Lontar Yama Purwana Tattwa
Lontar Yama Purwana Tattwa
Lontar Yama Purwana Tattwa
1, 2021
ISSN: 2656-7466
ABSTRAK
Lontar Yama Purwana Tattwa adalah Salah satu lontar atau naskah
tradisional Bali yang bernafaskan siwaistik yang memuat tentang tuntunan
upacara pitra yadnya baik dari upacara, upakara dan sarana bade atau
petulangan yang di gunakan dalam upacara ngaben. Naskah aslinya
memakai aksara Bali dan telah dilakukan alih aksara serta alih bahasa ke
dalam huruf latin. Telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh tim penterjemah, yang tujuannya adalah guna memudahkan
memahami isi yang terkandung di dalam naskah tersebut. Keseluruhan
naskah ini (lazimnya dikenal oleh masyarakat Hindu di Bali adalah lontar)
terdiri atas 16 lembar atau helai daun lontar (siwalan).
Dalam lontar Yama Purwana Tatwa ini tertulis bentuk dan jenis
petulangan dalam upacara ngaben ada yang di sebut petulangan lembu,
macan, singa, singa kaang, naga kaang, gedarba, gajah mina dan
sudang-sudangan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
jenis, warna atau bentuk-bentuk petulangan sebagai berikut.
1. Petulangan lembu warna putih, dan lembu hitam idealnya binatang
lembu dipakai oleh orang yang dipandang suci seperti para pendeta,
para pemangku (lembu, putih) dan lembu hitam oleh kesatria
dan brahmana welaka.
2. Bentuk petulangan singa, bentuknya idealis singa, (yang disebut Singa
Ambara Raja) warnanya merah tua bersayap. Umumnya dipakai oleh
raja-raja dan warga tangkas koriagung.
3. Petulangan bentuk naga kaang, ialah bentuk idealis naga
dikombinasikan dengan ikan, berkepala naga dan badan bersisik ikan
dan bersayap. Kaki sebagai kaki lembu dan bersisik pada bagian
belakang kaki, dipakai oleh para arya sentong, sekte wisnu.
4. Bentuk petulangan gedarba idealnya binatang beruang, berwarna
hitam. Kaki bertanduk (tegil), dipakai oleh kula wangsa (orang
kebanyakan).
5. Bentuk petulangan gajah mina idealnya kombinasi dari binatang gajah
dan ikan berupa binatang purba sejenis ikan berkepala gajah, dipakai
oleh golongan wesia.
6. Bentuk petulangan singa kaang, berbentuk singa, kaki bagian
belakang bertanduk dan bersisik seperti sisik ikan dipakai oleh
pasek Bali aga dan pasek pulasari.
7. Bentuk petulangan menjangan, idealnya binatang menjangan
bertanduk bercabang-cabang, dipakai oleh sang arya
60
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
61
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
perbedaan itu pada hakekatnya memiliki tujuan yang sama dan tidak
menyimpang dari Weda sebab lontar adalah pengejawantah dari pada
Weda.
Umat Hindu khususnya yang ada di Bali yang telah meninggal
dunia harus dikembalikan terlebih dahulu jazadnya menuju alam semesta.
Baik itu di kubur atau dibakar. Sebagian besar masyarakat Hindu Bali
melakukan upacara pengabenan ini adalah dengan membakar. Inti dari
upacara ngaben adalah pralina, baik itu pralina menggunakan api sekala
atau niskala yaitu mantra puja gni pralina. Pralina itu telah memberikan
makna bahwa jazad manusia itu telah kembali menuju alam semesta.
Yaitu menyatunya Panca Mahabutha Bhuana Alit dan Panca Maha Butha
Bhuana Agung. Pengembalian jazad ini dipandang perlu karena baik
manusia maupun alam semesta dipandang terkomposisi dari unsur-unsur
yang sama, yaitu zat cair, zat padat, panas, angin, dan unsur halus yang
disebut dengan unsur Panca Maha Butha. Upacara pengabenan
merupakan upacara simbolis yang bertujuan untuk melebur manusia,
jasad kasar manusia yang disebut dengan Panca Maha Butha Alit, menuju
alam semesta, atau yang disebut dengan Panca Maha Butha Agung.
Melalui ngaben inilah, dalam pandangan kepercayaan masyarakat Hindu
di Bali umumnya, jazad manusia tersebut mampu lebur kemBali menuju
makrokosmos, atau alam semesta (Panca Maha Bhuta Agung tersebut).
Logika umum mengatakan bahwa melalui ngaben ini manusia dibakar.
Dengan dibakar, jazad tersebut dipandang melebur menjadi angin, api,
air, tanah, dan menuju luar angkasa yang hampa udara. Baik alam
semesta (Panca Maha Butha Agung atau makrokosmos) maupun Panca
Maha Butha Alit (Manusia, dan mahluk hidup pada umumnya),
mempunyai karakter yang sama, yakni zat padat, zat cair, angin, panas,
dan unsur yang halus seperti ruang hampa udara. Pada manusia, ruang
hampa yang sangat halus ini disebut-sebut ada pada rambut dan kuku.
