Lontar Yama Purwana Tattwa

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No.

1, 2021
ISSN: 2656-7466

LONTAR YAMA PURWANA TATTWA

Dra. Ni Wayan Seriasih, M.Hum


Seriasih59wayan@gmail.com

ABSTRAK
Lontar Yama Purwana Tattwa adalah Salah satu lontar atau naskah
tradisional Bali yang bernafaskan siwaistik yang memuat tentang tuntunan
upacara pitra yadnya baik dari upacara, upakara dan sarana bade atau
petulangan yang di gunakan dalam upacara ngaben. Naskah aslinya
memakai aksara Bali dan telah dilakukan alih aksara serta alih bahasa ke
dalam huruf latin. Telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh tim penterjemah, yang tujuannya adalah guna memudahkan
memahami isi yang terkandung di dalam naskah tersebut. Keseluruhan
naskah ini (lazimnya dikenal oleh masyarakat Hindu di Bali adalah lontar)
terdiri atas 16 lembar atau helai daun lontar (siwalan).
Dalam lontar Yama Purwana Tatwa ini tertulis bentuk dan jenis
petulangan dalam upacara ngaben ada yang di sebut petulangan lembu,
macan, singa, singa kaang, naga kaang, gedarba, gajah mina dan
sudang-sudangan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
jenis, warna atau bentuk-bentuk petulangan sebagai berikut.
1. Petulangan lembu warna putih, dan lembu hitam idealnya binatang
lembu dipakai oleh orang yang dipandang suci seperti para pendeta,
para pemangku (lembu, putih) dan lembu hitam oleh kesatria
dan brahmana welaka.
2. Bentuk petulangan singa, bentuknya idealis singa, (yang disebut Singa
Ambara Raja) warnanya merah tua bersayap. Umumnya dipakai oleh
raja-raja dan warga tangkas koriagung.
3. Petulangan bentuk naga kaang, ialah bentuk idealis naga
dikombinasikan dengan ikan, berkepala naga dan badan bersisik ikan
dan bersayap. Kaki sebagai kaki lembu dan bersisik pada bagian
belakang kaki, dipakai oleh para arya sentong, sekte wisnu.
4. Bentuk petulangan gedarba idealnya binatang beruang, berwarna
hitam. Kaki bertanduk (tegil), dipakai oleh kula wangsa (orang
kebanyakan).
5. Bentuk petulangan gajah mina idealnya kombinasi dari binatang gajah
dan ikan berupa binatang purba sejenis ikan berkepala gajah, dipakai
oleh golongan wesia.
6. Bentuk petulangan singa kaang, berbentuk singa, kaki bagian
belakang bertanduk dan bersisik seperti sisik ikan dipakai oleh
pasek Bali aga dan pasek pulasari.
7. Bentuk petulangan menjangan, idealnya binatang menjangan
bertanduk bercabang-cabang, dipakai oleh sang arya

60
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

8. Bentuk petulangan macan (harimau), idealnya binatang harimau,


warna merah dan kulit belang, dipakai oleh, pande (keturunan dari
seorang Maha Mpu Brahma Raja Wisesa;"babad pande").
9. Bentuk petulangan sudang-sudangan, berbentuk seperti ikan dan kulit
bersisik, dipakai oleh para nelayan di daerah tepi pantai.
10. Bentuk petulangan tabla, berbentuk peti biasa, berkaki empat sebagai
penyangga. Warnanya putih simbul kesucian, dipakai oleh mereka
yang dipandang suci.
Kemudian di dalam lontar Yama Purwana Tatwa dijelaskan
beberapa hal diantaranya sebagai tuntunan upacara yadnya di Bali seperti
halnya :
 Upacara Nyekah untuk para roh leluhur agar nantinya juga dapat
mengakibatkan Jiwatman mengalami proses reinkarnasi berulang-
ulang di dunia ini. Dan mngalami proses peningkatan sang roh
menuju alam yang lebih baik, supaya tidak terjebak di alam astral
dan bisa menuju alam hyang yama dipati untuk mengalami proses
pengadilan.
 Selain itu lontar Yama Purwana Tatwa juga Salah satu lontar
kamoksan yang memiliki perhitungan hari, wuku dan sasih (wariga)
yang khusus mengatur dalam pencarian ala ayuning dewasa, untuk
dapat melaksanakan upacara khususnya pitra yadnya baikitu
ngaben, nyekah, memukur, maligia dan lain sebagainya.
Lontar Yama Purwana Tatwa tidak hanya satu-satunya lontar yang
mengatur tentang pitra yadnya namun di dukung juga dengan beberpa
lontar lainya yang sama-sama memuat tentang tuntunan pelaksanaan
upacara pitra yadnya adapun beberapa lontar yang mendukung upacara
pengabenan di antaranya lontar yama tatwa, lontar dharma sunia, lontar
pratekaning atma wong pejah dan lontar Weda puja pitra siwa.

