Makalah Qowaidh

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAIDAH KULLIYAH SUGHRO (LANJUTAN)


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqiyyah
Dosen pengampu :
Dr. Moch. Bukhori Muslim M.A

Disusun oleh : KELOMPOK 11


➢ Kevin Abdullah (11220480000050)
➢ Suryadi Guswono (11220480000070)
➢ Muhammad Bassan Nur (11220480000072)
➢ Triyana Wahyu Nugraha (11220480000083)
➢ Herlina Schedar Aufar (11220480000094)

KELAS ILMU HUKUM 3B


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023M/1444H
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayahnya terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “Qowaid Fiqiyyah” dengan
topik makalah “KAIDAH KULLIYAH SUGHRO (LANJUTAN)”.
Kemudian sholawat beserta salam juga tak lupa tercurah kepada baginda
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang-benderang seperti sekarang ini.

Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Qowaid Fiqiyyah di


program studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis juga menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis meminta
kritik dan saran dari Dosen pengampu mata kuliah Qowaid Fiqiyyah dan
seluruh para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Moch.
Bukhori Muslim M.A selaku Dosen pengampu mata kuliah Qowaidh
Fiqiyyah yang telah membimbing kami serta telah memberikan ilmu yang
sangat bermanfaat, dan kepada semua pihak yang telah berperan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dan bermanfaat dan
menambah ilmu serta pengetahuan bagi kita semua.

Ciputat, 29 November 2023

Kelompok 11

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. I
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. II
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................ 2
1.3 TUJUAN PENULISAN .............................................................................................. 2
1.4 MANFAAT PENULISAN ........................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.1 Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib ……..…………..……………... 3
2.2 Mâ haruma isti’mâluhu haruma it-tikhâdzuhu, Mâ haruma akhdzuhu haruma i’thâu 4
2.3 Al Masyghulu la Yasghalu .......................................................................................... 5
2.4 Al-Masyur la Yusqithu bi al-Ma’sur …...……………..……………………………. 5
2.5 An-ni’mah bi qadri a- niqmah. Wa niqmah bi qadri an-ni’mah. ................................. 6
2.6 La Masagha li Al-Ijtihad fi Maurid Al-Nas ................................................................. 6
2.7 Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan ............................................................................. 7
2.8 Yadkhulu al-qawiy ‘ala ad-dha’îf, lâ ‘aksuhu ............................................................. 8
2.9 Al-haqqani al-mukhtalfifani la yutadkhalani .............................................................. 9
2.10 Al-khuruj min al-khilaf mustahab ............................................................................... 9
2.11 Al-muhafazdzah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah ................. 10
BAB III .................................................................................................................................... 12
PENUTUP................................................................................................................................ 12
3.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 12
3.2 SARAN .......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 14

II
BABI
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi
umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-
batas bolehtidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat
menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama
untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan
rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baikberdasarkan ajaran agama
maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedomanyang dijadikan
rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi.
Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh
berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah
dalam surat Ali- Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai
Muhammad),ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam hingga
sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai umdah
atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu,
kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-
penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung,
termasuk masalah hukum.
Menurut bahasa kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan dengan
masalah hukum. Menurut istilah kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk
dalam kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan
hukum ushul fiqh. Sebab, meski bersifat umum, obyek kajian kaidah fiqh
adalah perbuatan manusia yang menjadi subyek hukum (mukallaf). Misalnya,
kaidah “tidak ada pahala kecuali dengan niat” adalah ketentuan hukum atas
perbuatan manusia bahwa ia tidak memperoleh pahala kecuali jika ia
meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini berbeda
dengan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh yang diketahui berdasarka

1
kaidah-kaidah ushul, sebab obyek materialnya adalah dalil
syar’i dengan segala kondisinya dan hukum beserta berbagai kondisinya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

A. Apa itu kaidah Ma la yatimmu illa bihi fahuwa wajib, Ma haruma isti
maluhu haruma, dan Al-Masyghulu la yusghalu?
B. Apa itu kaidah Al-maysur la yusqithu bi al-ma’sur, An-ni’mah bi qadri a-
niqmah, dan La masagha li al-ijtihad fi muridi nash?
C. Apa itu kaidah Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan, Yadkhulu al-qawiy
‘ala ad-dhaif la aksuhu, dan Al-haqqani al-mukhtalfifani la yutadkhalani?
D. Apa itu kaidah Al-khuruj min al-khilaf mustahab dan Al-muhafazdzah ‘ala
al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah?

