0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan14 halaman

Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 14

Jurnal Hukum to-ra : Hukum Untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat

Volume 9 Issue 1, 2023


P-ISSN: 2442-8019, E-ISSN: 2620-9837
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di


Indonesia
Elia Juan Markus1, Rr. Ani Wijayati2, L. Elly A.M. Pandiangan3
1
Faculty of Law, Universitas Kristen Indonesia, Indonesia. E-mail: juanharianja16@gmail.com
2
Faculty of Law, Universitas Kristen Indonesia, Indonesia.
3
Faculty of Law, Universitas Kristen Indonesia, Indonesia.

Abstract: Every human being must establish a relationship between men and women which then leads to
the level of marriage. In carrying out a marriage, it must be based on the provisions of laws and
regulations, but in the development of the times, marriages occur between men and women of different
religions. Interfaith marriage itself is a relationship between a man and a woman who want to form a
family (household) by adhering to different religions and beliefs. Marriages of various religions can be
found in various areas, both urban and rural. Based on Article 2 paragraph (1) and paragraph (2) Law
Number 1 of 1974 concerning Marriage states that (1) "Marriage is legal, if it is carried out according to
the laws of each religion and belief." (2) Each marriage is recorded according to the applicable laws and
regulations, so that it can be said that marriages can be carried out in accordance with their respective
religions and beliefs and to obtain validation of interfaith marriages must go through a court judge's
decision.

Keywords: Marriage Law; Interfaith Marriage Law.

How to Site: Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023). Analisis Pelaksanaan Perkawinan
Beda Agama Di Indonesia. Jurnal hukum to-ra, 9 (1), pp. 24-37. DOI.10.55809/tora.v9i1.194

Introduction
Perkawinan merupakan suatu ikatan hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk
menjadi pasangan suami-istri guna membangun rumah tangga yang bahagia,
harmonis, dan saling membantu serta melengkapi satu sama lain. Untuk melaksanakan
suatu perkawinan haruslah berdasarkan pada perikatan atau perjanjian yang sah dan
diakui oleh agama dan negara. Perkawinan sah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Perkawinan harus sesuai dengan agama yang dianutnya, akan tetapi banyak
ditemukan perkawinan beda agama atau kepercayaan. Perkawinan beda agama
merupakan suatu perkawinan dimana kedua belah pihak memeluk agama dan
kepercayaannya yang berbeda.

Perkawinan beda agama menurut Abdul Hafidz adalah perkawinan antara dua orang
yang memeluk (menganut) agama yang berbeda dan salah satunya beragama Islam,
sementara yang satunya memeluk agama selain Islam (non-muslim).1 Kemudian

1Siska Lis Sulistiani, 2015, Kedudukan Hukum Anak (Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif &
Hukum Islam), Reflika Aditama, Bandung, hlm 45.

24
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

menurut Hilman Hadikusuma bahwa perkawinan campuran antar agama terjadi


apabila seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya
melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing,
walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara
agamanya dan kepercayaannya.2

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 (UUP/1974)


bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dari bunyi pasal di atas dapat dipahami bahwa
perkawinan pada dasarnya harus dilakukan berdasarkan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUP/1974 menyatakan
bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari bunyi pasal tersebut di atas dalam pelaksanakan suatu perkawinan harus
dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dihadiri oleh
pegawai pencatat nikah dan para saksi.

Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan. Bukti adanya


perkawinan ini diperlukan kelak untuk melengkapi syarat-syarat adminitrasi yang
diperlukan untuk membuat akta kelahiran, kartu keluarga, dan lain-lain. Pencatatan
perkawinan tersebut telah diatur dalam Pasal 100 dan Pasal 101 KUHPerdata. Pasal
100 KUHPerdata menyatakan bahwa bukti adanya perkawinan adalah melalui akta
perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil. Pengecualian dalam pasal ini
terdapat dalam Pasal 101 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apabila tidak terdaftar
dalam buku catatan sipil, atau hilang maka bukti tentang adanya suatu perkawinan
dapat diperoleh dengan mengajukan penetapan ke pengadilan.3

Oleh karena itu penelitian ini bermaksud mengeksplorasi pertanyaan bagaimanakah


pelaksanan perkawinan beda agama yang dilaksanakan menurut agama Islam dan
Kristen Protestan (Nasrani) sah secara hukum.

