Papers by Klara Esti
This report studies the production and consumption processes of Indonesian TV content. We employe... more This report studies the production and consumption processes of Indonesian TV content. We employed ethnographic studies across 12 families in 3 regions: Greater Jakarta, West Java and East Nusa Tenggara, to get a deeper understanding about the use of television in everyday life. We also interviewed 28 key players (TV executives, media strategists, rating agency, advertisers) in the industry to gain insights about the dynamics of content production. We found that producers are caught in a captive situation, where the powerplay between TV stations, rating agency and media strategists are proving it difficult for creative workers to produce ‘quality' content. Obedience to ‘market mechanism' (rating) still plays the most powerful role in influencing content production. Direct feedback mechanism from audience to producerce is scarce. We strongly endorse for innovative actors to break this chain.
Mekanisme rating televisi saat ini tidak mampu menangkap aspirasi penonton. Rating saat ini seked... more Mekanisme rating televisi saat ini tidak mampu menangkap aspirasi penonton. Rating saat ini sekedar memberi perkiraan jumlah orang yang menonton program TV pada waktu tertentu. Alat ini tidak mampu menyajikan kompleksitas pengalaman menonton TV. Dengan berpegang pada logika rating, para pemain di industri media merancang program dan menentukan harga slot iklan demi mengeruk keuntungan. Hal ini menyebabkan penonton hanya dianggap sebagai konsumen, alih-alih warga. Padahal, televisi bersiaran menggunakan frekuensi milik publik, dan karenanya memikul tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik (UU Penyiaran 32/2002 Pasal 3).
Pada tanggal 11 Januari 2017 CIPG mengadakan peluncuran penelitian dalam bentuk pameran dan diskusi publik di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Salah satu isu yang dibawa dalam acara tersebut menawarkan gagasan Crowd-r@ting. Crowd-r@ting merupakan inisiatif kolektif yang memungkinkan warga menyampaikan umpan balik langsung berupa penilaian (rating) dan ulasan tentang kualitas program televisi. Crowd-r@ting berjalan dengan semangat untuk mengembalikan posisi penonton sebagai warga yang berdaulat. Demikian, inisiatif ini hendak mengubah wajah industri media dengan menempatkan penonton sebagai penentu wajah penyiaran di Indonesia.
Penulis: Rinaldi Camil, Natasha H. Attamimi, dan Klara Esti
Dengan pengguna aktif mencapai 106 ju... more Penulis: Rinaldi Camil, Natasha H. Attamimi, dan Klara Esti
Dengan pengguna aktif mencapai 106 juta dan pertumbuhan pengguna aktif mencapai 34% (We Are Social, 2016), media sosial di Indonesia tumbuh menjadi pasar yang menarik secara ekonomis maupun politis. Peluang meraup untung maupun menggaet massa ini lantas dimanfaatkan oleh berbagai aktor, mulai dari industri periklanan hingga para pemain politik. Para pelaku ini menyuarakan kepentingannya dengan kicauan berbayar. Konon, pengicaunya adalah tokoh yang dinilai punya pengaruh--atau yang belakangan ini kerap disebut dengan istilah buzzer.
Gaduh Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan panasnya Pemilu Presiden 2014 yang diwarnai penyebaran informasi palsu (hoax) dan polarisasi warga adalah cermin besarnya pengaruh buzzer dalam membentuk percakapan di ranah daring. Fenomena buzzer di media sosial telah mengaburkan batas antara voice (suara warga) dengan noise (kondisi bising). Belakangan, menjamurnya akun-akun buzzer--dengan beragam jenis dan motifnya--kian tak terkendali. Gagasan bahwa media sosial berkontribusi besar sebagai sarana partisipasi warga dalam pembangunan mulai terancam. Sayangnya, upaya untuk memperkuat ruang publik terkendala oleh minimnya pemahaman mengenai apa itu buzzer dan dalam konteks apa buzzer mampu memengaruhi opini publik.
Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan kunci tentang proses seseorang menjadi buzzer, karakter umum buzzer, serta bagaimana buzzer beroperasi, termasuk di dalamnya adalah lanskap industri buzzing. Pada akhirnya, pemahaman publik mengenai fenomena buzzer penting dipahami secara utuh agar publik mampu menilai sejauh mana buzzer bisa ditempatkan dalam koridor demokrasi, sekaligus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memperkuat ruang-ruang publik.
Pendapat tentang perpanjangan izin penyiaran di Indonesia.
Opini ini telah dimuat dalam Koran Tem... more Pendapat tentang perpanjangan izin penyiaran di Indonesia.