Hindu Bali dengan taat selalu menjalankan tradisi yang di wariskan,


deangan cara catur dresta yaitu empat cara atau kebiasaan untuk
melakukan suatu yadnya, baik itu dengan cara desa dresta yaitu
kebiasaan pada suatu desa, kune dresta yaitu kebiasan yang dilakukan
berdasarkan turun temurun, kula dresta yaitu kebiasaan yang dilakukan
dalam suatu keluarga dan juga sastra destra yaitu kebiasaan yang
dilakukan berpedoman dengan sastra-sastra yang ada baik itru Weda,
purwana, babad, lontar, tatwa dan lain sebagainya. Jadi ke empat
kebiasan ini sering disebut dengan desa mawacara atau desa kalapatra.
Masyarakat Hindu Bali meskipun ada perbedaan- perbedaan pelaksanaan
upacara yadnya namun pada esensinya memiliki tujuan yang sama. Salah
satunya adalah upacara ngaben, Di Bali banyak kita lihat perbedaan-
perbedaan dalam upacara panca yadnya, baik dari segi reringitan atau
bentuk banten, sarana upacara dan upakara pun berbeda. Apalagi jika di
lihat pada upacara pitra yadnya khusunya pengabenan banyak kita lihat
perbedaan- perbedaan baik dalam penggunaan wadah atau bade dan
petulangan hal ini terjadi karna desa mawacara dan juga bhisama yang di
sesuaikan dengan klen atau soroh sang yajamana. Namun apapun

61
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

perbedaan itu pada hakekatnya memiliki tujuan yang sama dan tidak
menyimpang dari Weda sebab lontar adalah pengejawantah dari pada
Weda.
Umat Hindu khususnya yang ada di Bali yang telah meninggal
dunia harus dikembalikan terlebih dahulu jazadnya menuju alam semesta.
Baik itu di kubur atau dibakar. Sebagian besar masyarakat Hindu Bali
melakukan upacara pengabenan ini adalah dengan membakar. Inti dari
upacara ngaben adalah pralina, baik itu pralina menggunakan api sekala
atau niskala yaitu mantra puja gni pralina. Pralina itu telah memberikan
makna bahwa jazad manusia itu telah kembali menuju alam semesta.
Yaitu menyatunya Panca Mahabutha Bhuana Alit dan Panca Maha Butha
Bhuana Agung. Pengembalian jazad ini dipandang perlu karena baik
manusia maupun alam semesta dipandang terkomposisi dari unsur-unsur
yang sama, yaitu zat cair, zat padat, panas, angin, dan unsur halus yang
disebut dengan unsur Panca Maha Butha. Upacara pengabenan
merupakan upacara simbolis yang bertujuan untuk melebur manusia,
jasad kasar manusia yang disebut dengan Panca Maha Butha Alit, menuju
alam semesta, atau yang disebut dengan Panca Maha Butha Agung.
Melalui ngaben inilah, dalam pandangan kepercayaan masyarakat Hindu
di Bali umumnya, jazad manusia tersebut mampu lebur kemBali menuju
makrokosmos, atau alam semesta (Panca Maha Bhuta Agung tersebut).
Logika umum mengatakan bahwa melalui ngaben ini manusia dibakar.
Dengan dibakar, jazad tersebut dipandang melebur menjadi angin, api,
air, tanah, dan menuju luar angkasa yang hampa udara. Baik alam
semesta (Panca Maha Butha Agung atau makrokosmos) maupun Panca
Maha Butha Alit (Manusia, dan mahluk hidup pada umumnya),
mempunyai karakter yang sama, yakni zat padat, zat cair, angin, panas,
dan unsur yang halus seperti ruang hampa udara. Pada manusia, ruang
hampa yang sangat halus ini disebut-sebut ada pada rambut dan kuku.
Dengan pemahaman seperti ini, yaitu peleburan antara badan kasar yang
ada pada manusia menuju unsur-unsur yang ada di alam semesta itu,
maka ditafsirkan cara yang paling cepat untuk melakukan hal itu, dengan
membakar jenazah. Melalui pembakaran itulah seluruh badan kasar
manusia akan tercepat bersatu dengan alam semesta. Setelah jenazah
tersebut menjadi abu, maka setelah diadakan upacara tertentu, abunya
segera dibawa menuju sungai atau ke laut untuk dilarung. Maka secara
sederhana ditafsirkan dalam kepercayaan anggota masyarakat,
pembakaran tersebut menghasilkan debu dan asap, yang semuanya bisa
membawa bergabungnya jazad tersebut bergabung menuju tanah dan
angkasa sedangkan abu yang dibuang ke laut atau ke sungai, akan
segera bergabung dengan air dan jika menguap, akan bergabung dengan
angkasa, angin dan sebegainya. Jadi, telah bergabung dengan Panca
Maha Butha Agung, atau alam semesta.
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Menurut
agama Hindu, manusia itu terdiri dari tiga lapis, yaitu raga sarira, suksma
sarira, dan antahkarana sarira. Raga sarira adalah badan kasar, badan
yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma sarira

