0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan21 halaman

Lapsus GEA Vina

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 21

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diare Akut


3.1.1 Definisi Diare Akut
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses
tidak berbentuk (unformed stools), lembek atau cair dengan frekuensi lebih dari
3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut
sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan
pada diare kronik. Feses dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala
penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam,
dan tanda-tanda dehidrasi (Amin, 2015).
WHO/UNICEF mendefinisikan diare akut sebagai kejadian akut dari diare
yang biasanya berlangsung selama 3 – 7 hari tetapi dapat pula berlangsung sampai
14 hari. Diare persisten adalah episode diare yang diperkirakan penyebabnya
adalah infeksi dan mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari,
serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan
kematian. Terminologi ini tidak meliputi diare kronik atau diare rekuren, seperti
tropical sprue, celiac disease, cystic fibrosis, dan kelainan herediter lain dengan
manifestasi diare. Dari semua episode diare, 3 sampai 20% dapat berlangsung
lebih dari 14 hari dan menjadi diare persisten, dan lebih dari 50% kematian akibat
diare berhubungan dengan episode persisten (PPM IDAI, 2020).

3.1.2 Epidemiologi Diare


Penyakit diare merupakan penyebab kematian kedua pada anak di bawah
lima tahun dengan jumlah 525.000 (0,030%) anak setiap tahun. Secara global, ada
hampir 1,7 miliar kasus penyakit diare anak-anak setiap tahun. Kejadian diare
dapat berlangsung beberapa hari dan dapat menimbulkan dehidrasi Penyebab
utama kematian akibat diare adalah dehidrasi dan penyebab lainnya adalah infeksi
bakteri septik. Anak kekurangan gizi atau memiliki gangguan kekebalan serta
orang pengindap HIV paling berisiko mengalami diare yang mengancam jiwa
(Hera dkk, 2020).
Angka kesakitan kematian akibat diare masih relatif tinggi. Beberapa
survey di Indonesia menunjukkan angka kesakitan diare untuk semua golongan
umur adalah sekitar 120 - 360 per 1000 penduduk (12% - 36%), dan untuk
golongan balita menderita satu atau dua kali episode diare pada setiap tahunnya,
76% kematian karena diare terjadi pada bayi dan balita terutama 2 tahun pertama
usia bayi. Pada

bayi kasus diare menduduki urutan kedua setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas
(ISPA) sebagai penyebab kematian (Hera dkk, 2020).
Prevalensi diare di Indonesia menurut karakteristik berdasarkan Riskesdas
2018 tercatat sebanyak 18.225 (9%) anak dengan diare golongan umur < 1 tahun,
73.188 (11,5 %) anak dengan diare golongan umur 1-4 tahun, 182.338 (6,2 %)
anak dengan diare golongan umur 5-14 tahun, dan sebanyak 165.644 (6,7 %) anak
dengan diare golongan umur 15-24 tahun (Kemenkes, 2018).

3.1.3 Etiologi Diare


Penyebab diare pada anak dapat dilihat pada Tabel 6. Infeksi usus
merupakan penyebab tersering diare akut yang sporadis. Tabel 7 memperlihatkan
jenis patogen penyebab diare pada anak. Diare akut pada umumnya disebabkan
oleh infeksi virus (40-60%). Rotavirus sebagai patogen penyebab tersering pada
usia 6- 24 bulan. Di RSUP Sanglah, Rotavirus merupakan 61% dari penyebab
diare pada anak usia kurang dari 5 tahun. Hanya 10% diare disebabkan oleh
infeksi bakteri, terutama pada beberapa bulan awal kehidupan (bayi muda) dan
pada anak usia sekolah. Infeksi di luar usus yang sering disertai diare adalah otitis
media akut, infeksi saluran kemih dan penyakit paru, yang biasanya menyebabkan
diare ringan dan dapat sembuh sendiri seiring dengan sembuhnya penyakit dasar.
Penggunaan beberapa obat, terutama antibiotik, sering dihubungkan dengan
Clostridium difficile. Alergi terhadap protein susu sapi (CMPA) merupakan satu
diagnosis banding yang perlu dipikirkan selain sindrom malabsorpsi bila diare
tidak sembuh dalam10-14 hari (Hera dkk, 2020).
Pada pemeriksaan feses anak dengan diare akut di rumah sakit ditemukan
bahwa pada 75% anak terdapat organisme patogen enterik. Saat ini rotavirus dan
E. coli merupakan organisme penyebab tersering diare akut di negara
berkembang, walaupun di Eropa dan Amerika infeksi rotavirus sudah mulai
digeser oleh norovirus karena adanya vaksin rotavirus. Organisme patogen enterik
lain yang cukup sering menyebabkan diare adalah Salmonella spp (nontifoid),
Shigella spp, Vibrio cholerae, Campylobacter ss, dan Cryptosporidium spp (Arvin
& Ariani, 2021).

