JTS+Luthfi+Effendi+Vol 5+no 1
JTS+Luthfi+Effendi+Vol 5+no 1
JTS+Luthfi+Effendi+Vol 5+no 1
Email: lutheffendi@gmail.com
ABSTRAK
Pada perhitungan stabilitas terowongan, mengetahui kondisi bawah permukaan, jenis tanah dan parameternya
merupakan hal yang sangat penting. Karena itu, korelasi data bor harus dilakukan sebaik mungkin agar dapat
menggambarkan kondisi bawah tanah yang akurat. Penelitian ini akan menguji kestabilan terowongan MRT
Jakarta stasiun bawah tanah Senayan-Istora. Berdasarkan hasil korelasi data bor, jenis tanah dibagi menjadi
menjadi lima satuan tanah yang terdiri dari lempung N-SPT rendah, lanau N-SPT rendah, lanau N-SPT
tinggi, pasir N-SPT rendah, dan pasir N-SPT tinggi. Tekanan muka terowongan divalidasi dengan pembacaan
tekanan muka terowongan di lapangan. Secara umum metode yang paling mendekati hasil pembacaan di
lapangan adalah metode COB Commisie L510. Stabilitas tubuh terowongan dihitung dengan metode
Carranza-Torres, menghasilkan gaya yang paling besar 137,93 kN/m2 dari kapasitas dukung lining
terowongan 726 kN/m2. Stabilitas terowongan terhadap gaya angkat menghasilkan faktor aman paling kecil
sebesar 2,26 dari rekomendasi faktor aman 1,5. Hasil korelasi akan berdampak pada stabilitas terowongan,
karena stabilitas terowongan didasarkan pada jenis, tebal dan kekuatan tanah di mana terowongan tersebut
dibangun.
1. PENDAHULUAN
Pembangunan angkutan cepat terpadu atau mass rapid transit (MRT) merupakan solusi yang dipilih
untuk menangani kemacetan di DKI Jakarta. Penelitian ini akan membahas hubungan kondisi stratigrafi
bawah permukaan dengan stabilitas terowongan. Objek dari penelitian ini adalah terowongan bawah tanah
dari stasiun bawah tanah Senayan hingga stasiun bawah tanah Istora. Stabilitas terowongan yang dibahas
terdiri dari stabilitas terowongan saat penggalian dengan metode Leca & Dormineux (1990) dan COB
Commissie L510 (1996), stabilitas tubuh terowongan dengan metode Carranza-Torres (2013), stabilitas
terowongan terhadap gaya angkat dengan metode yang diusulkan pada Civil Design Criteria – Revision A4
(2002). Keadaan stratigrafi bawah tanah diketahui dengan melakukan korelasi dari 18 titik bor. Hasil dari
korelasi ini kemudian digunakan sebagai gambaran kondisi bawah permukaan terowongan untuk
menghitung stabilitas terowongan.
2. STUDI PUSTAKA
Metode perhitungan stabilitas muka terowongan yang digunakan adalah Leca & Dormieux (1990)
dan COB commissie L510 (1996). Centrum Ondergouds Bouwen (COB) commissie merupakan suatu komisi
yang mengatur mengenai pembangunan bangunan bawah tanah asal Belanda, dan metode ini sudah banyak
dijadikan acuan untuk menentukan perkiraan besar tekanan muka terowongan. Persamaan (1) digunakan
untuk mengetahui tekanan minimal terowongan agar tidak terjadi keruntuhan, sedangkan Persamaan (2)
digunakan untuk mengetahui tekan maksimal yang dapat diberikan terhadap terowongan agar tidak terjadi
blow-out. merupakan tekanan kritis muka terowongan, sedangkan merupakan tekanan overburden.
