Nikah Mutah Dan Sirri
Nikah Mutah Dan Sirri
Disusun oleh :
1443 H / 2022 M
1
I. PENDAHULUAN
Selain itu, sering pula agama islam dijadikan kedok bagi kalangan-
kalangan yang kurang mengetahui esensi dari Al-Qur’an untuk melakukan hal-hal
yang sejatinya diharamkan oleh Allah, seperti nikah mut’ah dan sirri. Sehingga
banyak kalangan yang salah dalam penerapan hukum dalam masalah ini.
III. PEMBAHASAN
1
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustak Al-Kautsar,
2011).hlm.149
2
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1989). Hlm.37
2
Menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan mazhab Hambali,
serta jumhur sahabat dan tabi'in (kecuali beberapa orang saja), nikah
mut'ah dilarang untuk selama-lamanya.
Dari Madzhab Syafi’, Imam Syafi’i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-
Umm (V/85) mengatakan, “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua
nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan,
aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan.”
Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu’
(XVII/356) mengatakan, “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, karena
pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq,
maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H)
dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: “Nikah mut’ah ini bathil
menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani
(wafat 587 H) dalam kitabnya Bada’i Al-Sana’i fi Tartib Al-Syara’i
(II/272) mengatakan, “Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu
nikah mut’ah”
Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam
kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, “Nikah Mut’ah ini adalah nikah
yang bathil.” Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin
Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah
haram.3
Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya
Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334)
mengatakan, “hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah mencapai
peringkat mutawatir” Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H)
dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, “Apabila
seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya
batil.”4
Nikah ini pernah diperbolehkan dalam masa Rasulullah Saw,
namun kemudian Allah menghapuskannya melalui lisan nabi-Nya untuk
selamanya. Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata:
3
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid 2, (Semarang: Asy-Syifa,
1990).hlm.471
4
http://crisfoundation2013.blogspot.com/2013/05/nikah-siri-mut’ah-dalam-
pandangan-agama-dan.html.
3
“Rasulullah Saw melarang nikah mut’ah dan juga daging keledai
piaraan pada masa perang Khaibar”. (Muttafaqun Alaih).
Lebih lanjut dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah, Imam Al-Baghawi
mengatakan, para ulama telah sepakat mengharamkan nikah mut’ah.
Kesepakatan merupakan ijma’ kaum muslimin. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia menyebutkan tentang adanya keringanan bagi orang yang
terpaksa, seperti karena membujang yang cukup lama, dan setelah itu Ibnu
Abas menarik kembali pendapatnya tersebut setelah mendengar adanya
larangan nikah mut’ah. Hal itu seperti yang dijelaskan dalam hadits
berikut ini.5
Dari Abu Jamurah, ia bercerita, aku pernah mendengar Ibnu Abbas
ditanya tentang menikahi wanita dengan nikah mut’ah, maka ia
memberikan keringanan kepadanya. Selanjutnya ia berkata kepada Ibnu
Abbas, “Sesungguhnya hal itu terjadi pada keadaan yang benar-benar
mendesak (berat), sedangkan jumlah kaum wanita banyak dan
sebagainya.”
Dalam kitab Ar-Raudhoh An-Nadiyah disebutkan, “Tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama bahwa nikah muta’ah itu memang
ada dalam syariat, sebagaimana yang secara jelas disebutkan dalam Al-
Qur’an:
“Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) diantara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” (An-
Nisa’:24).6
Dalam kitab Shahihaini juga disebutkan sebuah hadits dari Ibnu
Mas’ud, ia menceritakan, “Kami pernah berperang bersama Rasulullah
Saw, sedang kami tidak disertai istri-istri kami, maka kami katakan,
‘Wahai Rasulullah, tidakkah kita perlu bervasektomi?’ Maka beliau
melarang kami melakukan hl tersebut. Kemudian beliau memberikan
keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan baju sampai batas
waktu tertentu.”
