Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Abstract: Every human being must establish a relationship between men and women which then leads to
the level of marriage. In carrying out a marriage, it must be based on the provisions of laws and
regulations, but in the development of the times, marriages occur between men and women of different
religions. Interfaith marriage itself is a relationship between a man and a woman who want to form a
family (household) by adhering to different religions and beliefs. Marriages of various religions can be
found in various areas, both urban and rural. Based on Article 2 paragraph (1) and paragraph (2) Law
Number 1 of 1974 concerning Marriage states that (1) "Marriage is legal, if it is carried out according to
the laws of each religion and belief." (2) Each marriage is recorded according to the applicable laws and
regulations, so that it can be said that marriages can be carried out in accordance with their respective
religions and beliefs and to obtain validation of interfaith marriages must go through a court judge's
decision.
How to Site: Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023). Analisis Pelaksanaan Perkawinan
Beda Agama Di Indonesia. Jurnal hukum to-ra, 9 (1), pp. 24-37. DOI.10.55809/tora.v9i1.194
Introduction
Perkawinan merupakan suatu ikatan hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk
menjadi pasangan suami-istri guna membangun rumah tangga yang bahagia,
harmonis, dan saling membantu serta melengkapi satu sama lain. Untuk melaksanakan
suatu perkawinan haruslah berdasarkan pada perikatan atau perjanjian yang sah dan
diakui oleh agama dan negara. Perkawinan sah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Perkawinan harus sesuai dengan agama yang dianutnya, akan tetapi banyak
ditemukan perkawinan beda agama atau kepercayaan. Perkawinan beda agama
merupakan suatu perkawinan dimana kedua belah pihak memeluk agama dan
kepercayaannya yang berbeda.
Perkawinan beda agama menurut Abdul Hafidz adalah perkawinan antara dua orang
yang memeluk (menganut) agama yang berbeda dan salah satunya beragama Islam,
sementara yang satunya memeluk agama selain Islam (non-muslim).1 Kemudian
1Siska Lis Sulistiani, 2015, Kedudukan Hukum Anak (Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif &
Hukum Islam), Reflika Aditama, Bandung, hlm 45.
24
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Discussion
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan ini adalah, bagaimana pelaksanaan perkawinan beda agama di
Indonesia menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan UUP
tahun 1974 dan bagaimana pertimbangan hakim terhadap pelaksanaan perkawinan
beda agama di Indonesia dalam Putusan Nomor 26/Pdt.p/2020/Pn.Pwt.
Penelitian mengenai beda agama sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Zainal
Arifin Terjadinya perkawinan beda agama dianggap bertentangan dengan tujuan
perkawinan, bagaimana bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Dalam perspektif sadd az-zari'ah, perkawinan beda agama dilarang karena
dikhawatirkan dapat merusak eksistensi keimanan seseorang. Majelis Ulama
2Ibid, hlm 46
3H.M. Anwar Rachman, Prawitra Thalib, Saepudin Muhtar, 2020, Hukum Perkawinan Indonesia (Dalam Perspektif
Hukum Perdata, Hukum Islam, Dan Hukum Administrasi, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm hlm 89
25
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Perkawinan beda agama merupakan suatu perkawinan antara kedua belah pihak baik
laki-laki maupun perempuan yang tunduk pada hukum yang berlainan. Pada dasarnya
dalam hukum perkawinan khususnya perkawinan beda agama di Indonesia tidak
mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga
terdapat kekosongan hukum di dalamnya. Jika dilihat sahnya perkawinan adalah
perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya, sebagaimana telah
4 Zainal Arifin, 2019, Perkawinan Beda Agama, JURNAL LENTERA : Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi,
18(1), 143-158. Retrieved from http://www.ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/view/175
5 Mardalena Hanifah, 2019, Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
26
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974, maka berarti UUP tersebut
menyerahkan seluruhnya pada ajaran masing-masing agama.
Di Indonesia perkawinan dianggap tidak sah apabila kedua belah pihak beda agama,
sebagai contoh dalam ajaran agama Kristen perkawinan beda agama itu tidak sah,
karena menurut ajaran agama Kristen hal tersebut tidak sesuai dengan syarat yang
ditentukan dalam perkawinan. Begitupun dengan ajaran agama Islam yang melarang
keras setiap orang untuk melakukan perkawinan campuran karena tidak sesuai dengan
aturan agama Islam.6 Oleh karena itu maka dibentuklah UUP tahun 1974 sebagai
wujud unifikasi hukum yang berlaku untuk semua warga Negara, serta memberikan
kepastian hukum dan menjamin dengan diwujudkannya kesejahteraan yang lebih
komperhensif, dikarenakan perkawinan didasarkan pada keyakinan dan perkawinan
tersebut juga harus dicatat, sehingga menjamin kepastian hukum untuk memperoleh
hak masing-masing.
