Makalah - Kelompok 2 Variasi Dan Jenis Bahasa
Makalah - Kelompok 2 Variasi Dan Jenis Bahasa
Makalah - Kelompok 2 Variasi Dan Jenis Bahasa
Oleh:
Kelompok 2
Neng Elis Handayani 222121097
Galih Ahmad Rivaldi 222121136
Muhammad Alqodri 222121127
Shafira Zalwa 222121144
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosiolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari atau
menempatkan kedudukan bahasa di dalam masyarakat. Karena dalam
kehidupan masyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai
masyarakat sosial. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam
bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.
Sosiolinguistik juga merupakan ilmu yang mempelajari dan membahas
aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang
terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor kemasyarakatan
(sosial).
Dalam sosiolinguistik terdapat variasi dan jenis bahasa. Variasi bahasa
adalah bentuk penggunaan bahasa yang berbeda-beda berdasarkan
pembicara. Penutur bahasa mempunyai faktor yang dafat mempengaruhi
terjadinya variasi bahasa, misalnya faktor status sosial, individu dan budaya.
Masyarakat bahasa terbentuk karena adanya saling pengertian, terutama
karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana variasi bahasa dari segi penutur, pemakaian, keformalan,
dan sarana mempengaruhiidentitas sosial dan budaya penutur bahasa
Indonesia?
2. Bagaimana variasi dan jenis bahasa dapat dipelajari dari persektif
sosiolinguistik?
3. Apa saja faktor yang mempengaruuhi keberagaman bahasa dalam
masyarakat dan bagaimana dampaknya terhadap komunukasi antar
manusia?
4. Bagaimana peran sosiolinguistik dalam memahami dan mengatasi
permasalahan bahasa yang timbul akibat adanya perbedaan geografis,
soisal, fungsional, dan sarana bahasa?
1
5. Bagaimana hubungan dan perbedaan antara bahasa nasional, bahasa
negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan dalam konteks Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bahasa dari segi penutur, pemakaian, keformalan,
dan sarana mempengaruhiidentitas sosial dan budaya penutur bahasa
Indonesia.
2. Untuk mengetahui variasi dan jenis bahasa dapat dipelajari dari
persektif sosiolinguistik.
3. Untuk mempengaruhi faktor yang mempengaruuhi keberagaman
bahasa dalam masyarakat dan bagaimana dampaknya terhadap
komunukasi antar manusia.
4. Untuk mengetahui peran sosiolinguistik dalam memahami dan
mengatasi permasalahan bahasa yang timbul akibat adanya perbedaan
geografis, soisal, fungsional, dan sarana bahasa.
5. Untuk mengetahui hubungan dan perbedaan antara bahasa nasional,
bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa persatuan dalam konteks
Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya (sarana yang digunakan),
dan bagaimana situasi keformalannya.
1. Variasi dari segi Penutur
a. Idiolek
Idiolek merupaka variasi bahasa yang sifatnya
perseorangan, sehingga bisa disimpulkan bahwasanya setiap
orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-
masing, sekalipun orang tersebut kembar. Variasi idiolek ini
berkenaan dengan “warna” suara, pemilihan kata, gaya bahasa,
susunan kalimat, dsb. Namun yang paling dominan adalah
"warna” suara, sehingga apabila kita akrab dengan seseorang,
kita akan mampu mengenalinya hanya dengan mendengar suara
bicaranya tanpa melihat orangnya. Mengenali idiolek seseorang
lebih mudah diamati melalui cara bicaranya daripada melalui
karya tulisnya.
b. Dialek
Dialek Merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur
yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat atau
wilayah tertentu. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun
mereka memiliki idioleknya masing-masing, mereka akan tetap
memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada
pada satu dialek yang berbeda dengan kelompok penutur daerah
lain. Sehingga, dialek juga dapat diartikan sebagai bahasa khas
yang berasal dari daerah, wilayah atau kelompok tertentu yang
mampu membedakannya dengan daerah lain. Dialek ini dapat
berkenaan dengan istilah logat atau aksen yang dipakai oleh
sekelompok penuturnya.