1.3 TUJUAN PENULISAN

A. Untuk mengetahui kaidah Ma la yatimmu illa bihi fahuwa wajib, Ma


haruma isti maluhu haruma, dan Al-Masyghulu la yusghalu
B. Untuk mengetahui kaidah Al-maysur la yusqithu bi al-ma’sur, An-ni’mah
bi qadri a-niqmah, dan La masagha li al-ijtihad fi muridi nash
C. Untuk mengetahui kaidah Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan, Yadkhulu
al-qawiy ‘ala ad-dhaif la aksuhu, dan Al-haqqani al-mukhtalfifani la
yutadkhalani
D. Untuk mengetahui kaidah Al-khuruj min al-khilaf mustahab dan Al-
muhafazdzah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah

1.4 MANFAAT PENULISAN


A. Dengan adanya makalah ini pembaca akan mendapatkan wawasan maupun informasi
mengenai kaidah lanjutan kulliyah sughro dalam qowaid fiqiyyah
B. Pembahasan dalam makalah ini sangat beririsan dengan kasus-kasus ataupun
permasalahan yang ada di masyarakat
C. Memberikan pemaparan yang sangat informatif bagi pembaca yang mana pastinya
sangat berguna dalam jangka panjang

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib


‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬
Kaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib adalah salah satu kaidah
kulliyah yang populer di kalangan para ulama dan tercantum dalam kitab-kitab ushul
maupun fikih mereka. Kaidah ini juga telah diterima oleh para ulama ushul maupun fikih.
Dapat dikatakan, bahwa mereka telah sepakat untuk menggunakan kaidah ini. Maksud
dari kaidah ini adalah Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, maka
hukumnya juga wajib. Atau segala perkara yang wajib tidak dapat dikerjakan sama sekali
atau bisa dikerjakan namun tidak sempurna, kecuali dengan mengerjakan perkara
penyempurna tersebut, maka perkara penyempurna yang asalnya tidak wajib menjadi
wajib. Kaidah ini merupakan hukum syariat kullî. Disebut sebagai hukum syariat karena
kaidah ini digali dari dalil-dalil syariat, baik al-Quran maupun as-Sunnah1. Misalnya
dalam firman allah ;

‫فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َهكُ ْم َوأ َ ْي ِديَكُ ْم ِإلَى ْال َم َرافِق‬

"Basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku”


(QS al-Maidah [5]: 6).

Ayat ini menyatakan bahwa hukum membasuh tangan hingga siku-siku hukumnya
wajib dalam wudhu. Namun, kewajiban membasuh tangan hingga siku-siku tersebut
tidak akan sempurna, kecuali dengan membasuh bagian atas siku (lengan) sehingga siku-
sikunya pasti akan terbasuh. Sebab, jika tidak dimasukkan dalam basuhan, siku-siku yang
harus dibasuh itu tidak akan terbasuh dengan sempurna. Artinya, kewajiban membasuh
bagian atas siku merupakan konotasi yang menjadi konsekuensi logis dari kewajiban
membasuh siku-siku. Adapun cakupan kaidah ini memiliki 2 aspek, yaitu ; 2

1 Al-asybah Wan Nadho’ir Lis Suyuthi, Hal : 125 https://kapasan-


darulfalah.blogspot.com/2013/05/penjelasan-qoidah-fiqih-la-yatimmul.html.
2 https://muhammadadithio1453.wordpress.com/2013/03/29/mendudukkan-kaidah-mala-yatimmul-
wajib/

3
1. Kewajiban yang terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya : Kewajiban itu
merupakan suatu yang tergantung pada syarat tertentu atau disebut masyrûth.
Contohnya shalat adalah masyrûth yang menghajatkan thaharah sebagai syarat.
Maka thaharah misalnya wudhu merupakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” untuk
pelaksanaan sholat.
2. Kewajiban yang tidak terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya : Dengan kata lain,
kewajiban tersebut bersifat mutlak, disebut ghairu masyrûth. Artinya kewajiban
tersebut bersifat mutlak, tanpa dibatasi oleh syarat atau sebab tertentu. Jenis ini
dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu: kewajiban yang dalam kadar kesanggupan
mukallaf dan kewajiban yang berada di luar kesanggupan mukallaf.

