Papers by Ali Yansyah Abdurrahim
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
Fisheries conflicts often occur among coastal fishers throughout the world, especially when the c... more Fisheries conflicts often occur among coastal fishers throughout the world, especially when the condition of coastal ecosystems decreases. This paper presents a method for analysing conflicts over the utilisation of coastal resources and a route to solutions involving multiple stakeholders in achieving sustainable fisheries management. This methodwas developed and tested in a participatory study conducted with coastal communities and local government in 2016-2018 in the Selayar Islands, South Sulawesi, Indonesia. Within the participatory approach, data collection incorporated participant observation, in-depth interviews, and discussions. The conflict mapping tool identifies the direct and indirect parties to each conflict, their contexts, strengths, the underlying needs that manifest as positions, and their concerns with respect to the conflict issues. The analysis helps analysts or the parties themselves to look for common interests, and to identify “win-win” possibilities and oppo...
Energy Research & Social Science
Land
Location-specific forms of agroforestry management can reduce problems in the forest–water–people... more Location-specific forms of agroforestry management can reduce problems in the forest–water–people nexus, by balancing upstream and downstream interests, but social and ecological finetuning is needed. New ways of achieving shared understanding of the underlying ecological and social-ecological relations is needed to adapt and contextualize generic solutions. Addressing these challenges between thirteen cases of tropical agroforestry scenario development across three continents requires exploration of generic aspects of issues, knowledge and participative approaches. Participative projects with local stakeholders increasingly use ‘serious gaming’. Although helpful, serious games so far (1) appear to be ad hoc, case dependent, with poorly defined extrapolation domains, (2) require heavy research investment, (3) have untested cultural limitations and (4) lack clarity on where and how they can be used in policy making. We classify the main forest–water–people nexus issues and the types ...
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2015
Ditetapkannya Hutan Sesaot menjadi kawasan Taman Hutan Rakyat (TAHURA) melalui SK Menteri…
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Ru... more Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
Rain fed paddy village in Indramayu North Coasthasa very high ecological vulnerability. Location ... more Rain fed paddy village in Indramayu North Coasthasa very high ecological vulnerability. Location at the end of the irrigation and flood discharge channel makes this village every year drought in the dry season and floods in the rainy season. Later, the frequency and intensity increase as climate change. This condition is the pressure that shook the liveli hoods of rural communities. To maintain and continue their livelihood, households from various social strata living doing various activities that are grouped into three livelihood strategies, namely (1) agriculture, (2) non-agricultural livelihood diversification, and (3) migration. Livelihood strategies carried out by combining its livelihood assets and livelihood assets belonging to other households who successfully accessible through existing social institutions in rural communities. With a wide range of social institutions that, in general, every household in the village Karangmulya trying to generate sustainable livelihood out comes for the household. Income, well-being (welfare), adaptation of livelihoods, food security, and sustainability of natural resources resulting in a comprehensive and complementary to each household to deliver sustainable livelihoods.
Forest Enactment Sesaot into regional Forest Park (TAHURA) through a ministerial decree No. 244 /... more Forest Enactment Sesaot into regional Forest Park (TAHURA) through a ministerial decree No. 244 / Kpts- II / 1999 and No. 598 / Menhut-II / 2009 conflict between the various interested parties. Research with qualitative approach is wanted (1) map the problem (dynamics) access, property, power, and authority over natural resources in the Forest Sesaot before and after establishment; (2) analyze the structure and stages of the conflict and relations (collection and nets) power of the actors involved; (3) merekomendasikanskema collaborative management sebagaisolusi conflict resolution. The study found that conflict management of natural resources in the forest Sesaot sourced from struggles over access and management rights between the Government of West Nusa Tenggara with local people who then received support from the Government of West Lombok. With relationships, collection, and net power it has, the NTB provincial government support TAHURA scheme, while the West Lombok regency HKm support scheme (Community Forest). Third party managed to defuse the conflict with the decision to restore the status of forest functions Sesaot scheme TAHURA location HKm and move to other areas outside the forest area Sesaot. However, not all parties are satisfied with this decision. To avoid conflicts from happening in the future, the authors recommend a modified scheme HKm kolabaratif HKm be able to accommodate the interests of all parties.
Pemanasan global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim di seluruh dunia, tidak terkecuali ... more Pemanasan global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kenelayanan merupakan salah satu sektor yang paling terkena dampak perubahan iklim. Kondisi cuaca, arus, angin, gelombang, dan pola musim menjadi sangat tidak menentu dan tidak dapat lagi diramalkan oleh nelayan. Hal ini berdampak pada keselamatan diri nelayan dan berkurangnya kesempatan melaut yang berujung pada berkurangnya pendapatan nelayan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pemahaman nelayan terhadap perubahan iklim, dampak perubahan iklim yang dirasakan serta upaya adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan iklim. Data yang digunakan untuk mendeskripsikan tulisan ini diperoleh dari hasil survey, FGD, wawancara, dan observasi langsung pada komunitas nelayan Jakarta Utara dan Indramayu yang dilakukan tim LIPI, BMKG, dan ICCTF pada tahun 2010, di mana penulis menjadi bagian dari tim tersebut. Tulisan ini menyimpulkan bahwa secara umum pengetahuan nelayan di Jakarta Utara lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan di Indramayu. Mengenai dampak yang dirasakan, nelayan di kedua tempat menyatakan perubahan iklim sudah terjadi dan berdampak pada kegiatan kenelayanan mereka. Dampak yang paling dirasakan adalah arus yang semakin kuat yang menyebabkan kacaunya waktu melaut dan terganggunya wilayah tangkap. Untuk mengurangi dampak tersebut, nelayan di kedua tempat sama-sama melakukan upaya adaptasi, diantaranya dengan merubah wilayah tangkap, jenis ikan yang ditangkap, dan wilayah tangkap.
