Makalah Qowaidh
Makalah Qowaidh
Makalah Qowaidh
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Moch.
Bukhori Muslim M.A selaku Dosen pengampu mata kuliah Qowaidh
Fiqiyyah yang telah membimbing kami serta telah memberikan ilmu yang
sangat bermanfaat, dan kepada semua pihak yang telah berperan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dan bermanfaat dan
menambah ilmu serta pengetahuan bagi kita semua.
Kelompok 11
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................. I
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. II
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................ 2
1.3 TUJUAN PENULISAN .............................................................................................. 2
1.4 MANFAAT PENULISAN ........................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.1 Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâjib ……..…………..……………... 3
2.2 Mâ haruma isti’mâluhu haruma it-tikhâdzuhu, Mâ haruma akhdzuhu haruma i’thâu 4
2.3 Al Masyghulu la Yasghalu .......................................................................................... 5
2.4 Al-Masyur la Yusqithu bi al-Ma’sur …...……………..……………………………. 5
2.5 An-ni’mah bi qadri a- niqmah. Wa niqmah bi qadri an-ni’mah. ................................. 6
2.6 La Masagha li Al-Ijtihad fi Maurid Al-Nas ................................................................. 6
2.7 Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan ............................................................................. 7
2.8 Yadkhulu al-qawiy ‘ala ad-dha’îf, lâ ‘aksuhu ............................................................. 8
2.9 Al-haqqani al-mukhtalfifani la yutadkhalani .............................................................. 9
2.10 Al-khuruj min al-khilaf mustahab ............................................................................... 9
2.11 Al-muhafazdzah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah ................. 10
BAB III .................................................................................................................................... 12
PENUTUP................................................................................................................................ 12
3.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 12
3.2 SARAN .......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 14
II
BABI
PENDAHULUAN
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi
umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-
batas bolehtidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat
menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama
untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan
rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baikberdasarkan ajaran agama
maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedomanyang dijadikan
rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi.
Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh
berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah
dalam surat Ali- Imran ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai
Muhammad),ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam hingga
sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai umdah
atau sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu,
kedua sumber hukum itu dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-
penyelesaian berbagai masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung,
termasuk masalah hukum.
Menurut bahasa kaidah fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan dengan
masalah hukum. Menurut istilah kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk
dalam kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan
hukum ushul fiqh. Sebab, meski bersifat umum, obyek kajian kaidah fiqh
adalah perbuatan manusia yang menjadi subyek hukum (mukallaf). Misalnya,
kaidah “tidak ada pahala kecuali dengan niat” adalah ketentuan hukum atas
perbuatan manusia bahwa ia tidak memperoleh pahala kecuali jika ia
meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini berbeda
dengan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh yang diketahui berdasarka
1
kaidah-kaidah ushul, sebab obyek materialnya adalah dalil
syar’i dengan segala kondisinya dan hukum beserta berbagai kondisinya.
A. Apa itu kaidah Ma la yatimmu illa bihi fahuwa wajib, Ma haruma isti
maluhu haruma, dan Al-Masyghulu la yusghalu?
B. Apa itu kaidah Al-maysur la yusqithu bi al-ma’sur, An-ni’mah bi qadri a-
niqmah, dan La masagha li al-ijtihad fi muridi nash?
C. Apa itu kaidah Yuqbalu qawl mutarjim muthlaqan, Yadkhulu al-qawiy
‘ala ad-dhaif la aksuhu, dan Al-haqqani al-mukhtalfifani la yutadkhalani?
D. Apa itu kaidah Al-khuruj min al-khilaf mustahab dan Al-muhafazdzah ‘ala
al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ayat ini menyatakan bahwa hukum membasuh tangan hingga siku-siku hukumnya
wajib dalam wudhu. Namun, kewajiban membasuh tangan hingga siku-siku tersebut
tidak akan sempurna, kecuali dengan membasuh bagian atas siku (lengan) sehingga siku-
sikunya pasti akan terbasuh. Sebab, jika tidak dimasukkan dalam basuhan, siku-siku yang
harus dibasuh itu tidak akan terbasuh dengan sempurna. Artinya, kewajiban membasuh
bagian atas siku merupakan konotasi yang menjadi konsekuensi logis dari kewajiban
membasuh siku-siku. Adapun cakupan kaidah ini memiliki 2 aspek, yaitu ; 2
3
1. Kewajiban yang terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya : Kewajiban itu
merupakan suatu yang tergantung pada syarat tertentu atau disebut masyrûth.
Contohnya shalat adalah masyrûth yang menghajatkan thaharah sebagai syarat.
Maka thaharah misalnya wudhu merupakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib” untuk
pelaksanaan sholat.
