah al-Khilafah, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, 2006), hlm. 32.
41

4. Menurut al-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan

umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW

dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati

oleh seluruh umat.26

5. Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan

seluruh (urusan umat) sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam

kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah

yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah.27

6. Menurut al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan

umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan

umat serta pemikulan tugas-tugasnya.28

7. Menurut al-Kamal ibn al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah

otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin.29

8. Menurut Imam al-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-

A’zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti keNabian,

dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.30

9. Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah

kepemimpinan umum (riasah al-‘ammah) untuk menegakkan agama dengan

menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam,


26
Lihat Adhu al-Din al-Iji, al-Mawaqif, (Kairo: Maktabah Dar al-Salam, 2006), Juz III, hlm.
603, Lihat Rasyid Ridha al-Khilafah, (Kairo : Dar al-Manar, tt). hlm. 10.
27
Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadhrami al-Ishbili, al-Muqaddimah lbnu
Khaldun, (Beirut : Dar al-Masyriq, tt), hlm. 166 dan 190.
28
Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi, op. cit., Juz I, hlm. 8.
29
Kamal bin al-Hummam, al-Musamirah fi Syarh al-Musayirah, (Beirut : Dar alk-Fik, tt),
hlm. 141.
30
Muhammad bin Abi al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihab al-Din bin Syams al-Din
al-Ramli al-Syafi’iy, Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz VII, hlm.
289.
42

melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha’), menegakkan hudud,

sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW.31

10. Menurut Syaikh al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti

(niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan

kaum muslimin.32

11. Menurut Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w. 1354 H/1935 M), seorang

Syaikh al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-

urusan dunia dan agama.33

12. Menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada

masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam

pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah

Islam.34

13. Menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum

dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW.35

Dari ke tiga belas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya

ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :

1. Definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazhar al-

dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islamdalam

pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi al-Iji. Meskipun al-

31
Shadiq Hasan Khan, Iklil al-Karamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, (Riadh : Dar al-
Kutub al-Arabiyyah, tt), hlm. 23.
32
Syeikh Ibrahim bin Syeikh Muhammad al-Bajuri, Tuhfah al-Murid ‘Ala Jauhar al-
Tauhid, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz II, hlm. 45.
33
Muhammad Bakhit al-Muthi’i, I’adah al-Khilafah, (Kairo : Maktabah Dar al-Salam, tt),
hlm. 33.
34
Mustafa Shabri, Mawqif al-Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Alim, (Kairo: Maktabah Dar al-Salam,
tt), Juz IV, hlm. 363.
35
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Beirut ; Dar al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 350.
43

Ijimenyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan

agama namun pada akhir kalimat beliau menyatakan, “Khilafah lebih utama

disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.”

2. Definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-

siyasi). Di sini khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam

berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang

umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi “urusan dunia” (umur al-

dunya). Misalnya definisi al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung

khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat,

tanpa mengkaitkannya dengan fungsi khilafah untuk mengatur “urusan

agama”.

3. Definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazhar al-

dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Sebagaimana definisi

khilafah menurut Imam al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti

keNabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, dapat

diketahui bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi

realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik), misalnya adanya dikhotomi

wilayah “urusan dunia” dan “urusan agama” daripada sebuah definisi yang

bersifat syar’i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi

tersebut kurang mencakup (ghayru jami’ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya

menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan

keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif
44

dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan

definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu

agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan

peradilan (qadha’), menegakkan hudud dan seterusnya. Bukankah definisi ini

menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat

Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru

sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur “umumnya

kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin”. Atau bahwa Khilafah mengatur

“kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah”. Bukankah ini

ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya perlu

dipahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar’i (al-ta’rif asy-syar’i) atau definisi

non syar’i (al-ta’rif ghayr al-syar’i).36 Definisi syar’i merupakan definisi yang

digunakan dalam nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, semisal definisi shalat dan

zakat. Sedang definisi non syar’i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam

nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu

atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi’il, dan harf (dalam ilmu

Nahwu Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan,

mabda’ (ideologi), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban),

madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya.

Jika definisinya berupa definisi non syar’i, maka dasar perumusannya

bertolak dari realitas (al-waqi’), bukan dari nash-nash syara’, baik realitas empirik

36
Abd al-Qadim Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, (Kairo: Maktabah Dar al-Salam,
1985), hlm. 51.
45

yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau

faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar’i, maka dasar

perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara’ al-Qur’an dan Sunnah, bukan

dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, definisi

syar’i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash

syar’i’.37 Jadi, perumusan definisi syar’i, misalnya definisi sholat, zakat, haji,

jihad dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar’i yang berkaitan

dengannya. Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar’i?

Jawabannya Ya. Sebab nash-nash syar’i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW,

telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam” yang masih satu akar

kata dengan kata Khilafah/Imamah, misalnya hadis Nabi yang bersumber dari

Abu S’'id al-Khudriy :

“Bersumber dari Abu Sa’id al-Khudriy ia berkata Rasulullah SAW bersabda, Jika
dibaiat dua orang khalifah, maka buruhlah yang terakhirdari keduanya.”38

37
Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyah, op. cit., Juz III, hlm. 38-442;
Taqiy al-Din al-Nabhani, al-Ma’lumat li al-Syabab, op. cit., hlm. 1-3.
38
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi
bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri dan Anas bin Malik dengan nama-nama periwayat :

Hadits ini shaheh menurut syarat Imam al-Bukhari dan Muslim. Lihat Abu al-Husayn bin al-Hajjaj
al-Qushairiy Muslim al-Naisabutiy, disebut Imam Muslim, shahih Muslim, (Semarang : Maktabah
Toha Putra, 2003), Juz VI, hlm. 23. Abu Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdullah bin
Muhammad bin Na’im bin al-Hakam al-Dhabbi Ath-Athahmani An-Nasaiburi, disebut Imam al-
Hakim, al-Mustadrak‘ala al-Shihayn, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Juz II, hlm 169. Abu Bakar
Muhammad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khusrujardi, disebut Imam al-Baihaqi, Sunan al-
Baihaqi al-Kubra, (Beirut : Dar ar-Fikr, tt), Juz II, hlm. 403.
46

Imam al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits

tentang Khilafah dalam Kitab al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam

Shahihnyatelah mengumpulkannya dalam Kitab al-Imarah.39 Jelaslah, bahwa

untukmendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash

iniyang berkaitan dengan Khilafah. Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut

dantentunya nash-nash al-Qur’an, akan ditemukan bahwa definisi Khilafah

dapatdicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu: (1) Kelompok

pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat khilafah sebagai sebuah

kepemimpinanumum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, (2) Kelompok Kedua,

nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu: (a) tugas menerapkan

seluruhhukum-hukum syariah Islam, (b) tugas mengemban dakwah Islam di

luartapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah.

Nashkelompok pertama, misalnya nash hadits yang bersumber dari Abdullah bin

Umarsebagai berikut :

“Bersumber dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap
kepemimpinannya, seorang Imam yang (memimpin) atas manusia adalah
(bagaikan) seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap
gembalaannya (rakyatnya).”40

39
Ali Belhaj, al-Damghah al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah al-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan
Demokrasi), Terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2007), hlm. 15.
40
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Turmudzi dan
Imam Ahmad, bersumber dari Abdullah bin Umar, dengan nama-nama periwayat : Hadits ini
berstatus shaheh mcnurut syarat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Lihat Imam al- Bukhari,
op.cit., Juz I, hlm. 304 dan 431, Juz II, hlm. 848, 901-902, Juz III, 101, 133 dan 134. Imam
Muslim, op. cit., Juz XII, hlm. 213, Abu Dawud Sulaiman bin Al - Asy’ats As – Sijistani
47

Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan

(ri’asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah

bersifatumum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang

mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah

disebut sebelumnya. Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh

dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Kesatuan Khilafah untuk seluruh

kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat

imammadzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan

Imam Ahmad.41

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas

khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :

1. Tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh

rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas

khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu

muslim (QS. al-Baqarah: 188, QS. al-Nisaa’: 58), mengumpulkan dan

membagikan zakat (QS. al-Taubah: 103), menegakkan hudud (QS. al-

Baqarah: 179), menjaga akhlaq (QS. al-Isra’: 32), menjamin masyarakat

dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadah (QS.

al-Hajj: 32), dan seterusnya.

disebut Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Hadits Nomor 2928, Juz III,
hlm. 342-343, Abu Isa Muhammad bin Saurah al-Turmudzi, disebut Imam al-Turmudzi, Sunan al-
Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), Hadits Nomor 1705, Juz IV, hlm. 308.
41
Lihat Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba'ah. (Beirut : Dar al-Fikr,
2000), Juz V, hlm. 308, Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf
al-A’immah, (Kairo: Dar al-Manar, tt), hlm. 208.
48

2. Tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan

jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan

tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS.

al-Baqarah : 216), menjaga tapal batas negara (QS. al-Anfaal : 60),

memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut

oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian

perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik dan

semisalnya (QS. al-Anfaal: 61; QS Muhammad: 35).42

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah

secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi khilafah adalah kepemimpinan umum

bagi muslimin seluruhnya di dunia, untuk mengakkan hukum-hukum syariah

Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang

telah dirumuskan oleh Imam al-Mawardi yang kemudian terlihat dalam definisi

yang dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani. Menurut keduanya,

istilah khilafah dan imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja

menurut pengertian syar’i (al-madlul al-syar’i). Di sinilah khilafah dan

imamahmerupakan medium untuk menegakkan din (agama) dan memajukan

syariah. Oleh karena itu al-Nabhani, mendefinisikan khilafah sebagai :

“Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, untuk


menegakkan hukum-hukum syara’ Islami dan mengemban dakwah Islamiyah ke
seluruh alam.43”

42
Ibid., Juz V, hlm. 309.
43
Syaikh Taqiy al-Din al-Nabhani, op. cit., Juz II, hlm. 3.
49

Demikian juga halnya definisi khilafah yang dikemukakan al-Dahlawi

dalam Shiddiq Hassan Khan, khilafah dan imamah dirumuskan sebagai berikut :

44

“Kepemimpinan umum untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-


ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, menegakkan jihad dan hal-hal yang
berhubungan dengannya seperti pengaturan tentara dan kewajiban-kewajiban
untuk orang yang berperang serta pemberian harta fa’i kepada mereka,
menegakkan peradilan dan hudud, menghilangkan kezhaliman, serta melakukan
amar ma’ruf nahi munkar, sebagai pengganti dari Nabi SAW.

2. Syarat Sebagai Seorang Pemimpin

Ide negara hukum (rule of law) pada pokoknya sejalan dengan praktik

yang berkembang dalam pengalaman sejarah Islam berkenaan dengan tradisi

kekuasaan. Dalam Islam yang dipandang sebagai panglima tertinggi, bukanlah

orang per orang, melainkan sistem aturan berdasarkan syari’at yang diwahyukan

oleh Allah SWT dan Sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sejak

zaman Nabi Muhammad SAW , beliau selalu digambarkan dan menampilkan diri

sebagai suri tauladan,dalam menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi

segala laranganNya, sebagaimana firmanNya dalam QS. al-Ahzab 21 :

44
Shiddiq Hasan Khan, al-Karaamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, (Kairo : Maktabah
Dar al-Salam, 2006), hlm. 23.
50

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab 21)45

Konsepsi Islam mengenai kepemimpinan jelas tergambar dalam konsepsi

imamah. Dalam pengertian sehari-hari untuk keperluan yang bersifat praktis, kata

al-Imambiasaa diidentikkan dengan pengertian orang yang memimpin atau biasaa

juga disebut pemimpin. Dalam pengertian demikian pemimpin atau al-imam itu

tidak lain adalah seorang atau persona tokoh yang menjalankan fungsi

kepemimpinan dalam organisasi. Dalam hadits Nabi ditegaskan bahwa setiap

orang adalah pemimpin (ra’in) yang pada waktunya akan dimintai

pertanggungjawaban oleh Allah atas tugas kepemimpinan yang telah dilaksanakan

masing-masing selama di dunia, sebagaimana hadits berikut :

“Bersumber dari Abdillah ibnu ‘Umar ra. Berkata saya telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda. “kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua
bertanggung jawab atas apa yang kamu pimpin. “Imam itu adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya, orang laki-laki (suami)
itu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang
istri adalah pemimpin di dalam keluarga suaminya dan ia bertanggung jawab
yang dipimpinnya. Pembantu itu adalah pemimpin harta majikannya, dan ia

45
Tim Penterjemah Depag RI, Op.cit., hlm. 911
51

bertanggungjawab atas pemeliharaannya. Berkata perawi, Aku menyangka


bahwa Rasulullah SAW benar-benar bersabda, “Orang laki-laki (anak) adalah
pemelihara harta ayahnya dan ia bertanggung jawab atas pemeliharaannya.
Kamu semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang kamu
pimpin.46

Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan

merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa

ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem

masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati

pemimpin adalah pahlawan, idola dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia

akan mengalami disorientasi dan alienasi.47 Ketika suatu masyarakat

membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas

masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut.

Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju

kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini

merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan

dirinya menuju pada kesempumaan yang lebih.48 Di antara nash al-Qur’an yang

membahas tentang kepemimpinan dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang

difirmankan Allah SWT QS. al-Nisa’ ayat 58 :

46
Imam Muslim, Op.cit., Juz III, hlm. 145. Imam al-Bukhari, Op.cit., Juz I, hlm. 304 dan
431, Juz II, hlm. 848, 901-902, Juz III, hlm. 101, 133 dan 134. Abu Isa Ahmad bin Saurah al-
Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, (Beirut : Dar al-Fikr,tt) Juz IV, hlm. 208. Imam al-Baihaqiy,
Op.cit., Juz VI, hlm. 287.
47
Haidar Bagir dan Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis.
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 6-17.
48
Ibid., hlm. 17. Lihat Sudjana, E., Visi Pemimpin Masa Depan : Menggagas Politik
Berkeadilan. (Bandung : Penerbit Marja’, 2003), hlm. 12.
52

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. al-Nisa’ : 58)49.

Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua

bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun

hukun dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan

syari’ah adalah amanah. Di sinilah letak wajibnya memilih seorang Khalifah atau

pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzui (sebab-sebab turun ayat)

QS. al-Nisa’ : 58 adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (peminpin yang

sah).50 Iqbal dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Mushab ibn Sa’ad, mengatakan :

“Mush’ab bin Sa’ad berkata, aku mendengar Ali bin Abi Thalib
berkata, “Hak atas seorang imam adalah menghukumi dengan apa yang
diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam
telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk
mendengarkan, mentaati dan menjawab panggilannya. perkataan yang
paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-Qur’an adalah
kitab Allah dan melaksanakan amanah yang dilimpahkan melalui
wewenangnya secara adil dan bijaksana”.51

Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang

sangat berharga dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan

49
Tim penterjemah Depag RI, Op.cit., hlm. 87.
50
Iqbal, Negara Ideal Menurut Islam, (Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia, 2002) hlm. 28.
51
Ibid., hlm. 33. Imam al-Thabrani, op.cit., hlm. 282.
53

kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam,52

sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS al-Nisa’ ayat 59 :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (al-Hadits), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya”.53 (QS al-Nisa’: 59)
Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka

sepeninggalRasulullah SAW, para sahabat menaruh perhatian besar untuk segera

memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhimya dipercaya untuk

mengemban amanah berat tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah

Khalifah. Umat Islam pun terhindar dari keretakan dan perpecahan. Tidak

dipungKiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang

pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi ia merupakan kelaziman

zaman. Disadari bahwa kewajiban agama tidak mungkin diterapkan secara

komprehensip dan simultan tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit. Pranata-

pranata tersebut dimungkinkan untuk melaksanakan kewajiban syari’at ilahiyah,

maka dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan : tidak biasa sempurna kecuali

dengannya, maka ia hukumnya adalah wajib).54

52
Ibnu Taimiyah, op.cit., hlm. 175.
53
Tim Penterjemah Depag RI, Op.cit., hlm. 88
54
Iqbal, op.cit., hlm. 35. Lihat Imam al-Syaukani, Irsyad ar-Fukhu ila Tahqiq al-Haq min
IIMI al-Ushul, (Beirut : Dar al-Fikr, Beirut, tt), Juz II, hlm 86. al-Amidiy, al-Ihkam (Beirut : Dar
al-Fikr, tt), Juz I, hlm. 117.
54

Imam al-Mawardi, menyebutkan syarat utarna bagi seorang pemimpin yaitu:

(1) adil dalam arti yang luas, (2) punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di

dalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum, (3) sehat pendengaran, mata

dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggungjawabnya, (4)

sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah

cepat, (5) pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum,

(6) berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh, dan (7) dari

keturunan Quraisy.55

Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang

harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih sederhana dibandingkan

dengan al-Mawardi, yaitu; (1) dari kalangan Qurasy, (2) baligh, (3) laki-laki, dasar

yang digunakan adalah sabda Rasulullah, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang

menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan” (4) muslim, karena

Allah SWT berfirman “Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir

untuk (menguasai) kaum mukmin” (QS. al-Nisa’ : 141), dan (5) paling menonjol

di dalam masyarakatnya, mengetahui hukum-hukum agama, secara keseluruhan

taqwa kepada Allah SWT dan tidak diketahui berbuat fasik.56 Sementara Imam al-

Ghazali, secara ringkas juga mengemukakan tentang syarat-syarat seorang

pemimpin. Sebagaimana dikutip Yusuf Musa, ia mengatakan: “Tidaklah

diragukan bahwa menentukan seseorang untuk dijadikan imam sekedar menuruti

55
Imam al-Mawardi, op.cit., hlm. 4. Yusuf Musa, Politik dan Negara Dalam Islam,
(Surabaya : al-Ikhlas, 1990), hlm. 59.
56
Yusuf Musa, Ibid., hlm. 60.
55

selera tidaklah boleh. Dia haruslah orang yang memiliki keistimewaan

dibandingkan dengan seluruh orang yang ada.57

Imam al-Ghazali kemudian menyebutkan syarat-syarat sebagai berikut; (1)

merdeka, (2) laki-laki, (3) mujtahid, (4) berwawasan luas, (5) adil, (6) baligh, dan

(7) tidak boleh wanita.58 Menurut Ibn Khaldun, syarat yang harus dipenuhi oleh

seorang yang menduduki jabatan sebagai seorang imam (pemimpin) yaitu;

pertama, berilmu, karena ia menjadi pelaksana hukum Allah SWT. Ia harus

mujtahid dan tidak bertaklid. Kedua, adil, pemimpin adalah jabatan tertinggi,

selain menduduki dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan politik di tengah-

tengah umat dan Negara.59

3. Dasar Negara Dalam Islam

Menurut Imam al-Mawardi dalam kairannya dengan dasar negara

sebagaimana Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurutnya

negara dapat ditegakkan dengan adanya pilar-pilar sebagaimana ditulis dalam

Muqaddimah kitabnya sebagai berikut :

(Dari segi politik) kepemimpinan umat sebagai pengganti keNabian (khilafah al-
Nubuwwah) dapat ditegakkan dengan adanya pilar-pilar agama yang dianut dan
dihayati sebagai kekuatan moral, penguasa yang kharismatik, berwibawa dan

57
Ibid., hlm. 61.
58
Ibid., hlm. 61-62.
59
Ibid., hlm. 61. Lihat Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 395.
56

dapat dijadikan teladan, keadilan yang menyeluruh, keamanan yang merata,


kesuburan tanah berkesinambungan dan harapan kelangsungan hidup.60

Statemen al-Mawardi di atas, secara rinci dapat dijelaskan bahwa dasar

suatu negara dan pemerintahan dibangun adalah sebagai berikut :

1. Agama yang dianut dan dihayati sebagai kekuatan moral. Agama

dapat mengendalikan keinginan dan hawa nafsu manusia, karena

menjadi pengawas melekat pada hati nurani manusia maka agama

menjadi sendi yang paling pokok bagi kesejahteraan dan stabilitas

Negara.

2. Penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan.

Dengan begitu ia bisa mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda-

beda (heterogen); membina negara untuk mencapai tujuan luhur,

menjaga agar agama dihayati serta diamalkan, dan melindungi rakyat,

kekayaan serta kehormatan mereka. Dalam kondisi konteks ini

penguasa adalah imam atau khalifah.

3. Keadilan yang menyeluruh. Dengan menyeluruhnya keadilan akan

tercipta keakraban antara sesama warga negara, menimbulkan rasa

hormat dan ketaatan kepada pimpinan, menyemarakkan kehidupan

rakyat dan membangunkan minat rakyat untuk berkarya dan

berprestasi. Keadilan juga akan menciptakan persatuan,

membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri yang

akhirnya mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai

60
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 1. Lihat Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah : Ajaran Sejarah
dan Pemikiran (Jakarta : PT Sultan Grafindo Persada, 1999), hlm. 227.
57

dari diri sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan

meninggalkan perbuatan buruk, kemudian berlaku adil pada orang

lain. Yang tersebut terakhir dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu : Ketiga

bagian tersebut adalah : (a) Berlaku adil terhadap bawahan, seperti

sultan terhadap rakyatnya dengan memberi kemudahan dan

meninggalkan cara-cara yang memberatkan, (b) Berlaku adil terhadap

atasan, seperti rakyat terhadap penguasanya dengan sikap taat yang

ikhlas, siap membantu dengan loyalitas yang tinggi, (c) Berlaku adil

terhadap sesama setara yaitu tidak mempersulit urusan, meninggalkan

tindakan tak terpuji dan yang menyakitkan.61

4. Keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dalam

hidup tenang dan dapat melaksanakan kewajiban dan haknya sebagai

rakyat. Meratanya keamanan adalah akibat menyeluruhnya keadilan.

5. Kesuburan tanah yang berkesinambungan. Dengan kesuburan tanah,

kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang

lain dapat dipenuhi dan dengan demikian dapat dihindarkan perbuatan

dengan segala akibat buruknya.

6. Harapan kelangsungan hidup. Generasi sekarang punya kaitan erat

dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris

generasi lalu. Karenanya harus dipersiapkan generasi yang bersikap

optimisme sehingga ia mampu mencukupi kebutuhannya. Sebaliknya

61
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta; UI
Press, 1993), hlm. 62.
58

generasi yang pesimis akan digilas oleh waktu dan perkembangan

zaman dan tak mungkin bertahan.62 Menurut Azyumardi Azra :

“Al-Mawardi memberikan gambaran ideal mengenai kekhalifahan.


Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat
sistem politik atau garis-garis besar aturan pemerintahan yang
komprehensif, melainkan sekedar membuat gambaran ideal moral
bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran
mengenai proses terbentuknya negara, para ahli mendominasi
pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa manusia adalah makhluk
sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat
dalam kehidupan”.63

Pandangan al-Mawardi yang bersifat politik, maupun yang religius,

mempunyai pengaruh besar atas penulis-penulis yang kemudian tentang persoalan

ini, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruhnya bisa terlihat pada karya Nizamul

Mulk Tusi dan Ibn Khaldun. Ibn Khaldun, yang diakui peletak dasar sosiologi dan

pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi al-

Mawardi dalam banyak hal. Menyebutkan satu-persatu kemestian seorang penguasa

Ibn Khaldun berkata :

“Penguasa itu ada untuk kebaikan rakyat. Kemestian adanya seorang


penguasa timbul dari fakta bahwa manusia harus hidup bersama-sama dan
kecuali ada orang yang memelihara ketertiban, maka masyarakat akan
hancur berantakan.” Dia mengamati: “Selamanya ada kecenderungan
tetap dalam suatu monarki Timur kepada absolutisme, kepada kekuasaan
tiada terbatas, tiada dihiraukan, begitu pulalah kecenderungan gubernur-
gubernur orang Timur kepada kebebasan bertambah-tambah besar kepada
kekuasaan pusat. Sebelumnya, al-Mawardi telah menunjukkan kekuasaan
tak terbatas dari gubernur-gubernur selama kemerosotan kekhalifahan
Abbasiyah, ketika kedudukan gubernuran itu telah diperoleh melalui
perebutan kuasa dan penguasa pusat hanya memiliki kontrol yang lemah
terhadap mereka Imam al-Mawardi menonjol sebagai pemikir besar politik

62
Muhammad Azhar, Filsafat Politik (Perbandingan Antara Islam dan Barat), (Jakarta: PT.
Sultan Grafindo Persada, 1997), hlm. 83.
63
Azyurmadi Azhar, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundementalisme, Modernisme dan
Post Modernisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), hlm. 4.
59

yang pertama dalam Islam, tulisan-tulisan maupun pengalaman-


pengalaman praktisnya dibidang politik telah berumur panjang dalam
membentuk pandangan politik penulis-penulis yang lahir kemudian”.64

Suatu hubungan yang bersifat timbal-balik dan saling memerlukan. Dalam

hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat

berkembang, demikian pula sebaliknya. Negara juga memerlukan agama karena

dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral

spiritual.65 Seperti terlihat pada karya monumentalnya, al-Ahkam al-Sulthaniyya,

al-Mawardi lebih mengutamakan aspek formal negara. Kecenderungan formalistik

ini hampir dikatakan pragmatis, apabila dibaca pada bagian pertama kitabnya

ketika membicarakan persoalan imamah. Ia mengatakan bahwa imamah (khalifah)

merupakan lembaga penting untuk meneruskan tugas nubuwwah (Khilafah al-

Nubuwwah) dalam rangka memelihara agama dan mengatur persoalan dunia

(hirasat al-din wa siyasat al-dunya). Tampaknya pernyataan tersebut yang

menjadi postulasi pemikirannya. Imam al-Mawardi ingin meletakkan agama

dalam kerangka politik dalam hubungan yang bersifat simbiotik di mana di antara

keduanya terjadi hubungan timbal-balik dan saling melengkapi.66

Dalam paradigma simbiotik ini masih tampak adanya kehendak

“mengistimewakan” penganut agama yang mayoritas untuk memberlakukan

hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara atau paling tidak, karena

sifatnya yang simbiotik tersebut, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup

kemungkinan hukum agama dijadikan hukum negara. Dengan demikian, bentuk

64
Ibnu Khaldun, op. cit., hlm. 349-350.
65
Ibid., hlm. 26.
66
Syamsul Arifin dan Tabroni, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta:
SIPRESS, 1994), hlm. 48
60

negara menurut al-Mawardi berdasarkan paradigma ini, lebih cenderung dikatakan

sebagai negara yang berdasarkan Syari’at Islam, jika umat Islam merupakan

penganut agama mayoritas dalam suatu negara.

4. Bentuk Negara Dalam Islam

Khusus mengenai bentuk negara, antara bentuk republik atau Kesultanan.

dapat pula kita menghubungkannya dengan perdebatan yang tak kunjung tuntas

mengenai konsep Negara Islam yang biasa dinisbatkan dengan ide

internasionalisme dan konsep Khilafah. Seperti sudah dijelaskan di atas, kita harus

membedakan antara pengertian ‘Khalifatullah’ dan ‘Khalifaturrasul’.67 Dari

konsepsi ke Khalifahan manusia itu kita dapat mengembangkan gagasan-gagasan

berorganisasi yang kita nisbatkan sebagai sistem demokrasi. Dari konsepsi

mengenai kepemimpinan oleh sistem aturan atau sistem hukum itulah dapat

dikembangkan pengertian mengenai gagasan negara hukum atau nomokrasi.

Sementara itu, dari konsepsi mengenai ‘Khalifatullah’ dapat mengembangkan

konsep-konsep dasar tentang otonomi dan kebebasan setiap manusia yang menjadi

dasar filosofis bagi dikembangkannya sistem demokrasi dalam tradisi Islam.

Namun, dari konsepsi mengenai ‘Khalifaturrasul’ kita justru dapat menemukan

pengertian sistem kepemimpinan model baru yang di zaman Nabi sama sekali

belum ada contohnya dalam sejarah umat manusia.

Pemimpin suatu kaum atau komunitas yang dalam pengertian modern yang

berkembang semakin kompleks dapat kita kaitkan dengan pengertian

kepemimpinan negara. Pemimpin negara itu dalam tradisi ke Khalifahan dipahami

67
Qamaruddin Khan, op.cit., hlm. 58 Abu al-A’la al-Maududi, op.cit., 355.
61

sebagai pejabat pengganti Rasulullah dalam memimpin jamaah kaum Muslimin

dalam berorganisasi negara. Jika sebelum Islam, para pemimpin negara itu selalu

diangkat berdasarkan keturunan, maka sejak zaman Nabi dan Khulafa al-Rasyidin,

pergantian kepemimpinan terjadi tidak berdasarkan hubungan darah, melainkan

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat rasional dan melalui proses

pengambilan keputusan yang bersifat demokratis melalui permusyawaratan

substantif.68

Bentuk ke Khalifahan organisasi negara di masa-masa awal pertumbuhan

Islam, khusus yang tercermin dalam lima Khalifah, pertama, yaitu; (1) Abu bakar

Siddik, (2) Umar ibn Khattab, (3) Usman ibn Affan, dan (4) Ali ibn Abi Thalib,

serta (5) Mu’awiyah ibn Abi Sofyan. Meskipun yang biasa disebut sebagai

Khulafa al-Rasyidin hanya empat saja, yaitu tidak termasuk Mu’awiyah ibn Abi

Sofyan, tetapi setidaknya pengangkatan Mu’awiyah menjadi Khalifah sesudah Ali

bin Abi Thalib juga tidak didasarkan atas hubungan keturunan dengan Ali bin Abi

Thalib.69 Mu’awiyah sendiri dapat dianggap menyalahgunakan kekuasaan yang

direbutnya dengan penuh kelicikan dan dengan kembali menghidupkan tradisi

Kerajaan seperti yang dipraktikkan di zaman jahiliyah, sehingga

kepemimpinannya diteruskan secara turun temurun oleh anak dan cucunya

sendiri. Mu’awiyah sendiri ditetapkan menjadi Khalifah penerus Khalifah Ali ibn

Abi Thalib melalui kudeta berdarah sebagai salah satu contoh pola suksesi atau

pergantian kekuasaan yang sering terjadi dalam semua tradisi dan dalam semua

sistem. Kudeta itu sendiri sering terjadi dalam sejarah umat manusia dimana saja,

68
Ibid., hlm. 59 Abu al-A’la al-Maududi, op.cit., hlm. 356.
69
Ibid.
62

baik dalam sistem Kerajaan maupun dalam sistem republik. Namun, sebelum

zaman Islam, kudeta hanya terjadi dalam sistem Kerajaan, raja yang satu

ditumbangkan, diganti dengan raja yang baru. Dari waktu ke waktu, dinasti demi

dinasti datang dan pergi sebagaimana digambarkan dalam buku Mukhaddimah

Ibnu Khaldun.70

Sebelum Islam, dapat dikatakan bahwa praktik pergantian kekuasaan di

mana-mana hanya terjadi melalui cara turun temurun atau melalui perebutan

kekuasaan (kudeta). Memang benar dalam bukunya “Republics”, Plato

mengidealkan negara “res publica” atau negara yang mencerminkan kekuasaan

oleh rakyat, kekuasaan oleh public seperti yang tercermin dalam istilah ‘republik’.

Namun yang memimpin negara dimaksud tetaplah seorang raja atau ratu. Hanya

saja, yang diimpikan oleh Plato untuk menjadi pemimpin yang ideal itu adalah

seorang “Philofopher ‘s King”, yaitu seorang raja filosof.71 Karena itu, negara

yang ideal itu tetap saja berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh raja atau ratu.

Impian Plato tentang “res publica” itu barulah dalam tataran wacana filosofis.

Dalam praktik sistem organisasi bernegara di Athena, di Sparta dan di tempat-

tempat lain di dunia ketika itu, tetaplah merupakan bangunan organisasi yang

berbentuk Kerajaan dengan proses pergantian kekuasaan dari satu generasi ke

generasi berikutnya secara turun-temurun. Memang banyak terjadi pergantian

kepemimpinan melalui perebutan kekuasaan atau kudeta di sepanjang sejarah

umat manusia. Fenomena kudeta itu betapapun merupakan penyimpangan dari

tradisi yang baku. Hal ini memang sering terjadi dalam sejarah, tidak saja di

70
Ibnu Khaldun, op.cit., hlm. 84.
71
BN. Marbun, op.cit., hlm. 394.
63

lingkungan Kerajaan tetapi juga di lingkungan sistem pemerintahan non Kerajaan.

Dengan perkataan lain, konsepsi tentang republik di zaman Yunani Kuno itu

seperti yang diimpikan oleh Plato itu belumlah menjadi gambaran kenyataan

ketika itu dan bahkan di masa-masa sesudahnya.72

Dalam kaitan itulah maka praktik yang terjadi pada awal perkembangan

sejarah Islam, mulai dan masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sampai

tampilnya Mu’awiyah ibn Abi Sofyan menjadi Khalifah Dinasti Ummaiyah

pertama, sungguh sangat penting untuk dicatat secara tersendiri. Tampilnya

Muhammad SAW menjadi pemimpin, di samping sebagai Nabi dan Rasul tidak

didasarkan atas keturunan, melainkan karena adanya ‘social trust’ dan ‘social

support’ dari masyarakat. Karena itu, bagi Montgomery Watt, kedudukan

Muhammad ketika itu adalah Nabi/Rasul (Prophet) dan sekaligus merupakan

negarawan (statesman).73 Demikian pula tampilnya Abu Bakar al-Shiddiq menjadi

Khalifah didasarkan atas “bai’at” atau konkritnya berdasarkan pemilihan umum

yang bersifat langsung dan terbuka yang dimotori oleh Umar ibn Khattab.

Banyak orang yang salah memahami konsepsi “bai’at” itu yang

sebenarnya. Dalam praktik, tokoh-tokoh pergerakan biasaa menggunakan istilah

“bai’at” itu untuk mengambil sumpah agar para pengikutnya tunduk dan taat

kepada pimpinan yang membai’at. Kebiasaaan demikian ini tentu saja sangat

salah. Bai’at itu sendiri yang benar adalah seperti yang dilakukan Umar ibn

Khattab ketika membai’at Abu Bakar al-Shiddiq menjadi Khalifah pengganti Nabi

72
Ibid., hlm. 395.
73
Montgomery Watt, Muhammad; Prophet and Statesman. (Oxford : University Press,
1964), hlm. 92-94.
64

SAW.74 Sesudah Umar ibn Khattab menyatakan “bai’at”nya maka para sahabat

lainnya berbondong-bondong menyatakan dukungan juga kepada Abu Bakar dan

membai’atnya menjadi Khalifah. Dengan perkataan lain, bai’at kepemimpinan itu

bukanlah tindakan atasan kepada bawahan, melainkan sebaliknya dari bawahan

kepada atasan.