62
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

adalah badan astral atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran,
perasaan, keinginan dan nafsu (citta, manah, indria, dan ahamkara).
Antahkarana sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sang Hyang
Atma. Ragha Sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur Panca
Maha Butha, yaitu pratiwi, yang merupakan unsur tanah yang di dalam
badan manusia disimbolkan dengan zat padat; apah, adalah zat cair, yang
di dalam tubuh manusia diperlihatkan oleh zat cair seperti darah, kelenjar
dan lainnya; teja adalah api atau panas yang di dalam tubuh manusia
diperlihatkan oleh suhu badan; bayu adalah angin, yang di dalam tubuh
manusia diperlihatkan oleh adanya nafas; dan terakhir adalah akasa atau
ether, yakni unsur badan yang terhalus yang di dalam tubuh manusia
diperlihatkan oleh rambut dan kuku. Proses terjadinya Ragha Sarira
adalah sebagai berikut. Sari-sari Panca Maha Butha yang terdapat pada
berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut dengan sad
rasa, yaitu, madhura (manis), amla (asam), tikta (pahit), kothuka (pedas),
ksaya (sepat), dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan maupun
diminum oleh manusia, lakilaki maupun perempuan. Dalam tubuh
diproses, disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama Bang (sel
telur wanita) dan kama putih (sperma laki-laki). Dalam persenggamaan
dua kama ini akan bergabung dan bercampur melalui pengentalan dan
menjadilah janin, badan bayi ( kama reka) dalam lontar Agastya prana.
Sisanya menjadi air nyom, darah, lamas (kakere) dan ariari. Percampuran
kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun ke
dalamnya. Konon atma ini masuk ke dalam unsur kama yang bercampur
ini pada saat bapak dan ibu dalam keadaan lupa, dalam asyiknya
menikmati rasa.
Disamping Panca Maha Butha yang kemudian berubah menjadi
janin, ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha
Butha. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya
menjadi Suksma Sarira (citta, manah, indria, ahamkara). Citta terdiri dari
tiga unsur yaitu Tri Guna yang terdiri dari satwam, rajas, tamas. Ketiga
unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan
perasaan, indria adalah alam keinginan, dan ahamkara adalah alam
keakuan. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil
yang dikerjakan oleh badan atas pengendali citta tadi. Bekas-bekas ini
nantinya merupakan muatan atma yang akan pergi ke alam pitara. Ketika
manusia itu meninggal, Suksma Sarira dan atma akan pergi meninggalkan
badan kasar. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas
kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal
badan sudah tidak dapat difungsikan lagi, karena bagian-bagiannya sudah
rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi atma. Agar tidak terlalu lama
atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk
mempercepat proses kemBalinya menuju sumbernya di alam, yakni
Panca Maha Butha (Agung). Proses inilah yang disebut dengan ngaben .
Dalam runtutan upacara ngaben yang terdapat dalam lontar yama
purwana tatwa ada yang disebut dengan memukur. Memukur merupakan
upacara tahap kedua dari Pitra Yadnya, yaitu mengemBalikan jazad