Discussion

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan ini adalah, bagaimana pelaksanaan perkawinan beda agama di
Indonesia menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan UUP
tahun 1974 dan bagaimana pertimbangan hakim terhadap pelaksanaan perkawinan
beda agama di Indonesia dalam Putusan Nomor 26/Pdt.p/2020/Pn.Pwt.

Penelitian mengenai beda agama sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Zainal
Arifin Terjadinya perkawinan beda agama dianggap bertentangan dengan tujuan
perkawinan, bagaimana bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Dalam perspektif sadd az-zari'ah, perkawinan beda agama dilarang karena
dikhawatirkan dapat merusak eksistensi keimanan seseorang. Majelis Ulama

2Ibid, hlm 46
3H.M. Anwar Rachman, Prawitra Thalib, Saepudin Muhtar, 2020, Hukum Perkawinan Indonesia (Dalam Perspektif
Hukum Perdata, Hukum Islam, Dan Hukum Administrasi, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm hlm 89

25
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

Indonesia, Majelis PP Muhammadiyah, dan ulama NU melarang perkawinan beda


agama dengan alasan menutup potensi akibat perkawinan beda agama. Larangan ini
juga mendapatkan momentumnya ketika dikaitkan dengan wacana kristenisasi yang
marak saat ini. Nikah beda agama jaman sekarang sudah tidak sesuai dengan tujuan
nikah beda agama di zaman Nabi Muhammad SAW, sekarang nikah beda agama hanya
sebagai bukti gengsi dan kepuasan nafsu belaka bukan untuk kemuliaan Islam sehingga
lebih baik dihindari.4 Penelitian dengan topik beda agama juga pernah dilakukan oleh
Mardalena Hanifah Perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1, Pasal 2 Ayat
(1) jo Pasal 8f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
penjelasan Pasal 1 disebutkan: “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana
sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pernikahan memiliki hubungan
yang sangat erat dengan agama/kerohanian, sehingga pernikahan tidak hanya
memilikiunsur lahir/jasmani, namun unsur batin/spiritual juga memiliki peranan
penting. Membentuk keluarga bahagia yang menjadi tujuan perkawinan, pemeliharaan
dan pendidikan adalahhak dan kewajiban orang tua. Kemudian Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal
8f menjelaskanbahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan penganutnya keyakinan, maka tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan keyakinan itu.5

Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019


Tentang Perubahan UUP tahun 1974.
Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi
kehidupan manusia dalam menjalani hubungan yang lebih serius dan membangun
rumah tangga yang bahagia, harmonis, dan saling melengkapi antara kepribadian
kedua calon mempelai baik suami maupun istri. Selain itu perkawinan selalu dianggap
sebagai suatu hal yang suci karena memiliki hubungan yang sangat terikat antara
aturan yang menyangkut mengenai perkawinan itu sendiri dengan aturan perkawinan
yang menyangkut mengenai agama. Dalam perkawinan juga memiliki suatu norma
hukum maupun tata tertib yang mengaturnya. Dari hal tersebut terdapat hubungan
masalah perkawinan yang saat ini sedang terjadi di masyarakat, antara lain
terdapatnya perkawinan campuran, kawin kontrak, maupun perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama merupakan suatu perkawinan antara kedua belah pihak baik
laki-laki maupun perempuan yang tunduk pada hukum yang berlainan. Pada dasarnya
dalam hukum perkawinan khususnya perkawinan beda agama di Indonesia tidak
mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga
terdapat kekosongan hukum di dalamnya. Jika dilihat sahnya perkawinan adalah
perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya, sebagaimana telah

4 Zainal Arifin, 2019, Perkawinan Beda Agama, JURNAL LENTERA : Kajian Keagamaan, Keilmuan Dan Teknologi,
18(1), 143-158. Retrieved from http://www.ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/view/175
5 Mardalena Hanifah, 2019, Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, SOUMATERA LAW REVIEW, Volume 2, Nomor 2, 2019,


(http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/soumlaw), http://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i2.4420

26
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974, maka berarti UUP tersebut
menyerahkan seluruhnya pada ajaran masing-masing agama.

