Modul
Workshop
Analisis
Putusan
Pengadilan
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
BAB I
Pendahuluan
!
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara hukum, yaitu negara yang menegakkan supremasi hukum
untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.1 Hal tersebut menjadi landasan bagi setiap cabang kekuasaan negara
dalam menjalankan wewenangnya, termasuk cabang kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang
memegang kekuasaan menjalankan fungsi negara di bidang peradilan. Dalam konteks peradilan,
setiap produk yang dikerjakan dan dihasilkan oleh lembaga pengadilan harus dilandasi pada nilainilai kebenaran dan keadilan serta harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Artinya, putusan majelis hakim di persidangan harus mampu mencerminkan penerapan hukum
yang adil kepada masyarakat.
Fungsi penting putusan pengadilan dapat ditelusuri sejarahnya salah satunya dengan
melihat dokumen Rencana Pembangunan 1993. Dokumen ini menyiratkan bahwa putusan
pengadilan memiliki peran dalam mengembangkan hukum substantif. Hukum substantif harus
dikembangkan, dengan memperkokoh fungsi pembuatan hukum peradilan dan meningkatkan
kedudukan serta peran yurisprudensi sebagai sumber hukum, juga memperluas peredaran
yurisprudensi agar tidak hanya terbatas di pengadilan, tetapi juga menjangkau berbagai profesi
hukum yang lain, perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa
efek legal putusan pengadilan diharapkan tidak hanya menjangkau pada pihak-pihak yang
berperkara (polisi, advokat, jaksa, dan hakim), tetapi juga keluar gedung pengadilan dan benarbenar memberi sumbangan bagi pembangunan hukum.
Dalam hubungannya dengan perguruan tinggi, putusan pengadilan juga memiliki nilai
akademis yang sangat penting bagi perkembangan hukum di Indonesia. Kalangan civitas
academica, baik dosen atau mahasiswa, dalam kegiatan sehari-hari terikat dengan tanggung
jawab akademis yaitu tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat). Hal ini tentunya menjadikan peran kampus sangat penting di dalam komunitas
hukum. Tidak hanya sebagai lembaga pendidikan atau belajar mengajar, tapi kampus dituntut
untuk bisa menghadirkan solusi atas berbagai permasalahan hukum kepada masyarakat melalui
kegiatan-kegiatan riset yang berbasis akademis. Dalam kaitannya dengan upaya tersebut, salah
satu yang bisa dilakukan kampus adalah dengan melakukan kegiatan pemanfaatan putusan.
Ketika era reformasi berlangsung, Mahkamah Agung selaku institusi peradilan mulai
melakukan perubahan. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah melakukan keterbukaan
terhadap akses informasi mengenai pengadilan kepada masyarakat umum. Sejalan dengan hal
tersebut, pada cetak biru pembaruan peradilan MA 2003, Mahkamah Agung mencanangkan
inisiatif pembaruan di bidang transparansi dengan program Penerbitan Putusan MA. Selanjutnya
pada tahun 2007 Mahkamah Agung telah mengeluarkan SK KMA No: 144/KMA/SK/I/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan yang kemudian dicabut dan diperbaharui melalui
1
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR
RI, Jakarta, 2010, hlm, 46.
"
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
SK KMA No: 1-144/KMA/SK/I/2011 yang menambahkan lebih terperinci petunjuk pelaksanaan
keterbukaan informasi di pengadilan.
Sebelum era reformasi ini, akses untuk mendapatkan putusan-putusan pengadilan sangat
dibatasi terutama di era demokrasi terpimpin dan era orde baru. Sebagai gambaran ketertutupan
akses pada putusan, pada tahun 1990 Mahkamah Agung memutus hampir delapan ribu perkara
dan hanya lima puluh delapan atau sekitar 0.6 persen diantaranya yang diterbitkan di dalam
bunga rampai yurisprudensi, Yurisprudensi Indonesia. 2 Terbatasnya akses tentu saja akan sangat
menghalangi publik untuk mengawasi kerja pengadilan, karena lebih dari 99% perkara saat itu
disingkirkan dan dengan demikian hasil-hasilnya sangat dikaburkan.3
Untuk mendorong partisipasi publik, Mahkamah Agung dalam 10 tahun terakhir telah
mencatatkan prestasi untuk memasukan putusan ke dalam situs website dalam rangka
keterbukaan informasi publik. Bahkan, MA disebut-sebut memegang rekor dunia untuk urusan
publikasi putusan. Dengan rata-rata 20.000-25.000 putusan yang diunggah perbulan, pada akhir
tahun 2013 Mahkamah Agung telah membuka akses terhadap 685.272 putusan kepada
masyarakat melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung.4
Dengan adanya keterbukaan akses terhadap putusan, maka masyarakat dapat mengetahui
bagaimana penerapan hukum dan argumentasi yang digunakan dalam penyelesaian suatu perkara
atau isu hukum tertentu. Akses ini memberikan peluang bagi publik untuk memanfaatkan
informasi dan data yang terdapat di dalam putusan-putusan tersebut. Misalnya, dalam hal
pemidanaan suatu jenis perkara tertentu, publik seperti kampus dan komunitas hukum lainnya
bisa melihat sejauh mana Mahkamah Agung berperan dalam menjaga kesatuan hukum dan
mempersempit jurang disparitas dalam pemidanaan suatu perkara sehingga dapat memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat. Atau, bagi mahasiswa, pemanfaatan putusan dibutuhkan untuk
melihat penerapan ketentuan hukum tertentu dalam kaitannya dengan penyusunan tugas akhir
atau skripsi. Hal-hal tersebut ini bisa ditelusuri dengan menganalisis putusan-putusan Mahkamah
Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal ini, MaPPI FHUI sebagai lembaga penelitian dan advokasi di bidang
pemantauan peradilan memiliki kepedulian untuk mendorong terciptanya peradilan yang bersih
dan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Salah satu
program pemantauan yang dilakukan MaPPI adalah dengan melakukan analisis terhadap putusanputusan pengadilan yang memiliki isu hukum yang menarik. Analisis putusan ini tentunya
berguna sebagai bahan riset lanjutan, bahan pembelajaran, atau sebagai kontrol/pengawasan
publik terhadap kinerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, dan pengacara) di persidangan.
2
Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 615.
3
Ibid, hal. 616.
4
Per 20 Januari 2014, jumlah total putusan yang sudah diunggah melalui Direktori Putusan MA sudah
mencapai 697.432 putusan. Lihat http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/kegiatan/768-catatan-akhir-tahuninilah-pengadilan-juara-publikasi-putusan-di-tahun-2013.html, diakses pada 20 Januari 2014.
#
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Oleh karena itu, MaPPI mencoba untuk menggalakkan kembali aktivitas pemanfaatan putusan,
salah satunya melalui analisis putusan, dengan memberikan Workshop Analisis Putusan
Pengadilan kepada mahasiswa/i fakultas hukum.
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan ini bertujuan untuk membantu para peserta
workshop dan pengguna modul ini untuk dapat memahami konteks pemanfaatan putusan
pengadilan yang saat ini terus digulirkan. Lebih khusus lagi, dalam hal analisis putusan
pengadilan, modul ini diharapkan dapat memberikan panduan dalam menguji kesesuaian putusan
pengadilan dengan ketentuan hukum positif yang berlaku. Harapannya modul ini dapat menjadi
pemicu agar civitas academica dapat mengoptimalisasikan akses keterbukaan informasi yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Kegiatan Analisis Putusan Pengadilan untuk menjadi
bahan diskursus, bahan riset, atau bahan pembelajaran di lingkungan kampus.
$
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
BAB II
Agenda Pembaruan di
Bidang Putusan Pengadilan
%
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Agenda Pembaruan di Bidang Putusan Pengadilan
Reformasi hukum di bidang yudisial di Indonesia, diawali dengan diubahnya UU No. 14
Tahun 1970 dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka semua peradilan
di Indonesia dijadikan satu atap dengan Mahkamah Agung RI, untuk mewujudkan peradilan yang
merdeka, bebas dari intervensi serta campur tangan dari eksekutif/penguasa, legislatif serta
lembaga-lembaga lainnya. Wacana penyatuan atap organisasi Mahkamah Agung sebenarnya
sudah dimulai sejak 1992. Ketua Mahkamah Agung saat itu, Purwoto Gandasubrata, meminta
kepada DPR agar administrasi pengadilan dipindahkan dari Departemen Kehakiman ke
Mahkamah Agung.5 Dalm hal ini, yang dimaksud dengan peradilan satu atap adalah pengalihan
kewenangan untuk mengelola administrasi, finansial, dan organisasi badan peradilan yang
sebelumnya merupakan kewenangan departemen terkait menjadi kewenangan Mahkamah Agung
secara mandiri.6
Proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial lembaga peradilan yang
sebelumnya di bawah kontrol pemerintah, diawali dengan lahirnya Ketetapan MPR No.X Tahun
1998 yang menetapkan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif.
Ketetapan ini kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999.
Pelembagaan konsep satu atap Mahkamah Agung juga disinggung dalam Cetak Biru Pembaruan
Peradilan 2003 yang menyebutkan bahwa sistem dua atap yang berlaku saat itu menjadi salah
satu penyebab ketidakmandirian pengadilan dama menjalankan tugas dan fungsinya.7 Selanjutnya
dengan UU No. 35 Tahun 1999, konsep satu atap dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.
14 Tahun 1985 tentang MA. Realisasi pengalihan tersebut dituangkan dalam Keppres No. 21
Tahun 2004. Sistem peradilan satu atap ini menjadi titik tolak dalam pembaruan peradilan menuju
badan peradilan yang independen dan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari
keadilan terhadap hukum.
Namun demikian, perubahan penyatuan atap pada Mahkamah Agung memiliki dampak
yang lebih daripada sekedar menggabungkan infrastruktur serta fungsi dan kewenangan
Direktorat Jenderal Badan Peradilan - Departemen terkait ke dalam kesatuan struktur organisasi
MA. Perlu ada langkah-langkah selanjutnya untuk menindaklanjuti era satu atap independensi
tersebut agar pembaruan peradilan benar-benar terealisasi.
Sebelumnya pada tahun 2003, Mahkamah Agung juga menyusun Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung RI yang merupakan dokumen preskriptif yang bertujuan untuk menyusun
secara sistematis rekomendasi atas permasalahan-permasalahan badan peradilan dalam
5
Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 208.
6
Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Departemen yang dimaksudkan disini adalah Departemen
Kehakiman untuk Peradilan Umum, Departemen Agama untuk Peradilan Agama, dan Departemen Pertahanan
dan Keamanan untuk Peradilan Militer.
7
Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2003, hal. 52.
&
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
mewujudkan visi dan misinya. Cetak biru ini kemudian disempurnakan pada Cetak Biru
(blueprint) Pembaruan Peradilan 2010-2035 guna mempertajam arah dan langkah dalam
mencapai cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh.
Dokumen Cetak Biru Pembaruan Peradilan disusun dengan melihat pada evaluasi
pelaksanaan agenda-agenda pembaruan yang telah berjalan sebelumnya, baik berdasarkan
ketentuan-ketentuan normatif yang mengatur tentang badan peradilan dan berdasarkan praktek
bagaimana ketentuan-ketentuan tersebut berjalan pada realitasnya (normatif dan empiris).
Berdasarkan evaluasi tersebut, penyusunan Cetak Biru Pembaruan Peradilan berhasil
merumuskan visi serta misi yang akan dicapai dalam 25 (dua puluh lima) tahun mendatang.
“Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung” adalah visi Mahkamah Agung yang akan menjadi
arah dan tujuan bagi setiap pengembangan program dan kegiatan yang dilakukan di area-area
fungsi teknis dan pendukung serta fungsi akuntabilitas.
Khusus mengenai pemanfaatan putusan pengadilan pada dasarnya merupakan bagian dari
Arahan Pembaruan Manajemen Perkara dan Arahan Pembaruan Sistem Keterbukaan Informasi
pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010. Dalam dokumen cetak biru pembaruan peradilan,
transparansi putusan merupakan salah satu tahapan dalam penyempurnaan manajemen perkara
melalui modernisasi manajemen perkara. Modernisasi manajemen perkara dibagi ke dalam 3
bagian yang dilakukan secara bertahap, yaitu keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan,
modernisasi business process dan pelayanan publik, dan pelayanan hukum terintegrasi.