Dengan bai’at itulah rakyat menyatakan dukungannya kepada Khalifah,

persis seperti pemungutan suara dengan mana rakyat menentukan pilihannya

untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin yang mereka percayai. Oleh

karena itu, sistem bai’at yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab kepada Abu Bakar

al-Shiddiq itu, dapat disebut sebagai cikal bakal sistem pemilihan kepala negara

yang pertama dalam sejarah umat manusia. Karena itu, sistem Khilafah al-Rasul

yang dipraktikkan di zaman sepeninggal Nabi Muhammad tidak lain dan tidak

bukan adalah sistem republik yang diimpikan Plato di zaman yunani kuno. Impian

Plato tentang “res publica” dituliskannya dalam buk “Republics” belum dapat

dipraktikkan di zamannya. Impiannya itu baru dipraktikkan setelah masa Nabi

Muhammad menjadi pemimpin yang kemudian setelah meninggal dunia

digantikan oleh Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq.75

Sejak Abu Bakar al-Shiddiq dipilih menjadi Khalifah, 4 (empat) Khalifah

berikutnya juga diangkat menjadi “amirul mu’minin” dengan cara yang tidak

bersifat turun temurun. Bersamaan dengan itu, seperti sudah diuraikan di atas

mengenai pandangan Islam, mengenai tradisi demokrasi pada bagian terdahulu,

semua masalah yang menyangkut kepentingan umum selalu diputuskan oleh para

74
Ibnu Khaldun, op.cit., hlm. 395. Montogomery Watt, op.cit., hlm. 94
75
Montgomery Watt, Ibid., hlm. 95.
65

Khalifah secara musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait sesuai

dengan prinsip demokrasi perwakilan. Hal demikian ini tidak lain merupakan

sistem demokrasi yang bersifat substantif dalam proses pengambilan keputusan

yang dipraktikkan dalam tradisi politik Islam sejak zaman Nabi.

Karena itu, konsep Khilafah Islamiyah sebenarnya tidak lain merupakan

konsep republik seperti yang diimpikan Plato dan seperti yang pertama kali

diterapkan dalam praktik di zaman Nabi Muhammad dan masa Khulafa al-

Rasyidin. Dengan demikian, sudah seharusnya perdebatan yang tidak kunjung

selesai mengenai pengertian “Khilafah Islamiyah” yang bersifat global seperti

yang diimpikan oleh banyak kalangan segera diakhiri saja. Suatu republik, jika

berkembang maju dan kuat dapat saja meluas pengaruhnya ke seluruh dunia.

Misalnya republik Amerika Serikat yang ada sekarang sangat luas pengaruh

kekuasaannya di seluruh dunia. Jika ada satu dua republik yang mayoritas

penduduknya adalah umat Islam, lalu berkembang sangat maju dan kuat, baik

secara militer, secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, maka negara Muslim

dimaksud tidak sulit untuk berperan seperti satu ke Khalifahan yang kuat seperti

di masa-masa lalu, yaitu ke Khalifahan Islam antara abad ke-6 sampai dengan

abad ke-13 atau setidaknya seperti ke Khalifahan Ottoman sampai abad ke-19 dan

sebelum Perang Dunia Pertama yang masih dikenal sangat kuat pengaruhnya di

dunia.76 Tradisi-tradisi yang tumbuh dan hidup dalam sejarah Islam dapat

ditafsirkan tidak menolak sistem republik. Bahkan tradisi Islam itu lah yang justru

pertama kali menerapkan prinsip-prinsip yang di kemudian hari kita kenal sebagai

76
Ibid., hlm. 96.
66

konsep republik dan konsep demokrasi. Konsep republik yang diidealkan dan

konsep demokrasi yang dipandang buruk di masa Plato, justru dipraktikkan

dengan baik di masa awal perkembangan Islam dan dari sana terus berkembang

menjadi tradisi politik modern sampai dengan sekarang.

5. Tujuan Pemerintahan Islam

Sebagai telah disebut, pembentukan khilafah atau pemerintahan dalam

pandangan para juris sunni wajib menurut hukumagama sebagai pengganti tugas

keNabian mengatur kehidupan danurusan umat baik keduniaan maupun

keagamaan dan untukmemelihara agama. Umat wajib menunjukkan kepatuhan

danketaatan kepadanya. Bagi mereka kekuasaan politik merupakanalat untuk

melaksanakan syari’at Islam, menegakkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan

rakyat, memelihara persatuan umat lewat kerjasama dan tolong-menolong dan

menciptakan keamanan dan ketenangan.

Menurut Al-Baqillani tugas dan tujuan pemerintahan adalah untuk

menegakkan hukum yang telah ditetapkan, membela umat dari gangguan musuh,

melenyapkan penindasan dan menghilangkan keresahan masyarakat,

memeratakan penghasilan negara bagi rakyat dan mengatur perjalanan haji dengan

baik dan melaksanakan syari’at yang dibebankan kepadanya. Singkatnya segala

sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum harus sesuai dengan syari’at. 77

Al-Baghdadi sebagai telah disebut di muka berpendapat pemerintahan bertujuan

melaksanakan undang-undang dan peraturan, melaksanakan hukuman bagi

pelanggar hukum, mengatur militer, mengelola pajak dan mengurus lembaga

77
Dikutip dalam Lambton, op.cit., hlm.,73 dan 76.
67

perkawinan.78 Pemerintahan itu, kata Rabi’, melalui penguasannya bertugas untuk

memelihara dan melaksanakan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban

yang diletakkan oleh Allah dan RasulNya.79

Bagi Al-Mawardi lembaga imamah mempunyai tugas dan tujuan umum.

Pertama, mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya

yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma’ oleh salaf (generasi pertama umat

Islam). Kedua, melaksanakan kepastian hukum di antara pihak-pihak yang

bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang universal antara

penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah Islam dan memelihara

kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik jiwa maupun harta.

Keempat, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum Tuhan. Kelima,

membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. Keenam, jihad terhadap orang-

orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui

eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan

syara’, nas’ dan ijtihad. Kedelapan, mengatur penggunaan harta baitul mal secara

efektif. Kesembilan, meminta nasehat dan pandangan dari orang-orang terpercaya.

Kesepuluh, dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala

negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya. 80

Tugas dan tujuan lembaga Pemerintahan dalam pandangan Al-Ghazali,

adalah lembaga yang memiliki keuasaan dan menjadi alat melaksanakan syari’at,

mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan urusan

78
Lihat catatan 101.
79
Lihat catatan 76.
80
Al-Mawardi, op. cit., hlm. 15-16.
68

aganma. Ia juga berfungsi sebagai lambang kesatuan umat Islam demi

kelangsungan sejarah umat Islam.81

Sejalan dengan persyaratan kepala pemerintahan, tugas dan tujuan utama

pemerintahan dalam pandangan Ibn Taimiyah untuk melaksanakan syari’at Islam

demi terwujudnya kesejahteraan umat, lahir dan batin serta tegaknya keadilan dan

amanah dalam masyarakat. Paradigma pemikiranya ini banyak disandarkan

kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits.82 Tidak berbeda dari pendahulunya, Ibn

Khaldun menyatakan sesungguhnya kehidupan di dunia ini bukanlah tujuan akhir

dari keberadaan manusia. Kehidupan manusia di dunia ini adalah satu marhalah

yang dijalani menuju kehidupan lain, yaitu kehidupan akhirat. Undang-undang

Islam yang bersifat politik menaruh perhatian terhadap kehidupan dunia. Maka

imamah, warisan yang ditinggalkan oleh Nabi, adalah untuk melaksanakan

hukum-hukum Allah demi terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan

akhirat.83

6. Konstitusi Dalam Islam

Dalam hukum ketatanegaraan Islam (Fiqh Siyasah), konstitusi dengan

dusturi (berasal dari bahasa Persia). Semula artinya adalah seseorang yang

memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Dalam

perkernbangannya, kata ini digunakan untuk menunjukkan anggota kependetaan

(pemuka agama) Zoroaster (Majusi). Setelah mengalami penyerapan kedalam

bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau

pembinaan. Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar
81
Lihat catatan 125 dan 126.
82
Ibn Taimiyah, Al-Siyasat., hlm. 9-29.
83
Ibn Khaldun, Muqaddimat, op. cit., hlm. 190.
69

dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah

negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi).84

Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan konstitusi ini adalah

jaminan hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan

kedudukan semua orang dimata hukum tanpa membeda-bedakan klasifikasi sosial,

kekayaan, pendidikan dan agama.85 Perumusan konstitusi ini sangat berkaitan

dengan sumber-sumber dan kaidah perundang-undangan di suatu negara, baik

sumber material, sumber sejarah, sumber pengundangan maupun sumber

penafsirannya. Sumber material adalah hal-hal yang berkenaan dengan materi

pokok undang-undang dasar. Materi pokok undang-undang dasar adalah peraturan

tentang hubungan antara pemerintah dengan rakyat yang diperintah. Perumusan

konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah negara yang

bersangkutan, baik masyarakatnya, politik, maupun kebudayaannya, materi dalam

konstitusi sejalan dengan aspirasi dan jiwa masyarakat dalam negara tersebut.

Kemudian, agar mempunyai kekuatan hukum, undang-undang dasar yang akan

dirumuskan harus mempunyai landasan atau dasar pengundangannya. Dengan

landasan yang kuat undang-undang tersebut akan memiliki kekuatan pula untuk

mengikat dan mengatur masyarakat dalam suatu negara yang bersangkutan.

Sementara sumber penafsiran adalah otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan

atau menjelaskan hal-hal yang perlu pada saat undang-undang dasar tersebut

diterapkan.86

84
Muhammad Iqbal, Fiqh Siayasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), hlm. 153-154.
85
Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syarifah, (Cairo : Dar al-Anshar,1977), hlm. 25-40.
86
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 154.
70

Menurut ulama fiqh, pada mulanya pola hubungan pemerintah dengan

rakyat ditentukan oleh adat istiadat. Karena adat istiadat ini tidak tertulis, maka

dalam hubungan tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas tentang hak

dan kewajiban masing-masing pihak. Akibatnya karena pemerintah memegang

kekuasaan, tidak jarang pemerintah bersikap absolut dan otoriter terhadap rakyat

yang dipimpinnya. Sebagai reaksi, rakyat pun melakukan pembrontakan,

perlawanan, bahkan revolusi untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa secara

absolut tersebut.87 Akibat dari revolusi tersebut, lahirlah pemikiran untuk

menciptakan undang-undang dasar atau konstiusi sebagai pedoman dan “aturan

main” dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.88 Lewat revolusi, ada juga

yang dibangun karena lahirnya sebuah negara baru, contoh seperti ini seperti

Pakistan dan Indonesia. Pendiri negara yang bersangkutan itulah yang terlibat

dalam perumusan undang-undang dasar (konstitusi). Upaya untuk mengadakan

Undang-Undang Dasar tertulis sebenarnya sudah dimulai semenjak abad ke 17 M

di Eropa yang menjadi sumber utama dari konstitusi itu adalah adat istiadat yang

terus menerus dipelihara dan dipraktekkan dari generasi ke generasi berikutnya.

Dari adat inilah muncul teori hubungan timbal balik antara penguasa dan rakyat,

yaitu disebut dengan “Kontrak Sosial” yang ditemukan oleh Thomas Hobbes.

87
Ibid., hlm. 155.
88
Contoh kasus ini adalah revolusi Perancis tahun 1789 yang melawan kesewenang-
wenangan Sultan Lauis XVI. Dalam revolusi ini, rakyat berhasil menjatuhklan sultan dan
memenggal lehernya dan keluarganya. Contoh lain yang kontemporer adalah revolusi Iran yang
dipimpin oleh Ayatullah Khumeini yang berhasil menjatuhkan penguasanya, Reza Pahlavi dan
mengusirnya dari tanah Iran (1979). Pasca revolusi Iran mengadakan dan merumuskan kembali
Undang-Undang Dasar.
71

Teori ini menginspirasi lahirnya konstitusi tertulis yang mengatur batas-batas hak

dan kewajiban kedua belah pihak secara timbal balik.89

Sumber utama pembentukan konstitusi dalam hukum Islam adalah al-

Qur’an dan Sunnah. Berhubung al-Qur’an bukan buku undang-undang, karena

tidak merinci secara detail bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyatnya

serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Al-Qur’an hanya memuat dasar-

dasar atau prinsip umum ketatanegaraan secara global dan ayat yang mengatur

tentang ketatanegaraan pun tidak banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ayat yang

masih global tersebut dijabarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya,

baik perkataan, perbuatan atau ketetapannya. Namun penerapannya tidak harus

mutlak, karena al-Qur’an dan Sunnah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia

untuk membentuk dan mengatur pemerintahan serta menyusun konstitusi yang

sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks sosial masyarakatnya. Bertitik

tolak dari hal itu, teori-teori hukum Islam seperti ijma’, qiyas, istihsan dan

maslahah mursalah memegang peranan yang sangai penting dalam perumusan

konstitusi, namun penerapan teori-teori tersebut tidak boleh bertentangan dengan

ruh syari’at.

Nabi yang kapasitasnya sebagai penjelas terhadap ayat al-Qur’an, dalam

menghadapi masyarakat Madinah yang majemuk antara golongan muslim dan non

muslim, khususnya kaum Yahudi, Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian

tertulis dengan mereka. Isi perjanjian itu, terutama menitikberatkan persatuan

kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua

89
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 155.
72

golongan, menekankan kerjasama, persamaan hak dan kewajiban di antara semua

golongan dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian dan mengikis segala

bentuk perbedaan pendapat yang timbul dalam kehidupan bersama. Perjanjian ini

dibuat pada tahun pertama Hijrah, sebelum perang Badar dan dikenal dengan

nama “Piagam Madinah.” Langkah-langkah Nabi Muhammad SAW membuat

perjanjian Piagam Madinah sebagai keputusan yang amat luhur dan merupakan

fase politik yang telah diperlihatkan Nabi Muhammad SAW dengan segala

kecakapan, kemampuan dan pengalamannya yang membuat orang tunduk hormat

kepadanya dengan rasa kagum.90 Banyak pakar politik menyatakan bahwa Piagam

Madinah merupakan Konstitusi Negara tertulis pertama di Dunia.91

Beberapa prinsip penting telah diletakkan dalam konstitusi itu, yaitu;

persamaan, keadilan, kebebasan beragama, jaminan sosial dan tanggung jawab

bersama dalam keamanan.92 Dalam piagam inilah untuk pertama kali dirumuskan

ide-ide yang sekarang menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti

kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan

keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan serta kewajiban

bela negara.93 Piagam Madinah sebagai dokumen politik yang patut dikagumi

sepanjang sejarah dan sekaligus membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW

bukan hanya seorang Rasul melainkan juga seorang negarawan. 94 Piagam tersebut

90
Musdah Mulia, Negara Islam Pemikiran Politik Husain Haekal, (Jakarta : Paramedina,
2001), hlm. 187-188.
91
Zaenal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW Sebagai Konstitusi Negara
Tertulis Pertama di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 52.
92
Muhammad Hamidullah, Pengantar Studi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.25-
26. Lihat Munawir Sadzali, op.cit., hlm. 9-10.
93
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm.195.
94
Munawir Sadzali, op.cit., hlm. 15-16.
73

sangat revolusioner dan sangat mendukung gagasan Nabi Muhammad SAW bagi

terciptanya suatu masyarakat yang tertib dan majemuk, yang sebelumnya

masyarakat Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antar suku dengan

suatu kesepakatan95 dan piagam madinah sekaligus sebagai landasan hukum hidup

bernegara bagi masyarakat majemuk di Madinah.96 Oleh sebab itu, terwujudnya

suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW dan diterima

oleh semua golongan dapat dipandang sebagai proses pendahuluan dari

terbentuknya negara di Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW.97

Madinah dapat dipandang sebagai sebuah negara, karena telah memenuhi

syarat minimal terbentuknya negara, yaitu; wilayah, penduduk dan pemerintah.

Dalam konteks masyarakat Madinah yang dipersatukan oleh Nabi Muhammad

SAW , ketiga unsur tersebut terlihat secara nyata, yaitu : (1) Masyarakat tersebut

memiliki wilayah tertentu yaitu Madinah, (2) Semua golongan masyarakat

(Muslim, Yahudi dan orang-orang musyrik) mengakui dan menerima Nabi

Muhammad SAW sebagai pemimpin dan pemegang otoritas politik yang sah

dalam kehidupan mereka, dan (3) Golongan-golongan yang ada memiliki

kesadaran dan keinginan untuk hidup bersama dalam rangka mewujudkan

kerukunan dan kemaslahatan bersama. Keinginan tersebut tertuang dalam

perjanjian tertulis yaitu Piagam Madinah.98

Peristiwa hijrah ke Madinah merupakan kehidupan baru bagi Nabi

Muhammad SAW , yaitu kehidupan politik yang secara implicit di dalamnya

95
Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta : LKIS, 1993), hlm. 19.
96
Musda Mulia, op.cit., hlm. 190.
97
Ibid., hlm. 172-175.
98
Ibid., hlm. 191.
74

terkandung pengertian bahwa di Madinah merupakan tempat dimulai kehidupan

bernegara bagi umat Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammas SAW

membentuk suatu pemerintahan berdasar visi kenabiannya yang sarat dengan

muatan nilai-nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Setelah Nabi

Muhammad SAW wafat sampai pada masa Dinasti Bani Abbassiyah tidak ada

lagi konstitusi tertulis untuk mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.

Pemikiran kembali untuk membentuk konstitusi di kalangan ahli tatanegara

diberbagai dunia Islam, setelah dunia Islam mengalami penjajahan dunia Barat.