Opini ini telah dimuat dalam Koran Tempo edisi 23 Juni 2016.
Perempuan Indonesia merupakan kelompok penduduk mayoritas dalam jumlah, namun masih tetap minorit... more Perempuan Indonesia merupakan kelompok penduduk mayoritas dalam jumlah, namun masih tetap minoritas dalam berbagai bidang kehidupan. Budaya patriarki yang muncul dalam banyak wajah menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban kekerasan. Budaya patriarki ini telah menempatkan laki-laki dalam posisi sosial yang lebih tinggi daripada perempuan, sehingga perempuan terpaksa menerima situasi yang tidak menguntungkan dalam relasinya dengan laki-laki. Asian Development Bank (2000) mencatat bahwa tingkat dan peluang mendapatkan pendidikan antara perempuan dan laki-laki masih sangat senjang, hanya 3 dari 10 perempuan yang berkesempatan mendapatkan pendidikan lanjut. Akses perempuan untuk mendapatkan pekerjaan pun masih terbatas dan biasanya perempuan menempati posisi yang relatif tidak membutuhkan keterampilan dan jenis pekerjaan yang spesifik "pekerjaan perempuan", dengan upah hanya 68% dari upah pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang sama.
Book by Klara Esti
"Unboxing Television in Contemporary Indonesia" highlights the dynamics of the production and con... more "Unboxing Television in Contemporary Indonesia" highlights the dynamics of the production and consumption of television in Indonesia nowadays. We aim to question the logic behind media -particularly television- content production and to what extend audience can develop such autonomy towards media. The analysis is based on in-depth observations, interviews with key players of media content production as well as ethnography in audience consumption. Giddens' structuration is used to shed a light on the interplay of the production and consumption process.
Books by Klara Esti
English
Crowd-r@ting: In search of alternative rating in Indonesia
The current TV-rating mechani... more English
Crowd-r@ting: In search of alternative rating in Indonesia
The current TV-rating mechanism is incapable of capturing feedback from the audience. As a traffic counter, it lacks the tool to assess the complexity of TV-viewing. There is no established feedback mechanism that is able to represent audience’s opinions or criticisms. This results in the audience being seen merely as a consumer, as the traffic counting is influencing pricing strategy for advertisement in TV programmes. This is not in line with the nature of television that broadcast using public-owned frequency, which bears responsibility for television to be the public guardian.
Learning from Rapotivi and using the power of new technologies, this research proposes the idea of Crowd-r@ting. Crowd-r@ting is a collective initiative that allows the public to provide live feedback in the form of ratings and reviews about the quality of the television programmes. Crowd-r@ting will inject the spirit of putting back audience as a rightful citizen. Thus, it aims to change the powerplay in landscape of the media industry in Indonesia.
Bahasa Indonesia
Crowd-r@ting: Mencari Model Rating Publik untuk Penyiaran di Indonesia
Mekanisme rating televisi saat ini tidak mampu menangkap aspirasi penonton. Rating saat ini sekedar memberi perkiraan jumlah orang yang menonton program TV pada waktu tertentu. Alat ini tidak mampu menyajikan kompleksitas pengalaman menonton TV. Dengan berpegang pada logika rating, para pemain di industri media merancang program dan menentukan harga slot iklan demi mengeruk keuntungan. Hal ini menyebabkan penonton hanya dianggap sebagai konsumen, alih-alih warga. Padahal, televisi bersiaran menggunakan frekuensi milik publik, dan karenanya memikul tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik (UU Penyiaran 32/2002 Pasal 3).
Bertolak dari studi kasus Rapotivi, riste ini menawarkan gagasan Crowd-r@ting. Crowd-r@ting merupakan inisiatif kolektif yang memungkinkan warga menyampaikan umpan balik langsung berupa penilaian (rating) dan ulasan tentang kualitas program televisi. Crowd-r@ting berjalan dengan semangat untuk mengembalikan posisi penonton sebagai warga yang berdaulat. Demikian, inisiatif ini hendak mengubah wajah industri media dengan menempatkan penonton sebagai penentu wajah penyiaran di Indonesia.
Dokumen ini menawarkan sebuah sarana bagi para pembuat kebijakan, para praktisi kreatif, maupun p... more Dokumen ini menawarkan sebuah sarana bagi para pembuat kebijakan, para praktisi kreatif, maupun para pemimpin di tingkat akar rumput untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan ekologi unik ekonomi kreatif. Menggunakan studi kasus Makassar dan Surabaya, modul ini dirancang untuk melakukan diagnosis terhadap aktivitas ekonomi kreatif sesuai potensi dan kontribusi perekonomian masing-masing kota.
