Ringkasan Disertasi Makinuddin
Ringkasan Disertasi Makinuddin
Ringkasan Disertasi Makinuddin
1974 Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu KeIslam-an Konsentrasi Pemikiran Islam Oleh : Makinudin FO. 1507.20 PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN IKRAR TALAK DI INDONESIA PASCA UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Ke-Islam-an Konsentrasi Pemikiran Islam
PROGRAM PASCA SARJANA S3 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2011 1
PROGRAM PASCA SARJANA S3 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2011
PENGESAHAN DIREKTUR
Disertasi ini telah diuji dalam ujian tahap pertama pada tanggal 21 Pebruari 2011 dan dianggap layak untuk diuji dalam tahap kedua Tim Penguji: 1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. 2. Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A. 3. Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, M.A. 4. Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. 5. Prof. Dr. H. Said Aqil al-Munawar, M.A. 6. Prof. Dr. H. Zainul Arifin, M.A. 7. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. (Ketua) (Sekretaris) (Promotor/Anggota) (Promotor/Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Direktur
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya penulisan disertasi ini, tidak ada ungkapan kata yang pantas diucapkan kecuali hanya memanjatkan syukur dan hamdalah kepada Allah SWT. yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis. S}alawa>t dan sala>m semoga terlimpahkan kepada Nabi Muh}ammad ibn 'Abdilla>h yang telah mengantarkan umat manusia dari jalan yang gelap ke jalan yang lurus, sekaligus sebagai mubayyin tehadap nas}-nas} Alqur'an, baik yang bersifat ta'ki>d, tafsi>r maupun tashri>'. Penulis menyadari bahwa kesabaran, kemauan keras, keuletan dan ketekunan dalam pengumpulan data penelitian mendorong penulis untuk berhubungan dengan pihak lain. Baik dalam hal untuk mendapatkan data kepustakaan maupun data lapangan sehingga terwujudlah disertasi ini. Oleh karena itu, disertasi ini tidak sematamata merupakan hasil karya penulis sendiri, tetapi ada bantuan dari pihak lain yang telah meluangkan waktunya secara tulus ikhlas. Untuk itu, ucapan terima kasih yang mendalam disampaikan kepada: Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si., yang telah banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan di tengah kesibukannya sewaktu dalam perkuliahan maupun dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya. Beliau selalu menanyakan tentang studi penulis pada Program Pascasarjana IAIN Surabaya walaupun bertemu di tengah jalan. Inilah di antara banyak dorongan yang selalu kembali menyegarkan dan menginjeksi semangat penulis untuk segera menyelesaikan studi. Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA. sekaligus promotor pengganti almarhum Prof. Dr. KH. Sjechul Hadi Permana, S.H., M.A yang telah mendorong penulis mengikuti program Pascasarjana S3, memberikan masukan dan selalu menanyakan kapan disertasi selesai. Lebih dari itu, beliau sebagai dosen pembina mata kuliah Tafsir Ahkam di Fakultas Syari'ah IAIN Surabaya selalu memberikan masukan dan arahan dalam metode pengajaran Tafsir Ahkam. Demikian juga almarhum Prof. Dr. KH. Sjechul Hadi Permono, S.H., M.A. yang telah memberikan ilmu, baik sewaktu di S2 maupun S3. Dia telah mendorong kepada para mahasiswanya untuk selalu
berpikir maju, terutama terkait dengan istinba>t} dan istidla>l dalam upaya memecahkan masalah kontemporer, semoga Allah SWT. menerima segala amal baiknya dan mengampuni kesalahan dan kekhilafannya, a>mi>n ya> rabb al-'a>lami>n. Dr. Iskandar Ritonga, M.A., selaku promotor yang dengan penuh kesabaran, ketekunan dan ketelitian dalam membimbing, memberikan masukan materi dan bahkan sampai sekaligus meminjami buku serta mengoreksi tulisan secara mendalam, sejak pengajuan proposal dan penyelesaian disertasi. Beliau sangat bertanggung jawab dalam memberikan bimbingan penyelesaian disertasi, sehingga setiap kata yang ada pada disertasi tidak luput dari pandangannya, tak kurang hingga tanda baca pada setiap detail kalimat. Begitu juga, Prof. Dr. H. Abd. A'la, M.A., waktu itu menjabat sebagai Asisten Direktur I dan sekarang menjabat Pembantu Rektor I IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan sikap sederhana telah banyak mengantar dalam membantu proses menuju ujian kualifikasi. Saya sangat berhutang budi kepada ayahanda, almarhum H. Jamhari (wafat 1964) ketika penulis masih berusia kanak-kanak, ibu Hj. Fatimah yang membesarkan dan memberikan kasih sayang. Semoga jerih payah yang telah dicurahkan demi kesuksesan anaknya dibalas oleh Allah SWT. dan selalu dalam ampunan-Nya. Penulis juga sangat berhutang budi kepada para guru, dosen dan kyai yang telah memberikan ilmu, mengarahkan dan meletakkan pondasi yang kokoh sehingga tertanam nila-nilai keislaman yang kuat. Dukungan dan perhatian yang sangat besar untuk menempuh studi di S3 dari istri yang tercinta, Nur Cholifatur Rosidah, S.Pd., dan anak-anak saya, Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam (sedang menempuh penyelesaian skripsi di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya), Faradina Millatul Maula Syarifah (kelas 3 SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng) dan Fawallia 'Ansyarril Alamiah (kelas 5 SDN Grogol II Jombang). Saya ucapkan terima kasih atas pengertian dan kesabarannya. Dukungan yang sangat berharga dari ketua dan/atau hakim Pengadilan Agama Mojokerto (Drs. Sumasno, S.H., M.H.), Pengadilan Agama Jombang (Drs. Idham Kholid, S.H.) dan Pengadilan Agama Kediri (Drs. Masykuri Hasan, M.HI dan A. Djaeni, S.H.), Pengadilan Agama Singaraja (Drs. H. Mudzakkir
Soelsap, M.HI.) yang telah memberikan arahan, masukan dan sekaligus meminjamkan buku-buku yang terkait dengan disertasi, lebih-lebi mereka sebagai orang yang langsung bertugas menangani dan menyelesaikan masalah ikrar talak. Sungguh sangat besar ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman dosen, baik di IAIN Sunan Ampel Surabaya maupun Institut Keislaman Hasyim Asy'ari (IKAHA) Tebuireng yang selalu memberikan semangat untuk cepat selesai dalam pembuatan disertasi. Lebih-lebih pihak-pihak yang telah memberikan data kepustakaan, baik di perpustakaan IAIN, IKAHA maupun Pesantren Tebuireng dan Madrasatul Qur'an Tebuireng. Terima kasih yang sangat mendalam kepada Masrokhin Sadja, M.HI. dan isterinya, yang dengan tekun dan kesabaran dapat membantu dalam proses pengetikan disertasi, bahkan telah dimulai sejak awal penulis mengikuti studi di S3 dalam penulisan tugastugas berupa makalah. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT. penulis panjatkan doa semoga amal baik yang mereka berikan, berupa bantuan, dorongan, dan arahan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT. dengan berlipat ganda, a>mi>n ya> rabb al-'a>lami>n. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu ke-Islam-an di Indonesia dan diteruskan oleh penulis atau peneliti berikutnya.
12 Januari
Makinudin
ABSTRAK Judul : Pandangan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Ikrar Talak di Indonesia Pasca Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974S Penulis : Makinudin Promotor : Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. Kata kunci : Hukum Islam, Ikrar Talak, Indonesia Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam adalah hukum positif di Pengadilan Agama Indonesia. Akan tetapi, masih banyak orang Islam yang tidak mau menjalankan dan meyakini bahwa pelaksanaan talak yang diucapkan di depan Pengadilan adalah sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada nas}. Bahkan, di antara mereka menganggap tidak sesuai dengan syariat Islam terutama mereka yang selalu berpegang teguh pada kitabkitab fiqih salaf. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang mendalam tentang ikrar talak di depan Pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan 1) mengapa ikrar talak di Indonesia harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama ? dan 2) bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan ikrar talak di Indonesia ? Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan ikrar talak di Indonesia sebagai mana yang berlaku di pengadilan agama dan memandangnya dengan pisau hukum Islam secara utuh dan bulat. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut dilakukan penelitian kualitatif. Sementara itu, data penelitian ini bersumber dari data kepustakaan, berupa kitab, buku, majalah dan perundangundangan yang terkait dengan ikrar talak dan data lapangan sebagai penguat data kepustakaan melalui wawancara dengan hakim dan atau panitera Pengadilan Agama Mojokerto, Jombang dan Kediri. Untuk memahami fenomena terkait denggan pelaksanaan ikrar talak di depan Pengadilan yang sedang diteliti, maka data yang telah terkumpul dianalisis secara induktif-deduktif dengan melalui
pendekatan kaidah lughawiyah dan tashri'iyah, maslahah dan teori utilitarianisme Bentham. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) pelaksanaan ikrar talak di Indonesia harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama, karena untuk mempersulit dan menghindari perbuatan kesewenangwenangan suami dalam menceraikan isterinya serta untuk melindungi perempuan. 2) menurut pandagan hukum Islam, bahwa pelaksanaan ikrar talak sebagaimana berlaku di Indonesia adalah sesuai dengan makna yang terkandung dalam Alquran, surat al-Nisa>' (4) : 34, 35 dan al-T{ala>q (65): 1-3 dan jiwa hadis abghad al-h}ala>l ila Alla>h al-t}ala>q dan juga sesuai dengan maslah}ah yang merupakan maqa>sid al-shari>'ah yang berupa h}ifz al-nasl (memelihara keturunan) walaupun tidak sesuai dengan fiqh yang bereda di kalangan masyarakat muslim. Dengan jawaban tersebut, pelaksanaan ikrar talak di depan pengadilan bersifat mengikat kepada umat Islam Indonesia, karena ia adalah produk ahl al-h}al wa al-'aqd sesuai dengan kaidah fiqh bahwa keputusan pemerintah dalam masalah ijtihadiyah-adalah mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
ABSTRACT Title : The Implementation of Pledge of Divorce in Indonesia in the Perspective of Islamic Law after The Act Number 1 Year 1974 : Makinudin : Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. : Islamic Law, Pledge of Divorce, Indonesia
qa>'idah lughawiyah and tashri'iyyah, maslah}ah theory and Bentham theory of utilitarianism. The result of this research shows 1) The implementation of declaration of pledge of divorce should be done before the court of religion affair is in order to complicate and avoid the husband's unfairness and to admire the woman's dignity as well 2) According to view punish of Islam, that implementation of divorce pledge such as in indonesia is as according to meaning which implied in al quran, letter of al-Nisa>' (4) : 34, 35 and al-T{ala>q (65): 1-3 and head of hadis lawful abghad h}ala>l ila Alla>h al-t}ala>q and as according to problems of representing maqa>sid al-shari>'ah which in the form of h}ifz al-nasl (looking after clan) although disagree with fiqh circulating in moslem society. By answering, execution of divorce pledge in front of justice have the character to commit to people of Islam Indonesia, because he is the product of ahl hal wa al-'aqd as according to methode to fiqh, decision of government in problem of ijtiha>diyah is fasten and bridge the gap opinion.
The Act Number 1 Year 1974, The Government Regulation Number 9 Year 1975, The Act Number 7 Year 1989, The Act Number 3 Year 2006, The Act Number 50 Year 2009, and Islamic Law Compilation are positive law at Indonesia Court of Religion Affair. However, there are still many Indonesian people who are unwilling to implement and believe the implementation of divorce declaration uttered before the court is in line with the islmaic teaching which is based on nas}. Even, among them suppose it is not in line with Islamic law especially those who hold tightly fiqih salaf books. Therefore, it is needed to conduct a comprehensive research about divorce declaration before the court. This research aims to answering the following question 1) Why should the implementation of pledge of divorce be done before the court of religion affair ? 2) How is the Islam point of view toward the implementation of pledge of divorce at Indonesia. So that, this research aims to understanding the implementation of divorce declaration at Indonesia as carried out in religion court and analize it from Islam point of view comprehensively. To answer the question above, the writer conducted this qualitative research. Meanwhile, this research data are taken reference in the form of kitab, magazine and act related to divorce declaration and field data as lasing as suppotting data reference through interviewing with judge and or religion clerk of The Court of Mojokerto, Jombang and Kediri. To understand of phenomenon deal with the implementation of divorce declaration gefore the court is being studied, the collected data is analized inductively and deductively through approach of
(I) PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alqur'an dan hadis merupakan sumber hukum bagi umat Islam dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari, baik bersifat diya>ni> maupun qad}a>i>. Bersifat diya>ni>, artinya jika dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan keikutsertaan pemerintah. Diya>ni> dilaksanakan hanya berdasarkan ketaatan, seperti shalat dan puasa. Sedangkan, bersifat qad}a>i> jika membutuhkan keikutsertaan pemerintah atau kekuasaan negara, seperti perkawinan, talak, waris dan wakaf.1 Abd al-Qa>di>r 'Awdah dalam kitabnya, al-Tashri'> al-Jinai>> alIsla>mi>, menyatakan, walaupun fuqaha'> membagi hak ke dalam hak Allah dan hak individu (h}aq al-fard), kebanyakan mereka menyatakan bahwa setiap suatu perbuatan hukum yang menyentuh hak orang banyak (jama>'ah) atau hak individu murni yang dianggap hak Allah, tergolong hak jama>'ah. Hal ini, karena diundangkannya setiap hukum shara' adalah untuk diataati dan diikuti. Sedangkan, sebagian hak Allah terhadap hamba-Nya adalah mereka harus mengikuti perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan mengamalkan shari>'at-Nya. Dengan demikian, pada setiap hukum terdapat hak Allah.2 Surat al-T}ala>q (65): 1-3 merupakan surat yang isinya sering dilupakan atau ditinggalkan oleh para ulama fiqh, termasuk ulama di Indonesia, terutama terkait dengan keharusan ada saksi dalam talak sebagaimana termaktub dalam lafal, wa ashhidu> dhaway 'adl. Hal ini, karena mereka pada umumnya mengikuti madhhab alSha>fi'i, termasuk juga madhhab lain, yang tidak mewajibkan adanya saksi dalam talak. Adanya saksi hanya berhukum sunnah (nadb) atau petunjuk nas} dalam hal ini sekadar dianggap berfaedah irsha>d (memberi petunjuk), berbeda dengan Shi'ah Imamiyah (wajib), sesuai dengan kaidah pokok s}igha>t al-amr. Di samping itu, mereka kebanyakan selalu beralasan dengan hadis yang berbunyi,
1 2
thala>thun jidduhunna jiddun wa hazluhunna jiddun, al-nika>h} wa alt}ala>q wa al-raj'ah3(ada tiga perkara yang hukumnya sama antara sengaja dan tidak sengaja, yaitu nikah, talak dan rujuk). Hadis yang melalui sanad Abu> Hurayrah ini, menurut Ibn 'Adi> adalah d}a'i>f> (lemah). Demikian juga menurut H}a>rith b. Abi> Usa>mah melalui Hadis 'Uba>dah b. S}a>mit yang telah menjadikan Hadis itu pada tingkat marfu'> adalah d{a'i>f dalam sanadnya, karena terdapat nama Ibn Luhay'ah dan hadis itu juga terjadi inqit}a>' (terputus sanadnya).4 Akibatnya, jika mendasarkan pada hadis ini, putusnya perkawinan melalui talak ini mudah sekali. Bahkan, kebanyakan mereka tidak memperhatikan hal-hal yang terjadi setelah talak, seperti nafkah, 'iddah, mut'ah, dan pemeliharaan anak. Begitu juga, ayat Alqur'an yang mengatur tahapan-tahapan jika suami ingin menceraikan istrinya, yaitu istri nushu>z (ketidakharmonisan), termaktub dalam alNisa>' (4)>: 34, 35 dan suami nushu>z, termaktub dalam al-Nisa>' (4): 128. Suami tidak boleh langsung menceraikan istrinya, tanpa melalui tahapan-tahapan, harus mempunyai alasan-alasan, apalagi yang nushu>z berasal dari suami. Begitu juga, hadis yang menyatakan "abghad al-h}ala>l ila> Alla>h al-t}ala>q5 (sesuatu yang halal yang sangat dibenci Allah adalah talak) Sebagai negara hukum, Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, baik dalam pengertian formil maupun materiil, baik undang-undang organik maupun non organik, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Hal ini membuktikan bahwa hukum harus ditegakkan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam dan berkeinginan membumikan ajarannya melalui perundang-undangan sebagai perwujudan ayat Alqur'an dalam surat al-Ma>'idah (5): 48, fah}kum baynahum bima> anzala Alla>h (maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
3 4
Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), 12. Abd al -Qadir 'Awdah, al-Tashri>' al-Jina>i> al- Isla>mi>, vol.1 ( Beirut, Da>r al-Ka>tib al 'Arabi)>, 204-205.
Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud, vol.2 (Beirut: D<ar al-Fikr, t.th), 259. al-S}an'ani, Subul al-Sala>m, vol. 3 (Singapura: al-H}aramayn, t.th.), 175-176. 5 Ibid., 175.
Allah turunkan" dan surat al-Ma>'idah (5): 49, wa an uh}kum baynahum bima> anzala Alla>h (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah), maka mereka harus masuk dalam lembaga legislatif (lembaga pembuat undang-undang) atau penguasa (eksekutif atau pemerintah dalam arti sempit). Perintah ayat ini harus dijabarkan melalui kaidah Us}u>l al-Fiqh, ma> la> yatim al-wa>jib illa> bih fahuwa wa>jib 6 (suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib), al-amr bi al-shayi amr bi wasa>ilihi7 (perintah sesuatu adalah perintah sarananya) atau kaidah yang berbunyi, li al-wasa>il h}ukm al-maqa>s}id8 (sarana adalah sama hukumnya dengan tujuan atau pokok) dan inna ma> la> yatim al-wa>jib illa> bih yaku>nu wa>jiban ma> da>ma maqdu>ra>9 (sesungguhnya sesuatu yang wajib tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu itu hukumnya wajib selama mampu dikerjakan). Hal ini, karena setiap hukum yang berasal dari penguasa bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat, sebagaimana dalam kaidah fiqh, h}ukm al-h}a>kim fi> masa>il al-ijtiha>d yarfa' alkhilaf10(hukum yang diputuskan hakim atau penguasa tentang masalah ijtihad dapat menghilangakan perbedaan). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo UU Nomor 3 Tahun 2006 Jo UU Nomor 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa ikrar talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya harus ada alasan-alasan, melalui proses permohonan cerai talak, diucapkan oleh suami di hadapan majlis hakim dan dengan dihadiri para saksi. Akan tetapi, sebagian masyarakat Indonesia menganggap ikrar talak yang diatur dalam peraturan perundangundangan tersebut tidak sesuai dengan shariat Islam, sehingga tidak perlu diikuti. Akibatnya, mereka menjadi bingung apakah mengikuti
6
pendapat para kyai (berdasarkan fiqh) atau hukum positif (ius constitutum), seperti kapan talak itu dianggap jatuh, sehingga terjadi kesenjangan antara pelaksanaan ikrar talak menurut masyarakat Islam (law in action), kitab fiqh (law in book) dan undang-undang (law in act). Oleh karena itu, perlu dibahas dengan menggunakan metode istinba>t} dan/atau istidla>l yang dipakai oleh mereka dengan melalui pendekatan manhaji. B. Rumusan Masalah 1. Mengapa pelaksanaan ikrar talak di Indonesia harus di depan sidang Pengadilan Agama? 2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaksanaan ikrar talak di Indonesia ? C. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualiatif, yaitu penelitian yang mengungkap suatu fenomena tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan yang benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data dan analisisnya yang relevan, bukan berupa angka-angka dan statistik,11 yang datanya berasal dari library research (penelitian kepustakaan). Namun demikian, dibutuhkan field research (penelitian lapangan) sebagai penguat, yaitu data yang diperoleh dari Pengadilan Agama di Jawa Timur (PA Mojokerto, PA Jombang dan PA Kabupaten Kediri). 2. Jenis Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data tentang keberadaan perceraian di Pengadilan Agama; data tentang alasan-alasan cerai talak di Indonesia; data tentang proses pengajuan cerai talak di Indonesia; data tentang keberadaan saksi dalam cerai talak sebagai bahan pertimbangan hakim memberi izin suami mengikrarkan talak; data tentang saksi hakim dalam ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama; data tentang pelaksanaan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama; data tentang pelaksanaan ikrar talak menurut Hukum Islam (fiqh) dan data tentang pendapat hakim Pengadilan Agama mengenai cerai talak di Indonesia.
11
Abd al-Kari>m Zayda>n, al-Waji>z fi> Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Muassat al-Risa>lah, 1986), 299. 7 Abd al-Hamid Hakim, al-Bayan (Djakarta: Sa'adijah Putra, 1972), 27. 8 Ibid. 9 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al Fiqh (Beirut: Da>r al Fikr al 'Arabi>, t.t), 176. 10 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 154.
Djam'an Satori dan Aan Komariyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2009), 25.