Di Indonesia perkawinan dianggap tidak sah apabila kedua belah pihak beda agama,
sebagai contoh dalam ajaran agama Kristen perkawinan beda agama itu tidak sah,
karena menurut ajaran agama Kristen hal tersebut tidak sesuai dengan syarat yang
ditentukan dalam perkawinan. Begitupun dengan ajaran agama Islam yang melarang
keras setiap orang untuk melakukan perkawinan campuran karena tidak sesuai dengan
aturan agama Islam.6 Oleh karena itu maka dibentuklah UUP tahun 1974 sebagai
wujud unifikasi hukum yang berlaku untuk semua warga Negara, serta memberikan
kepastian hukum dan menjamin dengan diwujudkannya kesejahteraan yang lebih
komperhensif, dikarenakan perkawinan didasarkan pada keyakinan dan perkawinan
tersebut juga harus dicatat, sehingga menjamin kepastian hukum untuk memperoleh
hak masing-masing.

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa konsep dari perkawinan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berbeda dengan konsep
perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata, dimana Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 memandang perkawinan tidak hanya sekedar hubungan keperdataan
melainkan juga ikatan suci yang didasarkan oleh agama. Hal ini sesuai dengan falsafah
Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segalanya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan
agama sebagai unsur yang penting dalam perkawinan. Perkawinan adalah sah apabila
syarat-syarat atau ketentuan dalam hukum agama dan kepercayaannya masing-masing
terpenuhi, hal ini telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dari ketentuan inilah jika perkawinan dilakukan tidak
menurut agama dan kepercayaan masing-masing atau salah satu larangan perkawinan
dilanggar maka perkawinan tersebut tidak sah.7

Adapun beberapa faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perkawinan beda


agama, yaitu:

1. Pergaulan hidup dalam masyarakat karena Indonesia merupakan masyarakat


yang heterogen yakni beraneka ragam suku dan agama.
2. Pendidikan tentang agama yang minim yakni banyak orangtua yang tidak
mengajarkan anak-anaknya sedini mungkin tentang agama, sehingga disaat anak
menjadi dewasa, anak tidak mempersoalkan agama yang diyakininya.
3. Latar belakang orangtua, karena pasangan yang menikah beda agama tentu tidak
lepas dari adanya latar belakang orang tua. Banyak pasangan yang menikah
dengan pasangan yang berbeda agama karena melihat orangtuanya juga
pasangan yang berbeda agama.

6 Prasetyo Ade Witoko dan Ambar Budhisulistyawati, 2019, Penyedulupan Hukum Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia, Journal UNS, Volume 7 No. 2, hlm 252 available from:
https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/viewFile/43015/27664
7 Ibid, hlm 253

27
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

4. Kebebasan memilih pasangan, sekarang merupakan zaman modern, bukan lagi


seperti pada zaman Siti Nurbaya, yang mana orang tua masih mencari-carikan
jodoh untuk anaknya. Dengan adanya kebebasan tersebut, tidak dapat dipungkiri
jika banyak yang memilih pasangan beda agama karena alasan cinta.
5. Dengan mengikatkannya hubungan sosial anak muda Indonesia dengan anak
muda mancanegara. Akibat globalisasi, berbagai macam bangsa, kebudayaan,
agama serta latarbelakang yang berbeda ikut menjadi pendorong atau
melatarbelakangi terjadinya perkawinan beda agama.8
Selain itu hukum agama telah menentukan kedudukan manusia dengan iman dan
taqwanya, apa yang seharusnya dilaksanakan atau yang seharusnya dilarang. Oleh
sebab itu pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang
berlangsung tidak seagama. Artinya perempuan beragama muslim dengan laki-laki
beragama non-muslim maupun sebaliknya. Kedua belah pihak bisa saja melaksanakan
suatu perkawinan jika pihak non-muslim ini telah masuk Islam. Mengenai larangan
kawin beda agama telah diatur dalam Pasal 40 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dan wanita, karena wanita tersebut tidak beragama
Islam. Dari ketentuan tersebut di atas dapat dipahami bahwa tidak ada perkawinan
beda agama, untuk pihak-pihak yang ingin melaksanakan perkawinannya, kedua belah
pihak harus memilih agama yang dianutnya. Tidak ada lagi sesudah nikah di Kantor
Urusan Agama Kecamatan lalu pindah menikah di Gereja ataupun Catatan Sipil.

