Nikah Mut'ah Fiks
Nikah Mut'ah Fiks
Nikah Mut'ah Fiks
Abstract
The quran explains that everything was created by Allah in pairs between male and
female and humans (men) instinctively have a desire for offspring, wealth and also really like
women of the opposite sex), and vice versa. To provide the best way for human "relationships"
to occur with other kinds, Islam establishes a way or provision, namely marriage. A good
marriage is maintaining the essence and purpose of marriage. It is known that there are
many types of marriage, one of which is mut'ah marriage. How is mut'ah marriage according
to Islamic law?
This mut'ah marriage is a controversial marriage. Uniquely, this mut'ah marriage is
even perpetuated and perpetuated by a group in the name of religion. Mut'ah marriages in
Indonesia are also known as contract marriages, quantitatively it is difficult to record,
because contract marriages are carried out and are not reported, and legally they are not
regulated in any formal legal way.
Abstrak
Al quran menjelaskan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah berpasang-
pasangan antara laki-laki dan perempuan dan manusia (laki-laki) secara naluriah di samping
mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan juga sangat menyukai
lawan jenisnya perempuan), demikian pula sebaliknya. Untuk memberikan jalan terbaik bagi
terjadinya “perhubungan” manusia dengan lain jenisnya itu, Islam menetapkan jalan atau
suatu ketentuan yaitu perkawinan. Perkawinan yang baik adalah memelihara hakekat dan
tujuan perkawinan. Telah dikenal ada banyak jenis perkawinan, salah satunya adalah kawin
mut’ah. Bagaimana kawin mut’ah ini menurut Hukum Islam?.
Nikah mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang kontroversial. Uniknya,
nikah mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh segolongan dengan
mengatasnamakan agama. Nikah mut’ah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin
kontrak, secara kuantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan
selain tidak dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun.
Terjemahannya
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah."1
Kemudian Q5. Yasin/36:36
Terjemahannya
"Maha suci Tuhan yang telah menciptakan semuanya berpasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri,
2
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui."
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan malatinya
berbuat sekehendaknes, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan
kacau tidak beranaan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan anuran sebagaimana
telah diterangkan oleh utusan-Nya, Muhammad SAW. 3
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengartian dari nikah Mut'ah ?
2. Bagaimana nikah Mut'ah menurut hukum Islam ?
3. Apa saja dalil yang memeperjelas dari nikah Mut'ah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan dan memaparkan perngertian dari nikah Mut'ah
2. Untuk menjelaskan dasar serta hukum nikah Mut'ah dalam islam
3. Untuk memaparkan pendapat dari beberapa ulama tentang nikah Mut'ah
1
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012) h.756
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.628
3
http://argaryandika.blogspot.com/2013/09/makalah-fiqh-munakahat-iinikah-mutah.html
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Mut'ah
Mut'ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu' artinya bersenang-
senang. Sedangkan Nikah Mut'ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan
untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan
berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah
Mut'ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Gambaran lebih jelas yang dimaksud dengan nikah mut'ah - sebagaimana yang telah
dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata mut'ah (Arab) ialah
sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan
sebagai "ganti rugi" kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja
tamatta'a dan istamta'a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau
bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji, tamattu' disebut demikian karena memberikan
kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya. 4
Secara istilah, yang dimaksud nikah muťah adalah, seseorang yang menikah dengan
seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan
sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita itu
mengucapkan, "Engkau kukawinkan," atau "Engkau kunikahkan,"atau "Engkau
kumut'ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian, selama sekian hari (bulan atau tahun
atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),". Kemudian orang laki-
laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, "Aku terima."
Ada beberapa pendapat ulama mengenai defenisi nikah mut'ah ini, di antaranya
yakni:5
1. Ibnu Qudamah mengatakan:
4
Lihat A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, (Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008)
hlm. 217
5
http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-nikah-siri-dan-nikahmutah.html diakses 20 Agustus 2011
Artinya:
"nikah mut'ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya
waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya mengawinkan
putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini,
atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu
yang telah ditentukan atau yang belum.