63
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

manusia yang telah bergabung dengan alam semesta tersebut menuju


alam pitara, yakni alam yang berdekatan dengan Tuhan.Upacara ngaben
di yakini sebagai ritual untuk mengemBalikan unsur panca mahabutha,
dari badan manusia atau bhuana alit kedalam alam semesta atau bhuana
agung. Dan pada nantinya akan menuju kepada tujuan hidup agama
Hindu yaitu menyatunya atma dengan brahman.
Gejolak dinamisasi masyarakat Bali setiap hari selalu mengalami
suatu perubahan salah satunya pada upacara panca yadnya yang tanpa
kita sadari banyak terjadi suatu perubahan- perubahan baik ke arah yang
lebih baik atau malah seBaliknya, apalagi di era pandemic seperti saat ini
banyak terjadi pergeseran suatu budaya yang sudah kita warisi, mau tidak
mau harus tunduk dengan atauran dan hukum alam yang sedang bekerja,
contohnya dulu sebelum ada pandemi setiap upacara yadnya yang ada di
Bali selalu di padati oleh peserta, dan melibatkan banyak tenaga dan
biaya untuk menopang suatu yadnya sehingga bisa berjalan dengan
lancar. Namun coba kita lihat sekarang di era pandemic saat ini dengan di
kluarkanya perda dari gubenur dan Majelis Desa Adat setiap upacara di
batasi peserta atau jumlah yang terlibat, hal ini tanpa kita sadari membuat
banyak pergeseran dalam tatanan budaya, contohnya gambelan tidak lagi
digunakan untuk sementara waktu, namun hal ini tidak mengurangi esensi
dari pelaksanaan yadnya tersebut karna inti dari tujuan setiap yadnya bisa
di capai. Sekarang kita contohkan upacara ngaben sebelum pandemi
sangat banyak mengunakan waktu baik persiapan , atau mengundang
kerabat dan sanak saudara, membutuhkan tenaga dan biaya yang
banyak, namun sekarang karna peraturan yang ada banyak masyarakat
yang memilih melakukan upacara pengabenan di yayasan kremasi. Karna
masyarakat menilai disana sudah ada team atau anggota yayasan yang
siap embantu dan mnyiapkan segala sarana prasarana untuk mendukung
berlangsungnya upacara tersebut. Salah satunya di yayasan pengayom
umat Hindu atau YPUH, singaraja. Yang sudah pasti tetap mengacu pada
sastra yang ada baik Weda dan juga lontar- lontar nusantara salah
satunya lontar yama purwana tatwa.
Sistem religi yang dulu di dominasi oleh griya sekarang seiring
berjalanya waktu dan perubahan jaman tidak lagi di rasakan, bahkan
sekarang masyarakat sudah bisa melaksanakan yadnya sendiri baik itu
belajar lewat pasraman –pasraman yang ada atau memanfaatkan
kecanggihan tekmologi dengan belajar di sosial media dan juga
melakukan di yayasan- yaysan Hindu lainya. Sekarang masyarakat lebih
dewasa dan sadar tentang apa itu panca sradha, dan masyarakat juga
lebih mengerti tentang Tri Kerangka dasar Agama Hindu yaitu Tatwa Etika
dan Upakara. Yang sudah pasti tetap mengacu pada sumber-sumber
sastra yang ada.
Dalam pelaksanaan Panca yadnya khusunya pitra yadnya sangat
diperlukan tindakan yang cepat dan tepat tanpa keluar dari aturan-aturan
agama. Maka dari itu penulis merasa berkepentingan untuk mengkaji
naskah lontar yama purwana tatwa sebagai tindakan nyata agar

