Markandeya Purana
Markandeya Purana
Markandeya Purana
PURANA
Anggota kelompok kami
1. NI KOMANG SUPRIANI (211081)
2. NI KOMANG AYU SULASMINI (211082)
3. NI NENGAH SUMIATI (211083)
Pendahuluan
Markandeya Dalam bahasa Sansekerta adalah nama
salah satu resi kuno menurut kepercayaan Hindu,
terlahir dalam klan Resi Bregu. Ia merupakan putra
Merkandu dan Marudmati. Ia diagungkan sebagai
pemuja Dewa Siwa dan Wisnu, serta disebutkan
beberapa kali dalam kisah-kisah Purana. Khususnya
Markandeya purana, memuat dialog antara
Markandeya dan seorang resi bernama Jaimini, dan
beberapa bab dalam Bhagawatapurana didedikasikan
untuk doa-doa yang dipanjatkannya. Ia juga
disebutkan dalam Mahabharata. Markandeya dikenali
oleh berbagai kalangan dan aliran agama Hindu.
Isi Markandeya Purana
1 Dalam bab-bab awal dari karya ini, sangat dekat mengikuti Mahàbhàrata dan pada umumnya punya amat banyak persamaan
dengan buku ke 12 dari epik itu. Màrkaóya Puràóa secara khusus mulai dengan bagian ini, bahwa Jaimini, seorang siswa dari
Maharûi Vyàsa mendekati Màrkaóðeya dan sesudah pujian tertentu pada Mahàbhàrata, memohon kepadanya untuk
menjawab empat pertanyaan yang di dalam epik besar itu belum terjawab. Pertanyaan pertama adalah, bagaimana Draupadì
bisa menjadi istri bersama dari Pañca Pandava, yang terakhir mengapa anak-anak Draupadi dibunuh pada suatu usia yang
muda. Màrkaóðeya tidak menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi menunjukkannya kepada empat burung yang
bijak, yang sebenarnya adalah para Brahmana yang lahir sebagai burung-burung sebagai hasil dari suatu kutukan. Ceritra
burung-burung itu rupanya sesuai dengan ceritra di dalam Mahabharata (I.229), dan salah satu burung itu bernama Drona
dan menurut Markandeya Purana burung-burung tersebut adalah anak dari Drona.
Burung-burung ini menceritakannya kepada Jaimini sederetan legenda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada mereka. Dalam jawaban terhadap pertanyaan yang terakhir dikatakan bahwa lima devatà (Viúvedeva)
pernah mengalahkan orang suci yang besar Viúvàmitra ketika dia memperlakukan Hariúcandra dengan kasar, kepada mereka
dikutuk oleh orang suci itu untuk lahir lagi sebagai umat manusia, kutukan itu tidak akan berakibat fatal bila mengatakan
bahwa mereka akan meninggal muda dan tidak kawin. Lima orang putra Draupadì itu adalah para devatà itu. Dikaitkan
dengan legenda menyedihkan tetapi secara murni bersifat ke-Brahmana-an tentang seorang raja bernama Hariúcandra, yang
tidak takut terhadap kemarahan dan kutukan Maharûi Viúvàmitra, mengalami penderitaan dan penghinaan sampai pada
akhirnya dia dibimbing masuk surga oleh Sang Hyang Indra sendiri.
Isi Markandeya Purana
2 Sesudah uraian tentang jawaban terhadap empat pertanyaan itu, sebuah bab baru mulai (bab 10–44)
merupakan percakapan antara seorang ayah dan putranya. Hal ini merupakan suatu pencaharian yang luas dari
percakapan ayah dan putra itu, yang dapat dilihat di dalam kitab Mahàbhàrata. Merupakan salah satau
karakteristik di dalam Mahàbhàrata, seorang putra disebut “cerdas” (Medhàvin), sedangkan di dalam kitab
Puràna ia disebut dengan nama Jada, yang artinya orang yang “bodoh”.
Seperti di dalam Mahàbhàrata, di sini juga seorang putra menyesali cara hidup para Brahmana yang salah,
seperti dicita-citakan oleh seorang ayah, mengingatnya kembali pada semua kelahiran yang dahulu dan
melihat penyelamatan hanya dengan jalan menghindarkan diri Saýsàra. Dan “orang yang bodoh” itu
menguraikan tentang Saýsàra dan akibat dari berbagai dosa muncul dalam berbagai kelahiran, teristimewa
hukuman di neraka yang menantikan kedatangan para pelaku dosa. Di tengah-tengah uraian tentang tentang
berbagai neraka, yang bagus dengan caranya sendiri sekalipun jauh dari menyenangkan, kita temukan salah
satu dari mutiara-mutiara terbaik dari legenda-legenda Hindu tentang kisah raja Vipaúcit (yang bijak) .
Isi Markandeya Purana
3 Markandeya Purana sebagai sebuah karya yang lengkap, di dalam buku tersebut juga disisipkan Devì
Màhàtnya. Ssispan ini rupanya dilakukan belakangan yang merupakan suatu pujian untuk mengagungkan dewi
Durgà yang disembah sampai saat ini. Di dalam pura dewi Durgà yang menyeramkan ini, Devì Màhàtmya
dibaca setiap hari dan pada waktu perayaan Durgàpùjà di Bengala, buku ini dibaca dengan kekhususkan
dikaitkan sepenuhnya dengan upacara.