Bagian pertama mengenai keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan menjadi prioritas
utama dalam modernisasi manajemen perkara. Tahapan ini bertujuan untuk menyediakan akses
informasi dalam kaitannya dengan putusan pengadilan. Selain itu juga dilakukan upaya untuk
mengintegrasikan data tentang aktivitas pengadilan ke dalam satu database terpusat dalam rangka
menyempurnakan sistem pelaporan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan manajemen
strategis.8 Selain itu, dalam hal transparansi, kewajiban penyelenggaraan segala urusan publik
secara transparan diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sebelumnya, MA telah mendorong transparansi peradilan sebagai pelaksanaan mandat Cetak
Biru tahun 2003 dengan mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA No. 144 Tahun 2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan yang sudah diperbaharui dengan SK KMA No. 1-144/
KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan.
Sebelumnya, akses untuk mendapatkan putusan merupakan hal yang sangat sulit
didapatkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan buruknya sistem kearsipan yang dimiliki oleh
pengadilan. Dahulu, sistem pengarsipan dan pendistribusian putusan masih merupakan hal yang
langka dan asing bagi pengadilan. Hal ini membuat berbagai kalangan kesuliatan dalam
mengakses putusan-putusan pengadilan. Belum lagi dengan sikap tertutup hakim dan pegawai
pengadilan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan akses terhadap putusan. Sikap tersebut
disebabkan tidak jelasnya fungsi putusan pengadilan dalam sistem hukum Indonesia.
Ketidakjelasan ini membuat putusan pengadilan terkesan eksklusif dan hanya terbatas bagi
kalangan di lingkungan pengadilan dan pihak yang berperkara, tetapi tidak menjangkau berbagai
8
Lihat, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, hal. 36.
'
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
profesi hukum yang lain (perguruan tinggi, maupun masyarakat pada umumnya) serta seakan
tidak memiliki tempat dalam pembangunan hukum nasional.
Tidak adanya akses pada, dan tidak memadainya, penerbitan putusan pengadilan secara
fundamental akan berdampak pada pembuatan hukum melalui putusan-putusan Mahkamah
Agung dalam dua hal, mengurangi dampak putusan MA pada pembangunan hukum dan
mengurangi nilai preseden atau nilai prediktif suatu putusan betapapun sedikitnya putusan yang
bisa diakses dan diterbitkan.9 Kondisi tersebut diperparah dengan seleksi perkara untuk
penerbitan yang dilakukan sesuai selera dan tidak mencerminkan apa yang terjadi Mahkamah
Agung bahkan para hakim penyeleksi saat itu terkenal suka mengedit putusan-putusan, sampai
dengan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, yang akan diterbitkan agar sesuai dengan
pandangan mereka sendiri tentang ketepatan hukum.10
Saat ini, Pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010, Kebijakan transparansi melalui
pemberian akses informasi pengadilan diarahkan untuk mencapai dua hal, yaitu: (1) memenuhi
kebutuhan masyarakat pencari keadilan; dan (2) mewujudkan akuntabilitas badan peradilan
dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, keterbukaan informasi
tidak hanya sekedar menjalankan ketentuan tentang keterbukaan informasi dan memberikan akses
informasi kepada masyarakat, tetapi juga menjadi wahana bagi pengadilan sebagai sebuah
organisasi yang terus menerus belajar, berkembang, dan mengikuti tuntutan zaman. Dengan kata
lain, pengadilan juga akan memperoleh manfaat karena baik pemanfaatan informasi merupakan
pengawasan masyarakat terhadap kinerja pengadilan dan dapat dijadikan masukan untuk terus
menerus memperbaiki kinerjanya.
9
Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 615.
10
Ibid.
(
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
BAB III
Signifikansi Pemanfaatan Putusan
Pengadilan oleh Komunitas Hukum
)
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Signifikansi Pemanfaatan Putusan Pengadilan oleh Komunitas Hukum
Tradisi civil law yang diwarisi oleh Indonesia dari Belanda seolah tidak menjadikan
putusan pengadilan sebagai dokumen penting dalam pembangunan hukum di negeri ini. Hal ini
bermula dari pemahaman yang tidak tepat mengenai kekuatan mengikat putusan pengadilan
dalam tradisi civil law dimana hal tersebut sekedar dipahami mengikat bagi para pihak dalam
perkara aquo, bukan untuk masyarakat pada umumnya. Selain itu, kondisi tersebut diperparah
dengan kegagalan komunitas hukum untuk memberikan definisi dan menentukan kriteria bagi
putusan-putusan yang dapat disebut sebagai “yurisprudensi” 11 yang selanjutnya menggulirkan
pertanyaan mendasar, yaitu: “apakah putusan pengadilan masih dianggap sebagai sumber hukum
bagi Indonesia?”
Satu tesis yang selalu dijadikan tameng oleh kalangan yang beranggapan demikian adalah
bahwa di dalam tradisi civil law, yang menjadi sumber hukum utama adalah peraturan
perundang-undangan sehingga keberadaannya harus diutamakan dibandingkan sumber hukum
lainnya, tak terkecuali yurisprudensi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pembangunan hukum
harus dilakukan di wilayah legislatif dan putusan pengadilan tidak memiliki fungsi untuk
membentuk hukum karena semua pengaturan mengenai suatu hal tertentu telah selesai di level
perundang-undangan. Dengan mendasarkan pada argumentasi tersebut, bisa dikatakan bahwa
tradisi civil law memberikan putusan pengadilan otoritas yang relatif lemah sejak awal, yang akan
segera kita pahami.
Perbedaan antara stare decicis dan yurisprudensi telah kehilangan ketajamannya selama
abad kedua puluh.12 Sebagaimana dampak dari kekuatan undang-undang yang kian mendorong
sistem Anglo-Amerika ke arah civil law 13, sebaliknya pengadilan-pengadilan civil law justru
mulai makin mirip dengan pengadilan Anglo-Amerika. Bagaimanapun juga, peran pengadilan
dalam sistem civil law berubah dengan cepat dalam lima puluh tahun terakhir, ketika
kekhawatiran dan keberatan terhadap tirani yudisial sirna dan tergantikan oleh keprihatinan
terhadap semakin menguatnya kekuasaan pemerintah. Dalam prosesnya, kekuatan yurisprudensi
meningkat melampaui hambatan-hambatan historis dan dogmatisnya, dan nyaris mendekati
kekuatan preseden dalam sistem Anglo-Amerika. Jika putusan-putusan pengadilan Anglo11
Rujukan yang ajeg pada “yurisprudensi” dalam dokumen kebijakan dan teks Indonesia adalah
indikasi utama bahwa sistem hukum Indonesia masih tertancap kokoh dalam sistem civil law Belanda. Istilah
“yurisprudensi” sesungguhnya mengacu pada putusan-putusan pengadilan civil law mengikuti makna filsafat
hukum Perancis, bukan Anglo-Amerika. Sebastiaan Pompe, Runtuhnya Institutsi Mahkamah Agung, (Jakarta:
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 605.
12
Dalam análisis politik otoritatifnya tentang sistem yudisial, Shapiro melangkah sedemikian jauh
dengan menyatakan bahwa kualifikasi hukum Anglo-Amerika sebagai hukum yang bersumber dari putusan
(case law) dan sistem civil law sebagai hukum terkodifikasi, yang sekarang ini sudah “tidak tepat secara
fundamental”. Ibid.
13
Ini bahkan mencapai suatu titik dimana hakim agung Amerika Serikat baru-baru ini
mengkualifikasikan sistem hukum Amerika Serikat sebagai “civil” tersendiri. Ibid.
!*
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Amerika mempunyai “kekuatan mengikat”, putusan pengadilan civil law memperoleh “kekuatan
persuasif” yang sebetulnya tidak kalah kuat. Memang dalam sistem civil law yang beragam dan
hierarkis, kekuatan mengikat ini lebih melekat pada Mahkamah Agung daripada putusan
pengadilan-pengadilan tingkat bawah, tetapi hal ini tidak terlalu penting.14
Otoritas putusan-putusan civil law nyaris mendekati model preseden yang mengikat dari
tradisi Anglo-Amerika. Hal ini terlihat pada saat Mahkamah Agung memberikan putusan yang
identik dalam serangkaian perkara -yang biasa disebut sebagai “yurisprudensi tetap”. Demikianla
apabila dalam sistem civil law sebuah putusan yang dianggap sebagai yurisprudensi dapat
mempunyai otoritas persuasif yang besar, maka serangkaian putusan yang konsisten mengenai
suatu permasalahan hukum tertentu dapat dipandang mengikat. Konsistensi ini ditopang oleh
fakta bahwa pengadilan tertinggi di berbagai negara yang menganut sistem civil law dalam
beberapa dekade telah mengacu pada putusan mereka sendiri dan demikian telah menciptakan
“sebuah aturan tetap” atau “yurisprudensi tetap”. Hal mana dapat dikatakan bertentangan dengan
doktrin dan praktik awal civil law. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan di kebanyakan negaranegara civil law mempunyai dampak pembuatan hukum yang menjangkau di luar pihak-pihak
yang berperkara. Dengan demikian, perbedaan antara stare decisis Anglo-Amerika dan
yurisprudensi civil law harus dilihat, dengan memperhatikan nuansa-nuansa yang subtil, sebagai
area abu-abu dan bukan sekedar hitam dan putih. 15
Meski demikian, banyak ahli hukum yang terus menegaskan bahwa putusan pengadilan
telah menyempurnakan undang-undang, tetapi tidak punya kapasitas membuat undang-undang.
Bahkan, doktrin civil law kadang-kadang mampu mengakomodasi peningkatan otoritas
yurisprudensi dalam praktik, kalau bukan dalam teori, sekalipun jika diperlukan harus dengan
upaya khusus. Dengan demikian, walaupun doktrin civil law, pada hakikatnya, tidak akan
mengakui kekuatan “yurisprudensi tetap” sebagai sumber hukum tersendiri, namun doktrin ini
memberinya otoritas mengikat lewat pintu kebiasaan. Misalnya, walaupun menganggap bahwa
tidak ada rangkaian putusan pengadilan yang bisa dikatakan mengikat, tetapi pada kenyataannya
terdapat garis konsisten yang memunculkan “kebiasaan”, yang oleh sistem ini diakui sebagai
sumber hukum. 16
Selain itu, perlu dipahami bahwa Indonesia mewarisi tradisi civil law Belanda, bukan
Perancis, dan, sebagaimana sudah diketahui sebelumnya, Belanda tidak terbebani oleh ketakutan
Perancis dalam sejarah terhadap tirani yudisial; mereka justru mempunyai sejarah yurisprudensi
14
Ibid.
15
Bisa ditambahkan bahwa konsep “preseden mengikat” umumnya kelewat disederhanakan.
Penyederhaan berlebihan ini terutama menyangkal praktik yang lazim berlaku di mana hakim berhasil
menghindari preseden yang bisa memaksa mereka menghadapi hasil-hasil yang tidak diinginkan. Sebagaimana
dikatakan John Merryman, “Semua orang tahu bahwa pengadilan-pengadilan civil law sesungguhnya
menggunakan preseden. Semua orang tahu bahwa pengadilan-pengadilan common law menyampingkan
perkara-perkara yang tidak mau mereka ikuti, dan kadang-kadang menyangkal putusan-putusan mereka
sendiri.” John H. Merryman sebagaimana dikutip oleh Pompe, ibid., hal. 606-607.
16
Ibid.
!!
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
yang panjang dan sangat efektif dan pula terhormat. Walaupun sangat terpengaruh oleh logika
pemisahan kekuasaan, Belanda tidak pernah mendorong sistemnya menuju ke titik-titik ekstrem
doktrinal, dan sistem hukum mereka tetap lebih terbuka untuk pembuatan hukum di ranah
yudisial. Bahkan, sistem kasasi tidak pernah dicangkokkan utuh di Belanda; tidak seperti Cour de
Cassation Perancis, maka Hoge Raad Belanda dalam berbagai kesempatan, benar-benar bisa
memutus perkara pada tingkat banding final tanpa kewajiban mengirim kembali putusan yang
bersangkutan. Ini memberi peluang pembuatan hukum yang lebih besar pada putusan-putusan
Mahkamah Agung sejak dari awal mula. Dalam hal ini, Mahkamah Agung tidak ragu-ragu
menggunakan peluang itu.17
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya putusan pengadilan merupakan
sumber hukum yang memainkan peran penting dalam proses pembangunan hukum di suatu
negara, bahkan bagi negara yang memiliki tradisi civil law. Akan tetapi, pengadilan berikut hakim
yang menjalankan kekuasaan kehakiman di dalamnya tidak dapat melakukan pembangunan
hukum dengan sendirinya, kecuali komunitas hukum terus secara aktif dan masif membudayakan
proses diskursus hukum berbasis putusan tersebut yang berujung pada pembangunan hukum yang
responsif.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh komunitas hukum dalam menjalankan fungsi
tersebut. Dengan begitu terbukanya pengadilan18 -yang jelas berbeda dengan apa yang terjadi
pada masa orde baru19-, komunitas hukum seperti akademisi, advokat, jaksa, polisi, hakim, dan
pemerhati hukum dapat menggunakan data-data yang terdapat dalam putusan sebagai bagian dari
diskursus dalam proses pembangunan hukum di Indonesia.