64
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

sebagaian warga bisa berpedoman pada lontar yama purwana tatwa,


disaat melakukan upacara pitra yadnya khususnya pengabenan.
Bagi umat Hindu, upacara kematian lebih dikenal dengan istilah
pitra yadnya. Pitra yadnya merupakan salah satu bagian dari tri rna yang
wajib dilaksanakan oleh umat Hindu agar dapat mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, demikian penjelasan Bhagawan Wararuci dalam kitab
Sarasamuccaya. Pitra yadnya berasal dari dua kata yaitu pitra dan
yadnya. Secara harfiah kata Pitra berati orang tua (ayah dan ibu), dan
dalam pengertian lebih luas berarti leluhur. Sedangkan kata yadnya berarti
pemujaan, persembahan atau korban suci baik material maupun non
material berdasarkan hati yang tulus ikhlas, dan suci murni demi untuk
tujuan-tujuan yang mulia dan luhur. Yadnya pada hakikatnya bertujuan
untuk membebaskan manusia dari ikatan dosa, dan ikatan karma, untuk
selanjutnya dapat menuju pada “Kelepasan”. Dengan demikian pitra
yadnya berarti pengorbanan suci yang dilandasi oleh rasa hati yang tulus
ikhlas yang ditujukan kepada para leluhur dalam usaha untuk
membebaskan arwah para leluhur dari ikatan dosa sehingga berhasil
memperoleh kelepasan. Melalui penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
pelaksanaan upacara pitra yadnya mempunyai fungsi yang sangat penting
yakni dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, selanjutnya dapat mengantar arwah leluhur untuk
memperoleh kelepasan atau moksa .
Dalam perkembangan masyarakat Hindu Bali saat ini, pemikiran
demikian juga masih ada. Misalnya, jika ada seseorang yang memiliki
anggota keluarga belum diaben, mereka percaya akan mendapat
kesakitan atau masalah-masalah lainnya di dalam keluarga. Karena itulah
ngaben tetap menjadi perhatian penting untuk dilaksanakan dalam
masyarakat Hindu Bali. Dengan demikian, adanya Rna atau kewajiban
untuk membayar utang kepada leluhur, yang kemudian bersinggungan
dengan kewajiban melaksanakan korban suci yang berupa yadnya
kepada Pitra (leluhur), akhirnya bergabung dengan ketakutan-ketakutan,
baik yang telah tersurat dalam lontar maupun yang ditegaskan lagi oleh
para pendeta, membuat upacara ngaben ini akhirnya mirip menjadi
sebuah keharusan bagi umat Hindu di Bali. Pada umat Hindu lain di
Indonesia, tidak ada upacara yang disebut dengan ngaben, kecuali
terhadap umat Hindu transmigran yang memang berasal dari Pulau Bali,
Ngaben di Bali, dengan demikian merupakan sebuah ritual budaya yang
dalam pelaksanaannya, sangat dikaitkan dengan ritual keagamaan Hindu
Bali.
Teks Yama Purwana Tattwa menempatkan pelaksanaan upacara
kematian sebagai sesuatu yang sangat gaib, sakral dan religius, seperti
dijelaskan pada bait di bawah ini:

“Nihan daging kcap Yama Purwana Tattwa, par ssi, tingkah angupakara
sawa sang mati, agung alit, nistha madhia utama, maka patuting wulah
sang magama tirtha ring Balirajia, kewala wwang mati bner tan wnang

65
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

mapendem, mangde magseng juga, saika supacarania, prasida Sang


Atma molih ring Bhatara Brahma”.

Terjemahan:

Inilah isi dari Yama Purwana Tattwa tersebut; Bila melakukan upacara
kematian sesuai dengan kemampuan yang disebut sederhana, menengah
dan Utama (nistha, madhya, uttama). Agar tidak menyimpang dari
petunjuk bagi umat yang beragama Hindu di pulau Bali. Hanya orang yang
mati secara wajar tidak boleh dikuburkan, agar dibakar saja, disertai
dengan upacara supaya roh orang tersebut mendapat tempat disisi Dewa
Brahma (Yama Purvana Tattwa, 2b).

Teks di atas menjelaskan betapa pentingnya melaksanakan


upacara kematian terhadap para leluhur, mengingat dengan cara
demikian para leluhur akan berhasil memperoleh tempat disisi Dewa
Brahma (Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai pencipta).
Melalui sloka di atas, dapat dipahami bahwa upacara kematian memiliki
fungsi yang sangat penting, yakni sebagai petunjuk jalan serta penuntun
arwah leluhur sehingga mereka bisa tiba disisi Dewa Brahma.