Tabel 6. Penyebab diare akut

(IDAI, 2020)

Tabel 7. Patogen penyebab diare akut

(IDAI, 2020)
3.1.4 Klasifikasi dan Patofisiologi Diare

Gambar 7. Patofisiologi diare (Arvin & Ariani, 2021)

Diare infeksi akut diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi


diare non-inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai
lendir dan darah. Gejala klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual,
muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan
tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear. Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme.
Pada infeksi bakteri setidaknya ada dua mekanisme, yaitu peningkatan sekresi
usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan infl amasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya, mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu jenis bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus (Amin, 2015).

3.1.5 Diagnosis Diare


A. Anamnesis
 Perjalanan penyakit diare harus ditanyakan secara jelas:
o Lamanya diare berlangsung
o Kapan diare muncul (saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk
mengetahui apakah termasuk diare kongenital atau didapat
o Frekuensi BAB, konsistensi dari feses, ada tidaknya darah dalam
tinja
 Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain:
o Tidak diberikannya ASI, atau ASI tidak eksklusif dalam 6 bulan
pertama kehidupan
o Riwayat makanan: adanya faktor-faktor modifikasi yang
mempengaruhi BAB seperti diet (untuk memperkirakan termasuk
diare osmotik atau diare sekretorik) atau stress
o Riwayat kecil masa kehamilan
o Jenis kelamin laki-laki
o Riwayat diare dalam dua bulan terakhir (yang menunjukkan ada
masalah dalam sistem imunologi anak)
o Tanda-tanda adanya penyakit sistemik, pneumonia, di daerah
endemis HIV jangan lupa mencari kemungkinan adanya HIV
 Riwayat pemberian antimikroba atau antiparasit yang tidak diperlukan
sebelumnya.
 Gejala penyerta: sakit perut, kembung, banyak gas, gagal tumbuh.
 Riwayat pembedahan usus dapat mengakibatkan striktur intestinal, adhesi,
atau hilangnya valvula ileocecal. Semuanya ini dapat menyebabkan
terjadinya small bowel bacterial overgrowth yang merupakan faktor risiko
terjadinya diare persisten.
 Riwayat bepergian, tinggal di tempat penitipan anak merupakan risiko
untuk diare infeksi.
 Riwayat dehidrasi berat selama dalam perawatan
 Riwayat penggunaan nutrisi parenteral total (PPM IDAI, 2020)

B. Pemeriksaan Fisik
 Penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak
 Edema mungkin menunjukkan adanya protein losing enteropathy yang
merupakan akibat sekunder dari inflammatory bowel disease,
lymphangiektasia atau colitis.
 Perianal rash merupakan akibat dari diare yang memanjang atau
merupakan tanda dari malabsorpsi karbohidrat karena feses menjadi
bersifat asam.
 Tanda-tanda malnutrisi seperti cheilosis, rambut merah jarang dan mudah
dicabut. lidah yang halus, badan kurus, baggy pants (PPM IDAI, 2020).

C. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah
o Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis lekosit, serum imunoglobulin
untuk mengevaluasi adanya defisiensi imun, HIV testing, KED
(Kecepatan Endap Darah). CRP, albumin, ureum darah, elektrolit, tes
fungsi hati, vitamin B, vitamin A, D, dan E, folat, kalsium, feritin,
waktu protrombin (petanda untuk defisiensi vitamin K) untuk
mengevaluasi gangguan nutrisi akibat diare yang berkepanjangan.
 Pemeriksaan tinja
o Kultur feses: patogen yang sering ditemukan pada diare persisten adalah
E. coli (EPEC), Salmonella, enteroaggregative E. Coli (EAEC),
Klebsiella, Aeromonas, Amebiasis, Campylobacter, Shigella,
Giardiasis dan Cryptosporidium (antigen testing), Rotavirus (Elisa).
o Tes enzim pankreas seperti tes fecal elastase untuk kasus yang diduga
sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja < 5,5 atau adanya substansi
yang mereduksi (glukosa, fruktosa, laktosa) pada pemeriksaan tinja,
membantu mengarahkan kemungkinan intoleransi laktosa.
o Osmolalitas feses dan elektrolit feses untuk menghitung osmotik gap
dapat membantu membedakan antara diare osmotik dengan diare
sekretorik. Osmotic gap dihitung dengan rumus: 2902 (Na+ K).
Osmotic gap > 50 mOsm menunjukkan diare osmotik.
 Pemeriksaan radiologi sedikit digunakan pada kasus diare persisten,
barium meal dapat menunjukkan nodularitas, striktur dengan dilatasi
proksimal usus yang bisa merupakan tempat small bacterial overgrowth
yang dapat menyebabkan diare.
 Endoskopi dapat digunakan untuk mengevaluasi beberapa kasus diare
persisten. Endoskopi dan kolonoskopi dengan biopsi digunakan untuk
mengevaluasi pasien yang dicurigai mengalami inflammatory bowel
disease
Gambar 8. Alur Diagnosis Diare
(Amin, Lukman Zulkihli, 2015)

3.1.6 Diagnosis Banding Diare


Tabel 8. Diagnosis banding diare akut (Chang, 2022)
Manifestasi klinis awal diare ringan adalah diare dengan volume tinggi dan
dehidrasi ringan tanpa demam. Diare ringan biasanya sembuh sendiri, dan pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kesulitan. Sebaliknya, diare berat
disertai dengan gejala seperti demam > 101,5 °F, penurunan berat badan,
dehidrasi sedang atau berat, dan/atau sakit perut yang parah.5 Diare berat ini
dapat menyebabkan hipovolemia sedang atau berat, gangguan elektrolit, dan
malnutrisi; oleh karena itu, penting untuk menilai stabilitas pasien pada presentasi.
Pasien diare berat yang tidak stabil cenderung mengalami dehidrasi berat dengan
gejala seperti perubahan status mental, rasa haus yang berlebihan, takikardia
>100, penurunan tekanan darah sistolik >20 mm Hg, pendataran tekanan vena
jugularis, mukosa kering, dan turgor kulit buruk. Tergantung pada tingkat
keparahan dehidrasi, pasien dapat berada dalam keadaan syok hipovolemik di
mana protokol darurat harus diterapkan untuk membangun jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi yang memadai (Chang, 2022).
Selain itu, frekuensi dan karakter tinja dapat menunjukkan apakah diare
berasal dari usus halus atau usus besar. Diare yang berasal dari usus halus
biasanya berair; volume besar: dan berhubungan dengan kram perut, kembung,
dan gas. Namun, diare yang berasal dari usus besar sering terjadi, teratur,
volumenya kecil, dan biasanya berhubungan dengan buang air besar yang
menyakitkan. Selain itu, ciri-ciri tinja yang berasal dari usus besar antara lain tinja
berdarah atau mucoid. Namun, keduanya tidak umum pada tinja yang berasal dari
usus kecil.
Riwayat pasien yang terperinci seperti daftar obat termasuk penggunaan
antibiotik baru-baru ini dan kontak sakit baru-baru ini penting dalam menentukan
potensi paparan dan asal diare. Setiap faktor risiko yang dapat meningkatkan
imunosupresi seperti infeksi virus human immunodeficiency, penggunaan steroid
jangka panjang, dan penggunaan kemoterapi baru-baru ini juga harus dimasukkan
dalam riwayat pasien. Seiring dengan anamnesis pasien, pemeriksaan abdomen
harus dilakukan pada semua pasien dengan diare akut tanpa memandang tingkat
keparahannya. Terakhir, penyakit yang mendasari, seperti hipertiroidisme, gagal
hati, penyakit pankreas, diabetes, atau operasi perut, harus diidentifikasi untuk
mengobati diare akut, yang merupakan sekuel dari penyakit ini (Chang, 2022).
Ketika pasien memiliki keluhan utama diare akut, penyedia layanan
kesehatan pertama-tama harus menentukan tingkat keparahannya dan mengobati
dehidrasi dan hemodinamik yang tidak stabil. Kemudian, penyedia layanan harus
menyatukan tanda dan gejala riwayat pasien yang terperinci, dan pemeriksaan
fisik untuk membuat diagnosis yang paling mungkin. Irritable bowel syndrome
(IBS) umumnya dicurigai pada pasien dengan nyeri perut kronis dan kebiasaan
buang air besar yang berubah. IBS dapat didiagnosis dengan kriteria Roma IV
berdasarkan tanda dan gejala pasien. Jika pasien mengalami nyeri perut berulang
setidaknya sekali seminggu dalam 3 bulan terakhir dengan 2 atau lebih gejala
seperti buang air besar, perubahan frekuensi tinja, dan penampilan tinja,
kemungkinan besar pasien menderita IBS (Chang, 2022).
Riwayat perjalanan atau paparan baru-baru ini dan penggunaan antibiotik
dapat menunjukkan diare terkait virus atau infeksi. Pasien dengan penggunaan
antibiotik baru-baru ini, rawat inap, dan usia lanjut dengan adanya diare akut
(lebih dari 3 kali buang air besar dalam 24 jam) harus diuji untuk Clostridioides
dificile. Tes amplifikasi asam nukleat positif untuk bakteri C. difficile atau tes
tinja positif untuk racun C. difficile menegakkan diagnosis C. difficile. Norovirus
dan rotavirus dianggap sebagai penyebab diare akut non-inflamasi dan sebagian
besar didiagnosis dengan tes antigen cepat tinja dengan enzim immunoassay
(misalnya reaksi berantai polimerase waktu nyata [RT-PCR), yang memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 98%, atau lateks. uji aglutinasi, yang
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
immunoassay. RT-PCR adalah alat diagnostik gold strandard dan antibodi
antirotavirus, seperti imunoglobulin M dan imunoglobulin A yang diekskresikan
dalam tinja dan tetap positif selama 10 hari, dapat menjadi tambahan dalam
membuat diagnosis Juga, sekitar 70% hingga 80% pasien dengan kolitis
sitomegalovirus (CMV) diketahui memiliki ulserasi yang jelas dan tampak
berlubang di bawah endoskopi dan biasanya didiagnosis dengan biopsi jaringan.
Pewarnaan hematoxylin dan eosin dari biopsi jaringan sangat spesifik untuk
CMV, tetapi jika jaringan negatif dari pewarnaan hematoxylin dan eosin,
imunohistokimia spesifik CMV dianggap sebagai gold standard untuk diagnosis
kolitis CMV (Chang, 2022).
3.1.7 Tatalaksana Diare
1. Penggantian cairan dan elektrolit
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral,
yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau
diare hebat membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena. Idealnya,
cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium
bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Cairan
seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan dengan
dicampur air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat di buat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh
baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir
jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut
sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intravena
diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti cairan salin normal atau
ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan kimia darah. Status
hidrasi harus dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan, Pemberian harus
diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin (Amin, 2015).
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar. Kebutuhan cairan dari badan dapat di hitung dengan memakai rumus
(Amin, 2015):
Penghitungan Kebutuhan Cairan
Kebutuhan cairan = BD plasma - 1,025 x Berat badan (kg) x 4 ml
0,001