Akademisi, misalnya, dapat memberikan pengaruh pada proses pembuatan hukum
melalui berbagai kajian-kajian akademik yang disusunnya. Putusan-putusan yang dipublikasikan
oleh pengadilan dapat dikaji untuk melihat apakah hakim, jaksa, polisi, dan advokat telah
menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan teori yang berkembang
terhadap suatu bidang hukum tertentu. Selain itu, akademisi dapat mengembangkan suatu sistem
manajemen pengetahuan berbasis putusan yang dapat diejahwantahkan dalam berbagai bentuk
seperti penyusunan indeks putusan, penerbitan bahan ajar dengan menggunakan putusan-putusan
17
Ibid, hal. 609-610.
18
Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Direktori Putusan Mahkamah Agung per tanggal 20
Januari 2014, jumlah putusan yang diunggah oleh Mahkamah Agung berjumlah 600 ribuan putusan.
19
Sebagai contoh, pada tahun 1990, Mahkamah Agung memutus hampir delapan ribu perkara, namun
hanya lima puluh delapan atau sekitar 0.6 persen di antaranya yang diterbitkan dalam bunga rampai
yurisprudensi, Yurisprudensi Indonesia. Tidak adanya akses pada, dan tidak memadainya, penerbitan putusan
pengadilan secara fundamental akan berdampak pada pembuatan hukum dalam putusan-putusan Mahkamah
Agung, khususnya pada berkurangnya dampak putusan-putusan Mahkamah Agung dalam pembuatan hukum
dan berkurangnya nilai preseden atau nilai prediktif suatu putusan, betatapun sedikirnya putusan yang bisa
diakses dan diterbitkan. Ibid., hal.615-616.
!"
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
pengadilan sebagai bahan utama penyusunannya, dan sebagainya. Dengan menggunakan mediamedia demikian, diskursus hukum tidak hanya akan berjalan dalam tataran teoretis, namun akan
jauh lebih memadukan antara perkembangan teori dengan realita yang terjadi di lapangan.
Menjadi suatu hal yang akan jauh lebih bermanfaat terlebih jika dibandingkan dengan diskursus
yang terjadi pada hari ini dimana akademisi jarang melihat putusan dan menggunakannya dalam
perkuliahan maupun forum-forum akademik lainnya. Kalaupun ada, hal ini tersebut diperparah
dengan tetap menggunakan putusan-putusan usang sebagai contoh dalam setiap penyampaian
materi, seperti kasus cerobong asap yang masih setia digunakan dalam diktat-diktat perkuliahan
dan penggunaan Putusan Pengadilan Tinggi di Colmar, Perancis, tertanggal 2 Mei 1855 tersebut
menunjukkan stagnansi pengajaran hukum di Indonesia.20
Advokat, polisi, jaksa, dan bahkan hakim dapat mengembangkan metode pemanfaatan
putusan yang serupa untuk kepentingan masing-masing institusi. Jaksa dan advokat dapat
mengembangkan indeks putusan untuk kepentingan penuntutan dan pembelaan dalam proses
persidangan. Dengan melihat secara utuh pertimbangan maupun amar yang diambil oleh majelis
hakim dalam suatu perkara, akan terlihat bagaimana posisi pengadilan dalam menyikapi suatu
masalah hukum tertentu dan hal ini dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan dokumendokumen hukum yang diperlukan untuk kepentingan penuntutan dan pembelaan dalam proses
persidangan. Polisi pun juga dapat menggunakan hal yang sama dalam proses penyelidikan dan
penyidikan.
Bagi hakim, tersusunnya suatu sistem yang demikian akan memudahkan mereka untuk
mencari putusan-putusan terdahulu mengenai suatu permasalahan hukum yang sama. Jika
memang sudah terbentuk budaya diskursus dan sistem yang demikian, hakim dapat dengan
mudahnya melihat penerapan hukum pada suatu permasalahan hukum dan putusan-putusan
pengadilan akan memiliki nilai preseden atau nilai prediktabilitas sekaligus akan memperkuat
dampak putusan Mahkamah Agung dalam pembangunan hukum, yang sejalan dengan fungsi
menjaga kesatuan penerapan hukum yang selama ini dimiliki (namun belum terlaksana dengan
baik) oleh Mahkamah Agung.
Dampak lain yang dapat diberikan oleh aktifitas pemanfaatan putusan semacam ini oleh
komunitas hukum adalah dengan sendirinya akan memaksa pengadilan untuk terus meningkatkan
kualitas dan kapabilitasnya dalam menangani suatu perkara. Hal ini dimungkinkan karena seluruh
pemangku kepentingan terkait terus melihat putusan dan akan menganalisis pertimbangan majelis
hakim dalam putusan sehingga muncul mekanisme peer review dari masing-masing anggota
komunitas hukum dan hal ini akan berakibat pada meningkatnya kualitas diskursus hukum yang
tentu akan menghasilkan pembangunan hukum yang optimal.
20
Yura Pratama dan Elsa Marliana, Penggunaan Data Putusan Pengadilan dalam Diskursus Ilmu Hukum
di Fakultas Hukum dalam Buletin Fiat Justitia MaPPI FHUI, Vol. I, Nomor 4, November 2013, hal. 16.
!#
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
BAB IV
Pemahaman tentang
Putusan Pengadilan
!$
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Pemahaman tentang Putusan Pengadilan
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Demikian definisi kekuasaan kehakiman yang
dikonstruksikan oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang kemudian dipertegas melalui Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan menambahkan frase “demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia” di belakang definisi tersebut. Dalam bahasa yang lebih sederhana,
tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia akan terlihat dari penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh
Mahkamah Konstitusi.21
Perlu dipahami bahwa dalam melaksanakan mandat di atas, kedua lembaga tersebut
bergantung pada sosok hakim (dan hakim konstitusi) yang mengejahwantahkan hukum dan
keadilan melalui putusan yang diucapkan dalam kasus-kasus yang ditanganinya. Putusan-putusan
hakim inilah yang pada akhirnya akan mencerminkan penerapan dan penegakan hukum dan
keadilan seperti yang dicita-citakan oleh UUD NRI Tahun 1945 di atas.
Berkaitan dengan hal tersebut, Prof. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan putusan
sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan
di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa
antara para pihak.22 Hal ini dapat dipahami mengingat tujuan dari diadakannya suatu proses di
muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim23 dan oleh karena itu, hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat24 melalui suatu proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan.25
Pada prinsipnya, putusan pengadilan harus disusun sedemikian rupa sehingga memuat
alasan dan dasar putusan, serta pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.26 Selain itu,
21
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI Tahun 1945,
Pasal 24 ayat (2).
22
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 158.
23
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 48.
24
Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009, LN Nomor 157 Tahun
2009, TLN Nomor 5076, Pasal 5 ayat (1).
25
Ibid., Pasal 4 ayat (2).
26
Ibid., Pasal 50 ayat (1).
!%
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
putusan pengadilan tidak boleh melebihi dari apa yang diminta oleh para pihak27 dan hanya sah
dan mempunyai kekuatan hukum apabila pada persidangan yang terbuka untuk umum.28
1) !
Jenis-Jenis Putusan
Putusan pengadilan dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sesuai dengan kategori yang
dipilih seperti yang tercantum di bawah ini:29
a.!
Berdasarkan Lingkungan Peradilan
Dalam kategori yang pertama, putusan dapat dibedakan berdasarkan lingkungan peradilan
yang menangani perkara tersebut. Terhadap hal ini, putusan dapat dibedakan menjadi:
i.!
Putusan Perkara Pidana
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara
pidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 30 sebagai
ketentuan utama dalam penyusunannya.
ii.!
Putusan Perkara Perdata
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara
perdata dengan HIR, Rbg, dan Rv sebagai ketentuan utama dalam penyusunannya.
27
Larangan ini ditemukan dalam peradilan perdata, agama, dan tata usaha negara yang dinamakan
sebagai ultra petitum partium dan ditegaskan di dalam Pasal 178 ayat (3) Herzienne Indonesisch Reglement
(HIR), Pasal 189 ayat (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg), dan Pasal 50 Reglemet op de
Burgerlijk Rechtsvordering (Rv).
Rasionalitas dari munculnya larangan tersebut adalah tujuan dilaksanakannya peradilan perdata yaitu
semata-mata untuk menyelesaikan sengketa antara dua pihak sehingga kepentingan yang dilindungi adalah
kepentingan para pihak yang kemudian mengakbatkan hakim bersifat pasif dimana hanya memutus perkara
berdasarkan hal yang diminta oleh para pihak.
Sementara itu, Mahkamah Agung dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa dimungkinkan
mengabulkan gugatan yang melebihi permintaan sepanjang masih dalam kerangka yang serasi dengan inti
gugatan atau masih sesuai dengan kejadian materiil. Hal ini terkait dengan putusan yang didasarkan pada
petitum subsidair yang berbentuk ex aequo et bono. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian sangat
kasuistik. Akan tetapi, dalam hal gugatan mencantumkan petitum primair dan subsidair secara terperinci satu
persatu, maka hakim hanya dibenarkan memilih salah satu diantaranya, apakah mengabulkan seluruh atau
sebagian petitum primair atau subsidair. Baca Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 802.
28
Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, op.cit., Pasal 13 ayat (2).
29
Dimungkinkan dilakukan pengklasifikasian putusan berdasarkan kategori di luar dari apa yang ditulis
dalam modul ini.
30
KUHAP merupakan penyebutan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor 76 Tahun
1981, TLN Nomor 3258, Pasal 285.
!&
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
b.!
iii.!
Putusan Perkara Agama
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara
agama. Putusan dalam perkara agama mengikuti putusan perkara perdata dengan
beberapa modifikasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama.
iv.!
Putusan Perkara Tata Usaha Negara
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara tata
usaha negara. Putusan dalam perkara tata usaha negara mengikuti putusan perkara
perdata dengan beberapa modifikasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
v.!
Putusan Perkara Militer
Merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim yang menangani perkara
pidana militer dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer sebagai ketentuan utama dalam penyusunannya.
Berdasarkan Tahapan Persidangan
Dalam kategori ini, putusan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu putusan sela dan putusan
akhir.
i.!
31
Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim, namun belum
menyinggung pokok perkara yang terdapat dalam dakwaan/gugatan. Dalam perkara
pidana, putusan sela berkaitan dengan pengajuan keberatan dari Terdakwa/Penasihat
Hukumnya mengenai kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara, dakwaan
tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.31 Pada sisi lainnya, di
Ibid., Pasal 156 ayat (1).
!'
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
dalam perkara perdata, putusan sela dapat berupa putusan preparatoir,32 putusan
interlocutoir,33 putusan incidenteel,34 dan putusan provisioneel. 35
ii.!
Putusan Akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim setelah
memeriksa pokok perkara dengan memperhatikan fakta-fakta yang terjadi di
persidangan. Putusan yang lazim disebut sebagai end vonis ini dapat dibedakan
32
Putusan preparatoir merupakan salah satu spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela, yang
dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan ini
adalah tidak mempengaruhi pokok perkara itu sendiri. Misalnya, putusan yang menetapkan bahwa gugatan balik
(gugatan dalam rekonvensi) tidak akan diputus bersama- sama dengan gugatan dalam konvensi, atau sebelum
hakim memulai pemeriksaan, terlebih dahulu menjatuhkan putusan tentang tahap-tahap proses atau jadwal
persidangan. Umpamanya pembatasan tahap jawab-menjawab atau replik-duplik dan tahap pembuktian. Akan
tetapi, dalam praktik hal ini jarang terjadi. Proses pemeriksaan berjalan dan berlangsung sesuai dengan
kebijakan hakim, yaitu dengan memperhitungkan tenggang pemunduran persidangan oleh hakim tanpa lebih
dahulu ditentukan tahap-tahapnya. Heikhal A. S. Pane, Penerapan Uitvoerbaar bij Voorraad dalam Putusan
Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama (Studi Kasus: Putusan Perkara Perdata Register Nomor: 89/PDT.G/
2005/PN.TNG), Skripsi, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 20.