24
Metode Leca and Dormieux (1990), merupakan Metode yang didasari dari penelitian yang
dilakukan oleh Chambon dan Corte yang melakukan uji sentrifuge. Leca dan Dormieux pada prinsipnya
menggunakan konsep analitis batas untuk memperkirakan kondisi kestabilan dari muka terowongan pada
tanah kohesif, kemudian membandingkannya dengan pengujian sentrifuge yang dilakukan oleh Chambon
dan Corte. Leca dan Dormieux mendapatkan tekanan muka terowongan dengan persamaan berikut:
dan merupakan koefisien non-dimensional, merupakan beban dipermukaan tanah (kN/m2), dan D
merupakan diameter terowongan (m). Metode Leca & Dormieux mempunyai tiga model yaitu Model SI,
ditunjukkan pada Gambar 1a yang merupakan keruntuhan muka terowongan dari permukaan tanah. Model
SII, ditunjukkan pada Gambar 1b yang merupakan keruntuhan muka terowongan yang terjadi di bawah
permukaan tanah. Model SIII, ditunjukkan pada Gambar 1c yang merupakan keruntuhan muka terowongan
akibat blow-out, yang merupakan kondisi naiknya permukaan tanah karena dorongan dari bawah tanah.
Metode Carranza-Torres (2013) dapat digunakan untuk menghitung stabilitas tubuh terowongan.
Metode ini merupakan modifikasi dari metode yang diajukan oleh Caqout-Kerisel pada tahun 1956 yang
ditunjukkan pada Gambar 2. Metode ini menggunakan kesetimbangan batas pada bagian puncak (crown)
dari terowongan silinder dangkal. Kuat geser tanah pada metode ini didefinisikan dengan Mohr-Coulomb
dengan parameter c dan , yang menunjukkan kohesi dan sudut gesek internal. Pada sistem terowongan ada
gaya yang dihasilkan dari sistem penyangga terowongan yaitu . Beban yang bekerja pada permukaan
adalah Metode ini dapat mengetahui berapa kekuatan minimum yang dibutuhkan dari Persamaan (4).
merupakan tekanan dukung sistem penyangga (kN/m2), beban di permukaan tanah (kN/m2), adalah
jari-jari terowongan (m), adalah faktor bentuk (k = 1 untuk terowongan silinder memanjang), nilai
adalah koefisien reaksi pasif.
25
2.3 Stabilitas Terowongan terhadap Gaya angkat
Pada terowongan yang sangat dekat dengan permukaan tanah, akan cenderung terjadi gaya tekan ke
atas oleh air sehingga bisa menyebabkan uplift pada terowongan. Faktor aman terhadap uplift ini didapatkan
dengan membandingkan rasio antara besarnya gaya angkat/uplift (U) dengan gaya yang menahan (R). Civil
Design Criteria – Revision A4 menyarankan ratio antara R/U tidak boleh berada di bawah 1,2. Nilai U bisa
dihitung dengan Persamaan (5) dan Persamaan (6) untuk menghitung nilai R.
W merupakan berat total dari terowongan (kN/m), S merupakan rata-rata kuat geser tanah dari titik tengah
terowongan hingga permukaan.
3. METODE PENELITIAN
Keadaan tanah bawah permukaan didapatkan dengan melakukan korelasi data bor, dengan mencari
hubungan dan persamaan jenis tanah dari suatu data bor dengan data bor lainnya. Sehingga bisa
menggambarkan kondisi bawah permukaan seakurat mungkin. Pembagian jenis tanah dilakukan berdasarkan
jenis dan kekuatan tanah yang ditunjukkan dari nilai N-SPT. Setelah didapatkan kondisi tanah di sekitar
terowongan maka perhitungan stabilitas terowongan bisa dilakukan dengan metode perhitungan stabilitas
yang telah diutarakan sebelumnya. Perhitungan stabilitas dilakukan pada setiap section yang berjarak 50
meter, section ini bisa dilihat pada Gambar 4. Hasil perhitungan akan ditampilkan dalam bentuk grafik.
