UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan
Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam
Dan Kesetaraan Gender
SKRIPSI
Diajukan Untuk Menempuh Ujian dan Memenuhi
Persyaratan Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
FREDY SISWANTO
NPM B1A105030
BENGKULU
2014
i.
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di Universitas
Bengkulu maupun di perguruan tinggi lainya;
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan hasil penelitian saya sendiri,
yang disusun tanpa bantuan pihak lain kecuali arahan dari tim pembimbing;
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskahdengan disebutkan nama pengarang yang
dicantumkan dalam daftar pustaka;
4. Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan apabila ada dikemudian hari
dapat dibuktikan adanya kekeliruan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia untuk menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar
akademik yang diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi lainya sesuai dengan
norma yang berlaku di Universitas Bengkulu.
Bengkulu,..……………….
Yang Membuat Pernyataan
Materai 6000
Fredy Siswanto
B1A105030
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil ’aalamin, Segala puji kehadirat Allah Swt karena atas
limpahan rahmat dan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul ”Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari
Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender”. Selain itu tidak lupa Shalawat
serta salam, dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw semoga kita semua
mendapatkan syafaat di akhir zaman.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang telah banyak berjasa untuk membantu penulis baik dari segi waktu,
tenaga serta pikiran sehingga dapat meyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini
penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak M. Abdi, S.H.,M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Bengkulu;
2. Bapak Dr. Sirman Dahwal, S.H.,M.H sebagai Pembimbing Utama yang telah
banyak memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dengan penuh
kesabaran dari awal sampai selesai skripsi ini;
3. Bapak Adi Bastian Salam, S.H.,M.H selaku Pembimbing Pendamping yang telah
banyak memberikan bimbingan kepada penulis dari awal sampai selesai skripsi
ini;
v
4. Bapak H. Subanrio S.H.,M.H dan Bapak Dr. Akhmad Muslih S.H.,M.Hum selaku
penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan
skripsi ini;
5. Bapak M. Daruddin, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dari awal hingga akhir kuliah;
6. Buat teman-teman yang selalu mendukung dan memberi teguran, nasihat, dan
motivasi; Om Mulyanto Winada, S.E., Alan Fofi, S.H., Gumbira Kurniadi, S.E.,
Herman Kuswiran (wir), Koko Wahyudi, S.sos., Meizan Fajri (koko), Muhammad
Arif Mahifa, S.H., Rendy Frans O, S.H., Rizky Rahman, Silmi Bahri, S.H., Yudha
Erlangga, S.H., dan Zery Tabib, S.E;
7. Seluruh rakan-rekan seperjuangan yang telah banyak membantu penulis untuk
menyelesaikan pendidikan ini;
8. Banyak pihak yang tidak dapat penulis tuliskan dalam lembaran kertas ini, penulis
hanya dapat mengucapkan terimakasih.
Akhirnya semoga Allah Swt selalu memberikan kedamaian dan kesuksesan
kepada kita semua.
Aamiin.... Aamiin Ya Robbal Alamin....
Bengkulu,
Afril 2014
Penulis,
Fredy Siswanto
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
‘’Rabbi Zidny Ilma (Wahai Tuhanku Tambahkanlah
Ilmu Untukku)’’ (Q.S. Thaha: 114).
"Sukses Selalu Disertai Dengan Kegagalan Dan Lebih
Baik Terlambat Daripada Tidak Pernah, Maka Jadilah
Orang Yang Baik Tetapi Jangan Buang Waktu Untuk
Membuktikanya. So Be It”.
Skripsi ini Aku Persembahkan Kepada:
1. Kedua orang tuaku yang selalu memberikan do’a, restu,
kasih sayang orang tua penuh dedikasi dan tanggung
jawab;
2. Keluarga besar penulis;
3. Almamaterku Universitas Bengkulu;
4. Dan untuk, yang telah membuka skripsi ini.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ............................................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI …....
KATA PENGANTAR ....................................................................................
MOTTO DAN PERSEMBAHAN.................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ABSTRAK ......................................................................................................
ABSTRACT ………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................
B. Identifikasi Masalah ........................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................
D. Kerangka pemikiran ........................................................................
E. Keaslian Penelitian ..........................................................................
F. Metode Penelitian ...........................................................................
1. a. Jenis Penelitian ......................................................................
b. Pendekatan Penelitian ............................................................
2. Bahan Hukum ............................................................................
3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum ......................................
4. Analisis Bahan Hukum ..............................................................
1
5
5
6
7
8
8
9
10
11
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Ihdad ..............................................................................
B. Dasar Hukum Ihdad ........................................................................
C. Tujuan Ihdad ...................................................................................
D. Dampak Ihdad .................................................................................
E. Tujuan Umum Terhadap Gender .....................................................
1. Pengertian Gender……………………………………………..
2. Teoeri Dasar tentang Gender .....................................................
F. Tinjauan Terhadap Hukum Islam ....................................................
a. Hukum Islam .............................................................................
b. Sumber-sumber Hukum Islam ...................................................
13
17
19
20
24
24
28
30
30
42
BAB III KETENTUAN MENGENAI IHDAD BAGI PEREMPUAN
MENURUT HUKUM ISLAM ......................................................................
58
BAB IV IHDAD BAGI PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM
MENURUT ANALISIS GENDER ...............................................................
67
viii
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
x
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran ................................................................................................
74
75
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
76
ix
ABSTRAK
Islam menghormati perempuan sebagai manusia, yang mempunyai fungsi sebagai
isteri, ibu, bahkan sebagai seorang anggota masyarakat. Keberadaan perempuan
(khususnya perempuan pekerja) yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia wajib
melaksanakan iddah. Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan
ihdad, bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya. Para fuqaha
berpendapat bahwa perempuan yang sedang ber-ihdad dilarang memakai perhiasan,
berdekatan, berhubungan dengan laki-laki, dan melakukan semua perkara yang dapat
menarik perhatian kaum lelaki kepadanya. Dengan kondisi seperti ini, jelas akan
menjadi problematika ketika perempuan yang harus bekerja di luar untuk menghidupi
keluarganya, namun ia memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena
melaksanakan kewajibannya berihdad setelah ditinggal mati oleh suaminya. Untuk
itu, penulis memerlukan pemahaman dengan sebuah analisis gender. Berdasarkan
uraian latar belakang penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan
menuliskannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul Analisis Hukum Terhadap
Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender.
Dalam pokok permsalahan ini adalah bagaimana ketentuan mengenai ihdad bagi
perempuan menurut hukum Islam dan bagaimana ihdad bagi perempuan dalam
hukum Islam menurut analisis gender. Metode penelitian yang diguankan adalah
penelitian normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan ketentuan mengenai
Ihdad bagi perempuan menurut hukum Islam bahwa kepatutan seorang perempuan
dalam masa berkabung adalah menunjukkan kondisi di mana isteri harus menahan
diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Dan selama masa itu, isteri
hendaknya melakukan masa berkabung dengan tidak berhias, tidak bercelak mata dan
tidak boleh keluar rumah. Larangan itu lebih sebagai cara untuk menghindari fitnah
dan sekaligus bertujuan untuk menghormati kematian suami. Ihdad bagi perempuan
dalam hukum Islam menurut gender dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan berelasi
dengan yang lain terdapat nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran
laki-laki dan perempuan, artinya masa berkabung dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) terspesifikasi bagi siapapun, baik laki-laki atau perempuan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mencerminkan
kesetaraan gender, bahwa bagi laki-laki ataupun perempuan ketika ditinggal mati oleh
pasangannya harus melakukan masa berkabung. Masa berkabung yang dicantumkan
dalam hukum Islam dengan makna ihdad, adalah berlaku bagi laki-laki dan
perempuan, meskipun dengan bentuk atau cara yang berbeda.
x
ABSTRACT
Islamic a saluting women as human beings, which has a function as a wife, mother,
even as a member of society. The existence of women (especially women workers)
were left for dead by her husband, then she must carry out the waiting period. The
scholars are agreed that it is obligatory to implement ihdad, for women who are
divorced or widowed husband. The jurists found that women were forbidden to wear
jewelry ihdad, adjacent, related to men, and do all things that may attract the attention
of men to him. With conditions such as these, would obviously be problematic when
women who have to work outside to support his family, but he has limited time to
work because ihdad perform its obligations after being left for dead by her husband.
To the authors requires an understanding of the gender analysis. Based on the
description of the background of the authors are interested in doing further research
and write in a thesis entitled Analysis of the Law Against Ihdad For Women Seen
From Aspects of Islamic Law and Gender Equality. In principal this is how a problem
ihdad provisions on women under Islamic law and how ihdad for women under
Islamic law according to gender analysis. Use research method is normative research,
legal research is done by examining library materials or secondary data. The results
showed Provisions on Ihdad for women under Islamic law that the propriety of a
woman in mourning is showing the condition in which the wife must refrain or mourn
for four months and ten days. And during that time, the wife should do the mourning
period with no ornate, eye bercelak not and should not be out of the house. The ban
was more as a way to avoid libel and also aims to honor the death of her husband.
Ihdad for women under Islamic law according to gender can be said that in the lives
of others are related to the value of manners and legal norms that distinguish the roles
of men and women, meaning the period of mourning in the Compilation of Islamic
Law (KHI) unspecified for anyone, both men or women. It shows that in the
Compilation of Islamic Law (KHI) has reflected gender equality, that for both men
and women when left for dead by his partner should do the mourning period. The
period of mourning is included in the meaning ihdad Islamic law, is applicable to
both men and women, although with a different shape or manner.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menghormati perempuan sebagai manusia, yang mempunyai fungsi
sebagai isteri, ibu, bahkan sebagai seorang anggota masyarakat. Namun pada
zaman sebelum Islam, banyak sebagian masyarakat dari berbagai tingkat usia
melanggar hak perempuan untuk mendapatkan ilmu agama dan bekerja. Bahkan
mereka pun melarang perempuan pergi ke suatu tempat untuk beribadah atau
menuntut ilmu dan pemaksaan terhadap perempuan untuk menikah dengan orang
yang tidak disukainya dan mengurungnya di rumah. 1 Tetapi, fenomena itu terjadi
saat tidak ada satu agama pun yang menyadari akan kemuliaan perempuan. Maka,
Islam datang untuk memuliakan perempuan saat tak ada satu tempat pun di dunia
yang mengangkat harkat dan martabat perempuan. Pandangan Islam yang benar
mengenai status perempuan merupakan isi risalah Nabi.
Ilmu modern telah menyatakan bahwa spesialisasi dalam dunia kerja adalah
tempat paling baik untuk mendongkrak profesionalitas dan produktifitas. Agama
1
Yusuf Qaradhawi, 2009, Fikih Wanita, Bandung, Al Kautsar, Hal. 8.
1
Islam juga menganjurkan umatnya untuk bekerja. 2 Bahkan pahalanya bisa lebih
besar dari pada jihad di jalan Allah Swt.
Dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan zaman,
perempuan Islam Indonesia perlu memilih prioritas dan serentetan kewajiban
dalam Islam, kondisi intelektual dan kondisi sosial ekonomi perlu mendapatkan
prioritas utama agar seseorang dapat mencapai kualitas standar terjamin dan
terpenuhi hak-haknya dengan baik. 3 Sehingga dengan demikian, perempuan Islam
Indonesia dapat berperan pada masa kini dan masa mendatang dalam peradaban
dunia modern untuk ikut mengisi pembangunan nasional dalam rangka pengabdian
kepada Allah Swt.
Keberadaan perempuan (khususnya perempuan pekerja) yang ditinggal mati
oleh suaminya, maka dia wajib melaksanakan iddah serta konsekuensinya, yakni
ihdad, iddah merupakan masa penantian seorang perempuan sebelum menikah
lagi, setelah bercerai dari suaminya atau setelah suaminya meninggal dunia. 4 Para
ulama sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan iddah serta ihdad, bagi
perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, yang tujuannya agar
melihat kondisi perempuan dalam keadaan hamil atau tidak. 5
2
Syaikh Fuad Shalih, 2008, Menjadi Pengantin Sepanjang Masa, Solo, Aqwam Media
Profetika. 2008. Hal. 373.
3
Ali Yafie, 1995, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung, Mizan, Hal. 19.