Untuk melaksanakan perkawinan beda agama di luar Indonesia tidak akan


menimbulkan adanya suatu permasalahan, karena berdasarkan Pasal 56 ayat (1) dan
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang Warga Negara
Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuang undang-
undang ini. Dalam 1 (satu) tahun setelah suami istri kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Sipil. Sehingga dari
ketentuan inilah yang tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi mereka yang
mampu finansialnya, namun berbeda dengan pasangan perkawinan beda agama, akan
menimbulkan masalah bagi mereka yang kurang mampu finansialnya, maka lantas
ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
melakukan diskriminasi antara si kaya dan si miskin bagi pasangan perkawinan beda
agama.9

Sebagai negara yang menurut hukum material atau sosial, Indonesia menganut prinsip
perlindungan hak-hak manusia. Jaminan perlindungan atas HAM tersebut diberikan
tanpa melakukan diskriminasi sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-

8 H.M. Anwar Rachman, Prawitra Thalib, Saepudin Muhtar, 2020, Hukum Perkawinan Indonesia (Dalam Perspektif
Hukum Perdata, Hukum Islam, Dan Hukum Administrasi, Prenadamedia Group, Jakarta, hlm 120-121
9 Sirman Dahwal, 2017, Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Teori Dan Praktiknya Di Indonesia, Cv. Mandar

Maju, Jakarta, hlm 145

28
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

undang HAM. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang HAM


menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan
yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
pengahapusan, pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
poltik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Dalam HAM harus diarahkan untuk dapat membangun kehidupan masyarakat. Hak-hak
asasi manusia tersebut bukan merupakan nilai-nilai dasar umum yang berakar dalam
keadaan individu, melainkan dikondisikan ke dalam masyarakat. Perjuangan untuk
menegakan hak-hak asasi manusia tidak semata-mata terbatas pada penanaman
kesadaran, melainkan juga upaya-upaya sadar untuk memperbaiki dan mengubah
kondisi-kondisi yang merintangi realisasi hak-hak manusia itu sendiri.

Sebagai instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-
pola kehidupan masyarakat, melainkan harus diarahkan pada tujuan-tujuan yang
dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi
dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam
masyarakat ini. Selain itu itu, pengakuan dari HAM sebagai nilai yang universal dan
mendasar memberikan kosekuensi bagi Indonesia untuk menyempurnakan dan
mengharmonisasikan HAM ke dalam peraturan perundang-undangan yang sedang
berlaku.10

Dengan adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada


dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip HAM itu sendiri. Sebenarnya masalah agama ini merupakan salah satu
komponen HAM yang dijamin oleh UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan
tertinggi di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945 menyatakan bahwa menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan
kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Dari keabsahan agama tersebut
mempunyai pengertian bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-masalah
agama.