33
Putusan interlocutoir merupakan bentuk khusus putusan sela yang dapat berisi bermacam-macam
perintah yang menyangkut masalah pembuktian, sehingga putusan ini dapat berpengaruh terhadap pokok
perkara, atau dengan kata lain putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir, antara lain:
I. Putusan yang memerintahkan pendengaran keterangan ahli berdasarkan Pasal 154 HIR. Dalam hal hakim
secara ex officio maupun atas permintaan salah satu piha menganggap perlu mendengar pendapat ahli yang
kompeten menjelaskan hal yang belum terang tentang masalah yang disengketakan
II. Putusan yang memeriksaan setempat, berdasarkan Pasal 153 HIR. Dalam hal hakim berpendapat atau atas
permintaan salah satu pihak, perlu dilakukan pemeriksaan setempat maka pelaksanaannya dilakukan oleh
Hakim Komisaris dan Panitera. Akan tetapi, pasal ini ditiadakan oleh karena sekarang Pengadilan Negeri
hanya terdiri dari seorang hakim.5 Namun, berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2001 pemeriksaan setempat
ini tetap dapat dilakukan oleh hakim atau majelis hakim yang menangani perkara dengan dibantu oleh
Panitera Pengganti
III. Putusan yang memerintahkan pengucapan atau pengangkatan sumpah baik sumpah penentu atau sumpah
tambahan berdasarkan Pasal 155 HIR dan Pasal 1929 KUHPerdata
IV. Putusan yang memerintahkan pemanggilan saksi berdasarkan Pasal 139 HIR, yakni saksi yang diperlukan
penggugat atau tergugat, tetapi tidak dapat menghadirkannya berdasarkan Pasal 121 HIR., pihak yang
berkepentingan dapat meminta kepada hakim agar saksi tersebut dipanggil secara resmi oleh juru sita; da
V. Dapat juga putusan yang memerintahkan pemeriksaan pembukuan perusahaan yang bersengketa oleh
akuntan publik yang independen.
Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Heikhal A. S. Pane, ibid., hal. 21.
34
Putusan incidenteel adalah salah satu jenis putusan sela yang berhubungan dengan adanya incident,
yang diartikan dalam Rv. sebagai peristiwa atau kejadian yang menunda jalannya proses pemeriksaan perkara.
Putusan incidenteel dapat dibedakan menjadi putusan incidenteel dalam gugatan intervensi yang terbagi menjadi
voeging, tussenkomst, dan vrijwaring dan putusan incidenteel dalam sita jaminan (conservatoir beslag). Yahya
Harahap sebagaimana dikutip oleh Heikhal A. S. Pane, ibid., hal. 22-23.
35
Putusan provisioneel atau disebut juga provisioneel beschikking, yakni keputusan yang bersifat
sementara, diatur dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg. Putusan ini berisi tindakan sementara menunggu
sampai putusan akhir mengenai pokok perkara dijatuhkan. Ibid., hal. 23.
!(
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
dalam perkara pidana dan militer pada satu sisi dan perkara perdata, agama, dan tata
usaha negara pada sisi lainnya, yang secara lengkap adalah sebagai berikut:
c.!
a)!
Putusan Akhir dalam Perkara Pidana dan Militer
Dalam perkara pidana dan militer, putusan akhir dapat berupa putusan yang
bersifat pemidanaan dan putusan yang bukan bersifat pemidanaan, yang terdiri
dari bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
b)!
Putusan akhir dalam Perkara Perdata, Agama, dan Tata Usaha Negara
Dalam perkara perdata, agama, dan tata usaha negara, putusan akhir dapat
dibedakan menjadi putusan yang bersifat declaratoir,36 condemnatoir,37 dan
constitutief.38
Berdasarkan Amar Putusan pada tingkat pemeriksaan di Mahkamah Agung
Dalam kategori ini, putusan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
i.!
Putusan Kabul
Putusan kabul merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim dalam hal
permohonan kasasi/peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon kasasi/
pemohon peninjauan kembali sesuai dengan syarat-syarat dan alasan-alasan
pengajuan kasasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam putusan kabul, pada praktiknya, majelis hakim pada kasasi atau peninjauan
kembali dapat menyepakati putusan yang diucapkan oleh pengadilan di bawahnya
atau mengadili sendiri dengan perbaikan pada pertimbangan maupun amar putusan
pengadilan tersebut.
36
Putusan declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang menyatakan atau
menegaskan tentang suatu keadaan atau kedudukan yang sah menurut hukum semata-mata. Misalnya, tentang
kedudukan sebagai anak sah, kedudukan sebagai ahli waris, atau tentang pengangkatan anak. Ibid., hal. 29.
37
Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang bersifat
menghukum. Bentuk hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam
perkara perdata, bentuk hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau memenuhi prestasi yang
dibebankan kepada pihak yang terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi, berbuat, atau tidak
berbuat. Ibid., hal. 30-31.
38
Putusan constitutief adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang amarnya menciptakan suatu
keadaan hukum yang baru, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan
keadaan hukum baru. Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni
tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang
ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami dan istri, yaitu sebagai janda dan
duda. Ibid., hal. 30.
!)
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
ii.!
Putusan Tidak Dapat Diterima/Niet Ontvankelijk Verklaard (N.O)
Putusan tidak dapat diterima atau yang biasa disebut putusan N.O merupakan
putusan yang diucapkan oleh majelis hakim apabila pengajuan permohonan kasasi
atau peninjauan kembali tidak memenuhi syarat-syarat formil pengajuannya seperti
melewati jangka waktu permohonan kasasi atau permohonan kembali, gugatan yang
diajukan kurang pihak, prematur, dan sebagainya.
iii.!
Putusan Tolak
Putusan tolak merupakan putusan yang diucapkan oleh majelis hakim apabila
permohonan kasasi atau peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon kasasi atau
pemohon peninjauan kembali tidak memiliki alasan yang kuat untuk membuktikan
kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim pada tingkat
pemeriksaan sebelumnya. Terkadang, dalam praktiknya, majelis hakim dapat
menolak permohonan dengan memperbaiki pertimbangan maupun amar putusan
pengadilan di bawahnya.
2) !
Struktur Putusan
Pembahasan mengenai struktur putusan dimulai dengan membedakan penyusunan
putusan pada masing-masing tingkat pemeriksaan. Dalam arti, struktur putusan yang disusun
pada tingkat pengadilan negeri akan berbeda dengan struktur putusan pada pengadilan tinggi,
demikian juga pada tingkat pemeriksaan di Mahkamah Agung.
Sebagaimana diketahui bersama, tingkat pemeriksaan pada suatu proses persidangan
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu judex factie39 dan judex jurist40 . Oleh karena itu, struktur
putusan yang dikembangkan oleh masing-masing pengadilan akan berbeda, yang tentu harus
kembali dikaitkan dengan jenis perkara yang sedang ditangani.
Berikut adalah struktur putusan yang dipakai oleh pengadilan Indonesia dalam menangani
suatu perkara, yang terdiri dari:
39
Judex factie diartikan sebagai pemeriksaan fakta oleh pengadilan dimana majelis hakim hanya akan
mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi dalam proses persidangan dan menariknya ke dalam pertimbangan
putusan sebelum menentukan amar yang akan dijatuhkan dalam perkara tersebut. Dalam konteks sistem
peradilan Indonesia, pemeriksaan judex factie dijalankan oleh pengadilan negeri/pengadilan agama/pengadilan
tata usaha negara/pengadilan militer dan pengadilan tinggi/pengadilan tinggi agama/pengadilan tinggi tata usaha
negara/pengadilan tinggi militer.
40
Judex jurist diartikan sebagai pemeriksaan penerapan hukum oleh Mahkamah Agung dalam perkara
kasasi dan peninjauan kembali. Dalam hal ini, Mahkamah Agung tidak akan mempermasalahkan dan
mempertimbangkan kembali mengenai fakta-fakta yang terjadi selama proses persidangan di pengadilan negeri
dan/atau pengadilan tinggi, namun majelis hakim hanya akan melihat apakah judex factie menerapkan hukum
sebagaimana mestinya atau tidak.
"*
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
a.!
Putusan pada Pengadilan Negeri
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, struktur putusan pada pengadilan negeri akan berbeda
untuk jenis perkara tertentu, seperti putusan perkara pidana akan berbeda dengan perkara
perdata.
i.!
Putusan Perkara Pidana
Dalam perkara pidana, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut:
• Kepala Putusan
• Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
• Nomor register perkara pada pengadilan negeri;
• Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara;
• Identitas Terdakwa;
• Riwayat Penangkapan dan/atau Penahanan;
• Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
• Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
• Pertimbangan hakim;
• Pendapat yang berbeda/dissenting opinion (jika ada);
• Hal-hal yang memberatkan dan meringankan;
• Amar putusan;
• Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama penuntut
umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera pengganti.
ii.!
Putusan Perkara Perdata
Dalam perkara perdata, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut:
• Kepala Putusan
• Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
• Nomor register perkara pada pengadilan negeri;
• Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara;
• Identitas Para Pihak;
• Gugatan;
• Jawaban;
• Replik, Duplik, dan/atau Gugatan Rekonvensi (jika ada)
• Pertimbangan hakim;
• Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada;
• Amar putusan;
• Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim
yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti.
"!
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
b.!
Putusan pada Pengadilan Tinggi
Seperti halnya pada pengadilan negeri, struktur putusan pada pengadilan tinggi juga
mengikuti jenis perkara yang sedang ditangani dan dapat dibedakan menjadi:
i.!
Putusan Perkara Pidana
Dalam perkara pidana, struktur putusan pengadilan tinggi adalah sebagai berikut:
• Kepala Putusan
• Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
• Nomor register perkara pada pengadilan tinggi;
• Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara;
• Identitas Terdakwa;
• Riwayat Penangkapan dan/atau Penahanan;
• Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
• Tuntutan sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
• Amar putusan Pengadilan Negeri;
• Riwayat pengajuan permintaan banding;
• Memori banding dan/atau kontra memori banding (jika ada)
• Pertimbangan hakim;
• Hal-hal yang memberatkan dan meringankan;
• Pendapat yang berbeda/dissenting opinion (jika ada);
• Amar putusan;
• Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama penuntut
umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera pengganti.
ii.!
Putusan Perkara Perdata
Dalam perkara perdata, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut:
• Kepala Putusan
• Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
• Nomor register perkara pada pengadilan tinggi;
• Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara;
• Identitas Para Pihak;
• Amar putusan Pengadilan Negeri;
• Riwayat pengajuan permintaan banding;
• Pertimbangan hakim;
• Amar putusan;
• Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada;
• Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim
yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti.
""
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
c.!
Putusan pada Mahkamah Agung
Seperti halnya pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, struktur putusan pada
Mahkamah Agung juga mengikuti jenis perkara yang sedang ditangani. Dalam modul ini
hanya akan dibahas struktur putusan untuk jenis perkara pidana umum dan perdata umum.
i.!
Putusan Perkara Pidana Umum
Dalam perkara pidana umum, struktur putusan Mahkamah Agung adalah sebagai
berikut:
• Kepala Putusan
• Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
• Nomor register perkara pada Mahkamah Agung;
• Mahkamah Agung yang memeriksa perkara;
• Identitas Terdakwa;
• Riwayat Penangkapan dan/atau Penahanan;
• Pengadilan Negeri asal;
• Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
• Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
• Amar putusan Pengadilan Negeri;
• Amar putusan Pengadilan Tinggi (jika ada);
• Amar putusan Mahkamah Agung untuk pemeriksaan kasasi (untuk perkara
peninjauan kembali);
• Riwayat pengajuan permohonan kasasi atau peninjauan kembali
• Alasan-alasan kasasi atau peninjauan kembali;
• Pertimbangan Mahkamah Agung;
• Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada;
• Amar putusan;
• Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim
yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti.
ii.!
Putusan Perkara Perdata
Dalam perkara perdata, struktur putusan pengadilan negeri adalah sebagai berikut:
• Kepala Putusan
• Irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
• Nomor register perkara pada Mahkamah Agung;
• Mahkamah Agung yang memeriksa perkara;
• Identitas Para Pihak;
• Riwayat perkara pada Pengadilan Negeri;
• Gugatan;
• Jawaban;
"#
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Replik, Duplik, dan/atau Gugatan Rekonvensi (jika ada);
Amar putusan Pengadilan Negeri;
Amar putusan Pengadilan Tinggi (jika ada);
Amar putusan Mahkamah Agung untuk pemeriksaan kasasi (untuk perkara
peninjauan kembali)
Riwayat pengajuan permohonan kasasi atau peninjauan kembali;
Alasan-alasan kasasi atau peninjauan kembali;
Pertimbangan hakim;
Pendapat yang berbeda/dissenting opinion jika ada;
Amar putusan;
Penutup putusan, yang terdiri dari hari dan tanggal putusan, nama hakim
yang memutus, nama para pihak, dan nama panitera pengganti.