Pada bab 81-93, juga terdapat bagian dengan judul Caóði, Caóðimàhàtmya, Durgàmàhàtmya dan Saptaúatì
dan terdapat dalam naskah-naskah yang tak terhitung jumlahnya, sebagai karya bebas, juga ada banyak
komentar kepada naskah itu. Naskah Devìmàhàtnya bertahun 998 Masehi, sudah diterjemahkan dalam bahasa
Prancis oleh Burnouf (Journal Asiatique IV, 1824, h. 24 tt) dan selengkapnya ke bahasa Inggris oleh Wortham
(JRAS XIII, 1881, h. 3555 tt). Syair karya Bana “Caóðìúataka”, dan drama karya Bhavabhùti
“Màlatimàdhava” barangkali mensyaratkan bersumber pada Devìmàhàtmya, merupakan sisipan kedalam
Màrkaóðeya Puràóa mestinya sudah ada sebelum abad ke 7 Masehi (Band. Pargite h. XII dan XX).
Markandeya Purana Dalam Kehidupan Masyarakat Bali
Maharsi Markandya dan orang Bali Aga
Ketika tiba di Indonesia, Maharsi Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu
beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka
pasraman dimana beliau di dampingi oleh murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan).
Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu
masih kosong secara spiritual. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan
teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi, peralatan untuk yajna dan lain-lain.
Perjalanan beliau diiringi oleh 800 orang murid-muridnya.
Saat datang pertama kali ke Bali, beliau datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya
merabas hutan untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit aneh tanpa
sebab, ada juga yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak,
bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke
Gunung Raung, lalu beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali.
Akhirnya beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah karena beliau tidak
melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau
hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi
Markandeya melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia,
dan upacara Waliksumpah untuk menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya semua pengikut
beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan
nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut
tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat
beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti
nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini
dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau
sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau
korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu
daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang
datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan
akhirnya menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di
namakan Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya
kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar.
Di wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung,
bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di
Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian
membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang
menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal dengan Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali mula,
bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara
demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang
berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya, dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan
baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka
orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur penataran
agung Besakih di sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten
Klungkung, Batubulan, kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada yang
melaksanakan dharma kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta keturunakannya telah membaur dengan orang-
orang Bali Mula atau penduduk asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama orang-orang Bali Aga.
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM MARKANDYA PURANA
A. Nilai Keyakinan (Sradha )Dari beberapa pemaparan sebelumnya mengenai ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Lontar Markandya Purana seperti ajaran Karma Phala,
Tri Kaya Parisudha, Dharma, Tat Twam Asi, Tri Guna, Dasendriya, Pura dalam hal ini Kahyangan Tiga dan Pura yang terkait dengan keberadaan Subak, serta adanya ajaran
Yadnya terlihat jelas bahwa ajaran-ajaran tersebut mengandung nilai-nilai yang mengajarkan umat manusia khususnya umat beragama Hindu untuk mempertebal keyakinan
terhadap agamanya dimana dalam Hindu terdapat suatu keyakinan yang disebut dengan Sradha. Keyakinan ini terdiri dari lima bagian sehingga disebut dengan Panca Sradha.
B. Nilai Religius
Dari pemaparan peneliti sebelumnya, dalam lontar Markandya Purana terdapat suatu nilai yang disebut dengan nilai keyakinan atau kepercayaan. Dimana umat Hindu memiliki
lima dasar kepercayaan yang di sebut dengan Panca Sradha. Dari kepercayaan serta keyakinan inilah kemudian menumbuhkan apa yang di sebut dengan nilai Religius. Adapun
yang di maksud dengan nilai Religius adalah suatu nilai yang bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia yang merupakan nilai tertinggi dan mutlak. Dalam hal ini
umat Hindu meyakini bahwa adanya kehidupan secara keseluruhan bersumber dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Cara yang paling mudah untuk dapat meyakini keberadaan tuhan
adalah dengan mempelajari ajaran ajaran agama. Tuhan merupakan sumber kehidupan yang menghidupi semua makhluk hidup di dunia ini, begitu pula dengan manusia sebagai
salah satu ciptaan ida Sanghyang Widhi Wasa. Ida Sanghyang Widhi ialah yang kuasa atas segala yang ada ini. Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Hyang Widhi
tunggal adanya, Karena tuhan tidak terjangkau oleh pikiran.
C. Nilai etika
Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah homo sosius makhluk berteman. Ia tidak dapat hidup sendiri dan selalu bersama sama
dengan orang lain, hanya dalam hidup bersama sama ia dapat berkembang dengan wajar. Hal ini sejak lahir sampai meninggal memerlukan bantuan orang lain untuk
kesempurnaan hidupnya. Dalam kehidupan bersama itu orang harus mengatur diri dalam bertingkah laku. Tak seorangpun boleh berbuat dengan seenak hatinya. Ia harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan, tunduk pada aturan tingkah laku yang berlaku. Dengan demikian orang akan berbuat dalam ikatan aturan tingkah laku yang baik dan benar.
Nilai nilai atas pilihannya pada yang baik dan benar itulah yang akan menentukan pribadi seseorang, bukan karena kekayaan, kepandaian dan keturunan.
Ada yang ingin bertanya ??
Terima kasih!