Stabilitas ini dihitung dengan variasi muka air tanah, yang bertujuan untuk mengetahui stabilitas terowongan
jika berada pada kondisi air tanah yang berbeda-beda. 4 kasus kondisi air tanah yang digunakan adalah:
Karena metode perhitungan stabilitas terowongan menggunakan model material homogen maka harus
dilakukan perhitungan rerata pada parameter tanah terlebih dahulu, untuk mengubah kondisi tanah yang
beragam menjadi kondisi homogen. Data tanah pada daerah ini bisa dilihat pada Tabel 1.
ɣd (kN/m3) 9,03 ɣd (kN/m3) 10,45 ɣd (kN/m3) 10,51 ɣd (kN/m3) 9,75 ɣd (kN/m3) 9,94
() 8,50 () 23,38 () 26,00 () 31,00 () 30,00
c (kN/m2) 20,00 c (kN/m2) 24,25 c (kN/m2) 18,33 c (kN/m2) 0,00 c (kN/m2) 10,00
ɣ' (kN/m3) 5,10 ɣ' (kN/m3) 6,12 ɣ' (kN/m3) 5,80 ɣ' (kN/m3) 7,42 ɣ' (kN/m3) 6,21
ɣsat (kN/m3) 15,10 ɣsat (kN/m3) 16,12 ɣsat (kN/m3) 15,80 ɣsat (kN/m3) 17,42 ɣsat (kN/m3) 16,21
26
4. HASIL DAN DISKUSI
Korelasi data pemboran ini dilakukan dengan lithokorelasi dengan mencocokkan litologi dari
masing-masing lubang bor yang didasarkan pada kesamaan dari jenis litologi tanah yang terdapat pada
laporan hasil pengeboran. Pembagian nilai N-SPT dari tanah akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu;
tanah yang memiliki nilai N-SPT tinggi dan tanah yang memiliki nilai N-SPT rendah. N-SPT 0-20 akan
digolongkan pada tanah dengan nilai N-SPT rendah, sedangkan tanah dengan nilai N-SPT >21 akan
digolongkan pada tanah dengan nilai N-SPT tinggi. Nilai N-SPT 20 dipilih sebagai titik tengah karena
nilainya berada pada bagian tengah dari densitas tanah medium (N-SPT 11-30), sehingga bisa dianggap
merupakan titik transisi dari nilai N-SPT rendah ke nilai N-SPT tinggi. Lokasi titik bor ditunjukkan pada
Gambar 3 dan hasil korelasi ini ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 3: Lokasi titik bor dan peta geologi (sumber: Turkandi dkk., 1992)
Grafik pada Gambar 5 menunjukkan tekanan minimal terowongan saat penggalian dan Gambar 6
merupakan grafik tekanan maksimal terowongan. Garis hitam pada grafik merupakan hasil pembacaan di
lapangan, sedangkan garis lainnya merupakan metode perhitungan yang dilakukan. Metode yang paling
27
mendekati pembacaan di lapangan adalah metode Leca & Dormineux model keruntuhan S1. Hal ini sesuai
dengan hasil dari peneliti terdahulu. Hakim (2016) mengatakan bahwa metode yang paling mendekati hasil
pembacaan lapangan adalah metode Leca & Dormineux model keruntuhan S1 dan COB Commissie L510.
Menentukan metode yang paling baik untuk digunakan sebetulnya tidak bisa dilakukan hanya dengan
mencocokkan data hasil perhitungan dengan data pembacaan di lapangan. Selain itu kelengkapan data juga
kurang, dimana seharusnya untuk membandingkan hasil pembacaan di lapangan dibutuhkan data tinggi
muka air tanah pada saat penggalian terowongan dilakukan. Nilai tekanan dukung terowongan sangat
dipengaruhi oleh variasi tinggi muka air tanah, kedalaman terowongan dan juga jenis tanah. Pada
terowongan dangkal dan muka air tanah rendah makan tekanan muka terowongan akan menjadi lebih
rendah.