This document offers a tool for policy makers, creative practitioners, or the leaders in grass ro... more This document offers a tool for policy makers, creative practitioners, or the leaders in grass root to elevate the understanding and awareness on creative economy unique ecology. Using Makassar and Surabaya as case studies, the module is designed to diagnose creative economy activities based on economic potential and contribution of each city
Books and Reports by Klara Esti
Mengobarkan Inovasi, Mengorbankan Standar Mutu: Telaah Isu Iptek, Riset, dan Inovasi dalam UU Cipta Kerja, 2020
Salah satu elemen penting bagi inovasi dan penerapannya adalah kerangka regulasi. Pengesahan Unda... more Salah satu elemen penting bagi inovasi dan penerapannya adalah kerangka regulasi. Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) tidak terkecuali, juga berpengaruh bagi inovasi di Indonesia.
Dalam UU CK, aspek ilmu pengetahuan & teknologi (iptek), riset, dan inovasi ditemukan dalam 29 pasal yang tersebar dalam 10 bab. Ini mencakup 7 pasal baru, sementara 22 pasal yang lain adalah perubahan dari peraturan yang ada.
Implikasi dari 29 pasal tersebut dapat dipetakan ke dalam 6 isu berikut: kedudukan dan peran iptek; peran aktor, pendanaan/insentif; aktivitas dan luaran penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap); penambahan klausul pada aturan turunan; dan
perubahan persyaratan teknis menjadi administratif.
Salah satu implikasi yang dominan adalah terkait perubahan persyaratan teknis menjadi administratif. Studi ini merekomendasikan perlunya pemerintah mengkaji ulang dampak dari UU CK dan memperhatikan keenam isu di atas dalam penyusunan peraturan turunannya. Hal ini untuk memastikan agar kemudahan berusaha tidak mengorbankan standar mutu dan keamanan kerja.
Uploads
Papers by Klara Esti
Pada tanggal 11 Januari 2017 CIPG mengadakan peluncuran penelitian dalam bentuk pameran dan diskusi publik di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Salah satu isu yang dibawa dalam acara tersebut menawarkan gagasan Crowd-r@ting. Crowd-r@ting merupakan inisiatif kolektif yang memungkinkan warga menyampaikan umpan balik langsung berupa penilaian (rating) dan ulasan tentang kualitas program televisi. Crowd-r@ting berjalan dengan semangat untuk mengembalikan posisi penonton sebagai warga yang berdaulat. Demikian, inisiatif ini hendak mengubah wajah industri media dengan menempatkan penonton sebagai penentu wajah penyiaran di Indonesia.
Dengan pengguna aktif mencapai 106 juta dan pertumbuhan pengguna aktif mencapai 34% (We Are Social, 2016), media sosial di Indonesia tumbuh menjadi pasar yang menarik secara ekonomis maupun politis. Peluang meraup untung maupun menggaet massa ini lantas dimanfaatkan oleh berbagai aktor, mulai dari industri periklanan hingga para pemain politik. Para pelaku ini menyuarakan kepentingannya dengan kicauan berbayar. Konon, pengicaunya adalah tokoh yang dinilai punya pengaruh--atau yang belakangan ini kerap disebut dengan istilah buzzer.
Gaduh Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan panasnya Pemilu Presiden 2014 yang diwarnai penyebaran informasi palsu (hoax) dan polarisasi warga adalah cermin besarnya pengaruh buzzer dalam membentuk percakapan di ranah daring. Fenomena buzzer di media sosial telah mengaburkan batas antara voice (suara warga) dengan noise (kondisi bising). Belakangan, menjamurnya akun-akun buzzer--dengan beragam jenis dan motifnya--kian tak terkendali. Gagasan bahwa media sosial berkontribusi besar sebagai sarana partisipasi warga dalam pembangunan mulai terancam. Sayangnya, upaya untuk memperkuat ruang publik terkendala oleh minimnya pemahaman mengenai apa itu buzzer dan dalam konteks apa buzzer mampu memengaruhi opini publik.
Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan kunci tentang proses seseorang menjadi buzzer, karakter umum buzzer, serta bagaimana buzzer beroperasi, termasuk di dalamnya adalah lanskap industri buzzing. Pada akhirnya, pemahaman publik mengenai fenomena buzzer penting dipahami secara utuh agar publik mampu menilai sejauh mana buzzer bisa ditempatkan dalam koridor demokrasi, sekaligus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memperkuat ruang-ruang publik.
Opini ini telah dimuat dalam Koran Tempo edisi 23 Juni 2016.