4
Sayyid Sabiq, 1990, Fikih Sunnah VIII, Terj. Moh. Talib, Bandung; al-Ma’arif, Hal. 140.
5
Slamet Abidin, Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat II, Bandung, Pustaka Setia, Hal. 121.
2
Para fuqaha berpendapat bahwa perempuan yang sedang ber-ihdad dilarang
memakai perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya,
seperti perhiasan, intan dan celak. Dengan hal-hal yang harus dijauhi oleh
perempuan yang berihdad adalah saling berdekatan yaitu perempuan yang
sedang dalam masa ihdad tidak diperbolehkan berhubungan dengan lakilaki, dan melakukan semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum
lelaki kepadanya. 6
Abu Muhammad mengatakan sebagaimana dikutif oleh Abdul Rahman
Ghazaly berpendapat syarat untuk berihdad adalah iman, sehingga hal itu
menunjukkan bahwa ihdad juga merupakan suatu ibadah. Ihdad dimaksudkan
untuk mencegah pandangan kaum lelaki selama masa iddah perempuan, dan
demikian pula untuk mencegah perempuan dari memandang kaum lelaki. Hal ini
dilakukan dalam rangka menutup jalan kerusakan (sadd al-dzari’ah). 7
Dengan kondisi seperti ini, jelas akan menjadi problematika ketika
perempuan yang harus bekerja di luar untuk menghidupi keluarganya, namun ia
memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena melaksanakan kewajibannya
berihdad setelah ditinggal mati oleh suaminya. Untuk itu penulis memerlukan
pemahaman dengan sebuah analisis gender yang dijadikan sebagai pisau analisis
untuk memahami persoalan tersebut. Sekaligus pada zaman modern ini,
perempuan pun pada kenyataannya harus hidup dengan kondisi berbeda, di mana
seorang perempuan banyak mendominasi dunia kerja ataupun paling tidak
minimal perempuan di era modern banyak yang eksis di ranah publik untuk dapat
memenuhi kebutuhan kesehariannya, baik keluarga dan saudara, terlebih ketika
6
Ibid., Hal. 135.
7
Abdul Rahman Ghazaly, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana, Hal. 305.
3
perempuan ditinggal mati oleh suaminya maka tentu saja bagi perempuan tersebut
akan mendapatkan tugas ganda dalam keluarganya. 8
Pada saat sini perempuan membutuhkan banyak pertimbangan hukum,
terutama pada masa di mana seorang perempuan harus menyelesaikan tugasnya
dalam memenuhi kewajiban rumah tangga, menjadi tulang punggung keluarga,
sebagai pengganti suaminya yang telah meninggal dunia, sekaligus dalam kondisi
perempuan tersebut berihdad. Di mana dalam masa ihdad seorang perempuan
tidak diperkenankan bersolek dan berhias terlalu berlebihan, sehingga dalam
menyikapi kesenjangan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam persoalan
ihdad, maka kaum perempuan yang saat ini tidak lagi menjadi figur yang aktif
pada wilayah domestik saja, maka diperlukan sekali membincang posisi kaum
perempuan dalam Islam dengan menggunakan analisis gender. Oleh karena itu,
perlu menelaah dan memperhatikan antara ketetapan hukum dan kebutuhan sosial
dalam wilayah hak-hak perempuan yang banyak kalangan menganggap perempuan
telah terisolasi dengan ketetapan hukum tersebut. Dan kami rasa butuh
membincang dan menelaah kembali bagaimana posisi perempuan ketika terbelit
hukum yang kemudian seorang perempuan tidak dapat merealisasikan kembali hak
serta kewajibannya terutama dalam wilayah hukum ihdad, yang merupakan tradisi
hukum tetap bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya secara
otomatis terkena hukum ini.
8
Huzaemah Tahido Yanggo, 2000, Membincang
Perspektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, Hal. 151.
4
Feminisme
Diskursus
Gender
Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dan menuliskannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul
“Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek
Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender”.
B. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana ketentuan mengenai ihdad bagi perempuan menurut hukum Islam?
b. Bagaimana ihdad bagi perempuan dalam hukum Islam menurut analisis
gender?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan mengenai ihdad bagi
perempuan menurut hukum Islam.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis Ihdad bagi perempuan dalam hukum
Islam menurut analisis gender.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum umumnya dan hukum Islam
pada khususnya.
b. Kegunaan praktis
Secara peraktis hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan masukan serta solusi yang objektif, dalam rangka
5
memahami ketentuan mengenai ihdad bagi perempuan dalam Hukum Islam
dengan analisis dari aspek gender.
D. Kerangka Pemikiran
Menurut Abdul Wahhab Khallaf hukum didefinisikan sebagai berikut:
“Hukum dengan mengganti kalimat khitabullah (tuntutan Allah ta’ala) dalam
definisi di atas dengan khitabus syari’ (tuntutan syari’) dengan tujuan agar hukum
itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui
sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama”
Menurut Amir Syarifuddin, sebagai berikut, bahwa: “Hukum berfungsi
sebagai seperangkat peraturan yang berdasarkan Wahyu Allah dan Sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam”.
Sedangkan Abdurrahman Ghazaliy mendifinisikan ihdad di dalam bukunya:
“Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya.
Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari beserta larangan-larangannya”
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 113 tentang putusnya perkawinan
menyatakan sebagai berikut: “Perkawinan dapat putus karena: kematian,
perceraian dan atas putusan pengadilan”.
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 170 tentang masa berkabung dijelaskan
sebagai berikut: Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan
masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus
menjaga timbulnya fitnah”.
6
E. Keaslian Penelitian
Bahwa saya selaku penulis skripsi ini, sebelum membuat skripsi yang
berjudul “Analisis Hukum terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari
Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender” saya telah mencari data-data
terlebih dahulu mengenai dengan masalah ini di Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu tidak dan belum menemui judul atau permasalahan yang
sama seperti penelitian yang dilakukan oleh penulis, tetapi pada saat mencari data
melalui media internet penulis menemukan skripsi yang membahas tentang ihdad
yang berjudul “Dilema Praktik Ihdad (Studi Sosiologi Hukum Pada Masyarakat
Islam Kebayoran Lama)” yang disusun oleh Heni, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010.
Setelah melakukan analisis dari satu-satunya judul yang penulis temukan
melalui media internet, penulis melihat bahwa pembahasanya berbeda dengan
judul penulis. Penulis menjelaskan perbedaan judul skripsi yang penulis buat
dengan judul yang ditemukan melalui media internet tersebut.
Di dalam judul ini lebih bertujuan untuk mengetahui efektifitas masa ihdad
di Masyarakat Muslim Kebayoran Lama dan pemahaman Masyarakat Muslim
Kebayoran Lama tentang ihdad. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh
penulis menganalisis bagaimana ketentuan mengenai ihdad bagi perempuan
menurut hukum Islam dan menganalisis bagaimana ihdad bagi perempuan dalam
hukum Islam menurut analisis gender. Belum lagi metode penelitian yang penulis
gunakan yaitu penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian yang dilakukan
7
sebelumnya menggunakan metode penelitian empiris pada Masyrakat Islam
Kebayoran Lama.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, judul skripsi yang penulis buat ini tidak
ada persamaan atau meniru skripsi orang lain. Bahwa skripsi yang dibuat ini
merupakan data yang otentik, tidak merupakan jiplakan dari naskah atau karya
tulis penelitian orang lain yang sebelumnya.
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dalam penelitian diperlukan
metode dan prosedur kerja yang baik. Sehingga akan mudah memperoleh data
yang bisa mewakilinya. Berkaitan dengan metode penelitian, dalam penyusunan
sebuah penulisan hukum ada beberapa hal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses menemukan aturan hukum,
prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu
hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu
hukum. 9 Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Perbedaan mendasar dari
klasifikasi penelitian hukum tersebut terletak pada cara pandang peneliti
terhadap hukum. Penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai
9
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Hal. 35.
8
suatu norma atau kaidah yang otonom dan terlepas dari hubungan hukum
dengan masyarakat. Sementara penelitian hukum empiris atau sosiologis,
hukum dipandang dalam kaitannya dengan masyarakat atau sebagai gejala
sosial. 10
Jenis penelitian yang penulis gunakan termasuk dalam kategori
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder. 11 Pembahasan didasarkan pada peraturan perundang-undangan,
dokumen, jurnal hukum, laporan hasil penelitian serta referensi yang
relevan. Penelitian ini ditujukan kepada usaha untuk memperoleh gambaran
fakta atau gejala tertentu dan menganalisisnya secara deduktif yuridis
kualitatif dengan didukung oleh fakta-fakta hukum.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam peneletian ini dilakukan secara yuridis
normatif atau pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan Undang-undang
(statute approach) dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
10
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, UI Pres,
Hal. 43.
11
Soerjono Seokanto dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, Rajawali Pers, Hal. 15.
9
yang sedang diganti. 12 Pendekatan sejarah (historical approach) dilakukan
dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan
pengaturan mengenai isu yang dihadapi. 13
2. Sumber Bahan Hukum
a. Sumber Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dalam penelitian
ini terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah
amandemen.
b) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
c) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
d) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam.
b. Sumber Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, yang antara lain:
a) Hasil karya dari pakar hukum yang berkaitan dengan judul penelitian;
b) Buku bacaan yang berkaitan dengan judul penelitian;
c) Internet;
12
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, Hal. 93.
13
Ibid., Hal. 94.
10
d) Hasil penelitian dan literatur lain yang relevan.
Penelusuran literatur dalam penelitian ini diperoleh melalui:
i. Perpustakaan Universitas Bengkulu;
ii. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu;
iii.Perpustakaan Daerah;
iv. Koleksi Pribadi atau PIhak Lain;
v. Internet.
c. Sumber Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain:
a) Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI);
b) Kamus Bahasa Inggris;
c) Kamus Hukum;
d) Ensekopledia.
3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Data yang terkumpul masih merupakan bahan mentah. Oleh karena itu
masih perlu diolah lebih lanjut agar bisa disajikan sebagai hasil penelitian.
Adapun proses pengolahan data yaitu Editing (to edit atinya membetulkan)
adalah memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin
apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan.14
14
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, GhaliaIndonesia,
Jakarta, Hal. 64.
11
Pendapat lain mengatakan Editing merupakan pembenaran apakah data yang
terkumpul melalui studi pustaka, dokumen, sudah dianggap relevan, jelas,
tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan. 15
Dari hasil penelitian yang dilakukan kemudian diedit untuk relevansi
data yang pokok atau penting, sehingga akan tersusun deskripsi hasil penelitian
yang sesuai dengan kebenaran atau kenyataan dalam upaya menemukan
jawaban permasalahan.
4. Analisi Bahan Hukum
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian disajikan dengan
pendekatan kualitatif. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan
sekunder, kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang
ditetapkan. Data-data tersebut selanjutnya dikelompokkan untuk mendapatkan
gambaran yang utuh, menyeluruh dan tepat sebagai pemecahan masalahmasalah yang akan dijawab. Berikutnya dilakukan penulisan hasil penelitian
dengan metode deskriptis analitis di mana seluruh fakta dan permasalahan
yang berhubungan dengan objek penelitian akan disajikan secara utuh setelah
dianalisis berdasarkan norma-norma hukum yang dituangkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. 16
15
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal. 53.
16
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, Hal. 10.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Ihdad
Ihdad secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara definitif,
sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu
yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”.
Pembicaraan di sini menyangkut: untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat,
apa yang tidak boleh diperbuat dan hukum berbuat. 17 Ihdad maknanya
meninggalkan perhiasan dan wangi-wangian di waktu tertentu, oleh seseorang
yang ditinggalkan oleh orang dekat yang dikasihinya karena kehilangan dan
kesedihan yang mendalam. Perlu ditekankan di sisni, ihdad berbeda dengn
‘iddah, meskipun terkadang masa ihdad sama dengan masa ‘iddah.
Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa seseorang melakukan
ihdad, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihdad hanya dilakukan untuk
suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang meninggal dalam
masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya. Masa berkabung
(ihdad) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at. 18 Perempuan berkabung
17
Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawina Islam di Indonesia Antar Fiqh Munakahat dan
Undang- Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana, Hal. 320.
18
’Athif Lamadhoh, 2007, Fikih Sunnah Untuk Remaja, Jakarta, Cendekia Sentra Musliam,
Hal. 258.