Stasiun Stasiun
Senayan Istora
Stasiun Stasiun
Senayan Istora
28
4.3 Analisis Kestabilan Tubuh Terowongan
Kestabilan tubuh terowongan dihitung dengan metode Carranza-Torres, metode ini menghitung
kesetimbangan batas pada bagian puncak terowongan. Dimana gaya yang menahan terowongan terdiri dari
kapasitas dukung terhadap gaya axial dari lining terowongan, sedangkan gaya yang melawan adalah beban
di permukaan, tekanan lateral tanah hingga kedalaman terowongan dan juga tekanan air. Stabilitas ini
dihitung dengan variasi muka air tanah, yang bertujuan untuk mengetahui stabilitas terowongan jika berada
pada kondisi air tanah yang berbeda-beda. Empat kondisi air tanah yang digunakan adalah Kondisi kering
(kasus 1), Kondisi banjir, air tanah 2 meter di atas muka tanah (kasus 2), Kondisi air tanah dari laporan
pengeboran (kasus 3), Kondisi air tanah tinggi, 1 meter di bawah permukaan tanah (kasus 4). Pada Gambar 7
terlihat bahwa tinggi air akan mempengaruhi stabilitas terowongan. Pada kasus 2 gaya yang bekerja pada
terowongan jauh lebih besar jika dibandingkan kasus 1 yang tidak ada air tanah.
Stasiun Stasiun
Senayan Istora
Berdasarkan data lining terowongan, lining terowongan ini dapat menahan gaya 726 kN/m2.
Sedangkan untuk gaya yang paling besar dalam menekan terowongan adalah sebesar 137,93 kN/m2 (kasus
2). Nilai tekanan yang paling besar dengan kapasitas dukung lining cukup jauh sehingga terowongan ini
cukup aman terhadap beban gaya aksial. Jika faktor aman dihitung maka, nilai faktor aman yang paling kecil
adalah 5,2. Nilai ini didapat dengan membandingkan gaya yang menahan (726 kN/m2) dengan gaya yang
menggerakkan (137,93 kN/m2). Dengan nilai faktor aman 5,2 maka terowongan ini cukup aman, karena
berdasarkan Civil Design Criteria – Revision A4 faktor aman terowongan paling tidak harus lebih besar dari
1,5. Gaya yang menekan terowongan terbesar ditemui pada kasus 2, dimana kasus 2 ini merupakan kondisi
dengan air tanah yang paling tinggi. Sehingga ada gaya tekanan air yang lebih besar jika dibandingkan kasus
air tanah lainnya.
Pada terowongan yang sangat dekat dengan permukaan tanah, akan cenderung terjadi gaya tekan ke
atas oleh air sehingga bisa menyebabkan uplift pada terowongan. Faktor aman terhadap uplift ini didapatkan
dengan membandingkan rasio antara besarnya gaya angkat/uplift (U) dengan gaya yang menahan (R).
Berdasarkan Civil Design Criteria – Revision A4 faktor aman terowongan paling tidak harus lebih besar dari
1,2 dan lebih besar dari 1,5 jika besarnya beban permukaan tidak diketahui dengan secara mendetail. Angka
aman pada setiap section dapat dilihat pada Tabel 2.
29
Tabel 2: Faktor aman terhadap gaya angkat
Secara umum besarnya faktor aman meningkat dengan bertambahnya kedalaman terowongan.
Tetapi tidak selalu terowongan dengan kedalaman (h) yang lebih dalam mempunyai faktor aman yang lebih
besar. Pengaruh jenis tanah juga berpengaruh terhadap nilai faktor aman, karena berat volume tanah dan juga
kuat geser tanah sepanjang tanah di atas terowongan berpengaruh terhadap besarnya gaya yang menahan
uplift (R). Sehingga tidak hanya disebabkan oleh kedalaman terowongan, bergantung dengan jenis tanahnya
faktor aman terhadap uplift bisa lebih tinggi atau bisa lebih rendah.