Dalam masalah ini terdapat banyak hadits. Dan ada hadits yang
menask (menghapus) hal tersebut. Imam Muslim dan perawi lainnya
meriwayatkan dari hadits Sabrah Al-Jahini, ia pernah berperang bersama
5
M.Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab... 101 Soal Perempuan yang
Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2011).hlm.78-79
6
Sulaiman Rasyid , Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2013).hlm.396
4
Nabi dalam rangka membebaskan kota Makkah. Kemudian Rasulullah
mengizinkan mereka untuk menikahi wanita secara mut’ah. Ia
mengatakan, “Sebelum sempat hal itu berjalan sehingga beliau
menharamkannya.”
Dalam lafadz yang lain juga dari hadits Sabrah Al-Jahinni
disebutkan, “Sesungguhnya Allah mengharamkan hal itu sampai hari
kiamat.”7
عن زرارة عن ابي عبد هللا انه قال إن كانت تحيض فحيضة وإن
كانت التحيض فشهر ونصف.
Dari Zurârah dari Abû 'Abdillâh as bahwa dia telah berkata, "Jika
dia haid, maka satu kali haid, dan jika tidak haid, maka satu bulan
setengah."
عن ابي الحسن الرضا قال قال ابو جعفر قال عدة المتعة خمسة و
اربعون يوما واالحتياط خمسة واربعون ليلة.
Dari Abû Al-Hasan Al-Ridhâ as berkata: Abû Ja'far as telah
berkata, "'Iddah mut'ah itu 45 hari dan hati-hatinya 45 malam."
Dalam pernikahan mut'ah, tidak ada talak. Artinya, si suami tidak
mempunyai hak talak selama pernikahannya itu. Pernikahan berakhir
dengan habisnya masa itu sendiri, atau dengan jalan menghibahkan
(menghadiahkan) sisa masa nikahnya itu. Apabila masanya sudah habis,
maka pernikahan berakhir begitu saja, sesuai dengan berakhirnya waktu
pernikahan tersebut. Apabila masa Nikah Mut'ahnya sudah beraakhir atau
sisa waktu mut'ah tersebut dihibahkan dan sebelum melakukan hubungan
badan, maka wanita tersebut tidak ada masa iddahnya.9
7
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustak Al-Kautsar,
2011).hlm.149-151
8
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1989). Hlm.37
9
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, (Bandung: Al-Ma’arif, 1997). Hlm58-59
5
Apabila telah melakukan hubungan badan, maka iddah wanita
tersebut adalah selama empat puluhlima hari. Apabila waktu masa Nikah
Mut'ah tersebut berakhir ketika si wanita sedang haid, maka masa haidnya
itu tidak dihitung sebagai masa iddahnya. Apabila wanita tersebut hamil,
maka iddahnya sampai melahirkan.
Apabila suaminya itu meninggal dunia, maka iddah wanita tersebut
adalah empat bulan sepuluh hari apabila tidak hamil. Apabila hamil, maka
diambil waktu iddah yang paling lama di antara dua masaiddah itu, apakah
empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.10
10
http://crisfoundation2013.blogspot.com/2013/05/nikah-siri-mut’ah-dalam-
pandangan-agama-dan.html.
11
K.H Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah Keluarga, (Jakarta: Gema Insani,
2004).hlm.54
6
1. Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang
dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan
masalah thalaq, iddah dan waris.
2. Banyak hadits-hadits yang tegas menyebutkan harmnya.
3. Umar ketika menjadi khalifah dengan berpidato diatas
mimbar mengharamkannya dan para sahabatpun
menyetujuinya, padahal mereka tidak akan mau menyetujui
sesuatu yang salah andaikata pengharaman kawin mut;ah
itu salah.
4. Al-Khattabi berkata: haramnya kawin mut’ah itu sudah
ijma’, kecuali oleh beberapa goongan aliran syiah, menurut
kaidah mereka (Syiah) dalam persoalan yang
diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat
kembali kecuali kepada Ali, padahal ada riwayat yang sah
dari Ali kalau kebolehan kawin mut’ah sudah dihapuskan.
