Mencari Cahaya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

Mencari Cahaya

Di bawah rindangnya pohon-pohon di taman sekolah, aku duduk dengan buku catatan
terbuka di pangkuanku. Jeritan anak-anak yang riang memenuhi udara, tapi bagiku, suara itu
seperti sangat jauh dan terpisah dariku. Hari itu seperti biasa, saat jam istirahat tiba, aku
menghindari kerumunan dan memilih untuk menyendiri di sudut taman yang sunyi.

Dengan pena di tangan dan buku catatanku sebagai teman setia, aku mulai
menggambar kerangka novelku. Anganku membawa pada dunia yang jauh dari realitas ini,
tempat di mana aku bisa menjadi siapa pun yang aku inginkan. Sambil menulis, mataku
menoleh pada kakiku yang sudah diganti dengan kaki robot dingin. Kecelakaan dua bulan
lalu telah merenggut sebagian dari diriku, meninggalkan bekas yang tak terlupa.

Aku menghela napas berat. Meskipun aku berusaha keras untuk menerima kenyataan,
namun tetap saja, luka itu membawa ingatan yang menyakitkan.

"Tidak ada lagi langkah yang leluasa." Aku berbisik pada diriku sendiri, merasa
terjebak dalam tubuh yang tidak lengkap.

Setiap hari, tatapan tak terucap yang menusuk dan cemoohan yang menyakitkan,
itulah yang aku terima. Mereka menyebutku robot jadi-jadian karena kaki ini. Namun aku
mencoba untuk tetap tegar. Aku menatap ke bawah pada kaki robotku, melihatnya sebagai
pelengkap yang sempurna, meski cacat. Setidaknya, aku masih bisa berjalan tanpa tongkat.

Terkadang, aku bertanya-tanya mengapa hidup harus begini. Mengapa aku harus
menderita dan ditertawakan oleh orang lain hanya karena kakiku? Namun, tetap ada sinar
kecil yang masih menyala, menggerakkan pena di tangan kananku.

Dalam dunia imajinasiku, aku bebas. Aku bisa menjadi pahlawan, mengarungi lautan
tak terbatas dengan kaki yang utuh. Cerita-cerita itu adalah tempat perlindunganku, tempat di
mana aku diterima dan dihargai atas imajinasi yang aku miliki.

Aku adalah Anggun Sari, gadis penyendiri yang mencari tempatnya di dunia ini, yang
menemukan kedamaian di antara kata-kata dan kisah-kisah yang kutulis. Aku mungkin
terluka, tapi aku tidak hancur. Aku masih berdiri tegak, walau dengan kaki palsu.

Tanganku yang menulis terhenti begitu aku mendengar bel masuk berdenting. Aku
mengangkat diriku dari tempat duduk di taman, meninggalkan kerangka novel yang belum
selesai. Namun, sebelum aku bisa melangkah menuju kelas, aku berpapasan dengan Raka
Andrelino.

Dia berdiri di depanku, sosoknya terpancar dari wajahnya yang dingin dan tatapannya
yang tajam. Hatiku berdebar tidak karuan. Raka adalah sosok yang misterius, pemuda yang
jarang bersosialisasi dan lebih memilih kesendirian, seperti diriku.
Aku tahu tentang Raka, sebagaimana dia juga tahu tentangku. Dia adalah salah satu
siswa jenius yang seringkali menarik perhatian di sekolah ini. Kisah-kisah tentang prestasinya
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.
Bahkan seminggu lalu, dia berhasil memenangkan Olimpiade IPA tingkat nasional, sebuah
pencapaian yang menakjubkan.

Namun, di balik kejeniusannya, ada rasa sepi yang sama seperti milikku. Kami berdua
adalah orang asing di antara keramaian, terpisah oleh dinding yang tak terlihat.

Dalam sekejap, tatapan kami bertemu, tapi tidak ada kata yang terucap di antara kami.
Hanya rasa canggung yang menggantung di udara, memisahkan kami dalam dunia yang
sama. Aku bisa merasakan getaran energi antara kami, seolah-olah ada magnet yang menarik
namun juga menolak.

Dengan hati yang berat, aku melangkah melewati Raka, menuju kelas dengan langkah
yang ragu. Keheningan menyelimuti kami, tapi dalam diam, ada hal yang tersembunyi di
antara kami.

