Academia.eduAcademia.edu

Modul analisis putusan

Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI BAB I Pendahuluan ! Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Pendahuluan Indonesia merupakan negara hukum, yaitu negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.1 Hal tersebut menjadi landasan bagi setiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan wewenangnya, termasuk cabang kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang memegang kekuasaan menjalankan fungsi negara di bidang peradilan. Dalam konteks peradilan, setiap produk yang dikerjakan dan dihasilkan oleh lembaga pengadilan harus dilandasi pada nilainilai kebenaran dan keadilan serta harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Artinya, putusan majelis hakim di persidangan harus mampu mencerminkan penerapan hukum yang adil kepada masyarakat. Fungsi penting putusan pengadilan dapat ditelusuri sejarahnya salah satunya dengan melihat dokumen Rencana Pembangunan 1993. Dokumen ini menyiratkan bahwa putusan pengadilan memiliki peran dalam mengembangkan hukum substantif. Hukum substantif harus dikembangkan, dengan memperkokoh fungsi pembuatan hukum peradilan dan meningkatkan kedudukan serta peran yurisprudensi sebagai sumber hukum, juga memperluas peredaran yurisprudensi agar tidak hanya terbatas di pengadilan, tetapi juga menjangkau berbagai profesi hukum yang lain, perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa efek legal putusan pengadilan diharapkan tidak hanya menjangkau pada pihak-pihak yang berperkara (polisi, advokat, jaksa, dan hakim), tetapi juga keluar gedung pengadilan dan benarbenar memberi sumbangan bagi pembangunan hukum. Dalam hubungannya dengan perguruan tinggi, putusan pengadilan juga memiliki nilai akademis yang sangat penting bagi perkembangan hukum di Indonesia. Kalangan civitas academica, baik dosen atau mahasiswa, dalam kegiatan sehari-hari terikat dengan tanggung jawab akademis yaitu tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Hal ini tentunya menjadikan peran kampus sangat penting di dalam komunitas hukum. Tidak hanya sebagai lembaga pendidikan atau belajar mengajar, tapi kampus dituntut untuk bisa menghadirkan solusi atas berbagai permasalahan hukum kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan riset yang berbasis akademis. Dalam kaitannya dengan upaya tersebut, salah satu yang bisa dilakukan kampus adalah dengan melakukan kegiatan pemanfaatan putusan. Ketika era reformasi berlangsung, Mahkamah Agung selaku institusi peradilan mulai melakukan perubahan. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah melakukan keterbukaan terhadap akses informasi mengenai pengadilan kepada masyarakat umum. Sejalan dengan hal tersebut, pada cetak biru pembaruan peradilan MA 2003, Mahkamah Agung mencanangkan inisiatif pembaruan di bidang transparansi dengan program Penerbitan Putusan MA. Selanjutnya pada tahun 2007 Mahkamah Agung telah mengeluarkan SK KMA No: 144/KMA/SK/I/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan yang kemudian dicabut dan diperbaharui melalui 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46. " Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI SK KMA No: 1-144/KMA/SK/I/2011 yang menambahkan lebih terperinci petunjuk pelaksanaan keterbukaan informasi di pengadilan. Sebelum era reformasi ini, akses untuk mendapatkan putusan-putusan pengadilan sangat dibatasi terutama di era demokrasi terpimpin dan era orde baru. Sebagai gambaran ketertutupan akses pada putusan, pada tahun 1990 Mahkamah Agung memutus hampir delapan ribu perkara dan hanya lima puluh delapan atau sekitar 0.6 persen diantaranya yang diterbitkan di dalam bunga rampai yurisprudensi, Yurisprudensi Indonesia. 2 Terbatasnya akses tentu saja akan sangat menghalangi publik untuk mengawasi kerja pengadilan, karena lebih dari 99% perkara saat itu disingkirkan dan dengan demikian hasil-hasilnya sangat dikaburkan.3 Untuk mendorong partisipasi publik, Mahkamah Agung dalam 10 tahun terakhir telah mencatatkan prestasi untuk memasukan putusan ke dalam situs website dalam rangka keterbukaan informasi publik. Bahkan, MA disebut-sebut memegang rekor dunia untuk urusan publikasi putusan. Dengan rata-rata 20.000-25.000 putusan yang diunggah perbulan, pada akhir tahun 2013 Mahkamah Agung telah membuka akses terhadap 685.272 putusan kepada masyarakat melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung.4 Dengan adanya keterbukaan akses terhadap putusan, maka masyarakat dapat mengetahui bagaimana penerapan hukum dan argumentasi yang digunakan dalam penyelesaian suatu perkara atau isu hukum tertentu. Akses ini memberikan peluang bagi publik untuk memanfaatkan informasi dan data yang terdapat di dalam putusan-putusan tersebut. Misalnya, dalam hal pemidanaan suatu jenis perkara tertentu, publik seperti kampus dan komunitas hukum lainnya bisa melihat sejauh mana Mahkamah Agung berperan dalam menjaga kesatuan hukum dan mempersempit jurang disparitas dalam pemidanaan suatu perkara sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Atau, bagi mahasiswa, pemanfaatan putusan dibutuhkan untuk melihat penerapan ketentuan hukum tertentu dalam kaitannya dengan penyusunan tugas akhir atau skripsi. Hal-hal tersebut ini bisa ditelusuri dengan menganalisis putusan-putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, MaPPI FHUI sebagai lembaga penelitian dan advokasi di bidang pemantauan peradilan memiliki kepedulian untuk mendorong terciptanya peradilan yang bersih dan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Salah satu program pemantauan yang dilakukan MaPPI adalah dengan melakukan analisis terhadap putusanputusan pengadilan yang memiliki isu hukum yang menarik. Analisis putusan ini tentunya berguna sebagai bahan riset lanjutan, bahan pembelajaran, atau sebagai kontrol/pengawasan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, dan pengacara) di persidangan. 2 Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 615. 3 Ibid, hal. 616. 4 Per 20 Januari 2014, jumlah total putusan yang sudah diunggah melalui Direktori Putusan MA sudah mencapai 697.432 putusan. Lihat http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/kegiatan/768-catatan-akhir-tahuninilah-pengadilan-juara-publikasi-putusan-di-tahun-2013.html, diakses pada 20 Januari 2014. # Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Oleh karena itu, MaPPI mencoba untuk menggalakkan kembali aktivitas pemanfaatan putusan, salah satunya melalui analisis putusan, dengan memberikan Workshop Analisis Putusan Pengadilan kepada mahasiswa/i fakultas hukum. Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan ini bertujuan untuk membantu para peserta workshop dan pengguna modul ini untuk dapat memahami konteks pemanfaatan putusan pengadilan yang saat ini terus digulirkan. Lebih khusus lagi, dalam hal analisis putusan pengadilan, modul ini diharapkan dapat memberikan panduan dalam menguji kesesuaian putusan pengadilan dengan ketentuan hukum positif yang berlaku. Harapannya modul ini dapat menjadi pemicu agar civitas academica dapat mengoptimalisasikan akses keterbukaan informasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Kegiatan Analisis Putusan Pengadilan untuk menjadi bahan diskursus, bahan riset, atau bahan pembelajaran di lingkungan kampus. $ Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI BAB II Agenda Pembaruan di Bidang Putusan Pengadilan % Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Agenda Pembaruan di Bidang Putusan Pengadilan Reformasi hukum di bidang yudisial di Indonesia, diawali dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka semua peradilan di Indonesia dijadikan satu atap dengan Mahkamah Agung RI, untuk mewujudkan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi serta campur tangan dari eksekutif/penguasa, legislatif serta lembaga-lembaga lainnya. Wacana penyatuan atap organisasi Mahkamah Agung sebenarnya sudah dimulai sejak 1992. Ketua Mahkamah Agung saat itu, Purwoto Gandasubrata, meminta kepada DPR agar administrasi pengadilan dipindahkan dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung.5 Dalm hal ini, yang dimaksud dengan peradilan satu atap adalah pengalihan kewenangan untuk mengelola administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang sebelumnya merupakan kewenangan departemen terkait menjadi kewenangan Mahkamah Agung secara mandiri.6 Proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial lembaga peradilan yang sebelumnya di bawah kontrol pemerintah, diawali dengan lahirnya Ketetapan MPR No.X Tahun 1998 yang menetapkan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999. Pelembagaan konsep satu atap Mahkamah Agung juga disinggung dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2003 yang menyebutkan bahwa sistem dua atap yang berlaku saat itu menjadi salah satu penyebab ketidakmandirian pengadilan dama menjalankan tugas dan fungsinya.7 Selanjutnya dengan UU No. 35 Tahun 1999, konsep satu atap dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA. Realisasi pengalihan tersebut dituangkan dalam Keppres No. 21 Tahun 2004. Sistem peradilan satu atap ini menjadi titik tolak dalam pembaruan peradilan menuju badan peradilan yang independen dan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap hukum. Namun demikian, perubahan penyatuan atap pada Mahkamah Agung memiliki dampak yang lebih daripada sekedar menggabungkan infrastruktur serta fungsi dan kewenangan Direktorat Jenderal Badan Peradilan - Departemen terkait ke dalam kesatuan struktur organisasi MA. Perlu ada langkah-langkah selanjutnya untuk menindaklanjuti era satu atap independensi tersebut agar pembaruan peradilan benar-benar terealisasi. Sebelumnya pada tahun 2003, Mahkamah Agung juga menyusun Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI yang merupakan dokumen preskriptif yang bertujuan untuk menyusun secara sistematis rekomendasi atas permasalahan-permasalahan badan peradilan dalam 5 Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 208. 6 Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Departemen yang dimaksudkan disini adalah Departemen Kehakiman untuk Peradilan Umum, Departemen Agama untuk Peradilan Agama, dan Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk Peradilan Militer. 