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis:


 Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% x kgBB.
 Dehidrasi sedang: kebutuhan cairan 8% x kgBB.
 Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% x kgBB.
Tabel 9. Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan diare

(Tim Adaptasi Indonesia, 2009)

2. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik. Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan
tanda diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan
jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Pemberian antibiotik dapat secara empiris, tetapi terapi antibiotik spesifik
diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman (PPM IDAI, 2020).
Tabel 10. Antibiotik empiris pada diare akut infeksi

(Amin, Lukman Zulkihli, 2015)


Tabel 11. Indikasi pemberian antibiotik pada diare infeksi akut

(Amin, Lukman Zulkihli, 2015)

3. Obat anti diare


a. Kelompok Anti-sekresi Selektif
Terobosan terbaru milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sebagai penghambat enzim enkephalinase,
sehingga enkephalin dapat bekerja normal kembali. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi elektrolit, sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan. Hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti-diare
dapat pula digunakan dan lebih aman pada anak (Amin, 2015).
b. Kelompok Opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCI, serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein adalah 15-
60 mg 3x sehari, loperamid 2-4 mg/3-4 kali sehari. Efek kelompok obat
tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan,
sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi
diare. Bila diberikan dengan benar cukup aman dan dapat mengurangi
frekuensi defekasi sampai 80%. Obat ini tidak dianjurkan pada diare akut
dengan gejala demam dan sindrom disentrik (Amin, 2015).
c. Kelompok Absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyerap
bahan infeksius atau toksin. Melalui efek tersebut, sel mukosa usus
terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi
elektrolit (Amin, 2015).
d. Zat hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis, dan Catechu dapat membentuk
koloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekuensi
dan konsistensi feses, tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 mL/2 kali sehari dilarutkan dalam air
atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet (Amin, 2015).

e. Probiotik
Kelompok probiotik terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila meningkat jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
saluran
cerna. Untuk mengurangi/ menghilangkan diare harus diberikan dalam
jumlah adekuat (Amin, 2015).