2.2 Mâ haruma isti’mâluhu haruma it-tikhâdzuhu, Mâ haruma akhdzuhu haruma


i’thâuhu
Mâ haruma isti’mâluhu haruma it-tikhâdzuhu ‫( ما حرم إستعماله حرم إتخاذ‬sesuatu
yang haram dipakai berarti haram disimpan). Objek hukum kaidah ini biasanya digunakan
untuk hal-hal yang bersifat kebendaan atau yang bukan manusia. setiap benda yang haram
digunakan maka apapun cara memperolehnya, meski tergolong pada cara yang halal maka
tetap dihukumkan haram. Dan sebagai konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram
maka seluruh aktifitas yang berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan atau
diminum (kalau berupa makanan dan minumuan) semuanya juga haram 3. Misalnya,
Haram hukumnya memiliki bejana yang terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan
keharaman menggunakannya baik untuk wadah makanan atau hiasan. Rasulullah saw
bersabda: “ Janganlah kamu meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari
emas atau perak, dan jangan makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena
keduanya itu untuk orang-orang musyrik semasa mereka di dunia, dan untuk kamu
nantinya di akhirat”.

Mâ haruma akhdzuhu haruma i’thâuhu ‫( ما حرم أخذه حرم إعطاؤه‬sesuatu yang haram
untuk diambil berarti haram diberikan). Maksud kaidah ini bahwa barang haram yang
sudah pasti siapa pun dilarang mengambilnya, maka haram pula memberikan kepada
kepada orang lain baik sebagai hadiah, hibah, atau malah dibarter, maupun transaksi yang
lain. Karena menyodorkan barang haram berarti telah mengajak dan berdakwah kepada

3 H.A. Dzajuli, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.96.

4
orang lain untuk berbuat sesuatu yang dilarang, membantu dan membuat orang lain berani
melakukan hal yang diharamkan. 4 Misalnya Haram hukumnya memberikan riba kepada
orang lain, sebagaimana diharamkan memakan riba dari harta orang lain. Ini berdasarkan
dari hadis: “Allah melaknat orang yang memakan riba, memberinya, saksinya dan
pencatatnya”.

2.3 Al Masyghulu la Yasghalu ‫المشغول ال يشغل‬

Arti dari Al Masyghulu la Yasghalu adalah “sesuatu yang sudah sibuk tidak boleh
disibukkan lagi”. Kaidah ini tidak hanya berlaku dalam fiqh saja tetapi juga berlaku
dalam perkara ‘aqliyah dan ‘adiyah. 5 Contoh dari kaidah fiqh ini sebagai berikut:

1) Imam Az Zaila’ī menjelaskan, Air jika hanya cukup untuk minum sebagai
kebutuhan pokok, maka tak boleh difungsikan sebagai air wudhu. Air ini telah
dipenuhi dengan fungsinya, maka tidak boleh difungsikan untuk yang lainnya.
Oleh karena itu, boleh melakukan tayammum meski ada air jika hanya cukup
untuk minum.6
2) Barang yang sudah digadaikan sebagai jaminan hutang itu tidak boleh dijadikan
jaminan pada hutang yang lain.
Tidak dibolehkan seseorang mempekerjakan orang lain yang masih terikat
kontrak kerja dengan pihak lain, hingga kontraknya berakhir.

2.4 Al-Masyur la Yusqithu bi al-Ma’sur (‫)ال َم ْيس ُْو ُر الَ يَ ْسقُطُ بِ ْال َم ْعس ُْو ِر‬
ْ

ْ adalah sebuah bentuk mashdar yang menggunakan sighat isim


Kata Maisur (‫)ال َم ْيس ُْو ُر‬
ْ juga
maf’ul yang bisa diartikan sebagai “sesuatu yang mudah”. Kata ma’sur (‫)ال َم ْعس ُْو ُر‬
menggunakan sighat isim maf’ul yang memiliki arti “Sesuatu yang sulit”. Dengan
penjelasan tersebut, kaidah Al-Masyur la Yusqithu bi Al-Ma’sur memiliki makna “Sesuatu
yang mudah tidak dapat digugurkan dengan sesuatu yang sulit”.