Dari segi filosofis, pengaturan seperti ini tidak sesuai dengan cita-cita penegakan HAM
di Indonesia. Pengaturan hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-
undang menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sahnya
hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dari ketentuan tersebut
maka prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak
bebas dari kedua pihak. Makna kata dari “kehendak bebas” dalam ketentuan Pasal 10
ayat (2) Undang-undang HAM memberikan penjelasan bahwa kehendak yang lahir dari
niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun
terhadap calon suami maupun istri. Dalam hal ini, maka tidak terlihat adanya suatu

10 Ibid, hlm 147-148

29
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

unsur agama yang dikedepankan dari sebuah perkawinan. Padahal, dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saat ini memiliki konsepsi yang
berbeda, dimana perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-
masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan ini. Maksudnya, antara
laki-laki dengan perempuan yang berbeda agama tidak diperbolehkan melakukan
perkawinan menurut hukum positif Indonesia. Sementara itu, dalam Pasal 3 ayat (3)
Undang-undang HAM menjelaskan bahwa perlindungan hak asasi mansuia dan
kebebasan dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini,
maka pihak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak
boleh dikurangi atau direduksi oleh faktor agama. 11

Dalam penolakan terhadap pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang
berbeda agama merupakan salah satu tindakan diskriminasi berdasarkan agama. Dari
ketentuan UUP tahun 1974 tidak sama sekali menjelaskan secara tegas adanya
larangan tentang perkawinan yang hendak dilakukan oleh pasangan yang beda agama.
Apabila perkawinan beda agama tersebut tidak diperbolehkan, maka semestinya
Undang-undang menegaskan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, aturan-aturan
agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang-undang karena
menyangkut masyarakat secara umum.

Dengan tidak adanya larangan bagi perkawinan beda agama, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga
mengakui adanya perkawinan campuran, yakni perkawinan yang dilakukan oleh dua
orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing, serta yang
dilakukan di luar negeri, antara dua orang Warga Negara Indonesia atau seorang
Warga Negara Asing. Pengakuan terhadap perkawinan tersebut akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat. 12

Dari paparan uraian tersebut di atas perihal pelaksanaan perkawinan beda agama jika
dikaitkan dalam HAM, maka pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia masih
berpedoman pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974. Walaupun terdapat
banyak silang pendapat dari beberapa ahli, yang menyatakan bahwa boleh atau
tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama.

Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia


Dalam Putusan Nomor 26/Pdt.P/2020/Pn.Pwt.
Putusan hakim merupakan suatu penjelasan yang dilakukan oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
memiliki tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak.
Putusan tersebut tidak hanya diucapkan, akan tetapi berupa penjelasan yang
dikeluarkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.
Jika suatu konsep putusan yaitu tertulis, maka hal tersebut tidak memiliki kekuatan
sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Putusan yang

11 Ibid, hlm 148-149


12 Ibid, hlm 150

30
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

diucapkan di persidangan tersebut tidak bisa berbeda dengan yang tertulis, akan tetapi
putusan hakim tidak satu-satunya wujud untuk menyelesaikan sutu perkara, melainkan
putusan hakim masih memiliki penetapan hakim.13

Berdasarkan hal tersebut di atas berikut ini terdapat salah satu contoh kasus
penetapan hakim yang diajukan oleh para pemohon untuk melaksanakan suatu
perkawinan beda agama dalam Putusan Nomor 26/Pdt.P/2020/Pn.Pwt. Dalam putusan
tersebut para pemohon yaitu Pemohon I atas nama Kus Patrisia Brilianti, tempat
tanggal lahir di Banyumas 11 Oktober 1990, beragama Kristen, pekerjaan sebagai
pelajar/mahasiswa, dan alamat Desa Purwojati RT 05 RW 01 Desa Purwojati
Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas dan Pemohon II atas nama Aditya
Rachman Sinuka, tempat tanggal lahir Jakarta, 3 Oktober 1993, agama Islam, pekerjaan
pelajar/mahasiswa, dan alamat Kelurahan Bungur RT 12 RW 02 Kecamatan Senen
Jakarta Pusat, meminta adanya suatu penetapan kepada hakim di Pengadilan Negeri
Purwokerto supaya diselenggarakannya perkawinan beda agama. Berdasarkan
putusan penetapan tersebut hakim telah mempertimbangkan pokok permohonan
pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan dengan tujuan untuk penyeragaman hukum
perkawinan yang sebelumnya sangat beragam mengingat keberagaman
masyarakat Indonesia;
2. Bahwa dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya;
3. Bahwa Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan mengatur bahwa Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil dapat mencatatkan perkawinan yang telah ditetapkan
oleh Pengadilan dan selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan
oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang
berbeda agama;
4. Bahwa selain itu mengenai perkawinan beda agama juga Putusan
Mahkamah Agung No 1400/K.Pdt/1986 merupakan salah satu solusi hukum
dalam pengaturan perkawinan beda agama. karena jika dibiarkan dan tidak
diberikan solusi secara hukum akan menimbulkan dampak yang negatif bagi
masyarakat maka dengan adanya Yurisprudensi yang termuat dalam
Putusan Mahkamah Agung No 1400/K/Pdt/1986 akan memberi solusi
hukum bagi perkawinan beda agama dengan menyatakan bahwa
perkawinan beda antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor
Catatan Sipil, Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat
dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara
perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai
salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia;