Dengan pemahaman seperti ini, yaitu peleburan antara badan kasar yang
ada pada manusia menuju unsur-unsur yang ada di alam semesta itu,
maka ditafsirkan cara yang paling cepat untuk melakukan hal itu, dengan
membakar jenazah. Melalui pembakaran itulah seluruh badan kasar
manusia akan tercepat bersatu dengan alam semesta. Setelah jenazah
tersebut menjadi abu, maka setelah diadakan upacara tertentu, abunya
segera dibawa menuju sungai atau ke laut untuk dilarung. Maka secara
sederhana ditafsirkan dalam kepercayaan anggota masyarakat,
pembakaran tersebut menghasilkan debu dan asap, yang semuanya bisa
membawa bergabungnya jazad tersebut bergabung menuju tanah dan
angkasa sedangkan abu yang dibuang ke laut atau ke sungai, akan
segera bergabung dengan air dan jika menguap, akan bergabung dengan
angkasa, angin dan sebegainya. Jadi, telah bergabung dengan Panca
Maha Butha Agung, atau alam semesta.
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Menurut
agama Hindu, manusia itu terdiri dari tiga lapis, yaitu raga sarira, suksma
sarira, dan antahkarana sarira. Raga sarira adalah badan kasar, badan
yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma sarira
62
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
adalah badan astral atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran,
perasaan, keinginan dan nafsu (citta, manah, indria, dan ahamkara).
Antahkarana sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sang Hyang
Atma. Ragha Sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur Panca
Maha Butha, yaitu pratiwi, yang merupakan unsur tanah yang di dalam
badan manusia disimbolkan dengan zat padat; apah, adalah zat cair, yang
di dalam tubuh manusia diperlihatkan oleh zat cair seperti darah, kelenjar
dan lainnya; teja adalah api atau panas yang di dalam tubuh manusia
diperlihatkan oleh suhu badan; bayu adalah angin, yang di dalam tubuh
manusia diperlihatkan oleh adanya nafas; dan terakhir adalah akasa atau
ether, yakni unsur badan yang terhalus yang di dalam tubuh manusia
diperlihatkan oleh rambut dan kuku. Proses terjadinya Ragha Sarira
adalah sebagai berikut. Sari-sari Panca Maha Butha yang terdapat pada
berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut dengan sad
rasa, yaitu, madhura (manis), amla (asam), tikta (pahit), kothuka (pedas),
ksaya (sepat), dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan maupun
diminum oleh manusia, lakilaki maupun perempuan. Dalam tubuh
diproses, disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama Bang (sel
telur wanita) dan kama putih (sperma laki-laki). Dalam persenggamaan
dua kama ini akan bergabung dan bercampur melalui pengentalan dan
menjadilah janin, badan bayi ( kama reka) dalam lontar Agastya prana.
Sisanya menjadi air nyom, darah, lamas (kakere) dan ariari. Percampuran
kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun ke
dalamnya. Konon atma ini masuk ke dalam unsur kama yang bercampur
ini pada saat bapak dan ibu dalam keadaan lupa, dalam asyiknya
menikmati rasa.
Disamping Panca Maha Butha yang kemudian berubah menjadi
janin, ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha
Butha. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya
menjadi Suksma Sarira (citta, manah, indria, ahamkara). Citta terdiri dari
tiga unsur yaitu Tri Guna yang terdiri dari satwam, rajas, tamas. Ketiga
unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan
perasaan, indria adalah alam keinginan, dan ahamkara adalah alam
keakuan. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil
yang dikerjakan oleh badan atas pengendali citta tadi. Bekas-bekas ini
nantinya merupakan muatan atma yang akan pergi ke alam pitara. Ketika
manusia itu meninggal, Suksma Sarira dan atma akan pergi meninggalkan
badan kasar. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas
kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal
badan sudah tidak dapat difungsikan lagi, karena bagian-bagiannya sudah
rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi atma. Agar tidak terlalu lama
atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk
mempercepat proses kemBalinya menuju sumbernya di alam, yakni
Panca Maha Butha (Agung). Proses inilah yang disebut dengan ngaben .
Dalam runtutan upacara ngaben yang terdapat dalam lontar yama
purwana tatwa ada yang disebut dengan memukur. Memukur merupakan
upacara tahap kedua dari Pitra Yadnya, yaitu mengemBalikan jazad
63
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
64
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
“Nihan daging kcap Yama Purwana Tattwa, par ssi, tingkah angupakara
sawa sang mati, agung alit, nistha madhia utama, maka patuting wulah
sang magama tirtha ring Balirajia, kewala wwang mati bner tan wnang
65
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
Terjemahan:
Inilah isi dari Yama Purwana Tattwa tersebut; Bila melakukan upacara
kematian sesuai dengan kemampuan yang disebut sederhana, menengah
dan Utama (nistha, madhya, uttama). Agar tidak menyimpang dari
petunjuk bagi umat yang beragama Hindu di pulau Bali. Hanya orang yang
mati secara wajar tidak boleh dikuburkan, agar dibakar saja, disertai
dengan upacara supaya roh orang tersebut mendapat tempat disisi Dewa
Brahma (Yama Purvana Tattwa, 2b).
66
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
67
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
68
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
69
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466
70