Nilai faktor aman yang paling rendah diperoleh pada section 1 dengan kondisi air banjir dengan
nilai SF 2.26. Kondisi yang memiliki nilai faktor aman paling rendah terdapat pada kasus 2, hal ini
disebabkan oleh tinggi air (hw) yang paling tinggi dibandingkan dengan kondisi lainnya. Tinggi air yang
semakin tinggi akan mengakibatkan turunnya nilai R. Sehingga dapat disimpulkan bahwa section
terowongan yang memiliki faktor aman paling rendah adalah yang section yang memiliki kedalaman
terowongan yang cukup dekat dengan permukaan tanah, memiliki jenis tanah yang mempunyai kuat geser
tanah yang rendah, dan yang terakhir memiliki ketinggian air tanah yang tinggi.
Pengaruh stratigrafi bawah tanah terhadap kestabilan terowongan bisa kita ketahui dengan
membandingkan beberapa kondisi bawah permukaan. Perbandingan ini akan menggunakan kondisi kasus 3,
dimana air tanah mengikuti kondisi air tanah saat pemboran. Parameter yang akan divariasikan adalah jenis
tanah, yang terdiri dari tanah hasil korelasi, tanah lempung N-SPT rendah, lanau N-SPT rendah, lanau N-
SPT tinggi, dan pasir N-SPT tinggi. Pada perbandingan ini terowongan akan berada pada satu jenis tanah
saja, hal ini dilakukan untuk memudahkan melihat perbedaan kestabilan masing-masing tanah. Tabel 3
menunjukkan perbedaan nilai kestabilan terowongan jika terowongan berada dalam satu jenis tanah saja.
30
Tabel 3: Hasil perbandingan kestabilan terowongan dengan jenis tanah yang berbeda
COB Commissie min: 128,56 min: 145,70 min: 121,64 min: 119,29 min: 141,3
(kN/m2) max: 171,25 max: 186,87 max: 159,31 max: 166,38 max: 157,2
Carranza-Torres
(kN/m2) 80,61 91,91 79,32 70,71 108,52
Hal ini bisa dilihat pada metode kestabilan tubuh terowongan Carranza-Torres (2013). Berdasarkan
stratigrafi hasil korelasi data bor, tubuh terowongan paling tidak harus menahan gaya sebesar 80,61 kN/m2,
jika terowongan berada pada tanah lempung dengan N-SPT rendah maka gaya yang dibutuhkan lining
terowongan menjadi 91,91 kN/m2. Sedangkan jika terowongan berada pada tanah yang relatif kuat seperti
pada lanau N-SPT tinggi, maka gaya dukung terowongan berkurang menjadi 70,71 kN/m 2. Hal yang
menarik terjadi jika terowongan berada pada tanah pasir dengan N-SPT tinggi, seharusnya tanah pasir
memiliki kekuatan dukung yang lebih besar dari pada lanau, akan tetapi pada kasus ini jika terowongan
berada pada tanah pasir maka daya dukung yang dibutuhkan terowongan meningkat menjadi 108,52 kN/m 2.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan tanah pasir tidak memiliki kohesi (c = 0), sehingga pada perhitungan
kestabilan metode Carranza-Torres (2013) memperoleh nilai daya dukung lining terowongan yang lebih
besar.
Pada stabilitas terowongan saat penggalian semakin lemah tanah tempat terowongan berada maka
tekanan minimum dari penggalian akan semakin besar. Hal ini bisa dilihat pada tanah lempung N-SPT
rendah yang membutuhkan tekanan minimal sebesar 145,7 kN/m2, sedangkan pada tanah yang relatif lebih
kuat yaitu lanau N-SPT tinggi hanya membutuhkan tekanan minimal sebesar 119,29 kN/m 2. Dalam kasus ini
tanah pasir kembali menunjukkan nilai yang sedikit berbeda dimana tekanan minimal terowongan saat
penggalian pada tanah pasir sebesar 141,3 kN/m2. Hal ini kembali disebabkan oleh tidak adanya kohesi pada
pasir. Jika melihat rumus tekanan minimal metode COB Commissie pada Persamaan (1), maka dapat
diketahui bahwa nilai kohesi berfungsi untuk menurunkan tekanan minimum terowongan. Karena nilai
kohesi dari tanah pasir ini adalah nol, maka tidak ada faktor pengurang dalam tekanan minimal, yang
kemudian mengakibatkan besarnya nilai tekanan minimal pada tanah pasir ini.