Kata kunci : pemanasan global, perubahan iklim, nelayan, Indramayu, Jakarta Utara
RANGKUMAN
Kepulauan Hinako merupakan salah satu lokasi COREMAP di Kabupaten Nias Barat yang menda... more RANGKUMAN
Kepulauan Hinako merupakan salah satu lokasi COREMAP di Kabupaten Nias Barat yang mendapat bantuan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). COREMAP bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang paling tidak 2 persen per tahun, sedangkan tujuan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan per- kapita sebesar 2 persen per tahun.
Untuk memantau sampai seberapa jauh program telah dilaksanakan dan bagaimana dampaknya terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat, khususnya tingkat pendapatan dilakukan kajian BME (Benefit Monitoring Evalution) sosial- ekonomi yang dilakukan pada tengah dan akhir program. Survei BME sosial-ekonomi dilakukan untuk mengumpulkan data berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, terutama pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Data dan informasi tentang pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari hasil BME kemudian dibandingkan dengan data pendapatan yang telah dikumpulkan pada baseline studi sosial-ekonomi. Dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dipantau dari hasil perbandingan antara data pendapatan masyarakat hasil baseline (T0) yang dilakukan pada awal program dan data pendapatan dari BME yang dilakukan pada tengah dan akhir program (T1).
Sebelum terjadi pemekaran, pengelolaan COREMAP ada di Dinas Kelauatan dan Perikanan Kabupaten Nias. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Nias yang telah berjalan kurang lebih 4,5 tahun secara umum belum menampakkan hasil yang optimal. Berbagai kegiatan pada masing-masing komponen seperti public awareness, edukasi, pengelolaan berbasis masyarakat dan pengawasan yang telah dilaksanakan menemui berbagai kendala dalam implementasinya yang berakibat pada kurang berhasilnya program.
Berbeda dengan kegiatan di tingkat kabupaten yang sudah cukup beragam, kegiatan di tingkat lokasi, khususnya di Kepulauan Hinako masih minim. Sampai dengan kajiain ini dilakukan (bulan Mei 2009) pelaksanaan kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berupa penyaluran dana bergulir belum dilaksanakan. Sedangkan kegiatan COREMAP yang sudah dilakukan diantaranya pembentukan LPSTK dan pemberian dana untuk pembuatan demplot rumput laut dan kegiatan pengawasan. Karena minimnya monitoring, kegiatan pembuatan demplot mengalami kegagalan. Demikian pula kegiatan pengawasan, tidak dapat berjalan sesuai yang direncanakan. Sementara itu, LPSTK, sebagai pengelola COREMAP di tingkat lokasi, secara umum juga mengalami ‘kefakuman” kegiatan. Pengurusnya tidak pernah melakukan pertemuan dan melakukan kegiatan. Selain itu, pengurus juga tidak mendapat bimbingan ataupun dilibatkan dalam berbagai pelatihan seperti pengurus LPSTK di desa-desa lain di Kabupaten Nias.
Keterlambatan pelaksanaan kegiatan di tingkat lokasi ini terkait dengan permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias sebagai pengelola di tingkat kabupaten. Berbagai permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah kurangnya monitoring dan pendampingan baik yang semestinya dilakukan oleh pengelola di tingkat kabupaten maupun oleh LSM yang ditunjuk sebagai pendamping. Selain itu, kefakuman pengelolaan pada saat terjadi pemekaran wilayah kabupaten, menjadi penghambat pelaksanaan berbagai kegiatan di tingkat lokasi.
Setelah terjadi pemekaran, pengelolaan COREMAP diambil-alih oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh pengelola di tingkat kabupaten, pengelola di tingkat provinsi juga menemuai hambatan dalam pengelolaan program, khususnya terkait dengan kegiatan monitoring. Jarak yang cukup jauh, transportasi yang terbatas serta kendala cuaca menjadi penghambat pelaksanaan monitoring di Kepulaan Hinako.
Hasil BME menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Pendapatan rumah tangga di Kepualuan Hinako naik dari Rp 366.270 pada tahun 2007 menjadi Rp 487.300 pada tahun 2009. Sedangkan pendapatan per-kapita penduduk pada tahun 2007 sebesar Rp 97.300 naik menjadi Rp 130.170 pada tahun 2009. Pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan juga mengalami peningkatan dari Rp 330.600 menjadi Rp 789.800. Kenaikan pendapatan ini lebih dikarenakan oleh ketersediaan sumber daya alam dan bagaimana cara masyarakat mengolah dan menggunakannya untuk memperoleh penghasilan melalui usaha pertanian dan perikanan tangkap. Hal ini dikarenakan intervensi yang sifatnya memberdayakan perekenomian masyarakat melalui penyaluran dana bergulir (yang dilakukan oleh pemerintah dan non — pemerintah) belum banyak dilaksanakan di wilayah ini. Selain itu, sumber pendapatan dari sektor lainnya (perdagangan dan jasa) di Kepulauan Hinako belum berkembang.