Book by Klara Esti
Books by Klara Esti
Crowd-r@ting: In search of alternative rating in Indonesia
The current TV-rating mechanism is incapable of capturing feedback from the audience. As a traffic counter, it lacks the tool to assess the complexity of TV-viewing. There is no established feedback mechanism that is able to represent audience’s opinions or criticisms. This results in the audience being seen merely as a consumer, as the traffic counting is influencing pricing strategy for advertisement in TV programmes. This is not in line with the nature of television that broadcast using public-owned frequency, which bears responsibility for television to be the public guardian.
Learning from Rapotivi and using the power of new technologies, this research proposes the idea of Crowd-r@ting. Crowd-r@ting is a collective initiative that allows the public to provide live feedback in the form of ratings and reviews about the quality of the television programmes. Crowd-r@ting will inject the spirit of putting back audience as a rightful citizen. Thus, it aims to change the powerplay in landscape of the media industry in Indonesia.
Bahasa Indonesia
Crowd-r@ting: Mencari Model Rating Publik untuk Penyiaran di Indonesia
Mekanisme rating televisi saat ini tidak mampu menangkap aspirasi penonton. Rating saat ini sekedar memberi perkiraan jumlah orang yang menonton program TV pada waktu tertentu. Alat ini tidak mampu menyajikan kompleksitas pengalaman menonton TV. Dengan berpegang pada logika rating, para pemain di industri media merancang program dan menentukan harga slot iklan demi mengeruk keuntungan. Hal ini menyebabkan penonton hanya dianggap sebagai konsumen, alih-alih warga. Padahal, televisi bersiaran menggunakan frekuensi milik publik, dan karenanya memikul tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik (UU Penyiaran 32/2002 Pasal 3).
Bertolak dari studi kasus Rapotivi, riste ini menawarkan gagasan Crowd-r@ting. Crowd-r@ting merupakan inisiatif kolektif yang memungkinkan warga menyampaikan umpan balik langsung berupa penilaian (rating) dan ulasan tentang kualitas program televisi. Crowd-r@ting berjalan dengan semangat untuk mengembalikan posisi penonton sebagai warga yang berdaulat. Demikian, inisiatif ini hendak mengubah wajah industri media dengan menempatkan penonton sebagai penentu wajah penyiaran di Indonesia.
Books and Reports by Klara Esti
Dalam UU CK, aspek ilmu pengetahuan & teknologi (iptek), riset, dan inovasi ditemukan dalam 29 pasal yang tersebar dalam 10 bab. Ini mencakup 7 pasal baru, sementara 22 pasal yang lain adalah perubahan dari peraturan yang ada.
Implikasi dari 29 pasal tersebut dapat dipetakan ke dalam 6 isu berikut: kedudukan dan peran iptek; peran aktor, pendanaan/insentif; aktivitas dan luaran penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap); penambahan klausul pada aturan turunan; dan
perubahan persyaratan teknis menjadi administratif.
Salah satu implikasi yang dominan adalah terkait perubahan persyaratan teknis menjadi administratif. Studi ini merekomendasikan perlunya pemerintah mengkaji ulang dampak dari UU CK dan memperhatikan keenam isu di atas dalam penyusunan peraturan turunannya. Hal ini untuk memastikan agar kemudahan berusaha tidak mengorbankan standar mutu dan keamanan kerja.
Pada tanggal 11 Januari 2017 CIPG mengadakan peluncuran penelitian dalam bentuk pameran dan diskusi publik di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Salah satu isu yang dibawa dalam acara tersebut menawarkan gagasan Crowd-r@ting. Crowd-r@ting merupakan inisiatif kolektif yang memungkinkan warga menyampaikan umpan balik langsung berupa penilaian (rating) dan ulasan tentang kualitas program televisi. Crowd-r@ting berjalan dengan semangat untuk mengembalikan posisi penonton sebagai warga yang berdaulat. Demikian, inisiatif ini hendak mengubah wajah industri media dengan menempatkan penonton sebagai penentu wajah penyiaran di Indonesia.
Dengan pengguna aktif mencapai 106 juta dan pertumbuhan pengguna aktif mencapai 34% (We Are Social, 2016), media sosial di Indonesia tumbuh menjadi pasar yang menarik secara ekonomis maupun politis. Peluang meraup untung maupun menggaet massa ini lantas dimanfaatkan oleh berbagai aktor, mulai dari industri periklanan hingga para pemain politik. Para pelaku ini menyuarakan kepentingannya dengan kicauan berbayar. Konon, pengicaunya adalah tokoh yang dinilai punya pengaruh--atau yang belakangan ini kerap disebut dengan istilah buzzer.