3. Sumber Data Penelitian Data penelitian ini bersifat normatif, sehingga sumber datanya sekunder, bukan primer. Walaupun demikian, untuk memperkuat data sekunder diperlukan data primer (empiris), wawancara dengan para hakim di Pengadilan Agama Mojokerto, Jombang dan kab. Kediri. Data bahan primer penelitian ini adalah perundangundangan, yaitu UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, UU No.7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data bahan primer yang dari kitab, antara lain: al-T}ala>q fi> al- Shari>'ah al-Isla>miyah wa al-Qa>nu>n Bahth Muqa>ran, oleh Ah}mad al-Ghundhu>r; al-Ah}wa>l al-Shakhshiyah, Muh{ammad Abu> Zahrah; al-Fiqh al-Muqa>rin li al-Ah}wa>l al-Sakhshiyah, Badra>n Abu> al-'Aynayn Badra>n; al-Rawd}ah al-Bahiyah fi Sharh} al-Lam'ah al-Dimashqiyah, oleh Zayn al-Di>n al-Jaba>i> al-'A<mili>; al-Tafsi>r alHadi>th Tarti>b al-Suwar H}asab al-Nuzu>l, oleh Muh}ammad 'Azzah Daruzah; Majma' al-Baya>n fi> Tafsir al-Qur'a>n, oleh Abu 'Ali al-Fadl al-T}abra>si>; al-Tibya>n fi> Tafsir al-Qur'a>n, oleh Abu> Ja'far Muh}ammad al-T{u>si. Sedangkan, data bahan skunder, antara lain: Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, oleh Amir Syarifuddin; Hukum Perkawinan Islam, oleh Ahmad Azhar Basyir; Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, oleh M Djamil Latif; Hukum Perkawinan di Indonesia, oleh Arso Sosroatmodjo dan A Wasit Aulawi; Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, oleh Khoiruddin Nasution; Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, oleh Khoiruddin Nasution; Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, oleh Khoiruddin Nasution dan Hak-hak Wanita dalam Putusan Pengadilan Agama, oleh Iskandar Ritonga. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat normatif dengan teknik pengumpulan datanya berupa dokumen, berupa perundang-undangan republik Indonesia (ius constitutum) dan pendapat para ahli hukum Indonesia yang membahas talak. Namun demikian, teknik pengumpulan data dengan interview atau
wawancara juga dibutuhkan dalam upaya memperkuat data dokumen dengan mewawancarai para hakim, ter`masuk panitera Pengadilan Agama (Mojokerto, Jombang, Kab. Kediri) di wilayah PTA Jawa Timur, sebagai responden yang tidak bersifat representatif (perwakilan) tetapi respondennya atau informannya berdasarkan suatu proses pencapaian kualitas informasi atau purposive sampling.12 5. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan al-Qawa>'id al-Lughawiyah (kaidah kebahasaan).13 b. Pendekatan al-Qawa>'id undangan).14 c. Pendekatan mas}lah{ah.15 d. Pendekatan teori utilitarianisme atau utilitisme (Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering), suatu pendekatan yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Teori ini dapat dimasukkan dalam positivisme hukum, karena teori ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah
12
al-Tashri>'iyah
(kaidah
perundang-
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Meode Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),106; Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 91. 13 Pendekatan kaidah kebahasaan yang terkait dengan suatu na}s atau teks hukum tidak dapat dilepaskan dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Penafsiran memiliki karakter hemeneutik atau penafsiran. Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Penerapan hermeneutik terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukm mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan tersirat, bunyi hukum dan semangat hukum. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar, 163-164. 14 Pendekatan kaidah ini, dalam ilmu hukum, dimasukkan dalam penefsiran teleologis, yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundangundangan. Amiruddin dan Zainal Asyikin, Pengantar, 166. 15 al-Ghazali mengartikan mas}lah}ah adalah mendatangkan manfaat atau menolak mafsadah (kerusakan) yang menjadi tujuan Sha>ri'. Sedangkan, al-T}u>fi> mengartikan maslah}ah adalah sebab yang menyampaikan pada tujuan Shari', baik ibadah maupun adat. H}usayn H}a>mid H}assa>n, Naz}ariyat al-Maslah}ah fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Kairo: D<ar al Nahd}ah al- 'Arabiyah, 1971), 6-9.
10
orang yang banyak, sehoingga hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata. 16 6. Teknik Analisis Data a. Analisis deskripsi, merupakan analisis yang menggambarkan mengapa ikrar talak di Indonesia harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Dalam hal ini diperlukan suatu proses untuk sampai pada ikrar talak, yang dimulai sejak pengajuan cerai talak sampai pada pengucapan ikrar talak, termasuk di dalamnya tentang mulai berlakunya keputusan Pengadilan Agama mengenai izin percerain yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan penetapan sidang penyaksian ikrar talak oleh suami dalam cerai talak. Dengan demikian, ikrar talak tidak semudah apa yang sering dibahas dalam kitab-kitab fiqh, yakni asal suami mengucapkan kata-kata talak kepada istri, maka terjadilah talak. b. Menggunakan metode induktif-deduktif, karena penelitian kualitatif.17
16
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 117-118. 17 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian, 13.
11
(II) TALAK DALAM ISLAM A. Pengertian Talak dalam Hukum Islam Kata talak berasal dari bahasa Arab, yaitu berasal dari fi'il ma>d}i> (t}alaqa), yang bentuk mas}darnya berupa lafal t}ala>q. Walaupun berbentuk lafal tala>q, tetapi bermakna tat}li>q, seperti lafal sala>m bermakna tasli>m. Menurut bahasa (lughah), talak bermakna melepaskan ikatan, baik yang bersifat h}issi< (konkrit, berdasarkan inderawi), seperti t}allaqtu al-bai>r (saya melepaskan unta) maupun yang bersifat ma'nawi> (abstrak), yang kemudian makna ini digunakan dalam pengertian talak menurut istilah fiqh. Bahkan, untuk talak secara ma'nawi> tidak boleh digunakan lafal yang berasal dari lafal at}laqa atau mas>dar it}la>q (wazan if'a>l), harus lafal t}allaqa atau t}atli>q (wazan taf'i>l).18 Artinya, jika ada lafal at}laqtuki (saya melepaskan kamu), maka dianggap kina>yah (mengandung makna lain), sehingga membutuhkan niat, berbeda dengan t}allaqtuki (lafal s}ari>h{), yang bermakna "saya menceraikan kamu (isteri)", tidak mengandung makna lain selain perceraian. Sedangkan, menurut istilah, talak bermakna lepasnya ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan menggunakan kata-kata tertentu, baik lepas seketika atau fi al-h}a>l (talak ba>in) ataupun tidak atau fi> ma'a>l (talak raj'i).19Talak ba>in kubra'> merupakan talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya sebanyak tiga kali. KHI mengartikan, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, 130 dan 131 KHI. KHI mengharuskan ikrar talak harus di depan Pengadilan Agama bagi orang Islam dan harus ada alasanlasan yang jelas dan melalui aturan beracara di Pengadilan.
18
B. Rukun dan Syarat Talak Rukun talak ada 5 (lima), yaitu (1) s}i>ghah atau lafal talak; (2) mah}al (istri); (3) wilayah atau kekuasaan suami; (4) qas}d (tekad atau kehendak untuk berbuat); dan (5) mut}alliq (suami atau wakilnya yang menceraikan). Misalnya,al-Sharbi>ni> (w. 946 H) dalam al-Iqna'>, alQalyu>bi> dalam H}a>shiyat al-Qalyu>bi> (w. 1069 H), al-Ba>ju>ri> (w. 1276 H) dalam H}a>shiyah al-Ba>ju>ri>, Abu Zakariya> al-Ans}a>ri (w. 926 H) dalam Fath} al-Wahh>ab. Sementara itu, ada yang menyatakan bahwa rukun talak ada 4 (empat) dengan tidak memasukkan al-wila>yah,seperti Abd al-Rah{ma>n al-Jazi>ri> (w. 1941 M)> dalam Kita>b al-Fiqh 'ala> al-Madha>hib al-Arba'ah dan Abu> Zakariya> dalam Tuh}fat al-T}ulla>b. Sedangkan, Zayn al-Di>n al-Jubba>'i al-'A>mili> (w. 965 H) dalam al-Rawd}ah memasukkan ishha>d (persaksian sewaktu suami ikrar talak) dan qas}d dalam rukun talak.20Rukun talak yang berupa s}i>ghah atau lafal yang diucapkan sewaktu ikrar talak bila dilihat dari bentuk ucapan ikrar, yaitu ada yang s}ari>h (jelas menunjukkan makna) dan kina>yah (mengandung arti lain selain talak). Jika lafal itu s}ari>h, maka ulama sepakat lafal t}alaq, sara>h, } dan mufa>raqah merupakan lafal yang digunakan untuk menunjukkan maksud talak, sehingga tidak dibutuhkan niat, seperti suami berkata kepada istrinya kamu sekarang saya talak, berbeda jika menggunakan lafal kina>yah, seperti suami berkata kepada istri pergilah kamu dari rumahku, harus ada niat.Sementara itu, Shi'ah mengharuskan niat walaupun dengan lafal s}ari>h} dan s{i>ghat al-t}ala>q harus dari lafal t}ala>q saja, tidak boleh dari lafal sara>h} dan mufa>raqah walaupun keduanya termaktub dalam Alqur'an.21Pendapat Shi'ah tentang lafal ikrar talak dengan lafal t}ala>q lebih mengena pada sasaran jika diterjemahkan ke bahasa lain. Bagi bangsa Indonesia, ternyata kata talak saja yang dapat dipahami secara hakiki, termasuk yang digunakan dalam ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama.
20
Muh}ammad Zayd al-Abya>ni>, Sharh} al-Ah}ka>m al-Shar'iyah fi> al-Ah}wa>l alShakhshiyah, vol. 2 (Kairo: Da>r al-Sala>m li al-T}iba>'ah wa al-Nashr, 2006), 501. Bahkan, Shi'ah mengharuskan lafal yang berupa isim fa>'il, yaitu t}a>liq, bukan mut}allaqah. 19 Ibn 'A>bidin, al-Durr al-Mukhta>r Sharh} Tanwi>r al-Abs}a>r, vol.3 (Beirut: Da>r al Fikr, 1979), 226-227. Definisi Ibn 'Abidin banyak dijadikan rujukan oleh para penulis mutaakhir, karena mencakup talak bain, sughra> dan kubra', dan talak raj'i>, seperti Husayn al-Dhahabi, Muh}ammad Abu Zahrah, Ahmad al-Ghundhu>r dan Badra>n Abu> al-'Aynayn Badra>n.
al-Sharbi>ni>, al-Iqna>' fi> H}all al-Fa>z}i Abi> Shuja'>, vol.2 (Mesir: Da>r Ihya'> al-Kutub al'Arabiyah, t.t), 148; Abu> Zakariya> al-Ans}a>ri>, Fath} al-Wahha>b, vol.2 (t.t, t.p, t.th), 72; al-Qalyu>bi>, H}a>shiyah al-Qalyu>bi>, vol.3 (Mesir: Mat}ba'at Must}afa> al Ba>bi> alH}ala>bi>, 1956), 323; al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyah al Ba>ju>ri>, vol.2 (Mesir: Mat}ba'at Mus}ta>fa> al Ba>bi> al H}alabi>, t.th), 139; Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh 'Ala> al-Madha>hib al-Arba'a>h, vol.4 (Beirut: Da>r al-Kutb al-'Ilmiyah, 1987), 280-281; Abu> Zakariya' alAns}a>ri>, Tuh}fat al T}ulla>b bi Sharh} Tah}ri>r Tanqi>h al-Lubba>b (Surabaya: Maktabat Sa>lim b Sa'ad b Nabha>n, t.t), 104; al-'A>mili>, al-Rawd}ah al- Bahiyah fi> Sharh} alLam'ah al-Dimashqiyah, vol. 6 (Beirut: Da>r al Ta'a>ruf, t.th),. 11. 21 al-'A<mili>, al-Rawd}ah, hal. 12.
12
Ulama fiqh mensyaratkan istri yang ditalak (mut}allaqah), harus (1) masih dalam ikatakan perkawinan dengan suaminya; (2) sebagai istri yang sedang tunggu 'iddah talak raj'i> (masih dapat kembali sebagai istri) atau sebagai istri yang sedang tunggu 'iddah talak ba>in s}ughra'>, karena keduanya masih dianggap sebagai istri sampai habis masa 'iddahnya; (3) sebagai seorang perempuan yang sedang dalam 'iddah sebab terjadi perpisahan (furqah) yang dianggap sebagai talak, bukan fasakh, seperti istri masuk Islam dan suaminya masih tetap non muslim, atau karena sebab i>la>' (menurut H{anafiyah); dan (4) sebagai seorang perempuan yang sedang tunggu 'iddah dari furqah yang dianggap fasakh yang akadnya tidak rusak dari asasnya dan tidak hilang kehalalannya seperti istri yang murtad, karena fasakh pada keadaan ini terjadi karena sesuatu yang dapat mencegah kekalnya, setelah terjadi akad yang sah. 22 Unsur qas}d sebagai rukun talak selalu menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini, karena sebagian ulama menyatakan bahwa lafal (qas}d) tersebut tidak sama dengan niat, sedangkan ulama lainnya menyamakan dengan niat. Amir Syarifuddin membedakan antara keduanya dengan pengertian bahwa qas}d adalah tekad atau kehendak untuk berbuat, sedangkan niat adalah kesengajaan hati.23Akibat perbedaan pengertian ini, dalam kitab fiqh ditemukan pendapat mayoritas ulama yang menganggap bahwa orang yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan cara main-main atau bergurau adalah jatuh talaknya. Hal ini diperkuat dengan adanya hadis yang menyatakan bahwa ada tiga perbuatan, baik sungguh-sungguh atau tidak, dianggap sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak, dan rujuk. Mereka menyatakan bahwa hadis, innama> ala'ma>l bi al-niyyah wa innama> li kulli imriin ma> nawa>.24(sesungguhnya seluruh amal harusdibarengi dengan niat, dan apa yang dikerjakan seseorang bergantung pada niatnya" ditakhsi}>s} dengan hadis :25 thala>thun jidduhunna jiddun wa hazluhunn jiddun...(ada tiga perkara yang hukumnya sama antara sengaja dan tidak sengaja, yaitu nikah, talak dan rujuk). Pernyataan ulama tersebut tidak konsisten, karena di sisi lain mereka mensyaratkan
22 23
dalam nikah harus niat demi kehati-hatian sebagaimana pendapat alH{a>wi> (Abd al-Ka>ri>m Muh}ammad bin Abd al-Karim al-Ra>fi'i> Abu> alQa>sim al-Qazwi>ni>, w. 634 H., bukan al-Ma>wardi>, w. 450 H) yang mengikuti al-Ghaza>>li (w. 505 H).26 Pada talak tidak harus ada niat sehingga walaupun dengan bergurau tetap jatuh talak, padahal nikah dan talak berada dalam satu matan hadis. Hal ini dipahami jika ternyata hadis itu sah}ih atau minimal h}asan, lebih-lebih jika hadis itu d}a'i>f. Berdasarkan penelusuran ulama hadis diketahui bahwa sanad hadis tersebut terdapat inqit}a>' (terputus) yaitu pada perawi yang bernama Ibn Luhay'ah.27Di samping itu, jika mencari definisi niat dalam kitab-kitab fiqh klasik, maka ditemukan bahwa niat adalah qas}d al-shayi muqtaranan bi fi'lihi (bermaksud melakukan sesuatu, yang dibarengkan dengan perbuatannya). Karena itu, tidak tepat jika talak itu terjadi pada suami yang melakukannya dengan bermain-main atau bergurau, sebagaimana pendapat al-Ba>qir (w. 114 H), al-S}a>diq (w. 148 H), dan al-Na>s}ir dari kalangan Shi'ah, yang sebenarnya merupakan pendapat dalam mazhab Ma>liki> dan H}ambali>. Mereka mensyaratkan untuk terjadinya talak harus ada unsur kerelaan dengan bentuk ucapan, mengerti maknanya, dan menghendaki isinya, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah (2): 227, wa in 'azamu> al-t}ala>qa fa inna Alla>ha sami>'un 'ali>m (Dan jika mereka ber'azam atau berketetapan hati untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengetahui).28 Hal ini, karena talak membutuhkan niat, sedangkan orang yang bergurau tidak ada unsur kehendak ('azam) dan niat. Oleh karena itu, talak yang diucapkan suami yang bergurau adalah tidak jatuh. 29 Syarat mut}alliq (suami yang menalak) adalah berakal, baligh (cukup umur), dan atas kehendak sendiri.Ulama Shi'ah Imamiyah
26
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2 (Beirut: Da>r al Fikr, 1977), 215. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 205. 24 Muslim, S{ah{i>h Muslim, vol.2., 158. 25 Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud, vol.2 (Beirut: D<ar al-Fikr, t.th), 259.
al-Abya>ni>, Sharh} al-Ah}ka>m fi> al-Ah}wal al-Shakhsiyyah, vol.2 (Kairo: Da>r al Sala>m, 2006), 508. al-H}a>wi> al-S}aghi>r (karya al-Qazwi>ni>), sedang al-H}a>wi> al-Kabi>r (karya al-Ma>wardi>). 27 al-S}an'a>ni>, Subul al-Sala>m, vol.3 (Singapura, al-H}aramayn, 1960), 175. 28 Departemen Agama RI, Al-Qur'an, 55 29 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, hal. 214. Ibn Rushd menyebutkan bahwa umat Islam sepakat bahwa talak dapat terjadi jika dengan niat dan dengan lafal yang s}ari>h (jelas), Ibn Rushd (Bida>yat al-Mujatahid wa Niha>yat al-Muqtas}id, vol. 2 (Mesir: Da>r al-Kutub al-Hadi>thah, t.th), 77. Yu>suf al-Qard}a>wi> termasuk ulama kontemporer yang mengharuskan ada niat dalam talak. Yu>suf Qard}a>wi>, Mala>mih} al-Mujtama' li Muslim Alladhi> Anshuduh (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 246
13
menganggap terjadi talak jika dilakukan oleh orang yang sedang mabuk sebagai hukuman dan pencegahan bagi pelakunya. Sementara itu, jika pelakunya dipaksa, maka mayoritas ulama mengatakan tidak jatuh talaknya, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nah}l (16): 106, illa> man ukriha wa qalbuhu> mutmainnun bi al-i>ma>n (Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)30 dan hadis Nabi Muhammad SAW. yang berbunyi, rufi'a 'an ummati> al-khat}a' wa al-nisya>n wa ma> ustukrihu> 'alayh 31 (diangkat dari ummatku (diampuni dosanya), karena keliru, lalai dan dipaksa). Dalam hal ini, orang yang dipaksa adalah tidak ada unsur kehendak (ira>dah) dan pilihan bebas (ikhtiya>r), berbeda dengan H}anafiyah yang menganggap jatuh talaknya, karena dalam diri pelakunya terdapat unsur ikhtiya>r (kehendak) dan qas}d (kesengajaan), yang merupakan komponen dari ahliyah (kecakapan melakukan perbuatan hukum), sehingga dia melakukan sesuatu yang paling ringan di antara dua sesuatu yang paling jelek (ahwan al-sharrayn).32 C. Persaksian dalam Talak Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang persaksian dalam talak, yaitu sebagian mengharuskan ada saksi dan sebagian lainnya tidak mengharuskan ada saksi. Mayoritas ulama fiqh tidak mengharuskan adanya saksi dalam talak, sebagaimana pendapat dari madha>hib al-arba'ah (mazhab empat, H}anafiyah, Ma>likiyah, Sha>fi'iyah dan H>}ana>bilah). Bahkan, jika diteliti tentang talak pada kitab-kitab yang ditulis mereka, maka akan sulit menemukan lafal shaha>dah fi> al-t}ala>q. Jika saja ada bahasan shaha>dah dalam kitab
30
mereka, maka hanya shahadah dalam rujuk, bukan talak, karena menurut pendapat qawl qadi>m (pendapat al-Shafi'i di Badgdad), bahwa rujuk harus ada saksi, seperti kitab al-Muhadhdhab, karya alShayra>zi> (w. 476 H). Akibat dari tidak adanya kesaksian dalam talak, orang terlalu mudah dalam menjatuhkan talak walaupun sewaktu akad nikah menggunakan dua orang saksi lak-laki. Kelompok yang tidak mengharuskan ada persaksian dalam talak menyatakan, persaksian hanya menjadi syarat sahnya perkawinan, yang berasal dari mayoritas fuqaha, baik salaf maupun khalaf. Mereka beralasan (1) Talak merupakan sebagian hak yang dimiliki seorang lelaki (suami), yang diberikan Allah kepadanya dan tidak membutuhkan pembuktian (bayyinah), persaksian sewaktu dia menggunakan haknya. Begitu juga, tidak ada dalil dari Nabi Muh}ammad SAW. dan para shahabatnya, yang menunjukkan disyariatkannya persaksian.33(2) Tidak diketemukan praktek dari shahabat dan Nabi Muh}ammad SAW. tentang disyaratkannya persaksian sewaktu menjatuhkan talak. Mensyaratkan adanya persaksian merupakan perbuatan penambahan (ziya>dah) dengan tanpa dalil yang bersifat menetapkan. Perilaku ini telah dipegangi oleh mayoritas ummat Islam.34 Kelompok yang mengharuskan ada persaksian dalam talak dari dua orang lelaki yang adil, berasal dari Shi'ah Ithna> 'Ashariyah. Mereka menggunakan dalil dari surat al-T{ala>q (65) : 2 (wa ashhidu> dhaway 'adl minkum). Perintah shaha>dah pada ayat tersebut datang setelah disebut tentang terjadinya talak dan dibolehkannya rujuk (kembali) ke istri yang sedang dalam masa tunggu 'iddah. Oleh karena itu, petunjuk yang sesuai (muna>sib) dengan amr (perintah) adalah kembali kepada keduanya. Sesungguhnya, adanya penentuan ta'li>l ishha>d (alasan diberlakukannya persaksian), yaitu dapat dijadikan pelajaran oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, adalah dapat menggugah hati dan menguatkannya. Hal ini dilakukan, karena kedatangan para saksi yang adil tidak akan sunyi dari nasihat yang baik, yang dapat mencegah suami istri melakukan
33 34
Depag, Al-Qur'an, 418 Hadis yang menggunakan redaksi lafal rufi'a termasuk hadis mashhu>r di kalangan ulama ahli us}u>l al-fiqh (us}uliyu>n), yang keberadaanya dianggap hadis sah}i>h} oleh Ibn H}ibba>n dan al-H}a>kim walaupun tidak ditemukan dalam dalam kitab hadis. Mah}mud al-Tah}h}an, Taysi>r Mus}t}alah} al-Hadi>th (Surabaya, Toko Kitab al-Hida>yah, t.th), 24. 32 Muh}ammad Suwayd, al-Madha>hib al-Isla>miyah al-Khamsah Wa al-Mazhab alMuwah}h}id (Beirut: Da>r al-Taqri>b Bayn al-Madha>hib al-Isla>miyah, 1995), 203. Ah}mad al-'Ayni>, al-Bina>yah Fi} Sharh} al-Hida>yah, vol. 5 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), 26. Pendapat H}anafiyah ini tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil, lebih-lebih bertentangan dengan pendapat jumhu>r al-s}ahabah (Umar b al-Khat}t}a>b, Ibn 'Umar, 'Ali> b Abi> T}a>lib dan Ibn 'Abba>s) dan juga dengan Ma>lik, al-Sha>fi'i>, Ah}mad dan Da>wud. Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1977), 212.
31
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 220. Muh}ammad Abu> Zahrah, al-Ah}wa>l al-Shakhshiyah, 430. Artinya, jika saja lafal, ishhadu>, pada surat al-T}ala>q (65): 2 dipahami sebagai amr, tetapi hanya menunjukkan nadb (sunnah), tidak wuju>b.