Pengaruh program dan kegiatan COREMAP terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga belum ada. Hal ini terkait dengan belum terlaksananya kegiatan mata pencaharian alternatif melalui penyaluran dana bergulir kepada masyarakat. Kegiatan COREMAP lainnya yang diharapkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, seperti pembangunan fasilitas desa (villae grant) juga belum dilaksanakan.
The coastal society of Bintan regency is heavily depended upon marine resources. Various activiti... more The coastal society of Bintan regency is heavily depended upon marine resources. Various activities, such as fishing and catching fishes, are done by most houshold to maintin their livelihood. To obtain maximum results, various methods are employed, including fishing with illegal means (over-exploitation and destructive) that destroy coral reef ecosystems and sustainability of marine resources. To reduce illegal fishing activities, maintaining the conservation of coral reefs, and realizing sustainable livelihoods for coastal commu- nities of Bintan regency, the local governmentlaunches COREMAP programs to promote and develop an alternative job, as a new strategy for households living in the coastal district of Bintan. This study wants to analyze (i) the underlying of economic behavior among the households in the coastal district of Bintan in building their living system with illegal fishing activities; and (ii) how far the multiple job seeking alternative strategies endorsed by the local government through MPA-COREMAP are able to build a sustainable livelihood system? The results show that (i) the rational choice action based on economy is underlying the coastal rural households in constructing their living system (ii) job seeking alternative has failed. It has also been predictedto fail in building a sustainable livelihood systems of the coastal society in Bintan.
Masyarakat pesisir Kabupaten Bintan sangat tergantung dengan sumber daya alam yang ada di laut. Berbagai aktivitas nafkah di laut (on-sea), seperti penangkapan ikan, dilakukan banyak rumah tangga untuk mempertahankan penghidupannya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, berbagai cara dilakukan, termasuk melakukan penangkapan ikan dengan cara-cara ilegal (over-ekspolitasi dan destruktif) yang merusak ekosistem terumbu karang dan keberlanjutan sumber daya laut. Untuk mengurangi kegiatan penangkapan yang ilegal, mempertahankan kelestarian terumbu karang, dan mewujudkan penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Kabupaten Bintan, pemerintahan melakukan program COREMAP yang di antaranya melakukan pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA) sebagai strategi nafkah baru bagi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan. Penelitian ini ingin menganalisis (i) tindakan ekonomi apa yang melandasi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan membangun sistem nafkahnya dengan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal? dan (ii) sejauh mana rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah yang dilakukan melalui MPA-COREMAP mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan? Penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ini menemukan bahwa (i) tindakan pilihan rasional merupakan tindakan ekonomi yang melandasi rumah tangga pedesaan pesisir membangun sistem nafkahnya (ii) rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah melalui pengembangan MPA sebagian telah terbukti gagal dan diprediksi tidak akan mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan.
Kata Kunci: sosiologi ekonomi, strategi nafkah, penghidupan berkelanjutan dan nelayan
Bogor Agricultural University (Institut Pertanian Bogor), 2015
ABSTRAK
Pedesaan Pantai Utara (Pantura) Indramayu sejak dulu dikenal sebagai daerah pertanian ... more ABSTRAK
Pedesaan Pantai Utara (Pantura) Indramayu sejak dulu dikenal sebagai daerah pertanian padi sawah yang subur dan lumbung padi nasional. Iklim yang sesuai, topografinya yang landai, dan pasokan air irigasi yang mengalir sepanjang tahun dikenal menjadi faktor yang mendukung lahan-lahan sawah di Pantura Indramayu dapat ditanam tiga kali dalam setahun. Namun, Desa Karangmulya yang juga berada di Pantura Indramayu justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Desa yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur ini mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Lahan-lahan sawah di desa ini hanya mampu ditanami padi dengan optimal sekali dalam setahun. Meskipun perubahan iklim terbukti meningkatkan kerentanan ekologi, penelitian ini menemukan bahwa ketidakmampuan pemerintah mengelola kedua jaringan irigasi tersebut menjadi faktor utama tingginya kerentanan ekologi di desa.
Kerentanan ekologi yang menekan dan mengguncang penghidupan direspons setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial dengan membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial yang kuat memberikan akses pada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya, yaitu modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani. Dengan kombinasi kelima aset penghidupan tersebut, rumah tangga di desa menjalankan berbagai aktivitas penghidupan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga strategi penghidupan, yaitu pertanian, non-pertanian, dan migrasi, untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Pertanian menjadi basis utama penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya. Strategi ini menjadi yang terbanyak dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Pendapatan dari pertanian digunakan untuk menjalankan strategi penghidupan non-pertanian. Selain itu, strategi migrasi ke Korea juga menjadi strategi penghidupan yang penting, terutama bagi rumah tangga lapisan bawah buruh. Beberapa rumah tangga lapisan bawah buruh, bahkan mampu melakukan mobilisasi sosial vertikal dengan menggunakan pendapatan migrasinya untuk menyewa dan menggadai lahan sawah rumah tangga lain.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi yang mengganggu penghidupannya dengan tetap memelihara atau bahkan meningkatkan kapasistas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Modal sosial yang kuat yang dimiliki seluruh rumah tangga menjadi faktor kunci terpeliharanya resiliensi dan keberlanjutan penghidupan setiap rumah tangga di desa.
