Academia.eduAcademia.edu

Pembacaan teori Ruang Sara Upstone

POSTKOLONIALISME Pembacaan teori “RUANG” Sara Upstone Inaqotul fikroh Poskolonial merupakan salah satu pandangan dalam disiplin akademik yang mempelajari, menjelaskan, dan menilai warisan budaya kolonialisme dan imperialisme serta dampaknya. Salah satu pandangan poskolonial di utarakan Sara Upstone dalam Spatial Politics in the Postcolonial Novel menekankan pada politik ruang, suatu wilayah yang pernah ditempati dan dikontrol oleh kolonial, dan kolonial telah meninggalkan wilayah tersebut. Menurut Upstone setiap bagian ruang wilayah jajahan memiliki warisan yang ditinggalkannya. Ruang-ruang tersebut merupakan strategi dari kontrol melalui konsep batas. Konsep batas ditanamkan pada masyarakat memiliki tujuan sebagai kontrol, mempertahankan stabilitas dan menghindari dari retensi, terjaga melalui negosiasi sehingga batas tersebut menimbulkan penerimaan yang alami dalam masyarakat. Upstone (2009: 3) membedakan ruang dan tempat untuk menunjukkan bahwa tempat tidak sepenuhnya terpisahkan dalam pembahasannya. Upstone berargumen bahwa penulis postcolonial menciptakan ruang sebagai tempat berbagi kemungkinan resistensi, dengan merebut kembali kecairan ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial dalam gagasan ruang berbatasnya dan dengan memberikan lokasi-lokasi fungsi politis(2009:11). Berbeda dengan kolonial, pandangan postcolonial melihat ruangan sebagai suara-suara herterogen yang memiliki berbagai pengalaman, yang memeberi penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (2009:13). Ruang-ruang yang memiliki warisan kolonialisme distratifikasikan dalam Bangsa (nation), Kota (city), Rumah (home), Perjalanan (journey) dan Tubuh (body). Dalam Ruang Bangsa terdapat keterlibatan kekuasaan kolonial terdahulu dan mendapatkan pengakuan yang dalam jabatan kewenangan juga mendapatkan pembagian tugas. Dapat diartikan bahwa bangsa merupakan ruang yang memiliki batas-batas yang telah terkonstruksi dan terdefinisi. Di dalam politisasi ruang bangsa, terdapat beberapa konsep seperti space, place, overwriting, (b)order, chaos, dan post-space. Konsepsi ini menjadi panduan dalam mengklasifikasikan data sebagai elemen yang mengkonstruksi ruang secara simbolik dan material serta ruang alternatif sebagai wujud negosiasi pengarang terhadapnya. Ruang (space) memiliki definisi yang luas, karena tidak sebatas fisik, tetapi juga ruang konseptual yang abstrak. Konsep ruang tidak hanya mengacu pada kolonisasi daerah atau wilayah yang bersifat nyata, tetapi dapat juga melalui ide atau gagasan. Sedangkan tempat (place) dipahami sebagai bentuk fisik yang menghasilkan identifikasi. Identifikasi tersebut berdasarkan pada bagaimana seseorang mendefinisikan identitasnya dan/ atau bagaimana identitas itu didefinisikan oleh orang lain. Berdasarkan pandangan politik, ruang bangsa berkorelasi terhadap permasalahan identitas, kuasa, dan resistensi. Secara sistematis, penjajah mengalihkan perhatian kaum terjajah mendistorsi, merusak dan menghancurkan masa lalu tersebut menggunakan logika-logika manipulatif (Fanon & Philcox, 2004: 149). Hal ini juga dapat berkaitan dengan pernyataan Young, (1995: 170) bahwa penjajahan mengahasilkan gerakan ganda; yaitu teritorial dan ruang kultural penduduk terjajah yang dikacaukan, dihilangkan, atau dibentuk ulang guna kebutuhan penjajah. Gerakan ganda tersebut menghasilkan konstruksi ruang bangsa dengan (b)order yang bersifat homogen, stabil, dan absolut. Disamping itu, melalui hegemoni kolonial hal tersebut dibuat seolah-olah bersifat alamiah, kodrati. CATATAN INAQOTUL FIKROH POSTKOLONIALISME Perubahan yang terjadi seolah alamiah menimbulkan caos khususnya pada penulis terhadap pandangannya tentang bangsa. Chaos berfungsi sebagai upaya pembongkaran terhadap pandangan yang dianggap absolut dan menanamkan pola-pola pemahaman serta pengalaman-pengalaman baru sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yang tidak didapatkan dalam konsep kolonial maupun tradisi, atau dari konsep Barat dan Timur yang sudah dibatasi tersebut, kondisi ini pada akhirnya memunculkan post-space. Upstone (2009:15) post-space merupakan konsep yang berada di luar batas-batas kolonial maupun batas-batas tradisi, bahkan melampaui dan berada sebelum batasbatas tersebut muncul; ia juga bisa dikatakan suatu ruang yang hibrid, cair dan bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas lagi. Ruang Kota bagi Upstone merupakan sebuah ruang yang identik dengan representasi yang dipandang sebagai metonomia yang merefleksikan ketegangan ruang nation yang sekaligus menawarkan sebuah gagasan geopolitik yang khas. Berkenaan dengan ruang kota, Upstone melihat keterkaitan yang erat dan kompleks antara para novelis dengan geograf yaitu dalam wujud bagaimana kota itu hadir (nyata) dan bagaimana kota itu dibayangkan. Terdapat beragam model kota yang disebut