14
talak, sehingga keduanya mendapat jalan keluar dari terjadinya talak, yang merupakan suatu perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah. Hal demikian merupakan sesuatu yang masuk akal, yang menunjukkan adanya keserasian antara memulai pernikahan dan mengakhirinya. Dengan demikian, kehadiran dua orang saksi menjadi syarat dalam memulai pernikahan, maka ia juga sebagai syarat dalam mengakhirinya.35 Muh}ammad Abu> Zahrah (w. 2001 M/1421 H) menyatakan, jika saja kami memilih apa yang ditetapkan di Mesir, maka kami akan memilih pendapat ini (Shi>'ah). Artinya, untuk terjadinya perceraian harus dihadiri dua orang saksi laki-laki yang adil, sehingga suami istri dapat kembali hidup berumah tangga sebagaimana semula, keduanya dapat mempersempit terjadinya talak dan suami dapat mengekang hawa nafsunya. Bahkan, Z}a>hiriyah mengatakan, talak tidak akan terjadi kecuali setelah istri diberitahukan tentang terjadinya talak. Oleh karena itu, jika suami menceraikan istrinya, sementara ia ghayb (tidak ada di tempat), maka suami mencabut kembali terhadap apa yang telah diucapkannya. 36 Di antara pendukung kelompok yang mengharuskan adanya persaksian dalam talak dari kalangan shahabat, yaitu 'Ali> bin Abi> T}>a>lib (w. 40 H) dan 'Imra>n bi H}us}ayn (52 H), dari kalangan tabi'in, yaitu Muh}ammad al-Ba>qir (w. 114 H), Ja'far al-S}a>diq (w. 148 H) dan kedua anak lelakinya, juga 'At}a> (w. 115 H), Ibn Jurayj (w. 150 H) dan Ibn Si>ri>n (w. 110 H). Dalam kitab, Jawa>hir al-Kala>m, dijelaskan bahwa 'Ali> bin Abi> T}a>lib berkata kepada seorang bertanya kepadanya (tentang talak), apakah engkau mempersaksikan kepada dua orang lelaki yang adli sebagaimana Allah SWT. memerintahkan. Kemudian dia menjawab dengan jawaban "belum". Ali berkata: pergilah! Sesungguhnya talakmu belum dianggap talak. Begitu juga 'Imra>n bin H}us}ayn ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, kemudian dia menyetubuhinya, padahal dia belum mempersaksikan tentang talak dan rujuknya. Kemudian 'Imra>n berkata: Kamu menceraikan tidak mengikuti sunnah dan merujuk juga tidak mengikuti sunnah, persaksikanlah atas perbuatan talak
35
dan rujuk terhadap istri dan jangan kamu ulangi (wa la> ta'ud). Begitu juga, Ja'far S}a>diq (w. 148 H) berkata, barangsiapa yang menceraikan istri dengan tanpa saksi, maka talaknya tidak dianggap (tidak sah). Begitu juga, Sayyid al-Murtad}a> dalam kitabnya, al-Intis}a>r, menyatakan bahwa dalil yang digunakan oleh Shi'ah Imamiyah, tentang persaksian dua orang lelaki adil sebagai syarat terjadinya talak, adalah al-T}ala>q (65): 2. Dalam hal ini, Allah memerintahan persaksian dalam talak. Sedangkan, lahirnya perintah tersebut, menurut kebiasaan shara', adalah menunjukkan wujub. Padahal memberikan pemehaman terhadap sesuatu yang lahirnya wuju>b kepada sunnah (istih}ba>b) adalah benar-benar keluar atau menyalahi kebiasaan shara' dengan tanpa melalui dalil. 37 Al-Suyu>t}i> (w. 911 H) dalam kitabnya, al-Durr al-Manthu>r, meriwayatkan dari Abd al-Raza>q dan 'Abd b H}umayd dari 'At}a>' (w. 115 H), dia berkata: Nikah dengan saksi, talak dengan saksi dan rujuk dengan saksi. Begitu juga, Ibn Jurayj, sebagaimana diceritakan Ibn Kathi>r (w. 774 H), bahwa ''At}a>' berkata tentang Wa ashhidu> dhaway 'adl. Dia berkata: Nikah, talak dan rujuk tidak boleh (la> yaju>z) dilakukan tanpa dipersaksikan oleh dua saksi lelaki yang adil, kecuali dalam keadaan udhur. Perkataan 'At}a>', la> yaju>z, adalah jelas sekali menunjukkan wajibnya persaksian pada talak, menurut 'Ata, disamakan dengan nikah, yakni harus ada bayyinah (bukti saksi).38 Sayyid Sabiq (w. 2000 M.) mengatakan bahwa jika telah jelas bagi kamu bahwa wajibnya persaksian pada talak adalah mazhab para shah}abat dan ta>bi'in, maka kamu mengetahui bahwa bahwa pengakuan secara ijma' atas sunnahnya persaksian dalam talak sebagaimana terdapat dalam sebagian kitab fiqh adalah ijma>' mazhab, bukan ijma>' sebagaimana dalam kitab Us}u>l al-Fiqh. Sayyid Sa>biq (w. 2000 M.) mengakhiri perkataannya dengan mengatakan, apa yang kami sebutkan sebelumnya, dari riwayat al-Suyu>t}i> (w. 911 H.) dan Ibn Kathi>r (w. 772 H.), yaitu adanya kewajiban persaksian dalam talak adalah tidak hanya didominasi oleh para ulama dari keluarga Nabi Muh}ammad SAW., sebagaimana diriwayatkan oleh
37
Ibid. 36 Muhammad Abu Zahrah, al-Ah}wa>l al-Shakhshiyah (Mesir: D<ar al-Fikr al-'Arabi>, t.t), 431.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 221. al-Suyuti, Tafsi>r al-Durr al-Manthu>r fi al-Tafsi>r al-Ma'thu>r, vol. 8 (Beirut: Dar alFikr, 1983), 1059-1060. Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m, vol. 4 (Beirut: Da>r alFikr, 1992), 456
38
15
Sayyid Murtad}a> dalam kitab al-Intis}a>r, tetapi juga mazhab 'At}a> (w. 115 H.), Ibn Si>ri>n (w. 110 H.) dan Ibn Jurayj (w. 150 H.). 39 Adapun ulama tafsir yang condong kepada petunjuk amr (perintah) pada lafal "ashhidu>", yaitu al-Qa>simi> (w. 1322 H.) menyatakan bahwa lahir ayat menunjukkan wajib pada talak dan rujuk. Sementara itu, melakukan tarji>h} wajib dilakukan dengan dalil yang menguatkannya. Sedangkan, sesuatu yang memperkuat wajib adalah bahwa seluruh perintah pada ayat tersebut, baik sebelum maupun sesudahnya adalah menunjukkan wajib secara ijma>', tidak ada dalil yang dapat memalingkan amr tentang ishha>d dari lahirnya, sehingga seperti yang lafal yang mendahuluinya dan yang datang kemudian. Begitu juga, 'Ali al-Sabuni menyatakan jika suami menghendaki memilih talak atau rujuk, maka dia wajib mempersaksikan (fa 'alayhima> an yushhida>) dua orang lelaki yang adil dalam agamanya, akhlaknya dan istiqa>mahnya.40 D. Ikrar Talak di Depan Sidang Pengadilan Agama Perspektif Berbagai Mazhab dalam
H/1277 M); Fath} al-Wahha>b, karya Abu> Zakariya>' al-Ans}a>ri> (w. 926 H); Bada>i' al-Sana>i', karya al-Kasa>ni> al-H}anafi> (w. 587 H/1191 M); Sharh} Fath} al-Qadi>r, karya Ibn al-Huma>m al-H}anafi> (w. 681 H); alMabsu>t} , karya al-Sarakhsi> (w. 490 H); al-Mughni>, karya Ibn Quda>mah al-Maqdisi> (w. 682 H); Majmu>' al-Fata>wa> Ibn Taimiyah, karya Ibn Taimiyah (w. 728 H/ 1328 M), kecuali kitab-kitab yang ditulis oleh pemikir-pemikir kontemporer, seperti Muh}ammad 'Azzah Darwu>zah (w. 1404 H), Shah}rur dan al-Ghundu>r. Bahkan tidak setiap penulis kitab kontemporer pun belum tentu mengharuskan ikrar talak dilakukan di depan Pengadilan walaupun mereka mengharuskan ada saksi, seperti Abu> Zahrah, Badra>n Abu> al-'Aynayn Badra>n. Sementara itu, di kalangan ulama kontemporer ada ulama yang mengkrtik keras terhadap ulama yang mengharuskan ikrar talak di depan sidang pengadilan, seperti Yu>su>f al-Qard}a>wi>, alSiba>'i>, Abd al-Kari>m Zayda>n, H}usayn al-Dhaha>bi> dan Abd alWahha>b Khalla>f. Yu>suf al-Qard}a>wi menyatakan, tidak termasuk kemaslahatan jika talak itu diserahkan kepada pengadilan (mah}kamah). Tidak setiap sesuatu yang menjadi penyebab talak itu tergolong sesuatu yang boleh dibeberkan ke pengadilan, yang selalu dibicarakan oleh para pengacara dan panitera, yang pada akhirnya menjadi buah bibir orang. Walaupun orang-orang Barat mengharuskan talak melalui pengadilan, tidak berarti talak menjadi berhenti dan pengadilan tidak dapat membendung laki-laki maupun perempuan menghentikan talak.41 Walaupun demikian, al-Qard}a>wi menyatakan, kebanyakan ulama fiqh terlalu memperluas terjadinya perceraian walaupun dalam keadaan mabuk, marah dan bahkan dipaksa, padahal hadith menyatakan tentang talak dalam keadaan marah (tidak jatuh) dan Ibn 'Abbas berkata, sesungguhnya talak itu terjadi melalui niat. Namun demikian, sesuatu yang ditunjukkan nas dan tujuan shari'ah dalam membentuk keluarga dan memeliharanya adalah mempersempit terjadinya talak. Talak tidak terjadi kecuali dengan kata-kata tertentu, waktu tertentu dan niat tertentu sebagaimana
Dalam kitab-kitab klasik, yang ditulis oleh para imam mazhab dan pengikutnya tidak diketemukan, bahwa ikrar talak itu harus diucapkan di depan Pengadilan, sebagaimana kitab, alMudawwanah, karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M); H}a>shiyah al-Da>su>qi>, karya al-Da>su>qi> (w. 1230 H/1815 M); al-Umm, karya al-Sha>fi'i> (w. 204 H); al-Majmu>', karya al-Nawa>wi> (w. 676
39
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 221 al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta>'wil, vol. 15 (Beirut D<ar Fikr, 1978), 197; 'Ali> al-S}a>bu>ni>, Rawa>'i al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur'a>n, vol. 2 (T.t: T.p, t.th), 590. Sayyid Qut{ub mengatakan Wa ha>dha> ma'a al-ishha>d 'ala> al-imsa>k aw al-fira>q (Dalam hal ini disertai dengan saksi baik pada rujuk maupun talak), Sayyid Qut}ub, fi> Z}ila>l al-Qur'a>n, vol. 6 (Jidah: Da>r al-'Ilm, 1986), 3593; Muh}ammad 'Azzah Darwuzah, al-Tafsi>r al-H}adi>th Tarti>b al-Suwar H}asab al-Nuzu>l, vol. 8 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1964), 334. 'Azzah menyatakan, yaji>b istishha>d shahi>dayn 'adlayn min al-muslimi>n 'ala> al-t}ala>q wa al-'iddah wa al-mura>ja'ah wa yajib 'ala> alshuhu>d an yuaddu> shaha>datihim bidu>n muh}a>bah; al-T}abra>si>, Majma' al-Baya>n, 480. Muh}ammad Sayyid al-T}ant}a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li al-Qur'a>n al-Karim, vol. 14 (Mesir: Nahdah, 1998), termasuk juga al-Alusi, Ruh} al-Ma'a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al'Az}i>m wa al-Sab'i al-Matha>ni>, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1994), 330. al-T}ant}a>wi> dan al-A<lu>si> secara tidak langsung mengambil rujukan dari al-T}abra>si>. al-T}abra>si> menyatakan bahwa secara lahir menunjukkan bahwa ayat itu menunjukkan perintah persaksian dalam talak dan hal ini diriwayatkan dari para imam ahl al-bayt r.a, dan persaksian adalah wajib dan menjadi syarat sahnya talak.
40
41
Yu>suf al-Qard}a>wi>, Mala>mih{ al-Mujtama>' li Muslim Alladhi> Anshadah (Kairo: Maktabat Wahbah, 2001), 248.
16
yang dipegangi al-Bukhari dan ulama salaf dan dikuatkan oleh Ibn Taymiyah dan Ibn Ibn al-Qayyim.42 Mus}t}afa> al-Siba>'i menyatakan, talak melalui pengadilan, sebagaimana terjadi di Barat, adalah sangat jelas dampak bahayanya dari satu segi dan tidak ada kegunaannya dari segi lainnya. Dari segi dampak bahayanya, talak akan membuka rahasia rumah tangga dari kedua belah pihak di depan pengadilan dan para pengacara. Terkadang rahasia ini sebaiknya ditutupi oleh pemiliknya. Sedangkan, ketiadaan manfaat talak di pengadilan adalah jika seseorang meneliti tentang perceraian di pengadilan yang terjadi di Barat, maka dia menjadi yakin bahwa keterlibatan pengadilan itu merupakan bentuk tersendiri dalam topik bahasan ini (talak). Dalam hal ini, sedikit sekali seorang perempuan (isteri) atau laki-laki (suami) yang mengajukan perceraian ke pengadilan ditolak. Kebanyakan para selebriti perempuan memperlihatkan akan kesenangannya terhadap perceraian dari suami mereka dan kawin dengan laki-laki lain sebelum mereka datang ke pengadilan. Tidak lama kemudian, pengadilan mengabulkan permohonan perceraian mereka.43 Abd al-Kari>m Zayda>n menyatakan, walaupun prinsipnya talak itu haram, tetapi talak tidak boleh dilakukan oleh suami setelah mendapat izin dari pengadilan, karena (1) Tidak ada dalil, baik Alqur'an maupun hadis yang membatasi hak suami menceraikan isterinya dengan mengharuskan izin dari hakim sewaktu suami menceraikan isterinya, (2) Tidak ada seorang ulama manapun yang mengharuskan ada izin dari hakim sewaktu suami menjatuhkan talak, sejak masa shahabat dan masa sesudahnya. Ini merupakan ijma>' suku>ti> tentang tidak bolehnya mensyaratkan talak harus mendapatkan izin dari pengadilan, (3) Keharusan menjatuhkan talak melalui pengawasan dan penetapan izin dari pengadilan sewaktu menjatuhkan talak tidak akan mendapatkan kemaslahatan dari isteri. Hal ini, karena hakim jika dia mampu mencegah terjadinya talak melalui izin pengadilan, maka dia tidak mampu mencegah kejelekan pergaulan rumah tangga atau dapat menghilangkan sebab-sebab yang mendorong suami menceraikan atau mendapatkan izin
42 43
menceraikan isterinya, (4) Di antara sebab-sebab perceraian yang dapat diterima adalah hal-hal yang bersifat kejiwaan (al-umu>r alnafsiyah), antara lain ada kebencian suami terhadap isterinya seperti adanya kesulitan untuk melangsungkan perjodohan, karena adanya unsur kebencian suami atau kedua-duanya, termasuk juga suami tidak ada rasa persahabatan dengan isterinya, seperti suami sudah tidak ada keinginan untuk menggaulinya. Hal-hal tersebut merupakan urusan kejiwaan yang tidak masuk dalam kekuasaan peradilan, (5) Faktor-faktor penyebab perceraian terkadang berupa sesuatu yang tidak baik untuk dibuka di muka hakim, demi untuk meminta izin perceraian, padahal sebaiknya hal tersebut perlu disembunyikan dan (6) Aturan tah{kim antara suami isteri sewaktu terjadi perselisihan antara keduanya tidak perlu membutuhkan izin dari hakim sebagaimana dikumandangkan oleh sebagian ulama.44 Husayn al-Dhahabi> menyatakan, walaupun hikmah diundangkannya aturan perceraian itu telah jelas dalam Islam, tetapi ada juga kecondongan (pemikiran) yang mendorong perceraian itu harus berada di tangan hakim (yad al-qa>d{i>), yakni suami tidak dapat memiliki hak mutlak dalam menceraikan isterinya. Ini merupakan pemikiran yang tidak mengandung kemaslahatan, bahkan sebaliknya yaitu mengandung mafsadah (kerusakan) dan mad}arah (bahaya). Kebanyakan terjadinya talak didasarkan pada sebab-sebab yang ada dalam hati dan jiwa, yang tidak mungkin diketemukan buktinya dantidak dapat diketemukan melalui indra atau diketemukan dalilnya melalui tanda-tanda. Untuk itu, bagaimana seorang hakim dapat menjelaskan sesuatu yang sangat dirahasikan oleh pemiliknya dan disimpan dalam hatinya. Sementara itu, pertentangan dalam kehidupan rumah tangga tidak merupakan pertentangan antara pihak z{a>lim dan maz{lu>m, tetapi kebanyakan terkait dengan urusan kecintaan yang telah rusak dan porak poranda dan hubungan perjodohan tidak layak lagi untuk diteruskan. Sedangkan, hati merupkan urusan Allah, bukan berada di tangan hakim (bi yad alqa>d}i>). Kemudian, sesungguhnya sebagian dari sebab-sebab talak terdapat sesuatu yang jika dibeberkan di depan peradilan (ama>m alqad}a>''), dicatatkan dalam pencatatan pengadilan dan dibantah oleh
44
^Abd al-Kari>m Zayda>n, al-Mufas{s{al fi Ah{ka>m al-Mar'ah wa al-Bayt al-Muslim fi> al-Shari>'ah al-Isla>miyah, vol. 7 (Beirut: Mu'assat al-Risa>lah, 1994), 357-358.
17
pihak lawan, maka rahasia rumah tangga akan terlihat dan ditujukan kepada suami atau isteri, padahal salah satu etika dalam Islam adalah menjaga rahasia mereka dari orang lain, menjaga kehormatan mereka dan tidak merusak tabir (rahasia) mereka.45 Muh}ammad 'Azzah Darwuzah (w. 1404 H) merupakan penulis kitab tafsir yang sangat berbeda dengan lainnya, terutama dengan para penulis kontemporer seperti Must}afa> al-Siba>'i, Husayn alDhaha>bi dan Yu>suf al-Qard{awi. 'Azzah Darwuzah (w. 1404 H) sangat tegas dalam memahami lafal fa in khiftum alla> yuqi>ma> dalam surat al-Baqarah (2): 229 dan lafal wa in khiftum shiqa>q dalam surat al-Nisa' (4): 35, terutama tekait dengan mukha>t}ab dlami>r (tum), yaitu tertuju kepada hukka>m (hakim) atau aimmah (penguasa). Di samping itu, dia sangat tegas dalam menentukan istishha>d dan iqa>mat al-shaha>dah dengan menyatakan, keduanya dilakukan untuk melihat permasalahan talak dari pihak hakim (qa>d}i>). Semua ini dan hadis-hadis telah banyak menyebutkan keberadaan para suami dan isteri yang selalu datang (mura>ja'ah) kepada Nabi Muh}ammad SAW. dan para penggantinya (khulafa>ih) tentang talak, i<la>', z}iha>r, nafkah, rad}a>'ah dan lainnya. Kedatangan mereka kepada Nabi Muh}ammad SAW. dan penggantinya dalam upaya memecahkan masalahmasalah yang terjadi antara mereka, yang dalam hal ini boleh dikatakan, sesungguhnya tidak ada larangan shara' untuk mengkaitkan masalah talak dengan pengadilan shara' (pengadilan agama). Jika hal ini dilakukan, maka akan terbentuk pelaksanaaan talak yang sempurna dengan melakukan pengkaijian dan penajaman tentang sebab-sebab talak dari pihak hakim.46 'Azzah juga menyatakan, pendapat yang mengatakan bahwa rahasia-rahasia manusia tidak sah disebarluaskan walaupun melalui pengadilan adalah tidak pada tempatnya. Hal ini, karena pengadilan dapat dipercaya untuk menjaga rahasia manusia. Di sana terdapat hal-hal yang sangat banyak sekali, yang di dalamnya terkandung rahasiarahasia dan dikaitkan dengan pengadilan, baik secara shara' maupun undang-undang (qa>nu>n). Dia juga menyatakan, apa yang dikatakan bahwa Allah telah membolehkan suami menceraikan isterinya dan
45
tidak sah menghalang-halangi haknya dan jika suami menggunakan haknya, sedangkan pelaksanaannya tidak dianggap terjadi, maka dia menggauli isterinya secara haram. Dalam hal ini, 'Azzah menyatakan, sesungguhnya pada masa Nabi Muh}ammad SAW. dan para penggantinya, orang-orang selalu datang kepada beliau dan penggantinya dan mengikuti apa yang difatwakan. 47 'Azzah menyatakan, dalam Alqur'an terdapat ungkapan-ungkapan ('iba>ra>t) yang menjadikan peradilan sebagai tempat untuk memecahkan permasahan talak. Oleh karena itu, jika pemerintah (wali> amr al-muslimi>n) telah menetapkan hal tersebut (talak) yang berdasarkan atas arahan-arahan Alqur'an dan a>thar nabawiyah (Hadis), maka menjadi mengikat dan memaksa (mulzim). Pada akhirnya, perceraian yang dilakukan suami dengan tanpa melalui peradilan adalah tidak terjadi atau tidak sah (laghw). Model seperti ini telah ditetap dan diterapkan dalam undang-undang di Tunisia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara itu, sesuatu yang dapat dipahami secara cepat, sesungguhnya uli> (ahl) al-h}al wa al-'aqd dan ahl al-shu>ra>' telah menyetujuinya berdasarkan atas kajian-kajian (dira>sa>t) dan istinba>t} shar'iyah. Selanjutnya, dia menyatakan, barangkali hal tersebut (seluruhnya atau sebagian undang-undang di Tunisia) sesuai dengan apa yang telah kami paparkan. 48
H}usayn al-Z}ahabi>, al-Shari>'ah al-Isla>miyah Dira>sah Muqa>ranah bayn Ahl alSunnah wa al-Shi>'ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 243. 46 Muh}ammad 'Azzah Darwu>zah, al-Tafsi>r al-Hadi>th Tarti>b al-Suwar H}asab alNuzu>l, vol. 8 (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1994), 433-434.
47 48
18
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat, sehingga diputuskan bersama oleh suami isteri.49 Dengan melihat prinsip-prinsip perkawinan tersebut, tampaklah bahwa salah satu dari prinsip perkawinan di Indonesia adalah mempersulit (mempersukar) terjadinya perceraian atau talak. B. Alasan dan Proses Perceraian di Indonesia Alasan-alasan yang harus ada dalam cerai, baik cerai talak maupun cerai gugat telah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain (kekerasan dalam rumah tangga). 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar taklik talak. 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
49
A. Perceraian Dipersulit dalam Hukum Indonesia Pasal 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan tentang azas-azas atau prinsip-prinsip perkawinan: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan immaterial. 2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 3. Undang-undang ini mengatur prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Undang-undang menentukan batas umur untuk kawin baik pria maupun bagi wanita, adalah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun) bagi wanita. 4. Undang-undang ini menganut azaz monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan terpenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. 5. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, sehingga perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1981), 23-24.
