Academia.eduAcademia.edu

For Academia Gilang Alfian Rizki Review Buku Imagine Communities

Mentadabburi Komunitas-Komunitas Terbayang Benedict Anderson Oleh: Gilang Alfian Rizki gilangalfianrizki@gmail.com Bagaimana mungkin orang Sunda, Bali, bahkan hingga Manado ikut merasakan kemarahan yang sama dengan orang Jawa ketika Reog dari Ponorogo dikabarkan diakui oleh Malaysia? Mereka belum tentu pernah bersinggungan langsung dengan Reog Ponorogo, baik secara wilayah maupun budaya. Tetapi mereka merasa ada yang diambil dari diri mereka. Apabila menarik lagi ke belakang, hal apa pula yang mendasari para pemuda dari berbagai daerah berkumpul dan merumuskan 3 sumpah pada tahun 1928? Mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Latar belakang, budaya, dan bahasa mereka juga berbeda. Tetapi mereka memutuskan untuk bersatu dalam payung yang sama. Perasaan yang mendorong dua contoh di atas mungkin yang sekarang ini dipahami sebagai rasa nasionalisme. Banyak sekali pengertian dan pendekatan yang dipakai untuk memaknai nasionalisme. Misalnya ada Tom Nairn dan Eric Benedict Hobsbwan dengan pendekatan marxisme, Ernest Gellner dengan pendekatan sosiologis, Ernest Renan, hingga Hugh Seton-Watson dengan pandangan historis dan politis. Namun Benedict Anderson melalui Imagined Communitites mencoba menawarkan paradigma mengenai nasionalisme dan bangsa yang belum dibahas oleh semua tokoh di atas.1 Konsep Natio/ Bangsa Ben Anderson mengawali buku Imagined Communities dengan pengakuan bahwa di zaman ini nilai kenasionalan adalah nilai yang setidaknya paling absah secara universal. Kendati demikian, menurut Ben Andersen konsep natio atau bangsa, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan masih terus diperdebatkan. Misalnya Seton-Watson yang mengungkapkan bahwa tidak ada definisi yang tepat dari natio, namun fenomena itu telah mengada dan masih ada hingga saat ini. Ben Anderson mencoba melacak bagaimana nasionalisme ini mengada. Menurutnya nasionalisme ini adalah sebuah proses yang dikonstruksi, ia tidak lahir begitu saja. Ben Anderson dengan gaya antroplogisnya mendefinisikan natio/ bangsa sebagai komunitas yang dibayangkan. Bangsa sebagai entitas yang dibayangkan karena orangorang di dalamnya merasa memiliki keterhubungan dan kebersamaan walaupun mereka belum pernah bertemu sama sekali. Bayangan mengenai kebersamaan ini juga terdapat di dalam pidatonya Ernest Renan (1882), yang berjudul ” Qu’est-ce qu’une nation?” atau Apa itu Bangsa?. Menurut Renan setiap individu dalam sebuah bangsa merasa memiliki banyak hal kepuanyaan bersama yang membuat mereka saling terhubung. Pandangan Ben Anderson mengenai konsep bangsa ini merupakan anti tesis dari konsep Seton-Watson yang memandang bangsa dari sudut pandang historis. Menurut Seton-Watson bangsa itu bisa ada apabila sejumlah orang dalam suatu masyarakat 1 Benedict Anderson (1936-2015). Seorang Profesor Emeritus Kajian Asia, Pemerintahan, dan Internasional di Cornell University. Imagined Communities salah satu karyanya yang paling masyhur terbit pertama kali di tahun 1983. menganggap diri mereka membentuk suatu bangsa, atau berperilaku seolah-olah mereka membentuk suatu bangsa. Apabila Ben Anderson mengatakan bahwa bangsa mengada karena ada perasaan atau bayangan yang sama dari semua orang, bagi Seton-Watson tidak perlu untuk merasakan hal yang sama. Ketika sejumlah orang dengan jumlah besar memiliki keyakinan tersebut, maka sudah cukup ia memiliki kesadaran sebagai bangsa. Pembentukan Bangsa Pembentukan bayang-bayang mengenai bangsa tidak muncul dengan sendirinya. Ben Anderson mencoba menelusuri akar-akar bagaimana bangsa bisa muncul. Misalnya melalui suatu peristiwa yang tidak diniatkan terjadi namun akhirnya menjadi takdir. Ben Anderson mencontohkan peristiwa Perang Diponegoro, di mana Diponegoro sebenarnya berniat menaklukkan Jawa yang saat itu dikuasai VOC (bukan membebaskan dari penjajahan), namun karena di suatu momen yang kebetulan pas, peristiwa tersebut menjadi takdir terbentuknya dan nasionalisme untuk orang-orang Jawa. 2 Akar pertama yang