2. Kewajiban yang tidak terikat dengan sesuatu sebagai syaratnya : Dengan kata lain,
kewajiban tersebut bersifat mutlak, disebut ghairu masyrûth. Artinya kewajiban
tersebut bersifat mutlak, tanpa dibatasi oleh syarat atau sebab tertentu. Jenis ini
dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu: kewajiban yang dalam kadar kesanggupan
mukallaf dan kewajiban yang berada di luar kesanggupan mukallaf.
Mâ haruma akhdzuhu haruma i’thâuhu ( ما حرم أخذه حرم إعطاؤهsesuatu yang haram
untuk diambil berarti haram diberikan). Maksud kaidah ini bahwa barang haram yang
sudah pasti siapa pun dilarang mengambilnya, maka haram pula memberikan kepada
kepada orang lain baik sebagai hadiah, hibah, atau malah dibarter, maupun transaksi yang
lain. Karena menyodorkan barang haram berarti telah mengajak dan berdakwah kepada
3 H.A. Dzajuli, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.96.
4
orang lain untuk berbuat sesuatu yang dilarang, membantu dan membuat orang lain berani
melakukan hal yang diharamkan. 4 Misalnya Haram hukumnya memberikan riba kepada
orang lain, sebagaimana diharamkan memakan riba dari harta orang lain. Ini berdasarkan
dari hadis: “Allah melaknat orang yang memakan riba, memberinya, saksinya dan
pencatatnya”.
Arti dari Al Masyghulu la Yasghalu adalah “sesuatu yang sudah sibuk tidak boleh
disibukkan lagi”. Kaidah ini tidak hanya berlaku dalam fiqh saja tetapi juga berlaku
dalam perkara ‘aqliyah dan ‘adiyah. 5 Contoh dari kaidah fiqh ini sebagai berikut:
1) Imam Az Zaila’ī menjelaskan, Air jika hanya cukup untuk minum sebagai
kebutuhan pokok, maka tak boleh difungsikan sebagai air wudhu. Air ini telah
dipenuhi dengan fungsinya, maka tidak boleh difungsikan untuk yang lainnya.
Oleh karena itu, boleh melakukan tayammum meski ada air jika hanya cukup
untuk minum.6
2) Barang yang sudah digadaikan sebagai jaminan hutang itu tidak boleh dijadikan
jaminan pada hutang yang lain.
Tidak dibolehkan seseorang mempekerjakan orang lain yang masih terikat
kontrak kerja dengan pihak lain, hingga kontraknya berakhir.
2.4 Al-Masyur la Yusqithu bi al-Ma’sur ()ال َم ْيس ُْو ُر الَ يَ ْسقُطُ بِ ْال َم ْعس ُْو ِر
ْ
Adapun dalam kaidah ushul fiqh, makna dari kaidah ini adalah sebuah perintah wajib,
jika tidak bisa dilakukan dengan penuh dan hanya bisa dilakukan sebagian maka kewajiban
itu tidak gugur sepenuhnya. Bagian yang sanggup dilakukan tetap wajib untuk dilakukan
sedangkan yang tidak bisa dilakukan maka kewajiban tersebut tidak menjadi wajib atau
digugurkan. Contoh-contoh kaidah Al Masyur la Yusqithu bi Al-Ma’sur adalah sebagai
berikut:
1) Ada muslim yang lengannya terluka. Dia tidak mampu membasuh lengannya yang
terluka itu saat wudu karena bisa berbahaya untuk kesehatannya. Dalam kondisi ini,
Ada orang baru masuk Islam. Dia belum hafal Surah Al-Fatihah, padahal membaca Al-
Fatihah adalah wajib karena ia rukun salat. Dalam situasi ini tidak bisa diputuskan: Berarti
kewajiban salat untuk sementara gugur bagi mualaf tersebut. Yang benar: Salat tetap wajib
baginya dan dia dituntut membaca Al-Qur’an apapun yang ia hafal meski hanya satu ayat.
Jika itu tidak mampu, maka dituntut membaca zikir pengganti tilawah.
6
memutuskan suatu masalah (sebagai pegangan dalam hukum syarak). 9 Kaidah ini
memiliki pengertian bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad selama ada nas. Sekilas
kaidah ini seperti bertentangan dengan fungsi kaidah fiqh yang berperan sebagai media
untuk menafsirkan nas. Tetapi, titik temu dari kontradiksi tersebut adalah fungsi khusus
yang dimiliki oleh kaidah ini yaitu untuk menjelaskan bahwa kaidah fiqh fungsinya
memberikan penafsiran dari nas bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad atau mencari
hukum suatu masalah dimana masalah tersebut masih dijelaskan hukumnya dalam
nas.10
1) (Misalnya) Ada seorang mujtahid yang berijtihad dan berkata bahwa istri yang
ditalak raj’i bahwa dipersyaratkan keridhaan istri terhadap kebasahan rujuknya.