Misalnya, bahasa Sunda dialek Ciamis, bahasa Sunda
Dialek Tasikmalaya Selatan, bahasa Sunda dialek Banten, dsb.
Para penutur bahasa Sunda dialek Ciamis masih dapat
berkomunikasi dengan baik dengan para penutur bahasa Sunda
4
dialek Banten karena dialek-dialek tersebut masih termasuk
bahasa yang sama, yaitu bahasa Sunda.
Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat
umum sering kali bersifat keliru atau adanya penyamaan makna
antara dialek dan bahasa. Padahal dialek dan bahasa itu
merupakan dua istilah yang berbeda makna, sehingga bukan
berarti dua dialek yang berbeda merupakan dua bahasa yang
berbeda pula. Dalam bidang studi linguistik, ilmu yang
mempelajari tentang dialek-dialek bahasa disebut dialektologi.
Kerja dari bidang studi tersebut ialah berusaha membuat peta
batas-batas dialek dari sebuah bahasa, yakni dengan cara
membandingkan bentuk dan makna kosakata yang digunakan
dalam dialek dialek itu.
c. Kronolek atau Dialek Temporal
Kronolek merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi
bahasa Indonesia pada masa tahun 30-an, variasi yang
digunakan tahun 50-an, dan variasi yang digunakan pada masa
sekarang. Variasi bahasa dari ketiga masa tersebut, tentunya
akan memiliki perbedaan, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi,
maupun sintaksis. Namun yang paling tampak perbedaannya
dari segi leksikon (kosakata), karena kosakata mudah sekali
berubah akibat adanya perubahan sosial budaya, ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
d. Sosiolek atau Dialek Sosial
Sosiolek merupakan variasi bahasa yang berkaitan dengan
status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi ini
menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti
usia, pendidikan, seks/jenis kelamin, pekerjaan/profesi, tingkat
kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dsb.
Berdasarkan usia, kita mampu membedakan antara variasi
bahasa yang digunakan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa,
5
dan lansia. Perbedaan variasi bahasa di sini bukanlah yang
berkenaan dengan isi pembicaraan, melainkan perbedaan dalam
bidang morfologi, sintaksis, dan juga kosakata.
Berdasarkan pendidikan, dapat dilihat perbedaan variasi
bahasa pada orang yang berpendidikan tinggi, berpendidikan
menengah, berpendidikan rendah atau dengan yang tidak
berpendidikan sama sekali. Perbedaan variasi bahasa di sini
berkenaan dalam bidang kosakata, pelafalan, morfologi, serta
sintaksis.
Berdasarkan seks/jenis kelamin, dapat dilihat perbedaan
variasi bahasa pada percakapan yang dilakukan oleh
sekelompok mahasiswa dengan sekelompok bapak-bapak, serta
percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswi dengan
ibu-ibu.
Berdasarkan pekerjaan, profesi jabatan, atau tugas para
penutur, dapat dilihat perbedaan variasi bahasa antara para
buruh, sopir kendaraan umum, para guru, para mubaligh, dan
para pengusaha. Perbedaan variasi bahasa mereka disebabkan
karena lingkungan tugas mereka dan apa yang mereka kerjakan
dan variasi bahasa yang paling tampak di sini berkenaan dengan
kosakata yang mereka gunakan.
Dalam variasi bahasa sosiolek, akan ditemukan variasi
bahasa yang disebut:
1) Akrolek
Variasi ini dianggap lebih tinggi dan bergengsi
daripada variasi lain. Misalnya, dialek Jaksel yang
dianggap keren dan cenderung semakin bergengsi sebagai
salah satu ciri kota metropolitan.
2) Basilek
Variasi ini kebalikan dari variasi akrolek, karena
variasi ini dianggap kurang bergengsi atau bahkan
6
dipandang paling rendah. Misalnya bahasa Jawa “krama
ndesa”.
3) Vulgar
Variasi ini biasanya dipakai oleh kalangan yang
kurang terpelajar atau yang tidak berpendidikan.
4) Slang
Variasi ini bersifat khusus dan rahasia. Artinya,
variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat
terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar
kelompok itu (dengan maksud agar yang bukan anggota
kelompoknya itu tidak mengerti). Faktor kerahasiaan ini
menyebabkan kosakata yang digunakan dalam slang
seringkali berubah-ubah.