Pemikiran ini sebagai reaksi atas kemunduran umat Islam dan merespon gagasan

politik barat dengan kolonialismenya terhadap dunia Islam. Negara yang pertama

kali mengadakan konstitusi adalah Kesultanan Usmani (1976). Dalam konstitusi

tersebut, ditegaskan bahwa Sultan Usmani adalah pemegang kekuasaan

kekhalifahan Islam yang menjadi pelindung Agama Islam.99 Namun sifat

konstitusi irii sebagai semi otokratis, karena hak-hak dan kekuasaan Sultan lebih

dominan atau lebih besar.100 Konstitusi ini tidak berjalan secara efektif karena

Sultan Usmani masih memegang kekuasaan yang begitu besar, yang akhirnya oleh

sebagian pemikir yang menamakan dirinya sebagai Turki Muda berusaha

mencoba membatasi kekuasaan Sultan Usmani dengan membuat konstitusi baru,

kemudian pada puncaknya berhasil menghancurkan kekhalifahan Sultan Usmani

dan terbentuklah Republik Turki yang sekuler di bawah pimpinan Mustafa Kamal

99
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 158.
100
Harun Nasution, op. cit., hlm. 112.
75

(1880-1938). Dalam Konstitusi ini ditegaskan bahwa Turki adalah negara

republik, nasionalis, kerakyatan, kenegaraan, sekuleris dan revolusioner.101

Negara muslim lainnya, seperti Saudi Arabia yang menjadikan al-Qur’an

sebagai Undang-Undang Dasar negara dan syari’ah sebagai hukum dasar yang

dilaksanakan oleh Mahkamah Syari’ah. Kesultanan Saudi tidak punya partai

politik dan dewan perwakilan rakyat, yang ada adalah dewan syura yang

anggotanya diangkat oleh sultan, namun demikian, tidak berarti sultan berkuasa

mutlak tetapi harus mendasarkan pada syari’at.102 Kemudian konstitusi

Kesultanan Maroko yang menganut sistem demokrasi. Dalam konstitusinya tidak

menyebutkan syari’ah sebagai sumber hukum. Oleh sebab itu hukum perdata dan

pidana tidak berdasarkan pada syari’at melainkan sebagian diwarnai oleh hukum

barat.103 Sementara di Yordania, dalam konstitusinya menganut bentuk

Kesultanan turun temurun. Dalam konstitusi disebutkan bahwa Islam adalah

agama negara dan bahasa arab sebagai bahasa resmi negara dan juga disebutkan

persamaan hak warga negara tanpa membedakan asal usul dan agama. 104 Negara

lain adalah Tunisia yang dalam konstitusinya menegaskan bahwa negara Tunisia

berbentuk republik dan Islam sebagai agama resmi negara. Dalam konstitusinya

juga disebutkan ada pemisahan kekuasaan Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif.

Hukum Islam (fiqih) adalah sebagai sumber hukum untuk mengatur masalah

hukum keluarga kewarisan dan perwakafan. Sedang masalah hukum pidana fiqh

sebagai salah satu sumber hukum dari banyak sumber hukum lainnya. Model

101
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 159.
102
Munawir Sadzali, op. cit., hlm. 22.
103
Ibid., hlm. 23.
104
Muhammad Iqbal, loc. cit.
76

konstitusi negara Tunisia ini di ikuti oleh negara-negara Arab lainnya seperti

Mesir, Suriah dan Aljazair.105 sedangkan di Indonesia, konstitusinya menyebutkan

bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik kedaulatan

ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR. (pra-amandemen). Dalam

konstitusinya (UUD 1945) tidak menegaskan salah satu agama sebagai agama

resmi negara tetapi menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya. 106

Berangkat dari catatan sejarah konstitusi di atas, dapat diklasifikasi ada tiga

tipe konstitusi, yaitu : (1) Negara yang tidak ada pembaharuan dan

memberlakukan hukum fiqh secara mutlak, seperti Saudi Arabia, (2) Negara yang

menghilangkan sama sekali Islam dari dasar negaranya, dan mengadobsi

sepenuhnya hukum dari negara barat, seperti Turki, dan (3) Negara yang

memadukan Islam dan sistem hukum lainnya. Contoh negara ini adalah Mesir,

Tunisia, Aljazair dan Indonesia.107

Hasil penelitian para ahli menyimpulkan bahwa tidak ada satu ayat pun

yang secara khusus menerangkan bentuk negara. Oleh karena itu, tidak heran jika

bentuk negara dalam Islam berkembang sesuai dengan kondisi zaman dan tempat,

sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga kini.108 Hal ini, tidak berarti bahwa

al-Qur’an sama sekali tidak mengandung petunjuk bagi kehidupan bernegara.

Dalam rangka mengatur kehidupan manusia di bumi, termasuk dalam kehidupan

bernegara, al-Qur’an cukup menggariskan prinsip-prinsip dasar berupa

seperangkat nilai etika untuk dijadikan bahan rumusan konstitusi sebagai landasan

105
Munawir Sadzali, loc. cit.
106
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 160.
107
Ibid., hlm. 161
108
Harun Nasution, Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Ohor
Indonesia, 1985), hlm. 10.
77

bagi kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah persaudaraan

sesama manusia, persamaan antar manusia dan kebebasan manusia. 109 Ketiga

prinsip dasar inilah yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dalam

membangun kehidupan bernegara ketika mulai hijrah dan selama menetap di

Madinah, yaitu

1) Prinsip persaudaraan sesama manusia dalam kehidupan bernegara

berimplikasi kepada timbulnya persatuan yang kokoh dan toleransi

beragama di antara warga negara yang majemuk. Aplikasi ajaran

persaudaraan dimaksudkan agar penguasa memperlakukan orang-orang

yang dipimpinnya sebagai saudara dan tidak boleh berbuat sewenang-

wenang atau bersikap despotis terhadap mereka.110

2) Prinsip persamaan antar manusia berimplikasi pada pelaksanaan

musyawarah dan ditegakkannya keadilan. Penguasa dalam mengambil

keputusan kenegaraan yang penting, harus terlebih dahulu melakukan

musyawarah dengan wakil-wakil rakyat atau dengan orang-orang yang

dipandang ahli dalam bidang tersebut. Penguasa semestinya memperlakukan

rakyat dengan adil tanpa membedakan keturunan, kesukuan, kekayaan

maupun agama.111

3) Prinsip kebebasan manusia mengimplementasikan kepada kebebasan

berpikir dan kebebasan beragama. Oleh sebab itu, hak-hak individu dijamin,

kepercayaan dan keyakinan warga negara tetap dijunjung tinggi. Penerapan

ajaran kebebasan, khususnya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat


109
Musda Mulia, op. cit., hlm. 109.
110
Ibid., hlm. 241.
111
Ibid.
78

dalam suatu negara dapat mendorong negara bersangkutan untuk maju,

berkembang dan berperadaban. Ajaran kebebasan ini, juga menghendaki

agar warga negara dibebaskan dari kelaparan dan ketakutan sehingga

mereka dapat hidup dalam kondisi yang sejahtera dan tentram. 112 Prinsip-

prinsip itulah yang seharusnya ditransformasikan ke dalam rumusan-

rumusan konstitusi kenegaraan yang dapat memenuhi hajat kebutuhan

masyarakat sesuai dengan kondisi dan situasi pada zamannya sebagaimana

yang telah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam merumuskan

konstitusi Piagam Madinah.

Berdasarkan ketiga prinsip dasar di atas, maka dalam hukum Islam tidak

mengenal bentuk pemerintahan tertentu, artinya apapun sistem dan bentuknya asalkan

sistem tersebut dapat menjamin persamann di antara para warga negaranya, baik

dalam hak maupun kewajiban mereka dan juga persamaan di muka hukum.

Disamping itu, urusan negara diselenggarakan dengan cara musyawarah dengan

berpegang pada tata nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh Islam bagi

pengelolaan hidup bermasyarakat. Atas dasar prinsip musyawarah, maka

pemerintahan dalam hukum Islam terikat oleh kehendak rakyat larangan dan perintah

Allah SWT. Oleh sebab itu, pemerintahannya bersifat konstitusional. Maksudnya

tidak bersifat absolut karena penguasa harus bermusyawarah dengan rakyatnya dan

terikat oleh hasil musyawarahnya dan terikat pula oleh apa yang diwahyukan dalam

al-Qur’an dan al-Sunnah.113

112
Ibid., hlm. 241-242.
113
Ibid., hlm. 205.
79

Hukum Islam tidak menentukan bentuk maupun sistem pemerintahan, tetapi

kalau dicermati implementasi dari ketiga prinsip persaudaraan, persamaan dan

kebebasan di atas, lebih mengarah atau sejalan dengan sistem pemerintahan yang

bercorak demokratis. Hal ini dapat dikemukakan alasan, yaitu : (1) Sejarahawal

terbentuknya negara Madinah sampai pada Khulafa al-Rasyidin, kedudukankepala

negara tidak bersifat turun-temurun dan tidak mempunyai kekuasan yangabsolut

melainkan tunduk pada syari’at (konstitusional). Prinsip ini akhirnyadiabaikan

oleh kepemimpinan Bani Umayah dan Bani Abassiyah yang berakibatmembawa

pemerintahannya berbentuk monarkhi dan bercorak absolut yang lebihbanyak

dipengaruhi oleh unsur kebudayaan barat, (2) Dalam hukum Islamterdapat sistem

bai’at yang dapat diartikan sebagai kedaulatan rakyat,sebagaimana sistem

demokrasi Barat, dan (3) Pemerintahan Islam pada awalnyasangat dipengaruhi

oleh kebudayaan Arab. Bangsa Arab sejak dulu dikenaldengan bangsa yang

menjunjung tinggi kemerdekaan individu. Kebebasan sangatdihargai oleh bangsa

Arab, hal ini terbukti terdapat lembaga Dar al-Nadwah diMakkah, tempat

berkumpul para kabilah Arab untuk membicarakan urusankepentingan mereka

semacam lembaga perwakilan rakyat sekarang.114

Dalam prakteknya, Nabi Muhammad SAW menjalankan pemerintahan

yang tidakterpusat di tangan beliau. Misalnya, dalam pengambilan keputusan

politik, Nabi Muhammad SAW selalu melakukan konsultasi dengan pemuka-

pemuka masyarakat. Ada empat carayang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW

dalam pengambilan keputusan politik, yaitu :(1) Mengadakan musyawarah dengan

114
Ibid., hlm. 220.
80

sahabat senior, (2) Meminta pertimbangandengan kalangan professional, (3)

Melemparkan masalah-masalah tertentu yangbiasaanya berdampak luas bagi

masyarakat ke dalam forum yang lebih besar, dan(4) Mengambil keputusan

sendiri.115 Sistem pemerintahan bercorak demokratis yang ciri utamanya yaitu

urusan kenegaraan dilakukan atas dasar musyawarah,di samping telah

dipraktekkan Nabi Muhammad SAW sejak pertama hijrah dan selama menetapdi

Madinah, juga karena didasarkan padafirman Allah QS. Ali Imran ayat 159

dan QS. al-Syura ayat 38

Ayat-ayat inimengajarkan bahwa segala urusan termasuk urusan kenegaraan

harus didasarkanpada prinsip musyawarah. Sistem musyawarah mengakui prinsip-

prinsippersaudaraan, persamaan dan kebebasan. Ketiga prinsip ini adalah

sebagaipengejawantahan dari prinsip demokrasi.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan

pada masa awal Islam yaitu sejak hijrah Nabi SAW dan selama menetap di

Madinah lebih bercorak demokratis. Prinsip demokratis merupakan ciri utama

sebagai negara hukum. Karena dalam demokrasi terdapat pengakuan prinsip

persaudaraan, persamaan dan kebebasan warga negara. Prinsip persamaan dan

kebebasan yang bertumpu pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia

dalam kepemerintahan Nabi SAW telah tertulis dalam konstitusi yaitu pada Piagam

Madinah. Khusus teori pemisahan kekuasaan negara yaitu Eksekutif, Yudikatif dan

Legislatif, walaupun belum dikenal oleh pemerintahan di masa Nabi SAW, namun

Nabi SAW telah mewujudkan dalam pemerintahannya pembagian tugas kenegaraan

115
Munawir Sadzali, op. cit., hlm. 16-17.
81

dengan cara mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat dibidangnya. Tercatat

dalam sejarah Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabaladalah dua orang diangkat

Nabi SAW sebagai Qadhi (Hakim) yang bertugas di provinsiyang berbeda,

mereka ini telah memenuhi kualifikasi tersebut. Ini memberiisyarat bahwa jauh

sebelum orang mengenal prinsip Peradilan Bebas, Nabi SAWpada abad ke 7

secara subtansial telah melaksanakan prinsip tersebut dalamrangka menegakkan

keadilan dan kebenaran.116 Terkait unsur pemisahan negaraEksekutif, Yudikatif

dan Legislatif yang belum dikenal pada masa Nabi SAW, tidakmenjadi persoalan,

karena dalam suatu negara hukum yang penting bukan atautidaknya pemisahan

secara mutlak trias politica, persoalannya adalah dapat dantidaknya alat-alat

kekuasaan negara itu terhindar dari praktek birokrasi dantirani.117

Berikut ini kutipan naskah Piagam Madinah selengkapnya :

1. Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah,
mewakili pihak kaum Muslimin yang terdiri dari warga Quraisy dan warga
Yathrib serta para pengikutnya yaitu mereka yang beriman dan ikut serta
berjuang bersama mereka.
2. Kaum Muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan
dengan kelompok-kelompok masyarakat lain.
3. Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy, dengan tetap memegang
teguh prinsip aqidah, mereka bahu-membahu membayar denda yang perlu
dibayarnya. Mereka membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota
yang ditawan.
4. Bani ‘Auf dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik dan
adil membayar tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan.
5. Bani Al-Harits (dari warga Al-Khazraj) dengan teguh memegang prinsip
aqidah, mereka bahu-membahu membayar denda pertama mereka. Setiap
116
Muhammad Tahir Azhari, op. cit., hlm. 169-170.
117
Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hlm. 49-50.
82

kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya
yang ditawan.
6. Bani Sa’idah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar denda dengan
baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
7. Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-membahu
membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik
dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
8. Bani An-Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warga yang tertawan.
9. Bani Amr bin ‘Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
10. Bani An-Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
11. Bani Al-Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-
membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar
dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
12. (a) Kaum Muslimin tidak membiarkan seorang Muslim yang dibebani
dengan utang atau beban keluarga. Mereka memberi bantuan dengan baik
untuk keperluan membayar tebusan atau denda. (b) Seorang Muslim tidak
akan bertindak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba sahaya) Muslim
yang lain.
13. Kaum Muslimin yang taat (bertakwa) memiliki wewenang sepenuhnya
untuk mengambil tindakan terhadap seorang Muslim yang menyimpang dari
kebenaran atau berusaha menyebarkan dosa, permusuhan dan kerusakan di
kalangan kaum Muslimin. Kaum Muslimin berwenang untuk bertindak
terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak Muslim sendiri.
14. Seorang Muslim tidak diperbolehkan membunuh orang Muslim lain untuk
kepentingan orang kafir dan tidak diperbolehkan pula menolong orang kafir
dengan merugikan orang Muslim.
15. Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada di pihak mereka
yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang Muslim, dalam
pergaulannya dengan pihak lain, adalah pelindung bagi orang Muslim yang
lain.
16. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak
persamaan setara akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar
yang merugikan.
83

17. Perdamaian bagi kaum muslimin adalah satu. Seorang Muslimin tidak akan
mengadakan perdamaian dengan pihak luar Muslim dalam perjuangannya
menegakkan agama Allah kecuali atas dasar persamaan keadilan.
18. Keikutsertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara
bergiliran.
19. Seorang Muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung
bagi Muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang mengancam
keselamatan jiwanya.
20. (a) Kaum Muslimin yang taat berada dalam petunjuk yang paling baik dan
benar. (b) Seorang musyrik tidak diperbolehkan melindungi harta dan jiwa
orang Quraisy dan tidak diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu
yang merugikan seorang Muslim.
21. Seorang yang ternyata berdasarkan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang
Muslim, wajib dikisas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya.
Dan semua kaum Muslimin mengindahkan pendapat wali terbunuh. Mereka
tidak diperkenankan mengambil keputusan kecuali dengan mengindahkan
pendapatnya.
22. Setiap Muslim yang telah mengakui perjanjian yang tercantum dalam naskah
perjanjian ini dan ia beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tidak
diperkenankan membela atau melindungi pelaku kejahatan (criminal), dan
barang siapa yang membela atau melindungi orang tersebut, maka ia akan
mendapat laknat dan murka Allah pada Hari Akhir. Mereka tidak akan
mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah.
23. Bila kami sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaklah perkaranya
diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad.
24. Kedua pihak; Kaum Muslimin dan Kaum Yahudi bekerjasama dalam
menanggung pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama.
25. Sebagai satu kelompok, Yahudi Bani ‘Auf hidup berdampingan dengan kaum
Muslimin. Kedua pihak memiliki agama masing-masing. Demikian pula halnya
dengan sekutu dan diri masing-masing. Bila di antara mereka ada yang
melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan
ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
26. Bagi kaum Yahudi Bani An-Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf.
27. Bagi kaum Yahudi Bani Al-Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Bani ‘Auf.
28. Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani ‘Auf.
29. Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani ‘Auf.
84

30. Bagi kaum Yahudi Bani Al-Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku
bagi kaum Bani ‘Auf.
31. Bagi kaum Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku bagi kaum Bani ‘Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa
dalam hubungan ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya
sendiri.
32. Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa’labah berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah.
33. Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum
Yahudi Bani ‘Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa.
34. Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa’labah tidak berbeda dengan Bani Tsa’labah
itu sendiri.
35. Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu
sendiri.
36. Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali
mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas)
orang lain yang lebih melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya.
Barang siapa yang membunuh orang lain sama dengan membunuh diri dan
keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya. Sesungguhnya
Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
37. Kaum Yahudi dan Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua
belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak
yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam
perjanjian ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasihat
dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.
38. Seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya, dan orang yang
teraniaya akan mendapat pembelaan.
39. Daerah-daerah Yathrib terlarang perlu dilindungi dari setiap ancaman untuk
kepentingan penduduknya.
40. Tetangga itu seperti halnya diri sendiri, selama tidak merugikan dan tidak
berbuat dosa.
41. Sesuatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas
kehormatan itu.
42. Sesuatu peristiwa atau perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang
menyetujui piagam ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan
bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah dan Muhammad sebagai utusan-
Nya. Allah akan memperhatikan isi perjanjian yang paling dapat memberikan
perlindungan dan kebajikan.
43. Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang
mendukungnya tidak akan mendapat pembelaan.
85

44. Semua warga akan saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang
melancarkan serangan terhadap Yathrib.
45. (a) Bila mereka (penyerang) dajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu
serta melaksanakan perdamaian tersebut maka perdamaian tersebut dianggap
sah. Bila mereka mengajak berdamai seperti itu, maka kaum Muslimin wajib
memenuhi ajakan serta melaksanakan perdamaian tersebut, selama serangan
yang dilakukan tidak menyangkut masalah agama. (b) Setiap orang wajib
melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
46. Kaum Yahudi Aus, sekutu (hamba sahaya) dan dirinya masing-masing
memiliki hak sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui
perjanjian ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari
kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya kebajikan itu berbeda dengan
perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan
yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian yang paling murni
dan paling baik.
47. Surat perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan
dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah
maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan
dosa. Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari
keburukan.118
Muhammad Rasulullah SAW

7. Sumber Kekuasaan Dalam Islam

Dari kajian yang dilakukan terhadap pemikiran politik Islam beberapa orang

tokoh tidak memperoleh keterangan teori mereka mengenai sumber kekuasaan bagi

kepala negara. Apakah menurut teori ketuhanan, teori kekuatan dan atau teori kontrak

sosial. Untuk mengetahui hal ini hanya bisa dipahami berdasarkan tafsiran terhadap

pemikiran dan gagasan mereka mengenai proses terbentuknya negara, cara pemilihan

kepala negara dan pemberhentian kepala negara.