13
atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari, berdasarkan firman
Allah Swt, yang artinya: 19
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari…”
Mengenai kenapa seseorang harus berkabung, maka dalam hal ini
menjadi bahasan di kalangan ulama. Adapun pendapat yang disepakati adalah,
bahwa ihdad atau berkabung hanya berlaku terhadap perempuan yang bercerai
dari suaminya karena kematian suaminya. Inilah maksud semula dari
ditetapkannya berkabung dalam Islam. Tujuannya ialah untuk menghormati
dan mengenang suaminya yang meninggal. Dasar dari kewajiban berkabung
untuk suami yang meninggal itu adalah sabda Nabi Saw yang bartinya:
Menceritakan padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan
padaku Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’
berkata aku mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim
(saudara laki-lakinya) meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi
Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian
mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata
sesungguhnya aku memakai wangi-wangian ini karena aku
mendengarkan Rasulullah Saw bersabda “Tidak boleh seorang
perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabungdi atas
tiga hari, kecuali untuk suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan
Ummi Habibah memberitahukan tentang ibunya dan tentang Zainab
isteri Rasulullah, dan tentang seorang perempuan yang menjadi bagian
isteri Rasul. 20
Makna ihdad secara etimologi adalah mencegah, dan di antara
pencegahan itu adalah mencegah perempuan dari berhias. Hal yang termasuk
19
Q.S. Al-Baqarah : 234.
20
Hadist Riwayat Muslim
14
dalam pengertian ihdad adalah menampakkan kesedihan. Adapun ihdad
secara terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari berhias dan
termasuk di dalam pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam
kondisi tertentu, dan yang demikian adalah ihdad atau tercegahnya seorang
perempuan untuk tinggal pada suatu tempat kecuali tempat tinggalnya
sendiri. 21
Jika dilihat arti kata berhias dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang
indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan berdandan
itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan
pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki, atau
menjadikan baik (rapi). 22 Ibnu Jarir At- Thabari, mengartikan perhiasan
adalah wajah dan dua telapak tangan, juga termasuk yang ada pada keduanya
seperti celak, cincin, gelang dan khidab (pewarna tangan). 23
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary sebagaimana dikutif oleh
Tihami dan Sohari Sahrani, Menyatakan:
ihdad berasal dari kata ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut alHidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologis (lughawi) ihdad
berarti al-Man’u (cegahan atau larangan). Sedangkan menurut Abdul
Mujieb, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung
21
Mansour Fiqih, 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta,
Pustaka Pelajar, Hal. 4.
22
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996, Kamus
Besar Bahas Indonesia , Jakarta, Balai Pustaka, Cet. Ke-7, Hal. 348.
23
Ibnu Jarir Al-Thabari, 1998 Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil Ayat al-Quran, Beirut, Daar
el-Fikri, Juz 17, Hal.119.
15
bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah
empat bulan sepuluh hari disertai dengan larangan-larangannya, antara
lain: bercelak mata, berhias diri, ke luar rumah, kecuali dalam keadaan
terpaksa. 24
Yang dimaksud dengan ihdad (masa berkabung) adalah masa di mana
seseorang harus memiliki rasa, yaitu; 1) Mempersiapkan. 2) Menata mental.
3) Menambahkan kesabaran bagi orang yang ditinggal. Di mana tiga poin di
sini adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan hal yang
sesuai dengan dasar syari’at dari dasar syari’at tersebut antara lain, dengan
kompromi, keserasian dan keadilan. 25
Menurut Hadist ihdad adalah:
”Dari Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari Ayyub
dari Hafshah dari Ummi Athiyyah dia berkata sesungguhnya Rasulullah
Saw bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang perempuan atas satu
mayit lebih dari tiga malam kecuali atas suami (boleh) empat bulan
sepuluh hari dan janganlah memakai pakaian (yang dimaksudkan untuk
perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut
ditenun, atau kain itu menjadi kasar/kesat (setelah dicelup).” dan
janganlah bercelak , memakai wangai-wangian kecuail ia bersih dari
qusth dan adzfar.” 26
Sayyid Abu Bakar al-Dimyati, definisi ihdad adalah: ”Menahan diri dari
bersolek/berhias pada badan.” Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah alZuhaili memberikan definisi tentang makna ihdad: ”ialah meninggalkan
harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak yang
mengharumkan maupun yang tidak.” Selanjutnya, sebagaimana definisi kedua
24
Tihami dan Sohari Sahrani, 2009, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta, Rajawali Press, Hal. 342.
25
Huzaemah Tahido Yanggo, Op. Cit. Hal. 153.
26
Ibid., Hal. 154.
16
di atas, Wahbah al- Zuhaili menegaskan maksud meninggalkan harumharuman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan
dengan anggota badan perempuan. Karena itu, perempuan yang sedang dalam
keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan
alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk di atas kain sutera. 27
B. Dasar Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang isteri selama empat
bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir
seluruh mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi sepakat pendapatnya
mengatakan bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita muslimah yang
merdeka, selama masa iddah kematian suami. 28 Adapun landasan hukum
disyari’atkannya ihdad adalah sebagai berikut:
1. Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 yang artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
2. Hadist Nabi Muhammad Saw yang artinya:
“Dari Zainab binti Abi Salamah r.a. berkata: Dia datang ke rumah Ummu
Habibah, Istri Nabi saw. Kata Zainab, aku mendengar Ummu Salamh
menceritakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah saw.
Kemudian bertanya, wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati
oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karna sakit kedua matanya,
bolehkah ia memakai celak untuk kedua matanya? Rasulullah menjawab,
27
Tihami dan Sohari Sahrani, Op.Cit, Hal. 343.
.
28
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muktasid, Juz 2, Hal. 92.
17
tidak boleh. Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. Setiap perkataannya
tersebut dikatakannya tidak boleh. Kemudian beliau bersabda,
sesungguhhnya ‘iddah wanita itu empat bulan sepuluh hari.” (HR.
Muslim) 29
Dari Ummu Habibah r.a. katanya: saya mendengar Rasulullah Saw
bersabda: Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
tidak diperbolehkan berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih
dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berkabung
selama empat bulan sepuluh hari. (HR. al- Bukhari dan Muslim) 30
“Dari Ummu Athiyah, bahwasanya Rasulullah Saw telah bersabda: “Tidak
boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam,
kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari, dan jangan ia pakai
pakaian yang bercelup kecuali kain genggang dan jangan ia bercelak dan
jangan memakai bau-bauan, kecuali kalau ia bersih”. 31
“Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari,
kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan
sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju
lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman,
jangan memakai inai, dan menyisir rambut kecuali ia baru suci dari
menstruasi, maka bolehlah ia mengambil sepotong kayu wangi”. (HR:
Ahmad, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah) 32
“Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia.
Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh
mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebanyak dua atau tiga kali.” 33
29
An-Nawawi, 1984, Sahih Muslim Syarh An Nawawi, Beirut, Daar el-Ihya, Cet. Ke-3, Juz
10, Hal.113.
30
Ahmad Sunarto, 2002, Terjemah Hadist Shahih Muslim, Bandung, Husaini, Hal. 877.
31
A. Hasan, 2009, Terjemah Bulughul Maram, Bandung, Diponogoro, Hal. 498.
32
Syaikh Kamil Muhammad’ Uwaidah, Fiqih Wanita, Solo, Hal. 421.
33
Muhammad bin Ismail Al-Kahlami, Subulus Salam, Pustaka Belajar, Hal. 202.
18
3. Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 170 tentang masa berkabung
dijelaskan sebagai berikut:
“Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah”
C. Tujuan Ihdad
1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau
berkabung dan sekaligus menjaga fitnah 34
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 170 ayat (1) menegaskan “Seorang
isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan
menjaga timbulnya fitnah.
2. Untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang
meninggal dengan pihak isteri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya. 35
3. Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian
suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai
mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya ihdad.
Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi dan
Khulafa el-Rasyidin tidak pernah melakukan ihdad selain cerai mati. 36
4. Bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam keadaan
hamil, hikmah ihdad adalah selama empat bulan sepuluh hari sicalon bayi
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Garfindo Persada, Hal. 319.
35
Majelis Ulama Indonesia, 1998, Jakarta, MUI, Hal. 64.
36
Syaikh Hasan Ayyub, 2006, Fikih Keluarga, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, Hal. 372.
19
yang tengah berada dalam perut ibu akan sempurna penciptaannya, yaitu
dengan ditiupkannya ruh adalah setelah seratus dua puluh hari berlalu.
Sepuluh hari tersebut bentuk mu’anats yang dimaksudkan sebagai waktu
malamnya. 37
D. Dampak Ihdad
Kita ketahui bahwa bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi
isterinya untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun, bila si isteri
dalam
keadaan
hamil
maka
ihdadnya
berakhir
dengan
melahirkan
kandungannya, baik masanya lama atau sebentar. Hal ini sesuai dengan Pasal
170 Kompilasi Hukum Islam 38 yang berbunyi:
1. Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa
berkabung sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya
fitnah.
2. Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa
berkabung menurut kepatutan.
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihdad merupakan hak syar’i dan
merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia
Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul
dengan bekas suaminya. 39
37
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fikih Wanita, Solo, Hal. 421.
38
Abdurrahman, 2000, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Kencana, Hal. 155.
39
Wahbah Zuhaili, 1989, al-Fiqh al-Islamy Wa’adillatuhu, Bandung, Hal. 7206.
20
Silang pendapat di antara fuqaha yang mewajibkannya atas wanita
muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha
yang menganggap ihdad sebagai suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami
ma’nanya), maka mereka tidak mewajibkan atas wanita kafir, sedangkan bagi
fuqaha yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami ma’nanya,
yaitu untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah
wanita
yang
berihdad
memandang
kepada
lelaki,
maka
mereka
mempersamakan antar wanita kafir dengan wanita muslimah. 40
Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabah (ahli kitab), para ulama
berbeda pendapat. Menurut Jumhur kewajiban ihdad meliputi semua isteri
yang dinikahi secara sah, baik wanita yang masih kecil, dewasa, gila,
muslimah atau kitabiah. Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak yang
dijadikan isteri. 41
Senada dengan pendapat jumhur adalah pendapat Imam Malik. Imam
Malik menyatakan Wajib ihdad atas wanita kitabah, karena wanita kitabah
yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama
dengan hak wanita yang beragama Islam.
Selain itu, ihdad adalah ibadah yang tidak dipahami maknanya yaitu
menghindarkan wanita dari pandangan laki-laki atau sebaliknya. Karena itu,
40
Abdurrahman Ghazaly, 2003, Fikih Munakahat, Jakarta, Kencana, Hal. 307.
41
Wahbah Zuhaili, 1989, al-Fiqh al-Islamy Wa’adillatuhu, Bandung, Hal.7205.
21
wanita muslimah dan non muslimah termasuk kitabah sama-sama wajib
ihdad. 42
Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah,
demikian juga pendapat As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi:
“Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
berihdad dan seterusnya.” Menunjukan bahwa syarat wanita yang berihdad
adalah beriman, tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuan-ketentuan
tentang ihdad pada diri wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas
wanita non muslimah termasuk kitabiyah. 43
Akan hal silang pendapat fuqaha mengenai hamba mukatabah (hamba
perempuan yang menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal
itu terjadi dari segi ketidak jelasan statusnya sebagai orang merdeka atau
sebagai budak. Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan
hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad),
maka hal yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari
keduanya. 44
Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama ihdad disimpulkan
pula oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu segala bentuk perhiasan yang dapat
menarik perhatian laki-laki, kecuali sesuatu yang bukan dianggap sebagai
perhiasan. Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan pemakaian
42
Ibnu Rusyd, 1989, Bidayatul Mujtahid, juz 2, Hal. 93.
43
Ibid., Hal. 93
44
Abdurrahman Ghazaly, 2003, Fikih Munakahat, Jakarta, kencana, Hal. 308.