"$
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
LAMPIRAN
Contoh 1: Justifikasi Kasus
(85 K/PID.SUS/2012)
"%
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
CONTOH I JUSTIFIKASI KASUS
Justifikasi Pemilihan Kasus (85 K/PID.SUS/2012)
1) Informasi Perkara
1. Indentitas Terdakwa
Nama Lengkap!: Hidayat bin H. Abu Mukmin;
Tempat Lahir! !
: Rikit Gaib;
Umur/Tanggal Lahir! : 37 Tahun/ 13 Desember 1973;
Jenis Kelamin !!
: Laki-laki;
Kebangsaan!
: Indonesia;
!
Tempat Tinggal!
!
!
!
: Jalan Blangkejeren-Takengon Desa Kuta Lintang,
Kec. Blangkejeren, Kab. Gayo Luwes;
Agama!
!
: Islam;
Pekerjaan !
!
: Swasta;
2. Kronologi kasus
Kejadian diperkirakan terjadi pada bulan Oktober di tahun 2009 bertempat di Jalan Datok
Sere No. 2 Blangkejeren Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Gayo Luwes, dimana terdakwa bernama Hidayat bin H. Abu Mukmin diduga melakukan
perbuatan melawan hukum (tindak pidana korupsi) dengan cara memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Pada tahun 2009 tersebut, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Gayo Luwes menyelenggarakan kegiatan pengadaan barang dan jasa berupa
kegiatan pengadaan note book dengan pagu anggaran sebesar Rp. 2.250.000.000 (Dua
Milyar Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) yang bersumner dari dana APBA Tahun 2009,
menunjang pelaksanaan kegiatan tersebut pada tanggal 18 Juni 2009 Drs. Syamsul Bahri
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dan juga selaku kuasa pengguna
anggaran mengeluarkan SK Nomor : 800/627/DIKPORA/2009 tentang Penunjukan/
Pengangkatan Panitian Pengadaan Barang/Jasa yang diketuai oleh saksi Drs. Ahmad dan
beranggotakan saksi Makrub Kasri, saksi Hariyanto, S.E. dan saksi Zulfahmi Akib, S.T.
Kemudian tanggal 16 September 2009 panitia pengadaan barang/jasa tersebut
mengumumkan pelelangan/tender pekerjaan tersebut di Harian Serambi dengan salah satu
poin ketentuan di dalam Adendum Dokumen Lelang Nomor : 16/PAN-DIKPORA/
OTSUS/2009 tanggal 05 Oktober 2009 yaitu “bagi penawar yang bukan Agen/Distributor
untuk paket pengadaan note book dan LCD/infokus harus memiliki dukungan yang
dikeluarkan Agen/Distributor”. Terdakwa Hidayan bin H. Abu Mukmin yang mengetahui
pelelangan tersebut menginginkan untuk memasuki pendaftaran, akan tetapi perusahaan
yang Terdakwa miliki tidak memiliki sub bidang usaha yang dimintakan dalam
"&
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
pendaftaran, terdakwa lalu menghubungi saksi Mastani selaku pemilik CV. Listrik Karya
untuk mengikuti pendaftaran. Namun terdakwa baru mendapatkan surat kuasa dari Saksi
Mastani pada 31 Oktober 2009 dengan Surat Kuasa Nomor: 102 yang dibuat dan
ditandatangani di hadapan Notaris Sarlinawati, S.H. di Kutacane.
Terdakwa Hidayat bin H. Abu Mukmin secara melawan hukum pada tanggal 05 Oktober
2009 meminta Saksi Metti yang merupakan pemilik Toko Asia Komputer yang terletak di
Medan untuk memberikan surat dukungan buat CV. Listrik Karya mengikuti lelang/tender
kegiatan note book sedangkan terdakwa belum mendapatkan kuasa Direktur dari CV.
Listrik Karya dan juga Terdakwa tahu bahwa Toko Asia Computer bukanlah merupakan
agen/distributor akan tetapi terdakwa tetap melampirkan di dalam salah satu berkas
penawaran CV. Listrik Karya.
Setelah dilakukan evaluasi oleh panitia pengadaan barang/jasa terhadap 6 perusahan yang
mengikuti lelang/tender, diusulkanlah pemenangnya oleh panitia lelang/tender yaitu CV.
Listrik Karya dengan nilai terkoreksi penawaran sebesar Rp. 2.115.000.000 (Dua Milyar
Seratus Lima Belas Juta Rupiah) untuk pengadaan note book sebanyak 150 unit yang
spesifikasi yang tertera di dalam dokumen kontrak yang tidak dapat dipisahkan. Didalam
pelaksanaannya oleh Terdakwa Hidayat bin H. Abu Mukmin membeli barang (note book)
tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi atau tanpa adanya adendum tentang Perubahan
Spesifikasi Barang tersebut yaitu tipe prosesor note book yang dibeli Terdakwa adalah
tipe T6600 seharga 1 unit sebesar Rp 9.500.000 (Sembilan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
sedangkan menurut kontrak adalah T6570 seharga Rp. 14.100.000 (Empat Belas Juta
Seratus Ribu Rupiah). Sehingga perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan
hukum yaitu Pasal 29 ayat 1 butir c Kepres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan
Barang/Jasa yang mengatakan bahwa “hak dan kewajiban para pihak terikat di dalam
perjanjian”, dan akibat perbuatan Terdakwa menyediakan barang tidak sesuai dengan
spesifikasi di dalam kontrak negara dirugikan sebesar Rp. 478.500.000 (Empat Ratus
Tujuh Puluh Delapan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
Terdakwa diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Blangkejeren (Nomor Register
Perkara : 18/Pid.B/2011/PN.BKJ. dengan dakwaan:
Primair : Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Lebih Subsidair : Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
3. Para Pihak
a. Pengadilan Negeri Blangkejeren (18/Pid.B/2011/PN.BKJ.)
"'
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
b. Mahkamah Agung
Majelis Hakim!
!
: Djoko Sarwoko, S.H., M.H. (Ketua Majelis)
!
!
!
: H. Syamsul Rakan Chaniago, S.H., M.H.
!
!
!
: Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H.
Panitera Pengganti!: Djuyamto, S.H.
2) Alasan Pemilihan Kasus
a. Tindak pidana korupsi yang dituntut pada terdakwa Hidayat bin H. Abu Mukmin
diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Blangkejeren dengan salah satu pertimbangan
putusannya yang menggunakan ajaran sifat melawan hukum materil dalam arti
negatif, yaitu suatu perbuatan meskipun oleh peraturan perundang-undangan
merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat
perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah
perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai
definisi/atau batasan makna mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam arti negatif.
b. Tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan sepantasnya
menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi dapat diputus bebas dengan pertimbangan adanya sifat melawan hukum
materil negatif dalam tindak pidana korupsi tersebut. Bagaimana bisa suatu tindak
pidana korupsi dinilai sebagai suatu perbuatan yang tidak melawan hukum,
mengingat di satu sisi penegakan hukum bagi tindak pidana korupsi sedang giatgiatnya ditegakkan.
c. Penggunaan ajaran sifat melawan hukum materil secara negatif dalam kasus ini dapat
mendorong potensi terjadinya pembenaran oleh para pelaku tindak pidana korupsi
yang dapat merangsang berkembangnya tindak pidana korupsi di negeri ini (Lode van
Outrive menyebutkan sebagai asas legislation as a corrupt-tiongenic factor).
Putusan dapat diunduh di:
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/6e756f9860041497b2f92c65d4c00983
"(
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
LAMPIRAN
Contoh 2: Justifikasi Kasus
(221/Pid.B/2006/PN.DPS
dan 1638 K/Pid/2007)
")
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
CONTOH II JUSTIFIKASI KASUS
Justifikasi Pemilihan Kasus (221/Pid.B/2006/PN.DPS dan 1638 K/Pid/2007)
1) Informasi Perkara
1.
Identitas Terdakwa
a)
Terdakwa I
Nama Lengkap!
:! Drs. I Nengah Sumardika, M.Si.
Tempat Lahir!
:! Nyuhtebel, Karangasem.
Umur/Tanggal Lahir!
:! 41 tahun/29 Desember 1965
Jenis Kelamin!
:! Laki-Laki
Kebangsaan!
:! Indonesia
Alamat!
:! Br. Tengah, Desa Nyuhtebel, Kec. Manggis,
Kabupaten Karangasem
Agama!
:! Hindu
Pekerjaan!
:! Wiraswasta/Mantan Anggota DPRD Tahun 1999
s/d 2004.
Pendidikan!
:! S-2 Kajian Budaya
!(Terdakwa dalam perkara ini berjumlah 14 orang. Namun untuk mempermudah
penulisan, identitas terdakwa yang lain tidak dituliskan.)
2.
Ringkasan Perkara
Perkara yang akan dianalisis adalah kasus tindakan yang secara melawan hukum
telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang didakwakan kepada
14 (empat belas) orang Anggota DPRD Propinsi Bali yang bersama-sama telah
menyusun, merumuskan, dan membahas serta menerima realisasi jenis
penghasilan DPRD Propinsi Bali pada Tunjangan Kesejahteraan, bersama-sama
menjadi peserta Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Denpasar, dan
bersama-sama menyusun dan merumuskan dan/atau menetapkan besarnya Biaya
Penunjang Kegiatan.
Kasus ini bermula ketika para terdakwa selaku Anggota Panitia Anggaran DPRD
Propinsi Bali memiliki tugas dan kewajiban untuk menentukan kebijaksanaan
kerumah tanggaan dan anggaran belanja DPRD. Apabila diperlukan dapat
mendengarkan pendapat Sekretaris DPRD.
#*
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Antara bulan Oktober – Nopember 2002, para terdakwa telah mengadakan rapat
Panitia Anggaran untuk menyusun, merumuskan serta membahas anggaran
belanja DRPD Propinsi Bali dan Sekretariat Dewan Propinsi bali untuk Tahun
Anggaran 2003 dimana dalam rapat tersebut oleh Sekretaris Dewan telah
disiapkan RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) sebagai acuan dalam
penyusunan anggarann DPRD dan Sekretariat Dewan kemudian dalam APBD
Tahun Anggarang 2003. Dalam rapat tersebut para terdakwa tidak mengajukan
keberatan atau penolakan atas item-item anggaran yang tidak diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
Ditentukan bahwa untuk biaya pemeliharaan kesehatan dan pengobatan kepada
Pimpinan dan anggota DPRD diberikan tunjangan kesehatan yang diberikan
dalam bentuk Jaminan asuransi, sehingga tidak ada pembayaran tunai dari
Anggaran Tunjangan Kesejahteraan. Akan tetapi realisasi tunjangan kesehatan
diterima para terdakwa dalam bentuk pembayaran.
Kemudian perjanjian dengan Asuransi Bumi Putera tentang asuransi kesehatan
dianggarkan sampai tahun 2004 dengan pembebanan biaya pada APBD 2002,
APBD 2003 dan APBD 2004 padahal APBD Tahun Anggaran 2003 dan 2004
belum ditetapkan. Tindakan para terdakwa telah mengakibatkan pengeluaran atas
beban APBD yakni membebani APBD dengan pembayaran premi Asuransi Jiwa
padahal dalam APBD tahun anggaran 2004 tidak tersedia anggaran untuk
Asuransi Jiwa. Kemudian pada masa akhir jabatan terdakwa, uang pertanggungan
Asuransi Jiwa seharusnya dikembalikan ke Kas Daerah Propinsi bali, tetapi hal
tersebut tidak dilaksanakan oleh terdakwa namun mereka nikmati sendiri
Akibat perbuatan para terdakwa sebagai Anggota Panitia Anggaran DPRD
Propinsi Bali tahun Anggaran 2002 s/d 2004 bersama-sama dengna Panitia
Anggaran lainnya dan Ketua DRPD Propinsi Bali selaku Ketua Panitia Anggaran
DRPD Propinsi Bali mengakibatkan kerugian keuangan Negara dan atau kerugian
keuangan Pemerintah Daerah Propinsi Bali Tahun Anggaran 2003 dan 2004.
Para terdakwa diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar (Nomor
Register Perkara: 221/Pid.B/2006/PN.DPS) dengan surat dakwaan sebagai
berikut:
Primair!
:! Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal
64 ayat (1) KUHP
Subsidair! :! Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP.
Dalam putusan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 27
September 2006, para Terdakwa dinyatakan terbukti telah melakukan perbuatan
#!
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
seperti yang didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan Para
terdakwa tersebut tidak merupakan suatu tindak pidanan. Oleh karenanya, Majelis
Hakim melepaskan Para Terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onstlag Van
Rechtvervolging).
Terhadap putusan di atas, Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 10 Oktober
2006, namun ditolak oleh Majelis Hakim yang menangani perkara dengan nomor
register 1638 K/Pid/2007.
3.