Sebelum memasuki ruang kelas, aku menoleh sekali lagi ke arah Raka. Dia masih
berdiri di tempatnya, dunia yang dipenuhi misteri mengelilinginya. Aku tersenyum tipis,
merasa ada ikatan yang aneh antara kami. Siapa tahu, suatu hari nanti, kami akan menemukan
cara untuk saling mengerti, di antara dunia yang berbeda yang kami tinggali.

***

Suatu hari, ketika aku sedang berjalan-jalan di koridor sekolah, mataku tidak sengaja
menangkap kilasan sesuatu yang terjatuh ke lantai. Sebuah kertas putih yang terlipat
tergeletak di antara keramaian siswa yang bergegas lewat. Dengan langkah hati-hati, aku
mendekatinya, merasakan getaran aneh yang memenuhi udara di sekitar.

Kertas itu terbuka, menampilkan gambar yang membuatku terbelalak. Di atasnya


tergambar dengan jelas kaki robot yang persis seperti milikku. Hatiku berdegup cepat,
mencoba mencerna apa yang baru saja aku temukan. Aku segera bertanya pada salah satu
temanku yang berada di dekatku, tapi jawabannya tidak lebih dari "hanya sampah biasa."

Namun, dalam keheningan hatiku, aku tahu ada yang berbeda. Aku merasa terpanggil
untuk mengetahui lebih lanjut tentang kertas itu, seperti ada pesan yang tersembunyi di
baliknya. Dengan ragu-ragu, aku memungutnya dari lantai, merasakan getaran yang semakin
kuat dalam diriku.

Setelah mengamati kertas itu dengan seksama, aku menyadari bahwa itu adalah
catatan milik Raka. Tubuhku terdiam dalam kebingungan, tidak bisa memahami apa yang
sebenarnya terjadi. Raka, pemuda yang selama ini selalu dianggap misterius dan dingin,
ternyata memiliki sisi lain yang sama sekali tidak terduga.
Kaki robot itu, gambar yang menghiasi kertas itu, adalah buatan Raka. Dia, yang
selalu berada di antara mesin, telah menciptakan sesuatu yang begitu lbermakna untukku.
Aku bisa merasakan getaran emosi yang mengalir di dalam diriku, campuran antara terharu
dan terkejut.

Mataku terpaku pada kertas itu, menyelami setiap detail yang terukir di atasnya.
Dalam keheningan yang menyelimuti ruang di sekitarku, aku merasa diriku seperti berada
dalam dunia yang baru terbentuk.

Tanpa ragu sedikit pun, aku langsung menanyakan hal ini pada ibu setelah pulang
sekolah.

Kata-kata ibuku terdengar seperti gema yang redup di keheningan ruang tamu saat
aku pulang dari sekolah. Dalam keadaan terkejut, aku menatapnya dengan mata yang terbuka
lebar, mencoba mencerna informasi yang baru saja aku terima.

"Tidak mungkin," gumamku dalam hati, tetapi ekspresi serius ibuku membuatku
segera menyadari bahwa ini adalah kenyataan yang harus aku terima, "apa maksudmu, Ibu?"
desisku dengan suara yang gemetar. Keringat mulai menetes dari pelipisku saat kebingungan
menyelimuti pikiranku.

"Aku kehilangan ingatan?" Aku bertanya dengan ragu, merasa dunia di sekitarku tiba-
tiba terasa berputar cepat.

Ibu mengangguk pelan, matanya penuh dengan belas kasihan.

"Iya, sayang. Kecelakaan itu membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu," jawabnya


dengan suara yang sangat sendu, "dan Raka, dia bukan hanya temanmu, dia adalah
kekasihmu. Dia selalu berada di sampingmu, melakukan apa pun yang bisa dia lakukan
untukmu."

Hatiku berdegup keras, seperti badai yang menderu di dalam dadaku. Bagaimana
mungkin aku tidak tahu bahwa Raka adalah kekasihku? Bagaimana bisa aku lupa akan
perasaanku sendiri? Kacaunya pikiranku, mencoba menangkap potongan-potongan ingatan
yang tercecer.

Tanpa berkata apa pun, aku bangkit, mencoba mengatasi kebingunganku. Dengan
langkah yang tegar, aku meninggalkan rumah, merasa seakan-akan berada di dalam mimpi
buruk yang tidak pernah berakhir. Aku membutuhkan jawaban, aku membutuhkan kepastian.