6 Prasetyo Ade Witoko dan Ambar Budhisulistyawati, 2019, Penyedulupan Hukum Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia, Journal UNS, Volume 7 No. 2, hlm 252 available from:
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/viewFile/43015/27664
7 Ibid, hlm 253
27
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Sebagai negara yang menurut hukum material atau sosial, Indonesia menganut prinsip
perlindungan hak-hak manusia. Jaminan perlindungan atas HAM tersebut diberikan
tanpa melakukan diskriminasi sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-
8 H.M. Anwar Rachman, Prawitra Thalib, Saepudin Muhtar, 2020, Hukum Perkawinan Indonesia (Dalam Perspektif
Hukum Perdata, Hukum Islam, Dan Hukum Administrasi, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm 120-121
9 Sirman Dahwal, 2017, Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Teori Dan Praktiknya Di Indonesia, Cv. Mandar
28
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Dalam HAM harus diarahkan untuk dapat membangun kehidupan masyarakat. Hak-hak
asasi manusia tersebut bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam
keadaan individu, melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk
menegakan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman
kesadaran, melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah
kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak manusia itu sendiri.
Sebagai instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-
pola kehidupan masyarakat, melainkan harus diarahkan pada tujuan-tujuan yang
dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi
dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam
masyarakat ini. Selain itu itu, pengakuan dari HAM sebagai nilai yang universal dan
mendasar memberikan kosekuensi bagi Indonesia untuk menyempurnakan dan
mengharmonisasikan HAM ke dalam peraturan perundang-undangan yang sedang
berlaku.10
Dari segi filosofis, pengaturan seperti ini tidak sesuai dengan cita-cita penegakan HAM
di Indonesia. Pengaturan hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-
undang menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sahnya
hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dari ketentuan tersebut
maka prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak
bebas dari kedua pihak. Makna kata dari “kehendak bebas” dalam ketentuan Pasal 10
ayat (2) Undang-undang HAM memberikan penjelasan bahwa kehendak yang lahir dari
niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun
terhadap calon suami maupun istri. Dalam hal ini, maka tidak terlihat adanya suatu
29
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
unsur agama yang dikedepankan dari sebuah perkawinan. Padahal, dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saat ini memiliki konsepsi yang
berbeda, dimana perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-
masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan ini. Maksudnya, antara
laki-laki dengan perempuan yang berbeda agama tidak diperbolehkan melakukan
perkawinan menurut hukum positif Indonesia. Sementara itu, dalam Pasal 3 ayat (3)
Undang-undang HAM menjelaskan bahwa perlindungan hak asasi mansuia dan
kebebasan dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini,
maka pihak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak
boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama. 11
Dalam penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang
berbeda agama merupakan salah satu tindakan diskriminasi berdasarkan agama. Dari
ketentuan UUP tahun 1974 tidak sama sekali menjelaskan secara tegas adanya
larangan tentang perkawinan yang hendak dilakukan oleh pasangan yang beda agama.
Apabila perkawinan beda agama tersebut tidak diperbolehkan, maka semestinya
Undang-undang menegaskan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, aturan-aturan
agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang-undang karena
menyangkut masyarakat secara umum.
Dengan tidak adanya larangan bagi perkawinan beda agama, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga
mengakui adanya perkawinan campuran, yakni perkawinan yang dilakukan oleh dua
orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing, serta yang
dilakukan di luar negeri, antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang
Warga Negara Asing. Pengakuan terhadap perkawinan tersebut akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat. 12
Dari paparan uraian tersebut di atas perihal pelaksanaan perkawinan beda agama jika
dikaitkan dalam HAM, maka pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia masih
berpedoman pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974. Walaupun terdapat
banyak silang pendapat dari beberapa ahli, yang menyatakan bahwa boleh atau
tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama.
30
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
diucapkan di persidangan tersebut tidak bisa berbeda dengan yang tertulis, akan tetapi
putusan hakim tidak satu-satunya wujud untuk menyelesaikan sutu perkara, melainkan
putusan hakim masih memiliki penetapan hakim.13
Berdasarkan hal tersebut di atas berikut ini terdapat salah satu contoh kasus
penetapan hakim yang diajukan oleh para pemohon untuk melaksanakan suatu
perkawinan beda agama dalam Putusan Nomor 26/Pdt.P/2020/Pn.Pwt. Dalam putusan
tersebut para pemohon yaitu Pemohon I atas nama Kus Patrisia Brilianti, tempat
tanggal lahir di Banyumas 11 Oktober 1990, beragama Kristen, pekerjaan sebagai
pelajar/mahasiswa, dan alamat Desa Purwojati RT 05 RW 01 Desa Purwojati
Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas dan Pemohon II atas nama Aditya
Rachman Sinuka, tempat tanggal lahir Jakarta, 3 Oktober 1993, agama Islam, pekerjaan
pelajar/mahasiswa, dan alamat Kelurahan Bungur RT 12 RW 02 Kecamatan Senen
Jakarta Pusat, meminta adanya suatu penetapan kepada hakim di Pengadilan Negeri
Purwokerto supaya diselenggarakannya perkawinan beda agama. Berdasarkan
putusan penetapan tersebut hakim telah mempertimbangkan pokok permohonan
pemohon sebagai berikut:
13 Sudikno Mertukusumo, 2021, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm 175
31
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Untuk itu maka diperlukan adanya suatu kepastian hukum yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan adanya suatu penetapan di pengadilan.