19
Alasan-alasan perceraian dari huruf a sampai dengan huruf f diatur secara tegas, baik dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 39 ayat 2), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pasal 19) maupun Kompilasi Hukum Islam (Pasal 116). Sedangkan, alasan huruf g dan h hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasal 116). 50 C. Bentuk-Bentuk Perceraian di Indonesia Pengertian perceraian (talak) tidak ditemukan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Akan tetapi, istilah tersebut diketemukan dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal tersebut dinyatakan: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan, Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan bentuk-bentuk perceraian secara tegas. Akan tetapi, jika dipahami secara mendalam bahwa dalam undang-undang tersebut menjelaskan cerai talak dan cerai gugat, sebagaimana dipahami dalam Pasal 39 (cerai talak) dan Pasal 40 (cerai gugat). Sedangkan, Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan bahwa permohonan cerai (talak) yang diperuntukan khusus yang berperkara di pengadilan agama, yang kemudian diatur dalam Pasal 66-72 UU Nomor 7 Tahun 1989. Sementara itu, cerai gugat diatur dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang kemudian diatur dala Pasal 73-86 UU Nomor 7 Tahun 1989.
50
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan tentang proses cerai talak: (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. 51 (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. (3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
51
Adanya penambahan alasan perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam pada huruf h (murtad) menimbulkan masalah, karena jika terjadi rukun antara suami istri, maka murtad tidak dapat dijadikan alasan perceraian, padahal dalam fiqh dinyatakan bahwa murtad merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan walaupun suami istri rukun dalam rumah tangga.
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan tempat permohonan diajukan, yang isinya: Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Dalam hal ini, Ahmad Rofiq menyatakan, kutipan tersebut menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan adalah yang mewilayahi tempat tinggal permohonan. Sementara itu, dalam Undang-Undang Peradilan Agama mengubah atau memperbaharuinya, tempat mengajukan permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman termohon, atau dalam bahasa kompilasi tempat tinggal (domisili) isteri. Perubahan tempat mengajukan permohonan tersebut sekaligus mengubah secara prinsip pengaturan yang ada dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975. Hal ini dimaksudkan seperti kata Munawir Sadzali, untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada isteri. Bobot keringanan terhadap pihak perempuan akan lebih jelas lagi dalam gugatan perceraian. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 296-297. Dalam Pasal 28 (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan, Suami yang hendak menjatuhkan talak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b, Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, memberitahukan maksudnya dengan surat kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya, disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang, 321.
20
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohnan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak. 52 Permohonan sebagaimana termaktub dalam Pasal 66 tersebut memuat: a. nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu isteri; b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI). Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya banding dan kasasi (Pasal 113 KHI). Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan (1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan; (2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan: Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud Pasal 14 dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian (Pasal 131 ayat 1 KHI). Pasal 70 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana dirinci dalan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975: (1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan;
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) isteri dapat mengajukan banding; (3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteti atau wakilnya untuk mengahdiri sidang tersebut; (4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri isteri atau kuasanya; (5) Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah tidak datang menghadiri sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya; (6) Jika suami dalam tenggang waku 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama. 53 Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan: Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Pasal ini kemudian dirinci dalam Pasal 131 ayat 5 KHI, yang menyatakan: Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk
53
52
Selain itu, ayat (5) memberi peluang diajukannya kumulasi obyektif atau gabungan tuntutan. Hal ini dimaksudkan agar mencari keadilan melalui pengadilan dapat menghemat waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan, 66.
Dengan Pasal 16 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, ikatan perkawinan suami isteri tetap utuh, belum terjadi talak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat 4 KHI yang menyatakan: Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
21
diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama. Selanjutnya, Pasal 71 UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan: (1) panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak; (2) hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. D. Ikrar Talak di Pengadilan Agama Ikrar talak yang berlaku di Indonesia harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 39, ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1989 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ikrar talak diucapkan oleh suami setelah pengadilan berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian. Dalam hal ini, pengadilan menetapkan bahwa permohonan yang diajukan suami atau kuasa hukumnya dikabulkan. Terdahap penetapan ini, istri dapat mengajukan keberatan dengan melalui banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Kemudian setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht), pengadilan menentukan hari penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Dalam sidang tersebut, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akte otentik untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri oleh istri atau kuasanya. Jika istri telah mendapatkan panggilan secara sah atau patut, tetapi dia tidak datang menghadap sendiri atau wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak dengan tanpa hadirnya istri atau wakilnya. Hal ini berbeda, jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah
atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian talak tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama, Pasal 70 ayat 1-6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam cerai talak diterapkan ketentuan penggugat dan tergugat, bersifat contensiosa, yang produk hukumnya berupa keputusan. Akan tetapi, sewaktu ikrar talak diterapkan ketentuan yang bersifat volunteer, yang produk hukumnya ketetapan, sehingga bersifat sepihak, yang berarti pengadilan semu. Dengan demikian, dalam ikrar talak ada dua produk, yaitu keputusan untuk pemberian izin talak dan ketetapan untuk ikrar talak. Hal ini berbeda dengan cerai gugat yang bersifat contensiosa, yang berarti pengadilan yang sebenarnya.54 Walaupun suami sudah datang pada hari penyaksian ikrar talak dan sidang majlis sudah dimulai, Hakim Majelis masih berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, sehingga hakim bersifat aktif, bukan pasif. Dalam hal ini, hakim masih mempunyai harapan barangkali suam berniat untuk tidak melanjutkan perceraian dan hidup kembali sebagaimana keadaan semula, karena dia melihat nasib anak-anaknya jika terjadi perceraian. Akan tetapi, jika suami tidak berkehendak untuk kembali, Hakim Ketua mempersilahkan kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri istrinya atau kuasa hukumnya. Pada masa yang lalu, sebelum mengucapkan ikrar talak, hakim mengatakan kepada suami dengan ucapan: Pak hakim, saksikan ucapan ikrar talak saya ini. Kemudian, baru hakim melakukan penyaksian ikrar talak. Akan tetapi, pada saat ini hakim majlis langsung bertindak sebagai saksi dengan tidak ada permohonan dari suami atau wakilnya dengan tanpa melihat saksi dari hakim itu harus lelaki semua sebagaimana dalam pendapat Shi'ah, sesuai dengan bunyi Alqur'an, wa ashhidu> dhaway 'adl, tanpa memandang jender. Namun demikian, dalam praktek sampai saat ini dalam penyaksian melalui pengadilan (hakim) tidak pernah terjadi ikrar talak dengan
54
Masykuri Hasan, Wawancara, Kediri, 10 Agustus 2010. Sementara itu, Idham Khalid menganggap cerai talak tergolong contensiosa. Jika dikatakan volunteer itu, maka hanya dilihat dari kata permohonan, tetapi prosesnya dengan contensiosa (ada lawan). Idham Kholid, Wawancara, Jombang, 18 Agustus 2010.
22
tanpa ada dua orang laki-laki, yang terlibat. Pengertian hakim majelis harus dipahami secara utuh, termasuk Panitera. Karena Panitera tergolong orang yang terlibat dalam sidang penyaksian pengucapan ikrar talak, sehingga dapat sebagai saksi. Hal ini, secara tidak langsung walaupun undang-undang tidak mengharuskan lakilaki, pengadilan masih tetap melibatkan 2 (dua) saksi laki-laki, sehingga kaidah 'adad ma'du>d pada lafal "dhaway 'adl" masih tetap berlaku, sekaligus untuk menghindari khila>f (perbedaan) tentang khila>f mustah{ab (keluar dari perbedaan adalah disunnahkan). 55 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 51K/AG/1981, tanggal 25 Agustus 1982 menyatakan bahwa talak yang dilakukan tidak di depan sidang pengadilan juga tanpa diketahui oleh dua orang saksi adalah tidak berdasarkan Hukum Islam. Dalam hal ini, Sumasno (ketua PA Mojokerto) mengatakan bahwa ketentuan harus ada dua orang saksi ini harus dilihat (1) jika yang dimaksud dua orang saksi ini diambil dari orang di luar hakim
55
majelis, maka tidak pernah dilakukan, sedangkan (2) jika yang dimaksud dua orang saksi itu hakim yang terlibat dalam hakim majelis, maka dilakukan pada setiap pengucapan ikrar talak, bahkan tidak hanya dua orang hakim, tetapi tiga orang hakim. Lebih lanjut, Masykuri Hasan (hakim PA Kab. Kediri) menyatakan bahwa hakim tidak harus mengikuti yurisprudensi. Artinya, hakim boleh mengenyampingkan yurisprudensi dan tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan, sebagaimana bunyi Pasal 16 PP. Nomor 9 Tahun 1975. Sebelum suami mengucapkan ikrar talak, hakim menanyakan dahulu tentang keadaan isterinya, yaitu apakah sedang haid atau tidak atau suci yang sudah disetubuhi. Jika isterinya sedang haid atau suci yang sudah disetubuhi, menurut Masykuri Hasan (hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri), pengucapan ikrar talak harus ditunda, karena akan memperlama masa 'iddah seorang isteri dan sekaligus menghindari khlila>f. Hal ini, karena mengucapakan ikrar talak pada waktu isteri sedang haid dianggap talak bid'ah dan sebagian ulama menganggapnya tidak sah (tidak jatuh talak). Sementara itu, Idham Khalid (wakil ketua/hakim Pengadilan Agama Jombang), menanyakan kepada isteri (mut{allaqah), apakah kamu menerima jika kamu dicerai dalam keadaan haid. Jika dia menerima, suami diperintahkan mengucapkan ikrar talak, sedangkan jika dia tidak menerima, maka ikrar talak ditunda. Akan tetapi, jika menerima, suami diperintahkan untuk mengucapkan ikrar talak walaupun dalam keadaan haid, sehingga disebut talak bid'ah dengan resiko masa tunggu 'iddah lebih lama. Hal ini karena para ulama tetap menyatakan bahwa ikrar talak yang diucapkan dalam keadaan haid atau suci yang sudah disetubuhi tetap jatuh walaupun haram. Artinya, haram li ghayrih, bukan haram lidha>tih, yakni memperpanjang masa 'iddah.56 E. Berlakunya Ikrar Talak di Indonesia. Penetapan berlakunya ikrar talak dimaksudkan untuk mengetahui kapan seorang mantan istri memulai masa tunggu
56
Idham Khalid (wakil ketua PA Jombang, Wawancara, Jombang, 13 Agustus 2010. Hal ini berbeda dengan Moh. Djaeni (Panitera PA Kabupaten Kediri) yang berpendapat bahwa yang dimaksud hakim majelis adalah para hakim yang menghadiri penyaksian ikrar, yang terdiri atas 1 (satu) hakim ketua dan 2 (dua) hakim anggota, bukan panitera. Panitera hanya sebagai pelengkap yang membantu dan mencatat hal-hal yang terjadi dalam sidang. Dia juga mengatakan bahwa saksi dari hakim dalam ikrar talak tidak mengenal gender. Artinya, saksi dari hakim boleh perempuan semua, hanya saja sampai saat ini belum pernah terjadi, karena masih kekurangan hakim perempuan. Artinya, pada suatu waktu dapat terjadi hakim yang bersidang terdiri atas perempuan semua dan dibenarkan. Tidak diperintahnya hakim untuk menjadi saksi oleh suami yang mengucapkan ikrar talak adalah karena sudah dipahami bahwa pengadilan berkududukan sebagai saksi, sehingga walaupun tidak diperintahkan dengan sendirinya para hakim yang terlibat dalam ikrar talak sudah dianggap sebagai saksi. A. Djaeni, Wawancara, Kediri, 18 Agustus 2010. Sumasno, ketua PA Mojokerto, mengatakan, sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, ikrar talak disaksikan oleh dua orang saksi di luar hakim majelis dan sebelum ikrar talak hakim menyuruh kepada suami agar dia memerintah hakim majelis untuk menyaksikan. Akan tetapi, setelah UU Nomor 7 Tahun 1989, saksi dari luar ditiadakan (cukup dengan hakim majlis saja), karena untuk mempercepat jalannya sidang, di samping bertambahnya kasus perceraian. Sumasno (ketua PA Mojokerto), Wawancara, Mojokerto, 27 Agustus 2010. Sementara itu, Mudzakkir Soelsap, hakim PA Singaraja Bali, menyatakan bahwa suami dalam ikrar talak tidak boleh diwakili oleh pengacara perempuan dan non muslim dan dalam praktek terkadang ikrar talak diucapkan di hadapan hakim tunggal, padahal masalah ini dianggap masalah ta'abbudi. Mudzakkir Soelsap, Wawancara, Tebuireng, 31 Agustus 2010.
Masykuri Hasan (hakim PA Kab. Kediri), Wawancara, Kediri, 18 Agustus 2010; Idham Kholid (wakil ketua PA Jombang), Wawancara, Jombang, 10 Agustus 2010. Mudzakkir Soelsap berpendapat sama dengan Idham Kholid tentang mengucapkan ikrar talak sewaktu isteri sedang haid atau suci yang sudah disetubuhi.
23
('iddah), baik 'iddah talak raj'i> atau talak ba>in kubra>'. Bahkan, untuk mantan isteri yang tidak menunggu 'iddah, yaitu yang belum disetubuhi suaminya (qabl al-dukhu>l). Dalam hal ini harus dimengerti bahwa segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak harus dicatat oleh panitera. Begitu juga, hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi (Pasal 71 ayat 1-2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Artinya, produk akhir dari cerai talak ini berupa penetapan, yang berarti volunter walaupun sebelumnya masuk dalam kategori contensiosa.57
57
Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975: Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan dalam sidang; Pasal 71 (2) hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi dan Pasal 123 KHI: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini berbeda dengan cerai gugat, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 81 (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989: Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum.
24
A. Proses Ikrar Talak di Indonesia Pada Penjelasan Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga. Kemudian alasan-alasan tersebut diulangi dan dipertegas lagi dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan menambah dua anak pasal, yaitu: g. Suami melanggar taklik-talak; h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga.58
58
Tambahan alasan perceraian pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berupa taklik talak dan murtad sangat penting, karena sebelumnya tidak ada. Taklik talak adalah suatu janji atau pernyataan yang biasanya dibacakan suami setelah akad nikah.Taklik talak merupakan suatu ijtihad baru sangat penting untuk melindungi istri dari kesewenang-wenangan atau tidak bertanggung jawabnya suami. Namun demikian, jika dikatakan khulu' pada talik talak ini, ternyata imbalannya ('iwad}) tidak sebagaimana biasanya, sehingga lebih tepat dinamakan talak muba>ra'ah, sebagaimana terjadi pada cerai gugat di Indonesia. Perceraian melalui taklik talak ini tidak berlaku dalam cerai talak,
terjadinya talak, baik untuk cerai talak maupun cerai gugat. Walaupun demikian, alasan murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga ini, menurut penulis tidak tepat untuk diterapkan, karena seluruh ulama fiqh sepakat bahwa murtad merupakan sebab putusnya perkawinan secara mutlak. Artinya, janganlah memudahkan penggunaan kaidah fiqh "yughtafar fi> al-thawa>ni> ma> la> yughtafar fi> alibtida>' (tidak diampuni suatu perbuatan yang terjadi di awal, diampuni perbuatan yang terjadi di tengah-tengah). Maknanya, pada waktu nikah suami isteri samasama muslim (awal), di tengah-tengah perjalanan isteri atau suami beralih agama (murtad), jika tidak menyebabkan ketidak rukunan, tidak terjadi putusnya perkawinan. Hal ini bertentangan dengan qu> 'anfusakum wa ahli>kum na>ra>. (jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yang merupakan takhs}i>s} dari ayat "la> ikrah fi> al-di>n" (lafal 'am dengan ciri isim nakirah dalam redaksi nafi atau kalimat negatif pada lafal la> ikra>h). Jika diberlakukan Pasal 116 huruf h KHI ini, maka dimungkinkan akan terjadi anak atau cucu yang bukan muslim. Oleh karena itu, tindakan pencegahan (preventif) harus dilakukan, sesuai dengan teori Sadd alDhari>'ah. Hakim harus lebih peka dalam melihat murtad sebagai alasan perceraian dalam Islam dan dapat mengenyampingkan apa yang ada pada KHI. Pasal 44 KHI menyebutkan: Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Hal ini sesuai dengan kandungan Alqur'an yang melarang pria non muslim mengawini wanita muslim walaupun kita>bi> (yahudi/nasrani)>, karena akan membawa ke neraka. Bahkan, walaupun Alqur'an membolehkan pria muslim kawin dengan wanita kita>biyah, para ulama lebih baik untuk tidak menerapkannya, apalagi di Indonesia yang tidak asli kita>biyah, karena akan membawa pengaruh pada anak atau cucunya yang dimungkinkan tidak menganut agama Islam. Hal ini dilakukan sebagai tindakan pencegahan, sebagaimana shahabat Umar melarang shahabat T{alh}ah dan Khudhayfah mengawini wanita-wanita ahl al-kitab. Abd al-'Az{i>m Ma'>ani dan Ah}mad al-Ghundu>r, Ah}ka>m min al-Qur'>an wa al-Sunnah (Mesir: Da>r al-Ma'>arif, 1967), 46. Apa yang dilakukan shahabat Umar tersebut sesuai dengan kaidah fiqh "al-rid{a> bi al-shay'i rid{a> bima> yatawallad" (rela melakukan sesuatu berarti rela akan akibat yang ditimbulkannya), sehingga orang Islam berhati-hati sewaktu akan menikahi wanita kita>biyah. alSuyuti, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir, (Surabaya: al-Hida>yah, 1965), 97.
Alasan-alasan tersebut, dalam kitab fiqh, untuk zina dengan melalui proses li'a>n yang berakibat putusnya perkawinan untuk selama-lamanya, yang dilakukan di depan pengadilan. Sebab cacat badan dan murtad dengan melaui fasakh. Sementara itu, untuk lainnya dapat digolongkan dalam tafri>q qad{a>'i> yang biasa dilakukan oleh isteri seperti talak karena cacat ('ayb), bahaya (d}arar), bepergian (gaybah), tidak memberi nafkah, yang banyak dibahas para penulis kitab-kitab fiqh kontemporer seperti Abu> Zahrah, Muh}ammad al-Dhahabi> dan Abu> al-'Aynayn Badra>n. Dalam hal ini, Hukum Islam Indonesia lebih tegas dalam menentukan alasan-alasan tentang
25
tetapi hanya berlaku pada cerai gugat atau gugat cerai, yang merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan melalui keputusan pengadilan (Pasal 38 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 113 huruf c Kompilasi Hukum Islam). Keharusan adanya alasan-alasan dalam perceraian dan dilakukan di depan sidang pengadilan merupakan hal baru bagi masyarakat kita. Hal ini dimaksudkan, sebagai upaya mempersukar perceraian yang merupakan hak wewenang kaum lelaki. Tanpa upaya seperti ini, hak-hak kaum perempuan akan terabaikan, si suami akan menjatuhkan talak semaunya saja, kapan saja dan di mana pun sesuai kehendak hatinya.59 Penjelasan di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Marsekan Fatawi, bahwa perceraian terkendali ini, perceraian yang dilakukan di depan sidang pengadilan, dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pihak suami. Keharusan dilakukan di muka pengadilan adalah masalah ijtiha>diyah, yang bertitik tolak dari kebiasaan sementara suami yang ingin menceraikan isterinya memberitahukan kepada hakim Pengadilan Agama dan bertujuan untuk mengembalikan kepada kerukunan. Dengan kata lain, agar hakim mengadakan upaya perdamaian. Lebih lanjut dijelaskannya, dengan asas terkendali ini, sekaligus berarti sebagai upaya hukum dalam rangka melindungi kaum wanita. Kita dapat melihat betapa banyaknya perceraian yang sangat memberatkan kaum wanita, tidak hanya menjadi pukulan moril bagi mereka, tetapi juga bagi kehidupannya. Dia harus mencari nafkah tidak hanya buat dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak-anaknya, yang seharusnya adalah merupakan tanggung jawab mantan suaminya. 60
59
Sementara itu, dibuatnya peraturan tentang alasan-alasan tersebut adalah berdasarkan pada kaidah fiqh, tas}arruf al-ima>m 'ala> al-ra'iyyah manu>t} bi al-mas}lah}ah (kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya didasarkan pada kepentingan rakyat) dan sekaligus sesuai dengan teori utilitarianisme61 dari Jeremy Bentham, sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, yang bertujuan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Walaupun hak menceraikan isteri itu semula tergolong hak individu (h{aq al-fard), tetapi setelah pemerintah mengaturnya melalui perundangan-undangan, maka hak ini menjadi hak kolektif atau h}aq al-jama>'ah (h{aq Alla>h), yang harus ditaati, sebagaimana kandungan firman Allah dalam surat al-Nisa>' (4): 59 yang berbunyi : ya ayyuha> al-ladhi>na a>manu> ati>'u> Alla>ha wa ati>'u> al-rasu>la wa uli> alamri minkum (wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan pemerintah).62Dengan demikian, kepatuhan seorang Islam terhadap peraturan perundang-undangan, selama tidak bertententangan dengan shara', adalah mencerminkan kadar keimanan yang kuat pada dirinya. Hal ini, karena ayat tersebut ditujukan hanya kepada orang-orang yang beriman dan merekalah sebenarnya yang akan melakukan dan mengambil manfaat dari kandungan ayat tersebut, bukan orang lain. Lebih-lebih, peraturan tersebut dibuat oleh pemerintah untuk mengatur orang-orang yang beragama Islam, sebagaimana yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, sebenarnya peraturan-peraturan yang terkait dengan
Arso Sasroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2004), 37. Perceraian yang harus lewat dan dengan keputusan pengadilan ini juga berlaku di Druze Lebanon, Iran, Tunisia, Somalia, Aljazair, Yaman dan Malasia. Namun di beberapa negara perceraian di luar pengadilan masih diakui, seperti dipraktekkan di Brunai Darussalam, Lebanon, Yordania, Syiria, Irak dan Libia. Khoirddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002),254. 60 Marsekan Fatawi,"Hukum Islam dalam Undang-Undang Perkawinan" dalam Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, Ed. HA Muhaimin Nur et. al (Jakarta: CV Ade Cahya, 1985), 187-188. Perceraian terkendali ini pada intinya
kembali kepada dar' al-mafa>sid wa jalb al-mas}a>lih}} (menolak kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). 61 Jeremy Benhtam berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip ini, perundang-undangan hendaknya dapat memberikan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat. Lebih lanjut, Benhtam mengatakan bahwa hukum dan mural merupakan dua hal yang tidak bisa di pisahkan. Hukum bermuatan moral dan sebaliknya. Hal ini mengingat moral merupakan sendi utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya. Untuk itu, hukum yang efesien dan efektif adalah hukum yang dapat mencapai visi dan misinya, yaitu memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga yang banyak, sebagaimana semboyannya (the greates happiness for the greates number). Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17-18. 62 Depag, al-Qur'an, 128.