13 Sudikno Mertukusumo, 2021, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm 175

31
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

5. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Pengadilan Negeri


berpendapat bahwa permohonan Para Pemohon cukup beralasan dan
berdasarkan hukum, oleh karenanya permohonan Para Pemohon dapat
dikabulkan untuk seluruhnya;
6. Bahwa oleh karena permohonan Para Pemohon dikabulkan maka Pemohon
patut dibebani untuk membayar biaya perkara ini;
7. Mengingat, bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan
perkara ini.
Dari isi putusan tersebut di atas dapat dilihat bahwa pelaksanaan perkawinan beda
agama terhadap Putusan Nomor 26/Pdt.P/2020/Pn.Pwt, undang-undang yang telah
diperbaharui yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang telah diperharui dari
UUP tahun 1974 seharusnya pemerintah melakukan pertimbangan terlebih terhadap
perkawinan beda agama, dimana masyarakat sering salah mengartikan bahwa
perkawinan beda agama dapat dijalankan sesuai dengan undang-undang dengan
merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
ketentuan tersebut masyarakat selalu berpandangan bahwa jika ingin melaksanakan
suatu perkawinan beda agama secara sah harus dicatatkan. Jika dilihat hal tersebut
masyarakat sering salah menafsirkan dikarenakan di dalam UUP tahun 1974 masih
terdapat adanya suatu kekosongan hukum, dimana tidak diatur secara jelas mengenai
perkawinan beda agama.

Untuk itu maka diperlukan adanya suatu kepastian hukum yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan adanya suatu penetapan di pengadilan.
Dalam konteks kepastian hukum, sebenarnya hukum harus ditegakkan, dimana setiap
orang berharap kepastian hukum dalam hal terjadi kekosangan hukum dalam peristiwa
yang konkret. Kepastian hukum merupakan perlindungan justitianbeln bagi tindakan
sewenang-wenang, yang mempunyai pengertian bahwa seseorang akan mendapatkan
sesuatu yang diharapkan dalam kondisi tertentu. Hal tersebut yang menjadi
pengharapan bagi masyarakat dengan adanya kepastian hukum, dikarenakan
kepastian hukum bagi masyarakat supaya lebih tertib. Kepastian merupakan salah satu
ciri yang tidak tertulis. Hukum merupakan suatu bagian dimana tanpa nilai kepastian
maka hal tersebut terdapat kehilangan makna, karena tidak bisa kembali dijadikan
pedoman perilaku bagi masyarakat.

Dalam kepastian hukum memilki adanya suatu unsur yang sangat berkaitan dengan
keteraturan dalam masyarakat, karena kepastian hukum merupakan inti dari
keteraturan itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan dimana dengan adanya keteraturan
maka orang dapat hidup cara berkepastian, dikarenakan dapat melaksanakan suatu
kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun yang
menjadi tujua yang tidak hanya menjamin keadilan, namun juga menciptakan
kepastian hukum, kepastian berkaitan dengan efektifitas hukum. Selain itu kepastian

32
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

hukum akan mempunyai jaminan jika suatu negara mepunyai sarana yang memadai
dan efektifitas untuk melakukan peraturan-peraturan yang ada.14