disebutkan Ben Anderson adalah komunitas religius. Menurutnya melalui komunitas-komunitas religius dengan bahasa-bahasa tunggal dan dianggap sakral, akan dijadikan sebagai alat tunggal untuk memunculkan kesadaran sebagai suatu bangsa. Misalnya bahasa Latin melalui Agama Katolik, bahasa Arab dalam Al Quran, serta bahasa Mandarin di agama orang-orang Tiongkok. Namun ada masanya perwakilan tunggal melalui bahasa ini akan mengalami kejatuhan karena proses pemajemukan dan teritorialisasi. Akar kedua yaitu melalui Ranah Dinastik. Ben Anderson menerangkan bahwa bangsa yang kita pahami saat ini terbentuk dalam konteks sejarah yang panjang dan kompleks. Pada masyarakat pra modern, mereka akan merasa lebih terikat pada komunitas-komunitas yang lebih kecil, dan personal, namun memiliki pengaruh, Misalnya melalui keluarga, klan, dan dinasti. Menurut Ben Anderson ranah dinastik ini menjadi tahap awal berkembangnya konsep bangsa. Walaupun masyarakatnya belum memiliki kesadaran nasional, namun mereka sudah mulai membangun sebuah imajinasi kolektif. Mereka membayangkan sebagai bagian dari sebuah kesatuan yang lebih besar, seperti kerajaan atau kekaisaran. Akar ketiga yaitu munculnya kapitalisme percetakan. Kemunculan mesin cetak menurut Ben Anderson sangat berpengaruh terhadap produksi dan distribusi ide-ide melalui bahasa yang tertuang dalam buku, koran, novel dan lainnya. Ketika kapitalisme dan teknologi ini sudah saling berkelindan, akan melahirkan ekspansi bahasa yang memungkinkan lahirnya bentuk baru dari komunitas-komunitas terbayang, dan menyiapkan panggung bagi bangsa-bangsa modern untuk mengada. Contohnya adalah munculnya bahasa nasional yang mewakili suatu bangsa untuk dijadikan alat komunikasi untuk menyatukan masyarakat yang beragam. Sehingga akan menciptakan rasa kebersamaan. Implikasi dari berkembangnya kapitalisme cetak dan bahasa adalah 2 Hlm. 16 munculnya simbol-simbol lain yang menjadi media terbentuknya kesadaran dan identitas nasional. Seperti bendera, lagu-lagu kebangsaan, dan simbol-simbol lainnya. Jika dibandingkan dengan Seton-Watson, Ben Anderson lebih menekankan bagaimana bangsa terbentuk memang benar-benar dari imaji orang-orang akan rasa kebersamaan yang dihubungkan melalui bahasa dan simbol-simbol nasionalisme. Sedangkan Seton-Watson berpendapat bahwa kombinasi bahasa, etnis, budaya, dan politik yang membentuk suatu bangsa akan memiliki proses yang berbeda tergantung konteks dan pengalaman sejarah bangsa tersebut. Kesimpulan Ben Anderson memberikan paradigma baru tentang natio atau bangsa, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan secara revolusioner, yaitu melihat bangsa sebagai konstruksi sosial yang diadakan dan dibayangkan oleh anggota-anggotanya. Peran kapitalisme media dalam menyebarkan ide-ide melalui koran, buku-buku, dan bentuk-bentuk lainnya membuka pemahaman baru mengenai vitalnya peran bahasa dalam membangun imaji-imaji dari anggota-anggota suatu bangsa. Hal tersebut berhasil menghadirkan suatu paradigma baru untuk memahami bangsa atau nasionalisme tidak hanya dari kajian ekonomi, politik, dan historis saja, namun juga budaya, dan sosiologis. Apabila ada kritik untuk karya Ben Anderson, mungkin minimnya perhatian Ben Anderson untuk mempertimbangkan peran negara dan politik dalam memengaruhi terbentuknya nasionalisme. Selain itu teori Ben Anderson mengenai pengaruh kapitalisme percetakan pada saat ini kemungkinan akan mengalami tantangan dengan berkembangnya internet dan media-media non-konvensional. Walaupun demikian Ben Anderson telah menyajikan karya yang apik dan sangat layak dijadikan buku wajib untuk para mahasiswa ataupun siapa saja yang ingin mendalami kajian mengenai bangsa dan nasionalisme. Daftar Pustaka Anderson, Benedict. Imagined Communities. Yogyakarta: INSIST Press. 2008. Renan, Ernest. Qu'est-ce qu'une nation? (alih bahasa Ethan Rundell). Pidato disampaikan di Sorbonne, Paris, 1882. Diakses pada 28 September http://ucparis.fr/files/9313/6549/9943/What_is_a_Nation.pdf. Seton-Watson, Hugh. Nations and States. London: Methuen & Co. Ltd. 1977. 2024.