22
celak mata kalau terpaksa, tetapi sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa
celak itu bukan dianggap sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan
bahwa pemakaian dilakukan hanya pada malam hari. 45
Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad bagi wanita yang
ditinggal mati suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang penggunaan
celak mata. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan mereka
terhadap celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa celak mata
itu sebagai perhiasan dan ada pula yang menganggap bukan perhiasan. Ibrahim
Al-Bajuri rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya menggunakan
sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya
bukan untuk berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada
rambut kepala atau selainnya. 46 Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad
menggunakan cara lain. Bagi wanita yang berprofesi di luar rumah seperti
dokter, perawat dll, maka mereka boleh ke luar rumah untuk menunaikan
kewajibannya. Demikian pula karena mereka berhadapan dengan orang
banyak, maka boleh baginya memakai parfum sekedarnya, serta ia boleh
memakai aksesoris alakadarnya asal tidak dimaksudkan untuk berhias dan
pamer. 47
45
Abu Ishak Syairazi, Al-Muhazzab Fi Fiq Imam Syafi’I, Semarang, Putera Semarang, tth,
juz 2, Hal.149.
46
Ibrahim Al-Bajuri, 2000, Hasyiyah Al-Bajuri, Surabaya, Daar el-Abidin, juz 2, Hal. 175.
47
Abu Yasid, 2005, Fiqh Realitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hal. 330.
23
Ibnu Qudamah 48 rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang
harus dijauhi wanita yang berihdad yaitu:
1. Bersolek atau menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai
kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).
2. Meninggalkan pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar
menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna
merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti
biru, hijau, dan kuning.
3. Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah
rahimahullahu
berkata,
“Perkataan
‘Atha`
rahimahullahu,
‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang
adalah perhiasan dari emas’, pendapat Atha’ ini tidaklah benar.
Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan
juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi
dorongan untuk menggaulinya.
E. Tujuan Umum Terhadap Gender
1. Pengertian Gender
Perubahan Kata ”jender” berasal dari bahasa Inggris, gender yang
berarti ”jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender
48
Ibnu Qudamah, 1989, Al-Mughni, Kairo, Hazr, Hal. 286.
24
diartikan sebagai ”perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.” 49
Gender diartikan sebagai konsep yang mengacu pada peran dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang terjadi yang
diakibatkan perubahan-perubahan sosial dan budaya masyarakat. Adapun
sesungguhnya pengertian jenis kelamin merupakan satu pengertian bahwa
dikotomi atau pembagian dua jenis kelamin manusia adalah hanya
ditentukan secara biologis dengan tanda-tanda tertentu yang secara umum
tidak dapat ditukarkan dan dapat dikenali semenjak manusia terlahir, yang
pada akhirnya ketentuan dari Tuhan itu disebut dengan kodrat, dan dari
sesuatu yang kodrati inilah muncul satu istilah yang lazim disebut dengan
jenis kelamin, dari sini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa gender dalam
tafsir sosial adalah merupakan perbedaan jenis kelamin secara biologis
antara laki-laki dan perempuan.
Penjara Menurut Raihan, 50 pengertian gender dalam bahasa Inggris
adalah:
Jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Selanjutnya gender atau
yang lebih popular dikenal dengan kemitrasejajaran antara laki-laki
dan perempuan adalah “Kondisi dinamis, di mana laki-laki dan
perempuan memiliki kesamaan hak, kewajiban, kedudukan, peranan
dan kesempatan yang dilandasi sikap dan perilaku saling menghargai,
saling menghormati, saling membantu dan saling mengerti dalam
pembangunan di berbagai bidang”.
49
Nasruddin Umar, 2001, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta,
Paramadina, Hal. 33.
50
Raihan Putry Ali Muhammad, 2002, Gender Dalam Perspektif Islam,
Aceh: Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprov Nanggroe Aceh Darussalam, Hal. 1.
25
Banda
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, melintas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal sex dan
gender, 51 an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dikenal
dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu
merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang
lemah lembut; ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain. Dan hal tersebut merupakan konsep dari hasil kontruksi
sosial dan kultural, bukan kodrati atau alami. 52
Lembaga H.T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender
sebagai sebuah suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan lakilaki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai
akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. 53
51
Mufidah Ch, 2003, Paradigma Gender, Malang, Bayumedia, Hal. 3.
52
Mansour Fakih, Op.Cit., Hal. 8.
53
Op.Cit., Hal. 34.
26
Siti Muslikhati berpendapat Gender adalah: 54
Salah satu konsep tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan
perempuan (feminin) yang dibentuk secara sosio-kultural, di dalam
Women’s Studies Encyclopedia, dijelaskan bahwa gender adalah
konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran,
posisi, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara lakilaki dan perempuan dalam masyarakat. Pada dataran ini, ada garis
yang bersifat kultur, di mana ciri dan sifat-sifat yang diletakkan pada
laki-laki dan perempuan bisa saja dipertukarkan, karena hal tersebut
tidak bersifat kodrati.
Agar memudahkan dalam memberikan pengertian gender tersebut,
pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks (jenis kelamin).
Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. 55 Alat-alat
tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan,
bersifat permanen dan dapat dikenali semenjak manusia lahir. Itulah yang
disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat. Namun, ketika kita melihat
pada kenyataan yang terjadi sekarang ini, misalnya dalam bidang ekonomi
atau sosial, banyak perempuan yang lebih unggul dari pada laki-laki, jadi
keutamaan laki-laki yang melebihi perempuan sebagaimana dikemukakan
dalam Al-Qur’an bukan karena kekurangan perempuan yang bersifat
kodrati dan permanen, melainkan berdasarkan pada pembagian tugas sesuai
54
Siti Muslikhati, 2004, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan
Islam, Jakarta, Gema Insani, Hal. 20.
55
Mufidah CH, 2008, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang, UIN Press,
Hal. 3.
27
dengan kondisi dan tradisi yang berlaku di masyarakat, dan berdasarkan
pada peraturan Tuhan yang dapat berubah. 56
2. Teori Dasar Tentang Gender
a. Teori Kodrat Alam
Menurut teori ini perbedaan biologis yang membedakan jenis kelamin
dalam memandang jender. Teori ini dibagi menjadi, dua yaitu: 57
i. Teori Nature
Teori ini memandang perbedaan gender sebagai kodrat alam yang
tidak perlu dipermasalahkan.
ii. Teori Nurture
Teori ini lebih memandang perbedaan gender sebagai hasil rekayasa
budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku
universal dan dapat dipertukarkan.
b. Teori Kebudayaan
Pada teori ini memandang gender sebagai akibat dari konstruksi budaya
Menurut teori ini terjadi keunggulan laki-laki terhadap perempuan
karena konstruksi budaya, materi, atau harta kekayaan. Gender itu
merupakan hasil proses budaya masyarakat yang membedakan peran
56
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), 2003, Wajah Baru Relasi Suami-Isteri, Yogyakarta,
LKIS, Hal. 45.
57
Suryadi dan Idris, 2004, Gender di Indonesia, Yogyakarta, Alumni, Hal. 24.
28
sosial laki-laki dan perempuan. Pemilahan peran sosial berdasarkan jenis
kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk dan dilatihkan. 58
c. Teori Fungsional Struktural
Berdasarkan teori ini munculnya tuntutan untuk kesetaraan gender
dalam peran sosial di masyarakat sebagai akibat adanya perubahan
struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Dalam era globalisasi yang
penuh dengan berbagai persaingan peran seseorang tidak lagi mengacu
kepada
norma-norma
kehidupan
sosial
yang
lebih
banyak
mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh
daya saing dan keterampilan. 59
d. Teori Evolusi
Menurut teori ini semua yang terjadi di jagat raya tidak berlangsung
secara otomatis tetapi mengalami proses evolusi atau perubahanperubahan yang berjalan secara perlahan tapi pasti, terus-menerus tanpa
berhenti.
Kesetaraan gender merupakan gejala alam atau tuntutan yang
menghendaki kesetaraan, yang harus direspon oleh umat manusia dalam
rangka adaptasi dengan alam. Berdasarkan teori ini pembagian tugas dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan pada zaman dahulu tidak
pernah dipermasalahkan karena lamanya menuntut demikian. Sekarang
58
Suryadi dan Idris, Ibid., Hal. 25.
59
Ibid..
29
tuntutan kesetaraan gender menjadi permasalahan yang menjadi perhatian
manusia di seluruh dunia juga karena alam menuntut demikian disebabkan
adanya perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berlaku di
masyarakat yang memungkinkan peran laki-laki dan perempuan bisa sama
atau dipertukarkan.
F. Tinjauan Terhadap Hukum Islam
a. Hukum Islam
Hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang karena umat Islam
di Indonesia merupakan kelompok mayoritas baik di Indonesia sendiri
maupun kelompok terbesar di dunia. Hukum Islam sebagai hukum yang
dibuat dan berlaku terutama bagi umat tersebut adalah merupakan hukum
dengan subjek yang besar. Hukum Islam menempati posisi yang sangat
strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tapi bagi dunia Islam pada
umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam
Sistem Hukum Indonesia. Jika ditelaah lebih jauh, Indonesia bukanlah
sebuah Negara Islam, tetapi sebuah Negara Nasional tidak memberi tempat
hanya pada umat Islam untuk melaksanakan Hukum Islam, tetapi juga
memberi tempat pada umat-umat penganut agama lain seperti Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, tetapi negara secara formal juga tidak
sepenuhnya menutup mata dari pelaksanaan hukum Islam sehingga di
samping punya landasan dogmatik pelajaran agama, keberadaan hukum
30
Islam juga didukung oleh umatnya dan untuk sebagian punya landasan
formal dari Kekuasaan Negara Republik Indonesia. 60
Walaupun Negara Republik Indonesia bukan merupakan Negara
Islam, Pancasila sebagai dasar Negara menjamin untuk menjalankan
syari’at agama dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa-nya. Hukum Islam
menempati posisi yang sangat penting sekali, hal ini sejalan dengan ajaran
tauhid yang merupakan sendi pokok dari ajaran Islam. Hukum Islam telah
memberikan landasan idiil yang cukup kokoh untuk melaksanakan
ketentuan Hukum Islam dalam Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.
Kemudian dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan pula bahwa
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya. Landasan konsitusional itulah yang menjadi jaminan
formal dari setiap muslim dan umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan
ketentuan Hukum Islam dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat
dan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia dalam rangka
kegiatan pembangunannya telah menempatkan pembinaan
Hukum
Nasional sebagai salah satu bidang garapannya. Selama beberapa abad
Indonesia masih disibukkan dengan berbagai kegiatan merancang apa dan
bagaimana Hukum Nasional yang dibentuk, di situlah peluang Hukum
60
Abdurrahman,
Pressindo, Hal. 1-3.
2004,
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta,
31
Akademika
Islam untuk dapat menjadi salah satu bahan Hukum Nasional. Selain dari
Hukum Islam, bahan Hukum Nasional juga mengadopsi Hukum Barat dan
Hukum Adat. Jika Hukum Islam ingin mendapatkan tempat yang lebih luas
dalam kehidupan Hukum Nasional harus dapat menunjukkan keunggulan
komparatifnya dari berbagai Hukum yang lainnya. 61
Selain itu, Hukum Islam selalu menampakkan dua wajah. Hukum
Islam yang bersifat universal dengan daya jangkau untuk semua tempat dan
segala zaman, namun di sisi lainnya Hukum Islam juga dituntut untuk
menempatkan diri dengan wajahnya yang khas. Hukum Islam Indonesia
masa kini yang merupakan sebuah label yang diberikan pada ketentuanketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia dan sekaligus
menampilkan corak khas ke-Indonesiaannya. Sistem dan budaya Indonesia
akan lebih terefleksi di dalamnya sehingga Hukum Islam dimaksud untuk
beberapa bagian tertentu seperti kaidah hukum maupun pola pemikirannya
tetap bersumberkan pada sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.62
Hukum Islam pun terus berkembang dari sejak awal mulanya Islam masuk
ke Indonesia sampai masa kini, dan hal itu sudah barang tentu diwarnai
momentum-momentum yang terjadi dalam waktu yang dilaluinya.
Umat Islam pun membuat Kompilasi Hukum Islam dalam rangka
member arti yang positif bagi kehidupan beragama dalam rangka
kebangkitan umat Islam dan berperan penting dalam pembentukan Hukum
61
Ibid.,
62
Ibid., Hal. 4.
32
Nasional. Kompilasi Hukum Islam sebaiknya dilihat sebagai batu loncatan
untuk meraih masa depan lebih baik yang merupakan bentuk karya besar.