Oleh sebab itu, perkawinan beda agama di Indonesia tersebut menjadi suatu
perdebatan yang sangat tinggi, antara dapat dilaksanakan atau tidak, mempunyai
suatu syarat yang sah atau tidak, mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum,
dikarenakan hal tersebut penyebab antara KUHPerdata menjadi payung hukum
Undang-undang Perkawinan yang menghendaki persoalan perkawinan beda agama. 15

Adapun yang prinsip hukum bagi suatu negara hukum dimana terdapat suatu
pembatasan kewenangan hakim, kecuali pembatasan kewenangan relatif, juga
terdapat pembatasan kewenangan absolut. Dalam penegakan kewenangan absolut
juga diatur dalam ketentuan hukum formal dan hukum materiel, yang dikenal dengan
hukum prosedural dan hukum substantif. Hakim dalam mengambil keputusan hukum
juga tidak boleh melanggar ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 R.Bg. Namun demikian,
prinsip hukum due process of law, memperoleh persyaratan bahwa pembuatan
putusan hakim tidak diperbolehkan berisikan hal-hal yang bisa mengakibatkan
perlakuan terhadap manusia (pencari keadilan) yang bisa mengakibatkan perlakuan
secara tidak adil, tidak logis, dan sewenang-wenang. 16

Untuk itu, maka dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang
merupakan penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tentunya harus memberikan kejelasan mengenai pelaksanaan perkawinan
beda agama, dikarenakan dalam kehidupan bermasyarakat terutama di Indonesia
harus mengetahui ada atau tidaknya penetapan undang-undang yang mengatur hal
tersebut. Selain itu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang telah diperbaharui
dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus mempunyai
suatu kepastian hukum bagi masyarakat supaya jika masyarakat ingin melaksanakan
perkawinan beda agama terdapat payung hukumnya.

Pelaksanaan perkawinan beda agama berdasarkan Putusan Nomor


26/Pdt.P/2020/Pn.Pwt menurut pandangan penulis hakim tidak mempertimbangkan
adanya suatu peraturan perundang-undangan yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI),
dimana di dalam KHI telah menyebutkan adanya larangan perkawinan beda agama
yang termaktub dalam Pasal 44 KHI yang menyebutkan bahwa “Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Dari ketentuan inilah seharusnya hakim mempertimbangkan kembali sebelum
memutuskan suatu penetapan.”

Secara formil perkawinan di Indonesia diatur dalam UUP tahun 1974 dan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

14 H. Margono, 2020, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 114
15 Anwar Nuris, 2014, Menggagas Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia, Journal Syari’ah STAIN

Jember, Volume 6 No. 1, hlm 75, available from : http://ejournal.iain-


jember.ac.id/index.php/alahwal/article/view/157/133#
16 Syarif Mappiasse, 2021, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Kencana, Jakarta, hlm 139

33
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

Islam. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut mengatur persoalan-


persoalan yang berkaitan dengan perkawinan termuat perkawinan antara agama.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya
itu.” Dari ketentuan tersebut tidak mengatur secara jelas perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Hal tersebut juga diatur dalam beberapa
pasal dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Berdasarkan Pasal 4 KHI menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah,


apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
2. Berdasarkan Pasal 40 KHI menyatakan bahwa “Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.”
3. Berdasarkan Pasal 44 KHI menyatakan bahwa “Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.”
4. Berdasarkan Pasal 61 KHI menyatakan bahwa “Tidak sekufu tidak dapat
dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.”
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut setiap perkawinan yang dilakukan di suatu wilayah
hukum Indonesia perlu dilakukan ke dalam satu bagian agama, dan tidak
diperbolehkan melaksanakan perkawinan masing-masing agama, dan apabila terjadi
maka hal tersebut melanggar adanya suatu hukum yang berlaku. Perkawinan beda
agama bukan termasuk ke dalam perkawinan campuran, dikarenakan secara hukum
nasional Indonesia perkawinan campuran beda agama tidak termasuk Undang-undang
Perkawinan, akan tetapi Undang-undang Perkawinan hanya mengatur perkawinan
antar warga negara.17

Dengan demikian dari hasil analisa penulis dapat dijelaskan bahwa apabila ingin
melaksanakan suatu perkawinan beda agama, maka calon mempelai harus melakukan
suatu penetapan dari hakim pengadilan.