Gambar 9. Rencana A terapi diare akut (Depkes RI, 2011)


Gambar 10. Rencana B terapi diare akut (Depkes RI, 2011)
Gambar 11. Rencana C terapi diare akut (Depkes RI, 2011)
3.1.8 Komplikasi Diare
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan
komplikasi utama, terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada
diare akut karena kolera, kehilangan cairan terjadi secara mendadak
sehingga cepat terjadi syok hipovolemik. Kehilangan elektrolit
melalui feses dapat mengarah terjadinya hipokalemia dan asidosis
metabolik. Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan
medis, syok hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul
nekrosis tubular akut ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan
tidak adekuat, sehingga rehidrasi optimal tidak tercapai (Amin, 2015).
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi
terutama oleh EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti-diare,
tetapi hubungannya dengan penggunaan anti biotik masih
kontroversial (Amin, 2015).
Sindrom Guillain-Barre, suatu polineuropati demielinisasi
akut, merupakan komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi
C jejuni: 20-40% pasien Guillain-Barre menderita infeksi C. jejuni
beberapa minggu sebelumnya. Pasien menderita kelemahan motorik
dan mungkin memerlukan ventilasi mekanis. Mekanisme penyebab
sindrom Guillain-Barre belum diketahui. Artritis pasca- infeksi dapat
terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp (Amin,
2015).

3.1.9 Prognosis Diare


Dengan penggantian cairan yang adekuat,perawatan yang
mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis
diare infeksius sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas minimal.
Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas terutama
pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalitas
berhubungan dengan diare infeksius < 1,0%. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2% yang berhubungan dengan
sindrom uremik hemolitik (PPM IDAI, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Lukman Zulkihli. 2015 ‘Tatalaksana Diare Akut’, CDK-230/, 42(7).

Arvin & Ariani. 2021, ‘Diare Akut pada Anak yang disebabkan oleh Infeksi’,

Jurnal Kedokteran Meditek.

Chang, Shannon Lee. 2022 ‘Differential Diagnosis of Acute Diarrhea’,


The Journal for Nurse Practitioners.

Departemen Kesehatan RI. 2011 ‘Buku Saku Petugas Kesehatan’,


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan penyehatan
Lingkungan.

Hera dkk. 2020 ‘Pengetahuan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) Pada
Anak Dengan Diare Di Rumah Sakit Umum Kelas B Kabupaten
Subang’, Jurnal Sains Kesehatan: p-ISSN: 2723-4339 e-ISSN:
2548-1398, 1(5).

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012 ‘Buku Ajar Neonatologi’, Jakarta: IDAI.

Iryanto, Andika Agus Iryanto dkk. 2021 ‘Literature Review : Faktor


Risiko Kejadian Diare Pada Balita Di Indonesia’, Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro Semarang,
11(1).

Kemenkes. 2013 ‘Riset Kesehatan Dasar’, Jakarta: balitbang kemenkes RI.

Kemenkes. 2018 ‘Riset Kesehatan Dasar’, Jakarta: balitbang kemenkes RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2020 ‘Profil Kesehatan


Indonesia’, Jakarta : Kemenkes RI.
Kliegman, R. M., & Joseph, S. G. 2019 ‘Nelson textbook of
pedriatrics’, (21th edition). UK: Elsevier.

Netter, Frank H. 2014 ‘Atlas of Human Anatomy (Pediatric)’, Edition


6, United states : Elsevier.

PPM IDAI. 2020 ‘Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia


: Diare Persisten’, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
pp.53.

Tim Adaptasi Indonesia. Diare. In: World Health Organization, (ed.).


2009 ‘Buku saku pelayanan kesehatan Anak di rumah sakit’,
Jakarta: World Health Organization, pp. 131-52.

Anda mungkin juga menyukai