Adapun dalam kaidah ushul fiqh, makna dari kaidah ini adalah sebuah perintah wajib,
jika tidak bisa dilakukan dengan penuh dan hanya bisa dilakukan sebagian maka kewajiban
itu tidak gugur sepenuhnya. Bagian yang sanggup dilakukan tetap wajib untuk dilakukan
sedangkan yang tidak bisa dilakukan maka kewajiban tersebut tidak menjadi wajib atau
digugurkan. Contoh-contoh kaidah Al Masyur la Yusqithu bi Al-Ma’sur adalah sebagai
berikut:

1) Ada muslim yang lengannya terluka. Dia tidak mampu membasuh lengannya yang
terluka itu saat wudu karena bisa berbahaya untuk kesehatannya. Dalam kondisi ini,

4 Muhammad Sidqi, Mausu’ah Qawaid Fiqhiyyah, (Beirut : Muassasah ar-risalah), h.116.


5 Wakid Yusuf, “Sesuatu Yang Sibuk Tidak Boleh Disibukkan Lagi”, 3 Maret, 2021,
https://wakidyusuf.wordpress.com/2021/03/03/yang-sudah-sibuk-tidak-boleh-disibukkan-
lagi/
6
Al Imām Az Zaila’ī, Tabyīn al Ḥaqāīq, jilid 1, hal. 253-254.
5
tidak bisa dibenarkan diputuskan: Gugur kewajiban berwudu dan bisa langsung diganti
tayamum.Yang benar; Basuhlah lengan yang tidak luka dengan air saat berwudu,
kemudian bagian yang luka diperban untuk diusap air, setelah itu bertayamumlah untuk
mengganti bagian luka yang tidak bisa diusap air.
2) Seorang muslim tidak bisa melenyapkan pabrik miras di lingkungannya karena tidak
punya kuasa. Dalam situasi ini tidak bisa disimpulkan: Berarti berarti gugur kewajiban
nahi mungkar mencegah orang mabuk di lingkungannya karena percuma juga
mencegah orang mabuk sementara induknya sendiri masih belum sanggup
melenyapkannya. Ini keputusan keliru. Yang benar, jika ada tetangganya mabuk dan dia
mampu mencegahnya tanpa ada mudorot yang lebih besar, maka wajib mencegahnya,
meskipun belum mampu menghilangkan pabrik miras. Kewajiban menghilangkan
pabrik miras selama belum mampu adalah gugur.

Ada orang baru masuk Islam. Dia belum hafal Surah Al-Fatihah, padahal membaca Al-
Fatihah adalah wajib karena ia rukun salat. Dalam situasi ini tidak bisa diputuskan: Berarti
kewajiban salat untuk sementara gugur bagi mualaf tersebut. Yang benar: Salat tetap wajib
baginya dan dia dituntut membaca Al-Qur’an apapun yang ia hafal meski hanya satu ayat.
Jika itu tidak mampu, maka dituntut membaca zikir pengganti tilawah.

2.5 An-ni’mah bi qadri a- niqmah. Wa niqmah bi qadri an-ni’mah.


‫ اَلنِِّ ْع َمةُ بِقَد ِْر النِِّ ْق َم ِة َوالنِِّ ْق َمةُ بِقَد ِْر اَلنِِّ ْع َم ِة‬Kaidah ini berarti kenikmatan diukur dengan
kadar kesusahan, dan kesusahan juga diukur dengan kadar kenikmatan. Penggalan
kalimat pertama menjelaskan bahwa manfaat yang diterima berbanding dengan resiko
yang telah menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan penggalan kalimat kedua
menjelaskan kerugian berimbang dengan manfaat yang dirasakan. 7 Misalnya, biaya
renovasi hotel yang dimiliki oleh dua orang yang sama-sama berinvestasi di dalamnya
dibebankan terhadap mereka berdua sesuai kadar saham yang mereka investasikan.
Manisnya laba yang mereka nikmati dari hasil omset hotel tersebut berbanding lurus
dengan biaya renovasi yang mereka keluarkan.

2.6 La Masagha li Al-Ijtihad fi Maurid Al-Nas


Ijtihad berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah usaha sungguh-
sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu keputusan (kesimpulan)
hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tentu tertera di dalam Al-
Qur’an dan sunah.8
Nas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti yaitu perkataan atau
kalimat dari Al-Qur’an atau hadis yang digunakan sebagai alasan atau dasar untuk

7 Huda, Z. (2020). Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses. Islamkaffah.Id. .


8
“Ijtihad”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Ijtihad (14
November 2020).