26
perceraian yang berlaku di Indonesia (ius constitutum) adalah nilainilai Hukum Islam yang bersumberkan nas} dengan melalui istinba>t} dan/atau istidla>l, yang kemudian menjadi hukum postip (hukum nasional) dengan melalui taqni>n (pembuatan undang-undang). Hal ini sebagai upaya menerapkan makna ayat dalam surat al-Ma>idah (5): 48 (fa uhkum baynahum bima> anzala Alla>h) dan al-Ma>idah (5): 49 (an uh}kum baynahum bima> anzala Alla>h) Jika dilihat secara seksama terhadap sumber Hukum Islam yang utama dan pertama, sebenarnya Alqur'an telah mengatur tentang langkah-langkah dan alasan-alasan yang harus dilakukan oleh suami atau istri sewaktu terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Langkah-langkah tersebut, sewaktu isteri nushu>z, telah diatur pada ayat tersendiri secara khusus, surat al-Nisa>' (4): 34, 35 dan 128, yang diberlakukan sebagai syarat, bukan sebagai sebab. Karena itu, dalam hal perceraian (talak) tidak berlaku kaidah Us}u>l al-Fiqh, yang berbunyi : ma> la> yatim al-waji>b illa> bih fahuwa wa>jib63 (suatu kewajiban yang tidak dapat dilakukan dengan sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka yang lain itu hukumnya wajib). Kewajiban dalam surat al-Nisa>' (4): 34, 35 dan 128 merupakan kewajiban yang berdiri sendiri yang harus dilakukan, tidak sebagai sebab yang terkait dengan surat al-T{ala>q (65):1, sebagaimana ayat tentang kewajiban shalat (aqi>mu> al-s}ala>h) dalam surat al-Nisa>' (4): 76 dengan ayat tentang kewajiban wudlu (idha> qumtum ila> al-s}ala>ti fa ighsilu> wuju>hakam) dalam surat al-Ma>idah (5): 7. Di samping itu, surat al-Nisa>' (4): 34, 35 tidak dapat dijadikan sebagai wasi>lah (sarana/perantara) atau dhar>i'ah (jalan) pada ayat Alqur'an yang berupa s}i>ghat al-amr (bentuk perintah melakukan sesuatu), pada lafal "aw tasri>hun} bi ih}sa>n" dalam surat al-Baqarah (2): 229; "wa
63
sarrih}u>hunna sara>h}an jami>la>" dalam surat al-Ah}za>b (32) : 49; "aw fa>riqu>hunna bima'ru>f" dalam surat al-T}ala>q (65): 2, "idha> t}allaqtumu> al-nisa>' fat}alliqu>hunn li 'iddathinn" dalam surat al-T}ala>q (65): 1, karena dianggap sebagai syarat. Hal ini berbeda jika wasi>lah pada s}ighat al-amar (bentuk perintah melakukan sesuatu) pada talak itu berupa wasi>lah ijtiha>diyah (sarana yang berupa hasil pemikiran ulama) yang berupa sebab, maka berlaku kaidah tersebut. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut berdiri sendiri, bukan karena ayat tentang talak dan diberlakukan sebagai tahapan-tahapan yang harus dilalui jika seorang suami akan melakukan ikrar talak kepada istrinya. Akan tetapi, para ulama memahami ayat-ayat tersebut berada pada prinsip kaidah amr (perintah), yaitu li al-wuju>b (menunjukkan wajib) secara tersendiri, sebagaimana pendapat yang dihubungkan kepada pendapat al-Shafi'i dan mayoritas ulama, alas}ah} annaha> haqi>qah fi> al-wuju>b faqat} 64 (menurut pendapat yang lebih sahih, bahwa secara hakikat (sebenarnya) bentuk perintah (amr) itu hanya menunjukkan wajib), yang berarti tidak boleh ditinggalkan atau dilewati oleh suami dalam pengucapan ikrar talak kepada isterinya. Kedua ayat dalam surat al-Nisa>' (4): 34 dan 35 merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan sewaktu melihat istri melakukan nushu>z. Dalam surat al-Nisa>' (4): 34, ulama berbeda
64
Muhammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Mesir: Da>r al-Fikr al 'Arabi>, t,th), 180. Abu> Zahrah mengatakan bahwa sesuatu (sarana vital) bagi terealisirnya suatu kewajiban terbagi menjadi dua, yaitu (1) sesuatu (sarana) yang ditegaskan oleh Sha>ri' (Allah/Rasulullah) sebagai suatu syarat, yang wajib dikerjakan berdasarkan nas yang berdiri sendiri, bukan berdasarkan pada kewajiban yang asal dan (2) sarana-sarana vital yang menjadikan suatu kewajiban tidak akan dapat terealisir dengan tanpa adanya sarana tersebut. Sarana ini berupa sebab, yang berupa perbuatan yang dapat dijangkau (dikerjakan) oleh manusia untuk merealisir kewajiban tersebut, seperti pergi ke tanah suci untuk melaksanakan kewajiban haji. Ibid.
Abu> Zakariya>' al-Ans}a>ri>, Gha>yat al Wus}u>l Sharh} Lubb al-Us}u>l (Bandung: Fajar Nusantara, t.th), 64-65. Begitu juga, al-Mah}alli> menyatakan bahwa pendapat yang dipilih sesuai dengan Abu> H}a>mid al-Fira>yini dan Imam al-H}aramayn bahwa s}i>ghat al-amr secara hakikat menunjukkan tuntutan yang pasti dan mengikat (al-t}alab alja>zim). Baca al-Mah}alli>, H>}a>shiyah 'Alla>mah al Banna>ni>, vol.1 (Mesir: Mat}ba'at 'I>sa'> al-Ba>bi> al-H}alabi> wa Sharkah, t.th.), 376. Bahkan, dalam kitab-kitab tafsir tidak dijelaskan tentang petunjuk amar pada ayat-ayat tersebut, terutama terkait dengan lafal fa 'iz}u>hunna, wa uhjuru>hunna, wa idribu>hunna pada surat al-Nisa>' (4: 34 dan 39. Namun demikian, Imam Nawa>wi> Banten dalam kitabnya, 'Uqu>d al-Lujjayn, menyatakan bahwa amar yang ada dalam surat al-Nisa>' (4): 34 adalah mandu>b atau sunnah. Sementara itu, dalam kitab tafsinya, Mara>h} Labi>d, al-Nawawi sama sekali tidak menyebutkan petunjuk amar (perintah). Muhammad b 'Umar Nawawi, Sharh} 'Uqu>d al-Lujjayn fi> 'Uqu>d al-Zawjayn (Mesir: 'I<sa> al-Ba>>bi> al-H}alabi>, t.th), 7; alNawa>wi>, Marah} Labi>d Tafsi>r al-Nawa>wi>, vol.1 (Singapura: Maktabat Sulayma>n Mar'i>, t.th), 149. Dengan demikian, jika melihat penerapan kaidah amar menunjukkan wajib, maka tahapan-tahapan dan alasan-alasan talak itu harus ada. Oleh karena itu, jika tahapan-tahapan tersebut tidak dilalui sebagaimana dalam ayat tersebut, maka talak tidak dapat dilaksanakan atau tidak terjadi talak.
27
tentang huruf wa>wu sebagai huruf at}af, yakni ada yang berkata li altarti>b (menunjukkan berurutan) dan ada yang boleh tidak berutan atau li mut}laq al-jam'i (menunjukkan banyak/boleh tidak berurutan), sehingga suami boleh mengambil salah satu dari tiga pilihan atau boleh mengumpulkan semua.'A<li> al-S{a>bu>ni> mengatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah li tarti>b (berurutan), sebagaimana pendapat Ibn al-'Arabi> dalam Tafsi>r A>yat al-Ah}ka>m dan juga pendapat shahabat 'Ali> b Abi> T{a>lib. Jika langkah pada surat al-Nisa' (4): 34 gagal, maka langkah berikutnya adalah sebagaimana disebutkan pada surat al-Nisa>' (4): 35. Dalam hal ini, pada surat alNisa>' (4): 34 ditujukan kepada suami, sedangkan pada surat al-Nisa>' (4): 35 ditujukan pada h}ukka>m (hakim atau pemerintah) dengan mendatangkan h}akam (mediator) dari pihak keluarga istri dan keluarga suami atau orang lain. Bahkan, Wahbah al-Zuh}ayli> juga, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan bahwa petunjuk amar pada fab'athu> adalah menunjukkan wajib sebagaimana pendapat al-Sha>fi'i>, karena tergolong dapat menghilangkan tindakan penganiayaan ( ,) yang termasuk suatu kewajiban yang bersifat umum dan yang harus diperhatikan oleh hakim. 65 Wahbah al-Zuh}ayli menjelaskan, talak itu jangan dilakukan karena sebab-sebab yang remeh sebagaimana dilakukan oleh orangorang yang bodoh, seperti ada kebencian dan hanya mengumbar hawa nafsu, karena hal itu keluar dari ajaran-ajaran Islam dan menyebabkan dosa, bahkan perlu diberi hukuman. Untuk itu, talak diundangkan hanya semata-mata karena keadaan darurat, yang merupakan perundang-undangan yang dikecualikan (tashri>' istihna>'i>), demi keluwesan/elastis dari hukum, setelah suami melakukan
langkah-langkah (al-mara>h}il al-a>tiyah) sebagaimana dalam surat alNisa>' (4): 34-35.66 Di samping itu, petunjuk (dala>lah) surat al-Nisa>' (4): 35 ini tidak dapat digunakan teori mafhu>m mukha>lafah (extra a contrario), yang maknanya jika tidak ada shiqa>q (pertengkaran/perselisihan), maka
66
65
Muh}ammad 'Ali> al-S}a>bu>ni>, Rawa>i' al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m, vol. 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 430-431; Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r, vol.5 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 59. Muh}ammad 'Ali> al-Sa>yis, Tafsi>r A>yat al-Ah}ka>m, vol. 2 (Mesir: Matba'at Muhammad 'Ali Subayh, 1953), 100. al-Bayd{a>wi>, Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta'wi>l, vol. 1 (Mesir: Mat{ba'at Must{afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1968), 218. Sa'ud b Mas'ad menyatakan, pendapat yang kuat pada khit}a>b dalam lafal "fa ib'athu" tertuju pada sult}a>n, karena yang dapat menghilangkan kezaliman dan menghilangkan bahaya hanya berada pada sult}a>n, bukan lainnya. Sa'u>d b Mas'ad b Masa>'id, al-Tafri}>q bayn al-Zawjayn bi H}ukm al-Qa>d}i> (Makkah: D<ar al-Tura>th, t.th), 78.
Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, vol. 7 (Beirut: Da>r al Fikr, 1989), 359. Namun demikian, Wahbah tidak mengambil sikap yang tegas yang menyatakan bahwa jika tidak ditempuh langkah-langkah sebagaimana termaktub dalam al-Nisa': 34 dan 35, maka suami tidak boleh ikrar talak. Artinya, Wahbah sama dengan sikap ulama lain yang menganggap sah atau terjadi talak jika suami mengucapkan ikrar talak kepada isterinya walaupun tidak melakukan langkahlangkah yang termaktub dalam ayat tersebut. Di samping itu, adanya langkahlangkah tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa nikah itu adalah mi>tha>qan ghali>z}a> (ikatan yang sangat kuat), yang bermakna bahwa perceraian harus dihindari dan sesuai juga dengan nilai-nilai yang dapat dipahami dari hadith yang menyatakan bahwa talak merupakan sesuatu yang halal yang sangat dibenci Allah (abghad{ alh}ala>l Ila> Alla>h al-t}ala>q). Artinya, hukum yang paling rendah dalam talak, tidak sampai h}ara>m, adalah makru>h, karena sesuatu yang makru>h itu tergolong yang h{ala>l atau ja>iz. Nilai hadith tersebut diperdebatkan oleh ulama hadith. Abu> Da>wu> d menilai hadis tersebut tergolong hadis s}ah}i>h}, sedangkan Abu> H}atim menilainya sebagai hadith mursal, karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Muhammad bin Khalid dari Mu'arrif bin Was}il dari Muh}a>rib bin Ditha>r dari Ibn 'Umar secara marfu>'. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ah}mad bin Yu>nus, Wa>qi' bin al-Jarra>h}, Yah}ya> bin Bukayr dari Mu'arrif dari Muh}a>rib secara mursal. Mereka tergolong perowi yang kuat hafalannya dan banyak bilangannya, sehingga hadith tersebut dinilai mursal. Begitu juga al-Da>ruqut}ni>, al-Bayha>qi>, Khat}t}a>bi> dan al-Mundhiri>. Abu> 'Abd Allah bin Abd al-Salla>m 'Allawsh, Iba>nat al-Ah}ka>m, vol. 3 (T.t, T.p, T.th), 362. Ulama berbeda pendapat tentang kehujahan hadis mursal (1) tergolong hadis d}a'i>f mardu>d (mayoritas ahli hadis dan kebanyakan as}ha>b al-us}u>l dan fuqaha>'), karena identitas perawi tidak diketahui, yang kemungkinan bukan shahabat; (2) hadis s}ah}i>h} yang dapat dijadikan hujjah atau dalil (Abu> H}anifah, Ma>lik dan Ah}mad menurut pendapat yang terkenal), termasuk pendapat sekelompok ulama dengan syarat mursil harus thiqah ('adl d}a>bit}), dengan alasan bahwa seorang tabi'i tidak mungkin berkata, Rasulullah SAW. bersabda, kecuali jika dia mendengar dari perawi thiqah (terpercaya); (3) didukung hadis lain (hadis musnad); (4) sesuai dengan perkataan shahabat dan (5) hadis mursal diterima (maqbu>l) dengan syarat (pendapat al-Shafi'i dan sebagian ilmuan), yang di antaranya mursil harus tabi'in besar dan hadith mursal tersebut digunakan oleh kebanyakan ahl al-'ilm dalam memberikan fatwa. Mah}mu>d al-Tah}h}an, Taysi>r Mus}t}alah} al-Hadi>th (Surabaya: Toko Kitab al-Hida>yah, t.th), 72-73. Dengan demikian, hadis tersebut dapat dijadikan h}ujjah (dalil), lebih-lebih hadis tersebut sebagai ta'ki>d (penguat) dari surat al-Nisa>' (4): 34, padahal jika saja didukung oleh hadis musnad (hadis marfu>' dan muttas}il), perkataan shahabat atau diamalkan oleh kebanyakan ulama sudah dijadikan dalil sebagaimana pendapat al-Sha>fi'i.
28
tidak diperlukan keterlibatan h{ukka>m (pemerintah dalam arti umum). Hal ini, karena ayat tersebut dapat dimasukkan pada nas} yang bersifat aghlabiyah (pada umumya) atau akthariyah (kebanyakannya), yang tidak dapat menerima mafhu>m mukha>lafah,67 sebagaimana nas{ tentang riba>' dalam surat Ali 'Imra>n (3): 130, ya ayyuha> al-ladhi>na a>manu> la ta'kulu> al-riba> ad}'afan mud}a>'afa> (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda)68 dan juga nas} tentang menikahi anak tiri yang berada pada asuhan bukan bapak tirinya dalam surat al-Nisa>' (4): 23, wa raba>ibukum al-la>ti> fi> h}uju>rikum min nisa>ikum al-la>ti> dakhaltum bihinn (dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri)69. Untuk itu, ayat tersebut tidak boleh dipahami, bahwa jika tidak terjadi shiqa>q (pertengkaran atau perselisihan), maka hakim/pemerintah tidak diperlukan. Hal ini sebagaimana tidak boleh dipahami firman Allah yang menyatakan: janganlah kamu makan riba' dengan berlipat ganda dengan pemahaman boleh makan riba>' asalkan tidak berlipat ganda atau sedikit saja. Begitu juga tidak boleh dipahami, bapak tiri dibolehkan menikahi anak tirinya jika dia tidak berada di bawah asuhan bapak tirinya seperti diasuh oleh bapak kandungnya sendiri atau panti asuhan. Surat al-Nisa> (4): 35 menyatakan, jika terjadi shiqa>q (pertengkaran), hakim (al-qa>d{i>) diperintahkan untuk mendatangkan h{akamayn, yang diambil dari masing-masing keluarga suami/isteri atau pihak lain yang sanggup menjadi mediator atau juru damai. Hal ini menunjukkan bahwa perceraian harus dihindari dan dipersulit, karena akan berpengaruh pada keluarga, terutama mantan isteri dan anak-anaknya. H}akamayn diberi tugas untuk melakukan is{la>h{ (perdamaian) antara keduanya, sehingga diharapkan suami isteri hidup kembali sebagaimana semula. Akan tetapi, jika keduanya
67
tidak dapat disatukan kembali, maka h}akamayn menyerahkan kembali kepada hakim untuk melakukan tindakan hukum, yakni talak. Dalam hal ini, jika melihat bunyi surat al-Nisa>' (4): 34, maka hakim memerintah kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak jika keinginan bercerai dari suami, karena nushu>z berasal dari isteri. Sedangkan, jika nushu>z berasal dari suami, maka hakim boleh menetapkan dengan fasakh (menurut teori Shafi'iyah) atau ba>in s{ughra>' (menurut teori H{anafiyah) dengan keputusan hakim (tafri>q qad{a>i>). Dalam praktek di Pengadilan Agama, talak yang inisiatif berasal dari isteri atau nushu>z berasal dari suami adalah menggunakan teori H{anafiyah dan ini lebih tepat digunakan, karena hakim dalam membuat keputusan terjadinya talak berkedudukan sebagai pengganti suami, yang pada hakikatnya bahwa talak adalah hak suami. Artinya, hakim berkedudukan sebagai sult}a>n (pemerintah) sebagaimana seorang wanita yang tidak mempunyai wali atau ada wali tetapi wali tersebut ad{al (tidak mau menikahkan/bangkang). Masalah shiqa>q sebagaimana dalam surat al-Nisa>' (4): 35 sering dipahami untuk cerai gugat, sehingga produknya berupa keputusan pengadilan. Padahal shiqa>q ini dapat juga terjadi melalui cerai talak, yang produknya berupa penetapan "Ikrar Talak". Hal ini, karena dalam ayat tersebut berupa lafal yang menunjukkan 'a>m dengan menggunakan ciri berupa "al-id{a>fah bi al-ma'rifah" atau susunan lafal yang disandarkan pada ism ma'rifah, yaitu lafal shiqa>q baynihima> pada lafal "wa in khiftum shiqa>q baynihima> ". Hal ini sebagaimana telah diterapkan oleh Pengadilan Agama Mojokerto sebagai alasan sosiologis (pertimbangan) pada Putusan Nomor: 0084/Pdt.G/2010/PA.70 Di Indonesia, kandungan surat al-Nisa>' (4): 35 dilakukan dengan mediasi melalui mediator dari h}akamayn dan hakim yang sudah ditentukan oleh Pengadilan, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
70
Wahbah al-Zuhayli, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, vol. 2 (Beirut: D<ar al-Fikr, 2001), 343. Salah satu syarat dari mafhu>m mukha>lafah (versi jumhu>r al-'ulama>') adalah pembatas (qayd) yang ada pada nas} (mant}u>q) tidak menjelaskan sesuatu yang pada umumnya terjadi atau memelihara peristiwa yang terjadi (mura>'at al-wa>qi'). Abd alKari>m Zayda>n menyebutnya, qayd yang ada pada nas} tidak berupa qayd akthari> (pembatas yang berlaku pada kebanyakannya). Abd al-Kari>m Zayda>n, al-Waji}z fi} alUs}u>l al-Fiqh (Beirut: Muassasat al-Risa>lah, 1987), 370. 68 Depag, Al-Qur'an, 97. 69 Ibid, 120.
Menurut Sumasno, Ketua PA Mojokerto, shiqa>q tidak hanya diterapkan pada cerai gugat saja, tetapi diterapkan pula dalam cerai talak sebagai alasan perceraian. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada Penjelasan Pasal 39 ayat 2 huruf f UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Begitu juga sebagaimana Idham Kholid (Wakil ketua PA Jombang) yang mengambil pendapat dari pendapat Ilyas Yusuf (mantan hakim PT Mataram). Sumasno, Ketua PA Mojokerto, Wawancara, Mojokerto, 10 Agustus 2010; Idham Kholid, Ketua PA Jombang, Wawancara, Jombang, 12 Agustus 2010.