Di luar, angin malam bertiup lembut, mengibarkan rambutku yang tergerai. Langit di
atas kepala memancarkan cahaya remang-remang, menciptakan suasana yang hening dan
menenangkan. Namun, di dalam hatiku, badai emosi terus bergulir.

Aku tidak tahu pasti ke mana aku akan pergi, tetapi aku tahu aku harus menemukan
Raka. Dia adalah kunci dari kehidupanku yang hilang.
Langkahku terhenti di tepi jembatan, di mana Raka berdiri sendiri, menatap jauh ke
arah samudra yang tenang.

Dengan perasaan yang berdebar-debar, aku mendekatinya dengan hati yang penuh
dengan kegugupan. Raka berbalik menghadapiku, matanya penuh dengan kejernihan yang
memancar di bawah cahaya. Aku bisa merasakan getaran emosi yang memenuhi udara di
sekitar kami.

"Raka," panggilku dengan suara yang penuh dengan ketegangan, mencoba menekan
rasa gugup yang merayap di dalam diriku, "apakah semua yang aku dengar itu benar?"

Dia menatapku dengan pandangan yang dalam, seperti mencoba membaca setiap
pikiran yang bergolak di dalam diriku.

"Apakah kamu sudah mengingat semuanya?" tanyanya dengan suara yang lembut,
penuh dengan harapan.

Aku menggeleng dengan cepat, merasa kehilangan di lautan kebingungan yang terus
menghantui pikiranku. Namun, ada kepercayaan yang tumbuh di dalam hatiku, kepercayaan
bahwa Raka adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupku.

"Tapi aku percaya, Raka. Aku percaya bahwa kamu adalah kekasihku," ucapku
dengan tegas, mencoba menemukan keberanian di dalam diriku.

Tidak ada kata-kata yang terucap di antara kami, hanya senyuman yang terukir di
wajah kami masing-masing. Dalam sekejap, aku melangkah mendekatinya, meraihnya dalam
pelukan yang hangat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang seirama dengan detak
jantungku sendiri, menenangkan kegelisahanku yang terus berkecamuk.

Raka membalas pelukanku dengan lembut, membiarkan rasa kasih sayang mengalir di
antara kami.

"Semoga kamu cepat sembuh, Anggun," bisiknya dengan suara yang penuh dengan
kehangatan, seolah-olah janji bahwa kita akan menghadapi segala rintangan bersama-sama.

Dalam pelukan ini, aku merasakan kedamaian yang telah lama hilang di dalam diriku.
Meskipun misteri yang mengelilingi kecelakaan itu masih belum terpecahkan, aku tahu
bahwa aku tidak sendirian.

Hari-hari berlalu dengan Raka selalu di sisiku, seperti pelindung setia yang tidak
pernah lelah menemani langkahku. Di antara kunjungan ke dokter dan terapi pemulihan, dia
adalah bahu yang kuat yang selalu ada untukku. Senyumnya yang lembut dan kata-kata
penyemangatnya menjadi sumber kekuatan bagiku di setiap langkah.

Bersama-sama, kami menaklukkan setiap rintangan yang menghadang, tanpa


kehilangan harapan sedikit pun. Aku belajar kembali tentang diriku sendiri, mengikuti jejak
memori yang perlahan-lahan kembali ke dalam ingatanku. Setiap detik yang kami habiskan
bersama, menjadi langkah kecil menuju kesembuhan.
Dan akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika sinar matahari menyinari langit,
keajaiban terjadi. Saat itu, di tengah-tengah perjalanan, ingatanku yang terlupakan mulai
kembali. Seperti benang yang diikat kembali, potongan-potongan kenangan terhubung
kembali dalam benakku, membuka pintu menuju masa lalu yang terpendam.

Aku mengingat segalanya. Aku mengingat kecelakaan itu, rasa sakit yang melanda,
dan perasaan yang terhempas dalam kekacauan itu. Namun, aku juga mengingat kebaikan
hati Raka, cinta yang tak pernah pudar, dan kesetiaan yang selalu menemani setiap
langkahku. Semua itu, adalah bagian dari kisah hidupku.

Dengan mata yang berbinar dan hati yang penuh rasa syukur, aku memeluk Raka erat-
erat. Dia adalah bagian dari kehidupanku, bagian yang tidak akan pernah terhapus meski oleh
waktu.

Anda mungkin juga menyukai