7 Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2003, hal. 52. & Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI mewujudkan visi dan misinya. Cetak biru ini kemudian disempurnakan pada Cetak Biru (blueprint) Pembaruan Peradilan 2010-2035 guna mempertajam arah dan langkah dalam mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Dokumen Cetak Biru Pembaruan Peradilan disusun dengan melihat pada evaluasi pelaksanaan agenda-agenda pembaruan yang telah berjalan sebelumnya, baik berdasarkan ketentuan-ketentuan normatif yang mengatur tentang badan peradilan dan berdasarkan praktek bagaimana ketentuan-ketentuan tersebut berjalan pada realitasnya (normatif dan empiris). Berdasarkan evaluasi tersebut, penyusunan Cetak Biru Pembaruan Peradilan berhasil merumuskan visi serta misi yang akan dicapai dalam 25 (dua puluh lima) tahun mendatang. “Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung” adalah visi Mahkamah Agung yang akan menjadi arah dan tujuan bagi setiap pengembangan program dan kegiatan yang dilakukan di area-area fungsi teknis dan pendukung serta fungsi akuntabilitas. Khusus mengenai pemanfaatan putusan pengadilan pada dasarnya merupakan bagian dari Arahan Pembaruan Manajemen Perkara dan Arahan Pembaruan Sistem Keterbukaan Informasi pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010. Dalam dokumen cetak biru pembaruan peradilan, transparansi putusan merupakan salah satu tahapan dalam penyempurnaan manajemen perkara melalui modernisasi manajemen perkara. Modernisasi manajemen perkara dibagi ke dalam 3 bagian yang dilakukan secara bertahap, yaitu keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan, modernisasi business process dan pelayanan publik, dan pelayanan hukum terintegrasi. Bagian pertama mengenai keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan menjadi prioritas utama dalam modernisasi manajemen perkara. Tahapan ini bertujuan untuk menyediakan akses informasi dalam kaitannya dengan putusan pengadilan. Selain itu juga dilakukan upaya untuk mengintegrasikan data tentang aktivitas pengadilan ke dalam satu database terpusat dalam rangka menyempurnakan sistem pelaporan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan manajemen strategis.8 Selain itu, dalam hal transparansi, kewajiban penyelenggaraan segala urusan publik secara transparan diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebelumnya, MA telah mendorong transparansi peradilan sebagai pelaksanaan mandat Cetak Biru tahun 2003 dengan mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA No. 144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan yang sudah diperbaharui dengan SK KMA No. 1-144/ KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan. Sebelumnya, akses untuk mendapatkan putusan merupakan hal yang sangat sulit didapatkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan buruknya sistem kearsipan yang dimiliki oleh pengadilan. Dahulu, sistem pengarsipan dan pendistribusian putusan masih merupakan hal yang langka dan asing bagi pengadilan. Hal ini membuat berbagai kalangan kesuliatan dalam mengakses putusan-putusan pengadilan. Belum lagi dengan sikap tertutup hakim dan pegawai pengadilan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan akses terhadap putusan. Sikap tersebut disebabkan tidak jelasnya fungsi putusan pengadilan dalam sistem hukum Indonesia. Ketidakjelasan ini membuat putusan pengadilan terkesan eksklusif dan hanya terbatas bagi kalangan di lingkungan pengadilan dan pihak yang berperkara, tetapi tidak menjangkau berbagai 8 Lihat, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, hal. 36. ' Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI profesi hukum yang lain (perguruan tinggi, maupun masyarakat pada umumnya) serta seakan tidak memiliki tempat dalam pembangunan hukum nasional. Tidak adanya akses pada, dan tidak memadainya, penerbitan putusan pengadilan secara fundamental akan berdampak pada pembuatan hukum melalui putusan-putusan Mahkamah Agung dalam dua hal, mengurangi dampak putusan MA pada pembangunan hukum dan mengurangi nilai preseden atau nilai prediktif suatu putusan betapapun sedikitnya putusan yang bisa diakses dan diterbitkan.9 Kondisi tersebut diperparah dengan seleksi perkara untuk penerbitan yang dilakukan sesuai selera dan tidak mencerminkan apa yang terjadi Mahkamah Agung bahkan para hakim penyeleksi saat itu terkenal suka mengedit putusan-putusan, sampai dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, yang akan diterbitkan agar sesuai dengan pandangan mereka sendiri tentang ketepatan hukum.10 Saat ini, Pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010, Kebijakan transparansi melalui pemberian akses informasi pengadilan diarahkan untuk mencapai dua hal, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan masyarakat pencari keadilan; dan (2) mewujudkan akuntabilitas badan peradilan dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, keterbukaan informasi tidak hanya sekedar menjalankan ketentuan tentang keterbukaan informasi dan memberikan akses informasi kepada masyarakat, tetapi juga menjadi wahana bagi pengadilan sebagai sebuah organisasi yang terus menerus belajar, berkembang, dan mengikuti tuntutan zaman. Dengan kata lain, pengadilan juga akan memperoleh manfaat karena baik pemanfaatan informasi merupakan pengawasan masyarakat terhadap kinerja pengadilan dan dapat dijadikan masukan untuk terus menerus memperbaiki kinerjanya. 9 Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 615. 10 Ibid. ( Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI BAB III Signifikansi Pemanfaatan Putusan Pengadilan oleh Komunitas Hukum ) Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Signifikansi Pemanfaatan Putusan Pengadilan oleh Komunitas Hukum Tradisi civil law yang diwarisi oleh Indonesia dari Belanda seolah tidak menjadikan putusan pengadilan sebagai dokumen penting dalam pembangunan hukum di negeri ini. Hal ini bermula dari pemahaman yang tidak tepat mengenai kekuatan mengikat putusan pengadilan dalam tradisi civil law dimana hal tersebut sekedar dipahami mengikat bagi para pihak dalam perkara aquo, bukan untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu, kondisi tersebut diperparah dengan kegagalan komunitas hukum untuk memberikan definisi dan menentukan kriteria bagi putusan-putusan yang dapat disebut sebagai “yurisprudensi” 11 yang selanjutnya menggulirkan pertanyaan mendasar, yaitu: “apakah putusan pengadilan masih dianggap sebagai sumber hukum bagi Indonesia?” Satu tesis yang selalu dijadikan tameng oleh kalangan yang beranggapan demikian adalah bahwa di dalam tradisi civil law, yang menjadi sumber hukum utama adalah peraturan perundang-undangan sehingga keberadaannya harus diutamakan dibandingkan sumber hukum lainnya, tak terkecuali yurisprudensi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pembangunan hukum harus dilakukan di wilayah legislatif dan putusan pengadilan tidak memiliki fungsi untuk membentuk hukum karena semua pengaturan mengenai suatu hal tertentu telah selesai di level perundang-undangan. Dengan mendasarkan pada argumentasi tersebut, bisa dikatakan bahwa tradisi civil law memberikan putusan pengadilan otoritas yang relatif lemah sejak awal, yang akan segera kita pahami. Perbedaan antara stare decicis dan yurisprudensi telah kehilangan ketajamannya selama abad kedua puluh.12 Sebagaimana dampak dari kekuatan undang-undang yang kian mendorong sistem Anglo-Amerika ke arah civil law 13, sebaliknya pengadilan-pengadilan civil law justru mulai makin mirip dengan pengadilan Anglo-Amerika. Bagaimanapun juga, peran pengadilan dalam sistem civil law berubah dengan cepat dalam lima puluh tahun terakhir, ketika kekhawatiran dan keberatan terhadap tirani yudisial sirna dan tergantikan oleh keprihatinan terhadap semakin menguatnya kekuasaan pemerintah. Dalam prosesnya, kekuatan yurisprudensi meningkat melampaui hambatan-hambatan historis dan dogmatisnya, dan nyaris mendekati kekuatan preseden dalam sistem Anglo-Amerika. Jika putusan-putusan pengadilan Anglo11 Rujukan yang ajeg pada “yurisprudensi” dalam dokumen kebijakan dan teks Indonesia adalah indikasi utama bahwa sistem hukum Indonesia masih tertancap kokoh dalam sistem civil law Belanda. Istilah “yurisprudensi” sesungguhnya mengacu pada putusan-putusan pengadilan civil law mengikuti makna filsafat hukum Perancis, bukan Anglo-Amerika. Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institutsi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 605. 12 Dalam análisis politik otoritatifnya tentang sistem yudisial, Shapiro melangkah sedemikian jauh dengan menyatakan bahwa kualifikasi hukum Anglo-Amerika sebagai hukum yang bersumber dari putusan (case law) dan sistem civil law sebagai hukum terkodifikasi, yang sekarang ini sudah “tidak tepat secara fundamental”. Ibid. 13 Ini bahkan mencapai suatu titik dimana hakim agung Amerika Serikat baru-baru ini mengkualifikasikan sistem hukum Amerika Serikat sebagai “civil” tersendiri. Ibid. !* Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Amerika mempunyai “kekuatan mengikat”, putusan pengadilan civil law memperoleh “kekuatan persuasif” yang sebetulnya tidak kalah kuat. Memang dalam sistem civil law yang beragam dan hierarkis, kekuatan mengikat ini lebih melekat pada Mahkamah Agung daripada putusan pengadilan-pengadilan tingkat bawah, tetapi hal ini tidak terlalu penting.14 Otoritas putusan-putusan civil law nyaris mendekati model preseden yang mengikat dari tradisi Anglo-Amerika. Hal ini terlihat pada saat Mahkamah Agung memberikan putusan yang identik dalam serangkaian perkara -yang biasa disebut sebagai “yurisprudensi tetap”. Demikianla apabila dalam sistem civil law sebuah putusan yang dianggap sebagai yurisprudensi dapat mempunyai otoritas persuasif yang besar, maka serangkaian putusan yang konsisten mengenai suatu permasalahan hukum tertentu dapat dipandang mengikat. Konsistensi ini ditopang oleh fakta bahwa pengadilan tertinggi di berbagai negara yang menganut sistem civil law dalam beberapa dekade telah mengacu pada putusan mereka sendiri dan demikian telah menciptakan “sebuah aturan tetap” atau “yurisprudensi tetap”. Hal mana dapat dikatakan bertentangan dengan doktrin dan praktik awal civil law. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan di kebanyakan negaranegara civil law mempunyai dampak pembuatan hukum yang menjangkau di luar pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian, perbedaan antara stare decisis Anglo-Amerika dan yurisprudensi civil law harus dilihat, dengan memperhatikan nuansa-nuansa yang subtil, sebagai area abu-abu dan bukan sekedar hitam dan putih. 15 Meski demikian, banyak ahli hukum yang terus menegaskan bahwa putusan pengadilan telah menyempurnakan undang-undang, tetapi tidak punya kapasitas membuat undang-undang. Bahkan, doktrin civil law kadang-kadang mampu mengakomodasi peningkatan otoritas yurisprudensi dalam praktik, kalau bukan dalam teori, sekalipun jika diperlukan harus dengan upaya khusus. Dengan demikian, walaupun doktrin civil law, pada hakikatnya, tidak akan mengakui kekuatan “yurisprudensi tetap” sebagai sumber hukum tersendiri, namun doktrin ini memberinya otoritas mengikat lewat pintu kebiasaan. Misalnya, walaupun menganggap bahwa tidak ada rangkaian putusan pengadilan yang bisa dikatakan mengikat, tetapi pada kenyataannya terdapat garis konsisten yang memunculkan “kebiasaan”, yang oleh sistem ini diakui sebagai sumber hukum. 16 Selain itu, perlu dipahami bahwa Indonesia mewarisi tradisi civil law Belanda, bukan Perancis, dan, sebagaimana sudah diketahui sebelumnya, Belanda tidak terbebani oleh ketakutan Perancis dalam sejarah terhadap tirani yudisial; mereka justru mempunyai sejarah yurisprudensi 14 Ibid. 15 Bisa ditambahkan bahwa konsep “preseden mengikat” umumnya kelewat disederhanakan. Penyederhaan berlebihan ini terutama menyangkal praktik yang lazim berlaku di mana hakim berhasil menghindari preseden yang bisa memaksa mereka menghadapi hasil-hasil yang tidak diinginkan. Sebagaimana dikatakan John Merryman, “Semua orang tahu bahwa pengadilan-pengadilan civil law sesungguhnya menggunakan preseden. Semua orang tahu bahwa pengadilan-pengadilan common law menyampingkan perkara-perkara yang tidak mau mereka ikuti, dan kadang-kadang menyangkal putusan-putusan mereka sendiri.” John H. Merryman sebagaimana dikutip oleh Pompe, ibid., hal. 606-607. 16 Ibid. !! Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI yang panjang dan sangat efektif dan pula terhormat. Walaupun sangat terpengaruh oleh logika pemisahan kekuasaan, Belanda tidak pernah mendorong sistemnya menuju ke titik-titik ekstrem doktrinal, dan sistem hukum mereka tetap lebih terbuka untuk pembuatan hukum di ranah yudisial. Bahkan, sistem kasasi tidak pernah dicangkokkan utuh di Belanda; tidak seperti Cour de Cassation Perancis, maka Hoge Raad Belanda dalam berbagai kesempatan, benar-benar bisa memutus perkara pada tingkat banding final tanpa kewajiban mengirim kembali putusan yang bersangkutan. Ini memberi peluang pembuatan hukum yang lebih besar pada putusan-putusan Mahkamah Agung sejak dari awal mula. Dalam hal ini, Mahkamah Agung tidak ragu-ragu menggunakan peluang itu.17 Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya putusan pengadilan merupakan sumber hukum yang memainkan peran penting dalam proses pembangunan hukum di suatu negara, bahkan bagi negara yang memiliki tradisi civil law. Akan tetapi, pengadilan berikut hakim yang menjalankan kekuasaan kehakiman di dalamnya tidak dapat melakukan pembangunan hukum dengan sendirinya, kecuali komunitas hukum terus secara aktif dan masif membudayakan proses diskursus hukum berbasis putusan tersebut yang berujung pada pembangunan hukum yang responsif. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh komunitas hukum dalam menjalankan fungsi tersebut. Dengan begitu terbukanya pengadilan18 -yang jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde baru19-, komunitas hukum seperti akademisi, advokat, jaksa, polisi, hakim, dan pemerhati hukum dapat menggunakan data-data yang terdapat dalam putusan sebagai bagian dari diskursus dalam proses pembangunan hukum di Indonesia. Akademisi, misalnya, dapat memberikan pengaruh pada proses pembuatan hukum melalui berbagai kajian-kajian akademik yang disusunnya. Putusan-putusan yang dipublikasikan oleh pengadilan dapat dikaji untuk melihat apakah hakim, jaksa, polisi, dan advokat telah menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan teori yang berkembang terhadap suatu bidang hukum tertentu. Selain itu, akademisi dapat mengembangkan suatu sistem manajemen pengetahuan berbasis putusan yang dapat diejahwantahkan dalam berbagai bentuk seperti penyusunan indeks putusan, penerbitan bahan ajar dengan menggunakan putusan-putusan 17 Ibid, hal. 609-610. 18 Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Direktori Putusan Mahkamah Agung per tanggal 20 Januari 2014, jumlah putusan yang diunggah oleh Mahkamah Agung berjumlah 600 ribuan putusan. 19 Sebagai contoh, pada tahun 1990, Mahkamah Agung memutus hampir delapan ribu perkara, namun hanya lima puluh delapan atau sekitar 0.6 persen di antaranya yang diterbitkan dalam bunga rampai yurisprudensi, Yurisprudensi Indonesia. Tidak adanya akses pada, dan tidak memadainya, penerbitan putusan pengadilan secara fundamental akan berdampak pada pembuatan hukum dalam putusan-putusan Mahkamah Agung, khususnya pada berkurangnya dampak putusan-putusan Mahkamah Agung dalam pembuatan hukum dan berkurangnya nilai preseden atau nilai prediktif suatu putusan, betatapun sedikirnya putusan yang bisa diakses dan diterbitkan. Ibid., hal.615-616. !" Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI pengadilan sebagai bahan utama penyusunannya, dan sebagainya. Dengan menggunakan mediamedia demikian, diskursus hukum tidak hanya akan berjalan dalam tataran teoretis, namun akan jauh lebih memadukan antara perkembangan teori dengan realita yang terjadi di lapangan. Menjadi suatu hal yang akan jauh lebih bermanfaat terlebih jika dibandingkan dengan diskursus yang terjadi pada hari ini dimana akademisi jarang melihat putusan dan menggunakannya dalam perkuliahan maupun forum-forum akademik lainnya. Kalaupun ada, hal ini tersebut diperparah dengan tetap menggunakan putusan-putusan usang sebagai contoh dalam setiap penyampaian materi, seperti kasus cerobong asap yang masih setia digunakan dalam diktat-diktat perkuliahan dan penggunaan Putusan Pengadilan Tinggi di Colmar, Perancis, tertanggal 2 Mei 1855 tersebut menunjukkan stagnansi pengajaran hukum di Indonesia.20 Advokat, polisi, jaksa, dan bahkan hakim dapat mengembangkan metode pemanfaatan putusan yang serupa untuk kepentingan masing-masing institusi. Jaksa dan advokat dapat mengembangkan indeks putusan untuk kepentingan penuntutan dan pembelaan dalam proses persidangan. Dengan melihat secara utuh pertimbangan maupun amar yang diambil oleh majelis hakim dalam suatu perkara, akan terlihat bagaimana posisi pengadilan dalam menyikapi suatu masalah hukum tertentu dan hal ini dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan dokumendokumen hukum yang diperlukan untuk kepentingan penuntutan dan pembelaan dalam proses persidangan. Polisi pun juga dapat menggunakan hal yang sama dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Bagi hakim, tersusunnya suatu sistem yang demikian akan memudahkan mereka untuk mencari putusan-putusan terdahulu mengenai suatu permasalahan hukum yang sama. Jika memang sudah terbentuk budaya diskursus dan sistem yang demikian, hakim dapat dengan mudahnya melihat penerapan hukum pada suatu permasalahan hukum dan putusan-putusan pengadilan akan memiliki nilai preseden atau nilai prediktabilitas sekaligus akan memperkuat dampak putusan Mahkamah Agung dalam pembangunan hukum, yang sejalan dengan fungsi menjaga kesatuan penerapan hukum yang selama ini dimiliki (namun belum terlaksana dengan baik) oleh Mahkamah Agung. Dampak lain yang dapat diberikan oleh aktifitas pemanfaatan putusan semacam ini oleh komunitas hukum adalah dengan sendirinya akan memaksa pengadilan untuk terus meningkatkan kualitas dan kapabilitasnya dalam menangani suatu perkara. Hal ini dimungkinkan karena seluruh pemangku kepentingan terkait terus melihat putusan dan akan menganalisis pertimbangan majelis hakim dalam putusan sehingga muncul mekanisme peer review dari masing-masing anggota komunitas hukum dan hal ini akan berakibat pada meningkatnya kualitas diskursus hukum yang tentu akan menghasilkan pembangunan hukum yang optimal. 20 Yura Pratama dan Elsa Marliana, Penggunaan Data Putusan Pengadilan dalam Diskursus Ilmu Hukum di Fakultas Hukum dalam Buletin Fiat Justitia MaPPI FHUI, Vol. I, Nomor 4, November 2013, hal. 16. !# Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI BAB IV Pemahaman tentang Putusan Pengadilan !$ Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Pemahaman tentang Putusan Pengadilan Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Demikian definisi kekuasaan kehakiman yang dikonstruksikan oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian dipertegas melalui Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan menambahkan frase “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” di belakang definisi tersebut. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia akan terlihat dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi.21 Perlu dipahami bahwa dalam melaksanakan mandat di atas, kedua lembaga tersebut bergantung pada sosok hakim (dan hakim konstitusi) yang mengejahwantahkan hukum dan keadilan melalui putusan yang diucapkan dalam kasus-kasus yang ditanganinya. Putusan-putusan hakim inilah yang pada akhirnya akan mencerminkan penerapan dan penegakan hukum dan keadilan seperti yang dicita-citakan oleh UUD NRI Tahun 1945 di atas. Berkaitan dengan hal tersebut, Prof. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan putusan sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak.22 Hal ini dapat dipahami mengingat tujuan dari diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim23 dan oleh karena itu, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat24 melalui suatu proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.25 Pada prinsipnya, putusan pengadilan harus disusun sedemikian rupa sehingga memuat alasan dan dasar putusan, serta pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.26 Selain itu, 21 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI Tahun 1945, Pasal 24 ayat (2). 22 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 158. 23 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 48. 24 Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009, LN Nomor 157 Tahun 2009, TLN Nomor 5076, Pasal 5 ayat (1). 25 Ibid., Pasal 4 ayat (2). 26 Ibid., Pasal 50 ayat (1). !% Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI putusan pengadilan tidak boleh melebihi dari apa yang diminta oleh para pihak27 dan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila pada persidangan yang terbuka untuk umum.28 1) ! Jenis-Jenis Putusan Putusan pengadilan dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sesuai dengan kategori yang dipilih seperti yang tercantum di bawah ini:29 a.! Berdasarkan Lingkungan Peradilan Dalam kategori yang pertama, putusan dapat dibedakan berdasarkan lingkungan peradilan yang menangani perkara tersebut. Terhadap hal ini, putusan dapat dibedakan menjadi: i.! Putusan Perkara Pidana Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 30 sebagai ketentuan utama dalam penyusunannya. ii.! Putusan Perkara Perdata Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara perdata dengan HIR, Rbg, dan Rv sebagai ketentuan utama dalam penyusunannya. 27 Larangan ini ditemukan dalam peradilan perdata, agama, dan tata usaha negara yang dinamakan sebagai ultra petitum partium dan ditegaskan di dalam Pasal 178 ayat (3) Herzienne Indonesisch Reglement (HIR), Pasal 189 ayat (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg), dan Pasal 50 Reglemet op de Burgerlijk Rechtsvordering (Rv). Rasionalitas dari munculnya larangan tersebut adalah tujuan dilaksanakannya peradilan perdata yaitu semata-mata untuk menyelesaikan sengketa antara dua pihak sehingga kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan para pihak yang kemudian mengakbatkan hakim bersifat pasif dimana hanya memutus perkara berdasarkan hal yang diminta oleh para pihak. Sementara itu, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa dimungkinkan mengabulkan gugatan yang melebihi permintaan sepanjang masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan atau masih sesuai dengan kejadian materiil. Hal ini terkait dengan putusan yang didasarkan pada petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian sangat kasuistik. Akan tetapi, dalam hal gugatan mencantumkan petitum primair dan subsidair secara terperinci satu persatu, maka hakim hanya dibenarkan memilih salah satu diantaranya, apakah mengabulkan seluruh atau sebagian petitum primair atau subsidair. Baca Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 802. 28 Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, op.cit., Pasal 13 ayat (2). 29 Dimungkinkan dilakukan pengklasifikasian putusan berdasarkan kategori di luar dari apa yang ditulis dalam modul ini. 30 KUHAP merupakan penyebutan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN Nomor 3258, Pasal 285. !& Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI b.! iii.! Putusan Perkara Agama Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara agama. Putusan dalam perkara agama mengikuti putusan perkara perdata dengan beberapa modifikasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. iv.! Putusan Perkara Tata Usaha Negara Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara tata usaha negara. Putusan dalam perkara tata usaha negara mengikuti putusan perkara perdata dengan beberapa modifikasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. v.! Putusan Perkara Militer Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara pidana militer dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai ketentuan utama dalam penyusunannya. Berdasarkan Tahapan Persidangan Dalam kategori ini, putusan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu putusan sela dan putusan akhir. i.! 31 Putusan Sela Putusan sela merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim, namun belum menyinggung pokok perkara yang terdapat dalam dakwaan/gugatan. Dalam perkara pidana, putusan sela berkaitan dengan pengajuan keberatan dari Terdakwa/Penasihat Hukumnya mengenai kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara, dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.31 Pada sisi lainnya, di Ibid., Pasal 156 ayat (1). !' Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI dalam perkara perdata, putusan sela dapat berupa putusan preparatoir,32 putusan interlocutoir,33 putusan incidenteel,34 dan putusan provisioneel. 35 ii.! Putusan Akhir Putusan akhir merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim setelah memeriksa pokok perkara dengan memperhatikan fakta-fakta yang terjadi di persidangan. Putusan yang lazim disebut sebagai end vonis ini dapat dibedakan 32 Putusan preparatoir merupakan salah satu spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela, yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan ini adalah tidak mempengaruhi pokok perkara itu sendiri. Misalnya, putusan yang menetapkan bahwa gugatan balik (gugatan dalam rekonvensi) tidak akan diputus bersama- sama dengan gugatan dalam konvensi, atau sebelum hakim memulai pemeriksaan, terlebih dahulu menjatuhkan putusan tentang tahap-tahap proses atau jadwal persidangan. Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian. Akan tetapi, dalam praktik hal ini jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan berlangsung sesuai dengan kebijakan hakim, yaitu dengan memperhitungkan tenggang pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih dahulu ditentukan tahap-tahapnya. Heikhal A. S. Pane, Penerapan Uitvoerbaar bij Voorraad dalam Putusan Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama (Studi Kasus: Putusan Perkara Perdata Register Nomor: 89/PDT.G/ 2005/PN.TNG), Skripsi, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 20. 33 Putusan interlocutoir merupakan bentuk khusus putusan sela yang dapat berisi bermacam-macam perintah yang menyangkut masalah pembuktian, sehingga putusan ini dapat berpengaruh terhadap pokok perkara, atau dengan kata lain putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir, antara lain: I. Putusan yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli berdasarkan Pasal 154 HIR. Dalam hal hakim secara ex officio maupun atas permintaan salah satu piha menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang kompeten menjelaskan hal yang belum terang tentang masalah yang disengketakan II. Putusan yang memeriksaan setempat, berdasarkan Pasal 153 HIR. Dalam hal hakim berpendapat atau atas permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dilakukan oleh Hakim Komisaris dan Panitera. Akan tetapi, pasal ini ditiadakan oleh karena sekarang Pengadilan Negeri hanya terdiri dari seorang hakim.5 Namun, berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2001 pemeriksaan setempat ini tetap dapat dilakukan oleh hakim atau majelis hakim yang menangani perkara dengan dibantu oleh Panitera Pengganti III. Putusan yang memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau sumpah tambahan berdasarkan Pasal 155 HIR dan Pasal 1929 KUHPerdata IV. Putusan yang memerintahkan pemanggilan saksi berdasarkan Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan penggugat atau tergugat, tetapi tidak dapat menghadirkannya berdasarkan Pasal 121 HIR., pihak yang berkepentingan dapat meminta kepada hakim agar saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita; da V. Dapat juga putusan yang memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang bersengketa oleh akuntan publik yang independen. Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Heikhal A. S. Pane, ibid., hal. 21. 34 Putusan incidenteel adalah salah satu jenis putusan sela yang berhubungan dengan adanya incident, yang diartikan dalam Rv. sebagai peristiwa atau kejadian yang menunda jalannya proses pemeriksaan perkara. Putusan incidenteel dapat dibedakan menjadi putusan incidenteel dalam gugatan intervensi yang terbagi menjadi voeging, tussenkomst, dan vrijwaring dan putusan incidenteel dalam sita jaminan (conservatoir beslag). Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Heikhal A. S. Pane, ibid., hal. 22-23. 35 Putusan provisioneel atau disebut juga provisioneel beschikking, yakni keputusan yang bersifat sementara, diatur dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg. Putusan ini berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Ibid., hal. 23. !( Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI dalam perkara pidana dan militer pada satu sisi dan perkara perdata, agama, dan tata usaha negara pada sisi lainnya, yang secara lengkap adalah sebagai berikut: c.! a)! Putusan Akhir dalam Perkara Pidana dan Militer Dalam perkara pidana dan militer, putusan akhir dapat berupa putusan yang bersifat pemidanaan dan putusan yang bukan bersifat pemidanaan, yang terdiri dari bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. b)! Putusan akhir dalam Perkara Perdata, Agama, dan Tata Usaha Negara Dalam perkara perdata, agama, dan tata usaha negara, putusan akhir dapat dibedakan menjadi putusan yang bersifat declaratoir,36 condemnatoir,37 dan constitutief.38 Berdasarkan Amar Putusan pada tingkat pemeriksaan di Mahkamah Agung Dalam kategori ini, putusan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: i.! Putusan Kabul Putusan kabul merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim dalam hal permohonan kasasi/peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon kasasi/ pemohon peninjauan kembali sesuai dengan syarat-syarat dan alasan-alasan pengajuan kasasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam putusan kabul, pada praktiknya, majelis hakim pada kasasi atau peninjauan kembali dapat menyepakati putusan yang diucapkan oleh pengadilan di bawahnya atau mengadili sendiri dengan perbaikan pada pertimbangan maupun amar putusan pengadilan tersebut. 36 Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang menyatakan atau menegaskan tentang suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut hukum semata-mata. Misalnya, tentang kedudukan sebagai anak sah, kedudukan sebagai ahli waris, atau tentang pengangkatan anak. Ibid., hal. 29. 37 Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang bersifat menghukum. Bentuk hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, bentuk hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi, berbuat, atau tidak berbuat. Ibid., hal. 30-31. 38 Putusan constitutief adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang amarnya menciptakan suatu keadaan hukum yang baru, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami dan istri, yaitu sebagai janda dan duda. Ibid., hal. 30. !) Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI ii.! Putusan Tidak Dapat Diterima/Niet Ontvankelijk Verklaard (N.O) Putusan tidak dapat diterima atau yang biasa disebut putusan N.O merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim apabila pengajuan permohonan kasasi atau peninjauan kembali tidak memenuhi syarat-syarat formil pengajuannya seperti melewati jangka waktu permohonan kasasi atau permohonan kembali, gugatan yang diajukan kurang pihak, prematur, dan sebagainya. iii.! Putusan Tolak Putusan tolak merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim apabila permohonan kasasi atau peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon kasasi atau pemohon peninjauan kembali tidak memiliki alasan yang kuat untuk membuktikan kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim pada tingkat pemeriksaan sebelumnya. Terkadang, dalam praktiknya, majelis hakim dapat menolak permohonan dengan memperbaiki pertimbangan maupun amar putusan pengadilan di bawahnya. 2) ! Struktur Putusan Pembahasan mengenai struktur putusan dimulai dengan membedakan penyusunan putusan pada masing-masing tingkat pemeriksaan. Dalam arti, struktur putusan yang disusun pada tingkat pengadilan negeri akan berbeda dengan struktur putusan pada pengadilan tinggi, demikian juga pada tingkat pemeriksaan di Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui bersama, tingkat pemeriksaan pada suatu proses persidangan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu judex factie39 dan judex jurist40 . Oleh karena itu, struktur putusan yang dikembangkan oleh masing-masing pengadilan akan berbeda, yang tentu harus kembali dikaitkan dengan jenis perkara yang sedang ditangani. Berikut adalah struktur putusan yang dipakai oleh pengadilan Indonesia dalam menangani suatu perkara, yang terdiri dari: 39 Judex factie diartikan sebagai pemeriksaan fakta oleh pengadilan dimana majelis hakim hanya akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi dalam proses persidangan dan menariknya ke dalam pertimbangan putusan sebelum menentukan amar yang akan dijatuhkan dalam perkara tersebut. Dalam konteks sistem peradilan Indonesia, pemeriksaan judex factie dijalankan oleh pengadilan negeri/pengadilan agama/pengadilan tata usaha negara/pengadilan militer dan pengadilan tinggi/pengadilan tinggi agama/pengadilan tinggi tata usaha negara/pengadilan tinggi militer. 40 Judex jurist diartikan sebagai pemeriksaan penerapan hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara kasasi dan peninjauan kembali. Dalam hal ini, Mahkamah Agung tidak akan mempermasalahkan dan mempertimbangkan kembali mengenai fakta-fakta yang terjadi selama proses persidangan di pengadilan negeri dan/atau pengadilan tinggi, namun majelis hakim hanya akan melihat apakah judex factie menerapkan hukum sebagaimana mestinya atau tidak. "* Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI a.! Putusan pada Pengadilan Negeri Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, struktur putusan pada pengadilan negeri akan berbeda untuk jenis perkara tertentu, seperti putusan perkara pidana akan berbeda dengan perkara perdata. i.! Putusan Perkara Pidana Dalam perkara pidana, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut: • Kepala Putusan • Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; • Nomor register perkara pada pengadilan negeri; • Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara; • Identitas Terdakwa; • Riwayat Penangkapan dan/atau Penahanan; • Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; • Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; • Pertimbangan hakim; • Pendapat yang berbeda/dissenting opinion (jika ada); • Hal-hal yang memberatkan dan meringankan; • Amar putusan; • Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera pengganti. ii.! Putusan Perkara Perdata Dalam perkara perdata, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut: • Kepala Putusan • Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; • Nomor register perkara pada pengadilan negeri; • Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara; • Identitas Para Pihak; • Gugatan; • Jawaban; • Replik, Duplik, dan/atau Gugatan Rekonvensi (jika ada) • Pertimbangan hakim; • Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada; • Amar putusan; • Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti. "! Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI b.! Putusan pada Pengadilan Tinggi Seperti halnya pada pengadilan negeri, struktur putusan pada pengadilan tinggi juga mengikuti jenis perkara yang sedang ditangani dan dapat dibedakan menjadi: i.! Putusan Perkara Pidana Dalam perkara pidana, struktur putusan pengadilan tinggi adalah sebagai berikut: • Kepala Putusan • Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; • Nomor register perkara pada pengadilan tinggi; • Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara; • Identitas Terdakwa; • Riwayat Penangkapan dan/atau Penahanan; • Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; • Tuntutan sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; • Amar putusan Pengadilan Negeri; • Riwayat pengajuan permintaan banding; • Memori banding dan/atau kontra memori banding (jika ada) • Pertimbangan hakim; • Hal-hal yang memberatkan dan meringankan; • Pendapat yang berbeda/dissenting opinion (jika ada); • Amar putusan; • Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera pengganti. ii.! Putusan Perkara Perdata Dalam perkara perdata, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut: • Kepala Putusan • Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; • Nomor register perkara pada pengadilan tinggi; • Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara; • Identitas Para Pihak; • Amar putusan Pengadilan Negeri; • Riwayat pengajuan permintaan banding; • Pertimbangan hakim; • Amar putusan; • Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada; • Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti. "" Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI c.! Putusan pada Mahkamah Agung Seperti halnya pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, struktur putusan pada Mahkamah Agung juga mengikuti jenis perkara yang sedang ditangani. Dalam modul ini hanya akan dibahas struktur putusan untuk jenis perkara pidana umum dan perdata umum. i.! Putusan Perkara Pidana Umum Dalam perkara pidana umum, struktur putusan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: • Kepala Putusan • Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; • Nomor register perkara pada Mahkamah Agung; • Mahkamah