29
Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, yang kemudian dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 71 Bahkan, Pasal 2 (3) Perma tersebut menyatakan: Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan demikian, talak tidak dapat dijatuhkan secara langsung, tanpa melalui proses dan tatacara menjatuhkan talak. Hal ini sebagaimana makna yang terkandung dalam perintah pada lafal, fab'athu> h}akaman min ahlihi wa h}akaman min ahliha>., yang melibatkan pihak pemerintah, yang dalam hal ini para hakim (pemerintah dalam pengertian pihak yudikatif). Oleh karena itu, jika ditelaah secara seksama dan dilakukan pemahaman terhadap ayat-ayat yang terkait dengan talak secara mawd}u>'i (tematik) dan holistik, maka sangat jelas bahwa pengucapan ikrar talak itu melibatkan pihak pemerintah, tidak seenaknya dilakukan oleh suami sendiri walaupun dia yang mempunyai hak menjatuhkan talak. Untuk itu, sangat disayangkan jika para penulis kitab, baik fiqh maupun tafsir, yang sangat baik dalam menguraikan urutan-urutan yang harus dilakukan oleh suami sewaktu menghadapi istri yang nushu>z.72 Akan tetapi, kemudian
71
mereka tidak menyatukan dengan ayat-ayat yang terkait dengan pengucapan ikrar talak, sebagaimana pada lafal "fat}alliqu>hunna li 'iddatihinna" dalam surat al-T{ala>q (65): 1, sehingga isi Alqur'an itu dipahami terpotong-potong dan hanya mengikuti ulama-ulama terdahulu, sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, tanpa pengkajian penafsiran ulang (reinterpretasi), padahal fiqh itu tidak terlepas dari tempat dan waktu dan bersifat z}anni>. Akibatnya, umat Islam di Indonesia, tetap memakai apa yang disampaikan oleh para tokoh dan kyai mereka, lebih-lebih suami yang berpoligami. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan suami sewaktu melihat isterinya nushu>z harus dilakukan secara mendalam. Artinya, suami harus melihat mengapa isteri nushu>z dan jangan sekali-kali selalu menyalahkan isteri semata-mata, karena dia sebagai kepala rumah tangga yang harus ditaati oleh isteri dan dia sebagai pemegang hak talak. Kemungkinan nushu>z yang terjadi pada isteri akibat perbuatan suami yang kurang atau bahkan tidak peduli kepada isteri, suami hanya menuntut haknya saja, sementara kewajibannya tidak diperhatikan atau bahkan melakukan kekejaman yang sangat sadis, karena suami beranggapan isteri harus tunduk dan patuh kepada suami. Proses mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama dapat dipahami sebagai penerapan kaidah Us}u>l al-Fiqh, yang berbunyi "ma> la> yatim al-wa>jib illa> bih fahuwa waji>b" (suatu kewajiban tidak akan dapat sempurna kecuali dengan dengan
bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan). Ah}mad Abd al-'Azi>z al-H}us}ayn (Beirut: Maktabat al-Ayma>n, t.t), 147-144. Perlu direnungkan kata-kata dari Muhammad Iqbal, iqra' al-Qur'a>n fa innahu> munazzal 'alayk (bacalah Alqur'an, karena sesunggunya Alqur'an itu seakan-akan diturunkan kepadamu). M Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), 14. Makna yang terkandung pada kata-kata Iqbal sangat menggugah umat Islam untuk melakukan interpretasi, termasuk reinterpretasi (penafsiran atau penta'wilan) Alqur'an, sehingga Alqur'an dapat membumi dan menjadi rahmah li al-'alamin. Hal ini, karena Alqur'an tidak hanya diturunkan untuk umat yang hidup pada masa kenabiyan Muhammad SAW. Akan tetapi, ia diturunkan untuk umat yang hidup sekarang ini sebagai kitab hida>yah (hudan li al-muttaqi>n). Kata-kata Iqbal tersebut menunjukkan dalam memahami Alqur'an diperlukannya metode hermeneutik, yang ternyata telah diterapkan oleh Fazlur Rahman dengan double movement (teori gerak ganda), yang dalam teori Kaidah Tafsir atau Kaidah Us{ul al-Fiqh dinyatakan "al-'ibrah bi 'umu>m al-lafz{ la> bi khus{u>s{ al-sabab" dan "al-'ibrah bi khus{u>s} al-sabab la> bi 'umu>m al-lafz{"
Peraturan Mahkamah Agung (perma) Nomor 01 Tahun 2008 merupakan revisi Perma Nomor 2 Tahun 2003 dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan. Perma ini ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 31 Juli 2008 oleh Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Perma ini tediri atas 8 bab dan 27 pasal. . 72 Ah}mad 'Abd al-'Azizi> al-H}us}ayn menjelaskan tentang talak dalam al-Qur'an dengan urutan (1) sebelum menceraikan isteri, al-Qur'an telah membuat piranti dan mengalihkan langkah perdamaian dengan perintah mu'a>sharah bi al-ma'ru>f serta memerintah dengan penuh kesabaran jika mendapat sesuatu yang dbenci, barangkali dengan kesabaran ini dikaruniai anak saleh, yang merupakan kebahagiaan dunia akhirat sebagaimana dalam surat al-Nisa>' (4): 19; (2) memperbaiki kehidupan perjodohan sewaktu isteri nushuz dan i'rad dengan menempuh tahapan al-wa'az}, alhajr, dan al-darb sebagaimana dalam surat al-Nisa>' (4): 34; (3) tah}ki>m antara keduanya (suami isteri) dengan mengutus h}akamayn sebagaimana dalam surat alNisa>' (4): 35) (4) jika tahapan-tahapan dan cara-cara untuk mewujudkan perdamaian dan kecintaan tersebut tidak tercapai, kecuali talak, Islam baru membolehkannya (fa al-t}ala>q fi> al-Isla>m aba>hah Alla>h ba'd istinfa>d kull al-wasa>il wa al-t}uruq almuaddiyah ila> al-Is}la>h}), sebagaimana dalam al-Nisa>' (4): 130 (jika keduanya
30
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib) pada lafal "fat}alliqu>hunna" dalam surat al-T{ala>q (65): 1 yang berupa s}igha>t alamr atau kaidah al-dhari>'ah atau wasi>lah, bahkan dapat juga dengan teori mas}lahah mursalah (Imam Malik) atau istis}la>hi> (al-Ghaza>li>). Begitu juga dapat digunakan teori utility atau utilitarianisme Jeremy Bentham, teori kegunaan atau manfaat, sehingga dengan melalui proses perceraian, perceraian dilakukan dengan baik, tidak ada pihak yang dirugikan atau dapat memperkecil kerugian atau mafsadah yang terjadi akibat perceraian, terutama terkait dengan nasib anakanak yang ditinggalkan, baik dalam nafkah maupun pendidikan mereka.73 B. Persaksian dalam Ikrar Talak di Indonesia Pendapat Shi'ah merupakan suatu pendapat yang dianggap lebih tepat untuk diterapkan terkait dengan persaksian talak, karena dapat mempersulit terjadinya, yang kemudian pendapat ini diikuti oleh para penulis kitab tafsir, seperti Muhammad 'Azzah Darwuzah, alT{abra>si dan al-Alu>si. Pendapat tersebut didasarkan pada petunjuk amr pada lafal wa ashhidu> dengan menunjukkan wajib yang merupakan kaidah pokok dalam amr sebagaimana pendapat alShafi'i dan mayoritas ulama walaupun dalam penerapannnya alShafi'i tidak menerapkan li al-wuju>b pada lafal ishhadu> tersebut. Bahkan, sebenarnya jika dipahami secara seksama dengan menggunakan kaidah tarji>h terkait dengan hukum ishha>d fi> al-t{ala>q (wajib dan sunnah/irsha>d), maka hukum wajib ini lebih ikhtiya>t{ (hati-hati),74 lebih-lebih di Indonesia telah ada Putusan Mahkamah Agung Nomor 59K/Ag/1981 yang mengharuskan ada saksi dalam pengucapan ikrar talak. Jika talak tanpa dihadiri dua orang saksi,
73
maka tidak sesuai dengan Hukum Islam dan ini seharusnya diperhatikan oleh para hakim di pengadilan agama, karena putusan mahkamah agung merupakan salah satu sumber hukum formil. Penerapan metode tarji>h75 sangat tepat dikaitkan dengan hukum persaksian dalam talak sebagaimana berlaku di Indonesia, yang dalam prakteknya dilakukan oleh hakim majelis. Ulama fiqh berbeda pendapat mengenai makna yang ditunjukkan oleh dalalat al-amr (ashhidu>), ada yang menyatakan nadb/irsha>d (pendapat mayoritas ulama) dan ada yang menyatakan wajib (pendapat Shi'ah). Jika dilakukan tarji>h, maka pendapat Shi'ah ini lebih kuat dibandingkan dengan pendapat mayoritas ulama, karena sesuai dengan prinsip kaidah pokok amr, yaitu al-amr li al-wuju>b (perintah menunjukkan wajib). Artinya, penerapan kaidah ini harus dipertahankan, lebihlebih terkait dengan perceraian, yang hanya dibolehkan dalam keadaan yang mendesak dan bahkan ia sebagai sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Kerena itu, adanya persaksian dalam perceraian merupakan keharusan, sehingga suami mendapatkan kesempatan untuk berpikir dengan baik, sebelum menjatuhkan talak. Hal ini sesuai dengan tujuan diundangkannya Hukum Islam (maqa>s{id alshari>'ah), yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menolak segala bentuk bahaya. Bahkan, perceraian ini tergolong maqa>s{id d{aru>riyyah atau maslah{ah d{aru>riyah (bersifat primer) yang berupa h{ifz al-nasl (memelihara keturunan). Pelaksanaan persaksian ikrar talak dilakukan bersamaan dengan pengucapan ikrar talak di depan sidang pengadilan, berbeda dengan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang membolehkan perceraian dilakukan di luar pengadilan kemudian baru dicatatkan ke pengadilan. Artinya, sebelum Undang-Undang
75
Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum dan moral itu merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral dan moral mesti bermuatan hukum, mengingat moral itu merupakan salah satu sendi utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendajnya. Hukum yang efisien dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya, yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga yang terbanyak (the greates happiness for the greates number). Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 21-22. 74 Syansuri Badawi, Us{u>l al-Fiqh, vol. 2 (Mojokerto: Fajar Offset, t.th), 67. Dalam kitab ini dijelaskan jika salah satu dari dua dalil (termasuk ada dua dala>lat alma'na), yang salah satu ikhtiya>t{ dan lainnya tidak ikhtiya>t{, maka didahulukan yang ikhtiya>t{.
Tarji>h{ merupakan salah satu bentuk ijtihad, sebagaimana pendapat Yu>suf alQard{a>wi. Menurut Yusu>f al-Qard{a>wi, ijtihad terdiri atas ijtihad intiqa>'i (tarji>h}) dan insha>'i. Ijtihad tarji>h adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk memilih pendapat apara ahli fiqh terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam berbagai kitab fiqh, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan relevan kndisi kita sekarang ini. Sedangkan, ijtihad insha>'i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqh terdahulu. Yusuf Qardhawi, Fiqih Tajdid dan Shahwah Islamiyah , terjemahan Nabhani Idris (Jakarta: Islamuna Press, 1997), 52; Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 167 dan 170.
31
Nomor 1 Tahun 1974, pelaksanaan ikrar talak dahulu, baru kemudian melakukan persaksian sebagaimana pendapat mayoritas ulama yang menganggap sah terhadap talak yang tidak dipersaksikan dua orang saksi laki-laki (hukum persaksian talak dianggap sunnah).76 Hal ini berbeda dengan pendapat Shi>'ah yang mengharuskan ada persaksian sewaktu suami mengucapkan ikrar talak sebagai usaha untuk mempersulit terjadinya talak, yang sesuai dengan maqa>s{id al-shari>'ah walaupun Shi>'ah tidak menyebutkan persaksian ikrat talak ini harus di depan pengadilan. 77 C. Pelaksanaan Ikrar Talak di Indonesia Secara dalil tersurat (mant}u>q) keharusan ikrar talak di depan pengadilan tidak ditemukan dalam nas} Alquran dan hadis, berbeda dengan keharusan ada saksi dalam ikrar talak. Persaksian talak dapat diketemukan dalam nas{ al-Qur'a>n (wa ashhidu>) pada al-T}ala>q (65): 2 secara tersurat (mant}u>q), namun petunjuk lafal tersebut bersifat z}anni> (tidak pasti), yaitu wajib atau nadb (sunnah). Akan tetapi, jika
76
diperhatikan secara seksama dengan melakukan beberapa pertimbangan secara menyeluruh, maka pendapat yang mewajibkan persaksian dalam ikrar talak merupakan pendapat yang paling tepat. Sementara itu, jika persaksian ikrar talak itu merupakan suatu keharusan, maka melalui pendekatan kaidah kebahasaan terhadap kelanjutan dari lafal wa ashhidu>, yaitu wa aqi>mu> al-shaha>dah li Alla>h dapat ditentukan tentang tempat pengucapan ikrar suami terhadap isterinya. Mukha>t}ab yang ada pada s{i>ghat al-amr dalam lafal wa ashhidu> ditujukan kepada mut}alliq (suami yang akan mengucapkan ikrar talak). Sementara itu, mukha>t}ab yang ada pada s{i>ghat al-amr dalam lafal wa aqi>mu> al-shaha>dah li Alla>h ditujukan kepada shuhu>d (para saksi). Lafal wa aqi>mu> memperkuat keberadaan lafal wa ashhidu>, sehingga pantas jika ishha>d dalam talak harus dilakukan. Dalam terjemahan al-Quran terbitan Departemen Agama, lafal wa aqi>mu> alshaha>dah li Alla>h diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan "dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah". Jika pada lafal ashhidu> (amr) itu menunjukkan wajib, maka lafal aqimu> (amr) itu juga menunjukkan wajib. Bahkan, dalam lafal ini secara jelas menggunakan lafal aqi>mu> sebagaimana pada lafal aqi>mu> als{ala>h, yang sudah tentu dalam pelaksanaan persaksian membutuhkan wasi>lah (sarana), yang terdiri atas wasi>lah, berupa zaman dan tempat. Artinya, iqa>mat al-shaha>dah tidak dapat dilakukan seenaknya, karena lafal al-shaha>dah berupa lafal 'am (al masuk pada isim mufrad), sehingga membutuhkan takhs{i>s{ dalam aplikasinya, terutama terkait dengan shaha>dah fi al-t}ala>q aw al-raj'ah walaupun al (alif lam) tersebut menunjukkan li istighra>q al-jins (mencakup seluruh bentuk persaksian), baik talak/rujuk maupun lainnya. Di samping itu, dalam ta'bi>r (redaksi) wa aqi>mu> al-shaha>dah li Alla>h juga tidak disebutkan ma'mu>l-nya (waktu dan tempat). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kaidah us{u>liyah yang berbunyi al-'amal bi al'a>m qabl al-bahth 'an al-mukhas{s{is{ la> yaju>z (menggunakan lafal 'am sebelum meneliti meneliti mukhasisnya adalah tidak boleh), sehingga dibutuhkan iijtihad dalam menentukan tempat persaksian.
al-Jas}s}a>s, Ah}ka>m al-Qur'a>n, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 682. Perceraian dianggap sah walaupun tidak dipersaksikan, baru kemudian dipersaksikan. Hal ini, karena persaksian (ishha>d) dilakukan setelah perceraian (furqah), sehingga tidak menjadi persyaratan sahnya perceraian. 77 Amir Syarifuddin menyatakan, undang-undang perkawinan di dunia Islam sekarang yang telah menetapkan perceraian itu mesti di pengadilan adalah sejalan dengan pandangan ulama Shi'ah, hanya tempat dilaksakannya kesaksian itu yang telah dimodifikasi, yaitu mesti di pengadilan. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 217. Pernyataan Amir Syarifuddin ini hampir sama dengan Azhar Basyir yang menyatakan, apabila kita perhatikan dalil-dalil pendapat tentang wajib dipersaksikannya talak, dapat kita lihat bahwa pendapat tersebut mempunyai dasar yang cukup kuat. Karena itu, apabila kita mengikuti pendapat ini, kecuali mempunyai alasan cukup kuat, prinsip Islam yang mempersempit pintu perceraian itu akan dapat terpenuhi dengan baik dan dilakukan melalui pengadilan dengan pertimbangan maslahah mursalah. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2004), 80 dan 93. Hanya saja Amir Syarifuddin tidak menyebutkan metode istidla>l, sedangkan Azhar Basyir menyebutkan metode istidla>l terkait dengan keharus adanya persaksian dalam ikrar talak dan dilakukan di depan sidang pengadilan, yaitu mas}lah}ah mursalah. Namun jika dicermati, antara keduanya terdapat kesamaan yaitu harus dilakukan di depan pengadilan. Sementara itu, keharusan perceraian dilakukan di pengadilan tidak ditemukan dalam nas}, padahal mengandung maslahah (kebaikan) yang besar sesuai dengan tujuan disyariatkannya Hukum Islam. Karena itu, pemikiran Amir Syarifuddin ini menggunakan nalar istidla>l dengan mas}lah}}ah mursalah.
32
Di samping itu, dapat juga digunakan teori takhs}i>s} bi al-'urf al-'ama>li> (versi Hanafiyah), bukan Shafi'iyah.78 Terkait dengan ma'mu>l yang tidak disebut dalam ta'bi>r (redaksi) lafal wa aqi>mu> al-shaha>dah ada sebagian penulis dari kitab tafsir yang menyatakan bahwa persaksian (khusus untuk ikrar talak) dilakukan di hadapan hakim atau qa>di> seperti al-Fayru>zaba>di> (w 817 H) dengan redaksi "al-h}ukka>m", al-Nawa>wi> al-Banta>ni> (w. 1314 H) dengan redaksi "al-h}ukka>m", al-Samarqandi> dengan redaksi "alh}a>kim" , al-Jas{s}a>s} (w. 305 H/917 M) dengan redaksi "al-h}ukka>m", alBayd{a>wi> (w. 685 H/1286 M) dengan redaksi "al-h}ukka>m", 'Ali> alSa>yis dengan redaksi "al-h}ukka>m", Wahbah al-Zuh{ayli> dengan redaksi "al-qud}a>h" dan Muh{ammad Sayyid T{ant{a>wi dengan redaksi al-h}ukka>m wa ghayrih.79 Dengan demikian, penentuan persaksian
78
dilakukan di depan pengadilan merupakan hasil dari takhs}i>s} bi al-'urf al-'amali> versi Hanafiyah, sebagaimana dilakukan di Indonesia dan juga negara-negara Islam yang telah melakukan pembaharuan Hukum Islam dalam hukum keluarga. Misalnya, Turki (keharusan perceraian hanya di pengadilan); Yaman Selatan (perceraian hanya terjadi di pengadilan); Maroko (keharusan adanya surat notaris
Muh{ammad Abu> al-Nu>r Zuhayr, Us{u>l al-Fiqh, vol. 2 (Kairo: Da>r al-T{iba>'ah alMuh{ammadiyah, t.th), 311. Hanafiyah menyatakan, 'urf 'amali> (kebiasaan yang berupa perbuatan) sama dengan 'urf qawli> (kebiasaan berupa ucapan), dapat mentakhs{is} 'a>m, karena keduanya dapat dipahami secara cepat dari lafal; sedangkan Sha>fi'iyah menyatakan, 'urf 'amali> yang tidak disandarkan pada penetapan Rasulullah tidak dapat mentakhs{is} 'a>m yang datang melalui lisa>n al-shar'i, karena perbuatan manusia tidak dapat dijadikan h{ujjah (dalil) atas shara'. Hanya saja jika perbuatan disandarkan pada iqra>r (pengakuan) Nabi Muhammad, maka pentakhs}is}nya adalah iqra>r itu sendiri. 79 Fayru>zaba>di>, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn 'Abba>s (Beirut; Da>r al-Fikr, t.th), 398; al-Nawa>wi>, Mara>h} Labi>d Tafsi>r al-Nawa>wi>, vol. 2 (Singapura: Maktabat Mat{ba'at Sulayma>n Mar'i>, t.th), 382 dan secara secara tegas al-Nawa>wi> menyatakan bahwa isim isharah pada lafal dha>likum mengarah pada ishha>d (persaksikanlah) dan iqamat al-sahahadah (tegakkan persaksian); al-Samarqandi>, Bah{r al-'Ulu>m, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), 461; al-Jas{s}as>{, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), 682; al-Bayd{a>wi>, Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta'wi>l, vol. 2 (Mesir: Mat{ba'at Must{afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1968 dan menyatakan bahwa lafal "dha>likum" tertuju sebagaimana al-Nawawi atau semua apa yang ada pada seluruh ayat: 'Ali> alSa>yis, Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m, vol. 4 (Mesir: Mat{ba'at Muh}ammad 'Ali> S}ubayh} wa Awla>dihi, 1953) dan dia menyatakan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya menegakkan persaksian di depan hakim terhadap semua hak; al-Zuh}ayli>, al-Tafsi>r al-Muni>r fi> 'Aqi>dah wa al-Shari>'ah wa al-Manhaj, vol. 27 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 271 dan dia menyatakan sebagaimana 'Ali> al-Sa>yis; Muh{ammad Sayyid T}ant}a>wi>, al-Tafsi}r al-Wasi>t} li al-Qur'an al-Kari>m, vol. 14 (Mesir: Nahd}ah, 1964), 448 dan dia menyatakan, redaksi ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa menunaikan persaksian secara benar (s}ah}i>h}) di hadapan h}ukka>m dan lainnya merupakan sesuatu yang wajib, karena Allah telah berfirman pada ayat lain, wa la> taktumu> al-shaha>dah wa man yaktumha> fa innahu> a>thimun qalbuh (janganlah kalian menyembunyikan persaksian dan barang siapa yang menyembunyikan persaksian
maka hatinya berdosa). T}ant}a>wi> juga menyatakan, redaksi wa aqi>mu> al-saha>dah adalah di'at}afkan pada lafal sebelumnya, sedangkan khit}a>b ayat ini ditujukan kepada semua orang yang terkait dengan persaksian. Dengan demikian, T}ant}awi menguhubungkan ishha>d tidak hanya kepada jumlah (redaksi lafal) yang terdekat, tetapi juga kepada jumlah yang ada pada awal surat al-T}ala>q (65): 1, yaitu "fa t}alliquhunn". Bahkan, jika digunakan kaidah syarat pada redaksi wa ashhidu>, maka dapat dijadikan sebagai penyempurna bagi ma'mu>r bih (perbuatan yang diperintah), yang mengandung makna syarat bagi imsa>k dan fira>q, karena 'at}af itu menyerupai qayd (pengikat/pembatas) walaupun tidak sebagai qayd (pembatas). Sementara itu, keberadaan syarat yang datang setelah beberapa jumlah (kalimat) kembali kepada seluruh jumlah yang sebelumnya sebagaimana Ibn 'Ashu>r dalam al-Tah}ri>r wa alTanwi>r. Akan tetapi, jika demikian pendapatnya (kembali ke imsa>k dan fira>q), maka pendapat ini tidak mengena pada sasaran talak, tetapi hanya pada imsa>k (rujuk) atau melepaskan isteri sewaktu habis masa tunggu (mufa>raqah), bukan talak (talliqu>hun). Oleh karena itu, kaidah sharat tersebut harus dimulai pada lafal fat}alliqu>hun sampai dengan fa>riqu>hunna dengan menggunakan kaidah wawu 'at}af yang li al-ma'iyah (bersamaan), bukan li mut}laq al-jam'i. Artinya, persaksian dilakukan bersamaan dengn pengucapan ikrar talak, bukan setelah diucapkan lafal al-t}ala>q. Dalam kaidah us}u>liyah tentang syarat dijelaskan al-shart al-da>h}il 'ala> al-jumal yarji' ila> al-jami>' (syarat yang masuk pada beberapa kalimat adalah kembali kepada seluruh kalimat). Abd al-H}ami>d H}aki>m, al-Baya>n (Djakarta: Sa'adijah Putera, 1972), 72; Abd alHamid Hakim, al-Sulam (Jakarta: Ghalia Indonesia, t.th), 29 dengan redaksi al-shart ba'd al-jumal ya'u>d ila> al-jami>' (syarat yang jatuh setelah beberapa kalima kembali kepada seluruh kalimat). Dengan demikian, penggunaan wawu ma'iyah pada wa ashhidu> ini (analisis penulis) berbeda dengan ulama yang mengharuskan persaksian setelah menjatuhkan talak, yang menggunakan wa li al-tarti>b (berurutan). Artinya, jika perceraian tanpa melalui persaksian, dianggap sah. Akan tetapi, setelah menjatuhkan talak, suami wajib mempersaksikan. Pemakaian huruf 'ataf wawu terdiri atas li mut}laq al-jam'i (kebanyakan ahl nahw, ulama us}u>l al-fiqh dan fuqaha>'), li al-ma'iyah (Ibn Malik dan dua murid Abu> H}ani>fah, yaitu Abu> Yu>suf dan Muh}ammad b al-H}asan al-Shayba>ni>) yang dihubungkan dengan pendapat Abu> H}ani>fah dan li al-tarti>b (al-Farra>', Tha'lab dan Abu> 'Ubaydah) yang dihubungkan dengan pendapat al-Sha>fi'i>. al-A<midi>, Muntaha>' al-Sul fi> 'Ilm al-Us}u>l (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003), 281; Mahmud Muhammad al-T{ant}a>wi, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001, 387-388.