6
memutuskan suatu masalah (sebagai pegangan dalam hukum syarak). 9 Kaidah ini
memiliki pengertian bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad selama ada nas. Sekilas
kaidah ini seperti bertentangan dengan fungsi kaidah fiqh yang berperan sebagai media
untuk menafsirkan nas. Tetapi, titik temu dari kontradiksi tersebut adalah fungsi khusus
yang dimiliki oleh kaidah ini yaitu untuk menjelaskan bahwa kaidah fiqh fungsinya
memberikan penafsiran dari nas bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad atau mencari
hukum suatu masalah dimana masalah tersebut masih dijelaskan hukumnya dalam
nas.10

Kehujjahan kaidah La Masagha li Al-Ijtihad fi Maurid Al-Nas tercantum dala Al-


Qur’an dan sunah yang menjelaskan tentang mengutamakan perintah Allah SWT dan
Rasul-Nya sebelum mengambil hukum-hukum yang lainnya jika tidak memiliki
penjelasan dalam syariah. 11

Contoh-contoh implementasi dari kaidah La Masagha li Al-Ijtihad fi Maurid Al-Nas


adalah sebagai berikut:

1) (Misalnya) Ada seorang mujtahid yang berijtihad dan berkata bahwa istri yang
ditalak raj’i bahwa dipersyaratkan keridhaan istri terhadap kebasahan rujuknya.
Maka sesungguhnya ijtihad ini tidak benar , diharamkan dan ditolak karena
ijtihad tersebut berselisihan atau menabrak nas syarak yang jelas dari segi
penunjukannya yaitu firman Allah: “Dan suami mereka lebih berhak kembali
kepada mereka dalam (masa) itu”.
2) Qs. An-Nisa 4:12 tentang mawaris. Ayat ini menjerlaskan tentang ketentuan
pembagian harta warisan dalam syariat islam dan setiap bagian warisan yang
telah ditetapkan oleh syariat adalah Qath’i Ad-dalalah yang menjadikannya
tidak boleh ada ijtihad didalamnnya.
Berdasarkan contoh diatas dapat dipahami bahwa kaidah La Masagha li Al-Ijtihad fi
Maurid Al-Nas berlaku selama tidak menyalahi atau berselisihan dengan nas, ijmak,
kias jaliy, 4 perkataan mazhab dan dijelaskan kekeliruan hakim dalam hasil hukum,
sebab atau metodenya.

2.7 Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan

Artinya: “Ungkapan (penjelasan) seorang penerjemah dapat diterima secara


umum.” Maksud kaidah ini bahwa penjelasan dari seorang penerjemah yang menguasai
bahasa tertentu dapat dijadikan pijakan dalam mengambil sebuah keputusan hukum yang

9 “Nas”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Nas (30 Desember
2020).
10
Jahada Mangka, “Implementasi Kaidah La Masaga Li Al-Ijtihad Fi Maurid Al-Nas Dalam Fikih Islam”,
Bustanul Fuqaga : Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol.2 No.1 (April 2021), hal.28
11 Jahada Mangka, “Implementasi Kaidah La Masaga Li Al-Ijtihad Fi Maurid Al-Nas Dalam Fikih Islam”,

Bustanul Fuqaga : Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol.2 No.1 (April 2021), hal. 36

7
menyangkut soal persaksian dan dakwaan. Maksud muthlaq (umum) dalam kaidah ini
artinya dapat diterima dalam semua kasus dakwaan dan persaksian, baik laki-laki ataupun
perempuan. Selanjutnya, penjelasan penerjemah dapat diterima dengan memenuhi
kriteria berikut:Pertama, terkait kasus tindak pidana qishas dan hadd lebih diutamakan
orang lakilaki. Kedua, penerjemah harus netral, bersifat adil, tidak fasik, terpercaya,
memiliki latar belakang yang jelas. Ketiga, menguasai dua bahasa, bahasa terjemah dan
yang diterjemahkan.