Kata kunci: kerentanan, banjir, kekeringan, iklim, strategi penghidupan, modal sosial, penghidupan berkelanjutan
ABSTRACT
Rural North Coastal Areas of Java (North Coast) specifically the regency of Indramayu has long been known as a main paddy growing area of Java and it is considered as main national grain growing region. Some supporting factors such as suitable climate, supportive topography sloping, and adequate supply of water irrigation flowing throughout the year have been known as key factors helping rice-fields keep in existence in Indramayu. However, Karangmulya Village which is also located in the northern coastal region of Indramayu actually shows the opposite. The village is located at the end of the irrigation network which face a very high susceptibility to drought and floods. Most of rice-field existing in the area can only grow rice with optimally once a year. Although climate change proven to increase ecological vulnerability, the study found that the government's inability to manage the irrigation network has been considered to be a major factor in the village high ecological vulnerability .
Ecological vulnerability as faced by the farm households are responded actively through buildingstrong social capital structure. Strong social capital gives access to every household to increase the capacity of other livelihood assets, namely natural capital, physical capital, financial capital, and human capital. With the combination of the five livelihood assets as conceptualized bt Scoones and Ellis, the households in the village run various livelihood activities. The livelihood activities can be categorized into three livelihood strategies, namely: agriculture, non-farm activities, and out-migration, in order to sustain their livelihood. Agriculture became the main economic-base of household livelihood in the Karangmulya Village. This strategy is performed mostly by the fram households. Agricultural income is also used to support the non-agricultural livelihood strategies and vice versa. In addition, the out-migration strategy to Korea or other overseas countries also became an important livelihood strategy, especially for the household having more labor force in the family. Some farm households labor, showed their capability to achieve vertical mobility using migration income for rent and pawn wetland other households.
This shows that every household of all social layers sought to cope and adapt to ecological vulnerability that usually disrupt the livelihoods while maintaining or even improving the capacity of livelihood assets. They usually combine strategies by using livelihood assets owned by and are accessible to farm household to sustain their livelihood. Finally, it is recognized that strong social capital owned by the whole farm household has become a key factor maintaining the resilience and sustainability of the livelihoods for every household in the village.
Keywords: vulnerability, flooding, drought, climate, social capital, livelihood strategies, sustainable livelihoods
Books by Ali Yansyah Abdurrahim
Kabupaten Nias Utara merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Nias yang diresmikan oleh Mente... more Kabupaten Nias Utara merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Nias yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Undang Undang No. 45 Tahun 2008. Sebagai upaya perlindungan sumberdaya perairan di Kabupaten Nias Utara maka dibentuklah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. 050/139/K/2007. Kemudian pada tahun 2014 disusunlah Review KKPD, selanjutnya diresmikan oleh Bupati Kabupaten Nias Utara dan terbentuklah Taman Wisata Perairan Sawo Lahewa dan Laut di Sekitarnya.
Sebagai daerah yang berada di barat Pulau Sumatera dan terletak berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Pulau Nias memiliki berbagai macam potensi salah satunya adalah potensi pesisir. Khusus untuk potensi yang terdapat di Taman Wisata Perairan (TWP) Sawo-Lahewa dan Laut di Sekitarnya antara lain meliputi potensi ekologi, potensi ekonomi, dan potensi sosial budaya. Ketiga hal ini merupakan modal utama dalam pengelolaan TWP Sawo-Lahewa dan Laut di Sekitarnya.
Buku ini disusun untuk mewujudkan pengelolaan kawasan perairan yang efektif dan berkelanjutan. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran masyarakat sebagai pelaku utama yang menjalankan aktivitas sehari-harinya di lingkungan pesisir.
Uploads
Papers by Ali Yansyah Abdurrahim
Kata kunci : pemanasan global, perubahan iklim, nelayan, Indramayu, Jakarta Utara
Kepulauan Hinako merupakan salah satu lokasi COREMAP di Kabupaten Nias Barat yang mendapat bantuan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). COREMAP bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang paling tidak 2 persen per tahun, sedangkan tujuan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan per- kapita sebesar 2 persen per tahun.
Untuk memantau sampai seberapa jauh program telah dilaksanakan dan bagaimana dampaknya terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat, khususnya tingkat pendapatan dilakukan kajian BME (Benefit Monitoring Evalution) sosial- ekonomi yang dilakukan pada tengah dan akhir program. Survei BME sosial-ekonomi dilakukan untuk mengumpulkan data berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, terutama pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Data dan informasi tentang pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari hasil BME kemudian dibandingkan dengan data pendapatan yang telah dikumpulkan pada baseline studi sosial-ekonomi. Dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dipantau dari hasil perbandingan antara data pendapatan masyarakat hasil baseline (T0) yang dilakukan pada awal program dan data pendapatan dari BME yang dilakukan pada tengah dan akhir program (T1).
Sebelum terjadi pemekaran, pengelolaan COREMAP ada di Dinas Kelauatan dan Perikanan Kabupaten Nias. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Nias yang telah berjalan kurang lebih 4,5 tahun secara umum belum menampakkan hasil yang optimal. Berbagai kegiatan pada masing-masing komponen seperti public awareness, edukasi, pengelolaan berbasis masyarakat dan pengawasan yang telah dilaksanakan menemui berbagai kendala dalam implementasinya yang berakibat pada kurang berhasilnya program.