33
untuk perceraian) dan Aljazair (perceraian hanya terjadi di pengadilan).80 Melihat pernyataan para ahli tafsir tentang lafal yang dibuang dari ma'mu>l pada redaksi lafal wa aqi>mu> al-shaha>dah, tampaklah bahwa mereka telah melakukan ijtihad untuk menentukan ma'mu>l melalui inventarisasi beberapa lafal yang dipandang lebih tepat sebagaimana dalam menginventarisasi 'illat al-h}ukm dalam qiya>s dengan sebutan takhri>j al-mana>t}, kemudian dilakukan seleksi (tanqi>h} al-mana>t}) dan ketepatan dan keefektifannya (tah}qi>q al-mana>t}). Untuk itu, harus dihormati jasa-jasa mereka dalam melakukan istinba>t} al-h}ukm dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih-lebih negara Indonesia telah menetapkan adanya persaksian di depan pengadilan sewaktu suami ikrar talak sebagai wujud ijma>' dari ahl al-h}all wa al-'aqd baik pemerintah maupun ulama Indonesia sebagai suatu keharusan sebagaimana kandungan dan jiwa dari ayat wa uli> al-amr minkum. Di samping itu, jika diperhatikan secara mendalam, ternyata redaksi wa aqi>mu> al-shaha>dah lilla>h pada surat al-T{ala>q (65): 2 ada kesamaan redaksi dengan wa aqi>mu> al-s}ala>h pada surat al-Nisa'<> (4): 76, wa aqi>mu> al-wazna bi al-qist} pada surat al-Rah}ma>n (55): 9, wa aqi>mu> wuju>hakum dan an aqi>mu> al-di>n. Lafal-lafal tersebut terdapat kesamaan, yaitu aqi>mu> (fi'il amr) yang berasal dari fi'il ma>d}i> mujarrad dari lafal qa>ma, kemudian ditambah hamzah sehingga menjadi aqa>ma. Dengan demikian, keberadaan perintah persaksian dalam perceraian sama dengan perintah shalat, yang berarti harus memperhatikan syarat dan rukun. Jika tidak demikian, keberadaan pelaksanaan ikrar talak tidak akan terjadi (sah) sebagaimana pelaksanaan shalat. Lafal aqa>ma atau iqa>mah dalam dunia pesantren diberi makna dengan "jumenengaken", yang bermakna bahwa shalat, termasuk di dalamnya persaksian dibutuhkan pelengkap atau sarana (was}i>lah), tidak cukup hanya sekadar melakukan sesuatu. Lebihlebih terkait dengan pengucapan ikrar talak yang akan berdampak langsung dalam kehidupan keluarga di dunia, dibutuhkan kehatihatian, sehingga talak itu hanya dilakukan dalam keadaan darurat dan setelah dilakukan tahapan-tahapannya.
80
Kelompok penulis yang tidak setuju talak di depan atau melalui pengadilan dan bahkan mengkritik keras terhadap kelompok yang mensyaratkan ikrar talak harus di depan pengadilan adalah tidak berdasarkan istinba>t} atau istidla>l, tetapi hanya berdasarkan: 1. Bahwa Rasulullah SAW., para shahabat dan ulama yang datang kemudian tidak mengharuskan talak di de``pan pengadilan. 2. Bahwa talak yang dilakukan di depan pengadilan merupakan suatu perbuatan yang membuka rahasia atau cacat rumah tangga (perjodohan), yang seharusnya ditutup rapat-rapat, tidak perlu diketahui orang lain. Padahal salah satu etika dalam ajaran Islam adalah menjaga dan melihara rahasia atau cacat orang lain. 3. Tidak ada seorang ulama-pun yang mengharuskan izin kepada hakim sewaktu suami akan menceraikan isterinya merupakan ijma>' suku>ti> sejak masa shahabat dan ulama sesudahnya. 4. Menjatuhkan talak melalui izin pengadilan tidak akan mendapatkan kemaslahatan (keuntungan). 5. Sebab-sebab yang membolehkan terjadinya perceraian adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan kejiwaan, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak membutuhkan bantuan pengadilan. Jika alasan-alasan yang dikemukan oleh kelompok yang menentang pelaksanaan talak di depan pengadilan dikaji secara mendalam, maka akan dapat dikemukakan bantahan sebagai berikut: Talak yang terjadi pada masa Rasulullah masih hidup sebenarnya diketahui oleh Rasulullah SAW. walaupun dengan sunnah taqri>riyah (penetapan). Artinya, Rasulullah SAW. mendapatkan pemberitahuan tentang terjadinya talak yang dilakukan oleh sebagian shahabat dan ini sebagai tanda persaksian talak walaupun dengan teori wawu 'at}af li al-tarti>b, bukan li alma'iyah (bersamaan). Hal ini sebagaimana pendapat ulama yang mewajibkan ada saksi, setelah terjadi ikrar talak, yang dalam hal ini Rasulullah SAW berfungsi sebagai penguasa (h}a>kim) dalam pengertian luas, sekaligus sebagai qa>di> yang bertugas sebagai yudikatif. Tipe pelaksanaan talak seperti ini hampir sama dengan pelaksanaan talak di Indonesia sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, di mana persaksian talak
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 5-7.
34
dilaksanakan bersamaan dengan pengucapan ikrar talak, yang berarti menggunakan wawu al-'at}f li al-ma'iyah (bersamaan). Jika mereka beralasan talak yang dilakukan di depan pengadilan itu membuka rahasia rumah tangga (perjodohan) antara suami isteri yang seharusnya ditutup dengan rapat-rapat sehingga orang lain tidak mengetahui kejelekan-kejelekan yang terjadi di dalamnya, maka hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Secara umum (deduktif), berdasarkan normwissenschaft, membuka 'ayb (cacat) itu dilarang oleh ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam hadis "man satar musliman satarah Alla>h fi> aldunya> wa al-a>khirah" (barang siapa yang menutupi cacat orang lain, Allah akan menutupi cacatnya di dunia dan akhirat. 81 Jika dalam penyelesaian talak ini tidak membuka 'ayb (cacat) di hadapan hakim, hakim tidak dapat memutuskan perkara dengan baik, lebih-lebih sebelum dilakukan keputusan dilakukan mediasi melalui mediator dari keluarga dan mediator yang bersetifikat. Untuk itu, jika ada perintah perdamaian (fa as{lih{u>), maka diperlukan sesuatu yang menjadi sarananya (al-was>ail fi> h{ukm al-maqa>s}id). Dalam hal ini, membuka rahasia atau 'ayb (cacat) merupakan sarana
81
untuk menyelesaikan perkara (talak), sebagimana dokter tidak akan dapat mengobati penyakit yang diderita pasiennya, tanpa melalui pemberitahuan sakitnya dengan secara benar dan jujur. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila telah membuat aturan dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan melalui sidang tertutup sewaktu memeriksa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 68 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal tersebut menyatakan, pemeriksaan permohonan cerai talak dalam sidang tertutup. Jika tidak demikian, maka talak menjadi batal demi hukum. Dengan demikian, pemeriksaan secara tertutup merupakan ciri khas dalam perceraian, sehingga tidak dilihat oleh orang banyak, kecuali hakim dan mediator yang sedang melaksanakan tugas. Keharusan persaksian talak di depan pengadilan merupakan suatu keniscayaan dalam rangka mengurangi angka perceraian, sehingga pihak-pihak yang akan melakukan perceraian akan mengukur baik dan buruknya. Bahkan, suami yang sudah niat menceraikan isterinya terkadang membatalkan niatnya, karena ia telah diberi nasehat, baik oleh mediator maupun hakim yang memeriksanya sebelum perkaranya diputuskan. Keadaan ini berbeda jika hak talak ini tidak melibatkan pihak pengadilan, maka suami dengan seenaknya dapat menjatuhkan talak kepada isterinya, kapan saja dan di mana saja. Bahkan, dalam prakteknya di Indonesia, talak yang demikian (talak liar) ini tidak hanya dilakukan oleh orangorang awam, tetapi dilakukan oleh orang-orang yang dianggap tokoh nasional, seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), sebagaimana diberitakan dalam Jawa Pos, tanggal 1 Januari 2011. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip talak dalam Islam, yang menyatakan bahwa talak merupakan yang halal yang sangat dibenci Allah. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa talak melalui izin pengadilan tidak mendatangkan kemaslahatan atau hanya berupa kemaslahatan wahmiyah adalah tidak tepat, karena keberadaan iqa>mat al-shaha>dah fi> al-t}ala>q pada lafal wa aqi>mu> al-shaha>data li Alla>h, yang oleh mufassir seperti Fayru>zaba>di> (Tanwi>r al-Miqba>s) dan al-Nawa>wi> al-Bantani (Tafsi>r Mara>h} Labi>d) dan 'Ali> al-Sa>yis (Tafsi>r A<yat al-Ah}ka>m), dilakukan di hadapan hakim (pengadilan) adalah dijelaskan mengenai alasan hukumnya ('illat al-h}ukmi) pada
Hadis ini menunjukkan (dala>lah) umum, yang tidak dapat digunakan secara menyeluruh berdasarkan kaidah us}u>l al-fiqh pada lafal 'a>m, yaitu al-'amal bi al-'a>m qabl al-bahth 'an al-mukhas{s{is{ la> yaju>z (tidak boleh menggunakan lafal 'am sebelum ditakhsis lebih dahulu) atau ma> min 'a>m illa> wa qad h{us{s{is{a (tidak ada penggunaan lafal 'a>m, kecuali ditakhs{is{). Oleh karena itu, alasan yang dikemukan oleh penentang talak di depan pengadilan adalah tidak tepat. Secara lengkap hadith tersebut berbunyi:
Artinya : "Dari Abu Hurayrah, ia berkata. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menghilangkan kesusahan orang Islam dari kesusahan dunia, Allah akan menghilangkan ia dari kesusahan-kesusahan akhirat; dan barangsiapa memberikan kemudahan terhadap orang yang mendapat kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menutup cela (cacat) orang Islam, Allah akan menutup celanya di dunia dan alhirat; Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hambaNya suka menolong saudaranya. Muslim, Sah}i>h} Muslim, vol. 2 (Mesir: Matba'at 'I<sa> al-Ba>bi> al-H}alabi> wa Sharkah, t.th), 473.
35
kelanjutan ayat berikutnya (dha>likum yu'az}u bihi man ka>na yu'minu bi Allah.). Tidak adanya ulama yang mengharuskan izin dari hakim jika suami akan menceraikan isterinya merupakan ijma>' suku>ti> sejak masa shahabat dan ulama sesudahnya merupakan alasan yang kurang tepat jika dihadapkan dengan hukum Indonesia yang mengharuskannya. Hal ini didasarkan, bahwa hukum Indonesia yang mengharuskan ada izin dari pengadilan merupakan produk legislatif yang bersifat mengikat. Sementara itu, sumber hukum materiilnya diambil dari Alqur'an dan hadis serta hasil ijtihad ulama, lebih-lebih diperkuat dengan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan ijma>' ulama Indonesia, baik melalui metode takhyi>r maupun talfi>q. Oleh karena itu, ijma>' ulama Indonesia yang merupakan ijma>' qawli> mempunyai kedudukan yang kuat, apalagi menjadi hukum positip dan/atau hukum yang hidup di masyarakat (living law). Jika saja perceraian itu merupakan sesuatu yang terkait dengan urusan kejiwaan (al-umu>r al-nafsiyah) seperti suami sudah tidak mencintai isterinya, sehingga tidak perlu lewat pengadilan, maka pernyataan ini tidak tepat dijadikan alasan, karena suami akan sewenang-wenang dalam menceraikan isterinya. Penyebab perceraian yang berupa urusan kejiwaan akan lebih tepat jika melalui pengadilan, sebab sewaktu suami mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan agama, dia tidak langsung mengucapkan ikrar talak. Akan tetapi, diharuskan melalui proses perdamaian (mediasi) terlebih dahulu, dengan mediator yang sudah disiapkan, lebih-lebih mediator yang bersertifikat dan berlatar belakang pendidikan ilmu jiwa. Dengan melalui mediator ini akan terungkap penyebab perceraian atau percekcokan yang terjadi antara suami isteri, sehingga dia dapat mengembalikan keduanya pada posisi yang semula. Sementara itu, jika mediator tidak dapat merukunkan kembali antara keduanya, dia mengambil sikap untuk memilih perceraian, tetapi perceraian yang ih}sa>n dan ma'ru>f , yang akhirnya sesuai dengan firman Allah, wa in yatafarraqa> yughni Alla>hu kullan min sangatih. Jika tah}ki>m dalam menyelesaikan shiqa>q antara suami isteri tidak membutuhkan izin pengadilan, sebenarnya tidak salah sebagaimana pendapat kebanyak para mufassir. Akan tetapi,
keadaan ini harus dipahami bahwa pemerintah belum mengadakan lembaga atau perangkat yang khusus mengatur dengan tah}ki>m antara suami isteri. Sementara itu, jika sudah ada lembaga tah}ki>m yang dibuat oleh pemerintah, maka akan lebih baik, karena para petugasnya telah dipersiapkan untuk menangani hal tersebut dan pengaruhnya akan lebih meyakinkan terhadap suami isteri yang akan bercerai. Hal ini sebenarnya dapat dipahami dari pendapat para mufassir, yang memahami mukha>t}ab jama' pada lafal wa in khiftum shiqa>qa baynihima> fab'athu> h}akaman min ahlihi wa h}akaman min ahliha> pada surat al-Nisa>' (4): 35 dengan hakim atau qa>d}i.> Perpaduan pemahaman lafal wa ashhidu> dan wa aqi>mu> alshaha>dah merupakan dasar ikrar talak harus diucapkan di depan pengadilan agama dengan menggunakan metode literar, yang mengharuskan adanya persaksian (amr li al-wuju>b) dan dibarengkan dengan pengucapan ikrar talak (wawu 'at}af li al-ma'iyah), sekaligus adanya keharusan unsur kesengajaan sebagaimana tertuang dalam makna lafal idha> t}allaqtum al-nisa>', yaitu idha> aradtum al-t}ala>q (jika kamu berkehendak menjatuhkan talak). Oleh karena itu, pengucapan ikrar talak seorang suami kepada isterinya di luar ketentuan tersebut tidak dibenarkan walaupun sesuai dengan pendapat para ulama mazhab, tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Alqur'an dan hadis. Bahkan, jika hal ini dilakukan, maka akan dapat membawa keberadaan seorang perempuan seperti barang sebagaimana terjadi pada masa jahiliyah, sebelum datang agama Islam. Kejadian seperti ini jangan terjadi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. diutus di muka bumi dengan membawa rahmah li 'alamin. Ikrar talak yang harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama akan mengandung beberapa hikmah atau kegunaan sebagai berikut: 1. Islam sangat menganjurkan perkawinan dan pelestariannya, bahkan perkawinan yang kurang dikehendaki kedua belah pihak pun tetap menjadi perhatian Islam, seperti Islam sangat membenci perceraian. Karena itu, pengadilan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan tersebut.
36
2. Pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi melindungi orang yang haknya dirampas oleh pihak lain yang tidak sesuai dengan Shari'at Islam. 3. Kehadiran pengadilan berfungsi untuk meluruskan setiap tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus ini, sebelum menjatuhkan talak, suami disuruh lebih dahulu oleh pengadilan untuk menyelamatkan perkawinan, yang berarti sama dengan menyelematkan keluarga dan masyarakat dari kehancuran. Melalui peran pengadilan diharapkan setiap orang harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keluarga daripada diri sendiri secara individu. 4. Dengan lewat pengadilan diharapkan agar penggunaan hak talak tidak menyimpang dari ajaran shari'at, sehingga hak talak dipakai benar-benar dalam darurat. Hal ini sangat ironis sekali jika mempertahankan harta benda dilakukan dengan sangat gigih, sedangkan mempertahankan perkawinan sebaliknya. 5. Pengadilan diharapkan dapat menjamin ketentraman hidup para isteri, sebab jika hak talak dilakukan dengan sangat mudah, maka mengakibatkan isteri-isteri selalu dalam keadaan kekhawatiran; jangan-jangan nanti suami akan menceraikannya, yang kadang-kadang hanya dengan alasan yang sangat sepele atau kesalahan mutlak suami seperti judi dan minum-minuman keras dan sejenisnya. 6. Pengadilan sebenarnya merupakan perwujudan dari juru damai (mediator) yang diperintah shari'>ah, yang berusaha menetralisir pihak-pihak yang berperkara untuk mencari jalan keluar terbaik bagi semua pihak, meneruskan perkawinan atau sebaliknya (perceraian). 7. Pengadilan diharapkan dapat berperan memberikan pelajaran kepada pihak-pihak yang berperkara (i'tiba>r), yang berasal dari kasus-kasus orang lain tentang akibat-akibat dari perceraian yang bersumber pada kasus-kasus sebelumnya kepada pihakpihak yang sedang dalam kasus percerian. 8. Pengadilan diharapkan dapat mencatat sebab-sebab munculnya perceraian yang pada gilirannya akan dijadikan kajian sosial yang sangat penting untuk mengetahui sumber-sumber
kegagalan perkawinan. Hasil dokumen ini pada gilirannya juga dapat dijadikan bahan untuk memecahkan masalah perkawinan yang lebih tepat. Di samping itu, peradilan dapat berperan sebagai sarana utama untuk mendidik dan membina peningkatan kesejahteraan kaum ibu dan mengadakan pembinaan agar kaum laki-laki dapat mencegah dari perilaku jeleknya. 9. Pengadilan dapat diharapkan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari percerian (talak), seperti jaminan ganti rugi dalam talak atau mut'ah.82
82
al-Ta>hir al-H}adda>d, Wanita dalam Syari'at dan Masayarakat, terjemahan M. Adib Bisri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 99-101. Apa yang dikatakan al-Haddad merupakan bentuk nyata bahwa talak di depan pengadilan ini merupakan mas}lah}ah mursalah yang bersifat haqi>qiyah (nyata), yang dapat diwujudkan dengan diterapkannya langkah-langkah yang harus dilakukan suami sebelum menjatuhkan talak, termasuk di dalamnya ada juru damai (mediator) apalagi yang sudah bersertifikat, lebih-lebih sewaktu suami menjatuhkan ikrar talak dilakukan di hadapan saksi-saksi, yang secara riil berasal dari hakim-hakim yang sedang menangani perkara cerai talak. Secara administratif, mereka telah memenuhi unsur persaksian, yaitu sifat adil, sebagaimana yang termaktub dalam mant}u>q (arti leterar) dari lafal wa ashhidu> dhaway 'adl minkum, al-T{ala>q (65): 2. Dengan demikian, apa yang dikatakan Abd Wahha>b Khalla>f tentang al-t}ala>q bi yad al-qa>d}i> sebagai maslah}ah wahmiyah, bukan haqi>qiyah tidak sesuai dengan apa yang terjadi di pengadilan. Bahkan, di pengadilan akan terselesaikan masalah hitungan masa tunggu ('iddah), mut'ah, nafkah dalam masa tunggu, hak had}anah (pemeliharaan anak) dan pendidikannya, termasuk juga hal-hal yang terkait dengan harta bersama atau gono gini. Dengan demikian, kewajiban yang termaktub dalam bentuk amar (perintah) aw fa>riqu>hun bi ma'ru>f dalam surat al-T{ala>q (65): 2; aw tasri>h} bi ih}sa>n dalam al-Baqarah (2): 229; aw sarrih}u>hunn bi ma'ru>f dalam surat al-Baqarah (2) 231; wa sarrih}u>hunn sara>ha> jami>la>> dalam surat al-Ah}za>b (32) harus diterapkan dengan baik. al-S{a>bu>ni> menyatakan, sara>h} jami>la> dilakukan bersifat lemah lembut terhadap mut}allaqah dalam ucapan, tidak menyakitinya, tidak menghalang-halangi hak-haknya dan selalu melakukan kebaikan kepadanya. al-S}a>bu>ni>, Rawa'i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), 286. Penerapan (tat}bi>q) perintah yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut tidak akan dapat diterapkan, tanpa melalui keikutsertaan pemerintah (pengadilan), hak-hak perempuan yang telah diceraikan akan terabaikan, bahkan terkadang mantan isteri terjun di dunia remang-remang. Oleh karena, tidak semata mencari hukum dengan dark al-ah}ka>m (penemuan hukum), tetapi sangat dibutuhkan ijtihad dengan tat}bi>q al-ah}ka>m (penerapan hukum), yang salah satunya adalah ikrar talak harus diucapkan di depan pengadilan. Lebih dari itu, ternyata Alqur'an mengggunakan qayd dalam perceraian ini dengan lafal ma'ru>f dan ih}sa>n yang berarti perceraian itu harus memperhatikan nilai-nilai yang ada pada adat kebiasaan, sekaligus suami harus aktif dalam berlaku baik kepada mantan isterinya, lebih-lebih yang sudah dikaruniai
37
Pelaksaan ikrar talak, yang telah ditentukan pemerintah melalui undang-undang merupakan sesuatu yang seharusnya ditaati oleh umat Islam Indonesia, karena sangat sesuai dengan maqa>s}id alshari>'ah dalam memelihara keturunan dan harta benda. Peraturan tersebut sangat tepat untuk menghilangkan perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum Islam sebagaimana diketemukan dalam kitabkitab fiqh, seperti apakah harus ada niat dan ada saksi sewaktu menjatuhkan talak. Untuk itu, demi kepastian dan kesatuan hukum, pemerintah telah menempuh jalan ijtihad insha>'i dan intiqa'i (versi Yu>su>f Qard}a>wi>) dalam menentukan jatuhnya talak yang diucapkan suami kepada isterinya. Masalah talak tidak tergolong ibadah, tetapi mu'a>malah (hubungan manusia dengan manusia), sehingga peran ijtihad melalui akal sangat luas sekali dan terbuka dalam upaya mencari kemaslahatan umat manusia yang merupakan tujuan ditetapkannya suatu hukum. Kemaslahatan yang diperoleh ikrar talak di depan pengadilan ini dapat juga didekati melalui teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (individual utilitarianisme), John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering (social utilitarianisme).83 Undang-undang harus
keturunan. Pengaturan ikrar talak melalui pengadilan tersebut sejalan dengan tugas pemerintah, yaitu mendatangkan kemaslahan atau manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyatnya (tas}arruf al-ima>m 'ala> al-ra'iyah manu>t} bi al-mas}lah}ah). al-S}a>bu>ni> menyatakan, pada umunya lafal tasri>h} dikaitkan dengan tempat pelepasan binatang untuk mencari makan (masrah}). Ibid. Dari pengertian ini, jika seorang perempuan sebelum nikah, dia bebas mencari makan demi pemenuhan kebutuhannya sendiri, maka setelah diceraikan suaminya, dia harus dapat hidup sebagaimana keadaan semula. Untuk itu, hal-hal yang terkait dengan kehidupan isteri yang diceraikan suaminya harus diberikan oleh mantan suami berupa nafkah, mut'ah dan harta bersama (gono gini), sehingga mantan isteri dapat hidup mandiri sebagaimana hewan yang hidup bebas di alam yang penuh rumput, setelah dia dalam genggaman suami (mut}alliq). Karena itu, sangat wajar jika lafal yang keluar dari mas}dar lafal al-t}ala>q banyak terdapat dalam surat al-Baqarah (2), yang menunjukkan ada kesesuaian dengan masalah t}ala>q, terutama terkait dengan keberadaan mut}allaqah, yang harus diperhatikan ekonominya sebagaimana sapi yang harus diberi makan rumput atau dicarikan tempat yang berumput, sehingga dapat hidup. 83 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1985), 24. Bentam menyatakan manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Begitu juga, Rudolf von Jhering menyatakan, hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya; hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya; hukum juga merupakan alat yang dapat
memberikan kebahagiaan atau manfaat, baik kepada individu (mut}allaqah) dan masyarakat (keluarga mut{allaqah), termasuk juga lingkungan masyarakat yang didiami mut}allaqah. Oleh karena itu, teori ini sebenarnya tidak berbeda dengan teori maslah}ah atau istis}la>hi> dalam Us{u>l al-Fiqh, bahkan al-Ghazali memberlakukan terori istis}la>hi> tidak harus pada tingkatan daru>ri>, tetapi diberlakukan pada sesuatu yang dipersamakan dengan daru>ri> (ma> yajri> majra> aldaru>ra>t). Bahkan, al-T}u>fi> tidak membedakan antara maslah}ah d{aru>riyah, ha>jiyah dan tah}si>niyah.84 Adanya keharusan ikrar di depan pengadilan bersifat ijtihad, yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi legislatif, yang kemudian dijabarkan oleh pemerintah (eksekutif) dan selanjutnya diterapkan di pengadilan (yudikatif) merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Alqur'an dalam surat al-Nisa>' (4): 59 telah memerintah umat Islam untuk mentaati Uli> al-Amr (pemerintah) selama tidak bertentangan dengan Alqur'an dan hadis. Islam menyatakan, uli> al-amr tidak mempunyai hak mutlak dalam pembentukan hukum, tetapi hanya terbatas pada dua hal, yaitu tashri>' tanfi>dh dan tashri>' tanz}i>m. Tanshri>' tanfi>dh dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuanketentuan yang terdapat dalam nas} shari>'ah isla>miyah, bersifat pelaksana atau sebagai corong dalam melaksanakan hukum. Sementara itu, tashri>' tandhi>m mengarah pada pengaturan masyarakat dan menjaganya atas dasar prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal (asa>s maba>di' al-sahari>'ah al-'a>mmah). Tashri>' model ini dilakukan sewaktu tidak ada nas} shara' yang secara khusus mengaturnya.85 Jika pemerintah (uli> amr) telah menetapkan undang-undang yang mengatur pelaksanaan ikrar talak harus di depan pengadilan, sebenarnya merupakan aplikasi dari surat al-T{ala>q (65): 1-2, terkait
dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial. Kemudian teori Jhering dikembangkan oleh para sarjana sosiologi hukum Amerika, seperti Roscoe Pound. Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994), 35-36 84 H{usayn H}a>mid H}assa>n, Naz}ariyat al-Mas}lah}ah fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Kairo: Da>r alNahd{ah al-''Arabiyah, 1971), 449 dan 532. 85 'Abd al-Qa>dir 'Awdah, al-Tashri>' al-Jina>i>' al-Isla>mi>, vol. 1 (Beirut: D<ar a-Ka>t}ib al'Arabi>, t.th), 232-233.