17Nur Asiah, 2015, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang Perkawinan dan
Hukum Islam, Journal Samudra Keadilan, Volume 10 No. 2, hlm 208-209, available from:
https://media.neliti.com/media/publications/240404-kajian-hukum-terhadap-perkawinan-beda-ag-31c2c207.pdf

34
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

Conclusion
Dalam pelaksanaan perkawinan beda agama yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan diperbaharui menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai adanya perkawinan beda
agama sendiri, hal inilah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan di masyarakat.

Dalam pertimbangan hakim terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama di


indonesia dalam Putusan Nomor 26/Pdt.p/2020/Pn.Pwt. untuk melaksanakan suatu
perkawinan beda agama haruslah berdasarkan penetapan pengadilan, supaya
perkawinan yang dilaksanakan oleh para calon pasangan dianggap sah oleh pengadilan
agar mendapatkan kepastian hukum.

Acknowledgments

Dalam pelaksanaan pengesahan suatu Undang-undang Republik Indonesia haruslah


mempertimbangkan adanya suatu perkembangan yang ada di masyarakat, karena
masyarakat juga memerlukan adanya suatu payung hukum yang ada di Indonesia ini.

Dalam memutuskan suatu penetapan pengadilan hakim haruslah mempertimbangkan


dan membaca secara teliti beberapa ketentuan peraturan perundang-undang yang
berlaku di Indonesia supaya tidak terdapat kesimpangsiuran terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang digunakan.

35
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

References
Arifin, Z. (2019). Perkawinan Beda Agama. JURNAL LENTERA : Kajian Keagamaan,
Keilmuan Dan Teknologi, 18(1), 143-158. Retrieved from
http://www.ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/view/175

Asiah, N. (2015). Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut


Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam. Journal Samudra Keadilan,
Volume 10 No. 2. hlm 208-209. available from:
https://media.neliti.com/media/publications/240404-kajian-hukum-terhadap-
perkawinan-beda-ag-31c2c207.pdf

Dahwal, S. (2017). Perbandingan Hukum Perkawinan. Cv. Mandar Maju. Bandung.

Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor


1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. SOUMATERA LAW REVIEW. Volume 2.
Nomor 2. http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/soumlaw,
http://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i2.4420

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Kompilasi Hukum Islam.

Mappiasse, S. (2021). Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Kencana.


Jakarta.

Margono, H. (2020). Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Dalam


Putusan Hakim. Sinar Grafika. Jakarta.

Mertokusumo, S. (2021), Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta.

Nuris, A. (2014). Menggagas Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama Di


Indonesia. Journal Syari’ah STAIN Jember. Volume 6 No. 1, hlm 74-75. available
from: http://ejournal.iain-
jember.ac.id/index.php/alahwal/article/view/157/133#

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Putusan PN PURWOKERTO Nomor 26/Pdt.P/2020/PN Pwt.

Rachman, H.M.A., Thalib, P., Muhtar, S. (2020). Hukum Perkawinan Indonesia


(Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam, Dan Hukum Administrasi.
Prenadamedia Group. Jakarta.

Sulistiani, S.L. (2015). Kedudukan Hukum Anak (Hasil Perkawinan Beda Agama
Menurut Hukum Positif & Hukum Islam). Reflika Aditama. Bandung.

Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

36
Elia Juan Markus, Rr. Ani Wijayati, L. Elly A.M. Pandiangan (2023)
Analisis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
Jurnal Hukum tora: 9 (1): 24-37

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atas perubahan Undang-undang Nomor 16


Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Witoko, P. A., dan Budhisulistyawati, A. (2019). Penyelundupan Hukum Perkawinan


Beda Agama Di Indonesia. Journal UNS. Volume 7 No. 2. hlm 252. available
from: https://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/viewFile/43015/27664.

37

Anda mungkin juga menyukai