Berbeda dengan kegiatan di tingkat kabupaten yang sudah cukup beragam, kegiatan di tingkat lokasi, khususnya di Kepulauan Hinako masih minim. Sampai dengan kajiain ini dilakukan (bulan Mei 2009) pelaksanaan kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berupa penyaluran dana bergulir belum dilaksanakan. Sedangkan kegiatan COREMAP yang sudah dilakukan diantaranya pembentukan LPSTK dan pemberian dana untuk pembuatan demplot rumput laut dan kegiatan pengawasan. Karena minimnya monitoring, kegiatan pembuatan demplot mengalami kegagalan. Demikian pula kegiatan pengawasan, tidak dapat berjalan sesuai yang direncanakan. Sementara itu, LPSTK, sebagai pengelola COREMAP di tingkat lokasi, secara umum juga mengalami ‘kefakuman” kegiatan. Pengurusnya tidak pernah melakukan pertemuan dan melakukan kegiatan. Selain itu, pengurus juga tidak mendapat bimbingan ataupun dilibatkan dalam berbagai pelatihan seperti pengurus LPSTK di desa-desa lain di Kabupaten Nias.
Keterlambatan pelaksanaan kegiatan di tingkat lokasi ini terkait dengan permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias sebagai pengelola di tingkat kabupaten. Berbagai permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah kurangnya monitoring dan pendampingan baik yang semestinya dilakukan oleh pengelola di tingkat kabupaten maupun oleh LSM yang ditunjuk sebagai pendamping. Selain itu, kefakuman pengelolaan pada saat terjadi pemekaran wilayah kabupaten, menjadi penghambat pelaksanaan berbagai kegiatan di tingkat lokasi.
Setelah terjadi pemekaran, pengelolaan COREMAP diambil-alih oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh pengelola di tingkat kabupaten, pengelola di tingkat provinsi juga menemuai hambatan dalam pengelolaan program, khususnya terkait dengan kegiatan monitoring. Jarak yang cukup jauh, transportasi yang terbatas serta kendala cuaca menjadi penghambat pelaksanaan monitoring di Kepulaan Hinako.
Hasil BME menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Pendapatan rumah tangga di Kepualuan Hinako naik dari Rp 366.270 pada tahun 2007 menjadi Rp 487.300 pada tahun 2009. Sedangkan pendapatan per-kapita penduduk pada tahun 2007 sebesar Rp 97.300 naik menjadi Rp 130.170 pada tahun 2009. Pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan juga mengalami peningkatan dari Rp 330.600 menjadi Rp 789.800. Kenaikan pendapatan ini lebih dikarenakan oleh ketersediaan sumber daya alam dan bagaimana cara masyarakat mengolah dan menggunakannya untuk memperoleh penghasilan melalui usaha pertanian dan perikanan tangkap. Hal ini dikarenakan intervensi yang sifatnya memberdayakan perekenomian masyarakat melalui penyaluran dana bergulir (yang dilakukan oleh pemerintah dan non — pemerintah) belum banyak dilaksanakan di wilayah ini. Selain itu, sumber pendapatan dari sektor lainnya (perdagangan dan jasa) di Kepulauan Hinako belum berkembang.
Pengaruh program dan kegiatan COREMAP terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga belum ada. Hal ini terkait dengan belum terlaksananya kegiatan mata pencaharian alternatif melalui penyaluran dana bergulir kepada masyarakat. Kegiatan COREMAP lainnya yang diharapkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, seperti pembangunan fasilitas desa (villae grant) juga belum dilaksanakan.
Masyarakat pesisir Kabupaten Bintan sangat tergantung dengan sumber daya alam yang ada di laut. Berbagai aktivitas nafkah di laut (on-sea), seperti penangkapan ikan, dilakukan banyak rumah tangga untuk mempertahankan penghidupannya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, berbagai cara dilakukan, termasuk melakukan penangkapan ikan dengan cara-cara ilegal (over-ekspolitasi dan destruktif) yang merusak ekosistem terumbu karang dan keberlanjutan sumber daya laut. Untuk mengurangi kegiatan penangkapan yang ilegal, mempertahankan kelestarian terumbu karang, dan mewujudkan penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Kabupaten Bintan, pemerintahan melakukan program COREMAP yang di antaranya melakukan pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA) sebagai strategi nafkah baru bagi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan. Penelitian ini ingin menganalisis (i) tindakan ekonomi apa yang melandasi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan membangun sistem nafkahnya dengan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal? dan (ii) sejauh mana rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah yang dilakukan melalui MPA-COREMAP mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan? Penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ini menemukan bahwa (i) tindakan pilihan rasional merupakan tindakan ekonomi yang melandasi rumah tangga pedesaan pesisir membangun sistem nafkahnya (ii) rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah melalui pengembangan MPA sebagian telah terbukti gagal dan diprediksi tidak akan mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan.
Kata Kunci: sosiologi ekonomi, strategi nafkah, penghidupan berkelanjutan dan nelayan
Pedesaan Pantai Utara (Pantura) Indramayu sejak dulu dikenal sebagai daerah pertanian padi sawah yang subur dan lumbung padi nasional. Iklim yang sesuai, topografinya yang landai, dan pasokan air irigasi yang mengalir sepanjang tahun dikenal menjadi faktor yang mendukung lahan-lahan sawah di Pantura Indramayu dapat ditanam tiga kali dalam setahun. Namun, Desa Karangmulya yang juga berada di Pantura Indramayu justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Desa yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur ini mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Lahan-lahan sawah di desa ini hanya mampu ditanami padi dengan optimal sekali dalam setahun. Meskipun perubahan iklim terbukti meningkatkan kerentanan ekologi, penelitian ini menemukan bahwa ketidakmampuan pemerintah mengelola kedua jaringan irigasi tersebut menjadi faktor utama tingginya kerentanan ekologi di desa.