38
dengan waktu dan tempat pengucapan ikrar talak yang merupakan petunjuk dari perintah pada persaksian dalam lafal wa ashhidu> dhaway 'adl minkum dan penentuan ma'mu>l yang tidak disebutkan dalam wa aqi>mu> al-shaha>dah li Alla>h, yang kemudian dilakukan istinba>t} al-h}ukm dengan menggunakan kaidah lafal 'am (versi Sha>fi'yah) dan kaidah takhs}i>s} bi al-'urf al-'amali> (versi H}anafiyah), termasuk teori mas}lah}ah Malik, istis}la>h} al-Ghaza>li> dan mas}lah}ah alT}u>fi>. Dengan demikian, metode istinba>t} dan istidla>l diterapkan dalam penentuan keharusan ikrar talak diucapkan di depan sidang pengadilan. Berdasarkan pernyataan di atas, pengaturan tentang pelaksanakan ikrar talak di depan pengadilan mengikat pada umat Islam di Indonesia, yang berarti harus diterima dengan baik dan dilaksanakan dengan konsisten dengan mengenyampingkan teori pengucapan ikrar talak sebagaimana yang terdapat dalam kitab fiqh. Hal ini, karena aturan ikrar talak yang ada di Indonesia juga merupakan fiqh Indonesia, sama-sama fiqh sebagaimana yang terdapat dalam kitab, karena kedua fiqh tersebut merupakan hasil ijtihad, lebih-lebih fiqh Indonesia melalui ijtihad jama>'i> (kolektif) yang dipandang lebih baik daripada ijtihad fard (individu). Dalam hal ini, sekaligus pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, lebih-lebih Kompilasi Hukum Islam telah menggunakan kaidah fiqh "h}ukm al-h}a>kim fi> al-masa>'il al-ijtiha>diyah yarfa' al-khila>f (keputusan pemerintah dalam masalah-maslah ijtihad dapat menghilangkan perbedaan pendapat). Perbedaan pendapat ulama tersebut terkait dengan harus atau tidaknya pengucapan ikrar talak di depan pengadilan. Keadaan ini tetap berlangsung hingga saat ini, sehingga diperlukan pemecahannya melalui pendekataan ilmu yang biasa digunakan oleh ulama-ulama pesantren, terutama ilmu us}u>l al-fiqh yang menggunakan kaidah lughawiyah (kebahasaan) dan tashri'iyah (yang menekankan pada mas}lah}ah) serta pendekataan lain (teori utilitarianisme) sebagai pendukung. Pelaksanaan ikrar talak (sebagai ta>bi') harus dilakukan di depan sidang pengadilan dapat dikembangkan dalam nikah sebagai mat}bu>' (yang diikuti) melalui pendekataan kaidah kebahasaan, berupa
mafhu>m muwa>faqah (Sha>fi'iyah) atau dala>lat al-nas} (H}anafiyah), yang jika digunakan kaidah fiqh akan berbunyi al-matbu>' (al-nika>h}) ta>bi' li al-ta>bi' (al-t}ala>q), bukan al-ta>bi' (al-t}ala>q) ta>bi' li al-mat}bu>' (al-nika>h}). Hal ini menunjukkan, nikah harus mengikuti aturan talak, harus ada saksi dan melalui pemerintah. Antara keduanya terdapat kesamaan, yaitu memelihara nasab yang obyeknya adalah bud}'u (kemaluan). Artinya, nikah sirri (tanpa sepengetahuan P2N dan/atau P3N sebagai pemerintah) dianggap tidak sesuai nilai-nilai Alqur'an walaupun dianggap sah oleh kebanyakan ulama, bahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih mengganggap sah (Pasal 2 ayat 1). Dalam pasal tersebut dinyatakan, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan, Tipa-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tidak dapat terlepas dari sejarah dibuatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang penuh dengan kontroversi, karena sebagian rancangan undang-undang tersebut ada yang dianggap tidak sesuai dengan shari'at Islam, padahal yang dimaksud dengan shari'at Islam di sini adalah fiqh sebagaimana dalam kitab kuning. Sangat disayangkan sekali, jika dalam pernikahan harus ada saksi, sedangkan pada talak tidak ada saksi, pada hal dalam kenyataannya, biaya pernikahan sangat besar sekali, terutama pelaksanaan wali>mah al-'urshi.
39
(III) PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pelaksanaan ikrar talak di Indonesia harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, karena untuk mempersukar dan menghindari perbuatan kesewenang-wenangan suami dalam menceraikan isterinya serta mengangkat derajat perempuan. Hal ini dilakukan dengan melalui proses, yaitu suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya dengan cara mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Permohonan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan perceraian (Pasal 39 ayat 2 Penjelasan Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 116 KHI), lengkap dengan identitas pemohon dan termohon. Kemudian dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Hakim dalam sidang tertutup selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas didaftarkan di Kepaniteraan. Jika pengadilan berkesimpukan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan oleh mediator dan telah cukup alasan, permohonan cerai talak dikabulkan dan isteri dapat mengajukan banding. Setelah keputusan majlis in kracht, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya. Selanjutnya, majelis hakim memanggil suami atau kuasanya untuk mengucapkan ikrar talak. Berikutnya, suami atau wakilnya mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan agama dan disaksikan oleh dua orang saksi-dalam dalam praktik diambil dari hakim majelis, walaupun tanpa hadirnya isteri atau wakilnya setelah mendapatkan penggilan secara patut dan sah, yang seluruh hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak dicatat oleh panitera. Kemudian berikutnya, hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan, perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. 2. Menurut pandangan Hukum Islam, pelaksanaan ikrar talak di depan sidang pengadilan agama sesuai dengan mantu>q dan jiwa Alqura'n yang mengharuskan perceraian harus melalui tahapantahapan dan diselesaikan melalui pengadilan sebagaimana termaktub dalam surat al-Nisa>' (4): 34-35. Dalam surat al-Nisa>'
(4): 35 terdapat lafal "wa in khiftum shiqa>qa baynihima> fab'thu> hakaman min ahlihi> wa h}akaman min ahliha>"yang menunjukkan keterlibatan pemerintah (hakim) dalam perceraian dan mantu>q ayat ini tidak dapat dicari mafhu>m mukha>lafah, karena bersifat aghlabiyah (menunjukkan pada umumnya), sekaligus makna yang dipahami dari jiwa hadis "abghad al-h}ala>l ila> Alla>h altala>q". Begitu juga, pengucapan ikrar talak harus ada unsur kehendak menjatuhkan talak (tidak boleh dengan bermain atau bergurau) dan harus disaksikan oleh minimal 2 orang saksi dan dilakukan di depan pengadilan sebagaimana makna yang diambil dari mantu>q lafal ashhidu> dhaway 'adlin dan aqi>mu> al-shaha>dah sebagaimana termaktub dalam surat al-T}ala>q (65): 1-2, melalui pendekatan kaidah lughawiyah dan kaidah tashri>'iyah dengan menerapakan kaidah amr pada wajib dan kaidah 'a>m yang selalu membutuhkan takhs}i>s} sebelum diberlakukan. Di samping itu, melalui pendekatan mas}lah}ah sebagai inti dari maqa>s}id alshari>'ah dalam rangka memelihara keturunan dan sekaligus memelihara harta akibat terjadinya perceraian dan teori utilititarianism dari Bentham. Hal ini berbeda dengan pandangan Hukum Islam dari para ulama klasik, termasuk kebanyakan ulama kontemporer, kecuali al-Ghundu>r, Shah}ru>r dan Muh}ammad 'Azzah Darwuzah, walaupun mereka mengharuskan ada qas}d i<qa>'i al-t}ala>q dan ishhad>, lebih-lebih yang tidak mengharuskan keduanya. Dalam pandangan Hukum Islam jika uli> al-amr (pemerintah) telah mengaturnya, suatu hukum akan mengikat (mulzim) dan memaksa seperti pelaksanaan ikrar talak, sehingga harus dilaksanakan. B. Saran-Saran Saran ini ditujukan kepada: 1. Para tokoh agama Islam, hendaknya mereka jangan beranggapan bahwa talak yang dilakukan di depan sidang pengadilan tidak sah, karena tidak sesuai dengan fiqh yang ada di dalam kitab kuning atau madhhab lima. Mereka juga harus menyadari bahwa keabsahan talak yang tidak dilakukan di luar pengadilan merupakan hasil fiqh, bukan shari'at, sehingga dapat dikaji ulang demi mencari kemaslahatan yang lebih besar.
40
2. Para muballigh, hendaknya mereka menyebarluaskan tentang fiqh Indonesia yang merupakan hukum positif (ius constitutum) terkait dengan perkawinan, termasuk di dalamnya perceraian, baik hukum materiil maupun hukum formil (hukum acara), sehingga masyarakat tidak mudah menceraikan isterinya, termasuk juga nikah sirri (tanpa melalui pencatatan). 3. Para alumni pondok pesantren, hendaknya mereka tidak takut kuwalat (tertimpa la'nat) dan suu' al-adab (tidak beretika) dengan para kyai mereka, karena pendapatnya berbeda dengan mereka. Padahal, jika terjadi perbedaan antara santri dengan kyainya dalam fiqh adalah menunjukkan bahwa kyai telah terkabul do'anya dan telah berhasil mendidik para santrinya dalam mengembangkan ilmu-ilmu alat, terutama terkait dengan ilmu istinba>t} dan istidla>l (us}u>l al-fiqh), termasuk kaidah fiqh, sehingga fiqh tidak statis, tetapi dinamis. 4. Para hakim di Pengadilan Agama, hendaknya menjalankan tugasnya dengan baik dan bahkan berusaha untuk melakukan terobosan-terobosan dalam memecahkan permasalahan yang diajukan kepada mereka, sekaligus berijtihad dengan penemuan hukum atau rechtvinding. C. Implikasi Teori Pada hakikatnya, penelitian ini bukan menemukan, tetapi lebih tepat mengembangkan teori-teori yang sudah ada dengan mengedepankan pendekatan kaidah kebahasaan dan perundangundangan terhadap nas-nas, baik Alqur'an maupun hadis yang terkait dengan hal ikhwal perceraian. Pendekataan ini sebenarnya tidak aneh bagi para santri atau ulama yang belajar ilmu us}u>l al-fiqh, qawa>'id al-fiqh dan qawa>'id al-tafsi>r, karena ilmu-ilmu ini mendorong kepada mereka berani melakukan istinba>t} dan/atau istidla>l, sehingga Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi dinamis, yang dapat dijadikan pegangan bagi umat manusia dalam melakukan aktivitasnya, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Sebenarnya, ikrar talak harus melalui tahapan-tahapan dan dilakukan di depan pengadilan dapat ditelusuri dengan ilmu-ilmu tersebut melalui membaca teks Alqur'an dan hadis secara seksama, lebih-lebih dengan pemahaman secara tematik, sehingga merupakan
suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kemudian berikutnya, diperkuat dengan pendekataan lain, seperti utilitarianism Bentham, yang sebenarnya dalam us}u>l al-fiqh sama dengan teori mas}lah}ah atau maqa>s}id al-shari>'ah. D. Keterbatasan Studi Apa yang telah diteliti peneliti tentang hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan ikrar talak di Indonesia menurut pandangan Hukum Islam masih belum maksimal, masih ada hal-hal yang perlu disempurnakan dan dilanjutkan oleh peneliti lain. Hal ini didasarkan pada kemampuan peneliti, baik dari segi ilmu, waktu, kesempatan maupun dana, sehingga diperlukan penelitian lanjut, terutama terkait bagaimana pandangan para tokoh agama Islam, terutama yang berada di pondok pesantren, yang masih tetap mempertahankan al'ulu>m al-'arabaiyah, seperti nahwu, s}araf, bala>ghah, mant}iq, us}ul alfiqh dan qawa'id al-fiqh dalam memecahkan masalah kontemporer (waqi'iyah). Sementara itu, mereka telah menempuh studi, baik di S1, S2 dan S3 dan mereka mempelajari hukum positif dan mengetahui metode istinba>t} dan istidla>l, baik metode klasik maupun kontemporer. Dalam kenyataannya, pada umumnya para tokoh agama Islam, walaupun mereka memahami al-'ulu>m al-'arabiyah, tetapi jika mereka dihadapkan pada permasalahan kontemporer (bidang fiqh), mereka pada umumnya tidak berani menggunakan ilmu tersebut atau tidak berani melakukan interpretasi (penafsiran ulang) terhadap nas}nas} yang telah dijadikan dasar istinba>t} dalam memecahkan masalahmasalah yang terjadi pada masa lalu, padahal jika pendapat para ulama terdahulu diterapkan untuk masa sekarang, maka tidak mencerminkan keadilan atau maqa>s}id al-shari>'ah.
41
A. Data Diri dan Keluarga 1. Nama 2. Tempat/Tanggal lahir 3. Jenis Kelamin 4. Pekerjaan IAIN Sunan Ampel 5. 6. 7. 8. Jabatan Status Perkawinan Nama Isteri Nama Anak
: : : :
Surabaya Lektor Kepala (IV a) Kawin Nur Cholifatur Rosidah a. Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam b. Faradina Millatul Maula Syarifah c. Fawallia 'Ansyarril Alamiah 9. Nama Orang tua : a. H. Djamhari (wafat 1964) b. H. Fatimah 10. Nama Mertua : a. H. Abdu1loh Ma'shum b. H. Siti 'Aisyah 11. Alamat : Tawar Grogol Diwe Jombang Kode pos : 61471 Telepon : (0321) 7255273 Mobile : 081 553 866 604 E Mail : makinudin@gmail.com : : : : B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Non Formal a. Sekolah Dasar Negeri (SDN) II Segeran Juntinyuat Indramayu, lulus 1971 b. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Ciwaringin Cirebon, lulus 1974 c. Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) Babakan Ciwaringin Cirebon, lulus 1977 d. Madrasah Aliyah Tebuireng Jombang, lulus 1981 e. Sarjana Muda pada Fakultas Syari'ah Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng, lulus 1981
Sarjana Lengkap Fakultas Syar'ah, Jurusan Tafsir Hadits UNHASY Tebuireng, lulus 1985 g. Sarjana S1 pada Fakultas Hukum Universitas Darul 'Ulum Jombang, lulus 1986 h. Sarjana S1 pada Fakultas Syari'ah IKAHA Tebireng Jombang, lulus 1994 i. Magister Agama pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, lulus 1999 2. Pendidikan Non Formal a. Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Babakan Ciwaringin Cirebon b. Pondok Pesantren Tebuireng Jombang C. Riwayat Kepangkatan 1. Calon Pegawaj Negeri Sipil ( III a), 1 Maret 1996 2. Penata Muda (III a), 1 Oktober 1997 3. Asisten Ahli Madya (III a), 1 Oktober 1998 4. Asisten Ahli (III b), 1 April 2000 5. Lektor (III c), 1 Nopember 2002. 6. Lektor (III d), 1 Nopember 2004 7. Lektor Kepala (IV a), 1 Desember 2006 D. Riwayat Pengabdian 1. Lembaga Perguruan Tinggi dan SLTP/SLTA a. Dosen Luar Biasa di Fakultas Syari'ah IKAHA Tebuireng, 1995 sampai sekarang b. Dosen Luar Biasa di Fakultas Syari'ah STAI al-Khozini, Sidoarjo 1997-2000 c. Dosen Luar Biasa di Fakultas Syari'ah STIBAFA Tambak Beras, 2008 sampai sekarang d. Dosen Luar Biasa di Ma'had 'Ali al-Mahfudz Seblak Jombang, 2010 e. Guru MTs Salafiyah Syafiiyyah Tebuireng, 1981-1983 f. Guru MA Salafiyah Syafiiyyah Tebuireng, 1981-1985 g. Wakil Kepala Sekolah MA Salafiyah Syafiiyyah Tebuireng,1994-1995 h. Guru SMA Arya Wiralodra Segeran Kidul Indramayu, 1988-1989 i. Guru/Kepala Sekolah MTs Al-Mujaidin Segeran Juntinyuat Indramayu, 1989-1992
f.
42
j. Guru MTs Madrasatul Qur'an Tebuireng, 1993-1995 k. Guru MA Madrasatul Qur'an Tebuireng, 1993 sampai sekarang l. Kepala Sekolah MA Madrasatul Qur'an Tebuireng, 1995-1996 2. Lembaga Kemasyarakatan a. Kepala Desa Segeran Juntinyuat Indramayu, 1989-1992 b. Pembina Jam'iyah Yasin El-Isti'dad Tawar Jombang, 2001 sampai sekarang c. Ketua Yayasan Majlis al-Taffaquh Darul Qawa'id Tawar Jombang, 2002 sampai sekarang d. Ketua Majlis al-Tafaqquh Darul Qawa'id Tawar Jombang, 2001 sampai sekarang e. Tamir Masjid Nurul Huda Tawar, 2001 sampai sekarang f. Komite SDN II Grogol Jombang, 2006 sampai sekarang E. Karya Ilmiyah 1. Buku a. Diktat Tafsir al-Qur'an b. Diktat Tafsir Ahkam 1 al-Ahwal al-Shakhsiyyah c. Diktat Tafsir Ahkam 2 al-Ahwal al-Shakhsiyyah d. Diktat Tafsir Ahkam 3 al-Ahwal al-Shakhsiyyah 2. Jurnal a. Dala>lah 'Am dalam al-Qur'an dan Pengaruhnya dalam Istinbat (Al Qanun, vol. 5, Nomor 1 Juni 2003) b. Asas Retroaktif dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Menurut Hukum Pidana Islam (Menara Tebuireng, vol. 1 No. 1, Tahun 1, Sepetember 2004). c. Kedudukan Anak yang Lahir dari Nikah Tutup Malu Menurut Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (Al-Qanun, vol. 7, No. 1, Juni 2004). d. Al-Mawlu>d Lah dan Pasal 99 KHI (Qualita Ahsana, vol. 11, No. 1, April 2005). e. Wacana Fiqh tentang al-Mawlu>d dan al-Mawlu>d Lah (Analisis Terhadap Pasal 99 KHI f. Penafsiran Amr Lafal Faktubu>h dan Korelasi Sertifikasi Tanah Wakaf (Paramedia, vol. vii, No. 4, Oktobrr 2007).
g. Bagian Ahli Waris Non Muslim Melalui Wasiat Wajibah (Al-Qanun, vol. 11, No. 2, Desember 2008). 3. Penelitian a. Kompilas Hukum Islam dan Waris Pengganti (2003). b. Penafsiran al-Mawlu>d lah pada al-Baqarah: 233 dan Keterkaitannya dengan Pasal 99 KHI (2004). c. Penafsiran Dala>lat al-Amr pada Lafal "wa asyhidu>" dalam al-Talaq: 2 dan Keterkaitannya dengan Pasal 131 (3) KHI (2006). d. Penafsiran Petunjuk Amr pada Lafal Faktubu>h dalam alBaqarah: 282 dan Hubungannya dengan Persertifikatan Tanah Wakaf di Indonesia (2007).
43