Keempat, pihak hakim tidak paham terhadap bahasa yang digunakan oleh pihak
yang bersengketa atau saksi-saksi yang dibutuhkan dalam kasus tersebut. Kelima,
penerjemah tidak tunanetra. Implementasi kaidah ini secara umum adalah seorang hakim
dapat menerima penjelasan penerjemah yang kompeten dalam memahami keterangan
para pihak yang bersengketa atau para saksi dalam kasus tersebut. Dalam kondisi normal
seharusnya hakim berkomunikasi langsung dengan para pihak yang bersengketa, namun
pada situasi tertentu dimana hakim tidak mampu memahami bahasa yang digunakan oleh
mereka dibutuhkan seorang mediator penerjemah guna menangkap dan memahami
persoalan yang sedang dihadapi dalam persidangan. Hikmah yang dapat diambil dari
kaidah ini adalah dii era globalisasi seperti sekarang ini penting untuk menguasai
berbagai bahasa. Tuntutan zaman yang sudah tidak mengenal batas teritorial menggiring
manusia untuk berkomunikasi secara luas tanpa batas. Maka bahasa menjadi kunci dalam
menguasai cakrawala dunia. Saatnya generasi muda belajar multi bahasa agar dunia
dalam genggaman12

2.8 Yadkhulu al-qawiy ‘ala ad-dha’îf, lâ ‘aksuhu


Artinya: “Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya.” Suatu perintah atau
larangan yang nilainya lebih kuat dapat atau boleh menca kup perkara sejenis yang nilainya
lebih lemah, tetapi tidak sebaliknya, yakni peri ntah atau larangan lebih lemah tidak dapat
mencakup Kaidah-kaidah Fiqih yang lebih kuat. Dari kaidah ini dapat diambil pemahaman
bahwa:
1. Seseorang boleh menunaikan ibadah haji sekaligus umrah. Tetapi, seseorang tidak
boleh menunaikan ibadah umrah sekaligus ibadah haji.

12Kaidah Fikih: Peran Seorang Penerjemah | Islam Kaffah,” accessed November 26, 2022,
https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-peran-seorang-penerjemah/.

8
2. Seseorang boleh mandi wajib sekaligus mengambil air wudhu`. Tetapi, seseora ng tidak
boleh berwudhu` sekaligus mandi wajib. 13

2.9 Al-haqqani al-mukhtalfifani la yutadkhalani


‫الحقان المختلفان ال يتداخالن‬
Yaitu suatu hak yang berbeda itu tidak bisa di satukan, dua kebenaran itu tidak bisa di
satukan dalam satu perkara karna dua kebenaran itu berbeda. Dalam kaidah ini terdapat 2
permasalahan, 2 hak atau kewajiban seorang mukallaf yang mana 2 kewajiban ini berbeda
menjadi 1 kewajiban yang tidak bisa dimasukan ke dalam kewajiban yang lain. Contoh dari
kaidah ini yaitu menjima istri di siang hari di bulan ramadhan itu akan mendapat kafarat,
sementara disisi lain anda harus mengqadha (mengganti) puasa di hari itu menadi ada satu
qadha dan satu kafarat. Kafarat ini tidak bisa digabungkan dengan qadha.

2.10 Al-khuruj min al-khilaf mustahab


Artinya: “Dianjurkan keluar dari perkara yang diperselisihkan” Fikih memiliki
arti pemahaman. Pemahaman seringkali bersifat subyektif dan tidak terkecuali dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan aturan agama. Jika dalam pembahasan ilmu
fikih yang memiliki tingkat tinggi, perbedaan pendapat sangat mudah ditemukan dan
hampir tidak terjadinya pendapat tunggal, oleh karena itu para ulama fikih harus
memiliki kemampuan dalam menyikapi perbedaan dan perbedaan tidak boleh sampai
mengakitbatkan perpecahan. Oleh karena itu, mereka berupaya mencari sikap yang
tepat dalam merespon perbedaan pendapat dalam memahami agama di kalangan umat
Islam. 14

Di antara sikap yang ditekankan para ulama adalah sikap berhati-hati (ihtiyâth).
Kehati-hatian dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan umat ini penting, agar
umat tidak terpecah belah atau bahkan berujung konflik. Prinsip (ihtiyâth) diterapkan,
salah satunya dengan memperkenalkan kaidah "al-khurûj minal khiláf mustahabb" atau
anjuran keluar dari persoalan yang diperselisihkan. Salah satu contohnya adalah Ketika
para ahli fikih mencontohkan mengusap keseluruhan rambut kepala ketika berwudu.
Sebagaimana diketahui, rukun ketiga dalam beradu adalah mengusap kepala. Allah

13
Syamsul Hilal, “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al-
’Adalah XI, no. 2 (2013).
14Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangerang
Selatan: Harakah Book, 2018), hlm 54.