5. Kawin mut’an bertujuan sekedar pelampiasan syahwat,
bukan untuk mendapatkan anak atau memelihara anak
sebagaimana maksud pokok perkawinan.
6. Bila nikah mut’ah terjadi, dapat membahayakan
perempuan, karena ia ibarat benda yang dipindahkaan dari
satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak,
karena mereka tidak mendapatkan hak waris dan tidak pula
mendapat hak pemeliharaan.
Menurut agama islam, nikah itu tidak boleh secara sem bunyi-
sembunyi, tetapi harus dipublikasikan agar keluarga, tetangga, handai
taulan mengetahuinya. Nabi memberi pesan agar nikah itu dipublikasikan,
diwalimahkan, disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga. Bahkan
beliau menganjurkan agar melaksanakan walimah walaupun hanya
memotong seekor kambing.
Hikmah yang diperoleh dari publikasi nikah itu agar terhindar dari
fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan, sekaligus
menutup adanya yang bersangkutan (khususnya istri) diminati orang lain.
Walaupun demikian, dalam suatu kasus, sirri itu dianggap perlu
karena pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan bersama, baik bagi
pihak suami atau bagi pihak istri. Artinya nikah sirri itu dilakukan dalam
7
rangka penyelamatan yang bersangkutan dari kemungkinan sesuatu
mudharant apabila nikah itu cepat-cepat dipublikasikan secara terbuka.
Oleh karenanya, kebolehan nikah sirri (dalam pengertian diatas) itu
mestinya hanya bersifat sementara karena pertimbangan-pertimbangan
kemaslahatan bersama dan selanjutnya hendaklah dipublikasikan. Akan
tetapi nikah sirri yang dimaksudkan adalah nikah tanpa wali atau tanpa
saksi, maka nikah sirri tersebut tidak sah.12
1) Bagi Istri
Secara hukum:
- Istri siri tidak dianggap sebagai istri sah
- Istri siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia
meninggal dunia
- Istri siri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda
dianggap tidak pernah terjadi
Secara sosial:
- istri siri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang
melakukan perkawinan siri sering dianggap telah tinggal
12
Ibid, hlm.54-55
8
serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias
kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.
2) Bagi anak
- Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah
tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi
status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni Status anak
yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak
mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan
pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte
kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah,
sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak
tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam
secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
- Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan
hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja,
suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah
anak kandungnya.
- Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya
kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.13
IV. KESIMPULAN
13
http://upipagow.blogspot.com/2014/01/dampak-perkawinan-siri-bagi-
perempuan.html.
9
haidl, Empatpuluh hari bagi perempuan yang sudah tidak berdarah haidl
dan tidak ada hak waris-mewarisi bagi “suami-istri” tersebut.
Sedangkan nikah sirri, dilihat dari kata-katanya sirri itu berart
sembunyi sembunyi atau tidak terbuka. Jadi nikah sirri bisa berarti
nikahsesuai dengan ketentuan agama, tetapi tidak dicatat dalam pencatatan
administrasi pemerintah (KUA dan lain-lain) atau nikah sesuai dengan
ketentuan agama Islam dan dicatat oleh pencatat nikah, tapi tidak
dipublikasikan dalam bentuk walimah. Ada beberapa pendapat mengenai
hukum dari nikah sirri.
V. PENUTUP
10
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, K.H Miftah. 2004, 150 Masalah Nikah Keluarga, Jakarta: Gema Insani.
http://crisfoundation2013.blogspot.com/2013/05/nikah-siri-dalam-pandangan-
agama-dan.html. Diakses pada tanggal14 Juni 2014.
http://upipagow.blogspot.com/2014/01/dampak-perkawinan-siri-bagi-
perempuan.html. Diakses pada tanggal 14 Juni 2014.
11