Kompilasi Hukum Islam harus diterima sebagai hasil yang optimal.
Walaupun demikian, Kompilasi Hukum Islam tidak bersifat mutlak
sebagaimana halnya wahyu Tuhan maka kita juga punya peluang untuk
memberikan beberapa pertimbangan yang masih diperlukan untuk
menyempurnakannya lebih baik, terbuka dalam menerima usah usaha
penyempurnaan.
Hukum Islam baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada
umumnya sampai hari ini adalah hukum fiqh hasil penafsiran pada abad ke
dua dan beberapa abad berikutnya. Kitab-kitab klasik di bidang fiqh masih
tetap berfungsi, namun kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada
masalah-masalah ibadat, tidak banyak diarahkan pada fiqh muammalah.
Hal ini membuat hukum Islam begitu kaku berhadapan dengan masalahmasalah yang terjadi saat ini. Materi-materi yang ada di dalam buku-buku
fiqh tidak atau belum disistematisasikan sehingga bisa disesuaikan dengan
masa sekarang. Banyak masalah baru yang belum ada padanannya pada
masa Rasulullah dan pada masa para mujtahid di masa madzhab-madzhab
terbentuk, oleh karena itu ijtihad perlu digalakkan kembali.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, dalam membicarakan hukum
Islam di Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum
33
Islam dalam Sistem hukum Indonesia. 63 Sedangkan menurut Ichtianto,
hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi/ditaati oleh mayoritas
penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam
masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada
dalam kehidupan Nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan dan
pengembangannya. 64 Menurut Rahmat Djatnika, penerapan hukum Islam
di Indonesia dalam kehidupan masyarakat dapat dilakukan dengan
penyesuaian pada budaya Indonesia yang hasilnya kadang-kadang berbeda
dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negeri-negeri Islam
lainnya. 65 Penerapan hukum Islam melalui perundang-undangan seperti
Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam penerapan
hukumnya, walaupun masih sebagian kecil telah berkembang dengan
penerapannya yang menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat untuk
menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat untuk menuju tujuan
hukum Islam seperti masalah monogami, masalah batas umur boleh kawin,
masalah jatuhnya thalak di hadapan sidang Pengadilan, masalah harta
bersama, masalah nadzor dan saksi pada perwakafan tanah milik, dan
masalah ikrar perwakafan harus tertulis. Penerapan hukum tersebut
mengandung masalah ijtihadiyah yang diselesaikan dengan ijtihad ulama
Indonesia dengan menggunakan metode-metode istihlah, istihsan, ‘urf dan
63
Ibid., Hal. 16.
64
Ibid.,
65
Ibid., Hal. 17.
34
lain sebagainya yang merupakan metode istidlal dengan tujuan jabal
mashalih wa dar’u al mafasid. Kalau ada yang tidak sependapat dengan
hasil ijtihad tersebut sedangkan hakim memutuskan dengan ketentuan
dalam perundang-undangan, maka ijtihad hakim tidak dapat dibatalkan
dengan ijtihad lain. Berbeda pendapat dengan yang dikemukakan Nasution
bahwa ijtihad bisa dilawan dengan ijtihad.
Politik hukum Nasional yang ditetapkan dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara menurut Masrani Basran adalah kodifikasi hukum,
dimungkin unifikasi hukum. Oleh karena kebutuhan yang amat mendesak,
maka Mahkamah Agung berpendapat perlunya ditetapkan sasaran antara
yaitu Kompilasi Hukum Islam. 66 Kompilasi Hukum Islam pun harus segera
dibentuk, Kompiliasi Hukum Islam merupakan kumpulan pendapatpendapat dalam masalah fiqh yang selama ini dianut oleh umat Islam
Indonesia diwujudkan dengan bentuk kitab hukum dengan bahasa UndangUndang. Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di ataranya
dilatarbelakangi oleh beberapa hal:
1. Kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat mengenai
masalah hukum Islam.
Menurut K.H. Hasan Basry Ketua Umum MUI, sesorang yang
punya andil besar dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam, Umat
Islam di Indonesia memerlukan Kompilasi Hukum Islam sebagai
pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib
66
Ibid., Hal. 59.
35
dipatuhi oleh seluruh Bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan
ini diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam
lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang
disebabkan oleh masalah fiqh akan diakhiri. 67 Sebelum adanya
Kompilasi Hukum Islam, dalam praktik ada keputusan Peradilan Agama
yang saling berbeda dan mengakibatkan Keputusan Peradilan Agama
tidak seragam padahal kasusnya sama. Bahkan Keputusan tersebut dapat
dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap
sepaham.
Menurut Pendapat Hakim Agung Bustanul Arifin, yang juga
merupakan tokoh berperan besar dalam pembentukan Kompilasi Hukum
Islam, Hukum Islam (fiqh) tersebar sejumlah besar kitab susunan para
fuqaha beberapa abad yang lalu. Dalam setiap masalah selalu ditemukan
lebih dari satu pendapat (qaul), hal ini menyebabkan masyarakat
bertanya “Hukum Islam yang mana?” Pribadi-pribadi atau kelompokkelompok tertentu mungkin telah menganut paham tertentu. Bustanul
Arifin tidak mengingkari adanya perbedaan pendapat, namun jika
diberlakukan di Pengadilan suatu peraturan harus jelas dan sama bagi
semua orang untuk kepastian hukum. 68
67
Ibid., Hal. 20.
68
Ibid., Hal. 21.
36
2. Masalah fiqh berbeda-beda dikhawatirkan jadi pemecah.
Sebuah perbedaan di antara fiqh-fiqh yang ada semestinya
membawa rahmat, bukanlah perpecahan. Jangan sampai fiqh yang
seharusnya membawa rahmat justru menjadi perpecahan yang nantinya
mendatangkan laknat Allah. Dasar Peradilan Agama adalah kitab-kitab
fiqh. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau
setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan
pemakaian kitab/pendapat yang memang tidak menguntungkannya,
seraya menunjuk kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang
berbeda. Antara para hakim pun sering berselisih sesama mereka tentang
pemilihan kitab rujukan.
Fiqh yang kita pakai sekarang jauh sebelum lahirnya paham
Kebangsaan. Ketika itu praktik ketatanegaraan Islam masih memakai
konsep umat. Berbeda dengan paham kebangsaan, konsep umat
menyatukan berbagai kelompok masyarakat dengan tali agama. Paham
kebangsaan baru lahir setelah Perang Dunia Pertama, kemudian Negaranegara Islam pun menganutnya, termasuk negara-negara di Dunia Arab.
Dengan demikian, kita tak lagi bisa memakai sejumlah produk dan
peristilahan yang dihasilkan sebelum lahirnya paham kebangsaan itu. 69
3. Pemilihan kitab rujukan yang ada di antara hakim berbeda.
Kitab-kitab rujukan bagi Pengadilan Agama pada dasarnya
sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat
69
Ibid., Hal. 23.
37
Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958
yang merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di
luar Jawa dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan
bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan
memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitabkitab di bawah ini: 70
1. Al Bajuri;
2. Fathul Muin dengan syarahnya;
3. Syarqawi alat tahrir;
4. Qulyubi/Muhalli;
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya;
6. Tuhfah;
7. Targhibul Musytaq;
8. Qawaninusy Syar’iyah lissayyid Usman bin Yahya;
9. Qawaninusy Syar’iyah lissayid Shodaqoh Dakhlan;
10. Syamsuri lil Fara’idl;
11. Bughyatul Mustarsyidin;
12. Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah; dan
13. Mughnil Muhtaj.
70
Ibid., Hal. 22.
38
Umumnya kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab kuno dalam
Mahzab Syafi’i, kecuali mungkin untuk kitab Al Fiqh ‘alal Muadzahibil
Arba’ah termasuk bersifat komparatif atau perbandingan Madzhab.
Hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab, kecuali kitab
Qawaninusy Syar’iyah lissayyid Usman bin Yahya yang ditulis dalam
bahasa Melayu Arab. Materi yang ada di dalam kitab-kitab rujukan
tersebut masih belum memadai dan kepastian hukum yang merupakan
kebutuhan bagi pencari keadilan masih belum terpenuhi. Di antara ke-13
kitab rujukan tersebut pun sudah jarang menjadi rujukan para hakim
Pengadilan Agama di Indonesia.
4. Kitab kuning yang merupakan ijtihad, berisi pendapat dan pasti berbeda
antara pendapat mujtahid yang satu dengan yang lainnya.
Menurut tulisan Masrani Basran, Situasi Hukum Islam di negara
Indonesia tetap tinggal dalam kitab-kitab kuning, kitab-kitab yang
merupakan karangan dan bahasan Sarjana-sarjana Hukum Islam, sebagai
karangan dan hasil pemikiran (ijtihad seseorang), maka tiap-tiap kitab
kuning itu diwarnai dengan pendapat dan pendirian masing-masing
pengarangnya. Untuk dasar pemberian fatwa-fatwa tergantung pada
kemauan dan kehendak orang-orang yang meminta fatwa tersebut. 71
Hakim Pengadilan Agama harus mampu menentukan hukum
dalam suatu perkara/sengketa yang harus mampu mengatasinya
mencarikan pemecahannya dan bila ia tidak mampu melakukannya
71
Ibid., Hal. 25.
39
akan merusak rasa keadilan bagi pihak-pihak yang mencari keadilan.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu
masalah adanya perbedaan-perbedaan pendapat tentang hukum,
seharusnya diberikan batasan-batasan tertentu melalui putusan-putusan
Hakim inconcreto, dalam perkara secara konkrit sehingga perbedaanperbedaan pendapat tersebut akan diarahkan pada kesatuan pendapat,
kesatuan penafsiran tentang suatu aturan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Selain itu, kitab kuning yang ada ditulis dalam bahasa Arab
abad 8,9 dan 10 M sehingga yang bisa membacanya hanyalah orangorang yang benar-benar belajar khusus untuk itu, diperkirakan di
Indonesia jarang yang melakukannya dan makin hari semakin sedikit,
apalagi untuk memahami isi kitab kuning tersebut. Hal ini
menyebabkan rakyat yang sebenarnya amat berkepentingan untuk
mengetahui hak dan kewajibannya hanya mempercayakan pendapat
dari ulama baik berupa nasihat maupun fatwa ulama saja. Dengan
demikian, hakim-hakim Pengadilan akan kehilangan kewibawaannya
dalam memberikan keputusan, walau benar sekali pun tetap diragukan
jika berbeda dengan pendapat fatwa. Hukum akan sulit ditegakkan dan
semakin sulit meningkatkan kesadaran hukum masyarakat jika ada
kekacaauan pengertian antara putusan Hakim (Qada) dan fatwa (Ifta).
Menurut Masrani Basran, untuk mengatasi kesulitan tersebut,
40
dilaksanakan proyek yurisprudensi Islam yang beruang lingkup
mengadakan Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya, Yahya Harahap, salah seorang Hakim Agung
yang juga punya andil besar dalam pembentukan Kompilasi Hukum
Islam
menekankan
pada
adanya
penonjolan
kecendurungan
mengutamakan fatwa atau penafsiran ulama dalam menemukan dan
menerapkan hukum, para Hakim di Peradilan Agama sudah
menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai landasan hukum. Kitab-kitab fiqh
sudah berubah fungsi dari semula sebagai literatur pengkajian ilmu
hukum Islam menjadi “Kitab Hukum” (perundang-undangan).72
Hukum Islam yang diterapkan dan ditegakkan seolah-olah bukan lagi
berdasarkan hukum tapi sudah menjurus ke arah penerapan menurut
kitab. Pertimbangan dan putusan dijatuhkan, berdasarkan pada kitab.
Seharusnya Pengadilan harus berdasarkan hukum. Orang tidak boleh
diadili berdasarkan buku atau pendapat ahli atau ulama manapun
karena hal ini tidak dapat dipertahankan .
M. Yahya Harahap dalam tulisannya menyebutkan tujuan dari
pembentukan Kompilasi Hukum Islam, di antaranya:
a) Untuk merumuskan secara sistematis Hukum Islam di Indonesia
secara konkrit.
b) Guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di
Lingkungan Peradilan Agama.
72
Ibid., Hal. 27.