5) Kolokial
Variasi ini biasa digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Misalnya seperti dok (dokter), prof (profesor),
let (letnan), ndak ada (tidak ada), dsb. Dalam pembicaraan
atau tulisan yang bersifat formal, tentu ungkapan-
ungkapan tersebut harus dihindarkan.
6) Jargon
Variasi ini digunakan terbatas oleh kelompok-
kelompok tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali
tidak dipahami oleh masyarakat awam. Namun ungkapan-
ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya dalam
kelompok montir atau perbengkelan, terdapat ungkapan
seperti roda gila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles.
7) Argot
Variasi ini digunakan secara terbatas pada profesi-
profesi tertentu dan sifatnya rahasia. Letak kekhususan
argot ada pada kosakata. Umpamanya dalam dunia
kejahatan (pencuri/tukang copet) pernah digunakan
ungkapan barang yang berarti ‘mangsa’, kacamata yang
7
berarti ‘polisi’, daun yang berarti ‘uang’, dan gemuk yang
berarti ‘mangsa besar’.
8) Ken
Ken (Inggris=cant) berarti variasi tertentu yang
bernada “memelas”, di buat merengek-rengek dan penuh
kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.
2. Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berdasarkan segi pemakaian biasanya
menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa.
Misalnya, dalam bidang jurnalistik, militer, pendidikan, perdagangan,
kegiatan keilmuan dsb. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini
yang paling tampak cirinya adalah dalam segi kosakata.
Ragam bahasa dalam bidang jurnalistik bersifat sederhana
(untuk mudah dipahami), komunikatif (mampu menyampaikan berita
secara tepat), dan ringkas (karena keterbatasan ruang khususnya
dalam media cetak, dan keterbatasan waktu khususnya media
elektronika). Ragam jurnalistik dikenal dengan sering
ditinggalkannya awalan me- atau awalan ber-yang di dalam ragam
bahasa baku harus digunakan. Umpamanya kalimat, “Gubernur tinjau
daerah banjir”, (sedangkan dalam bahasa baku berbunyi, “Gubernur
meninjau daerah banjir”).
Ragam bahasa dalam bidang militer bersifat ringkas dan tegas,
karena sesuai dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh
dengan disiplin dan instruksi.
Ragam bahasa dalam bidang keilmuan bersifat lugas, jelas
dalam memberikan informasi keilmuan, bebas dari keambiguan (tanpa
adanya makna yang keliru), serta tidak mempergunakan metafora dan
idiom, dengan demikian akan terbebas dari kemungkinan tafsiran
makna yang berbeda.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini biasa disebut dengan
istilah register dan sering dikaitkan dengan masalah dialek. Dalam
dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana,
8
dan kapan, sedangkan register berkenaan dengan masalah bahasa itu
digunakan untuk kegiatan apa. Di dalam tatanan masyarakat tentunya
akan ditemui sejumlah register, sebab setiap orang dalam masyarakat
sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.
3. Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam
bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas 5 macam gaya
(ragam), diantaranya ragam beku (frozen), ragam resmi (formal),
ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab
(intimate).
a. Ragam beku
Ragam ini merupakan variasi bahasa yang paling formal,
yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-
upacara resmi, seperti upacara kenegaraan, khotbah di mesjid,
tata cara pengambilan sumpah, akte notaris, kitab undang-
undang, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena
pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak
boleh diubah. Ragam beku ini dapat ditemui dalam bentuk
tertulis seperti dalam dokumen-dokumen bersejarah, undang-
undang dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian jual beli
atau sewa-menyewa. Ragam beku juga dapat ditemui pada
kalimat-kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, dan
sesungguhnya. Susunan kalimat dalam ragam beku biasanya
panjang-panjang, bersifat kaku, dan kata-katanya lengkap.