Pihak yang Terlibat
a. Pengadilan Negeri Denpasar (221/Pid.B/2006/PN.DPS)
b. Mahkamah Agung (1638 K/Pid/2007)
Majelis Hakim!
:!
Dr. H. Parman Soeparman, S.H., M.H. (Ketua)
!
!
Djoko Sarwoko, S.H., M.H.
!
!
H. Imam Haryafi, S.H.
Panitera Pengganti!
:!
Torowa Daeli, S.H., M.H.
2) Alasan Pemilihan Kasus
Yang menjadi alasan pemilihan kasus di atas sebagai putusan yang akan dianotasi adalah
sebagai berikut:
1. Pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri melepaskan para terdakwa adalah perkara
ini merupakan tindakan administratif, sehingga lebih tepat apabila diproses pada ranah
administratif.
2. Kasus ini juga dapat menunjukkan sejauh mana pidana bisa masuk dalam ranah
administratif.
#"
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
LAMPIRAN
Contoh 3: Analisis Putusan
(97 PK/Pid.Sus/2012)
##
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
CONTOH ANALISIS PUTUSAN
Hak Calon Ahli Waris dalam Pengajuan Peninjauan Kembali
Catatan Atas Putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan Terpidana Sudjiono Timan
oleh Arsil, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
a. Pengantar
Dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali Agung Sudjiono Timan oleh Mahkamah
beberapa waktu yang lalu cukup menghebohkan publik. Tak kurang selama lebih dari seminggu
berturut-turut putusan tersebut menjadi headline beberapa media nasional terkemuka. Tak hanya
itu beberapa mantan Ketua Mahkamah Agung dan mantan Hakim Agung pun turut memberikan
komentar atas putusan tersebut, suatu hal yang cukup jarang terjadi dimana mantan Ketua
Mahkamah Agung memberikan komentar atas putusan dari Mahkamah Agung terlebih dengan
nada kritik yang cukup keras. Kritikan keras juga datang dari Hakim Agung aktif, bahkan Hakim
Agung aktif tersebut menyatakan bahwa putusan PK yang diputuskan oleh koleganya tersebut
batal demi hukum, dan menyarankan Jaksa Agung untuk mengajukan PK atas putusan PK
tersebut.
Beberapa hal yang membuat putusan PK tersebut (yang saat itu salinan putusannya belum terbit)
menjadi heboh adalah karena Sudjiono Timan sendiri saat itu (dan hingga kini) masih dalam
status buron. Kedua, permohonan PK diajukan oleh Istri Sudjiono Timan dimana dalam Pasal 263
ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa selain Terpidana yang dapat mengajukan PK adalah Ahli
Waris, sementara dalam kasus ini diduga Sudjiono Timan masih hidup sehingga menurut
sebagian pihak pemohon seharusnya belum dapat dikategorikan sebagai ahli waris. Ketiga,
seperti biasa, perkara ini adalah perkara korupsi. Sudah bukan menjadi hal yang aneh jika tiap
putusan yang pada akhirnya membebaskan atau melepaskan (onslag van alle rechtsvervolging)
akan membuat kehebohan tersendiri di negeri ini.
Sudjiono Timan sendiri adalah terpidana kasus korupsi dengan dugaan nilai korupsi yang cukup
besar, yaitu berkisar lebih dari 500 milyar rupiah dengan nilai rupiah pada tahun 1995-1997. Pada
saat itu ia adalah Direktur Utama PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (BPUI), sebuah BUMN
yang bergerak dibidang pengembangan sektor riil melalui pembiayaan kepada Usaha Mikro,
Kecil, Menegah dan Koperasi.41 Pada tahun 2002 ia didakwa melakukan korupsi saat menjabat
sebagai Dirut PT BPUI tersebut.
Di tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu memutus perbuatan yang
didakwakan Jaksa/Penuntut Umum terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak
pidana, sehingga Sudjiono Timan dinyatakan lepas dari segala tuntutan (Onslag van alle
rechtsvervolging). Putusan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi
!
41 http://www.bahana.co.id/bpui/
#$
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
pada tahun 2003 dan dinyatakan Sudjiono Timan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan
dijatuhi penjara selama 15 tahun dan denda Rp 50 juta serta uang pengganti sebesar $98 juta dan
Rp +/- 370 milyar. Namun belum sempat putusan tersebut dieksekusi ia kemudian melarikan diri.
Sembilan tahun kemudian, tahun 2012 istri Sudjiono Timan mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali atas putusan Kasasi tersebut, dan kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan
nomor putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 dengan putusan yang serupa dengan putusan di tingkat
pertama, yaitu menyatakan Sudjiono Timan lepas dari segala tuntutan. Putusan PK tersebut tidak
bulat, 1 orang anggota majelis, yaitu Sri Murwahyuni memiliki pendapat yang berbeda
(dissenting), menurutnya secara formil seharusnya permohonan PK yang diajukan oleh Istri
Terpidana tersebut tidak dapat diterima.
Banyak aspek hukum yang menarik untuk dikaji dalam putusan PK Sudjiono Timan ini, baik
pada aspek formil maupun materil. Namun dalam kajian ini saya hanya akan membatasi analisa
pada satu masalah dalam aspek formil putusan ini, yaitu alasan diterimanya permohonan PK yang
diajukan oleh istri Sudjiono Timan.
b. Permasalahan Hukum
Secara ringkas permasalahan hukum terkait aspek formil dalam putusan ini adalah sebagai
berikut:
Dalam pasal 263 Ayat (1) KUHAP disebutkan “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada
Mahkamah Agung”.
Atas ketentuan tersebut yang menjadi pokok permasalahan adalah:
•
Apa yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam ketentuan tersebut, apakah pengertian ahli
waris dalam konteks ini merujuk pada hubungan antara Pewaris-Ahli Waris sebagaimana
diatur dalam hukum perdata?
•
Apakah hak untuk mengajukan PK bagi (para) ahli waris baru timbul jika Terpidana
(pewaris) telah meninggal dunia atau tidak?
1. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung tentang Sah Tidaknya Permohonan PK oleh
Istri Terpidana
Pertimbangan hukum MA tentang sah tidaknya permohonan PK yang diajukan oleh Istri
terpidana dimana terpidana sendiri belum meninggal dunia terdapat dalam halaman 160-162
putusan 97 PK/Pid.Sus/2012 ini (versi online).
Berikut kutipan pertimbangan hukum tersebut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
#%
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono Timan yang dalam
kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan permintaan Peninjauan kembali
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
-
Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak
mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya;
-
Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono
Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan
perceraian (vide Akte Perkawinan No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991);
-
Bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris”
dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut;
-
Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah
sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari
Suaminya;
-
Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut
dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda
Terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang
mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula
untuk mengajukan Peninjauan kembali;
-
Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara
lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali
bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal
dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada
mereka demi untuk kepentingan Terpidana;
-
Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, SH. tersebut, baik Terpidana
maupun Ahli Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan
Peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau
tidak ; lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara
Terpidana dengan Ahli Waris;
-
Bahwa Isteri/Ahli Waris Terpidana selaku Pemohon Peninjauan kembali yang
didampingi oleh Kuasa Hukumnya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan
kembali pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara
Persidangan masing-masing tanggal 20 Februari 2012 dan tanggal 29 Februari
2012;
#&
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Bahwa dengan demikian, permintaan Peninjauan kembali Pemohon secara formil
dapat diterima”
Sementara itu pendapat berbeda dari hakim agung Sri Murwahyuni terkait permasalahan sah
tidak nya permohonan Istri Terpidana terdapat pada halaman 165-166. Berikut kutipan lengkap
dissenting opinion tersebut:
Bahwa permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo
secara formal tidak dapat diterima, dengan alasan :
-
Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana ;
-
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan
permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli
Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah
meninggal dunia ;
-
Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah
meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk
menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434
K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun
karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara ;
-
Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara
kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau
dilaksanakan;
2. Analisa
Dari pendapat hukum majelis PK (mayoritas) maka dapat ditarik beberapa poin utama mengapa
menurut Majelis PK permohonan yang diajukan oleh Istri Terpidana saat terpidana masih hidup
secara formal dapat diterima. Poin-poin tersebut yaitu:
1. Bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Ahli Waris sebagaimana
disebut dalam Pasal 263 Ayat (1);
2. Bahwa pengertian Ahli Waris dalam Pasal 263 (1) bukan dalam pengertian waris mewaris
atas harta benda Terpidana, melainkan ditujukan pada orang-orang yang mempunyai
kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan PK;
3. Menurut M. Yahya Harahap hak PK Ahli Waris bukan lah hak substitusi dari Terpidana
setelah terpidana meninggal, melainkan hak orisinal demi kepentingan Terpidana;
4. Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap tersebut maka tanpa Terpidana dan Ahli
Warisnya sama-sama dapat mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah Terpidana telah
meninggal atau tidak.
#'
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Argumentasi Majelis PK di atas menurut saya mengandung beberapa kelemahan dan
permasalahan. Kelemahan dan permasalahan tersebut yaitu:
1. Kesimpulan yang Melompat atas Pendapat M. Yahya Harahap
Memang benar di dalam KUHAP tidak terdapat pejelasan apa yang dimaksud dengan
Ahli Waris, oleh karena itu maka dibutuhkan suatu penafsiran hukum atas masalah ini.
Akan tetapi terlihat bahwa dalam melakukan penafsiran hukum tersebut Majelis PK
melakukan lompatan konklusi/kesimpulan (jumping to conclusion). Lompatan
kesimpulan ini terlihat ketika Majelis PK mengutip pendapat M. Yahya Harahap yang
menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan PK bukanlah hak substitusi namun
merupakan hak orisinil. Dari pendapat ini Majelis PK kemudian langsung mengambil
kesimpulan bahwa dengan demikian maka berarti baik terpidana maupun Ahli Warisnya
sama-sama memiliki hak untuk mengajukan PK tanpa mempersoalkan apakah terpidana
masih hidup atau tidak.
Ada beberapa alasan mengapa menurut saya kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan
yang melompat. Pertama, M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Majelis sebenarnya
tidak sedang membahas apa yang dimaksud dengan Ahli Waris dalam konteks Pasal 263
(1) tersebut, namun seperti terlihat dari kutipan tersebut beliau sedang membahas apakah
hak pengajuan PK oleh Ahli Waris diperoleh dari hak substitusi yang diberikan oleh
terpidana (pewaris) atau bukan (hak orisinil). Jika jawabannya adalah yang pertama,
maka berarti Ahli Waris hanya dapat mengajukan PK jika Terpidana sebelumnya
memberikan kuasa kepadanya untuk mengajukan PK. Sementara itu jika ia adalah hak
orisinil, maka Ahli Waris dapat mengajukan PK terlepas dari apakah sebelumnya
Terpidana memberikan kuasa kepadanya (ahli waris/para ahli waris) untuk mengajukan
PK atau tidak. Atas permasalahan ini maka M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hak
Ahli Waris untuk mengajukan PK bukan lah hak substitusi namun hak orisinil.
Pendapat M. Yahya Harahap tersebut sebenarnya memiliki relevansi serta sejalan dengan
pertimbangan Majelis PK dipoint sebelumnya, yang menyatakan bahwa Ahli Waris yang
dimaksud dalam Pasal 263 (1) ini bukanlah dalam pengertian waris-mewaris harta benda
(atau hak –penulis) namun ditujukan untuk pada orang-orang (selain Terpidana itu
sendiri) yang mempunyai hak untuk mengajukan PK juga. Mengapa demikian? Jika
penggunaan kata “ahli waris” dalam Pasal 263 (1) tersebut dimaksudkan dalam
pengertian waris-mewaris harta benda (atau suatu hak), maka perpindahan hak tersebut
akan terjadi sesuai dengan hukum pewarisan, yang artinya tidak semua ahli waris akan
memperoleh hak PK yang sebelumnya ada pada Terpidana tersebut namun hanya ahli
waris yang memang secara khusus memperoleh/diwarisi hak tersebut saja. Atau, jika hak
tersebut tidak diberikan pada salah seorang ahli waris namun pada beberapa ahli waris,
maka masing-masing ahli waris tidak dapat menggunakan hak PK tersebut kecuali
dengan persetujuan para ahli waris yang juga memperoleh hak tersebut. Atas kerumitan
ini maka Majelis PK sangat tepat ketika menyatakan bahwa konteks penggunaan kata
‘Ahli Waris’ tidak lah dimaksudkan dalam pengertian waris mewaris, namun untuk
#(
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
menunjukan pihak-pihak mana saja selain terpidana yang (akan) memiliki hak untuk
mengajukan PK.