Teks di atas juga menegaskan bahwa, bila menyelenggarakan


upacara kematian hendaknya jangan memaksakan diri untuk melakukan
upacara yang besar, akan tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan
keluarga yang ditinggalkan sehingga tidak menjadi beban. Walau
melaksanakan upacara kematian yang sangat sederhana, tanpa harus
mengeluarkan banyak biaya, asal dapat segera dilaksanakan dan
dilandasi oleh hati yang tulus ikhlas maka arwah leluhur akan memperoleh
kebahagiaan yang abadi di sisi Dewa Brahma.

Sehubungan dengan itu swarga rohana parwa Jawa kuno,


memberikan penjelasan dan pemahaman tentang swarga atau neraka
sebagai berikut: ketika Yudistira, raja yang sangat bijaksana sampai di
swarga, dia menyaksikan sepupunya para Korawa menikmati kehidupan
yang sangat menyenangkan, apapun yang diinginkan tersedia disana,
dilayani oleh banyak bidadari yang cantik-cantik, sehingga mereka sangat
berbahagia. Yudistira sangat sedih, karena adik-adik beserta istrinya tidak
ada disana, mereka sedang menerima hukuman di neraka. Keadaan itu
menyebabkan Yudistira bersikeras tidak mau tinggal di svarga, ia memilih
berkumpul dengan adik-adik dan istrinya walau di neraka. Kemudian
Dewa Sudata mengantarnya sampai di Yamaniloka, tempat yang sangat
mengerikan. Disana ia mendapatkan adik-adik dan istrinya direndam pada
air kawah yang sangat panas, dipenuhi oleh belatung, cacing, ulat dan
sebagainya, sungguh sangat menakutkan. Itulah hukuman atas perbuatan
buruknya pada kehidupan yang lalu. Akan tetapi begitu Yudistira
menginjakkan kakinya di neraka, seketika neraka itu menjadi sejuk,
sehingga semua roh memohon agar Yudistira tetap tinggal di sana guna
memberi pertolongan. Mereka merasakan kesejukan seperti diperciki air
suci. Yudistira tidak berkenan meninggalkan tempat itu, dan tidak lama

66
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

kemudian para Dewata berdatangan, dan tempat itupun berubah menjadi


svarga yang indah dan memberikan kebahagiaan kepada Para Pandawa
dan Dewi Drupadi .

Melalui ilustrasi ceritera di atas, dapat dipahami bahwa semua


karma membawa pahala, ada aksi – ada reaksi. Diminta ataupun tidak
setiap karma pasti menghasilkan pahala. Pandawa yang dalam
kehidupannya lebih cenderung pada subha karma, juga menikmati neraka
walau hanya sebentar, karena pada hakikatnya tidak ada manusia yang
sempurna. Setelah karma buruknya dinikmati kemudian ia memperoleh
kebahagiaan yang abadi. Sedangkan Korawa yang lebih cenderung pada
asubha karma, menikmati swarga walau hanya sebentar, karena pada
hakikatnya setiap orang pasti ada sisi baiknya, untuk selanjutnya ia
menerima pahala buruknya di neraka. Swarga atau neraka bukanlah
hadiah atau hukuman akan tetapi merupakan pilihan kemana kita mau
melangkah. Apapun kecendrungan yang dilakukan seseorang semasa
hidupnya, maka itu pulalah yang akan dia nikmati.

Sejalan dengan itu Weda Puja Pitra Siwa menjelaskan bahwa


semua bentuk upacara kematian berfungsi sebagai penyucian dan
pengantar arwah leluhur sampai di ayathana sthana (wilayah perbatasan
antara svarga dan neraka) selanjutnya neraka atau svarga yang dicapai
karmawasananyalah yang menentukan.

Adapun isi yang terkandung dalam naskah lontar Yama Purwana


Tattwa akan penulis coba paparkan secara sederhana, yang harapannya
adalah dapat disimak maknanya, baik secara filosofis, teologis, maupun
ritual
 Secara filosofis,
Secara filosofi bahwa ada beberapa sarana utama yang dipakai
dalam, upacara kematian sesuai naskah Yama Purwwa Tattwa, di
antaranya: pisang jati sebagai warna, asep sebagai mata, nasi angkeb
sebagai mulut, bubur pirata sebagai suara, dukut lepas sebagai dubur,
cawan sebagai dahi, daun kayu sugih sebagai hidung, kusa sebagai bulu
mata, jawa sebagai alis, pili-pili sebagai ulu hati, panjang Uang sebagai
lidah, ending sebagai bibir, don rotan sebagai punggung, asep sebagai
gusi, pengawak sebagai tulang belakang, tebu sebagai lengan, cendana
sebagai tulang kelingking, rempah-rempah sebagai inti atau sebagai atma.
Panyugjug sebagai jalan, panyugjug mameri sebagai penuntun yang
paling depan, baju (wastra) sebagai kulit, kain wangsul sebagai telapak
kaki, topi sebagai lutut ganjang/ganjaran berisi uang sebagai tulang lutut,
sangku sebagai kantung kemih, kipas sebagai nafas, kotak sebagai
daging, tiga sampir sebagai urat, dan gagadhing, emba-embanan sebagai
kepala.
 Secara Teologis