41
c) Sifat kompilasi berwawasan nasional (bersifat supra sub kultural,
aliran atau mahdzab) yang akan diperlakukan bagi seluruh
masyarakat Islam Indonesia, jika timbul sengketa di depan sidang
Peradilan Agama (kalau di luar proses peradilan, tentu bebas
menentukan pilihan dari sumber fiqh yang ada).
d) Dapat terbina penegakan kepastian Hukum yang lebih seragam
dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.
Dengan demikian penyusunann Kompilasi Hukum Islam
diharapkan merupakan peeraturan-peraturan hukum Islam yang sesuai
dengan kondisi kebutuhan hukum dan kesadaran hukum umat Islam
Indonesia. Gagasan ini pernah disampaikan oleh Hasbih Ash-Shidiqi
dan Hazairin. akan perlunya disusun Fiqh Indonesia.
b. Sumber-sumber Hukum Islam
Garis hukum adalah ketentuan yang jelas yang dirumuskan secara
tersendiri dan mempunyai hubungan dengan penggolongan dari al ahkam
al khamsah. Hubungan antara garis hukum dengan al ahkam al khamsah
ada yang langsung ada juga yang tidak langsung. Banyak di antara garis
hukum belum pasti dapat ditentukan hukumnya apakah wajib, haram,
sunnah, makruh atau mubah dengan melihat pada garis hukum itu saja. Ada
pula sebagian garis hukum yang di dalamnya sekaligus telah ada penegasan
hukumnya sehingga hukumnya langsung bertaut dan termuat dalam garis
hukum yang bersangkutan. Untuk garis hukum yang belum pasti hukumnya
penerapan dan penyesuaian kepada hukum dibantu dengan bahan-bahan
42
dan keterangan-keterangan lainnya. Cara untuk membentuk garis hukum
adalah dengan mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Rasul dan
pendapat atau ijtihad ulil-amri, ijtihad yang sangat dikenal adalah atsar
sahabat Rasul begitu juga dengan ijtihad mujtahid-mujtahid Islam lainnya.
Dapat diperhatikan dengan seksama jika terjadi pendapat yang berbeda
tentang suatu hal, lebih baik dikembalikan kepada Allah dan Rasul, tidak
dikembalikan ke ulil amri, seperti yang disebutkan dalam firman Allah
Surah An-Nisa: 59
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ullil Amri (pemegang kekuasaan) di
antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” 73
Dasar pembentukan garis hukum itu berupa ayat Al Quran, hadits
Rasul, dan ijtihad ulil amri, yang mana merupakan sumber dari hukum
Islam, ’dalil’ hukum Islam, atau ’pokok’ hukum Islam, atau ’dasar’ hukum
Islam 74. Berdasarkan hadits Mu’az bin Jabal, ketiga sumber hukum Islam
tersebut merupakan rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan, tidak
boleh dibalik. Urutannya adalah Al Qur’an dan As Sunnah yang terdapat
dalam kitab-kitab Hadits yang biasa disebut Al Hadits merupakan sumber
utama, sedangkan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad menentukan norma benar-salahnya suatu perbuatan merupakan
73
Al-Qur’an dan Terjemahan, Q.S:IV:59.
74
Ali, Op.Cit., Hal. 75-76.
43
sumber tambahan atau sumber pengembangan. Dari hadits Mu’az bin Jabal
dapat dismpulkan hal lain di antaranya:
”(1)Al-Qur’an bukanlah kitab hukum yang memuat kaidah-kaidah
hukum secara lengkap dan terperinci. Pada umumnya hanya
memuat kaidah-kaidah hukum fundamental yang harus dikaji
dengan teliti dan dikembangkan oleh pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk diterapkan dalam masyarakat, (2) Sunnah
Nabi Muhammad dalam Al-Hadits pun sepanjang yang mengenai
soal muamallah yaitu soal hubungan antara manusia dengan
manusia lain dalam masyarakat, pada umumnya hanya mengandung
kaidah-kaidah umum yang harus dirinci oleh orang yang memenuhi
syarat untuk dapat diterapkan pada atau dalam kasus-kasus tertentu,
(3) Hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As Sunnah
atau Al-Hadist itu perlu dikaji, dirinci lebih lanjut, (4) Hakim (atau
penguasa) tidak boleh menolak untuk menyelesaikan suatu masalah
atau sengketa dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada. Ia wajib
memecahkan masalah atau menyelesaikan sengketa yang
disampaikan kepadanya dengan berijtihad, melalui berbagai jalan
(metode), cara atau upaya.”
Dasar dari pembentukan garis hukum seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, berupa ayat Al-Qur’an, Hadits Rasul, dan ijtihad ulil amri.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam (diktum) Allah Swt yang diturunkan
oleh-Nya dengan perantaan malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah.
Juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman umat manusia dan
sebagai amal ibadah jika dibacanya, 75 merupakan sumber hukum utama
yang memuat kaidah-kaidah fundamental (asasi) yang perlu dikaji
dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Al-Qur’an adalah kitab
suci yang memuat wahyu (firman) Allah, asli seperti yang disampaikan
75
Abdul Wahhab Khallaf, 1985, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul-Fiqh),
Jakarta, Rajawali Pers, Hal. 22.
44
oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi pedoman
atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya
mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an adalah kalam
(diktum) Allah Swt yang diturunkan oleh-Nya dengan perantaan
Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah. Al-Qur’an merupakan intisari
dari semua pengetahuan, yang bersifat prinsipal saja. Sesuatu yang
mustahil jika manusia mencoba mencari penjelasan ilmiah yang terinci
di dalam Al-Qur’an dilakukan oleh beberapa penafsir. Untuk
menemukan maksud dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam AlQur’an manusia harus menghayati arti sebenarnya sehingga dapat
diketemukan dasarnya, bukan rincian ilmu pengetahuan dalam AlQur’an.
Menurut para ahli, garis-garis besarnya Al-Qur’an memuat soalsoal yang berkenaan dengan akidah, syari’ah baik ibadah maupun
muamallah, akhlak, kisah-kisah umat manusia di masa lalu, berita-berita
tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat), dan benih atau
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum, yang berlaku bagi
alam semesta termasuk manusia di dalamnya. 76 Dengan sempurnanya
turunnya Al-Qur’an maka menjadi lengkapalah syari’at Islam. 77
76
Ali, Op.Cit., Hal. 83.
77
Muhammad Abu Zahra, 1999, Ushu Fiqh (Ushul al Fiqih), diterjemahkan oleh
Saefullah MA, et.Al., cet.5, Jakarta, Pustaka Firdaus, Hal. ix.
45
Hukum Muamallah dapat dirinci sebagai berikut: 78
1. Hukum badan pribadi, yang berhubungan dengan unit keluarga
mengatur hubungan suami-isteri dan sanak kerabat, antara satu
dengan yang lainnya.
2. Hukum Perdata, yang berhubungan dengan muamallah antara
perorangan, masyarakat dan persekutuannya seperti jual beli,
sewa-menyewa, gadai-menggadai, pertanggungan, syirkah,
utang piutang dan memenuhi janji secara disiplin. Mengatur
hubungan perorangan, masyarakat yang menyangkut harta
kekayaan dan memelihara hak setiap orang bersangkutan yang
mempunyai hak.
3. Hukum Pidana, yang berhubungan dengan tindak kriminal dan
masalah pidananya bagi si pelaku kriminal.
4. Hukum Acara, yang berhubungan dengan pengadilan, kesaksian
dan sumpah, merealisasikan keadilan di antara sesama ummat
manusia.
5. Hukum Ketatanegaraan, yang berhubungan dengan peraturan
pemerintahan dan dasar-dasarnya, membatasi hubungan antara
penguasa dengan rakyatnya.
6. Hukum Internasional, yang berhubungan dengan masalahmasalah hubungan antar negara-negara Islam dengan bukan
78
Khallaf, Op.Cit., Hal. 41-412.
46
negara Islam dalam situasi damai maupun dalam keadaan
perang.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan, yang berhubungan dengan hak
orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang yang tidak
mendapat bagian dari harta orang yang kaya dan mengatur
irrigasi serta perbankan. 79 Mengenai muammalah ini sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang
memenuhi
syarat
untuk
melakukan
usaha
itu
karena
berhubungan langsung dengan kehidupan sosial manusia. Hal
yang menarik adalah hukum Islam tidak membedakan dengan
tajam antara hukum perdata dengan hukum publik karena
menurut sistem hukum Islam pada Hukum perdata terdapat
segi-segi publik begitu juga sebaliknya, pada hukum public ada
segi-segi perdatanya. 80
Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz dan 114 surat dan 6666 ayat
sebagian surat, dan ayatnya turun di Mekkah, sebanyak 86 surat dan
sebagian surat dan ayat turun di Mekkah, sebagian surat dan ayat turun
di Madinah sebanyak 28 surat. 81 Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan
ditutup dengan surah An-Nas. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di
Madinah, surahnya cenderung lebih panjang dibanding surah Makiyah
79
Khallaf, Ibid.,
80
Ali, Op.Cit., Hal. 55.
81
Nazar Bakry, 1996, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Hal. 33.
47
karena lebih mengandung muamalah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di
Madinah mengandung hukum-hukum (syari’at) antara lain hukum
pemerintahan, hukum hubungan antara orang-orang muslim dan non
muslim mengenai perjanjian dan perdamaian.
Pada kenyataanya, saat ini kita temui bermacam-macam buku
tafsir Al-Qur’an, perbedaan keahlian orang yang menyusun tafsir
memberi corak tersendiri kepada tafsir yang disusunnya hal itu
disebakan oleh padatnya kata-kata dalam ayat Al-Qur’an dan
mengandung makna yang tidak mudah dipahami. Tafsir Al-Qur’an pun
berkembang terus dari massa ke massa. Namun perlu diingat baik-baik
bahwa bagaimanapun baiknya penjelasan, tafsiran atau terjemahan AlQur’an bukanlah Al-Qur’an, karena tafsiran atau terjemahan Al-Qur’an
tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan Al-Qur’an. Menafsiri
sebuah surat atau ayat dengan lafazh Al-Qur’an dengan lafazh Arab
sebagai sinonim lafazh-lafazh Al-Qur’an, yang bias memberikan makna
seperti lafazzh asalnya, tidaklah kemudian lafazh-lafazh sinonim itu
termasuk Al-Qur’an sekalipun penafsiran itu sudah sesuai dengan
makna yang ditafsiri karena Al-Qur’an terdiri dari lafazh-lafazh Arab
yang khusus. Penafsiran/terjemahan tidak pula mendapat ketetapan
hukum-hukum Al-Qur’an. Penafsiran/terjemahan hanya boleh dianggap
sebagai penjelas makna Al-Qur’an. 82
82
Khallaf, Op.Cit.,
48
b. Hadits dan Sunnah Rasul
Hadits merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, karena
melalui kitab-kitab hadits seorang Muslim mengenal Nabi dan isi AlQur’an. Tanpa Hadits atau sering juga disebut As-Sunnah, sebagian
besar isi Al-Qur’an akan tersembunyi dari mata manusia. Antara AlQur’an dengan As-Sunnah tidak boleh dicerai pisahkan.
Dalam perkatan sehari-hari, hadits dan Sunnah adalah sama,
namun para ahli ada yang membedakannya. Hadits artinya kabar, berita
atau baru. Jika dihubungkan dengan nabi artinya kabar, berita mengenai
sesuatu dari nabi. Sunnah, menurut beberapa ahli hukum Islam adalah
kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Arab, Sunnah dalam
pengertian ini disebut Sunatut taqrir, sunnah dalam bentuk pendiaman
nabi tanda menyetujui sesuatu perbuatan atau hal. Setelah Islam
berkembang, kebiasaan orang Arab ini ada pula yang diubah Nabi dan
kemudian oleh para sahabatnya. Hadits adalah keterangan resmi yang
berasal dari Nabi yang disampaikan secara lisan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Sunnah Rasul ada yang berupa sunnah qauliyah (perkataan
Rasul), sunnah fi’liyah (perbuatan Rasul) dan Sunnah taqririyah atau
sunnah sukutiyah (sikap diam Rasulullah). Hadits-hadits terkumpul
dalam kitab-kitab hadits, yang terkemuka adalah Al-Kutub Al-Sittah
(kitab-kitab hadits yang disusun oleh enam orang muhaddis) yaitu:
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Nasa’i. .Hadits atau
49
Sunnah Rasul yang terdapat dalam kitab-kitab hadits terdiri dari dua
bagian, isnad dan matn. Isnad/sanad merupakan sandaran dari suatu
hadits yaitu orang-orang yang menjadi mata rantai penghubung yang
menyampaikan hadits itu sejak dari Rasul sampai kepada ahli hadits
yang membukukannya. Bagian yang kedua adalah bagian matn yaitu
materi atau isi hadits atau sunnah. Dalam penilaian untuk penggunaan
suatu hadits sebagai alas an menetapkan hukum, umumnya oleh ahli
Hukum Islam di masa yang lalu lebih ditekankan pada Isnad/sanad,
sedangkan Matn diletakkan pada tempat kedua. Menurut pendapat
Sayuti Thalib, kedudukan Matn adalah juga sangat penting untuk
penafsiran suatu hadits, untuk itu Matn harus mendapat penilaian sama
sekuat penilaian atas Isnad/sanad suatu hadits.