Kerentanan ekologi yang menekan dan mengguncang penghidupan direspons setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial dengan membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial yang kuat memberikan akses pada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya, yaitu modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani. Dengan kombinasi kelima aset penghidupan tersebut, rumah tangga di desa menjalankan berbagai aktivitas penghidupan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga strategi penghidupan, yaitu pertanian, non-pertanian, dan migrasi, untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Pertanian menjadi basis utama penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya. Strategi ini menjadi yang terbanyak dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Pendapatan dari pertanian digunakan untuk menjalankan strategi penghidupan non-pertanian. Selain itu, strategi migrasi ke Korea juga menjadi strategi penghidupan yang penting, terutama bagi rumah tangga lapisan bawah buruh. Beberapa rumah tangga lapisan bawah buruh, bahkan mampu melakukan mobilisasi sosial vertikal dengan menggunakan pendapatan migrasinya untuk menyewa dan menggadai lahan sawah rumah tangga lain.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi yang mengganggu penghidupannya dengan tetap memelihara atau bahkan meningkatkan kapasistas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Modal sosial yang kuat yang dimiliki seluruh rumah tangga menjadi faktor kunci terpeliharanya resiliensi dan keberlanjutan penghidupan setiap rumah tangga di desa.
Kata kunci: kerentanan, banjir, kekeringan, iklim, strategi penghidupan, modal sosial, penghidupan berkelanjutan
ABSTRACT
Rural North Coastal Areas of Java (North Coast) specifically the regency of Indramayu has long been known as a main paddy growing area of Java and it is considered as main national grain growing region. Some supporting factors such as suitable climate, supportive topography sloping, and adequate supply of water irrigation flowing throughout the year have been known as key factors helping rice-fields keep in existence in Indramayu. However, Karangmulya Village which is also located in the northern coastal region of Indramayu actually shows the opposite. The village is located at the end of the irrigation network which face a very high susceptibility to drought and floods. Most of rice-field existing in the area can only grow rice with optimally once a year. Although climate change proven to increase ecological vulnerability, the study found that the government's inability to manage the irrigation network has been considered to be a major factor in the village high ecological vulnerability .
Ecological vulnerability as faced by the farm households are responded actively through buildingstrong social capital structure. Strong social capital gives access to every household to increase the capacity of other livelihood assets, namely natural capital, physical capital, financial capital, and human capital. With the combination of the five livelihood assets as conceptualized bt Scoones and Ellis, the households in the village run various livelihood activities. The livelihood activities can be categorized into three livelihood strategies, namely: agriculture, non-farm activities, and out-migration, in order to sustain their livelihood. Agriculture became the main economic-base of household livelihood in the Karangmulya Village. This strategy is performed mostly by the fram households. Agricultural income is also used to support the non-agricultural livelihood strategies and vice versa. In addition, the out-migration strategy to Korea or other overseas countries also became an important livelihood strategy, especially for the household having more labor force in the family. Some farm households labor, showed their capability to achieve vertical mobility using migration income for rent and pawn wetland other households.
This shows that every household of all social layers sought to cope and adapt to ecological vulnerability that usually disrupt the livelihoods while maintaining or even improving the capacity of livelihood assets. They usually combine strategies by using livelihood assets owned by and are accessible to farm household to sustain their livelihood. Finally, it is recognized that strong social capital owned by the whole farm household has become a key factor maintaining the resilience and sustainability of the livelihoods for every household in the village.
Keywords: vulnerability, flooding, drought, climate, social capital, livelihood strategies, sustainable livelihoods
Books by Ali Yansyah Abdurrahim
Sebagai daerah yang berada di barat Pulau Sumatera dan terletak berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Pulau Nias memiliki berbagai macam potensi salah satunya adalah potensi pesisir. Khusus untuk potensi yang terdapat di Taman Wisata Perairan (TWP) Sawo-Lahewa dan Laut di Sekitarnya antara lain meliputi potensi ekologi, potensi ekonomi, dan potensi sosial budaya. Ketiga hal ini merupakan modal utama dalam pengelolaan TWP Sawo-Lahewa dan Laut di Sekitarnya.
Buku ini disusun untuk mewujudkan pengelolaan kawasan perairan yang efektif dan berkelanjutan. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran masyarakat sebagai pelaku utama yang menjalankan aktivitas sehari-harinya di lingkungan pesisir.
Kata kunci : pemanasan global, perubahan iklim, nelayan, Indramayu, Jakarta Utara
Kepulauan Hinako merupakan salah satu lokasi COREMAP di Kabupaten Nias Barat yang mendapat bantuan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). COREMAP bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang paling tidak 2 persen per tahun, sedangkan tujuan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan per- kapita sebesar 2 persen per tahun.
Untuk memantau sampai seberapa jauh program telah dilaksanakan dan bagaimana dampaknya terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat, khususnya tingkat pendapatan dilakukan kajian BME (Benefit Monitoring Evalution) sosial- ekonomi yang dilakukan pada tengah dan akhir program. Survei BME sosial-ekonomi dilakukan untuk mengumpulkan data berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, terutama pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Data dan informasi tentang pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari hasil BME kemudian dibandingkan dengan data pendapatan yang telah dikumpulkan pada baseline studi sosial-ekonomi. Dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dipantau dari hasil perbandingan antara data pendapatan masyarakat hasil baseline (T0) yang dilakukan pada awal program dan data pendapatan dari BME yang dilakukan pada tengah dan akhir program (T1).