67
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

Secara teologis dinyatakan dalam naskah lontar Yama Purwana


Tattwa, bahwa upacara kematian yang lazim disebut sebagai upacara
ngaben (baik nyawa Wedana, swasta, dan yang sejenis dalam upacara
kematian) sesungguhnya ditujukan kehadapan Sang Hyang Siwa (sebagai
asal dari semua ciptaan di dunia ini). Sesuai sumber naskah Yama
Purwana Tattwa bahwa orang yang meninggal, dikubur di pertiwi, dan
dibuatkan upacara pengabenan mendapatkan anugerah dari Sang Hyang
Yama dipati guna menghilangkan segala kekotoran (leteh) sehingga roh
orang yang meninggal kemBali ke alam Siwa. Adapun nyasa atau simbul
dari orang yang meninggal secara teologis digambarkan dengan huruf
Triaksara, Omkara, dan aksara Rwa Bhineda yaitu aksara ONG dan ANG
AH yang dilengkapi dengan sesajen yang diperlukan.
Selanjutnya jika roh orang yang meninggal masih dalam keadaan
sengsara, kotor (cukil daki atau butha diya diyu) belum layak diupacarai
ngentas, oleh karena hal demikian secara teologis mendapatkan kutukan
dari Sang Hyang Haricandana (sebutan lain dari Deva Siwa) untuk tinggal
di dasar kawah naraka atau cambra gohmuka dan bukan tinggal di alam
Siwa. Kutukan Sang Hyang Haricandana dilanjutkan dengan penyerahan
kehadapan Dewa Brahma, yang pada akhirnya diserahkan kehadapan
kepada Sang Hyang Yamadipati untuk ditempatkan di kawah naraka.
Kelak pada saat kelahirannya dinyatakan akan menjelma menjadi berkaki
satu, berkaki tiga, dempet, dimpil, darih (mandul), deyog, pirut (kerdil),
picek, dingkil, buta, tuli, gudug (jari dan tangan terlepas karena penyakit
lepra), basul (perut dan pusar nonjol), beseh (berkali-kali kencing tanpa
dirasakan), agong (abong), bulai, gondong, punuk (ponok), segala cacat
tubuh dideritanya, demikian keburu-kannya, dunia kacau, bercampur baur,
dunia salah perhitungan, hujan tidak sesuai dengan musimnya, ular
banyak dan tikus galak merajalela.
 Secara Ritual
Secara ritual bahwa naskah Yama Purwana Tattwa juga
memaparkan bagaimana upacara kematian, khususnya upacara Nyawa
Wedana yang upakaranya terdiri atas guling bebangkit selengkapnya,
sebagai penebusan, sesajen beralaskan nyiru sebanyak tiga
nyiru, tetingkeban satu nyiru, untuk sedahan kawah saru nyiru, nasi
garuda satu nyiru, dan ditambah pangalang-alang satu nyiru, dan lagi nasi
sri kakili, angel-anggel 22 tanding, tambilung upih 108, cunguh kawu 40,
berisi nasi setengah matang, yang tiga berisi lauk kulit siput air, dan lagi
yang tiga berisi lauk darah, darah bercampur Rabu, dan lagi taksisir,
tambling upih besar sebuah, berisi nasi lauk kulit siput air, alang-alang
segenggam, darah satu limas berisi ati, bertongkat kayu ha, berisi panca
kosika, yang merupakan gabungan dari daksina sebuah, pras lima, nasi
putih, nasi merah, nasi kuning, nasi hitam, saji sebuah berisi lauk itik,
pelengkap pahumahan lekesan 40 sebesar seperti cane dan lagi ditambah
sajen pambuket, tumpeng berpucuk manik, seperti sate panyegjeg
sebagai panebasan, berisi nasi setengah matang diolesi cendana,
dipancangi orti, pulakerti, dan lagi karas berisi balung, jatu kling, warna,
alat-alat kaki patuk, karas berisi alat-alat tukang bangunan.