Menurut teori ketuhanan kekuasaan berasal dari Tuhan (Divine Rights of

Kings). Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan

118
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Agama, Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta:
UI Press, 1990), hlm. 10-15.
86

kepadanya.119Teori kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan politik

diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh

pihak yang menang dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat

hukum.120 Teori ini dikemukakan juga oleh Ibn Khaldun. Menurutnya masyarakat

manusia memerlukan al-wazi’ (pemimpin) untuk melaksanakan kekuasaan dan

memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya di antara

sesama. Al-Wazi’ diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatnya.

Hubungan sosial masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan yang disebutnya

ashabiyat (solidaritas kelompok) sebagai perekat kekuatan kelompok itu. Suatu

daulah (pemerintahan) dapat terbentuk apabila suatu kelompok masyarakat mampu

mengalahkan kelompok masyarakat lainnya. Dengan kemenangan ini ia memperoleh

kekuasaan politik.121 Sedangkan teori kontrak sosial adalah suatu teori yang

menerangkan kekuasaan diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Artinya kekuasaan

poltik bersumber dari rakyat dan legitimasinya melalui perjanjian masyarakat.

Terjadinya penyerahan kekuasaan oleh anggota masyarakat kepada seseorang atau

lembaga.122

Melihat kepada tiga teori tersebut, tampaknya, Al-Baqillani, Al-Baghdadi,

Al-Mawardi, Al-Juwaini dan Ibn Khaldun lebih mungkin ditarik kepada paham

teori kontrak sosial. Artinya, sumber kekuasaan bagi mereka berasal dari

masyarakat. Karena gagasan mereka tentang proses terbentuknya negara adalah

atas dasar kehendak manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik untuk

119
Lihat Krenenburg dan TK. Sabaruddin, Ilmu Negara Umum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1986, hlm. 9
120
F. Isywara, Pengantar Ilmu Politik, Angkasa, Bandung, 1982, hlm. 153.
121
Ibn Khaldun, Muqqadimat, (Dar al-Fikr, tt), hlm. 139.
122
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, Sultanwali, Jakarta, 1982, hlm. 79.
87

berkumpul di suatu tempat dalam rangka kerjasama dan tolong-menolong untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Tapi tabiat manusia yang demikian mereka kaitkan

daigan keyakinan agama. Sebagai ciptaan dan kehendak Tuhan atas manusia

Dalam kerjasama itu mereka memerlukan seorang pemimpin yang akan mengatur

urusan mereka. Untuk tampilnya seorang pemimpin menurut para tokoh ini harus

diangkat melalui pemilihan oleh ahl al-‘aqd wa al-halli yang disertai dengan baiat

atau persetujuan masyarakat. Hal ini merupakan “perjanjian sosial” di antara dua

belah pihak atas dasar sukarela. Tapi tidak jelas apakah anggota lembaga pemilih

itu bersifat perwakilan dan diangkat oleh rakyat. Yang dapat dipahami mengenai

pandangan mereka dalam hal ini adalah bila para anggota pemilih sebagai anggota

masyarakat terkemuka dan berpengaruh, bersepakat atas sesuatu, maka rakyat

akan mentaatinya.

Ibn Abi Rabi’ lebih dekat ditarik kepada teori ketuhanan. Hal ini didasarkan

pada pendapatnya bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi masyarakat.

Penguasa-penguasa itu mendapat pancaran Ilahi dan menetapkan mereka dengan

karamah-Nya.123 Sebab ia tidak menyinggung apakah seorang penguasa yang

mendapat pancaran Ilahi ditetapkan melalui pemilihan atau penunjukan. Dengan

demikian sumber kekuasaan kepala negara bukan berasal dari rakyat, melainkan

datang dari Allah yang melimpahkan-Nya kepada sejumlah kecil orang pilihan.

Tampaknya pandangan al-Ghazali. Dengan mendasarkan kepada ayat 59

surat al-Nisa yang memerintahkan orang-orang mukmin taat kepada Allah, kepada

RasulNya dan kepada para pemimpin dan ayat 26 surat Ali Imran yang

123
Ibn Abi Rabi’, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, (al-Qahirat: Dar al-Sya’ab, 1970),
hlm. 102.
88

menegaskan bahwa Allah memberikan Kesultanan (kekuasaan) kepada yang ia

kehendaki, al-Ghazali mendukung adagium yang mengatakan bahwa kepala

negara atau sultan adalah bayangan Allah di atas bumiNya. Karena itu rakyat

wajib mengikuti dan mentaatinya, tidak boleh menentangnya. Untuk itu,

menurutnya dalam kenyataan Tuhan memilih di antara cucu-cucu Adam menjadi

Nabi-Nabi dan para pemimpin. Para Nabi bertugas untuk membimbing rakyat ke

jalan yang benar dan para sultan atau pemimpin mengendalikan rakyat agar tidak

bermusuhan sesama mereka, dan dengan kebijaksanaannya ia mewujudkan

kemaslahatan rakyat.124

Alur pemikiran al-Ghazali tersebut, menurut Muhammad Jalal Syaraf dan

Ali Abd al-Mu’thi Muhammad, mengandung arti bahwa kekuasaan kepala negara

itu muqaddas (suci). Karenanya rakyat wajib mentaati segala perintahnya. Sistem

pemerintahan dalam pemikiran al-Ghazali adalah teokrasi.125

Tapi meskipun seorang menjadi sultan atau kepala negara atas kehendak

Allah, menurut al-Ghazali, ia juga harus mendapat tafwidh (penyerahan kekuasaan)

dan tauliyat (pengangkatan dari orang lain). Dengan ini ia berbeda dari Rabi’.

Menurutnya ada tiga cara untuk memperoleh tafwidh dan tauliyat itu, yaitu dengan

cara penetapan dari Nabi, penetapan dari sultan yang sedang berkuasa dengan

menunjuk putra mahkota (wilayat al-‘ahd) dari putra-putranya atau orang

Quraisylainnya, dan pengangkatan dari pemegang kekuasaan, yang diperkuat

124
Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam (al-Mishriyat: Dar al-Jami’at,
Iskandariat, 1978), hlm.393, dikutip dari al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk,
Cairo, 1317 H, hlm. 40-41.
125
Muhammad Jalal Syaraf, op. cit., hlm. 393.
89

dengan baiat oleh ulama yakni ahl al-halli wa al-‘aqd.126 Baiat yang sifatnya

terbatas.

Sedangkan pendapat Ibn Taimiyah dapat ditinjau dari dua sudut pandang.

Bila didasarkan pada penolakkannya terhadap doktrin syi’ah tentang adanya nash

penetapan Ali sebagai imam sesudah Nabi, maka ini berarti ia menerima sistem

pemilikan dan sumber kekuasaan adalah rakyat. Tapi bila dilihat pada pendapatnya,

“makhluk adalah hamba Allah dan para pemimpin adalah wakil-wakil Allah atas

hamba-hambaNya dan mereka juga adalah wakil-wakil hamba-hamba Allah atas

diri mereka sendiri”,127 dan dukungannya terhadap ungkapan yang mengatakan:

“sultan (kepala negara) adalah bayangan Allah di atas bumiNya”,128 bisa

mengandung arti bahwa sumber kekuasaan, baginya datang dari Allah.

8. Kekuasaan Kepala Negara Dalam Islam

Kekuasaan memang menggiurkan banyak orang. Banyak orang berupaya

sekuat tenaga dengan mengerahkan berbagai daya upaya untuk menjadi penguasa.

Tetapi, kekuasaan sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun, mempunyai watak

otoriter dengan kecenderungan untuk menjadi penguasa tunggal. Di samping itu,

watak kekuasaan juga cenderung menimbulkan kemewahan.129 Karena adanya

berbagai bahaya itulah, maka menurut al-Ghazali dalam memilih penguasa

haruslah diutamakan seorang yang betul-betul terbaik dan paling faqih.130

126
Al-Ghazali, Al-Iqtishad, Fi al-‘Itiqad (Mishr : Maktabat al-Jund, 1978), hlm. 106.
127
Ibn Taimiyah, al-Siyasat, Al-Syar’iat fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’Iyat (Beirut : Dar al-
Kutub al-‘Arabiyat, 1966), hlm. 14.
128
Aristoteles, Sultanwali Pers, Jakarta, 1998, hlm. 45-46.
129
Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami, disebut Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, (Beirut; Dar al-Fikr. tt), hlm. 83
130
Abu Harnid Muhammad bin Muhammad Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut: Darul
Ma’rifah, tt), Juz VI, hlm. 173-174.
90

Sebagai sebuah agama yang tidak mengenal distingsi antara yang profan

(duniawi) dan yang transendental (ukhrawi), Islam pun mengatur masalah politik

dan kekuasaan. Pada perjalanan sejarahnya, teori politik yang pertama kali

muncul dalam Islam sebagaimana yang ditegaskan Harun Nasution adalah tentang

jabatan kepala negara.131 Terkait dengan jabatan kepala negara itu pula, Ibnu

Taimiyyah bahkan menyatakan bahwa menegakkan kekuasaan adalah salah satu

kewajiban agama yang penting. Hal itu karena agama juga bisa tegak dengan

adanya kekuasaan. Selain itu, kepentingan umum masyarakat tidak akan terwujud

sempurna tanpa adanya sebuah organisasi yang mengaturnya dan sebuah

organisasi itu tentu memerlukan seorang pemimpin.132

Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah

amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas

dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan

dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan

yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram. Hal inilah

yang membuat Islam tidak menerima pandangan Vilfredo Pareto, ahli politik

Italia, yang menyatakan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan politik hanya

sekedar persoalan siapakah yang berkuasa.133 Di samping itu, pemimpin juga

harus orang yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan ini sebagai acuan

dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah.

131
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001),
hlm.97.
132
Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah al-Harani, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Beirut :
Dar al-Ma’rifah, tt), hlm. 217
133
Mukhlis Zamzami Can, Profil Pemimpin Islam, (Jakarta : Gramedia, 1990), hlm 82.
Lihat QS. al-Baqarah: 246-250.
91

Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertakwa dapat melaksanakan

kepemimpinannya. Karena dalam terminologinya, taqwa diartikan sebagai

melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, juga

berarti taat dan patuh serta takut melanggar/mengingkari dari segala bentuk

perintah Allah.

Sebagai kitab suci agama Islam yang mengandung perintah dan aturan dari

Allah, al-Qur’an juga menyinggung masalah kepemimpinan. Dalam kisah

pengangkatan thalut sebagai sultan untuk berperang melawan Jalut yang direkam

oleh al-Qur’an,134 segelintir masyarakat menolak Thalut untuk menjadi sultan

mereka karena dianggap bukanlah dari kalangan orang kaya. Namun Thalut

memang layak menjadi pemimpin karena ia dianugerahi Tuhan kelebihan ilmu

pengetahuan dan jasmani. Pada akhirnya, memang Thalut pantas menjadi

pemimpin karena ia berhasil mengalahkan pihak agresor yang dipimpin oleh Jalut.

Dari sinyalemen al-Qur’an tersebut, diketahui bahwa faktor ilmu pengetahuan dan

jasmani merupakan dua hal yang penting dalam memilih seorang pemimpin yang

baik. Sedangkan dalam Khazanah yurisprudensi Islam klasik, al-Mawardi

merupakan salah satu tokoh penting dalam merumuskan teori dan konsep yang

berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan menurut Islam. Pada masterpiece-nya

yang bertitel al-Ahkam al-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan bahwa

kepemimpinan (imamah) dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur

persoalan dunia. Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan

134
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 3
92

merupakan sesuatu yang wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara

rasional.135

Pada proses pemilihan seorang imam, jika belum ada seorang pemimpin,

maka dibentuk terlebih dahulu dewan pemilihan (ahl al-Ikhtiyar/ ahlul aqdi wal

Halli) dan ditentukan para kandidat pemimpin. Orang-orang yang menjabat dalam

dewan pemilihan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : (1) Adil yang

mencakup segala aspeknya, (2) Memiliki ilmu pengetahuan yang bisa

dipergunakan untuk mengetahui siapa yang betul-betul berhak untuk menjabat

sebagai pemimpin sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, (3) Memiliki

pandangan yang luas dan kebijaksanaan agar betul-betul bisamemiliki siapa yang

paling layak untuk menjabat sebagai pemimpin, yang paling memiliki

kemampuan dan pengetahuan untuk mengatur kemaslahatan umat. Karena itulah,

pemimpin yang baik adalah seorang warga negara setempat yang betul-betul

mengenal karakter dan kondisi negaranya.136

Adapun kandidat pemimpin, menurut al-Mawardi, harus memenuhi tujuh

persyaratan, yaitu : (1) Adil yang meliputi segala aspeknya, (2) Berilmu

pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap

berbagai peristiwa dan hukum yang timbul, (3) Sehat indranya, seperti penglihatan,

pendengaran dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang

dihadapi, (4) Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu

akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat, (5) Memiliki

kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan

135
Ibid., hlm. 4
136
Ibid., hlm. 5
93

publik (al-mashlahah), (6) Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi

pihak yang lemah dan menghadapi musuh, (7) Keturunan dari suku Quraisy,

berdasarkan hadits Para pemimpin berasal dari Quraisy.137 Selain al-Mawardi,

Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab

Muqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah: (1) Berpengetahuan; (2) Keadilan, (3)

Kesanggupan (capability); (4) Sehat jasmani dan rohani; (5) Keturunan Quraisy.138

Terkait dengan kriteria atau syarat pemimpin, Khalifah Abu Bakar al-

Shiddiq ra pernah berpidato saat dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggal

Rasulullah SAW. Inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pandangan dalam

memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan

sebagai berikut :

“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena


aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik
bantulah aku dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu
adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang
lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya disisiku dan aku akan
melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah
posisinya disisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka
peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak
menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum
yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah SWT.
Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika
aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi
kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan salat. Semoga
Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.139

Yang dapat diambil dari inti pidato Khalifah Abu Bakar ra ini, di antaranya :

(1) Sifat rendah hati, (2) Sifat terbuka untuk dikritik, (3) Sifat jujur dan memegang

137
Ibid., hlm. 5-6
138
Ibid.
139
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Terj. Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 59
94

amanah, (4) Komitmen dalam perjuangan. (5) Bersikap demokratis, (6) Berbakti

dan mengabdi kepada Allah.140

9. Pelaksanaan Kekuasaan Dalam Islam

Dalam perspektif kontemporer, lembaga imamah tersebut dapat diidentikkan

dengan lembaga kepresidenan, sedangkan imam dapat disejajarkan dengan presiden

atau kepala negara. Imam al-Mawardi memandang imamah sebagai sebuah

lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara. Ia juga menyatakan

bahwa tugas utama imamah ialah menjalankan fungsi keNabian dalam melindungi

agama dan mengatur dunia. Imam al-Mawardi menulis :

“Imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama


dan mengatur dunia.”141

Dalam teori al-Mawardi pelembagaan imamah dilakukan karena adanya

perintah agama, dan bukan karena pertimbangan akal. Pemilihan imam dilakukan

melalui ijma’ (konsensus) umat Islam dan hukumnya adalah wajib. Dengan kata

lain, imam dipilih melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh pemilih yang

memenuhi syarat-syarat tertentu. Teori al-Mawardi ini jelas bertentangan dengan

pendapat Syi’ah yang menyatakan bahwa jabatan imam ditetapkan atas dasar nash

(penetapan oleh Tuhan atau Nabi) atau penunjukan langsung oleh imam

sebelumnya dari kalangan keluarga ahlul bayt.

140
Ibid., hlm. 60
141
Ali ibn Muhammad Habib Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Shulthaniyah al-
Wilayah al-Diniyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, 1989), hlm. 2.
95

Pengangkatan atau pemilihan imam dipandang oleh al-Mawardi sebagai

kewajiban sosial atau bersama (fardhu kifayah), seperti kewajiban mencari ilmu

pengetahuan, mengajar atau duduk sebagai hakim. Pemilihan Imam dilakukan

dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib.142 Dengan kata lain,

imam dipilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu. Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah

seorang sultan, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya,

keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu,

jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak

bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.

Bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini,

al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah dinilai sah apabila memenuhi dua

metodologi, sebagaimana ia menulis sebagai berikut :

“Jabatan imamah dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi, yaitu : (1) dia
dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki
wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model ‘al-Ikhtiar, dan
(2) ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi
dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada
eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah
sebelumnya, Abu Bakar al-Shiddiq.143

142
Ibid., hlm. 3
143
Ibid., hlm. 4-5.
96

Menurut al-Mawardi, mekanisme pemilihan seorang imam yang dipandang


sah, apabila memenuhi dua syarat, yaitu: pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul
halli wal aqd). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan
mengurai, atau juga disebut model ‘al-Ikhtiar.’Kedua, ditunjuk oleh imam
sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern.
Sementara tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni
pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar al-
Shiddiq.144
1. Yang Berhak Dipilih
Menurut al-Mawardi, seseorang berhak menempati jabatan imam atau
kedudukan sebagai khalifah apabila memenuhi tujuh kriteria, sebagaimana ia
menulis sebagai berikut :

“Dan adapun mereka yang berhak menempati jabatan imam atau kedudukan

sebagai khalifah harus memenuhi tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu adalah:

(1) sikap adil dengan semua persyaratannya, (2) ilmu pengetahuan yang

memadai untuk ijtihad, (3) sehat pendengaran, penglihatan, dan lisannya, (4)

utuh anggota tubuhnya, (5) wawasasn yang memadai untuk mengatur

kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum, (6) keberanian yang

144
Lihat Qamaruddin Khan, Negara al-Mawardi, Ali Bahasa Karsidi Diningrat (Bandung:
Pustaka, 2002), hlm. 5.
97
98
99

1) Menjaga agama sesuai dengan ajaran dasar yang pasti dan ajaran-ajaran

yang telah ijma’ salaf ummat.

2) Menjalankan hukum antara mereka yang berselisih dan menghentikan

permusuhan antara mereka yang bertengkar sehingga keadilan merata.

3) Menjaga keamanan umum agar manusia bebas berusaha bebas mencari

penghidupan dan dapat melakukan perjalanan dengan aman, tidak

terancam jiwa dan hartanya.

4) Menegakkan hukum pidana hudud.

5) Memperkuat ketahanan negara dengan kelengkapan dan kekuatan.

6) Berjihad melawan musuh-musuh Islam setelah dilakukan dakwah.

7) Mengumpulkan harta fai’, pajak dan sedekah yang telah ditetapkan oleh

syara’.

8) Menetapkan uang keluar dari kas negara (menetapkan APBN).

9) Mengangkat orang-orang yang dipercaya dan jujur untuk memangku

jabatan yang ada hubungannya dengan keuangan negara.

10) Mengendalikan langsung dan memeriksa urusan-urusan pemerintahan

dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan negara.150

Kewajiban-kewajiban kepala negara tersebut sebenarnya dapat

diringkaskan menjadi dua, yakni : (1) Menegakkan agama, menjelaskan

hukum dan pengajarannya kepada seluruh umat, (2) Mengatur kepentingan

negara sesuai dengan tuntutannya, sehingga membawa kebaikan bagi

individu maupun jamaah ke dalam maupun ke luar. Sedangkan hak-hak

150
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 7-8. A. Hasjmi, op. cit., hlm. 205.
100

kepala negara meliputi; ditaati dalam hal-hal yang baik, mendapatkan

bantuan dalam hal-hal yang diperintahkan dan mendapatkan hak finansial

yang mencukupi bagi diri dan keluarganya dengan tidak berlebihan.

b. Badan Legislatif (Ahl al-Ikhtiar)

Lembaga legislatif secara etimologi adalah lembaga yang memiliki

kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan Undang-undang. Sedangkan

Legislatif dalam terminology fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan

pemberi fatwa. Istilah lembaga legislatif dalam Islam lebih popular dengan

sebutan ahl al-halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-halli wa al-‘aqd

berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat. Adapun para ahli fiqh

siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan

untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kata

lain ahl-halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan

menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Di era modern sekarang, lembaga

ini dikenal dengan parlemen/DPR khususnya di Indonesia.

Para ahli fiqh Siyasah dalam menamai istilah Ahl al-halli wa al-‘aqd

berbeda-beda. Imam al-Mawardi menyebutkan lembaga ini dengan ahl al-

Ikhtiyar karena mereka dianggap kualifikasi tertentu dan mewakili aspirasi

umat untukmemiliki khalifah yang hanya sampai pada garis terpilihnya

calon imam.Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl

al-halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan

yang harusdiputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga


101

mampu menjagakemaslahatan umat. Para ahli fiqh Siyasah memberikan

beberapa alasan dalampelembagaan ini, adalah :

a. Musyawarah hanya bisa dilakukan dengan jumlah peserta terbatas.

b. Kewajiban taat kepada Ulil Amri baru mengikat apabila pemimpin itu

dipilih.

c. Ajaran Islam sendiri menerangkan seperlunya pembentukan masyarakat

d. Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hanya bisa dilakukan

apabilalembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara

pemerintah danrakyat.

e. Rakyat secara individu tidaklah bisa dikumpulkan dalam satu tempat,

mereka tentu tidak mampu mengemukakanpendapat dalam masyarakat

akibatnya akan mengganggu aktivitas kehidupanbermasyarkat.151

Lembaga legislatif telah ada jauh sebelum Imam al-Mawardi. Dalam

ketatanegaraan Islam, badan legislatif ini mulai dikenal pada masa Daulah

Bani Umayyah dengan sebutan ahl al-Halli wa al-Aqd.152 Badan ini

bertugas menyampaikan aspirasi rakyat kepada kepala negara dan juga ia

berfungsi memilih seorang khalifah, yang paling penting peraturan

perundang-undangan lahir atas kerja sama seorang khalifah dengan lembaga

ini. Imam al-Mawardi menyebut lembaga ini dengan sebutan ahl ikhtiyar,

karena lembaga ini bertugas memilih seorang khalifah.153 Pada hakikatnya

banyak terjadi perbedaan pendapat mengenai penyebutan lain dari lembaga

151
Suyuthi, Pulungan, op. cit., hlm. 67.
152
Ibid., hlm. 68.
153
Ibid.
102

ini, seperti halnya al-Baghdadi menyebut lembaga ini dengan sebutan ahl

ijtihad karena tugasnya menetapkan hukum, Ibnu Taimiyah menyebutnya

dengan sebutan ahl al-syaukah, sedangkan ulama lain menyebutnya dengan

ahl al-syura.

Ahl halli wa al-aqdi ini lebih popular dengan sebutan ahl syura

karena lembaga ini sebagai lembaga yang mencerminkan prinsip

musyawarah dalamketatanegaraan Islam. Keberadaan ahl halli wa al-aqdi

ini secara yuridis tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Secara

historis lembaga ini mengacu pada peristiwa pengangkatan Usman bin

Affan melalui mekanismemusyawarah yang dilakukan oleh enam sahabat

senior atas intruksi khalifah Umaribn Khattab. Berangkat dari praktek

yang dilakukan oleh khulafa’ al-Rasyidun ini,para ulama siyasah

menyebut dan merumuskan pandangannya perihal Ahl haliiwa al-aqdi.154

Imam al-Mawardi berpendapat Ahl halli wa al-aqdi ini sebagai

representatif perwakilan umat. Oleh karena itu ia memberikan syarat

yangmutlak terhadap mereka yang menjadi anggota Ahl halli wa al-Aqdi,

yaitu adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan

dipilih, danmempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga ia

tidak salah dalam memilih seorang kepala negara.155

Sayangnya Imam al-Mawardi tidak menjelaskan secara

memadaimengenai prosedur pemilihan anggota ahl ikhtiar, dan tidak pula

154
Ibid., hlm. 138.
155
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 9.
103

menjelaskanhubungan lebih jauh antara lembaga ini dengan khalifah.156

Imam al-Mawardi juga berpendapat, selain lembaga ini berhak memilih

khalifah, lembaga ini juga mempunyai wewenang dapat menjatuhkan kepala

Negara bila terbukti menjalankan tugasnya sesuai dengan tuntutan agama.157

Kepala negara adalah pemegang kekuasaan dalam negara. Jabatan ini

dimaksudkan agar ia dapat mengatur umat dengan hukum Allah SWT dan

syari’at-Nya serta membimbing kepada kemaslahatan dan kebaikan,

mengurus kepentingan umat dengan jujur dan adil serta memimpinnya ke

arah kehidupan mulia dan terhormat. Menurut Islam, kepala negara bukanlah

makhluk yang suci dan kebal hukum, sebab kepala negara juga termasuk

warga negara yang terkena aturan dan perundangan yang berlaku, karenanya

ia tidak bisa berbuat sewenang-wenang. Bahkan kepala negara mempunyai

tanggung jawab dan beban yang lebih berat, karena iadipercaya untuk

mengurus agama dan dunia sekaligus. Karena itu dalam prinsipini, sumber

kekuasaan berada di tangan umat/rakyat dan bukan di tangan kepala negara.

Jika kepala negara berbuat salah, umat mempunyai hak untuk menasehati,

mengoreksi dan meluruskan, bahkan jika dipandang perlu dapat memecatnya.

Dalam kaitan ini Imam al-Mawardi mengatakan bahwa status

kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan Islam adalah sama dengan

kepala pemerintahan suatu negara yang berundang-undang. Karena kepala

negara dalamIslam kekuasaannya bersumber pada umat yang diwakili oleh

lembaga ahl al-halli wa al-Aqd. Kekuasaan ini terus berlanjut selama masih

156
Sayuti Pulungan, op. cit., hlm. 139.
157
Ibid., hlm. 10.
104

mendapatkan kepercayaan dari mereka dan masih mampu untuk

melaksanakan kepentingan umat. Karena itulah para ulama menetapkan

bahwa umat mempunyai hak untuk memecat kepala negara apabila ada

alasan-alasan yang sah. Apabila pemecatan tersebut akan menimbulkan

bencana, maka boleh mengambil langkah untuk mempertimbangkan antara

dua kerugian.158 Muhammad Abduh juga menyatakan bahwa seorang

khalifah itu ditaati selama berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul,

sedangkan kaum muslimin mengadakan kontrol terhadapnya dan apabila

perlu demi kemaslahatan umat dapat memecatnya.159 Secara keseluruhan

bahwa umat adalah sebagai sumber kekuasaan dan hubunganantara umat dan

khalifah adalah berupa hubungan kontrak sosial atau mubaya’ahyang bersifat

hakiki dan bukan semu dan simbolik saja.

Lembaga legislatif merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan untuk

membuat undang-undang yang bersifat sementara atau tetap, dan mengubah

ataumenghapus undang-undang yang telah diberlakukan. Dalam suatu negara

yang bebas, setiap warga diberi kebebasan untuk mengaturdirinya sendiri,

maka seharusnyalah kekuasaan legislatif berada dalam seluruhtubuh rakyat.

Tetapi karena ini tidak mungkin diterapkan dalam negara yang luas dan di

negara yang kecil pun mengalami banyak kesulitan, maka tepatlah bahwa

rakyat seharusnya bertindak melalui wakil-wakil mereka dalam hal yang

merekatidak dapat bertindak sendiri.

158
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 7
159
Syaikh Muhammad Abduh, al-Islam wa al-Nashraniyyah, (Kairo: Dar al-Manar, tt),
hlm.63-65.
105

Penduduk yang berada dalam kota tertentu dapat mengenal dengan

lebih baik kepentingan dan keinginan mereka sendiri daripada penduduk kota

lain.Begitu juga mereka dapat menilai dengan lebih baik kemampuan dan

kecakapanteman-teman satu kota mereka daripada penduduk kota lain di

negara yang sama. Oleh karena itu, para anggota legislatif haruslah tidak

dipilih dari badan umum suatu negara, tetapi pada tempatnyalah bahwa dalam

setiap kota sedapat mungkinseorang wakil harus terpilih oleh penduduk kota

tersebut. Keuntungan besar yangdapat diperoleh dari sistem perwakilan ini

adalah kemampuan mereka dalam mendiskusikan persoalan-persoalan umum.

Ini karena rakyat yang berkumpulsecara keseluruhan sangat tidak patut

melakukannya, hal ini adalah salah satu kesulitan utama untuk menegakkan

sistem demokrasi langsung. Semua penduduk yang berada dalam beberapa

wilayah pemerintahan harus memiliki hak untuk memberikan suaranya dalam

pemilihan wakil rakyat, kecuali para penduduk yang berada dalam situasi

sedemikian rupa sehingga dianggap tidak memiliki kehendak sendiri.

Badan Perwakilan tidak boleh dipilih untuk bagian pemerintahan

eksekutif, karena tidak begitu cocok. Tetapi lembaga perwakilan ini boleh

dipilih untuk membuat undang-undang atau untuk mengawasi apakah

hukum telah dijalankan sebagaimana mestinya, suatu hal yang cocok dengan

kemampuan mereka yang tidak seorang pun kecuali mereka yang dapat

melakukannya dengan tepat. Dalam suatu negara semacam ini, selalu ada

sekelompok orang yang terkenal karena kelahiran, kekayaan dan

kehormatan mereka yang tergolong sebagai kaum bangsawan. Ketika


106

mereka berbaur dengan rakyat kebanyakan dan hanya memiliki bobot satu

suara seperti orang lain, maka kebebasan umum di mata rakyat akan

menjadi perbudakan di mata mereka dan mereka tidak berminat untuk

mendukungnya karena sebagian besar keputusan rakyat akan menentang

mereka. Oleh karena itu, keikutsertaan mereka dalam legislatif haruslah

seimbang dengan keuntungan-keuntungan mereka lainnya dalam negara

yang dapat terjadi hanya apabila mereka membentuk suatu badan yang

memiliki hak untuk memeriksa kebejatan rakyat sama seperti rakyat

memiliki hak untuk melawan mereka apabila mereka berbuat melampaui

batas. Oleh karena itulah, kekuasan legislatif harus dipercayakan pada badan

yang terdiri dari para bangsawan dan badan lain yang mewakili rakyat, yang

masing-masing mengadakan pertemuan dan pertimbangan sendiri dan

memiliki pandangan serta kepentingan sendiri pula.

Badan legislatif hanya terdiri dari wakil rakyat, kepentingankaum

bangsawan akan tersingkirkan oleh sebagian besar keputusan rakyat yang

menentang mereka. Bagian badan legislatif yang terdiri dari kaum bangsawan

sangatlah tepat untuk mengatur dan melunakkan kekuasaan eksekutif

dankekuasaan legislatif yang mewakili rakyat. Lembaga yang terdiri dari

kaumbangsawan ini haruslah turun temurun, karena memang begitulah pada

hakikatnyadan selanjutnya lembaga ini pasti memiliki kepentingan yang

sangat besar untukmempertahankan hak-hak istimewa mereka yang

membangkitkan kecemburuandan tidak disenangi oleh rakyat, serta selalu

terancam dalam negara yang bebas.


107

Sebagaimana kekuasaan turun temurun dapat tergoda untuk mengejar

kepentingan-kepentingan mereka sendiri dan melupakan kepentingan-

kepentinganrakyat, maka pada tempatnyalah bila suatu keuntungan dapat

diperoleh dengan kemungkinan kerugian di pihak bangsawan. Keuntungan

itu adalah dengan tidakmemberikan peranan kepada bangsawan dalam

legislation (perundang-undangan) kecuali kekuasaan untuk menolak dan

bukan untuk memutuskan. Yang dimaksud dengan kekuasaan untuk

memutuskan adalah hak untuk menetapkan atau mengubah undang-undang

yang telah ditetapkan pihak lain dengan kewenangan mereka sendiri. Yang

dimaksud dengan kekuasaan untuk menolak adalah hak untuk menghapus

atau membatalkan keputusan yang telah ditetapkan pihak lain.Meskipun

orang yang memiliki kekuasaan untuk menolak juga dapat mempunyai hak

untuk menyetujui, namun persetujuan ini diterima tidak lebih

sebagaipernyataan bahwa ia bermaksud untuk tidak menggunakan hak

istimewanya untuk menolak. Jadi hak menyetujui itu secara otomatis adalah

konsekuensi dari adanya hak untuk menolak tersebut.

c. Yudikatif (Badan Peradilan)

Dalam kamus umum ilmu politik, Yudikatif adalah kekuasaan yang

mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan.160 Kekuasaan

yudikatif atau biasa dikenal sebagai pemegang kekuasaan kehakiman telah

ada sejak masa Rasulullah SAW, para sahabat dan pemikir politik Islam

abad klasik, pertengahan hingga kontemporer. Sebut saja pada zaman klasik,

160
Munawwir Sadzali, op. cit., hlm. 21
108

pertengahan dan kontemporer, kekuasaan yudikatif bukan hanya sebatas

wacana ketatanegaraan Islam semata, melainkan masuk dalam ranah politik

praktis. Dalam praktek peradilan al-Mawardi menyebut tiga unsur penopang

tegaknya hukum pada masaitu,161 yaitu :

1) Hakim; Hakim adalah orang yang berhak memeriksa mengadili, serta

memutus suatu perkara hukum. Sehingga orang yang berhak menjabat

hakim haruslah memiliki ketentuan-ketentuan tertentu. Imam al-

Mawardi memberikan tujuh syarat bagi seorang hakim, yaitu: (1) Laki-

laki, syarat ini mengandung dua unsur sekaligus, yaitu baligh dan tidak

wanita, (2) Kemampuan akal pikiran untuk mengetahui taklif

(perintah), ia harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang

penting dan mampu membedakan sesuatu dengan benar cerdas, dan

jauh dari sifat lupa,(3) Merdeka, (4) Islam, lebih jauh al-Mawardi

berpendapat orang non Islam tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk

kaum muslimin, bahkan untuk orang kafir sekalipun, (5) Adil, yang

dimaksud dengan adil adalah, berkatadengan benar, jujur, bersih dari

hal-hal yang diharamkan, menjauhi dosa-dosa,jauh dari sifat ragu-ragu,

terkontrol ketika senang dan marah, serta menggunakan sifat kesatria

dalam agama dan dunianya, (6) Sehat pendengaran dan penglihatan,

dan (7) Mengetahui hukum-hukum syariat, ilmu-ilmu dasar beserta

cabang-cabangnya.