Ucapan dan perbuatan Rasul
yang dimaksudkan untuk
membentuk hukum syariat Islam secara umum dan sebagai tuntutan bagi
ummat Islam, haruslah diikuti. Namun ada beberapa yang bukan
merupakan syariat, yaitu dalam keadaan tertentu Rasulullah Saw, di
antaranya adalah: 83
1. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah Saw yang bersifat kemanusiaan
seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum. Hal tersebut
bukan syariat karena bukan bersumber kepada tugas (risalah) nya
tetapi bersumber dari naluri kemanusiaan. Perlu diperhatikan, jika
83
Khallaf, Op.Cit.,
50
perbuatan kemanusiaan itu adalah tuntunan, maka perbuatan tersebut
termasuk hukum (syari’at) Islam.
2. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah yang bersifat pengetahuan
kemanusiaan, kepandaian, dan beberapa eksperimen manusiawi
bukan merupakan hukum (syari’at) Islam.
3. Hal-hal yang keluar dari Rasulullah dan ada dalil syar’i yang
menunjukkan atas kekhususan bagi Nabi dan bukan tuntunan, maka
hal itu bukanlah hukum (syariat) Islam.
c. Ijtihad ulil amri
Dalam kamus bahasa Arab, Al-Munjid, susunan Ma’luf al Yasu’i
Beirut, ijtihad diartikan adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha.
Menurut Abdul Hamid Hakim, arti ijtihad dari segi tehnis hukum adalah
bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk mencapai hukum syari’i
dengan jalan mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan
menurut kata-kata atau bahasa, menurut A. Hamid Hakim, ijtihad berarti
bersungguh-sungguh yaitu bersusah payah. Imma Syafi’i sendiri
menyamakan arti ijtihad dengan arti qiyas yaitu berijtihad berarti
menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum kepada suatu
hukum yang lain, ijtihad diartikan secara sempit. Menrut M. Hasbi AshSiddieqy ijtihad dalam arti
luas
adalah
mempergunakan
segala
kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitab Allah dan
hadits Rasul. Muhammad Daud Ali mengartikan ijtihad sebagai usaha
atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mengarahkan seluruh
51
kemampuan dilakukan oleh orang (ahli Hukum) yang memenuhi syarat
untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Mukhtar
Yahya
dan Fatchurrahman, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan
berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’ yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah. 84
Menurut Satria Effendi M. Zein, arti ijtihad secara etimologi
adalah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik
maupun pikiran, di kalangan ulama ushul fiqih, seperti yang
dikemukakan Ibnu Abd al-Syukur dari kalangan hanafiyah ijtihad
adalah pengerahan kemampuan
untuk
menemukan kesimpulan-
kesimpulan hukum syara’ sampai ke tingkat zanni (dugaan Keras)
sehingga yang berijtihad itu merasakan tidak lagi bisa lebih dari itu. 85
Sayuti
Thalib
mengartikan
ijtihad
sebagai
usaha
yang
bersungguh-sungguh untuk merumuskan garis hukum dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. 86 Pembentukan hukum sesuatu hal biasanya tidak
hanya dibahas dari segi ijtihad saja, tapi juga dari segi taqlid. Ijtihad
berada di pihak paling tinggi berupa mengeluarkan hukum dari alasanalasannya (orang yang berijtihad disebut Mujtahid), sedangkan taqlid
hanya mengikuti saja pendapat mujtahid tanpa mengetahui alasan84
Ibid.,
85
Ibid.,
86
Zahra, Op.Cit.,
52
alasannya. Orang yang bertaqlid disebut Muqallid, tidaklah salah. Yang
dapat dikatakan salah adalah Muqallid yang tidak mau berusaha
mengetahui
alasan
sesuatu
persolan. 87
Dan
yang lebih
dapat
dipersalahkan adalah orang yang berusaha agar orang lain yang
bertaqlid selalu dihalang-halangi untuk mengetahui alasan yang
sebenarnya.
Ijtihad merupakan pembentukan garis hukum dilakukan oleh
ulil-amri. Dalam Surat An-Nisa ayat 59 menurut Satria Effendi M. Zein
dipahami dalam dua pengertian:
a) Ulil amri dalam pengertian umara atau penguasa. Yang dimaksud
penguasa adalah petugas-petugas kekuasaan Negara Islam. Ketentuan
hukum yang dibentuk oleh umara adalah ketentuan hukum
ketatanegaraan disebut siyasah syar’iyah. Para umara di antaranya:
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ’Affan, Ali bin Abi Thalib,
Mua’adz bin Jabal, dan lain-lain.
b) Ulil Amri dalam pengertian ulama atau mujtahid atau sebagai
pembina hukum (Islam). Walaupun ulama atau mujtahid tidak
memegang fungsi dalam lingkungan penguasa, mereka tetap diakui
sebagai pembina hukum dan diperintahkan mentaati dan mengikuti
hasil-hasil ijtihad mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul dan mengembangkannya. Beberapa para ahli Hukum Islam
yang terkenal di antaranya: Zaid bin Tsabit, Ibnu ’Abbas, Imam
87
Thalib, Op.Cit.,
53
Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal,
A. Hassan, Hazairin.
Cara mereka menetapkan hukumnya dengan meneliti Bahasa
Arab, menafsirkan kata demi kata dan mengetahui dasar Ushul Fiqih. Di
samping itu, mereka tidak terlepas daripada dapat membedakan antara
hukum adat, hukum akal dan hukum syara’. Para mujtahid perlu
mempunyai syarat sebagai berikut: 88
-
Benar-benar mengetahui nash-nash (ketentuan-ketentuan) AlQur’an dan Hadits yang berhubungan dengan masalah yang
diijtihadkannya.
-
Benar-benar mengetahui/ mengerti Bahasa Arab yang hendak
ditafsirkan serta mengerti susunan Al-qur’an sehingga ia dapat
mengambil hukum dengan teliti.
-
Betul-betul tahu dengan ilmu
hadits
sehingga
ia
dapat
membedakan antara hadits yang dapat menjadi dalil dengan hadits
dila’if.
-
Mengetahui tiang dan dasar utama untuk berijtihad yakni ilmu
Ush Fiqh.
88
Ali, Op.Cit., Hal. 118.
54
Ada beberapa cara atau metode untuk melakukan ijtihad, baik
ijtihad yang dilakukan sendiri-sendiri maupun dengan bersama-sama
dengan orang lain. Metode tersebut di antaranya: 89
1) Ijma’, yakni persetujuan atau kesesuian pendapat para ahli mengenai
suatu masalah (hukum syari’at mengenai suatu kejadian/kasus) pada
suatu tempat di suatu massa yang diperoleh dengan suatu cara di
tempat yang sama. Ijma’ dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ijma’
yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin.
Saat Rasulullah masih hidup, Beliau sendirilah sebagai tempat
kembali hukum syariat Islam sehingga tidak terdapat perselisihan
mengenai hukum Syariat Islam dan tidak terjadi pua kesepakatan
(ittiqaf), karena kesepakatan tersebut tidak akan terwujud kecuali dari
beberapa orang. 90 Sekarang ijma’ hanya berarti persetujuan atau
kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat
hukum tertentu dalam Al-Qur’an. Kini sulit dicari suatu cara dan
sarana yang dapat dipergunakan untuk memperoleh persetujuan
seluruh ahli mengenai suatu masalah pada suatu massa di tempat
yang berbeda karena luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat
Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya.
2) Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hal lain yang
89
Ibid., Hal. 120-123.
90
Khallaf, Op.Cit., Hal. 64.
55
hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena ada
persamaan illat (penyebab atau alasan/ dasar hukumnya). Qiyas
adalah ukuran yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding
suatu hal dengan hal lain.
3) Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan,
contohnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama
yang diwahyukan sebelum Islam.
4) Maslahat Mursalah adalah menemukan hukum sesuatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya baik dalam Al-Qur’an maupun dalam kitabkitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat
atau kepentingan umum. Artinya mendatangkan keuntungan bagi
mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan.
Maslahat jadi baru menurut barunya keadaan ummat manusia dan
berkembang menurut perkembangan lingkungan. 91
5) Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik 92, dapat diartikan
istihsan sebagai cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang
dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
Metode ini merupakan cara yang unik dalam menggunakan akal
pikiran dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan bersifat
lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Istihsan adalah
91
Ibid., Hal. 127.
92
Ibid., Hal. 120.
56
suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu
keadaan. 93
6) Istisab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan
kata lain, istisab adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah
ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
7) ’Urf atau adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang
bersangkutan. Adat istiadat berkenaan dengan soal muamalah.
Menurut kaidah hukum Islam adat dapat dikuhkan menjadi hukum
(al-’adatu muhakammah), hukum adat tersebut dapat berlaku bagi
umat Islam.
93
Ibid.,
57
BAB III
KETENTUAN MENGENAI IHDAD
BAGI PEREMPUAN MENURUT HUKUM ISLAM
Ihdad (berkabung) perempuan yang ditinggal mati oleh suami telah diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tentang masa berkabung seorang
perempuan (isteri) yang ditinggal mati suaminya, dijelaskan dalam Pasal 170,
Bab XIX, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang ”MASA BERKABUNG”,94
sebagai berikut:
a) Isteri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung
selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah. dalam menjaga timbulnya fitnah, batasan atau kadar fitnah
yang dimaksudkan adalah, sebatas seseorang yang berkabung terhindar dari
terjadinya hkitbah sebelum masa berkabung usai.
Aturan dalam KHI di atas, menurut hemat penulis adalah merupakan
bentuk dari ijtihad para pemikir Islam di Indonesia. Di antaranya adalah
Munawwir Syadzali sebagai perumus KHI ketika menjabat sebagai Menteri
Agama, di mana dalam pembentukan KHI, Munawwir memiliki dasar yang
94
Intruksi presiden R.I. No 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia,
direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama R.I, Jakarta, 2000, Hal. 78.
58
meliputi 95 kewenangan berijtihad atau pintu ijtihad terbuka, di mana
seseorang dapat berusaha dalam menemukan sebuah hukum dan dari hukum
tersebut menimbulkan kemanfaatan serta tidak mengurangi nilai-nilai dari
legislasi hukum syari’ atau aturan syari’at, berikutnya adalah dasar pemikiran
di mana hukum Islam bersifat dinamis artinya, bahwa Islam merupakan
agama yang tidak kaku dan merupakan rahmatan lil alamin, yang menjadi
rahmat bagi setiap makhluk, adapun dinamis menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang memiliki kepedulian sekaligus agama yang solutif
terhadap berbagai problematika.
Dalam hal ini, keadilan yang menjadi dasar dalam merumuskan KHI
serta teori al-Adah, nasakh dan al-Maslahah, di mana dengan teori tersebut,
Munawwir mencetuskan konsep reaktualisasi hukum Islam, sesuai dengan
pengembangan hukum Islam di Indonesia, yakni melalui proses ijtihad
dengan dorongan rasionalisasi, selain juga menggunakan dasar-dasar utama
yang menjadi legislasi pokok dalam mengijtihadi sebuah hukum.
Termasuk dalam Pasal 170, Bab XIX di atas, yang sesuai dengan
metodologi dalam penerapan ijtihad para perumus KHI, yakni: 96
Dalam Teori al-Adah ini, jika suatu nash berasal dari adat istiadat
atau tradisi dan kemudian terdapat tradisi yang kemudian adat berubah maka
95
Mahsun Fuad, 2005, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga
Emansipatoris, Yogyakarta, LKIS, Pelangi Aksara, Hal. 91-92.