Maka sesungguhnya ijtihad ini tidak benar , diharamkan dan ditolak karena
ijtihad tersebut berselisihan atau menabrak nas syarak yang jelas dari segi
penunjukannya yaitu firman Allah: “Dan suami mereka lebih berhak kembali
kepada mereka dalam (masa) itu”.
2) Qs. An-Nisa 4:12 tentang mawaris. Ayat ini menjerlaskan tentang ketentuan
pembagian harta warisan dalam syariat islam dan setiap bagian warisan yang
telah ditetapkan oleh syariat adalah Qath’i Ad-dalalah yang menjadikannya
tidak boleh ada ijtihad didalamnnya.
Berdasarkan contoh diatas dapat dipahami bahwa kaidah La Masagha li Al-Ijtihad fi
Maurid Al-Nas berlaku selama tidak menyalahi atau berselisihan dengan nas, ijmak,
kias jaliy, 4 perkataan mazhab dan dijelaskan kekeliruan hakim dalam hasil hukum,
sebab atau metodenya.
9 “Nas”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Nas (30 Desember
2020).
10
Jahada Mangka, “Implementasi Kaidah La Masaga Li Al-Ijtihad Fi Maurid Al-Nas Dalam Fikih Islam”,
Bustanul Fuqaga : Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol.2 No.1 (April 2021), hal.28
11 Jahada Mangka, “Implementasi Kaidah La Masaga Li Al-Ijtihad Fi Maurid Al-Nas Dalam Fikih Islam”,
Bustanul Fuqaga : Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol.2 No.1 (April 2021), hal. 36
7
menyangkut soal persaksian dan dakwaan. Maksud muthlaq (umum) dalam kaidah ini
artinya dapat diterima dalam semua kasus dakwaan dan persaksian, baik laki-laki ataupun
perempuan. Selanjutnya, penjelasan penerjemah dapat diterima dengan memenuhi
kriteria berikut:Pertama, terkait kasus tindak pidana qishas dan hadd lebih diutamakan
orang lakilaki. Kedua, penerjemah harus netral, bersifat adil, tidak fasik, terpercaya,
memiliki latar belakang yang jelas. Ketiga, menguasai dua bahasa, bahasa terjemah dan
yang diterjemahkan.
Keempat, pihak hakim tidak paham terhadap bahasa yang digunakan oleh pihak
yang bersengketa atau saksi-saksi yang dibutuhkan dalam kasus tersebut. Kelima,
penerjemah tidak tunanetra. Implementasi kaidah ini secara umum adalah seorang hakim
dapat menerima penjelasan penerjemah yang kompeten dalam memahami keterangan
para pihak yang bersengketa atau para saksi dalam kasus tersebut. Dalam kondisi normal
seharusnya hakim berkomunikasi langsung dengan para pihak yang bersengketa, namun
pada situasi tertentu dimana hakim tidak mampu memahami bahasa yang digunakan oleh
mereka dibutuhkan seorang mediator penerjemah guna menangkap dan memahami
persoalan yang sedang dihadapi dalam persidangan. Hikmah yang dapat diambil dari
kaidah ini adalah dii era globalisasi seperti sekarang ini penting untuk menguasai
berbagai bahasa. Tuntutan zaman yang sudah tidak mengenal batas teritorial menggiring
manusia untuk berkomunikasi secara luas tanpa batas. Maka bahasa menjadi kunci dalam
menguasai cakrawala dunia. Saatnya generasi muda belajar multi bahasa agar dunia
dalam genggaman12
12Kaidah Fikih: Peran Seorang Penerjemah | Islam Kaffah,” accessed November 26, 2022,
https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-peran-seorang-penerjemah/.
8
2. Seseorang boleh mandi wajib sekaligus mengambil air wudhu`. Tetapi, seseora ng tidak
boleh berwudhu` sekaligus mandi wajib. 13
Di antara sikap yang ditekankan para ulama adalah sikap berhati-hati (ihtiyâth).
Kehati-hatian dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan umat ini penting, agar
umat tidak terpecah belah atau bahkan berujung konflik. Prinsip (ihtiyâth) diterapkan,
salah satunya dengan memperkenalkan kaidah "al-khurûj minal khiláf mustahabb" atau
anjuran keluar dari persoalan yang diperselisihkan. Salah satu contohnya adalah Ketika
para ahli fikih mencontohkan mengusap keseluruhan rambut kepala ketika berwudu.
Sebagaimana diketahui, rukun ketiga dalam beradu adalah mengusap kepala. Allah
13
Syamsul Hilal, “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al-
’Adalah XI, no. 2 (2013).
14Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangerang
Selatan: Harakah Book, 2018), hlm 54.