Dengan demikian para penutur dan pendengar ragam beku
dituntut keseriusan dan perhatian yang penuh.
b. Ragam resmi atau formal
Ragam ini pada dasarnya sama dengan ragam beku. Pola
dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai
suatu standar. Biasanya digunakan dalam pidato kenegaraan
rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-
buku pelajaran, pembicaraan dalam acara peminangan,
9
pembicaraan dengan seorang dekan di kantornya, atau diskusi
dalam ruang kuliah.
c. Ragam usaha atau ragam konsultatisi
Ragam ini lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di
sekolah dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi
kepada hasil atau produksi. Sehingga dapat dikatakan ragam ini
merupakan ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam
usaha ini berada diantara ragam formal dan ragam santai.
d. Ragam santai atau ragam kasual
Ragam ini digunakan dalam situasi tidak resmi, seperti
untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman. Ragam
santai ini banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata
atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi
unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Dalam ragam ini
pula sering kali struktur morfologi dan sintaksis yang normatif
tidak digunakan.
e. Ragam akrab atau ragam intim
Ragam ini biasanya digunakan oleh para penutur yang
hubungannya sudah akrab, seperti antaranggota keluarga atau
antarteman yang sudah karib. Ragam ini biasanya ditandai
dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap pendek-pendek
dan dengan artikulasi yang sering kali tidak jelas. Hal tersebut
dapat terjadi karena diantara mereka sudah saling pengertian dan
memiliki pengetahuan yang sama atau dikenal dengan istilah
sefrekuensi.
Berikut contoh kalimat dalam menentukan variasi atau
ragam dari segi keformalan.
1) Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang Saudara
sukai
Kalimat tersebut termasuk ke dalam ragam usaha, sebab
kurang lebih bentuk kalimat seperti itulah yang biasa kita
gunakan.
10
2) Ambilah yang kamu sukai!
Kalimat tersebut termasuk ke dalam ragam santai, karena
lebih terlihat informal.
3) Kalau mau ambil aja!
Kalimat tersebut termasuk ke dalam ragam, sebab hanya
kepada teman kariblah bentuk ujian seperti itu yang
digunakan serta terdapat kata yang dipendek-pendekan
yakni kata aja.
4. Variasi dari Segi Sarana
Variasi dari segi sarana berarti jalur atau alat yang digunakan.
Dalam variasi ini terdapat adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau
juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat
tertentu, misalnya dalam bertelepon dan bertelegraf. Namun, terdapat
wujud struktur yang tidak sama antara ragam bahasa lisan dengan
ragam tulis. Dalam berbahasa lisan, tentu kita dibantu oleh unsur-
unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara,
gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik
lainnya. Padahal dalam ragam bahasa tulis hal-hal yang disebutkan itu
tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal.
Umpamanya apabila kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah
sepeda yang ada di hadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk
atau mengarahkan pandangan pada sepeda itu, kita cukup mengatakan
“Tolong pindahkan ini!” (tanpa menyebutkan kata sepeda, karena
sudah jelas ada di depan kita), akan tetapi dalam bahasa tulis karena
tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada sepeda itu
maka kita harus mengatakan “Tolong pindahkan sepeda itu!”. Jadi,
dengan secara eksplisit harus menyebutkan kata sepeda itu.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika dalam
berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian/lebih jelas secara
detail lagi, agar kalimat-kalimat yang kita susun dapat dipahami
pembaca dengan baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam
berbahasa lisan dapat segera diperbaiki atau diralat, akan tetapi dalam
11
berbahasa tulis kesalahan atau kesalahpengertian baru kemudian bisa
diperbaiki.
Ragam bahasa bertelepon sebenarnya termasuk dalam ragam
bahasa lisan dan ragam bahasa dalam bertelegraf sebenarnya termasuk
dalam ragam bahasa tulis, tetapi kedua macam sarana komunikasi itu
mempunyai ciri ciri dan keterbatasannya masing-masing yang
menyebabkan tidak mampu menggunakan ragam lisan dan ragam tulis
semau kita. Ragam bahasa dalam bertelepon dan bertelegraf menuntut
persyaratan tertentu sehingga menyebabkan adanya ragam bahasa
telepon dan ragam bahasa telegraf, yang berbeda dengan ragam-ragam
bahasa lainnya.