2. Sayyid Saabiq mengatakan:
Artinya:
"perkawinan muťah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari,
atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut'ah karena laki-laki mengambil
manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-
senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka pengertian nikah mutah adalah suatu ikatan
perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah
habis, maka berakhir pulalah ikatan perkawinan tersebut, sehingga sama sekali tidak
untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang
keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekuensi
langgengnya pernikahan.
6
Mutawalli M. Assya’rawi, 2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta: Gema Insani Press hlm. 172
7
http://argaryandika.blogspot.com/2013/09/makalah-fiqh-munakahat-ii-nikahmutah.html
1. Dalil al-Quran
Firman Allah: QS.al Maarij: 29-31
Artinya:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, Kecuali terhadap isteri- isteri
mereka atau budak-budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
Ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka Itulah orang-
orang yang melampaui batas."
Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang
kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan
orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada
kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu
yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang
dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya
melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut'ah,
bukanlah istri dan bukan pula budak. Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan
kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari
perkawinan mut'ah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta
warisan
b. Idah nikah mut'ah tidak seperti nikah biasa
c. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya
dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut'ah
d. Dengan melakukan mut'ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin karena
wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab
muťah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak,
maka termasuklah orang yang melakukan mut'ah itu di dalam firman allah8
8
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm.
312
2. Dalil as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mut'ah pada tahun penaklukan
Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya.Ada yang
mengatakan, larangan nikah mut'ah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah
pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan
daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu Abbas,
"Rasulullah saw melarang nikah mut'ah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar."
Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua
masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di
antaranya dengan perang Khaibar 9.
Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya
syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan
tetapi kemudian diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam
pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam).
Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam
datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka
dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat
imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya
akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan
terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan
mengipotenkan kemaluannya10." Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud:
"Dari mas'ud berkata waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan
tidak bersama kami wanita, maka kami berkata: bolehkah kami mengkebiri (kemaluan
kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah
memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju
sampai satu waktu"
9
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 2007, Zaadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta: Pustaka Azzam hlm. 388
10
Rifa’i, Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978. hlm. 17
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para sahabat hanya selama tiga hari
setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
Artinya:
"Dari Salamah bin Akwa' herkata: Rasulullah SAW merodserikan keringanan nikah
muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hati kemudian belias
melarangnya" (HR Muslim)
Artinya: Dari Ali ra. berkata: Rasulullah melarang nikah muth'ah pada tahun Khaybar.
Artinya:
Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak
muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai
hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah).
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya muťah telah
dinasakh. Hal dinyatakan dalam hadis berikut:
Artinya:
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan
mut'ah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat,
maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut'ah,
hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka (HR. Muslim) 11
Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah mut'ah
diperbolehkan pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat. Akan tetapi
pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu, sangat
jelas bahwa hukum nikah mut'ah ini haram dan akan berdosa bagi yang
melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan.
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa macam pendapat; yaitu: 12
1. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam
alAuzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara lain berbunyi:
Artinya:
"bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut'ah, maka ia berkata: hai
manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut'ah.
11
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm.
313
12
http://ukhuwahislah.blogspot.com/2013/06/makalah-nikah-siri-dan-nikahmutah.html
Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat".
(H.R. Ibnu Majjah).
Artinya:
"bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perkawinan mut'ah terhadap wanita
pada peperangan Khaibar dan (melarang pula) makan daging keledai peliharaan".
(H.R. An-Nasaa'i)
2. Imam Zufar berkata: perkawinan mutah hukumnya sah, meskipun syaratnya batal.
Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam. Dikatakan sah karena keterangan
hadits yang dikemukakan oleh pengikut kaum Syi'ah ("bahwasanya Umar berkata:
dua macam perkawinan mut'ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW.
Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap
pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan mut'ah terhadap wanita (diwaktu
tidak. bepergian) dan kawin mut'ab (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah
bajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu),
maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.), tetapi
syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya,
kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa pendapat di atas,
pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang sependapat dengannya,
karena memandang bahwa kebolehan kawin mut'ah telah dihapus oleh larangan
melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majjah dan An-Nasaa'i di atas.