68
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

Sebagai dasar kawah, kaping berwarna sesuai dengan neptu dan


sajen pelengkap berupa galahan (beras 10 catu, telur 10 butir), uang 10
ribu, kelapa 10 butir) ditambah lagi sajen panjang Uang, cacar samah,
bubur pirata serta babi seharga 555 yan?; dipotong dibentuk seperti hidup
(wingangun urip), daging potongan mentah, urutan angina, pala kiwa,
darah 1 piring besar, benang berwarna, bokbokan garuda, benang hitam,
benang merah, benang putih, dan lagi gula sakerek, kelapa setengah
berisi gula kelapa sebutir, lagi kelapa setengah berisi gabah, botol 2,
pelengkap wak-wakan, telor 9, nasi pulupuhan 1, nasi pujungan 1, nasi
sokan 1, tuak 1 klukuh, arak 1 beruk, air 1 brerong, sujang rentet 5 buah,
dan uang tatingkeb 225, uang bebangkit 225, uang pulagembal 225, uang
sedahan kawah 225, uang garuda 225, uang kaki patuk 225, uang pagu
225, uang pangalang-alang 225, uang sega dewa 2, berisi kwangen dan
kwangen tersebut berisi permata mulia, masing-masing berisi uang 225,
benang 1 gulung, pras penyarikan 5, masing-masing berisi uang 25.
Sesantun membuat sajen panca sanak, nasi dadong patuk 1 kukusan,
lauknya ayam gemerot, angkeb 1, caratan trisula, pane padma, payuk
cakra. Sesantun nanding panyapa, bila yang utama 1700, yang sedang-
sedang 700, yang kecil 500.
Demikian sekilas paparan mengenai kandungan isi dari naskah
lontar Yama Purwana Tattwa, yang sesungguhnya sebagai pedoman bagi
umat Hindu dalam melaksanakan upacara kematian atau upacara
pengabenan. Inti dari naskah Yama Purwana Tattwa sebagaimana telah
dijelaskan di atas, yaitu sebagai pedoman untuk melakukan upacara
kematian, agar roh yang meninggal dapat menuju ke alam Siva, tidak
seBaliknya ke alam naraka. Secara teologis, bahwa naskah ini
mengajarkan kepada umat Hindu untuk menghormati dan berbhakti
kepada Deva Siwa beserta dengan manifestasi Beliau. Secara ritual,
bahwa naskah ini telah memaparkan beberapa peralatan, sadhana,
upakara, yang digunakan untuk kelangsungan upacara kematian atau
upacara ngaben bagi umat Hindu. Tentu sumber lainnya masih juga ada
keterkaitan dengan naskah Yama Puwrana Tattwa yang sama-sama
memaparkan tentang upacara kematian.
Daftar Pustaka
Donder, I Ketut, 2007. Kosmologi Hindu. Paramita, Surabaya.
Kajeng, I Nyoman, dkk. 2007. Saramuccaya. Departemen Agama Pusat.
Jakarta
Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Tim Penyusun. 1997. Teks, alih aksara,
dan alih bahasa lontar
- Yama Purwwa Tattwa
- Yama Purana Tattwa
- Yama Purwana Tattwa
- Yama Tattwa

69
Jurnal Widya Sastra Pendidikan Agama Hindu, Vol 4, No. 1, 2021
ISSN: 2656-7466

Parisada Hindu Darma, Tim Penyusun, 1995. Upadesa. Upada Sastra,


Denpasar.
Putra, Drs. I.G.AG. dkk, 1998.Wrhaspati Tattwa. Paramita, Surabaya
Pendit, Nyoman, S. 1994. Bhagawad Gita. Hanuman Sakti, Jakarta.
Suhardana, Drs.K.M. 2009. Catur & Sad Paramita. Paramita, Surabaya.
Yudabakti, I Made, dkk.2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali.
Paramita, Surabaya.
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, 2011. Strategi Hindu. Pustaka Jurnal
Keluarga.
Jakarta

70

Anda mungkin juga menyukai