B. Jenis Bahasa
Dalam jenis bahasa ini, selain berkenaan dengan suatu bahasa serta
variasinya, berkenaan pula dengan sejumlah bahasa, baik yang dimiliki
repertoire satu masyarakat tutur maupun yang dimiliki dan digunakan oleh
sejumlah masyarakat tutur.
Pengklasifikasian bahasa itu secara (a) geneologis (genetis) dan
tipologis, berkaitan dengan ciri-ciri internal bahasa, dan (b) sosiolinguistik,
berkaitan dengan faktor-faktor eksternal bahasa, seperti faktor sosiologis,
politis, dan kultural.
1. Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
Jenis bahasa berdasarkan sosiologis itu berkenaan dengan faktor
sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan ini penting untuk
menentukan satu sistem linguistik tertentu, apakah dapat disetujui atau
tidak oleh anggota masyarakat tutur untuk menggunakannya dalam
fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Adapun empat dasar untuk menjeniskan bahasa secara
sosiologis menurut Stewart (dalam Fishman, 1968). Diantaranya :
a. Standardisasi
12
Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi
dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat
pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah dan norma yang
menentukan pemakaian. Standardisasi ini mempersoalkan
apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma yang
sudah dikodifikasikan atau yang diterima oleh masyarakat tutur
dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa.
Pengkodifikasian pada dasarnya dilakukan atau tugas para
pengarang, guru, pakar bahasa, dsb. Pembakuan bahasa ini
diangkat sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur
sebagai bahasa yang “baik dan benar” dalam komunikasi yang
sifatnya resmi, baik secara lisan maupun tulisan.
b. Otonomi
Sistem linguistik dapat dikatakan memiliki keotonomian
jikalau sistem linguistiknya itu memiliki kemandirian sistem
yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968:535).
Misalnya, bahasa Indonesia (di Indonesia) dan bahasa Malaysia
(di Malaysia) yang mana kedua bahasa tersebut memiliki
hubungan kesejarahan, yaitu sama-sama berasal dari bahasa
Melayu, namun keduanya memiliki keotonomian masing-
masing. Di mana keduanya memiliki kodifikasi masing-masing
dan tradisi kesusastraan masing-masing, yang menandai bahwa
kedua bahasa tersebut telah mengalami usaha-usaha pembakuan
masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa bahasa yang otonom
itu ialah bahasa yang telah mengalami usaha-usaha pembakuan.
c. Historisitas
Historisitas atau kesejarahan ini dipercaya dan diketahui
bahwa sebuah sistem linguistik itu sebagai hasil perkembangan
yang normal pada masa lampau (Fishman 1968:535). Faktor ini
berkaitan dengan tradisi etnik tertentu, yang mana
mempersoalkan apakah sistem linguistik itu tumbuh melalui
pemakaian oleh kelompok etnik atau sosial tertentu atau tidak.
13
Para penutur sistem linguistik yang memiliki faktor kesejarahan
ada kemungkinan selain menguasai bahasa ibunya, ia pun
mampu menguasai bahasa kedua (B2). Misalnya, bahasa Sunda
dan bahasa Indonesia yang keduanya memiliki unsur
kesejarahan masing-masing. Bahasa Sunda jelas memiliki unsur
kesejarahannya dan jelas ada etnik yang mendukungnya yakni
etnik suku Sunda. Sedangkan, bahasa Indonesia pun memiliki
unsur kesejarahan yang dapat dilihat dari kebijakan yang ada
dalam pedoman pembentukan istilah. Dalam pedoman itu
disebutkan bahwa untuk menciptakan istilah baru, yang harus
didahulukan ialah kita harus mencari istilah dari kosakata
bahasa Indonesia yang ada sekarang, jikalau tidak ditemukan
maka harus dicari dari kosakata bahasa Indonesia yang sudah
lama, yang jarang dipakai bahkan yang sudah tidak terpakai
sama sekali.
d. Vitalitas
Vitalitas atau keterpakaian berarti pemakaian sistem
linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak
terisolasi/terasing. Unsur vitalitas ini mempersoalkan terkait
apakah sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang
masih menggunakan atau tidak. Sebuah bahasa bisa saja
kehilangan vitalitasnya kalau penutur aslinya telah musnah telah
meninggalkannya, seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta
yang sudah tidak ada penutur aslinya lagi. Namun bisa juga
menghidupkan kembali (merevitalisasi) vitalitas yang
sebelumnya telah hilang dengan adanya kesadaran dan usaha
dari para “ahli waris” untuk menggunakannya kembali, seperti
bahasa Ibrani di Israel.
2. Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Adanya pengklasifikasian berdasarkan sikap politik karena
sangat berkaitan erat dengan kepentingan suatu bangsa. Berdasarkan
sikap politik, dapat dibedakan menjadi empat jenis, diantaranya:
14
a. Bahasa Nasional
Bahasa nasional atau bahasa kebangsaan adalah ketika
sistem linguistik (bahasa) itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam
arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan
bangsa tersebut. Pengangkatan bahasa nasional terjadi berkat
sikap dan pemikiran politik, yang mana agar dikenal sebagai
sebuah bangsa (dengan negara yang berdaulat dan
berpemerintah sendiri.
b. Bahasa Negara
Bahasa negara merupakan sistem linguistik (bahasa) yang
secara resmi tercantum dalam undang-undang dasar sebuah
negara dan ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi
kenegaraan. Maksudnya ialah segala urusan kenegaraan,
administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan
dijalankan dengan menggunakan bahasa itu. Penetapan bahasa
negara biasanya dikaitkan dengan pemakaian bahasa yang sudah
merata terpakai di seluruh penjuru wilayah tersebut. Misalnya,
di Indonesia, Bahasa negara adalah bahasa Indonesia (ditetapkan
dalam UUD 1945 pasal 36).
c. Bahasa Resmi
Bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik (bahasa)
yang ditetapkan untuk dapat digunakan dalam sebuah
pertemuan, seperti konferensi, rapat, sidang internasional dsb.
Misalnya, sekarang Bahasa Indonesia sudah ditetapkan menjadi
salah satu bahasa resmi dalam sidang UNESCO. Dalam konteks
sosial di Indonesia, bahasa resmi dapat disamakan dengan
bahasa negara, yakni bahasa nasional Indonesia.
15
d. Bahasa Persatuan
Bahasa persatuan adalah sebuah sistem linguistik (bahasa)
yang pengangkatannya dilakukan oleh suatu bangsa dalam
kerangka perjuangan, di mana bangsa yang berjuang itu
merupakan masyarakat yang multilingual. Fungsi adanya
bahasa persatuan ialah untuk mengikat dan mempererat rasa
persatuan sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh. Misalnya, di
Indonesia, bahasa yang menjadi bahasa persatuan adalah bahasa
Indonesia. Hal tersebut terdapat pula dalam ikrar Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1945 di poin ketiga yang berbunyi
“Menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keempat
jenis bahasa tersebut mengacu pada sistem linguistik yang sama,
yaitu bahasa Indonesia.
3. Lingua Franca
Istilah lain dari Lingua Franca adalah Basantara (dalam istilah
linguistik) yang berarti bahasa pengantar atau bahasa perantara di
suatu wilayah tutur yang terdapat bahasa tutur yang berbeda-beda.
Dapat disimpulkan bahwa lingua franca merupakan bahasa pemersatu.
Sebagai contoh, di negara Indonesia yang kaya akan bahasa daerah
yang beragam, tentu harus memiliki satu bahasa yang menjadi bahasa
pemersatu yakni Bahasa Indonesia. Karena pada dasarnya untuk
komunikasi antar bangsa atau antar suku bangsa diperlukan adanya
sebuah bahasa yang menjadi lingua franca.
Misalnya, kita yang merupakan asli orang Jawa Barat ketika
liburan ke daerah Yogyakarta. Kita yang biasanya menggunakan
bahasa tutur Sunda, tentu tidak akan paham dengan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Yogyakarta, yakni bahasa Jawa, sehingga
akan mengalami kesulitan untuk berkomunikasi karena perbedaan
bahasa tutur. Maka dari kasus tersebut kita perlu menggunakan bahasa
Indonesia, karena pada dasarnya Bahasa Indonesia itu merupakan
lingua franca.