161
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 122, 143, 398.
109

2) Wali pidana; Wali pidana ialah pejabat Negara yang diberikan

wewenang untuk mengajak pelaku pidana kepada keadilan dan

melarang pihak-pihak yang berperkara dari saling memusuhi. Seorang

wali pidana harus memiliki kriteria antara lain: (1) Memiliki

kedudukan tinggi dimata masyarakat, (2) Perintahnya dipatuhi, (3)

Berwibawa, (4) Bersih, (5) Tidak ambisius, dan (6) Menjauhi hal-hal

yang sifatnya maksiat.162

3) Lembaga al-Hisbah; yang dimaksud dengan lembaga hisbah adalah

muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat baik dan

melarang berbuat mungkar, yang tidak termasuk wilayah qadha dan

wilayah lainnya. Yang dimaksud dengan muhtasib adalah petugas

yang diangkat oleh pemerintah oleh sulthan (pemerintah), dan wilayah

ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan. Dalam

mengemban amanatnya sebagai penegak hukum, maka lembaga al-

hisbah memiliki tugas dan kewenangan pokok, yaitu : (1)

Memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat

mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas hizbah, (2)

Mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab

kesosialaan yang tidak boleh dilanggar oleh umum, (3) Memberikan

putusan terhadap hal-hal yang bersifat mendesak dan segera, (4)

162
Ibid., hlm. 82.
110

Meneliti segala bentuk kemungkaran yang menjadi tuntutan, dan (5)

Mengangkat pegawai-pegawai daerah atau untuk urusan tertentu.163

Atas dasar kewenangan yang dimiliki lembaga al-hisbah ini, maka

petugas-petugas al-hisbah (muhtasib) memiliki tugas dan kewenangan

untuk : (1) Amar ma’ruf nahi mungkar, (2) Membimbing masyarakat

memelihara kemaslahatan umum, (3) Mencegah masyarakat utuk

membangun rumah yang menyebabkan sempitnya jalan umum, (4)

Mencegah penempatan barang dagangan yang mengganggu lalu lintas, (5)

Mencegah buruh yang membawa beban yang di luar batas kemampuan

kendaraan, (6) Memerintahkan kepada pemilik rumah yang hampir roboh

untuk merobohkan, (7) Memberikan pelajaran kepada guru-guru yang

memukul muridnya lebih dari kepatutan, (8) Menindak tetangga yang

mengganggu hak sesama tetangganya, (9) Menerima pengaduan, seperti

penipuan timbangan atau jual beli, (10) Mendesak orang yang menangguhkan

pembayaran hutang untuk segera melunasinya, (11) Meneliti dan

memperhatikan keadaan pejabat tinggi dalam memenuhi tugas

kewajibannya.164

Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara

perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak

dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi

harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan.

Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan


163
Ibid., hlm. 82.
164
Ibid., hlm. 82.
111

kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan

negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara, ruang lingkup

lembaga yudikatif (dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan Qhadhi,

juga diisyaratkan maknanya oleh pengakuan asas kedaulatan de jure oleh

Allah SWT. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-

prinsip abdinya Rasulullah SAW berdiri yang menjadi hakim pertama

negara tersebut dan beliau melaksanakan fungsi ini selaras dengan hukum

Allah dan orang-orang yang melanjutkan tidak memiliki aternatif lain

kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Allah sebagaimana

yang telah disampaikan kepada mereka oleh Rasulullah SAW.

Dalam al-Qur’an membahas masalah ini yang mana uraian ini

dimulai dengan sejarah Israil, beranjak kesejarah orang-orang Kristen dan

akhirnya kepada orang-orang Islam dinyatakan bahwa Tuhan telah

menurunkan kepada Musa As dan sesudah itu kepada Rasul orang Israil

dan Rabi Yahudi menurutnya sebagai hukum dalam semua sektor

kehidupan untuk memutuskan perselisihan yang terjadi di kalangan rakyat

sejalan dengannya. Sesudah itu turunlah Isa As dengan wahyu baru dan al-

Qur’an memberitahu kita bahwa para penganutnya tidak juga diwajibkan

untuk memutuskan urusan-urusan mereka sejalan dengan wahyu tersebut.

Allah berfirman dalam QS. al-Hadid ayat 25 :


112

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa


bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu)
dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-
rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat
lagi Maha Perkasa. (QS. al-Hadid ayat 25).165

Sepanjang penjelasan ini, dinyatakan dengan penuh tekanan bahwa

orang-orang yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum Allah

adalah orang-orang kafir, zhalim dan fasik. Setelah ini, harus ditekankan

bahwa peradilan-peradilan hukum dalam suatu negara Islam ditegakkan

untuk menegakkan hukum Allah SWT dan bukan untuk melanggarnya

sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara muslim.

11. Pertanggung Jawaban Kekuasaan

Bila dalam Islam pengangkatan pemimpin tidak dilakukan melalui cara

pemilihan langsung dari rakyat, karena khalifah atau pemimpin sifatnya sebagai

pengganti Nabi SAW dalam memimpin umat, dan mekanismenya dilakukan

melalui lembaga syura atau ahl al-hall wal al-‘Aqd,166 karenanya tidak layak

diserahkan bulat-bulat kepada rakyat yang kurang memiliki pengetahuan akan

hukum-hukum syari’at. Sedangkan kepemimpinan sekuler dilakukan melalui

165
Tim Penterjemah Depag RI, op. cit., hlm. 725.
166
Imam al-Mawardi, op. cit., hlm. 12.
113

pemilihan langsung rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Sistem ini

membutuhkan biaya besar untuk tampil sebagai pucuk pimpinan bahkan harus

suara rakyat melalui segala cara agar rakyat mendukungnya. Ada yang

mengatakan cara yang ditempuh pemimpin dalam sistem demokrasi sama dengan

berjudi. Setiap calon berkompetisi memasang taruhan guna menarik simpati

rakyat. Bila nasib mujur dengan didukung oleh tim sukses maka ia akan

memperoleh jabatan untuk memimpin rakyatnya bila tidak menang/sial maka

kerugian akan ditanggungnya begitu juga para pendukungnya. Inilah gambaran

bahwa Islam memiliki konsep kepemimpinan yang jelas, terang dan dapat

dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada rakyat, tapi lebih lagi kepada Allah

SWT.

Islam telah membimbing umatnya bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah

bagian dari kekuasaanNya. Rusaknya tatanan masyarakat, pokoknya, bukan

disebabkan oleh masyarakat itu sendiri, tapi ditentukan oleh pemimpinnya.

Jadi berdasarkan uraian di atas bahwa pertanggung jawaban kekuasaan

adalah kepada rakyat dan juga kepada Allah SWT.

Dibawah ini penulis paparkan salah satu contoh Praktek Pemerintahan Islam

Pada Masa Nabi Muhammad SAW.

Sosok kepemimpinan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai

pemimpin masyarakat, pemimpin politik pemimpin militer dan sebagai perunding

tampak dalam praktek musyawarah yang dilakukannya dalam beberapa contoh

berikut. Dalam Al-Quran ada dua ayat yang menyatakan pujian terhadap orang-
114

orang yang melaksanakan musyawarah sebelum mengambil keputusan, dan

perintah melaksanakan musyawarah.

Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mendirikan sholat,
sedangkan urusan mereka (diselesaikan) dengan musyawarah diantara mereka
(Q.S al-Syura/42:38)

dan musyawarah di antara mereka dalam semua urusan, dan apabila sudah
mengambil keputusan mengenai suatu perkara mereka bertawakAllah kepada
Allah. (Q.S Ali Imran/3:159)

perintah musyawarah dalam ayat terakhir ini biasa bermakna khusus: Hai

Muhammad bermusyawarah dengan para sahabat sebelum memutuskann setiap

masalah kemasyarakatan, dan bermakna umum: “Wahai umat Islam

bermusyawarahlah kamu dalam memecahkan setiap masalah kemasyarakatan”.

Kewajiban ini diamanahkan kepada penyelenggara urusan negara dan yang

berwenang menangani urusan masyarakat. Dengan petunjuk dua ayat tersebut

Nabi membudayakan musyawarah dikalangan sahabatnya. Dalam bermusyawarah

terkadang beliau hanya bermusyawarah dengan sebagian sahabat yang ahli dan

cendikia, dan terkadang pula hanya meminta pendapat dari salah seorang mereka.

Tapi bila masalah penting dan berdampak luas bagi kehidupan social masyarakat,
115

beliau menyampaikannya dalam pertemuan yang lebih besar yang mewakili

semua golongan. 167

Perang Badar tahun ke-2 H. 624 M. perang ini merupakan kontak senjata

pertama antara kaum muslimin dan kaum musyrik. Nabi dalam menghadapi

perang ini belum menentukan sikap kecuali setelah mengadakan musyawarah

lebih dahulu untuk mendapat persetujuan kaum Muhajirin dan Anshar. Untuk itu

beliau membicarakan kondisi mereka, seperti belanja perang yang mereka punyai,

dan jumlah mereka sedikit. Beliau juga minta kaum Anshar sebagai golongan

terbesar kaum muslimin dalam menghadapi perang tersebut. Mereka menyatakan


168
siap mengorbankan segala-gala demi perjuangan Rasul. Setelah mereka

sepakat menghadapi kaum Quraisy, Nabi dan pengikutnya berangkat menuju

suatu tempat, Badar, terletak antara Mekah dan Madinah. Ketika menjelang

pertempuran, Nabi memutuskan untuk menempatkan posisi pasukannya du suatu

tempat dekat satu mata air di Badar. Mengetahui hal ini Hubab al Mundzir,

seorang Ansar datang mendekati Nabi dan berkata: “ Ya Rasulullah, apakah

penentuan posisi ini atas petunjuk Allah yang karenanya kita tidak boleh maju

atau mundur dari tempat itu, ataukah keputusan itu semata-mata pendapat Rasul?

Rasul menjawab bahwa keputusan itu bukan atas petunjuk Allah melainkan

pendapatnya sendiri. Hubab berkata: “ Kalau begitu, tempat ini sungguh tidak

tepat ya Rasulullah. Sebaiknya kita maju lebih ke mata air dari pada musuh, lalu

kita bawa banyak tempat air untuk kita isi dari mata air itu kemudian kita

167
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Muhamad Al Fikr al Syiasi fi al Islam, Dar al
Jami’at al Mishriyat, iskandaraiyat 1978 hlm 72-73.
168
Ibn Ishaq, Sirat Rasulalalh op.cit hlm 293294. Muhammad rasyid Ridha, tafsir al-Manar
Jilid IV hlm 200, dan al Tahabari, Tarikh al Umam wa al Muluk jilid III, Dar al –Fikr,
Bairut,1987, hlm 31 dan 43
116

menimbunnya dengan pasir sehingga kita dapat minum, sedangkan musuh tidak”

Rasul menjawab: “saya setuju dengan pendapat ini”. Kemudian beliau bersama

pasukannya bergerak menuju lokasi yang dimaksudkan oleh Hubab.169

Masalah tawanan perang Badar. Pasukan Islam di bawah pimpinan Nabi

memenangkan peperangan tersebut, dan berhasil membawa pulang sejumlah

tawanan. Nabi sebelum menentukan perlakuan terhadap mereka, lebih dahulu

bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah itu muncul dua

pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat: “ya Nabi Allah,

mereka itu adalah keluarga dan saudara-saudara Nabi, maka saya berpendapat

agar engkau mengambil imbalan tebusan tunai dari mereka yang demikian kita

dapat mengambil kekuatan dari mereka dan menjadi penolong bagi kita dan

mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada mereka. “Kemudian Rasul

bertanya kepada Umar. “bagaimana pendapatmu wahai Ibn Al Khatthab” Umar

menjawab. “Demi Allah saya tidak sependapat dengan Abu Bakar, akan tetapi

saya berpendapat bahwa kalau engkau membari kuasa kepadaku seseorang, maka

saya akan memotong lehernya, dan engkau beri kuasa kepada Hamzah agar ia

memotong leher saudaranya, juga engkau beri kuasa kepada Ali untuk membunuh

saudaranya Aqil. Dengan demikian Allah mengetahui bahwa di dalam hati kita

tidak bersifat lemah lembut terhadap orang-orang kafir. Sebab mereka itu adalah

para pemuka dan pemimpin kaum Quraisy”. Nabi dalam mengambil keputusan,

kata Umar, tidak mengikuti pendapatnya melainkan mengikuti pendapat Abu

bakar. Namun beliau memberi kebebasan kepada para sahabat untuk memilih,

169
Al-Thabari, ibid, hlm 47, Muhamamd Rasyid Ridha, dan Muhammad Jalal Syaraf dan
Ali Abd al-Muthi Muhammad, op.cit hlm 71.
117

melepaskan para tawanan dengan tebusan tunai atau membunuhnya. Ternyata

masyarakat melepaskan para tawanan setelah mereka membayar tebusan tunai

yang julahnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan

mereka yang tidak mampu membayar tebusan tapi memiliki kemampuan

membaca dan menulis diwajibkan mengajar penduduk Madinah, seorang tawanan

untuk sepuluh orang. Besok harinya Umar menemukan Nabi duduk bersama Abu

Bakar dan keduanya sedang menangis. Umar menanyakan apa yang membaut

mereka menangis. Nabi menerangkan bahwa beliau menangisi keputusan yang

meminta tebusan dari para tawanan, dan seandainya turun azab pada waktu itu

maka hanya Umar yang lepas dari Azab itu.170

Karena memang tidak lama setelah pelaksanaan putusan itu kemudian turun

wahyu yang mencela tindakan Nabi mengambil tebusan dari para tawanan yaitu

surat al-Anfal ayat 67.

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat


melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Perang uhud tahun ke-3 H/625 M. Nabi juga mengadakan musyawarah

dengan para sahabatnya untuk menentukan strategi dalam menghadapi musuh,

yaitu apakah bertahan dalam kota Madinah atau keluar menyongsong musuh dari

170
Ibn Ishaq, op.cit. hlm 339, dan Al Thabari, op.cit,hlm 79
118

Mekkah itu. Nabi berpendapat lebih baik bertahan dalam kota. Pendapat ini

disongkong oleh Abdullah bin Ubay, pimpinan kaum munafik Madinah. Tapi

karena mayoritas sahabat berpendapat keluar dari kota, maka Nabi mengikuti

pendapat mayoritas. Keputusan tersebut ia pegang teguh dan setia sekalipun

ketika di tengah pejalanan mereka yang berpendapat mayoritas ingin menarik

kembali pendapat mereka. Mereka memberikan kebebasan kepada Nabi untuk

mengubah keputusan itu sesuai dengan pendapatnya sendiri. Sementara Abdullah

bin ubay bersama pengikutnya, sepertiga dari jumlah pasukan, menarik diri

kembali ke Madinah. Dan ketika seorang Anshar mengusulkan agar mereka

meminta bantuan kepada kaum Yahudi, yang ketika itu adalah sekutu orang-orang

Islam, sebagai tercantum dalam piagam perjanjian, Nabi menolaknya dan

mengatakan: “Kita tidak membutuhkan mereka.”171

Sedangkan dalam perang Khandaq Nabi tidak mengikuti pendapat

mayoritas. Beliau mengikuti pendapat Salman al-Farisi yang mengusulkan agar

kaum muslimin membuat parit di sekitar kota Madinah dan memperkuat

pertahanan dalam kota. Pendapat ini ditantang oleh kaum Ansar dan Muhajirin.

Tapi akhirnya mereka menerima pendapat tersebut setelah Nabi memberi

persetujuannya.172

Perjnjian damai Hudaibiyah tahun ke -7 H. perjanjian ini terjadi antara

Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Mekah, Nabi membuat naskah

171
Ibn Ishaq, op.cit. hlm 371-372
172
Ibn Atsir, Al Kamil fi al Tharikh Jilid II Dar Bairut, Bairut,1965 Hlm 178-179
119

perjanjian yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib tidak menggubris pendapat

sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar. Beliau selalu mevngikuti kehendak

Suhail bin ‘Amr wakil kaum Quraisy. Ketika Nabi memerintahkan Ali

menuliskan: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,”

Suhail protes dengan mengatakan ia tidak mengenal kalimat itu dan meminta di

ganti dengan kalimat “Dengan nama-Mu ya Tuhan. Nabi mengiyakan dan

meminta Ali menulisnya. Kemudian Nabi memerintahkan kepada Ali untuk

menulis: “Ini adalah naskah perjanjian Muhammad utusan Allah bersama Suhail

bin ‘Amr. Suhail lagi-lagi tidak setuju dengan alasan jika ia percaya bahwa

Muhammad adalah utusan Allah, maka ia tidak akan memusuhinya. Karenanya ia

minta “ Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu.” Nabi menyetujuinya dan

memerintahkan kepada Ali untuk menuliskan: “Ini adalah naskah perjanjian

Muhammad bin Abdullah bersama Suhail bin ‘Amr. Para sahabat sangat marah

melihat Nabi yang mengikuti saja kehendak Suhail.tapi beliau tidak

memperdulikannya.173 dengan demikian Rasul bersedia menghapus tujuh kata

karena Suhail yang mewakili mayoritas penduduk Mekah yang masih musyrik

tidak dapat menerimanya. Tujuh kata yang dihapus adalah: Bismi, Allah, Al-

Rahman Al-Rahim, Muhammad, Rasul dan Allah174. Demikian juga isi perjanjian

kurang dapat diterima para sahabat karena lebih menguntungkan pihak Quraisy.

Peristiwa bersejarah tersebut tampak sekali Nabi tidak ngotot

memperjuangkan kalimat yang diusulkannya. Beliau begitu spontan dan berjiwa

173
Ibn Ishaq, op.cit. hlm 339, dan Al Thabari, op.cit,hlm 226-227
174
Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa penghapusan kalimat’ dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya ‘yang berjumlah tijuh kata dari piagam jakarta.
120

besar mengikuti kehendak musuh. Yang penting baginya bukan apa yang

tercantum dalam pembukuan naskah perjanjian itu. Melainkan bagaimana agar

perjanjian damai berhasil diwujudkan dan dampak yang akan diperoleh dibalik

perjanjian itu kemudian. Ternyata dalam kenyataan sejarah, setelah perjanjian

Hudaibiyah itu, perkembangan Islam bertambah pesat. Karena dengan perjanjian

itu, eksistensi umat Islam telah diakui oleh kaum Quraisy Mekah.