Dari permasalahan di atas maka tentu apa yang dimaksud dengan ‘ahli waris’ dalam Pasal 263
ayat (1) ini khususnya dalam kaitannya dengan pertanyaan apakah hak PK dari (para) ahli waris
baru dapat digunakan setelah Terpidana meninggal atau dapat digunakan saat Terpidana masih
hidup belum lah terjawab. Oleh karenanya ketika Majelis PK menyimpulkan bahwa Ahli Waris
dapat mengajukan PK sebelum Terpidana meninggal adalah kesimpulan yang melompat (jumping
to conclusion) atau setidaknya belum memiliki basis argumentasi yang kuat.
2.
Pengaburan Perbedaan Makna “Keluarga” dan “Ahli Waris”
Kedua, Majelis PK mengaburkan adanya perbedaan antara “keluarga” dan “Ahli Waris”
padahal dalam KUHAP kedua istilah tersebut sama-sama digunakan dalam beberapa
ketentuan yang berbeda. Jika dilihat lebih komperhensif sebenarnya KUHAP
menggunakan dua istilah/term yang berbeda dalam beberapa ketentuannya terkait
pemberian suatu hak kepada pihak selain Terpidana itu sendiri, yang bisa jadi
penggunaan istilah yang berbeda tersebut memiliki arti serta maksud dan tujuan yang
berbeda. Kedua istilah tersebut yaitu Ahli Waris dan Keluarga. Penggunaan istilah Ahli
Waris dalam KUHAP digunakan pada 4 ketentuan, yaitu Pasal 95 ayat (2), 95 ayat (3),
Pasal 263 Ayat (1), dan Pasal 268 ayat (2).
Pasal 95 Ayat (2) dan (3)
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang
mengadili perkara yang bersangkutan.
Pasal 268 Ayat (2)
Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan
sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan
kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya
Sementara itu penggunaan istilah “Keluarga (nya)” digunakan pada 37 ketentuan, namun yang
ketentuan yang serupa dengan pasal 263 ayat (1) dimana keluarga diberikan suatu hak untuk
melakukan sesuatu selain terpidana, terdapat dalam 3 ketentuan, yaitu pasal 79, 123 ayat (1) dan
ayat (3).
Berikut pasal-pasal tersebut:
#)
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
123 ayat (1)
(1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas
penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan
itu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan
penyidik.
Khusus untuk pengertian “Keluarga” ini berbeda dengan istilah Ahli Waris yang tidak dijelaskan
baik dalam penjelasan pasal maupun pada bagian Ketentuan Umum, istilah Keluarga dijelaskan
dalam bagian Ketentuan Umum, yaitu Pasal 1 angka 30.
Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau
hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Dari beberapa ketentuan di atas maka terlihat adanya perbedaan penggunaan istilah yang berbeda.
Ketika mengatur mengenai hak untuk mengajukan praperadilan atas dugaan penangkapan dan
penahanan yang tidak sah (Pasal 79) pembentuk KUHAP menggunakan istilah “Keluarga” bukan
“Ahli Waris”, begitu juga ketika mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan keberatan kepada
Penyidik dan atasan Penyidik ketika Penyidik melakukan penahanan terhadap Tersangka (Pasal
123 ayat (1) dan (2)). Namun pada bagian lain (selain Pasal 263 ayat (1)) istilah “keluarga” tidak
lagi digunakan, namun yang digunakan adalah “Ahli Waris”, seperti pada ketentuan mengenai
pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan
atau tindakan lain yang tidak sah yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (Pasal 95 ayat
(2)).
Yang menjadi pertanyaan, mengapa Majelis PK tidak mencoba menggali terlebih dahulu
mengapa KUHAP menggunakan dua istilah yang berbeda tersebut. Apakah kedua penggunaan
dua kata dalam beberapa ketentuan yang berbeda tidak memiliki arti sama sekali atau dengan kata
lain hanyalah ketidakkonsistenan pembuat KUHAP semata atau tidak? Jika memang penggunaan
dua istilah yang berbeda tersebut hanyalah ketidakkonsistenan semata maka tentu dapat diterima
pendapat Majelis PK yang menyatakan bahwa Istri Terpidana berhak menjadi pemohon PK dalam
perkara a quo walaupun Terpidana masih hidup. Namun jika tidak, maka tentu makna hak bagi
“Ahli Waris” dalam seluruh ketentuan di KUHAP adalah hak yang baru timbul jika Tersangka/
Terdakwa/Terpidana telah meninggal dunia.
Indikasi bahwa pembuat KUHAP mengartikan “Keluarga” dan “Ahli Waris” sebagai dua konsep
yang berbeda dan memaksudkan bahwa dengan menggunakan kata “ahli waris” berarti tersangka/
terdakwa/terpidana telah meninggal salah satunya terlihat pada Pasal 268 (2) yang menyatakan
$*
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan
sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan
kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya (cetak tebal oleh penulis). Dari
ketentuan ini terlihat bahwa kata ahli waris jelas dimaksudkan untuk merujuk pada pihak tertentu
yang dapat berarti keluarga atau lebih luas lagi, dan dalam konteks dimana Terpidana telah
meninggal dunia. Pasal 268 ayat (2) tersebut terletak tidak jauh dari pasal 263 ayat (1) bukan kah
terlalu janggal jika diasumsikan pembuat KUHAP tidak memaksudkan hal yang sama untuk kata
yang sama di 5 pasal sebelumnya?
Selain itu kemungkinan bahwa pembuat KUHAP memang sengaja menggunakan dua istilah yang
berbeda, yaitu antara Keluarga dan Ahli Waris juga dapat terlihat dari pasal 79 dan 123 ayat (1)
dan (3) di satu bagian, dan 95 ayat (2) di bagian lain. Di pasal 79 dan 123 ayat (1) dan (3) saat
mengatur mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan maupun keberatan
mengenai sah tidaknya penahanan atau penangkapan, kata yang digunakan adalah “keluarga”
bukan “ahli waris”. Mengapa demikian? Mungkin karena jika yang dipermasalahkan adalah sah
tidak nya penangkapan maupun penahanan yang mana tujuan dari keberatan maupun praperadilan
tersebut pastinya adalah agar pihak yang dikenakan penangkapan atau penahanan menjadi bebas
dari penangkapan atau penahanan tersebut maka otomatis Tersangka masih hidup.
Sementara di pasal 95 ayat (2) saat mengatur mengenai ganti kerugian atas tindakan baik
penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasar pada undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri,
kata yang digunakan adalah “Ahli Waris” bukan keluarga. Mengapa demikian? Karena pada
tahap ini berbeda ketika yang dipermasalahkan adalah ganti kerugian atas tindakan-tindakan
tersebut maka belum tentu pihak yang secara langsung terkena tindakan tersebut (tersangka,
terdakwa atau terpidana) itu sendiri masih hidup, oleh karenanya istilah yang dipergunakan tidak
lagi “keluarga” namun “ahli waris”. Karena istilah “Ahli Waris” memang mengandung arti bahwa
si ‘pewaris’ telah meninggal.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa pendapat saya di atas tentang mengapa KUHAP
menggunakan dua istilah yang berbeda, yaitu “keluarga” dalam beberapa ketentuan dan “ahli
waris” dalam beberapa ketentuan lainnya adalah sudah pasti benar. Yang ingin saya katakan
adalah mengapa Majelis PK seakan mengabaikan adanya fakta tersebut dan tidak mencoba untuk
menjawab kemungkinan-kemungkinan atas alasan digunakannya dua istilah yang berbeda
tersebut. Pengabaian fakta tersebut menurut saya berkesimpulan bahwa penafsiran kata “ahli
waris” ada pasal 263 ayat (1) sebagaimana dalam putusan ini belum dilakukan secara matang.
3. Inkonsistensi dengan Kebijakan Mahkamah Agung Melalui SEMA No. 1 Tahun
2012
Selain hal-hal di atas tidak berlebihan jika dikatakan penafsiran Majelis PK dalam perkara
ini tidak konsisten dengan kebijakan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
$!
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Dalam Perkara Pidana. SEMA ini memang tidak mengatur mengenai apakah Istri, suami
atau calon ahli warisnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali untuk kepentingan
Terpidana saat terpidana itu sendiri masih hidup. SEMA ini hanya mempertegas bahwa hak
untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya ada pada Terpidana atau Ahli
Warisnya sendiri, dan permintaan PK oleh Kuasa Hukum harus dinyatakan tidak dapat
diterima. Selain itu SEMA ini juga mempertegas kehadiran Terpidana dalam sidang
pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri yang tanpanya permintaan tersebut juga harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
Sekilas SEMA ini memang tidak bersinggungan langsung dengan perkara ini, atau bahkan
sama sekali tidak bertentangan mengingat dalam pertimbangannya Majelis PK juga
menyatakan bahwa Istri Sudjiono Timan sebagai Pemohon hadir dalam sidang pemeriksaan
PK di PN Jakarta Selatan yang dibuktikan dengan tanda tangannya dalam Berita Acara
Persidangan tanggal 20 dan 29 Februari 2012. Namun jika SEMA ini dipahami dengan
melihat sejarah dan latar belakang munculnya SEMA tersebut maka akan terlihat dimana
letak permasalahannya.
Walaupun SEMA No. 1 Tahun 2012 tidak menjelaskan apa maksud dan tujuan dari
diterbitkannya SEMA tersebut, namun SEMA ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya
dualisme pandangan di MA pada sekitar tahun 2010 yang lalu. Pada saat itu terdapat dua
permohonan PK dimana kedua terpidana merupakan terpidana atas perkara yang sama
namun berkas perkaranya di split, yaitu permohonan PK dengan Terpidana Abdul Hadi
Djamal (No. 45 PK/Pid.Sus/2010) dan permohonan PK dengan Terpidana Dedy
Suwarsono. Kedua permohonan PK tersebut tidak diajukan sendiri oleh Terpidana, namun
oleh Kuasa Hukumnya. Pada kasus Abdul Hadi Djamal Majelis PK menyatakan
permohonan PK yang tidak diajukan oleh Terpidana sendiri namun oleh kuasa hukumya
harus dikesampingkan karena dianggap tidak memuhi syarat formal, yaitu harus diajukan
sendiri oleh Terpidana. Akan tetapi putusan tersebut tidak bulat, 2 orang hakim agung yaitu
R. Imam Harjadi dan Mansyur Kartayasa (Ketua Majelis) yang walaupun tetap menyatakan
permohonan PK tidak dapat dikabulkan (syarat materil) namun berpandangan bahwa secara
formil permohonan PK yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terpidana tetap dapat diterima.
Putusan tersebut khususnya mengenai dapat tidaknya permohonan dianggap memenuhi
syarat formil bertolak belakang dengan putusan PK yang dengan Terpidana Dedy
Suwarsono. Dalam putusan PK Dedy Suwarsono permohonan secara formil dinyatakan
dapat diterima, walaupun putusan tersebut juga tidak bulat. Satu orang Hakim Ad Hoc yang
juga duduk sebagai anggota Majelis dalam PK Abdul Hadi Djamal, Krisna Harahap, tetap
pada pendiriannya sebagaimana di kasus PK Abdul Hadi Djamal, yaitu menyatakan
permohonan secara formil tidak memenuhi syarat.
Adanya dua pandangan atas bisa atau tidaknya permohonan PK diajukan tidak oleh
Terpidana secara langsung namun oleh Kuasa Hukumnya diakui oleh Ketua Mahkamah
$"
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Agung saat itu, yaitu Harifin A. Tumpa42. Sebelum kedua kasus tersebut sebenarnya sudah
cukup lama MA tidak mempersoalkan apakah permohonan PK diajukan sendiri oleh
Terpidana atau diajukan oleh Kuasa Hukumnya. Sebagai contoh misalnya putusan PK No.
63 PK/Pid/200543 dan putusan PK No. 47 PK/Pid/200944. Kedua permohonan PK tersebut
tidak diajukan oleh Terpidana namun oleh Kuasa Hukumnya, dan keduanya dipandang
memenuhi syarat formil oleh Mahkamah Agung dan dalam pokok perkara permohonan
dikabulkan. Namun setelah adanya pandangan yang baru dari para Hakim Ad Hoc pada
Mahkamah Agung khususnya dalam perkara PK Abdul Hadi Djamal secara perlahan namun
pasti mayoritas Hakim Agung (dan Hakim Ad Hoc) mulai merubah pandangannya
mengikuti pendapat para Hakim Ad Hoc tersebut dalam menafsirkan ketentuan mengenai
syarat formal permohonan PK dalam KUHAP.