Dalam konteks kepastian hukum, sebenarnya hukum harus ditegakkan, dimana setiap
orang berharap kepastian hukum dalam hal terjadi kekosangan hukum dalam peristiwa
yang konkret. Kepastian hukum merupakan perlindungan justitianbeln bagi tindakan
sewenang-wenang, yang mempunyai pengertian bahwa seseorang akan mendapatkan
sesuatu yang diharapkan dalam kondisi tertentu. Hal tersebut yang menjadi
pengharapan bagi masyarakat dengan adanya kepastian hukum, dikarenakan
kepastian hukum bagi masyarakat supaya lebih tertib. Kepastian merupakan salah satu
ciri yang tidak tertulis. Hukum merupakan suatu bagian dimana tanpa nilai kepastian
maka hal tersebut terdapat kehilangan makna, karena tidak bisa kembali dijadikan
pedoman perilaku bagi masyarakat.
Dalam kepastian hukum memilki adanya suatu unsur yang sangat berkaitan dengan
keteraturan dalam masyarakat, karena kepastian hukum merupakan inti dari
keteraturan itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan dimana dengan adanya keteraturan
maka orang dapat hidup cara berkepastian, dikarenakan dapat melaksanakan suatu
kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun yang
menjadi tujua yang tidak hanya menjamin keadilan, namun juga menciptakan
kepastian hukum, kepastian berkaitan dengan efektifitas hukum. Selain itu kepastian
32
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
hukum akan mempunyai jaminan jika suatu negara mepunyai sarana yang memadai
dan efektifitas untuk melakukan peraturan-peraturan yang ada.14
Oleh sebab itu, perkawinan beda agama di Indonesia tersebut menjadi suatu
perdebatan yang sangat tinggi, antara dapat dilaksanakan atau tidak, mempunyai
suatu syarat yang sah atau tidak, mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum,
dikarenakan hal tersebut penyebab antara KUHPerdata menjadi payung hukum
Undang-undang Perkawinan yang menghendaki persoalan perkawinan beda agama. 15
Adapun yang prinsip hukum bagi suatu negara hukum dimana terdapat suatu
pembatasan kewenangan hakim, kecuali pembatasan kewenangan relatif, juga
terdapat pembatasan kewenangan absolut. Dalam penegakan kewenangan absolut
juga diatur dalam ketentuan hukum formal dan hukum materiel, yang dikenal dengan
hukum prosedural dan hukum substantif. Hakim dalam mengambil keputusan hukum
juga tidak boleh melanggar ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 R.Bg. Namun demikian,
prinsip hukum due process of law, memperoleh persyaratan bahwa pembuatan
putusan hakim tidak diperbolehkan berisikan hal-hal yang bisa mengakibatkan
perlakuan terhadap manusia (pencari keadilan) yang bisa mengakibatkan perlakuan
secara tidak adil, tidak logis, dan sewenang-wenang. 16
Untuk itu, maka dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang
merupakan penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tentunya harus memberikan kejelasan mengenai pelaksanaan perkawinan
beda agama, dikarenakan dalam kehidupan bermasyarakat terutama di Indonesia
harus mengetahui ada atau tidaknya penetapan undang-undang yang mengatur hal
tersebut. Selain itu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang telah diperbaharui
dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus mempunyai
suatu kepastian hukum bagi masyarakat supaya jika masyarakat ingin melaksanakan
perkawinan beda agama terdapat payung hukumnya.
Secara formil perkawinan di Indonesia diatur dalam UUP tahun 1974 dan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
14 H. Margono, 2020, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 114
15 Anwar Nuris, 2014, Menggagas Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, Journal Syari’ah STAIN
33
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya
itu.” Dari ketentuan tersebut tidak mengatur secara jelas perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Hal tersebut juga diatur dalam beberapa
pasal dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
Dengan demikian dari hasil analisa penulis dapat dijelaskan bahwa apabila ingin
melaksanakan suatu perkawinan beda agama, maka calon mempelai harus melakukan
suatu penetapan dari hakim pengadilan.
17Nur Asiah, 2015, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Perkawinan dan
Hukum Islam, Journal Samudra Keadilan, Volume 10 No. 2, hlm 208-209, available from:
https://media.neliti.com/media/publications/240404-kajian-hukum-terhadap-perkawinan-beda-ag-31c2c207.pdf
34
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
Conclusion
Dalam pelaksanaan perkawinan beda agama yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan diperbaharui menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai adanya perkawinan beda
agama sendiri, hal inilah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan di masyarakat.
Acknowledgments
35
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
References
Arifin, Z. (2019). Perkawinan Beda Agama. JURNAL LENTERA : Kajian Keagamaan,
Keilmuan Dan Teknologi, 18(1), 143-158. Retrieved from
http://www.ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/view/175
Sulistiani, S.L. (2015). Kedudukan Hukum Anak (Hasil Perkawinan Beda Agama
Menurut Hukum Positif & Hukum Islam). Reflika Aditama. Bandung.
36
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37
37