Sebelum terjadi pemekaran, pengelolaan COREMAP ada di Dinas Kelauatan dan Perikanan Kabupaten Nias. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Nias yang telah berjalan kurang lebih 4,5 tahun secara umum belum menampakkan hasil yang optimal. Berbagai kegiatan pada masing-masing komponen seperti public awareness, edukasi, pengelolaan berbasis masyarakat dan pengawasan yang telah dilaksanakan menemui berbagai kendala dalam implementasinya yang berakibat pada kurang berhasilnya program.
Berbeda dengan kegiatan di tingkat kabupaten yang sudah cukup beragam, kegiatan di tingkat lokasi, khususnya di Kepulauan Hinako masih minim. Sampai dengan kajiain ini dilakukan (bulan Mei 2009) pelaksanaan kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berupa penyaluran dana bergulir belum dilaksanakan. Sedangkan kegiatan COREMAP yang sudah dilakukan diantaranya pembentukan LPSTK dan pemberian dana untuk pembuatan demplot rumput laut dan kegiatan pengawasan. Karena minimnya monitoring, kegiatan pembuatan demplot mengalami kegagalan. Demikian pula kegiatan pengawasan, tidak dapat berjalan sesuai yang direncanakan. Sementara itu, LPSTK, sebagai pengelola COREMAP di tingkat lokasi, secara umum juga mengalami ‘kefakuman” kegiatan. Pengurusnya tidak pernah melakukan pertemuan dan melakukan kegiatan. Selain itu, pengurus juga tidak mendapat bimbingan ataupun dilibatkan dalam berbagai pelatihan seperti pengurus LPSTK di desa-desa lain di Kabupaten Nias.
Keterlambatan pelaksanaan kegiatan di tingkat lokasi ini terkait dengan permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias sebagai pengelola di tingkat kabupaten. Berbagai permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah kurangnya monitoring dan pendampingan baik yang semestinya dilakukan oleh pengelola di tingkat kabupaten maupun oleh LSM yang ditunjuk sebagai pendamping. Selain itu, kefakuman pengelolaan pada saat terjadi pemekaran wilayah kabupaten, menjadi penghambat pelaksanaan berbagai kegiatan di tingkat lokasi.
Setelah terjadi pemekaran, pengelolaan COREMAP diambil-alih oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh pengelola di tingkat kabupaten, pengelola di tingkat provinsi juga menemuai hambatan dalam pengelolaan program, khususnya terkait dengan kegiatan monitoring. Jarak yang cukup jauh, transportasi yang terbatas serta kendala cuaca menjadi penghambat pelaksanaan monitoring di Kepulaan Hinako.
Hasil BME menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Pendapatan rumah tangga di Kepualuan Hinako naik dari Rp 366.270 pada tahun 2007 menjadi Rp 487.300 pada tahun 2009. Sedangkan pendapatan per-kapita penduduk pada tahun 2007 sebesar Rp 97.300 naik menjadi Rp 130.170 pada tahun 2009. Pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan juga mengalami peningkatan dari Rp 330.600 menjadi Rp 789.800. Kenaikan pendapatan ini lebih dikarenakan oleh ketersediaan sumber daya alam dan bagaimana cara masyarakat mengolah dan menggunakannya untuk memperoleh penghasilan melalui usaha pertanian dan perikanan tangkap. Hal ini dikarenakan intervensi yang sifatnya memberdayakan perekenomian masyarakat melalui penyaluran dana bergulir (yang dilakukan oleh pemerintah dan non — pemerintah) belum banyak dilaksanakan di wilayah ini. Selain itu, sumber pendapatan dari sektor lainnya (perdagangan dan jasa) di Kepulauan Hinako belum berkembang.
Pengaruh program dan kegiatan COREMAP terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga belum ada. Hal ini terkait dengan belum terlaksananya kegiatan mata pencaharian alternatif melalui penyaluran dana bergulir kepada masyarakat. Kegiatan COREMAP lainnya yang diharapkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, seperti pembangunan fasilitas desa (villae grant) juga belum dilaksanakan.
Masyarakat pesisir Kabupaten Bintan sangat tergantung dengan sumber daya alam yang ada di laut. Berbagai aktivitas nafkah di laut (on-sea), seperti penangkapan ikan, dilakukan banyak rumah tangga untuk mempertahankan penghidupannya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, berbagai cara dilakukan, termasuk melakukan penangkapan ikan dengan cara-cara ilegal (over-ekspolitasi dan destruktif) yang merusak ekosistem terumbu karang dan keberlanjutan sumber daya laut. Untuk mengurangi kegiatan penangkapan yang ilegal, mempertahankan kelestarian terumbu karang, dan mewujudkan penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Kabupaten Bintan, pemerintahan melakukan program COREMAP yang di antaranya melakukan pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA) sebagai strategi nafkah baru bagi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan. Penelitian ini ingin menganalisis (i) tindakan ekonomi apa yang melandasi rumah tangga di pesisir Kabupaten Bintan membangun sistem nafkahnya dengan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal? dan (ii) sejauh mana rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah yang dilakukan melalui MPA-COREMAP mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan? Penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ini menemukan bahwa (i) tindakan pilihan rasional merupakan tindakan ekonomi yang melandasi rumah tangga pedesaan pesisir membangun sistem nafkahnya (ii) rekayasa strategi nafkah ganda “bentukan” pemerintah melalui pengembangan MPA sebagian telah terbukti gagal dan diprediksi tidak akan mampu membangun sistem nafkah yang berkelanjutan.