3. Ijma'
Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya.
Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah mut'ah itu
telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama
ahli sunnah yang menghalalkannya.
Disamping yang telah dikemukakan di atas ada beberapa alasan pengharaman
kawin mut'ah ini yaitu:
Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah
rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan Nikah Mut'ah
kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya
nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-
Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara keislaman mereka
masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya sebelum
datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperangan, maka tidak masuk akal
dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan
berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid
dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar
dibolehkannya Nikah Mut'ab.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui firmannya
dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut'ah menyusahkan perempuan dan anak
yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan tabi'in
yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mut'ab, pernikahan seperti ini terjadi kontradiksi
terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah suatu
ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat
untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang
telah digariskan Allah swt dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih
sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya
keturunan dan kelangsungan hidup manusia 13 .Seperti Firman Allah swt:
Artinya :
“Dan Allah membuat (pula perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu,
tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, kemana
saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan
dia berada pula di atas jalan yang lurus?.”QS. An-Nahl : 76
13
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. ,hlm 25
Artinya:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya [263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain [264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu." (QS.An-Nissa: 1)
Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada
pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang
dari padanya Adam a.s. diciptakan.
Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau
memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : As aluka
billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai
dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah
mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan habisnya
waktu yang ditentukan dalam agad atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan
berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh
waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri yang
boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang istri.
Dan ini dapat dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan dalam
pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan
pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya
telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah merupakan
bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga,
menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan
menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan
adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara,
atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia
menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang dilakukan sebelumnya,
bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan
tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ab,
selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin) dan
syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak mudhorat (dampak
negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu,
Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya terdapat berbagai macam
kerusakan.
PENUTUP
SIMPULAN
Nikah Mut'ah adalah pernikahan kontrak yang disepakati untuk jangka waktu tertentu,
yang secara otomatis berakhir ketika waktu yang disepakati habis, tanpa melalui proses talak.
Dalam konteks Islam, ada perbedaan pandangan mengenai praktik ini. Secara bahasa,
"mut'ah" berasal dari bahasa Arab "Al-Tamattu'," yang berarti bersenang-senang atau
menikmati. Pernikahan ini disepakati dengan pemberian sejumlah harta, makanan, atau
pakaian dari pihak laki-laki kepada perempuan.
Secara umum, mayoritas ulama dari empat mazhab besar dalam Islam (Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) menyepakati bahwa nikah mut'ah haram, berdasarkan dalil dari
Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'. Ayat-ayat Al-Qur'an, seperti dalam QS. Al-Maarij: 29-31,
hanya menghalalkan hubungan badan dalam ikatan pernikahan sah dan perbudakan. Nikah
mut'ah tidak diakui sebagai bentuk pernikahan sah karena tidak memiliki aspek-aspek penting
dari pernikahan, seperti hak waris dan batasan jumlah istri.
Awalnya, nikah mut'ah sempat diperbolehkan pada masa-masa awal Islam, khususnya
dalam kondisi darurat seperti perang, karena untuk menjaga agar orang-orang Islam tidak
terjerumus dalam perzinaan. Namun, dalam beberapa hadits, seperti yang diriwayatkan oleh
Ali bin Abi Thalib dan Salamah bin Akwa', disebutkan bahwa Rasulullah SAW kemudian
melarang praktik ini pada waktu penaklukan Makkah, dan melarangnya untuk selamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut'ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, Al-
Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008.
Abd. Shomad, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:
Kencana Predana, 2010.
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012.
http://argaryandika.blogspot.com/2013/09/makalah-fiqh-munakahat-ii-nikah- mutah.html.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma'ad Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta: Pustaka Azzam,
2007
Mutawalli M. Assya'rawi, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta: Gema Insani Press, 2007
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002.
Rifa'i, Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1978.