9
berfirman,“Wahai orang yang beriman, ketika kalian hendak melaksanakan shalat,
basuhlah wajah kalian, tangan sampai siku-siku, usaplah (rambut) kepala kalian, dan
kaki-kaki kalian sampai mata kaki”. (QS. Al-Mâ idah [5]: 6). Para ulama memiliki
perberbedaan pendapat mengenai bagian rambut kepala yang harus dibasuh, dan
terdapat tiga pendapat.

Pendapat pertama, pendapat yang mengatakan hukunya wajib membasuh


seluruh rambut kepala, pendapat ini diutarakan oleh imam Malik bin Anas (179 H.) dan
imam Ahmad bin Hanbal (241 H). Pendapat kedua, pendapat yang mengatakan wajib
dibasuh minimal seperempat rambut kepala. Pendapat ini dinisbatkan kepada imam
Abu Hanifah (150 H). Sedangkan pada pendapat yang ketiga, minimal diusap satu
rambut atau kulit kepala yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Yang terakhir ini
adalah pendapat imam as-Syafi'i (204 H.).15

Dalam mazhab Syafi'i, sekalipun pendiri mazhab menyatakan untuk wajib


dibasuh minimal satu rambut atau kulit kepala, namun disunahkan untuk mengnsap
keseluruhan bagian rambut kepala. Hal ini adalah bentuk langkah keluar dari perbedaan
pendapat. Sikap ini dinilai lebih mencerminkan kehati-hatian, karena dengan mengusap
keseluruhan, maka kita akan keluar dari khilafiah ulama mengenai kadar minimal
rambut kepala yang harus diusap dalam wudhu. Dengan melakukan pengusapan ke
seluruh bagian rambut kepala, maka kita dapat mengamalkan seluruh pendapat tentang
kewajiban mengusap rambut kepala. Di sini, perbedaan pendapat diselesaikan dalam
pengamalan atau tindakan nyata.

2.11 Al-muhafazdzah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah

‫صالح واألخذ بالجديد األصلح‬


ِّ ‫المحافظة على القديم ال‬
Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru
yang lebih baik” Pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 238 sebagaimana tercantum, kata al-
muhâfadzah diartikan dengan “senantiasa menjalankannya dengan terus-menerus,
menjaganya agar tidak terlewatkan atau ditinggalkan. Al-muhâfadzah merupakan tahap
lanjutan dari proses penjagaan agama. 16
Sedangkan kalimat “al-muhâfadzah ‘alâ al-
qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah”. memiliki arti, tetap memelihara

15
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangerang
Selatan: Harakah Book, 2018), hlm 55.
16
Al-’Arabi A. B. M. B, Ahkam Al-Qur’an (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001).

10
tradisi lama yang baik, dan bersamaan dengan membuka diri merespon atau
mengadopsi tradisi baru sejauh itu baik menurut Islam.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya kita membangun budaya dan


peradaban dimana terdapat nilai-nilai baik yang harus dipertahankan, terlebih lagi nilai-
nilai kebaikan itu selaras dengan ajaran agama islam dan selaras dengan kondisi yang
ada. Dalam setiap masyarakat, lembaga, maupun negara, pastilah terdapat tradisi atau
hal-hal lama yang terus dipertahankan. Mengenai masalah pengembangan tentunya
terkait erat dengan lanjutan dari kaedah kita ini, yakni mengambil hal-hal baru yang
lebih baik. Tidak hanya baik tetapi yang lebih baik atau terbaik. Dalam mengambil hal-
hal yang lebih baik ini, ada dua hal yang perlu dimengerti yakni, mengambil pokok
baru yang lebih baik dan tetap mempertahankan pokok lama yang baik, dan mengambil
hal-hal baru pengembangan dari pokok lama yang baik.17

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kaidah-kaidah fiqih merupakan hal yang penting sebagai pedoman bagi umat
Islam. kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk dalam kategori ketentuan-ketentuan

17
abdul Wadud Nafis, “Islam, Masa Peradaban,” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2 (2020), hlm 131.