dalam bukunya, yaitu Utopian Cities, Desired City, Nowhere City, dan Carnival City: Kota utopia disebutkan sebagai representasi kota industri dalam kota tersebut merupakan gambaran dari keinginan pribati dan harapan masyarakat. Ruang-ruang masyarakat ini dibayangkan bukan sebagaimana kota itu hadir (nyata), melainkan sebagai suatu mimpi atau impian. Bagi Upstone wacana utopia sangat relevan untuk melacak bagaimana para novelis pascakolonial menafsirkan ruang untuk masyarakat. Upstone mengatakan bahwa para penjajah membenarkan perampasan wilayag kekuasaan dalam pandangan sebagai petualangan atau kebebasan yang ideal, maka kota utopua sering menajadi fokus pada kerinduan tentang ke-idealan tersebut. Rumah dianggap sebagai tempat yang tetap dan kekeluargaan. Kedua, Rumah tidak semata hunian, melainkan tempat yang dapat memberikan dan menyimpan makna sejarah, memori, dan kenangan yang diwariskan kepada generasi ke generasi. Ketiga, Rumah merupakan tempat kedamaian dan istirahat. Rumah sekaligus memberikan kesegaran dan keamanan, tempat untuk melepaskan kepenatan. Keempat, karakter Rumah adalah hospitalitas, keramahan, dan terbuka untuk menerima orang lain. Rumah merupakan tempat untuk melepaskan kontrol sehingga terbangun persahabatan yang semakin menumbuhkan. Kelima, Rumah menjadi tempat yang dihuni. Penghunian mempersyaratkan perhatian, intimitas, dan juga cinta atas rumah. Ini ditandai dengan kemauan untuk merawat dan menjaganya. Keenam, Rumah harus memberi orientasi hidup. Dari Rumah orientasi hidup dimulai sekaligus keluar untuk memiliki dunia yang diharapkan. Ketujuh, Rumah sebagai tempat di mana seseorang merasa dimiliki, diterima, dan didukung. Selain itu, perasaan di mana seseorang juga menerima dan memiliki tempat itu. Dalam pandangan Rumah tersebut menjadikan rumah menjadi salah satu konstruksi yang memegang peran menjalankan fungsi politis dalam menegakkan nilai-nilai kolonial, dan peran ini ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi. Penguasa kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara kolonial. Rumah menjadi miniatur dari hasil kolonial atas ruangan, metafora dari wilayah koloni. Kondisi awal dari rumah yang lebih cair dikaburkan. Harmoni yang ideal tentang rumah dimunculkan dengan mempropagandakan CATATAN INAQOTUL FIKROH POSTKOLONIALISME pandangan bahwa rumah adalah lokasi penanaman nilai-nilai dan tingkah laku yang dianggap krusial untuk membentuk dan mempertahankan identitas nasional, serta merupakan perlindungan yang diperlukan dari perubahan sosial dan kondisi ekonomi yang tak terduga (Upstone, 2009: 117). Rumah pascakolonial menolak perannya untuk mempropagandakan wacana kolonial dengan menolak fungsi rumah sebagai metafora dari koloni dengan berbagai idealisasinya. Dengan menolak peran tersebut, rumah akan terbuka bagi beragam makna yang berbeda, dan tidak tertutup dalam berbagai aturan melainkan terbuka untuk berbagai kemungkinan (Upstone, 2009: 119). Penolakan terhadap idealisasi kolonial adalah salah satu bagian dari elemen tulisan pascakolonial, namun tidak hanya itu saja. Politisasi rumah bukan hanya berisikan dorongan untuk menghilangkan idealisasi, namun juga berisikan pemahaman-pemahaman baru. Berbagai makna yang direpresi dalam penulisan kolonial tentang rumah disingkap, tak lagi dipaksa untuk menjadi metafora dari kolonial, sehingga rumah dapat muncul untuk mewakili kepentingan-kepentingan lain. Ruang Pejalanan menunjukkan perjalanan keluar dari rumah dilakukan oleh seseorang. Keluar dari kenyamanan yang dibuat selama ini. Perjalanan tersebut bukan untuk berlibur, melainkan proses keluar dari permasalahan pandangan terhadap negara. Pelampauan terhadap nation juga dilakukan melalui tubuh. Bisa dikatakan tubuh merupakan bagian paling personal bagi setiap orang. Ketika identitas seringkali dilekatkan pada tubuh, maka identitas juga menemui jalan buntu. Wacana kolonial tentang tubuh bersandar pada kontradiksi bahwa dalam tubuh sekaligus sangat terlihat, tetapi pada saat yang sama tidak dikenali: tidak ada apa-apa karena hanya memiliki satu bentuk tetapi juga, karena alasan yang sama, sangat terdefinisi. Ruang Tubuh merupakan pandangan akhir dalam pewarisan ruang-ruang poskolonial. Pada tubuh perebutan makna dilakukan. Tubuh dieksploitasi bukan hanya secara fisik namun juga ideologis. Perebutan terjadi pada kasus hijab seorang wanita yang dianggap berfungsi menghindari tindakan yang merusak tatanan laki-laki. Wanita dianggap tidak memiliki hak memasuki ruang laki-laki. Jika memasukinya, ancaman eksistensi patriarkal akan hadir (Germanà, 2011; Mernissi, 1975). Inilah sebuah strategi spasialitas politik yang dianggap Upstone bersifat subversif. Berangkat dari tubuh, kita bisa melakukan perlawanan secara sistematis tidak hanya melampaui nation, melainkan juga melampaui segala wacana dominan yang mengidentifikasi tubuh itu sendiri. CATATAN INAQOTUL FIKROH