Pada nilai faktor aman terowongan terhadap gaya angkat (uplift), tanah lempung dengan N-SPT
rendah memiliki faktor aman terendah sedangkan tanah pasir N-SPT tinggi memiliki faktor aman yang
paling tinggi. Berbeda dengan sebelumnya kali ini tanah pasir merupakan tanah yang paling baik jika
ditinjau dari faktor aman uplift. Hal ini dikarenakan tanah pasir memiliki nilai kuat geser yang cukup tinggi,
dan nilai kuat geser tanah akan sangat mempengaruhi besarnya faktor aman uplift.
5. KESIMPULAN
Korelasi tanah dibagi menjadi menjadi lima satuan tanah, berdasarkan jenis tanah dan juga nilai N-
SPT. Terdiri dari Lempung N-SPT rendah, lanau N-SPT rendah, Lanau N-SPT tinggi, pasir N-SPT rendah,
dan pasir N-SPT tinggi. Nilai N-SPT pada daerah ini cukup baik, pada kedalaman 13 meter nilai N-SPT >30.
Metode terbaik untuk menghitung tekanan minimal maupun maksimal dari muka terowongan masih belum
dapat disimpulkan, dikarenakan kurangnya data muka air tanah pada saat penggalian terowongan. Walaupun
demikian metode Leca & Dormieux model S1 (1990) dan COB commissie L510 (1996) memiliki hasil yang
cukup mendekati hasil pembacaan di lapangan. Gaya yang paling besar dalam menekan terowongan adalah
sebesar 137,93 kN/m2. Sedangkan kapasitas dukung lining terowongan adalah 726 kN/m2, sehingga bisa
dikatakan tutuh terowongan cukup kuat untuk mendukung beban tanah dan beban permukaan. Stabilitas
terowongan terhadap gaya angkat memiliki faktor aman 2,26.
31
Pengaruh stratigrafi bawah tanah terhadap kestabilan terowongan bergantung pada parameter tanah.
Pada tanah lempung yang memiliki dan c yang kecil akan membutuhkan gaya dukung tubuh terowongan
sebesar 91,91 kN/m2. Sedangkan pada tanah pasir daya dukung tubuh terowongan yang diperlukan menjadi
108,52 kN/m2, ini disebabkan karena pasir tidak memiliki nilai kohesi. Dari hal ini bisa dikatakan bahwa
semua perhitungan tergantung dari hasil korelasi bawah permukaan, karena hasil korelasi mempengaruhi
tebal tipisnya lapisan tanah, posisi terowongan dan juga tinggi muka air. Sehingga untuk memberikan
perhitungan yang akurat diperlukan korelasi bawah permukaan yang akurat dan sesuai dengan kaidah ilmu
geologi.
DAFTAR PUSTAKA
Carranza-Torres, C., Reich, T dan Saftner, D. (2013). Stability of shallow circular tunnels in soils using
analytical and numerical models, Proceedings of the 61st Minnesota Annual Geotechnical
Engineering Conference. United Stated.
Bouwen, C.O. (1996). L 510-01 Inventarisatie Ontwerpmethoden Boortunnels Voor weg- en rail-
Verbindingen, Werkrapport COB-uitvoeringscommissie
Hakim, I. (2016). Analisis Stabilitas Muka Terowongan Berdasarkan Metode Earth Presure Balance Studi
Kasus: Terowongan MRT Jakarta. Skripsi. Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Leca. E dan Dormieux. L. (1990). Upper and Lower Bound Solution for the Face Stability of Shallow
Circular tunnel in Frictional. Geotechnique. Vol.40 pp.581-606.
Turkandi, T., Sidarto, Agustiyanto, D.A., dan Hadiwidjoyo. (1992). Peta Geologi Lembar Jakarta dan
Kepulauan Seribu, Jawa, skala 1:100.000, Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat
Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Pengembangan Geologi, Bandung.
32