9
berfirman,“Wahai orang yang beriman, ketika kalian hendak melaksanakan shalat,
basuhlah wajah kalian, tangan sampai siku-siku, usaplah (rambut) kepala kalian, dan
kaki-kaki kalian sampai mata kaki”. (QS. Al-Mâ idah [5]: 6). Para ulama memiliki
perberbedaan pendapat mengenai bagian rambut kepala yang harus dibasuh, dan
terdapat tiga pendapat.
2.11 Al-muhafazdzah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil al-jadid al-ashlah
15
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (Tangerang
Selatan: Harakah Book, 2018), hlm 55.
16
Al-’Arabi A. B. M. B, Ahkam Al-Qur’an (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001).
10
tradisi lama yang baik, dan bersamaan dengan membuka diri merespon atau
mengadopsi tradisi baru sejauh itu baik menurut Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kaidah-kaidah fiqih merupakan hal yang penting sebagai pedoman bagi umat
Islam. kaidah fiqhiyyah ialah kaidah yang termasuk dalam kategori ketentuan-ketentuan
17
abdul Wadud Nafis, “Islam, Masa Peradaban,” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2 (2020), hlm 131.
11
hukum fiqh, bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh. Sebab, meski bersifat umum,
obyek kajian kaidah fiqh adalah perbuatan manusia yang menjadi subyek hukum
(mukallaf). Kaidah kaidah tersebutlah yang mampu memecahkan permasalahn yang ada
di kehidupan sehari hari terkait suatu hukum islam. Berdasarkan penguraian tentang
kaidah kaidah tersebut maka dapat disimpulkan terdapat beberapa kaidah memiliki arti
yaitu:
1. Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa Wajib” (Perkara yang menjadi
penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib
2. Maa hurrima isti’mâluhu hurrima it-tikhâdzuhu adalah “apa yang haram digunakan,
haram pula didapatkannya”
3. Al-Masyghul La Yusyghal, Kaidah ini memiliki arti bahwa yang telah terisi tidak
bisa diisi kembali, atau yang telah sibuk tak dapat diisi dengan kesibukan yang lain.
4. Al-maysûr lâ yusqithu bi al-ma’sur Kaidah ini memiliki arti “Yang mudah dilakukan
tidak gugur dengada yang susah dilaksanakan”.
Setiap kaidah yang ada memiliki peranan nya masing masing dalam berbagai kasus
permasalahan yang kita hadapi sehari hari yang berkenaan dengan hukum islam. Sikap
yang ditekankan para ulama adalah sikap berhati-hati (ihtiyâth) dalam menyikapi
perbedaan pendapat di kalangan, agar umat tidak terpecah belah atau bahkan berujung
konflik. Dalam Prinsip (ihtiyâth) diterapkan, salah satunya dengan memperkenalkan 23
kaidah "al-khurûj minal khiláf mustahabb" atau anjuran keluar dari persoalan yang
diperselisihkan
3.2 SARAN
Pemakalah tentunya menyadari jika dalam penulisan makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan. Kedepannya, pemakalah akan
menjelaskan makalah dengan lebih rinci dan mendetail serta dengan menyantumkan
sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, diharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
12
DAFTAR PUSTAKA
abdul Wadud Nafis, “Islam, Masa Peradaban,” Jurnal Al -Hikmah 18, no. 2 (2020).
13
H.A. Dzajuli, Kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).
Huda, Z. (2020). Kaidah Fikih: Hasil Tak Mendustai Proses. Islamkaffah.Id.
Https://islamkaffah.id/kaidah-fikih-hasil-tak-mendustai-proses/
“Ijtihad”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Ijtihad (14 November 2020).
Jahada Mangka, “Implementasi Kaidah La Masaga Li Al-Ijtihad Fi Maurid Al-Nas Dalam
Fikih Islam”, Bustanul Fuqaga : Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol.2 No.1 (April 2021)
Mendudukkan kaidah Mala yatimmul wajib
https://muhammadadithio1453.wordpress.com/2013/03/29/mendudukkan-kaidah-mala-
yatimmul-wajib/
Muhammad Sidqi, Mausu’ah Qawaid Fiqhiyyah, (Beirut : Muassasah ar-risalah).
“Nas”,Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Nas (30 Desember 2020).
Syaikhul Islam Ali, “Kaidah Fikih Politik”; Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama
(Tangerang Selatan: Harakah Book, 2018).
Syamsul Hilal, “Qowa’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam,” Al-’Adalah
XI, no. 2 (2013).
Wakid Yusuf, “Sesuatu Yang Sibuk Tidak Boleh Disibukkan Lagi”, 3 Maret, 2021,
https://wakidyusuf.wordpress.com/2021/03/03/yang-sudah-sibuk-tidak-boleh-
disibukkan-lagi/
14