Gaduh Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan panasnya Pemilu Presiden 2014 yang diwarnai penyebaran informasi palsu (hoax) dan polarisasi warga adalah cermin besarnya pengaruh buzzer dalam membentuk percakapan di ranah daring. Fenomena buzzer di media sosial telah mengaburkan batas antara voice (suara warga) dengan noise (kondisi bising). Belakangan, menjamurnya akun-akun buzzer--dengan beragam jenis dan motifnya--kian tak terkendali. Gagasan bahwa media sosial berkontribusi besar sebagai sarana partisipasi warga dalam pembangunan mulai terancam. Sayangnya, upaya untuk memperkuat ruang publik terkendala oleh minimnya pemahaman mengenai apa itu buzzer dan dalam konteks apa buzzer mampu memengaruhi opini publik.
Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan kunci tentang proses seseorang menjadi buzzer, karakter umum buzzer, serta bagaimana buzzer beroperasi, termasuk di dalamnya adalah lanskap industri buzzing. Pada akhirnya, pemahaman publik mengenai fenomena buzzer penting dipahami secara utuh agar publik mampu menilai sejauh mana buzzer bisa ditempatkan dalam koridor demokrasi, sekaligus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memperkuat ruang-ruang publik.
Opini ini telah dimuat dalam Koran Tempo edisi 23 Juni 2016.
Crowd-r@ting: In search of alternative rating in Indonesia
The current TV-rating mechanism is incapable of capturing feedback from the audience. As a traffic counter, it lacks the tool to assess the complexity of TV-viewing. There is no established feedback mechanism that is able to represent audience’s opinions or criticisms. This results in the audience being seen merely as a consumer, as the traffic counting is influencing pricing strategy for advertisement in TV programmes. This is not in line with the nature of television that broadcast using public-owned frequency, which bears responsibility for television to be the public guardian.
Learning from Rapotivi and using the power of new technologies, this research proposes the idea of Crowd-r@ting. Crowd-r@ting is a collective initiative that allows the public to provide live feedback in the form of ratings and reviews about the quality of the television programmes. Crowd-r@ting will inject the spirit of putting back audience as a rightful citizen. Thus, it aims to change the powerplay in landscape of the media industry in Indonesia.
Bahasa Indonesia
Crowd-r@ting: Mencari Model Rating Publik untuk Penyiaran di Indonesia
Mekanisme rating televisi saat ini tidak mampu menangkap aspirasi penonton. Rating saat ini sekedar memberi perkiraan jumlah orang yang menonton program TV pada waktu tertentu. Alat ini tidak mampu menyajikan kompleksitas pengalaman menonton TV. Dengan berpegang pada logika rating, para pemain di industri media merancang program dan menentukan harga slot iklan demi mengeruk keuntungan. Hal ini menyebabkan penonton hanya dianggap sebagai konsumen, alih-alih warga. Padahal, televisi bersiaran menggunakan frekuensi milik publik, dan karenanya memikul tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik (UU Penyiaran 32/2002 Pasal 3).
Bertolak dari studi kasus Rapotivi, riste ini menawarkan gagasan Crowd-r@ting. Crowd-r@ting merupakan inisiatif kolektif yang memungkinkan warga menyampaikan umpan balik langsung berupa penilaian (rating) dan ulasan tentang kualitas program televisi. Crowd-r@ting berjalan dengan semangat untuk mengembalikan posisi penonton sebagai warga yang berdaulat. Demikian, inisiatif ini hendak mengubah wajah industri media dengan menempatkan penonton sebagai penentu wajah penyiaran di Indonesia.
Dalam UU CK, aspek ilmu pengetahuan & teknologi (iptek), riset, dan inovasi ditemukan dalam 29 pasal yang tersebar dalam 10 bab. Ini mencakup 7 pasal baru, sementara 22 pasal yang lain adalah perubahan dari peraturan yang ada.
Implikasi dari 29 pasal tersebut dapat dipetakan ke dalam 6 isu berikut: kedudukan dan peran iptek; peran aktor, pendanaan/insentif; aktivitas dan luaran penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap); penambahan klausul pada aturan turunan; dan
perubahan persyaratan teknis menjadi administratif.
Salah satu implikasi yang dominan adalah terkait perubahan persyaratan teknis menjadi administratif. Studi ini merekomendasikan perlunya pemerintah mengkaji ulang dampak dari UU CK dan memperhatikan keenam isu di atas dalam penyusunan peraturan turunannya. Hal ini untuk memastikan agar kemudahan berusaha tidak mengorbankan standar mutu dan keamanan kerja.