Adanya perubahan pandangan tersebut terlihat dalam putusan PK yang diajukan oleh Kuasa
Hukum Terpidana lainnya yaitu Setia Budi (74 PK/Pid.Sus/2010) yang hanya berjarak 4
bulan setelah putusan PK Abdul Hadi Djamal. Dalam perkara ini ketua Majelis PK Artidjo
Alkotsar yang juga merupakan Ketua Majelis dalam perkara PK No. 47 PK/Pid/2009 yang
sama sekali tidak mempersoalkan mengenai apakah pemohon PK dalam perkara 47 PK/Pid/
2009 tersebut diajukan sendiri oleh Terpidana atau Kuasa Hukumnya, dalam perkara Setia
Budi ini terlihat telah merubah pandangannya. Dan setelahnya mulai banyak permohonanpermohonan PK yang diajukan tidak oleh Terpidana secara langsung namun oleh Kuasa
Hukumnya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA dengan alasan yang serupa dengan
pertimbangan dalam kasus PK Abdul Hadi Djamal45 . Dan akhirnya setelah hampir seluruh
–jika tidak dapat dikatakan seluruhnya- Hakim Agung berpandangan yang sama, Ketua
Mahkamah Agung pada pertengahan Juni 2012 lalu akhirnya memperkuat pandangan
tersebut dengan menerbiktan SEMA No. 1 Tahun 2012 ini.
42 Sikap MA Terbelah Tentang Pengajuan PK Oleh Advokat, Hukumonline.com 12 Maret 2010 http://
!
www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b9a65f16afe3/sikap-ma-terbelah-tentang-pengajuan-pk-oleh-advokat.
43 Pada hal putusan ini dinyatakan: “Membaca surat permohonan dan tambahan permohonan
!
peninjauan kembali bertanggal 15 maret 2005 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Kolaka pada
tanggal 15 Maret 2005 dari kuasa Terdakwa yang diajukan untuk dan atas nama terdakwa juga sebagai
terpidana tersebut berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 maret 2005 yang mohon agar putusan Pengadilan
Negeri tersebut dapat ditinjau kembali.” (cetak tebal oleh penulis)
44 Pada hal. 6 putusan ini dinyatakan: “Membaca surat permohonan peninjauan kembali tertanggal 20
!
Februari 2009 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar pada tanggal 28 Februari 2009 dari
kuasa Terpidana, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali” (cetak tebal
oleh penulis)
45 Beberapa contoh putusan PK yang dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan yang serupa
!
dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2010 dapat dilihat dalam tulisan saya “Catatan SEMA No. 1 Tahun 2012
tentang Permohonan PK Dalam Perkara Pidana” di http://krupukulit.wordpress.com/2012/07/02/catatan-semano-1-tahun-2012-tentang-pengajuan-permohonan-pk-dalam-perkara-pidana/
$#
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
Dari pemaparan di atas dapat terlihat adanya hubungan antara SEMA No. 1 Tahun 2012 dengan
pertimbangan MA dalam putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2010 tersebut. Permasalahan tidak berhenti
di sini. Permasalahan berlanjut pada mengapa secara tiba-tiba 3 Hakim Ad Hoc pada Mahkamah
Agung pada kasus Abdul Hadi Djamal menganggap penting permohonan PK diajukan sendiri
oleh Terpidana atau Ahli Warisnya, serta mengapa kehadiran pemohon dalam persidangan
pemeriksaan PK di Pengadilan Negeri merupakan kewajiban. Jawaban atas pertanyaan ini
terdapat dalam pertimbangan Majelis PK Abdul Hadi Djamal tersebut pada halaman 89. Berikut
kutipan pertimbangannya:
“Bahwa khusus mengenai perkara-perkara tindak pidana korupsi, permohonan PK
seyogianya dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal
263 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 265 ayat (3) untuk menjaga kemungkinan permohonan
diajukan oleh kuasa sedang Terpidana sendiri melarikan diri dan bersembunyi sehingga
putusan Pengadilan tidak dapat di eksekusi; “
Dari kutipan pertimbangan hukum putusan PK Abdul Hadi Djamal tersebut terlihat bahwa
mengapa majelis menafsirkan permohonan PK harus diajukan sendiri oleh Terpidana (atau Ahli
Warisnya) serta Pemohon harus (setidaknya pernah) hadir dalam siding pemeriksaan PK di
Pengadilan Negeri adalah untuk memastikan bahwa Terpidana sedang tidak melarikan diri.
Alasan tersebut kemudian diperkuat dalam putusan putusan PK Setia Budi (74 PK/Pid.Sus/2010)
yang mana dalam putusan ini Majelis memberikan beberapa contoh kasus dimana Terpidana
melarikan diri. Berikut kutipan pertimbangan hukum MA yang tertuang di halaman 66-67:
•
“Bahwa ditaatinya ketentuan-ketentuan seperti ditetapkan di dalam KUHAP mengenai
permohonan Peninjauan Kembali/Terpidana, khusus terkait perkara-perkara Tindak
Pidana Korupsi, mempunyai arti tersendiri di dalam rangka menghindari kemungkinan
mengajukan permohonan peninjauan kembali oleh Kuasa sedangkan yang bersangkutan
bersembunyi atau lari ke Negara-Negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi
dengan Republik Indonesia. Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengacu kepada
beberapa peristiwa yang terjadi, diantaranya :
o
Kasus PT. Goro Batara Sakti dan BULOG yang merugikan Negarahingga Rp.
96.000.000.000,- (sembilan puluh enam milyar). Dari tempat persembunyiannya
Terpidana Tommy Soeharto mengajukan peninjauan kembali melalui Kuasanya ;
o
Kasus Djoko Tjandra yang terlibat kasus cessie Bank Bali Rp.546.468.000.000,(lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta
rupiah) Mahkamah Agung memeriksa peninjauan kembali yang diajukan Jaksa
dan menjatuhkan hukuman 2 (dua) tahun penjara dan denda Rp.15.000.000.000,(lima belas milyar rupiah). Sehari sebelum putusan itu diputuskan dalam
Musyawarah dan Ucapan para Hakim Agung, Djoko Tjandra yang sudah
mengetahui terlebih dahulu, memutuskan lari ke luar negeri dengan
$$
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
menggunakan pesawat carteran dari tempat persembunyiannya di luar negeri, ia
mengajukan peninjauan kembali melalui Kuasanya ;
o
•
Kasus Adelin Lis, pembalak hutan di Mandailing, Tapanuli Selatan. Mahkamah
Agung dalam putusannya tanggal 31 Juli 2008 menghukum Adelin Lis 10
(sepuluh) tahun penjara, uang pengganti Rp. 119.800.000.000,- (seratus sembilan
belas milyar delapan ratus juta rupiah), dana reboisasi US $ 2,938 (dua juta
sembilan ratus tiga puluh delapan Dollar Amerika) dan denda Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)!Subsider 6 (enam) bulan. Putusan kasasi ini
tidak dapat dieksekusi karena Terpidana melarikan diri ;
Bahwa khusus dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, kehadiran Terpidana dan
keharusan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, memiliki makna tersendiri, dalam
rangka mencegah larinya Terpidana yang mengakibatkan putusan yang sudah inkracht
tidak dapat dieksekusi ;”
Dengan inti pertimbangan kedua putusan tersebut yang kemudian mengubah sebagian besar
pandangan para Hakim Agung dan hingga akhirnya dikeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2012 maka
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari diterbitkannya SEMA tersebut adalah untuk menghindari
adanya permohonan PK demi kepentingan Terpidana sementara Terpidananya sendiri sedang
melarikan diri atau tidak menaati putusan pengadilan.
Yang kini menjadi permasalahan adalah, bukankah jika Ahli Waris dalam Pasal 263 Ayat (1)
KUHAP ditafsirkan semata sebagaimana menafsirkan pengertian “keluarga”, yang mana “ahli
waris” tersebut memiliki hak PK terlepas dari apakah Terpidana (Pewaris) telah meninggal dunia
atau belum, secara tidak langsung akan menggugurkan tujuan dari diterbitkannya SEMA 1/2012
itu sendiri? Sebagaimana dalam kasus PK Sudjiono Timan ini, tentu akan sangat mudah bagi
Terpidana yang sedang melarikan diri untuk mengajukan permohonan PK, cukup meminta salah
satu anggota keluarganya, bisa suami/istri, anak, atau orang tua untuk mengajukan PK tersebut.
Pada akhirnya SEMA 1/2012 serta putusan-putusan MA sebelumnya menjadi tidak ada artinya.
Sekali lagi, sayangnya Majelis sepertinya tidak mencoba mengeloborasi penafsiran terhadap
dapat tidaknya “keluarga” atau calon Ahli Waris mengajukan PK dan implikasinya terhadap
kemungkinan ketidakefektifan SEMA 1/2012 tersebut.
4.
Catatan Atas Dissenting Opinion
Seperti telah dinyatakan dibagian awal, dalam putusan PK Sudjiono Timan ini putusan
tidak diputus secara bulat, terdapat 1 orang Hakim Agung yang berbeda pendapat
(dissenting), yaitu Sri Murwahyuni. Dalam dissenting opinionnya pada intinya Hakim
Agung Sri Murwahyuni berpendapat bahwa seharusnya permohonan PK oleh Istri
Sudjiono Timan tidak dapat diterima. Dalam bagian ini secara khusus saya akan
$%
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
menyoroti bagaimana dissenting opinion beliau. Berikut saya kutip kembali pendapat
dari Hakim Agung Sri Murwahyuni:
Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat
mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli
Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali
apabila Terpidana sudah meninggal dunia;
Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana
sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan
diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15
(lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti
dirampas untuk Negara;
Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara
kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi
atau dilaksanakan;
Dari pendapat tersebut walaupun pada akhirnya beliau menyatakan bahwa hak ahli waris untuk
mengajukan PK demi kepentingan Terpidana hanya dapat diajukan jika Terpidana telah
meninggal dunia namun sayangnya pendapat tersebut tidak disertai bantahan atas penafsiran yang
diajukan mayoritas anggota majelis, atau setidaknya pendapat yang dapat menggambarkan
mengapa beliau tidak setuju dengan penafsiran majelis mayoritas tersebut. Akan sangat menarik
dan akan memperkaya perkembangan hukum tentu jika beliau memberikan setidaknya sedikit
pendapat misalnya bagaimana posisinya atas penfasiran M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip
pertimbangan dari Majelis mayoritas.
Selain itu pendapat beliau pada bagian akhir menimbulkan kerancuan, apakah alasan beliau
sebenarnya berpendapat bahwa secara formal permohonan tidak dapat diterima disebabkan
karena pemohon belum memiliki legal standing untuk mengajukan PK karena Terpidana belum
meninggal atau sebenarnya dikarenakan Terpidana melarikan diri? Kejelasan mengenai hal ini
penting, karena dalam pendapat terakhir beliau dapat ditafsirkan jika Terpidana melarikan diri,
maka hak ahli waris walaupun Terpidana telah meninggal dunia tetap harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
$&
Modul Workshop Analisis Putusan Pengadilan - MaPPI FHUI
5. Kesimpulan
Dari uraian di atas saya berkesimpulan:
a. Pendapat Mahkamah Agung dalam putusan No. 97 PK/Pid.Sus/2012 khususnya pedapat
majelis mayoritas yang menafsirkan bahwa hak atau legal standing (calon) ahli waris
telah ada walaupun Terpidana (calon Pewaris) masih hidup belum disertai dengan
argumentasi yang cukup memadai. Majelis mengambil kesimpulan yang melompat
(jumping to conclusion) ketika menarik kesimpulan dari pendapat M. Yahya Harahap
yang menyatakan bahwa hak ahli waris dalam Pasal 263 ayat (1) adalah hak orisinil
bukan hak substitusi bahwa dengan demikian maka berarti ahli waris memiliki legal
standing untuk mengajukan PK walaupun Terpidana belum meninggal.
b. Ketika menyatakan bahwa ahli waris dapat mengajukan PK walaupun Terpidana masih
hidup majelis secara tidak langsung telah mempersamakan makna Ahli Waris dengan
Keluarga yang mana kedua istilah tersebut dipergunakan dalam KUHAP.
Dipergunakannya dua istilah tersebut dalam KUHAP sangat mungkin memang
dimaksudkan memiliki makna yang berbeda, sayangnya dalam putusan ini Majelis tidak
berupaya untuk menggali kemungkinan tersebut.
c. Mengingat penafsiran mengenai legal standing Istri untuk mengajukan PK saat Terpidana
belum meninggal dunia belum didasari oleh argumentasi yang cukup serta mengingat
penafsiran tersebut belum mengelaborasi alasan mengapa KUHAP menggunakan dua
istilah yang berbeda yaitu “Keluarga” dan “Ahli Waris” dalam ketentuan yang berbeda,
maka menurut penulis pendapat Majelis mayoritas dalam putusan ini belum cukup dasar
untuk dikemudian hari dipandang sebagai yurisprudensi.
$'