Perlakuan Nabi terhadap jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika

tokoh munafik ini meninggal, putranya yang bernama Abdullah mendatangi

Rasulullah untuk minta kain kafannya dan beliau memberikannya. Kemudian ia

minta pula agar Rasul bersedia menyembahyangkannya dan beliau pun memenuhi

permintaan itu. Mengetahui hal ini, Umar mengingatkan Rasul supaya tidak

memenuhi permintaan tersebut, sebab Al Quran (surah al Taubah ayat 80) telah

menyatakan bahwa tidak berfaedah meminta ampun bagi orang-orang munafik

sekalipun diminta ampun sebanyak tujuh puluh kali. Allah tidak akan

mengampuninya. Tapi Rasul tetap menyembahyangkan jenazah tersebut. Tidak

lama kemudian turun wahyu seperti terdapat dal Al Quran surat Al Taubah ayat

84 sebagai penjelasan ayat diatas yang melarang Rasul menyembahyangkan

jenazah orang-orang munafik.175 Dari kasus-kasus tersebut tampak bahwa

pendapat Umar dua kali mendapat pembenaran dari Allah melalui wahyu-Nya.176

175
Al-Qurthubi, Tafsir al-jami’ li Ahkam al-Quran al-Karim Dar al Sya’ab hlm 3057-
3058.
176
Umar bin Khatab memang dikenal sebagai seorang sahabat yang sangat aktif memberi
pendapat kepada Rasul baik diminta maupun tidak dan pendapatnya sering menunjukan
kebenaran. Ia kemudian mencatat rekor kemasyhuran dan keagungan yang luar biasa dalam
sejarah Islam serta dikenal pula sebagai pembaru dalam Islam. Maka tidak lah mengherankan bila
121

Dari beberapa contoh musyawarah tersebut tampak bahwa Nabi selalu

mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah

politik yang dihadapi. Dan beliau mentolerir adanya perbedaan pendapat diantara

mereka. Namun demikian keputusan harus ada yang menjadi kesepakatan

bersama. Sedangkan mekanisme pengambil keputusan terkadang beliau mengikuti

pendapat mayoritas sekalipun tidak sejalan dengan pendapatnya. Terkadang beliau

mengikuti pendapat minoritas, terkadang beliau mengambil keputusan menurut

pendapat beliau sendiri, tanpa menggubris pendapat para sahabat, dan terkadang

pula mengambil keputusan sendiri tanpa lebih dahulu konsultasi dengan para

sahabat dan walaupun kemudian ada sahabat yang mengkeritiknya beliau tetap

pada keputusannya. Dengan demikian praktek musyawarah Nabi tidak

mempunyai bentuk dan sistem serta mekanisme pengambilan keputusan tertentu.

Demikian pula dalam ucapan beliau.

Kenyataan tersebut mengandung arti baik al-Quran maupun Sunnah Nabi

memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem

musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan

mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu pengambilan keputusan

tetap berpegang tuguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan,

persamaan, dan keadilan. Pendapat yang dijadikan keputusan bukan melihat

kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu, melainkan bagimana kualitas

RasulAllah pernah memujinya dengan mengatakan: sesungguhnya Allah telah menjadikan


kebenaran atas lisan dan dalam hati Umar” (H.R Bukhari) dan seandainya bukan saya yang diutus
maka Umarlah yang diutus kepada kamu, dan seandainya ada Nabi sesudahku tentulah Umar.
(H.R Turmudzi dan Ahamd) lihat ibn Taimiyah, Kitab al-Radd’ala al-Manthiqiyin, Idarat
Tarjuman al-Sunat, Lahore, 1976, hlm 541.
122

pendapat dan dampaknya bagi kemaslahatan umat, bukan untuk kemaslahatan

yang bermusyawarah.

Bila praktek musyawarah tersebut didalami lebih lanjut dengan melihat dari

surut kuantitas peserta yang Nabi minta pendapatnya dan kualitas masalah, maka

tidaklah berlebihan bila praktek musyawarah beliau tersebut diidentikkan dengan

praktek musyawarah yang dilakukan oleh kepala negara atau pemerintah di zaman

modern ini. Dalam kenyataannya, praktek musyawarah antara berbagai

pemerintahan dan negara sekalipun sama-sama menganut paham demokratis,

tidak menunjukan keseragaman. Meskipun pengidentikkan ini tidak pas dan

persis, tapi paling tidak ada kemiripannya yang biasa menjadi iktibar bagi umat

Islam. Bila Nabi mengadakan musyawarah dengan jumlah peserta yang besar dan

mewakili semua golongan, biasaa diidentikan dengan seorang presiden atau

pemerintah yang meminta pendapat atau saran dari wakil-wakil rakyat (DPR).

Tapi bila beliau minta pendapat dari beberapa orang sahabat terkemuka, biasa

diidentikan dengan seorang presiden yang minta pendapat dari pada menteri

sebagai pembantu presiden, sedangkan jika beliau minta pendapat dari seorang

sahabat saja, biasa diidentikan dengan seorang presiden yang berkonsultasi

dengan penasehat presiden. Adapun bila beliau mengambil suatu keputusan atau

kebijaksanaan tanpa melalui musyawarah atau konsultasi (bidang muamalah),

biasaa diidentikan dengan seorang presiden atau kepala Negara yang mempunyai

hak istimewa untuk memutuskan hal-hal penting dan strategis. Pengidentikkan ini

semata-mata penafsiran terhadap fakta-fakta historis yang ada. Atentu biasa benar

dan biasa pula salah. Tapi yang jelas dilihat dari ilmu kenegaraan, dengan praktek
123

tersebut beliau telah melaksanakan prinsip mekanisme pengambilan keputusan

dalam kehidupan bernegara dan merupakan prantara social di bidang politik.

Prantara sosial lain dari praktek pemerintahan Nabi adalah membangun

hubungan yang harmonis antara warga Negara muslim dan non muslim yang

disebut dzimmi. Walaupun mereka berbeda agama, sebagaimana diatur dan

disahkan dalam piagam Madinah, namun mereka memperoleh hak yang sama

dalam h al perlindungan dan keamanan jiwa, membela diri, kebebasan beragama,

kebebasan berpendapat, dan kedudukan di depan hukum. Mereka juga memiliki

hak dan kewajibanyang sama dalam mempertahankan keamanan kota Madinah

dan mereka juga harus menjalin kerjasama dalam mewujudkan kebaikan di

berbagai bidang kehidupan. Nabi juga mengadakan hubungan dengan penguasa-

penguasa yang ada di Jaazirah Arab dalam mengirimkan surat-surat melalui

utusan-utusan beliau, seperti kepada Kaisar Romawi, Kisra Persia (dua kerajaan

besar saat itu) penguasa Mesir, penguasa Bahrain, dan penguasa Basrah dan

sebagainya.177

Surat-surat Nabi kepada para pengausa atau kepala negara tersebut

diperkirakan berjumlah 30 buah pucuk surat. Memang inti surat-surat itu untuk

tujuan dakwah, mengajak mereka kepada Islam, sebagai bagian dari misi

keNabiannya, dan antara Negara Madinah dan Negara-negara tersebut belum

terjadi pada tingkat hubungan diplomatik seperti yang dikenal sekarang. Tetapi

pada sisi lain tersirat kehendak Nabi agar tercipta hubungan damai. Dengan

177
Al-Bukhari, Sahih al bukhari,jilid II Juz 4 hlm 54-57.
124

adanya hubungan damai dan saling penertian diharapkan para penguasa tersebut

dapat menerima kehadiran Islam di wilayah kekuasaan mereka. Ini dapat disebut

dengan politik dakwah Nabi dalam rangka syiar Islam.

Praktek pemerintahan yang dilakukan Muhammad Saw sebagai kepala

Negara lainnya tampak pula pada pelaksanaan tugas-tugas yang tidak terpusat

pada diri beliau. Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin

tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legeslatif, eksekutif dan yudikatif.

Tapi walaupun pada masa itu orang belum mengenal teori pemisahan atau

pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknya beliau mendelegasikan tugas-

tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan

mampu.

Timbulnya berbagai masalah yang dihadapi dan perkembangan wilayah

kekuasaan menurut adanya peta pembagian tugas. Untuk pemerintah Madinah

Nabi menunjuk beberapa sahabat sebagai pembantu beliau, sebagai katib

(sekretaris) sebagai ‘amil (pengelola zakat) dan sebagai qadhi (hakim). Untuk

pemerintahan di daerah Nabi mengangkat seorang wali, seorang qadhi dan

seorang amil untuk setiap daerah atau provinsi. Pada masa Rasulullah Negara

madinah terdiri dari sejumlah provinsi, yaitu Madinah, Tayma, al Janad daerah

Banu Kindah, Mekah, Najran, Yaman, Hadramaut, Oman, dan Bahrain. Masing-

masing pejabat memiliki kewenangan sendiri dalam melaksanakan tugasnya.

Seorang qadhi diberi beberapa kebebasan penuh dalam memutuskan setiap

perkara, karena secara struktural ia tidak berada di bawah wali. Ali bin Abi Thalib
125

dan Muaz bin Jabal adalah dua orang qadhi yang diangkat Nabi, yang bertugas di

dua provinsi berbeda.178

Nabi juga selalu menunjuk sahabat untuk bertugas di Madinah bila beliau

bertugas keluar, memimpin pasukan misalnya.179 Demikian pula kedudukan

beliau sebagai panglima perang, beliau sering wakilkan kepada para sahabat,

seperti pada perang Muktah (8H), beliau menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai

panglimanya. Beliau juga berpesan “kalau Zaid gugur, maka Ja’far bin Abi Thalib

memegang pimpinan, dan kalau Ja’afar gugur maka Abdullah bin Rawaha

memegang pimpinan.180 Adapun prantara sosial dibidang ekonomi yang juga

menjadi bagian dari tugas kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW

menunjukkan keadilan dan kesejahterahan sosial rakyat Madinah. Untuk itu beliau

mengelola zakat, infaq, dan sadaqah yang berasal dari kaum muslimin,

ghanimahyaitu harta rampasan perang dan jizyah yang berasal dari warganegara

non muslim. Jizyah oleh kalangan juris muslim disebut juga “pajak

perlindungan”.181

Sedangkan praktek pemerintahan Nabi Muhammad di bidang hukum adalah

kedudukan beliau sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di

kalangan masyarakat Madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggaran

perjanjian. Ketika kaum Yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali

terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakamnya, dan

178
Muhammad A. al-Buraey, Islam landasan alternative administrasi pembangunan,
Rajawali, Jakarata, 1986, hlm. 254-255
179
Baca Ibn Hisyam, Sirat al nabawiyah, Jilid II hlm. 54-56,57 dan 143.
180
Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, op.cit. hlm. 405
181
Said Rahman, Islamic law :its Scope and Equity 2nd Edition, 1970 hlm.134.
126

182
sekali beliau wakilkan kepada sahabat untuk melaksanakannya. Kedudukannya

sebagai hakam dan tugas ini pernah beliau wakilkan kepada sahabat, dan

penunjukan Muaz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib sebagai hakim, merupakan

bukti praktek pemerintahan Nabi di bidang prantara sosial hukum.

Dari sebagian contoh praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Muhamad

SAW tersebut, tampak bahwa beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara

dalam memerintah negara Madinah dapat dikatakan amat demokratis, sekalipun

undang-undangnya berdasarkan wahyu Allah yang beliau terima, dan Sunah

beliau termasuk Piagam Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekalipun itu

sangat mungkin beliau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat

statusnya sebagai Rasulullah yang wajib ditaati .

Dalam kontek itu beberapa ahli mengemukakan pendapat yang berbeda

mengenai bentuk dan corak Negara Madinah tersebut di zaman Rasulullah. Ali

Abd al-Raziq berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai pemerintah

dan tidak pula membentuk kerajaan. Sebab beliau hanya seorang Rasul sebagai

mana Rasul-rasul lainnya, dan bukan seorang raja atau pembentuk Negara.

Pembentukan pemerintah tidak termasuk dalam tugas yang diwahyukan kepada

beliau. Walaupun kegiatan-kegiatan tesebut dapat disebut kegiatan pemerintahan,

namun bentuk pemerintahannya sangat sederhana, dan kekuasaannya bersifat

umum, mencakup soal dunia dan akhirat. Karena sebagi seorang Rasul beliau

harus mempunyai kekuasaan yang lebih luas dari kekuasaan seorang raja terhadap

182
Ibn Hisyam, op.cit. hlm 57, 134 dan 170.
127

rakyatnya. Kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan seorang Rasul yang

membawa ajaran baru, dan bukan kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya

hanyalah kekuasaan seorang Rasul, bukan kekuasaan raja.183 Berbeda dari

pendapat ini, Khuda Baks, penulis dari Gerakan Aligrah India, menyatakan bahwa

Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama baru, tetapi juga membentuk

suatu pemerintahan yang bercorak teokratis yang puncaknya berdiri seorang wakil

Tuhan di muka bumi.184

Pada umumnya, para ahli berpedapat, masyarakat yang dibentuk oleh Nabi

di Madinah itu adalah Negara, dan beliau sebagai kepala Negaranya. Watt,

seorang orientalis, menyatakan masyarakat yang dibentuk Nabi Muhammad di

Madinah bukan hanya masyarakat agama, tetapi juga masyarakat politik sebagai

pengejawantahan dari persekutuan suku-suku bangsa Arab. Instansi persekutuan

ini adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya. Sebab

beliau disamping seorang Rasul juga adalah Kepala Negara. 185 Hitti juga

berpendapat, terbentuknya masyarakat keagamaan di Madinah yagn bukan

berdasrkan ikatan darah membawa terbentuknya Negara Madinah, di atas puncak

Negara ini berdiri Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah wakil Tuhan di muka

bumi. Beliau disamping tugas kerasulannya juga memiliki kekuasaan dunia

seperti kepala Negara biasaa. Dari Madinah teokrasi Islam tersebar ke seluruh

183
Ali Abd al-Raziq, Al Islam wa Ushul al Hukm, al Qahirat, 1925 hlm.64-69.
184
Khuda Baks, politics in Islam Asharaf, Lahore, 1954, hlm. 1
185
W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman,Ozford University Press, London,
1964 hlm. 223-225.
128

Arabia dan kemudian meliputi sebagian terbesar dari Asia Barat sampai Afrika

Utara.186

Menurut Madjid Khadduri, apabila syariat Islam berperan dalam

peerintahan umat Islam, maka ia disebut nomokrasi.187Demikian juga

pemerintahan Nabi. Sedangkan bagi Al-Maududi, sistem pemerintahan yang

demikian ia sebut teodemokrasi. Sebab, disamping syariat yang diwahyukan

Tuahan sebagai pemegang kedaulatan tunggal mengenai berbagai ketentuan

hukum, kekuasaan Tuahan berada di tangan umat untuk melaksanakn syari’at.

Karenanya ia membatasi kedaulatan rakyat. Namun untuk memperoleh kedudukan

utama untuk memusyawarahkan masalah-masalah yang belum jelas hukumnya

dalam syariat Islam.188

Dalam Negara madinah itu memang ada dua kedaulatan, yaitu kedaulatan

syariat Islam sebagai undang-undang Negara itu, dalam kedaulatan umat. Syariat

Islam sebagai undang-undang di suatu segi ia membatasi kekuasaan umat Islam

untuk membuat undang-undang di suatu segia ia membatasi kekuasaan uamat

unatuk membuat undang-undang mengenai hukum sesuatu bila penjelasan

hukumnya sudah jelas dalam nash syariat. Tapi di segi lain ia memberi hak

kebebasan kepada umat untuk menetapkan hukum suatu hal yang belum jelas

hukumnya, memerintahkan kepada umat agar musyawarah setiap urusan mereka.

Yaitu urusan yang belum jelas hukumya dalam nash syariat. Ini telah dicontohkan

186
Philip K. Hitti, History of The Arabs, The Macmillan PressLTD, Lonon, 1970, hlm 120-
121.
187
Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din al-Rayis, hlm.297
188
Al-Maududi, Nazhariyah al Islam waHadyah fi al Syasat wa al Qanun wa al-Dustur,
Dar al Su’udiyat, Jeddah, 1985, hlm. 36-38.
129

oleh Nabi Muhammad sebagai salah satu aktivitasnya yang menonjol di bidang

prantara sosial politik dalam memimpin Negara Madinah. Jadi Negara Madinah

itu adalah Negara yang berdasarkan syariat Islam, tapi ia memberi hak

bermusyawarah dan berijtihad kepada umat. Dengan demikian corak Negara

Madinah adalah Negara berasaskan syariat Islam dan bersifat demokratis.

Dari uraian mengenai Negara Madinah pada periode Muhammad SAW,

tampak aktivitas beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah keNabian (dalam

kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul) untuk mengajarkan wahyu yang

diterimanya dari AllahSWT kepada manusia. Tetapi juga menonjol dibidangn

keduniaan untuk membangun kebutuhan spiritual dan kebutuhan material

masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis, penganut agama dan keyakinan yang

berada dibawah kepemimpinannya. Artinya Nabi Muhammad SAW telah

menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang berhasil melaksanakan prinsip

keseimbangan antara kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat bagi umatnya.

Terlaksananya prinsip keseimbangan ini karena beliau menerapkan secara

konsisten prinsip musyawarah, prinsip kebebasan pendapat, prinsip kebebasan

beragama, prinsip persamaan bagi semua lapisan sosial, prinsip keadilan sosial

dan kesejahterahan sosial rakyat baik kesejahterahan materilnya maupun

kesejahterahan spiritualnya, prinsip persatuan dan persaudaraan, prinsip amar

makruf, dan nahi mungkar, dan prinsip ketakwaan.

Anda mungkin juga menyukai