11
hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh. Sebab, meski bersifat umum,
obyek kajian kaidah fiqh adalah perbuatan manusia yang menjadi subyek hukum
(mukallaf). Kaidah kaidah tersebutlah yang mampu memecahkan permasalahn yang ada
di kehidupan sehari hari terkait suatu hukum islam. Berdasarkan penguraian tentang
kaidah kaidah tersebut maka dapat disimpulkan terdapat beberapa kaidah memiliki arti
yaitu:

1. Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa Wajib” (Perkara yang menjadi
penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib
2. Maa hurrima isti’mâluhu hurrima it-tikhâdzuhu adalah “apa yang haram digunakan,
haram pula didapatkannya”
3. Al-Masyghul La Yusyghal, Kaidah ini memiliki arti bahwa yang telah terisi tidak
bisa diisi kembali, atau yang telah sibuk tak dapat diisi dengan kesibukan yang lain.
4. Al-maysûr lâ yusqithu bi al-ma’sur Kaidah ini memiliki arti “Yang mudah dilakukan
tidak gugur dengada yang susah dilaksanakan”.

Setiap kaidah yang ada memiliki peranan nya masing masing dalam berbagai kasus
permasalahan yang kita hadapi sehari hari yang berkenaan dengan hukum islam. Sikap
yang ditekankan para ulama adalah sikap berhati-hati (ihtiyâth) dalam menyikapi
perbedaan pendapat di kalangan, agar umat tidak terpecah belah atau bahkan berujung
konflik. Dalam Prinsip (ihtiyâth) diterapkan, salah satunya dengan memperkenalkan 23
kaidah "al-khurûj minal khiláf mustahabb" atau anjuran keluar dari persoalan yang
diperselisihkan

3.2 SARAN
Pemakalah tentunya menyadari jika dalam penulisan makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan. Kedepannya, pemakalah akan
menjelaskan makalah dengan lebih rinci dan mendetail serta dengan menyantumkan
sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, diharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

Berdasarkan pengetahuan pemakalah, maka pemakalah memberikan saran untuk


mengakses referensi yang pemakalah telah sertakan untuk pemahaman lebih lanjut untuk
topik terkait dan untuk kesalahan penulisan nama, penerbit, daerah dan judul itu adalah
kesalahan pemakalah, karena pada dasarnya pemakalah bukanlah makhluk yang
sempurna.

12
DAFTAR PUSTAKA
abdul Wadud Nafis, “Islam, Masa Peradaban,” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2 (2020).

Al-’Arabi A. B. M. B, Ahkam Al-Qur’an (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001).

Al Imām Az Zaila’ī, Tabyīn al Ḥaqāīq, jilid 1.

Al-asybah Wan Nadho’ir Lis Suyuthi, Hal : 125 https://kapasan


darulfalah.blogspot.com/2013/05/penjelasan-qoidah-fiqih-la-yatimmul.html

13
H.A. Dzajuli, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).
Huda, Z. (2020). Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses. Islamkaffah.Id.
Https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-hasil-tak-mendustai-proses/
“Ijtihad”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Ijtihad (14 November 2020).
Jahada Mangka, “Implementasi Kaidah La Masaga Li Al-Ijtihad Fi Maurid Al-Nas Dalam
Fikih Islam”, Bustanul Fuqaga : Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol.2 No.1 (April 2021)
Mendudukkan kaidah Mala yatimmul wajib
https://muhammadadithio1453.wordpress.com/2013/03/29/mendudukkan-kaidah-mala-
yatimmul-wajib/
Muhammad Sidqi, Mausu’ah Qawaid Fiqhiyyah, (Beirut : Muassasah ar-risalah).
“Nas”,Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Nas (30 Desember 2020).
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama
(Tangerang Selatan: Harakah Book, 2018).
Syamsul Hilal, “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al-’Adalah
XI, no. 2 (2013).
Wakid Yusuf, “Sesuatu Yang Sibuk Tidak Boleh Disibukkan Lagi”, 3 Maret, 2021,
https://wakidyusuf.wordpress.com/2021/03/03/yang-sudah-sibuk-tidak-boleh-
disibukkan-lagi/

14

Anda mungkin juga menyukai