96
Ibid..
59
gugurlah hukum dalam nash tersebut, sebagimana dalam konteks ihdad,
bahwa dalam KHI secara garis besar adalah menunjukkan perempuan (isteri)
memiliki kewajiban melaksanakan iddah serta ihdad, karena ditinggal mati
oleh suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan suatu
kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung selama (4) empat
bulan (10) sepuluh hari. Ketentuan tersebut adalah sama dengan ketentuan
dalam nash yang telah jelas dalam hadits seperti yang ada pada riwayat
Bukhari, sebagai berikut: 97
Artinya: ”Diriwayatkan dari Zainab binti Abi Salamah, beliau
berkata; ketika mendatangi Ummi Habibah, Abi Sufyan (ayah Ummi
Habibah) meninggal, sedangkan Ummi Habibah menggunakan
minyak berwarna kuning pada hari ketiga (kematian ayahnya)
kemudian mengusap dua tangannya dengan minyak dan berkata; aku
membutuhkan minyak ini, aku mendengar Nabi bersabda ”Tidak
boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir
melakukan ihdad di atas tiga hari, kecuali kepada suaminya selama
empat bulan sepuluhhari”. (HR. Bukhari).
Menurut hemat penulis, atas dasar hadits tersebut, menunjukkan
bahwa syari’ memberikan ketentuan ihdad, adalah disebabkan kematian
suami, sehingga perempuan mendapat implikasi hukum yakni melaksanakan
ihdad dan menurut hadits di atas, ihdad tidak diperintahkan kecuali karena
kematian suami bukan yang lain, dalam hal ini, menunjukkan ketaatan
seorang isteri atas suaminya, sebagaimana etika suaminya ketika masih hidup,
oleh karena itu dapat memberikan pengertian bahwa awal mula pensyari’atan
97
Abi Abdillah, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhory, Shahih al-Bukhary, Jilid
Tiga Juz Enam, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Fikr, 1981 M/1401 H), Hal. 185.
60
ihdad adalah untuk ta’abbudi, yakni mempertahankan syari’at Allah, sehingga
bagi siapapun yang melaksanakannya, adalah akan memiliki nilai ibadah di
mata Allah dan pasti menimbulkan suatu kemaslahatan serta bentuk rasa
hormat seorang perempuan kepada suaminya.
Penulis menyatakan demikian, karena dalam sebuah perkawinan,
diawali dengan sebuah janji kuat serta suci, di mana dua mempelai melakukan
perjanjian suci di hadapan Allah, maka tidak sah secara syara’, dan dinilai
kurang berperi kemanusiaan, jika seseorang melupakan perjanjian tersebut,
seketika dikatakan demikian, karena bagi seorang perempuan yang langsung
berdandan dan bersolek setelah kematian suaminya, atau kurang menjaga
muru’ahnya, terutama dihapan lawan jenis, maka perempuan tersebut
dipandang kurang etis di masyarakat dan di mata Allah Swt.
Sebagaimana yang telah terjadi di beberapa daerah dan ketentuan
tersebut telah menjadi kepercayaan bersama, bahwa seorang perempuan yang
telah ditinggal mati suaminya, dan kemudiam tanpa melaksanakan masa
berkabung atau ihdad, perempuan seketika beraktifitas seperti biasanya serta
bersolek seperti biasanya maka perempuan tersebut, akan menjadi
pembicaraan masyarakat, selain juga tidak melakukan syari’at agama.
Seolah-olah perempuan tersebut dengan mudah melupakan janjinya
terhadap Allah. Seorang perempuan tidak dikatakan menepati janji, ketika
seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, berlebihan dalam
berdandan dan mengenakan pakaian mewah yang berbau wangi. Maka dengan
61
hal itu, menurut hemat penulis adalah seolah-olah perempuan tersebut ingin
segera mendapatkan perhatian dari lawan jenisnya yang akan mampu
menimbulkan fitnah. Hal ini bertentangan dengan kandungan makna yang
dimaksudkan oleh KHI, yakni tujuan dari pada ihdad adalah untuk menjaga
perempuan dari fitnah.
b) Suami
yang
ditinggal
mati
oleh
isterinya,
melakukan masa berkabung
menurut kepatutan.
Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya memiliki kewajiban
untuk melakukan masa berkabung dengan cara yang sesuai kepatutan.
Sekaligus memberikan pesan bahwa bagi seorang yang ditinggalkan, tentunya
masa bekabung ihdad bagi laki-laki, di mana masa berkabung adalah
bertujuan mempersiapkan, menata mental, serta menambahkan kesabaran
makna kepatutan ini, adalah belum memiliki kejelasan dan masih sangat
bersifat umum, yakni apakah dari perlakuan, atau dari segi yang lain. Oleh
karena itu, ulama memberikan penjelasan tentang isi dari makna patut yang
penulis kutip dari pandangan ulama fiqh, yakni Syaikhu al-Islam Zakariyya
al-Anshary, sebagai berikut 98:
Artinya: “Ihdad adalah meninggalkan mengenakan pakaian yang
dirancang, untuk berhias, meskipun belum dirapikan dan kasar,
berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Ummi Athiyyah,
sesungguhmya kita dilarang ketika ditinggal mati suami kita, Tidak
boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkabung untuk orang mati kecuali untuk suaminya selama empat
bulan sepuluh hari, dengan memakai celak, wangi-wangian dan
98
Zakariyya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz II, (Kediri: Dar al-Ummah, t. t,), Hal .107-108.
62
mengenakan pakaian yang telah dirancang dan meninggalkan dengan
hal yang disenangi yang digunakan untuk berhias, seperti permata
dan sesuatu yang terbuat dari emas atau perak dan meninggalkan
memakai wangi-wangian badan ataupun baju, meninggalkan
mengenakan minyak rambut, meninggalkan mengenakan celak
dengan celak kecuali karena butuh, seperti sakit mata, maka yang
demikian di perbolehkan, mengenakan celak pada malam hari,
meninggalkan bedakan dan mewarnai kuku yang tampak, seperti
dengan pacar kuku.”
Dari statemen tersebut, penulis beranggapan bahwa mengingat
pembentukan dari KHI sendiri adalah juga dengan memadukan pandangan
Imam dan Ulama Madzhab, maka ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
tentang kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung adalah
menunjukkan kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung
selama empat bulan sepuluh hari. Dan selama masa itu, isteri hendaknya
melakukan masa berkabung dengan tidak berhias, tidak bercelak mata dan
tidak boleh keluar rumah. Cara ini bertujuan hanya untuk menghormati
kematian suami. Apabila masa iddah telah habis, maka tidak ada larangan
untuk berhias diri, melakukan pinangan, bahkan melangsungkan akad nikah.
Adapun kembali kepada metodologi dalam pembentukan Kompilasi
Hukum Islam, maka penulis akan berusaha mengimplementasikan dasar atau
teori yang digunakan para mujtahid dalam membentuk Kompilasi Hukum
Islam, seperti halnya teori al-Adah di atas, maka dalam teori kedua ini penulis
menggunakan teori nasakh dan limitasi yang dimunculkan oleh Muhammad
Shahrur.
63
Teori nasakh, merupakan teori di mana seorang mujtahid melakukan
pembatalan hukum yang terkandung dalam nash. Dalam hal ini adalah
merupakan suatu keharusan karena suatu perubahan hukum sangat erat
kaitannya dengan perubahan tempat, serta waktu, sehingga muncul
kemaslahatan yang merupakan tujuan dari sebuah ijtihad Munawwir
memberikan
isyarat
bahwa
layaknya
dalam
KHI
pun
harus
mempertimbangkan kemaslahatan termasuk dalam masalah ihdad, di mana
pengaturan ihdad yang di kandung dalam KHI menjadi masa berkabung dan
juga memiliki nilai kemaslahatan dalam pembentukannya, baik dalam hal
nilai sosial dengan masyarakat ataupun dengan Allah, karena ihdad dalam hal
ini adalah selain menjaga nama baik juga dalam ihdad terdapat nilai-nilai
ibadah, karena melaksanakan syari’at Allah Swt.
Dalam teori nasakh ini, maka bukan berarti seorang dapat
membatalkan hukum Allah Swt. Dalam konteks ini adalah ber-ihdad, namun
seseorang dapat mengkompromikan kandungan hukum yang ada dalam
ketentuan-ketentuan syara’, seperti seorang perempuan mendapat kewajiban
untuk menafkahi keluarganya setelah suaminya meninggal, maka dalam
konteks ini, seseorang dapat menggunakan teori limitasi yang dirumuskan
oleh Shahrur, yakni teori hadd al-A’la dan hadd al-Adna (teori atas bawah),
sehingga bagi perempuan yan suaminya meninggal, tetap melakukan ihdad,
meskipun tidak sampai batas paling atas, yakni empat bulan sepuluh hari,
namun bagi perempuan tersebut tidak boleh kurang dari batas melakukan
64
ihdad, yakni empat bulan sepuluh hari dan disertai alasan, jika melaksanakan
ihdad secara penuh, maka akan muncul madharat yang lebih besar, seperti
dipecat
dari
tempat
kerjanya,
sehingga
orang
tersebut
kehilangan
pekerjaannya dan lain sebagainya.
Dalam praktiknya, seorang perempuan yang memiliki tuntutan demi
terwujudnya suatu kemaslahatan, dapat dikompromikan dengan cara
melakukan ihdad tidak lebih dari empat bulan sepuluh hari, namun
disesuaikan dengan tuntutan kapan seorang perempuan harus menunaikan
kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, penulis perlu mengutip hadits Nabi
Saw, yaitu: 99
Artinya: ”Muhammad bin Hatim bin Maimun menceritakan padaku
dan menceritakan padaku Yahya bin Sa’id dari Ibn Juraih,
menceritakan padaku Muhammad bin Rafi’, menceritakan padaku
Abdul ar-Razaq menceritakan padaku Ibnu Juraih, menceritakan
padaku Harun bin Abdullah, menceritakan Hajaj bin Muhammad,
berkata; Ibn Juraih abu zubair jabir bin abdullah berkata; ibnu juraih
menceritakan padaku abu zubair bahwasanya mendengar bahwa Jabir
bin Abdullah berkata; bibiku diceraikan tiga (talaq ba’in), maka dia
keluar (dalam kondisi ber ihdad), untuk memeras kurma dan seorang
laki-laki mendatanginya dan melarangnya kemudian bibiku bertanya
kepada Rasulullah Saw, maka Rasulullah bersabda, keluarlah dan
peras kurmamu, jikalau kamu memang jujur atau kamu melakukan
kebaikan.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan yang
memiliki kebutuhan dan memiliki komitmen untuk berlaku jujur serta
bertindak baik demi kemaslahatan diri dan keluarga, di perbolehkan
melaksanakan ihdad sesuai dengan kadar dan kebutuhannya saja. Namun
99
Op.Cit, Muslim bin Hajjaj. Hal. 200.
65
tidak berarti meninggalkan nilai-nilai serta tujuan dalam ihdad, yakni untuk
dapat menghindari diri dari fitnah dan dalam kondisi demikian, maka seorang
perempuan yang melakukan kewajiban demi kemaslahatan dan masih dalam
tanggungan masa iddah serta ihdad seyogyanya tetap melaksanakan ketentuan
sesuai yang dapat dilakukan.
Hemat penulis larangan perempuan keluar rumah tanpa ada keperluan
mendesak bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddah serta ihdad
masih dapat diterima. Bisa jadi larangan itu lebih sebagai cara untuk
menghindari fitnah dan sekaligus bertujuan untuk menghormati kematian
suami.
Dengan kewajibannya sebagai seorang isteri yang ditinggal mati oleh
suaminya dan sebagai seorang perempuan (isteri) yang harus ke luar rumah
untuk bekerja menghidupi keluarganya. Di sisi lain dia harus melaksanakan
iddah sebagai konsekuensi aturan syariat yang harus dijalankan, dan di sisi
lain dia harus bekerja, setelah kematian suaminya secara otomatis si isteri
menjadi kepala keluarga yang mempunyai tanggung jawab penuh menghidupi
keluarga dan anak-anaknya.
66