Agung yang memeriksa perkara; • Identitas Terdakwa; • Riwayat Penangkapan dan/atau Penahanan; • Pengadilan Negeri asal; • Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; • Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; • Amar putusan Pengadilan Negeri; • Amar putusan Pengadilan Tinggi (jika ada); • Amar putusan Mahkamah Agung untuk pemeriksaan kasasi (untuk perkara peninjauan kembali); • Riwayat pengajuan permohonan kasasi atau peninjauan kembali • Alasan-alasan kasasi atau peninjauan kembali; • Pertimbangan Mahkamah Agung; • Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada; • Amar putusan; • Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti. ii.! Putusan Perkara Perdata Dalam perkara perdata, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut: • Kepala Putusan • Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; • Nomor register perkara pada Mahkamah Agung; • Mahkamah Agung yang memeriksa perkara; • Identitas Para Pihak; • Riwayat perkara pada Pengadilan Negeri; • Gugatan; • Jawaban; "# Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI • • • • • • • • • • Replik, Duplik, dan/atau Gugatan Rekonvensi (jika ada); Amar putusan Pengadilan Negeri; Amar putusan Pengadilan Tinggi (jika ada); Amar putusan Mahkamah Agung untuk pemeriksaan kasasi (untuk perkara peninjauan kembali) Riwayat pengajuan permohonan kasasi atau peninjauan kembali; Alasan-alasan kasasi atau peninjauan kembali; Pertimbangan hakim; Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada; Amar putusan; Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti. "$ Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI LAMPIRAN Contoh 1: Justifikasi Kasus (85 K/PID.SUS/2012) "% Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI CONTOH I JUSTIFIKASI KASUS Justifikasi Pemilihan Kasus (85 K/PID.SUS/2012) 1) Informasi Perkara 1. Indentitas Terdakwa Nama Lengkap!: Hidayat bin H. Abu Mukmin; Tempat Lahir! ! : Rikit Gaib; Umur/Tanggal Lahir! : 37 Tahun/ 13 Desember 1973; Jenis Kelamin !! : Laki-laki; Kebangsaan! : Indonesia; ! Tempat Tinggal! ! ! ! : Jalan Blangkejeren-Takengon Desa Kuta Lintang, Kec. Blangkejeren, Kab. Gayo Luwes; Agama! ! : Islam; Pekerjaan ! ! : Swasta; 2. Kronologi kasus Kejadian diperkirakan terjadi pada bulan Oktober di tahun 2009 bertempat di Jalan Datok Sere No. 2 Blangkejeren Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gayo Luwes, dimana terdakwa bernama Hidayat bin H. Abu Mukmin diduga melakukan perbuatan melawan hukum (tindak pidana korupsi) dengan cara memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada tahun 2009 tersebut, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gayo Luwes menyelenggarakan kegiatan pengadaan barang dan jasa berupa kegiatan pengadaan note book dengan pagu anggaran sebesar Rp. 2.250.000.000 (Dua Milyar Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) yang bersumner dari dana APBA Tahun 2009, menunjang pelaksanaan kegiatan tersebut pada tanggal 18 Juni 2009 Drs. Syamsul Bahri Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dan juga selaku kuasa pengguna anggaran mengeluarkan SK Nomor : 800/627/DIKPORA/2009 tentang Penunjukan/ Pengangkatan Panitian Pengadaan Barang/Jasa yang diketuai oleh saksi Drs. Ahmad dan beranggotakan saksi Makrub Kasri, saksi Hariyanto, S.E. dan saksi Zulfahmi Akib, S.T. Kemudian tanggal 16 September 2009 panitia pengadaan barang/jasa tersebut mengumumkan pelelangan/tender pekerjaan tersebut di Harian Serambi dengan salah satu poin ketentuan di dalam Adendum Dokumen Lelang Nomor : 16/PAN-DIKPORA/ OTSUS/2009 tanggal 05 Oktober 2009 yaitu “bagi penawar yang bukan Agen/Distributor untuk paket pengadaan note book dan LCD/infokus harus memiliki dukungan yang dikeluarkan Agen/Distributor”. Terdakwa Hidayan bin H. Abu Mukmin yang mengetahui pelelangan tersebut menginginkan untuk memasuki pendaftaran, akan tetapi perusahaan yang Terdakwa miliki tidak memiliki sub bidang usaha yang dimintakan dalam "& Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI pendaftaran, terdakwa lalu menghubungi saksi Mastani selaku pemilik CV. Listrik Karya untuk mengikuti pendaftaran. Namun terdakwa baru mendapatkan surat kuasa dari Saksi Mastani pada 31 Oktober 2009 dengan Surat Kuasa Nomor: 102 yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris Sarlinawati, S.H. di Kutacane. Terdakwa Hidayat bin H. Abu Mukmin secara melawan hukum pada tanggal 05 Oktober 2009 meminta Saksi Metti yang merupakan pemilik Toko Asia Komputer yang terletak di Medan untuk memberikan surat dukungan buat CV. Listrik Karya mengikuti lelang/tender kegiatan note book sedangkan terdakwa belum mendapatkan kuasa Direktur dari CV. Listrik Karya dan juga Terdakwa tahu bahwa Toko Asia Computer bukanlah merupakan agen/distributor akan tetapi terdakwa tetap melampirkan di dalam salah satu berkas penawaran CV. Listrik Karya. Setelah dilakukan evaluasi oleh panitia pengadaan barang/jasa terhadap 6 perusahan yang mengikuti lelang/tender, diusulkanlah pemenangnya oleh panitia lelang/tender yaitu CV. Listrik Karya dengan nilai terkoreksi penawaran sebesar Rp. 2.115.000.000 (Dua Milyar Seratus Lima Belas Juta Rupiah) untuk pengadaan note book sebanyak 150 unit yang spesifikasi yang tertera di dalam dokumen kontrak yang tidak dapat dipisahkan. Didalam pelaksanaannya oleh Terdakwa Hidayat bin H. Abu Mukmin membeli barang (note book) tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi atau tanpa adanya adendum tentang Perubahan Spesifikasi Barang tersebut yaitu tipe prosesor note book yang dibeli Terdakwa adalah tipe T6600 seharga 1 unit sebesar Rp 9.500.000 (Sembilan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) sedangkan menurut kontrak adalah T6570 seharga Rp. 14.100.000 (Empat Belas Juta Seratus Ribu Rupiah). Sehingga perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum yaitu Pasal 29 ayat 1 butir c Kepres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa yang mengatakan bahwa “hak dan kewajiban para pihak terikat di dalam perjanjian”, dan akibat perbuatan Terdakwa menyediakan barang tidak sesuai dengan spesifikasi di dalam kontrak negara dirugikan sebesar Rp. 478.500.000 (Empat Ratus Tujuh Puluh Delapan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Terdakwa diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Blangkejeren (Nomor Register Perkara : 18/Pid.B/2011/PN.BKJ. dengan dakwaan: Primair : Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih Subsidair : Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Para Pihak a. Pengadilan Negeri Blangkejeren (18/Pid.B/2011/PN.BKJ.) "' Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI b. Mahkamah Agung Majelis Hakim! ! : Djoko Sarwoko, S.H., M.H. (Ketua Majelis) ! ! ! : H. Syamsul Rakan Chaniago, S.H., M.H. ! ! ! : Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H. Panitera Pengganti!: Djuyamto, S.H. 2) Alasan Pemilihan Kasus a. Tindak pidana korupsi yang dituntut pada terdakwa Hidayat bin H. Abu Mukmin diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Blangkejeren dengan salah satu pertimbangan putusannya yang menggunakan ajaran sifat melawan hukum materil dalam arti negatif, yaitu suatu perbuatan meskipun oleh peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai definisi/atau batasan makna mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam arti negatif. b. Tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan sepantasnya menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dapat diputus bebas dengan pertimbangan adanya sifat melawan hukum materil negatif dalam tindak pidana korupsi tersebut. Bagaimana bisa suatu tindak pidana korupsi dinilai sebagai suatu perbuatan yang tidak melawan hukum, mengingat di satu sisi penegakan hukum bagi tindak pidana korupsi sedang giatgiatnya ditegakkan. c. Penggunaan ajaran sifat melawan hukum materil secara negatif dalam kasus ini dapat mendorong potensi terjadinya pembenaran oleh para pelaku tindak pidana korupsi yang dapat merangsang berkembangnya tindak pidana korupsi di negeri ini (Lode van Outrive menyebutkan sebagai asas legislation as a corrupt-tiongenic factor). Putusan dapat diunduh di: http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/6e756f9860041497b2f92c65d4c00983 "( Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI LAMPIRAN Contoh 2: Justifikasi Kasus (221/Pid.B/2006/PN.DPS dan 1638 K/Pid/2007) ") Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI CONTOH II JUSTIFIKASI KASUS Justifikasi Pemilihan Kasus (221/Pid.B/2006/PN.DPS dan 1638 K/Pid/2007) 1) Informasi Perkara 1. Identitas Terdakwa a) Terdakwa I Nama Lengkap! :! Drs. I Nengah Sumardika, M.Si. Tempat Lahir! :! Nyuhtebel, Karangasem. Umur/Tanggal Lahir! :! 41 tahun/29 Desember 1965 Jenis Kelamin! :! Laki-Laki Kebangsaan! :! Indonesia Alamat! :! Br. Tengah, Desa Nyuhtebel, Kec. Manggis, Kabupaten Karangasem Agama! :! Hindu Pekerjaan! :! Wiraswasta/Mantan Anggota DPRD Tahun 1999 s/d 2004. Pendidikan! :! S-2 Kajian Budaya !(Terdakwa dalam perkara ini berjumlah 14 orang. Namun untuk mempermudah penulisan, identitas terdakwa yang lain tidak dituliskan.) 2. Ringkasan Perkara Perkara yang akan dianalisis adalah kasus tindakan yang secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang didakwakan kepada 14 (empat belas) orang Anggota DPRD Propinsi Bali yang bersama-sama telah menyusun, merumuskan, dan membahas serta menerima realisasi jenis penghasilan DPRD Propinsi Bali pada Tunjangan Kesejahteraan, bersama-sama menjadi peserta Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Denpasar, dan bersama-sama menyusun dan merumuskan dan/atau menetapkan besarnya Biaya Penunjang Kegiatan. Kasus ini bermula ketika para terdakwa selaku Anggota Panitia Anggaran DPRD Propinsi Bali memiliki tugas dan kewajiban untuk menentukan kebijaksanaan kerumah tanggaan dan anggaran belanja DPRD. Apabila diperlukan dapat mendengarkan pendapat Sekretaris DPRD. #* Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Antara bulan Oktober – Nopember 2002, para terdakwa telah mengadakan rapat Panitia Anggaran untuk menyusun, merumuskan serta membahas anggaran belanja DRPD Propinsi Bali dan Sekretariat Dewan Propinsi bali untuk Tahun Anggaran 2003 dimana dalam rapat tersebut oleh Sekretaris Dewan telah disiapkan RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) sebagai acuan dalam penyusunan anggarann DPRD dan Sekretariat Dewan kemudian dalam APBD Tahun Anggarang 2003. Dalam rapat tersebut para terdakwa tidak mengajukan keberatan atau penolakan atas item-item anggaran yang tidak diatur dalam ketentuan yang berlaku. Ditentukan bahwa untuk biaya pemeliharaan kesehatan dan pengobatan kepada Pimpinan dan anggota DPRD diberikan tunjangan kesehatan yang diberikan dalam bentuk Jaminan asuransi, sehingga tidak ada pembayaran tunai dari Anggaran Tunjangan Kesejahteraan. Akan tetapi realisasi tunjangan kesehatan diterima para terdakwa dalam bentuk pembayaran. Kemudian perjanjian dengan Asuransi Bumi Putera tentang asuransi kesehatan dianggarkan sampai tahun 2004 dengan pembebanan biaya pada APBD 2002, APBD 2003 dan APBD 2004 padahal APBD Tahun Anggaran 2003 dan 2004 belum ditetapkan. Tindakan para terdakwa telah mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD yakni membebani APBD dengan pembayaran premi Asuransi Jiwa padahal dalam APBD tahun anggaran 2004 tidak tersedia anggaran untuk Asuransi Jiwa. Kemudian pada masa akhir jabatan terdakwa, uang pertanggungan Asuransi Jiwa seharusnya dikembalikan ke Kas Daerah Propinsi bali, tetapi hal tersebut tidak dilaksanakan oleh terdakwa namun mereka nikmati sendiri Akibat perbuatan para terdakwa sebagai Anggota Panitia Anggaran DPRD Propinsi Bali tahun Anggaran 2002 s/d 2004 bersama-sama dengna Panitia Anggaran lainnya dan Ketua DRPD Propinsi Bali selaku Ketua Panitia Anggaran DRPD Propinsi Bali mengakibatkan kerugian keuangan Negara dan atau kerugian keuangan Pemerintah Daerah Propinsi Bali Tahun Anggaran 2003 dan 2004. Para terdakwa diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar (Nomor Register Perkara: 221/Pid.B/2006/PN.DPS) dengan surat dakwaan sebagai berikut: Primair! :! Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Subsidair! :! Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam putusan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 27 September 2006, para Terdakwa dinyatakan terbukti telah melakukan perbuatan #! Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI seperti yang didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan Para terdakwa tersebut tidak merupakan suatu tindak pidanan. Oleh karenanya, Majelis Hakim melepaskan Para Terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onstlag Van Rechtvervolging). Terhadap putusan di atas, Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 10 Oktober 2006, namun ditolak oleh Majelis Hakim yang menangani perkara dengan nomor register 1638 K/Pid/2007. 3. Pihak yang Terlibat a. Pengadilan Negeri Denpasar (221/Pid.B/2006/PN.DPS) b. Mahkamah Agung (1638 K/Pid/2007) Majelis Hakim! :! Dr. H. Parman Soeparman, S.H., M.H. (Ketua) ! ! Djoko Sarwoko, S.H., M.H. ! ! H. Imam Haryafi, S.H. Panitera Pengganti! :! Torowa Daeli, S.H., M.H. 2) Alasan Pemilihan Kasus Yang menjadi alasan pemilihan kasus di atas sebagai putusan yang akan dianotasi adalah sebagai berikut: 1. Pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri melepaskan para terdakwa adalah perkara ini merupakan tindakan administratif, sehingga lebih tepat apabila diproses pada ranah administratif. 2. Kasus ini juga dapat menunjukkan sejauh mana pidana bisa masuk dalam ranah administratif. #" Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI LAMPIRAN Contoh 3: Analisis Putusan (97 PK/Pid.Sus/2012) ## Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI CONTOH ANALISIS PUTUSAN Hak Calon Ahli Waris dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Catatan Atas Putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan Terpidana Sudjiono Timan oleh Arsil, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) a. Pengantar Dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali Agung Sudjiono Timan oleh Mahkamah beberapa waktu yang lalu cukup menghebohkan publik. Tak kurang selama lebih dari seminggu berturut-turut putusan tersebut menjadi headline beberapa media nasional terkemuka. Tak hanya itu beberapa mantan Ketua Mahkamah Agung dan mantan Hakim Agung pun turut memberikan komentar atas putusan tersebut, suatu hal yang cukup jarang terjadi dimana mantan Ketua Mahkamah Agung memberikan komentar atas putusan dari Mahkamah Agung terlebih dengan nada kritik yang cukup keras. Kritikan keras juga datang dari Hakim Agung aktif, bahkan Hakim Agung aktif tersebut menyatakan bahwa putusan PK yang diputuskan oleh koleganya tersebut batal demi hukum, dan menyarankan Jaksa Agung untuk mengajukan PK atas putusan PK tersebut. Beberapa hal yang membuat putusan PK tersebut (yang saat itu salinan putusannya belum terbit) menjadi heboh adalah karena Sudjiono Timan sendiri saat itu (dan hingga kini) masih dalam status buron. Kedua, permohonan PK diajukan oleh Istri Sudjiono Timan dimana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa selain Terpidana yang dapat mengajukan PK adalah Ahli Waris, sementara dalam kasus ini diduga Sudjiono Timan masih hidup sehingga menurut sebagian pihak pemohon seharusnya belum dapat dikategorikan sebagai ahli waris. Ketiga, seperti biasa, perkara ini adalah perkara korupsi. Sudah bukan menjadi hal yang aneh jika tiap putusan yang pada akhirnya membebaskan atau melepaskan (onslag van alle rechtsvervolging) akan membuat kehebohan tersendiri di negeri ini. Sudjiono Timan sendiri adalah terpidana kasus korupsi dengan dugaan nilai korupsi yang cukup besar, yaitu berkisar lebih dari 500 milyar rupiah dengan nilai rupiah pada tahun 1995-1997. Pada saat itu ia adalah Direktur Utama PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (BPUI), sebuah BUMN yang bergerak dibidang pengembangan sektor riil melalui pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menegah dan Koperasi.41 Pada tahun 2002 ia didakwa melakukan korupsi saat menjabat sebagai Dirut PT BPUI tersebut. Di tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu memutus perbuatan yang didakwakan Jaksa/Penuntut Umum terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga Sudjiono Timan dinyatakan lepas dari segala tuntutan (Onslag van alle rechtsvervolging). Putusan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi ! 41 http://www.bahana.co.id/bpui/ #$ Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI pada tahun 2003 dan dinyatakan Sudjiono Timan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi penjara selama 15 tahun dan denda Rp 50 juta serta uang pengganti sebesar $98 juta dan Rp +/- 370 milyar. Namun belum sempat putusan tersebut dieksekusi ia kemudian melarikan diri. Sembilan tahun kemudian, tahun 2012 istri Sudjiono Timan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Kasasi tersebut, dan kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan nomor putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan putusan yang serupa dengan putusan di tingkat pertama, yaitu menyatakan Sudjiono Timan lepas dari segala tuntutan. Putusan PK tersebut tidak bulat, 1 orang anggota majelis, yaitu Sri Murwahyuni memiliki pendapat yang berbeda (dissenting), menurutnya secara formil seharusnya permohonan PK yang diajukan oleh Istri Terpidana tersebut tidak dapat diterima. Banyak aspek hukum yang menarik untuk dikaji dalam putusan PK Sudjiono Timan ini, baik pada aspek formil maupun materil. Namun dalam kajian ini saya hanya akan membatasi analisa pada satu masalah dalam aspek formil putusan ini, yaitu alasan diterimanya permohonan PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan. b. Permasalahan Hukum Secara ringkas permasalahan hukum terkait aspek formil dalam putusan ini adalah sebagai berikut: Dalam pasal 263 Ayat (1) KUHAP disebutkan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”. Atas ketentuan tersebut yang menjadi pokok permasalahan adalah: • Apa yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam ketentuan tersebut, apakah pengertian ahli waris dalam konteks ini merujuk pada hubungan antara Pewaris-Ahli Waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata? • Apakah hak untuk mengajukan PK bagi (para) ahli waris baru timbul jika Terpidana (pewaris) telah meninggal dunia atau tidak? 1. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung tentang Sah Tidaknya Permohonan PK oleh Istri Terpidana Pertimbangan hukum MA tentang sah tidaknya permohonan PK yang diajukan oleh Istri terpidana dimana terpidana sendiri belum meninggal dunia terdapat dalam halaman 160-162 putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 ini (versi online). Berikut kutipan pertimbangan hukum tersebut: “Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat: #% Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan permintaan Peninjauan kembali berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : - Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya; - Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (vide Akte Perkawinan No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991); - Bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut; - Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari Suaminya; - Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda Terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan kembali; - Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan Terpidana; - Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, SH. tersebut, baik Terpidana maupun Ahli Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau tidak ; lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara Terpidana dengan Ahli Waris; - Bahwa Isteri/Ahli Waris Terpidana selaku Pemohon Peninjauan kembali yang didampingi oleh Kuasa Hukumnya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan kembali pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara Persidangan masing-masing tanggal 20 Februari 2012 dan tanggal 29 Februari 2012; #& Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Bahwa dengan demikian, permintaan Peninjauan kembali Pemohon secara formil dapat diterima” Sementara itu pendapat berbeda dari hakim agung Sri Murwahyuni terkait permasalahan sah tidak nya permohonan Istri Terpidana terdapat pada halaman 165-166. Berikut kutipan lengkap dissenting opinion tersebut: Bahwa permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo secara formal tidak dapat diterima, dengan alasan : - Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana ; - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah meninggal dunia ; - Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara ; - Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan; 2. Analisa Dari pendapat hukum majelis PK (mayoritas) maka dapat ditarik beberapa poin utama mengapa menurut Majelis PK permohonan yang diajukan oleh Istri Terpidana saat terpidana masih hidup secara formal dapat diterima. Poin-poin tersebut yaitu: 1. Bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Ahli Waris sebagaimana disebut dalam Pasal 263 Ayat (1); 2. Bahwa pengertian Ahli Waris dalam Pasal 263 (1) bukan dalam pengertian waris mewaris atas harta benda Terpidana, melainkan ditujukan pada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan PK; 3. Menurut M. Yahya Harahap hak PK Ahli Waris bukan lah hak substitusi dari Terpidana setelah terpidana meninggal, melainkan hak orisinal demi kepentingan Terpidana; 4. Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap tersebut maka tanpa Terpidana dan Ahli Warisnya sama-sama dapat mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah Terpidana telah meninggal atau tidak. #' Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Argumentasi Majelis PK di atas menurut saya mengandung beberapa kelemahan dan permasalahan. Kelemahan dan permasalahan tersebut yaitu: 1. Kesimpulan yang Melompat atas Pendapat M. Yahya Harahap Memang benar di dalam KUHAP tidak terdapat pejelasan apa yang dimaksud dengan Ahli Waris, oleh karena itu maka dibutuhkan suatu penafsiran hukum atas masalah ini. Akan tetapi terlihat bahwa dalam melakukan penafsiran hukum tersebut Majelis PK melakukan lompatan konklusi/kesimpulan (jumping to conclusion). Lompatan kesimpulan ini terlihat ketika Majelis PK mengutip pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan PK bukanlah hak substitusi namun merupakan hak orisinil. Dari pendapat ini Majelis PK kemudian langsung mengambil kesimpulan bahwa dengan demikian maka berarti baik terpidana maupun Ahli Warisnya sama-sama memiliki hak untuk mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Ada beberapa alasan mengapa menurut saya kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang melompat. Pertama, M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Majelis sebenarnya tidak sedang membahas apa yang dimaksud dengan Ahli Waris dalam konteks Pasal 263 (1) tersebut, namun seperti terlihat dari kutipan tersebut beliau sedang membahas apakah hak pengajuan PK oleh Ahli Waris diperoleh dari hak substitusi yang diberikan oleh terpidana (pewaris) atau bukan (hak orisinil). Jika jawabannya adalah yang pertama, maka berarti Ahli Waris hanya dapat mengajukan PK jika Terpidana sebelumnya memberikan kuasa kepadanya untuk mengajukan PK. Sementara itu jika ia adalah hak orisinil, maka Ahli Waris dapat mengajukan PK terlepas dari apakah sebelumnya Terpidana memberikan kuasa kepadanya (ahli waris/para ahli waris) untuk mengajukan PK atau tidak. Atas permasalahan ini maka M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan PK bukan lah hak substitusi namun hak orisinil. Pendapat M. Yahya Harahap tersebut sebenarnya memiliki relevansi serta sejalan dengan pertimbangan Majelis PK dipoint sebelumnya, yang menyatakan bahwa Ahli Waris yang dimaksud dalam Pasal 263 (1) ini bukanlah dalam pengertian waris-mewaris harta benda (atau hak –penulis) namun