16
Contoh lain, dalam sidang-sidang umum PBB diperbolehkan
menggunakan bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Cina dan Arab,
karena kelima bahasa tersebut banyak dipahami oleh bangsa-bangsa di
dunia. Jadi, sesungguhnya kelima bahasa tersebut adalah lingua
franca.
Karena dasar pemilihan lingua franca adalah kesalingpahaman
di antara sesama mereka yang menggunakannya.
Adapun istilah bahasa artifisial, yang berarti bahasa buatan
(bukan bahasa alamiah) yang dibuat dan disusun untuk dijadikan
bahasa pengantar (lingua franca) internasional. Menurut catatan
sejarah, ada tiga buah bahasa artifisial, yaitu:
a. Bahasa Volapuk, diciptakan oleh Johan Martin Schleyer, seorang
berkebangsaan Jerman, pada tahun 1879. Kosakatanya diambil
dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan bahasa Roman;
b. Bahasa Esperanto, diciptakan oleh Ludwik Zamenhof, seorang
berkebangsaan Polandia, pada tahun 1887. Kosakatanya diambil
dari bahasa Jerman dan bahasa Roman.
c. Bahasa Interlingua, diciptakan oleh Alexander Gode, seorang
berkebangsaan Amerika. Unsur bahasanya diambil dari bahasa
Inggris Perancis, Italia, Rusia, Spanyol, dan Jerman.
Ketiga bahasa buatan tersebut tidak bertahan lama karena faktor-
faktor tertentu, seperti sistem bahasanya yang sulit untuk dipahami,
bahasa tersebut pecah menjadi berbagai ragam yang menimbulkan
perbedaan, hanya cocok untuk sebagian wilayah, dsb. Sehingga
bahasa tersebut tidak dipelajari lagi, serta banyak ditinggalkan dan
dilupakan orang.
17
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Sosiolingustik adalah cabang ilmu yang mempelajari atau
menempatkan kedudukan bahasa di dalam masyarakat. Karena dalam
kehidupan masyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai
masyarakat sosial. Dalam sosiolinguistik, terdapat variasi dan jenis bahasa.
Variasi bahasa adalah bentuk penggunaan bahasa yang berbeda-beda
berdasarkan pembicara. Penutur bahasa mempunyai faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya variasi bahasa. Misalnya faktor status sosial,
individu dan budaya. Masyarakat bahasa terbentuk karena adanya saling
pengertian, terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode
linguistic. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya
disebabkan oleh para penuturnya yang bersifat heterogen, akan tetapi karena
kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan pula sangat beragam sosial
dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Variasi bahasa dapat kita bedakan berdasarkan penutur dan
penggunaannya. Variasi dari segi penutur terdapat idiolek, dialek, kronolek,
dan sosiolek. Sedangkan variasi dari segi pemakaian terdapat variasi dari
segi keformalan dan variasi dari segi sarana.
Jenis bahasa terbagi menjadi dua, yakni jenis bahasa berdasarkan
sosiologis dan jenis bahasa berdasarkan sikap politis. Lingua franca adalah
Basantara (dalam istilah linguistik) yang berarti bahasa pengantar atau
bahasa perantara di suatu wilayah tutur yang terdapat bahasa tutur yang
berbeda-beda. Dapat disimpulkan bahwa lingua franca merupakan bahasa
pemersatu. Sebagai contoh, di negara Indonesia yang kaya akan bahasa
daerah yang beragam, tentu harus memiliki satu bahasa yang menjadi
bahasa pemersatu yakni Bahasa Indonesia. Karena pada dasarnya untuk
komunikasi antar bangsa atau antar suku bangsa diperlukan adanya sebuah
bahasa yang menjadi lingua franca.
18
B. Saran
Saran yang dapat kami berikan adalah sebagai calon tenaga pendidik,
kita harus bisa memahami variasi dan jenis bahasa agar dapat lebih
memahami kehidupan sosial anak didik.
19
DAFTAR PUSTAKA
Fajrianti, Nurul. (2017). Variasi dan Jenis Bahasa. Makassar: Universitas Negeri
Makassar Fakultas Bahasa dan Sastra Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Prayudi, S., & Nasution, W. (2020). Ragam bahasa dalam media sosial Twitter.
Jurnal Metamorfosa, 8(2), 269-280.