Kata Kunci: sosiologi ekonomi, strategi nafkah, penghidupan berkelanjutan dan nelayan
Pedesaan Pantai Utara (Pantura) Indramayu sejak dulu dikenal sebagai daerah pertanian padi sawah yang subur dan lumbung padi nasional. Iklim yang sesuai, topografinya yang landai, dan pasokan air irigasi yang mengalir sepanjang tahun dikenal menjadi faktor yang mendukung lahan-lahan sawah di Pantura Indramayu dapat ditanam tiga kali dalam setahun. Namun, Desa Karangmulya yang juga berada di Pantura Indramayu justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Desa yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur ini mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Lahan-lahan sawah di desa ini hanya mampu ditanami padi dengan optimal sekali dalam setahun. Meskipun perubahan iklim terbukti meningkatkan kerentanan ekologi, penelitian ini menemukan bahwa ketidakmampuan pemerintah mengelola kedua jaringan irigasi tersebut menjadi faktor utama tingginya kerentanan ekologi di desa.
Kerentanan ekologi yang menekan dan mengguncang penghidupan direspons setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial dengan membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial yang kuat memberikan akses pada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya, yaitu modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani. Dengan kombinasi kelima aset penghidupan tersebut, rumah tangga di desa menjalankan berbagai aktivitas penghidupan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga strategi penghidupan, yaitu pertanian, non-pertanian, dan migrasi, untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Pertanian menjadi basis utama penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya. Strategi ini menjadi yang terbanyak dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Pendapatan dari pertanian digunakan untuk menjalankan strategi penghidupan non-pertanian. Selain itu, strategi migrasi ke Korea juga menjadi strategi penghidupan yang penting, terutama bagi rumah tangga lapisan bawah buruh. Beberapa rumah tangga lapisan bawah buruh, bahkan mampu melakukan mobilisasi sosial vertikal dengan menggunakan pendapatan migrasinya untuk menyewa dan menggadai lahan sawah rumah tangga lain.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi yang mengganggu penghidupannya dengan tetap memelihara atau bahkan meningkatkan kapasistas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Modal sosial yang kuat yang dimiliki seluruh rumah tangga menjadi faktor kunci terpeliharanya resiliensi dan keberlanjutan penghidupan setiap rumah tangga di desa.
Kata kunci: kerentanan, banjir, kekeringan, iklim, strategi penghidupan, modal sosial, penghidupan berkelanjutan
ABSTRACT
Rural North Coastal Areas of Java (North Coast) specifically the regency of Indramayu has long been known as a main paddy growing area of Java and it is considered as main national grain growing region. Some supporting factors such as suitable climate, supportive topography sloping, and adequate supply of water irrigation flowing throughout the year have been known as key factors helping rice-fields keep in existence in Indramayu. However, Karangmulya Village which is also located in the northern coastal region of Indramayu actually shows the opposite. The village is located at the end of the irrigation network which face a very high susceptibility to drought and floods. Most of rice-field existing in the area can only grow rice with optimally once a year. Although climate change proven to increase ecological vulnerability, the study found that the government's inability to manage the irrigation network has been considered to be a major factor in the village high ecological vulnerability .
Ecological vulnerability as faced by the farm households are responded actively through buildingstrong social capital structure. Strong social capital gives access to every household to increase the capacity of other livelihood assets, namely natural capital, physical capital, financial capital, and human capital. With the combination of the five livelihood assets as conceptualized bt Scoones and Ellis, the households in the village run various livelihood activities. The livelihood activities can be categorized into three livelihood strategies, namely: agriculture, non-farm activities, and out-migration, in order to sustain their livelihood. Agriculture became the main economic-base of household livelihood in the Karangmulya Village. This strategy is performed mostly by the fram households. Agricultural income is also used to support the non-agricultural livelihood strategies and vice versa. In addition, the out-migration strategy to Korea or other overseas countries also became an important livelihood strategy, especially for the household having more labor force in the family. Some farm households labor, showed their capability to achieve vertical mobility using migration income for rent and pawn wetland other households.
This shows that every household of all social layers sought to cope and adapt to ecological vulnerability that usually disrupt the livelihoods while maintaining or even improving the capacity of livelihood assets. They usually combine strategies by using livelihood assets owned by and are accessible to farm household to sustain their livelihood. Finally, it is recognized that strong social capital owned by the whole farm household has become a key factor maintaining the resilience and sustainability of the livelihoods for every household in the village.
Keywords: vulnerability, flooding, drought, climate, social capital, livelihood strategies, sustainable livelihoods
Sebagai daerah yang berada di barat Pulau Sumatera dan terletak berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Pulau Nias memiliki berbagai macam potensi salah satunya adalah potensi pesisir. Khusus untuk potensi yang terdapat di Taman Wisata Perairan (TWP) Sawo-Lahewa dan Laut di Sekitarnya antara lain meliputi potensi ekologi, potensi ekonomi, dan potensi sosial budaya. Ketiga hal ini merupakan modal utama dalam pengelolaan TWP Sawo-Lahewa dan Laut di Sekitarnya.
Buku ini disusun untuk mewujudkan pengelolaan kawasan perairan yang efektif dan berkelanjutan. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran masyarakat sebagai pelaku utama yang menjalankan aktivitas sehari-harinya di lingkungan pesisir.