ditujukan untuk pada orang-orang (selain Terpidana itu sendiri) yang mempunyai hak untuk mengajukan PK juga. Mengapa demikian? Jika penggunaan kata “ahli waris” dalam Pasal 263 (1) tersebut dimaksudkan dalam pengertian waris-mewaris harta benda (atau suatu hak), maka perpindahan hak tersebut akan terjadi sesuai dengan hukum pewarisan, yang artinya tidak semua ahli waris akan memperoleh hak PK yang sebelumnya ada pada Terpidana tersebut namun hanya ahli waris yang memang secara khusus memperoleh/diwarisi hak tersebut saja. Atau, jika hak tersebut tidak diberikan pada salah seorang ahli waris namun pada beberapa ahli waris, maka masing-masing ahli waris tidak dapat menggunakan hak PK tersebut kecuali dengan persetujuan para ahli waris yang juga memperoleh hak tersebut. Atas kerumitan ini maka Majelis PK sangat tepat ketika menyatakan bahwa konteks penggunaan kata ‘Ahli Waris’ tidak lah dimaksudkan dalam pengertian waris mewaris, namun untuk #( Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI menunjukan pihak-pihak mana saja selain terpidana yang (akan) memiliki hak untuk mengajukan PK. Dari permasalahan di atas maka tentu apa yang dimaksud dengan ‘ahli waris’ dalam Pasal 263 ayat (1) ini khususnya dalam kaitannya dengan pertanyaan apakah hak PK dari (para) ahli waris baru dapat digunakan setelah Terpidana meninggal atau dapat digunakan saat Terpidana masih hidup belum lah terjawab. Oleh karenanya ketika Majelis PK menyimpulkan bahwa Ahli Waris dapat mengajukan PK sebelum Terpidana meninggal adalah kesimpulan yang melompat (jumping to conclusion) atau setidaknya belum memiliki basis argumentasi yang kuat. 2. Pengaburan Perbedaan Makna “Keluarga” dan “Ahli Waris” Kedua, Majelis PK mengaburkan adanya perbedaan antara “keluarga” dan “Ahli Waris” padahal dalam KUHAP kedua istilah tersebut sama-sama digunakan dalam beberapa ketentuan yang berbeda. Jika dilihat lebih komperhensif sebenarnya KUHAP menggunakan dua istilah/term yang berbeda dalam beberapa ketentuannya terkait pemberian suatu hak kepada pihak selain Terpidana itu sendiri, yang bisa jadi penggunaan istilah yang berbeda tersebut memiliki arti serta maksud dan tujuan yang berbeda. Kedua istilah tersebut yaitu Ahli Waris dan Keluarga. Penggunaan istilah Ahli Waris dalam KUHAP digunakan pada 4 ketentuan, yaitu Pasal 95 ayat (2), 95 ayat (3), Pasal 263 Ayat (1), dan Pasal 268 ayat (2). Pasal 95 Ayat (2) dan (3) (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Pasal 268 Ayat (2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya Sementara itu penggunaan istilah “Keluarga (nya)” digunakan pada 37 ketentuan, namun yang ketentuan yang serupa dengan pasal 263 ayat (1) dimana keluarga diberikan suatu hak untuk melakukan sesuatu selain terpidana, terdapat dalam 3 ketentuan, yaitu pasal 79, 123 ayat (1) dan ayat (3). Berikut pasal-pasal tersebut: #) Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Pasal 79 Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 123 ayat (1) (1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu. (3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik. Khusus untuk pengertian “Keluarga” ini berbeda dengan istilah Ahli Waris yang tidak dijelaskan baik dalam penjelasan pasal maupun pada bagian Ketentuan Umum, istilah Keluarga dijelaskan dalam bagian Ketentuan Umum, yaitu Pasal 1 angka 30. Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Dari beberapa ketentuan di atas maka terlihat adanya perbedaan penggunaan istilah yang berbeda. Ketika mengatur mengenai hak untuk mengajukan praperadilan atas dugaan penangkapan dan penahanan yang tidak sah (Pasal 79) pembentuk KUHAP menggunakan istilah “Keluarga” bukan “Ahli Waris”, begitu juga ketika mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan keberatan kepada Penyidik dan atasan Penyidik ketika Penyidik melakukan penahanan terhadap Tersangka (Pasal 123 ayat (1) dan (2)). Namun pada bagian lain (selain Pasal 263 ayat (1)) istilah “keluarga” tidak lagi digunakan, namun yang digunakan adalah “Ahli Waris”, seperti pada ketentuan mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan atau tindakan lain yang tidak sah yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (Pasal 95 ayat (2)). Yang menjadi pertanyaan, mengapa Majelis PK tidak mencoba menggali terlebih dahulu mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda tersebut. Apakah kedua penggunaan dua kata dalam beberapa ketentuan yang berbeda tidak memiliki arti sama sekali atau dengan kata lain hanyalah ketidakkonsistenan pembuat KUHAP semata atau tidak? Jika memang penggunaan dua istilah yang berbeda tersebut hanyalah ketidakkonsistenan semata maka tentu dapat diterima pendapat Majelis PK yang menyatakan bahwa Istri Terpidana berhak menjadi pemohon PK dalam perkara a quo walaupun Terpidana masih hidup. Namun jika tidak, maka tentu makna hak bagi “Ahli Waris” dalam seluruh ketentuan di KUHAP adalah hak yang baru timbul jika Tersangka/ Terdakwa/Terpidana telah meninggal dunia. Indikasi bahwa pembuat KUHAP mengartikan “Keluarga” dan “Ahli Waris” sebagai dua konsep yang berbeda dan memaksudkan bahwa dengan menggunakan kata “ahli waris” berarti tersangka/ terdakwa/terpidana telah meninggal salah satunya terlihat pada Pasal 268 (2) yang menyatakan $* Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya (cetak tebal oleh penulis). Dari ketentuan ini terlihat bahwa kata ahli waris jelas dimaksudkan untuk merujuk pada pihak tertentu yang dapat berarti keluarga atau lebih luas lagi, dan dalam konteks dimana Terpidana telah meninggal dunia. Pasal 268 ayat (2) tersebut terletak tidak jauh dari pasal 263 ayat (1) bukan kah terlalu janggal jika diasumsikan pembuat KUHAP tidak memaksudkan hal yang sama untuk kata yang sama di 5 pasal sebelumnya? Selain itu kemungkinan bahwa pembuat KUHAP memang sengaja menggunakan dua istilah yang berbeda, yaitu antara Keluarga dan Ahli Waris juga dapat terlihat dari pasal 79 dan 123 ayat (1) dan (3) di satu bagian, dan 95 ayat (2) di bagian lain. Di pasal 79 dan 123 ayat (1) dan (3) saat mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan maupun keberatan mengenai sah tidaknya penahanan atau penangkapan, kata yang digunakan adalah “keluarga” bukan “ahli waris”. Mengapa demikian? Mungkin karena jika yang dipermasalahkan adalah sah tidak nya penangkapan maupun penahanan yang mana tujuan dari keberatan maupun praperadilan tersebut pastinya adalah agar pihak yang dikenakan penangkapan atau penahanan menjadi bebas dari penangkapan atau penahanan tersebut maka otomatis Tersangka masih hidup. Sementara di pasal 95 ayat (2) saat mengatur mengenai ganti kerugian atas tindakan baik penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasar pada undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, kata yang digunakan adalah “Ahli Waris” bukan keluarga. Mengapa demikian? Karena pada tahap ini berbeda ketika yang dipermasalahkan adalah ganti kerugian atas tindakan-tindakan tersebut maka belum tentu pihak yang secara langsung terkena tindakan tersebut (tersangka, terdakwa atau terpidana) itu sendiri masih hidup, oleh karenanya istilah yang dipergunakan tidak lagi “keluarga” namun “ahli waris”. Karena istilah “Ahli Waris” memang mengandung arti bahwa si ‘pewaris’ telah meninggal. Saya tidak ingin mengatakan bahwa pendapat saya di atas tentang mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda, yaitu “keluarga” dalam beberapa ketentuan dan “ahli waris” dalam beberapa ketentuan lainnya adalah sudah pasti benar. Yang ingin saya katakan adalah mengapa Majelis PK seakan mengabaikan adanya fakta tersebut dan tidak mencoba untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan atas alasan digunakannya dua istilah yang berbeda tersebut. Pengabaian fakta tersebut menurut saya berkesimpulan bahwa penafsiran kata “ahli waris” ada pasal 263 ayat (1) sebagaimana dalam putusan ini belum dilakukan secara matang. 3. Inkonsistensi dengan Kebijakan Mahkamah Agung Melalui SEMA No. 1 Tahun 2012 Selain hal-hal di atas tidak berlebihan jika dikatakan penafsiran Majelis PK dalam perkara ini tidak konsisten dengan kebijakan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali $! Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Dalam Perkara Pidana. SEMA ini memang tidak mengatur mengenai apakah Istri, suami atau calon ahli warisnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali untuk kepentingan Terpidana saat terpidana itu sendiri masih hidup. SEMA ini hanya mempertegas bahwa hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya ada pada Terpidana atau Ahli Warisnya sendiri, dan permintaan PK oleh Kuasa Hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Selain itu SEMA ini juga mempertegas kehadiran Terpidana dalam sidang pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri yang tanpanya permintaan tersebut juga harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sekilas SEMA ini memang tidak bersinggungan langsung dengan perkara ini, atau bahkan sama sekali tidak bertentangan mengingat dalam pertimbangannya Majelis PK juga menyatakan bahwa Istri Sudjiono Timan sebagai Pemohon hadir dalam sidang pemeriksaan PK di PN Jakarta Selatan yang dibuktikan dengan tanda tangannya dalam Berita Acara Persidangan tanggal 20 dan 29 Februari 2012. Namun jika SEMA ini dipahami dengan melihat sejarah dan latar belakang munculnya SEMA tersebut maka akan terlihat dimana letak permasalahannya. Walaupun SEMA No. 1 Tahun 2012 tidak menjelaskan apa maksud dan tujuan dari diterbitkannya SEMA tersebut, namun SEMA ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya dualisme pandangan di MA pada sekitar tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu terdapat dua permohonan PK dimana kedua terpidana merupakan terpidana atas perkara yang sama namun berkas perkaranya di split, yaitu permohonan PK dengan Terpidana Abdul Hadi Djamal (No. 45 PK/Pid.Sus/2010) dan permohonan PK dengan Terpidana Dedy Suwarsono. Kedua permohonan PK tersebut tidak diajukan sendiri oleh Terpidana, namun oleh Kuasa Hukumnya. Pada kasus Abdul Hadi Djamal Majelis PK menyatakan permohonan PK yang tidak diajukan oleh Terpidana sendiri namun oleh kuasa hukumya harus dikesampingkan karena dianggap tidak memuhi syarat formal, yaitu harus diajukan sendiri oleh Terpidana. Akan tetapi putusan tersebut tidak bulat, 2 orang hakim agung yaitu R. Imam Harjadi dan Mansyur Kartayasa (Ketua Majelis) yang walaupun tetap menyatakan permohonan PK tidak dapat dikabulkan (syarat materil) namun berpandangan bahwa secara formil permohonan PK yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terpidana tetap dapat diterima. Putusan tersebut khususnya mengenai dapat tidaknya permohonan dianggap memenuhi syarat formil bertolak belakang dengan putusan PK yang dengan Terpidana Dedy Suwarsono. Dalam putusan PK Dedy Suwarsono permohonan secara formil dinyatakan dapat diterima, walaupun putusan tersebut juga tidak bulat. Satu orang Hakim Ad Hoc yang juga duduk sebagai anggota Majelis dalam PK Abdul Hadi Djamal, Krisna Harahap, tetap pada pendiriannya sebagaimana di kasus PK Abdul Hadi Djamal, yaitu menyatakan permohonan secara formil tidak memenuhi syarat. Adanya dua pandangan atas bisa atau tidaknya permohonan PK diajukan tidak oleh Terpidana secara langsung namun oleh Kuasa Hukumnya diakui oleh Ketua Mahkamah $" Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Agung saat itu, yaitu Harifin A. Tumpa42. Sebelum kedua kasus tersebut sebenarnya sudah cukup lama MA tidak mempersoalkan apakah permohonan PK diajukan sendiri oleh Terpidana atau diajukan oleh Kuasa Hukumnya. Sebagai contoh misalnya putusan PK No. 63 PK/Pid/200543 dan putusan PK No. 47 PK/Pid/200944. Kedua permohonan PK tersebut tidak diajukan oleh Terpidana namun oleh Kuasa Hukumnya, dan keduanya dipandang memenuhi syarat formil oleh Mahkamah Agung dan dalam pokok perkara permohonan dikabulkan. Namun setelah adanya pandangan yang baru dari para Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung khususnya dalam perkara PK Abdul Hadi Djamal secara perlahan namun pasti mayoritas Hakim Agung (dan Hakim Ad Hoc) mulai merubah pandangannya mengikuti pendapat para Hakim Ad Hoc tersebut dalam menafsirkan ketentuan mengenai syarat formal permohonan PK dalam KUHAP. Adanya perubahan pandangan tersebut terlihat dalam putusan PK yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terpidana lainnya yaitu Setia Budi (74 PK/Pid.Sus/2010) yang hanya berjarak 4 bulan setelah putusan PK Abdul Hadi Djamal. Dalam perkara ini ketua Majelis PK Artidjo Alkotsar yang juga merupakan Ketua Majelis dalam perkara PK No. 47 PK/Pid/2009 yang sama sekali tidak mempersoalkan mengenai apakah pemohon PK dalam perkara 47 PK/Pid/ 2009 tersebut diajukan sendiri oleh Terpidana atau Kuasa Hukumnya, dalam perkara Setia Budi ini terlihat telah merubah pandangannya. Dan setelahnya mulai banyak permohonanpermohonan PK yang diajukan tidak oleh Terpidana secara langsung namun oleh Kuasa Hukumnya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA dengan alasan yang serupa dengan pertimbangan dalam kasus PK Abdul Hadi Djamal45 . Dan akhirnya setelah hampir seluruh –jika tidak dapat dikatakan seluruhnya- Hakim Agung berpandangan yang sama, Ketua Mahkamah Agung pada pertengahan Juni 2012 lalu akhirnya memperkuat pandangan tersebut dengan menerbiktan SEMA No. 1 Tahun 2012 ini. 42 Sikap MA Terbelah Tentang Pengajuan PK Oleh Advokat, Hukumonline.com 12 Maret 2010 http:// ! www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b9a65f16afe3/sikap-ma-terbelah-tentang-pengajuan-pk-oleh-advokat. 43 Pada hal putusan ini dinyatakan: “Membaca surat permohonan dan tambahan permohonan ! peninjauan kembali bertanggal 15 maret 2005 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Kolaka pada tanggal 15 Maret 2005 dari kuasa Terdakwa yang diajukan untuk dan atas nama terdakwa juga sebagai terpidana tersebut berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 maret 2005 yang mohon agar putusan Pengadilan Negeri tersebut dapat ditinjau kembali.” (cetak tebal oleh penulis) 44 Pada hal. 6 putusan ini dinyatakan: “Membaca surat permohonan peninjauan kembali tertanggal 20 ! Februari 2009 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar pada tanggal 28 Februari 2009 dari kuasa Terpidana, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali” (cetak tebal oleh penulis) 45 Beberapa contoh putusan PK yang dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan yang serupa ! dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2010 dapat dilihat dalam tulisan saya “Catatan SEMA No. 1 Tahun 2012 tentang Permohonan PK Dalam Perkara Pidana” di http://krupukulit.wordpress.com/2012/07/02/catatan-semano-1-tahun-2012-tentang-pengajuan-permohonan-pk-dalam-perkara-pidana/ $# Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI Dari pemaparan di atas dapat terlihat adanya hubungan antara SEMA No. 1 Tahun 2012 dengan pertimbangan MA dalam putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2010 tersebut. Permasalahan tidak berhenti di sini. Permasalahan berlanjut pada mengapa secara tiba-tiba 3 Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung pada kasus Abdul Hadi Djamal menganggap penting permohonan PK diajukan sendiri oleh Terpidana atau Ahli Warisnya, serta mengapa kehadiran pemohon dalam persidangan pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri merupakan kewajiban. Jawaban atas pertanyaan ini terdapat dalam pertimbangan Majelis PK Abdul Hadi Djamal tersebut pada halaman 89. Berikut kutipan pertimbangannya: “Bahwa khusus mengenai perkara-perkara tindak pidana korupsi, permohonan PK seyogianya dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 263 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 265 ayat (3) untuk menjaga kemungkinan permohonan diajukan oleh kuasa sedang Terpidana sendiri melarikan diri dan bersembunyi sehingga putusan Pengadilan tidak dapat di eksekusi; “ Dari kutipan pertimbangan hukum putusan PK Abdul Hadi Djamal tersebut terlihat bahwa mengapa majelis menafsirkan permohonan PK harus diajukan sendiri oleh Terpidana (atau Ahli Warisnya) serta Pemohon harus (setidaknya pernah) hadir dalam siding pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri adalah untuk memastikan bahwa Terpidana sedang tidak melarikan diri. Alasan tersebut kemudian diperkuat dalam putusan putusan PK Setia Budi (74 PK/Pid.Sus/2010) yang mana dalam putusan ini Majelis memberikan beberapa contoh kasus dimana Terpidana melarikan diri. Berikut kutipan pertimbangan hukum MA yang tertuang di halaman 66-67: • “Bahwa ditaatinya ketentuan-ketentuan seperti ditetapkan di dalam KUHAP mengenai permohonan Peninjauan Kembali/Terpidana, khusus terkait perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi, mempunyai arti tersendiri di dalam rangka menghindari kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali oleh Kuasa sedangkan yang bersangkutan bersembunyi atau lari ke Negara-Negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Republik Indonesia. Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengacu kepada beberapa peristiwa yang terjadi, diantaranya : o Kasus PT. Goro Batara Sakti dan BULOG yang merugikan Negarahingga Rp. 96.000.000.000,- (sembilan puluh enam milyar). Dari tempat persembunyiannya Terpidana Tommy Soeharto mengajukan peninjauan kembali melalui Kuasanya ; o Kasus Djoko Tjandra yang terlibat kasus cessie Bank Bali Rp.546.468.000.000,(lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta rupiah) Mahkamah Agung memeriksa peninjauan kembali yang diajukan Jaksa dan menjatuhkan hukuman 2 (dua) tahun penjara dan denda Rp.15.000.000.000,(lima belas milyar rupiah). Sehari sebelum putusan itu diputuskan dalam Musyawarah dan Ucapan para Hakim Agung, Djoko Tjandra yang sudah mengetahui terlebih dahulu, memutuskan lari ke luar negeri dengan $$ Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI menggunakan pesawat carteran dari tempat persembunyiannya di luar negeri, ia mengajukan peninjauan kembali melalui Kuasanya ; o • Kasus Adelin Lis, pembalak hutan di Mandailing, Tapanuli Selatan. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 31 Juli 2008 menghukum Adelin Lis 10 (sepuluh) tahun penjara, uang pengganti Rp. 119.800.000.000,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus juta rupiah), dana reboisasi US $ 2,938 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan Dollar Amerika) dan denda Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)!Subsider 6 (enam) bulan. Putusan kasasi ini tidak dapat dieksekusi karena Terpidana melarikan diri ; Bahwa khusus dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, kehadiran Terpidana dan keharusan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, memiliki makna tersendiri, dalam rangka mencegah larinya Terpidana yang mengakibatkan putusan yang sudah inkracht tidak dapat dieksekusi ;” Dengan inti pertimbangan kedua putusan tersebut yang kemudian mengubah sebagian besar pandangan para Hakim Agung dan hingga akhirnya dikeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2012 maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari diterbitkannya SEMA tersebut adalah untuk menghindari adanya permohonan PK demi kepentingan Terpidana sementara Terpidananya sendiri sedang melarikan diri atau tidak menaati putusan pengadilan. Yang kini menjadi permasalahan adalah, bukankah jika Ahli Waris dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP ditafsirkan semata sebagaimana menafsirkan pengertian “keluarga”, yang mana “ahli waris” tersebut memiliki hak PK terlepas dari apakah Terpidana (Pewaris) telah meninggal dunia atau belum, secara tidak langsung akan menggugurkan tujuan dari diterbitkannya SEMA 1/2012 itu sendiri? Sebagaimana dalam kasus PK Sudjiono Timan ini, tentu akan sangat mudah bagi Terpidana yang sedang melarikan diri untuk mengajukan permohonan PK, cukup meminta salah satu anggota keluarganya, bisa suami/istri, anak, atau orang tua untuk mengajukan PK tersebut. Pada akhirnya SEMA 1/2012 serta putusan-putusan MA sebelumnya menjadi tidak ada artinya. Sekali lagi, sayangnya Majelis sepertinya tidak mencoba mengeloborasi penafsiran terhadap dapat tidaknya “keluarga” atau calon Ahli Waris mengajukan PK dan implikasinya terhadap kemungkinan ketidakefektifan SEMA 1/2012 tersebut. 4. Catatan Atas Dissenting Opinion Seperti telah dinyatakan dibagian awal, dalam putusan PK Sudjiono Timan ini putusan tidak diputus secara bulat, terdapat 1 orang Hakim Agung yang berbeda pendapat (dissenting), yaitu Sri Murwahyuni. Dalam dissenting opinionnya pada intinya Hakim Agung Sri Murwahyuni berpendapat bahwa seharusnya permohonan PK oleh Istri Sudjiono Timan tidak dapat diterima. Dalam bagian ini secara khusus saya akan $% Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI menyoroti bagaimana dissenting opinion beliau. Berikut saya kutip kembali pendapat dari Hakim Agung Sri Murwahyuni: Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah meninggal dunia; Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara; Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan; Dari pendapat tersebut walaupun pada akhirnya beliau menyatakan bahwa hak ahli waris untuk mengajukan PK demi kepentingan Terpidana hanya dapat diajukan jika Terpidana telah meninggal dunia namun sayangnya pendapat tersebut tidak disertai bantahan atas penafsiran yang diajukan mayoritas anggota majelis, atau setidaknya pendapat yang dapat menggambarkan mengapa beliau tidak setuju dengan penafsiran majelis mayoritas tersebut. Akan sangat menarik dan akan memperkaya perkembangan hukum tentu jika beliau memberikan setidaknya sedikit pendapat misalnya bagaimana posisinya atas penfasiran M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip pertimbangan dari Majelis mayoritas. Selain itu pendapat beliau pada bagian akhir menimbulkan kerancuan, apakah alasan beliau sebenarnya berpendapat bahwa secara formal permohonan tidak dapat diterima disebabkan karena pemohon belum memiliki legal standing untuk mengajukan PK karena Terpidana belum meninggal atau sebenarnya dikarenakan Terpidana melarikan diri? Kejelasan mengenai hal ini penting, karena dalam pendapat terakhir beliau dapat ditafsirkan jika Terpidana melarikan diri, maka hak ahli waris walaupun Terpidana telah meninggal dunia tetap harus dinyatakan tidak dapat diterima. $& Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI 5. Kesimpulan Dari uraian di atas saya berkesimpulan: a. Pendapat Mahkamah Agung dalam putusan No. 97 PK/Pid.Sus/2012 khususnya pedapat majelis mayoritas yang menafsirkan bahwa hak atau legal standing (calon) ahli waris telah ada walaupun Terpidana (calon Pewaris) masih hidup belum disertai dengan argumentasi yang cukup memadai. Majelis mengambil kesimpulan yang melompat (jumping to conclusion) ketika menarik kesimpulan dari pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa hak ahli waris dalam Pasal 263 ayat (1) adalah hak orisinil bukan hak substitusi bahwa dengan demikian maka berarti ahli waris memiliki legal standing untuk mengajukan PK walaupun Terpidana belum meninggal. b. Ketika menyatakan bahwa ahli waris dapat mengajukan PK walaupun Terpidana masih hidup majelis secara tidak langsung telah mempersamakan makna Ahli Waris dengan Keluarga yang mana kedua istilah tersebut dipergunakan dalam KUHAP. Dipergunakannya dua istilah tersebut dalam KUHAP sangat mungkin memang dimaksudkan memiliki makna yang berbeda, sayangnya dalam putusan ini Majelis tidak berupaya untuk menggali kemungkinan tersebut. c. Mengingat penafsiran mengenai legal standing Istri untuk mengajukan PK saat Terpidana belum meninggal dunia belum didasari oleh argumentasi yang cukup serta mengingat penafsiran tersebut belum mengelaborasi alasan mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda yaitu “Keluarga” dan “Ahli Waris” dalam ketentuan yang berbeda, maka menurut penulis pendapat Majelis mayoritas dalam putusan ini belum cukup dasar untuk dikemudian hari dipandang sebagai yurisprudensi. $'