Academia.eduAcademia.edu

Keterlibatan Islam dalam Dunia Politik Indonesia

Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Pada tahun 2010, disebutkan bahwa 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia menganut agama Islam. Penganut Islam tersebar hampir ke seluruh wilayah nusantara dengan tingkat kepadatan tertinggi berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Data ini sangat mencolok jika kita bandingkan dengan data-data penduduk berdasarkan agama di negara lain. Konsekuensi logisnya yaitu kuatnya pengaruh Islam di segala bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Dunia politik termasuk salah satu bidang di mana peran Islam cukup signifikan. Hingga penghujung tahun 2012, beberapa persoalan seperti kasus bailout dana Bank Century, mafia hukum, skandal wisma atlet, atau kasus proyek Hambalang belum mampu dituntaskan. Berita mengenai korupsi dan macam-macam konflik antargolongan mewarnai media massa. Masalah-masalah sosial baru akibat industri, teknologi, dan gaya hidup menjamur di mana-mana. Persoalan-persoalan tadi mendorong segelintir orang dari kalangan Islam untuk mencoba mengangkat wacana mengenai pemberlakuan syari’at Islam untuk menggantikan posisi Pancasila. Alasannya Pancasila sampai sejauh ini dianggap sudah tidak mampu lagi menjadi patokan dasar yang ampuh guna menyelesaikan bermacam-macam situasi politik kontemporer di Tanah Air dewasa ini. Ideologi Islam sah-sah saja untuk dapat digunakan sebagai dasar negara sejauh berorientasi pada kesejahteraan bersama. Namun tantangannya ialah apakah ideologi yang berdasarkan syari’at Islam tersebut mampu menjamin keadilan sosial yang sama bagi semua golongan masyarakat? Bukankah hal yang paling mungkin terjadi ialah dominasi Islam dan diskriminasi atas kelompok lain yang non Islam di segala bidang kehidupan? Makalah ini dimulai dengan tinjauan historis terhadap hubungan Islam dan politik sejak awal kemunculan agama Islam sendiri. Bagian berikutnya memberikan gambaran umum mengenai Islam dan situasi kultural politis di Tanah Air sejak zaman kerajaan hingga saat ini. Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis pun menyertakan pandangan brilian dari tiga tokoh Islam Indonesia. Pandangan mereka yang khas diharapkan mampu merangkum sekian banyak jawaban yang dirindukan semua kalangan.

KETERLIBATAN ISLAM DALAM DUNIA POLITIK INDONESIA PENGANTAR Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Pada tahun 2010, disebutkan bahwa 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia menganut agama Islam. Penganut Islam tersebar hampir ke seluruh wilayah nusantara dengan tingkat kepadatan tertinggi berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Islam, diakses pada tanggal 28 Desember 2012. Data ini sangat mencolok jika kita bandingkan dengan data-data penduduk berdasarkan agama di negara lain. Konsekuensi logisnya yaitu kuatnya pengaruh Islam di segala bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Dunia politik termasuk salah satu bidang di mana peran Islam cukup signifikan. Hingga penghujung tahun 2012, beberapa persoalan seperti kasus bailout dana Bank Century, mafia hukum, skandal wisma atlet, atau kasus proyek Hambalang belum mampu dituntaskan. Berita mengenai korupsi dan macam-macam konflik antargolongan mewarnai media massa. Masalah-masalah sosial baru akibat industri, teknologi, dan gaya hidup menjamur di mana-mana. Http://indonesian.irib.ir/cakrawala-indonesia/-/asset_publisher/eKa6/content/situasi-politik-2013-diprediksi memanas, diakses pada tanggal 3 Januari 2013. Persoalan-persoalan tadi mendorong segelintir orang dari kalangan Islam untuk mencoba mengangkat wacana mengenai pemberlakuan syari’at Islam untuk menggantikan posisi Pancasila. Alasannya Pancasila sampai sejauh ini dianggap sudah tidak mampu lagi menjadi patokan dasar yang ampuh guna menyelesaikan bermacam-macam situasi politik kontemporer di Tanah Air dewasa ini. Ideologi Islam sah-sah saja untuk dapat digunakan sebagai dasar negara sejauh berorientasi pada kesejahteraan bersama. Namun tantangannya ialah apakah ideologi yang berdasarkan syari’at Islam tersebut mampu menjamin keadilan sosial yang sama bagi semua golongan masyarakat? Bukankah hal yang paling mungkin terjadi ialah dominasi Islam dan diskriminasi atas kelompok lain yang non Islam di segala bidang kehidupan? Makalah ini dimulai dengan tinjauan historis terhadap hubungan Islam dan politik sejak awal kemunculan agama Islam sendiri. Bagian berikutnya memberikan gambaran umum mengenai Islam dan situasi kultural politis di Tanah Air sejak zaman kerajaan hingga saat ini. Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis pun menyertakan pandangan brilian dari tiga tokoh Islam Indonesia. Pandangan mereka yang khas diharapkan mampu merangkum sekian banyak jawaban yang dirindukan semua kalangan. SEJARAH HUBUNGAN ISLAM DAN POLITIK 2.1 Pengertian “Islam” dan “Politik” Arti Kata “Islam” Secara etimologis, kata Islam yang kita kenal sekarang berasal dari bahasa Arab. “Islam” adalah kata benda dari kata kerja “aslama” yang berarti tunduk, menyerah, mengikat diri, menyerahkan diri. Maka, Islam sendiri berarti ketundukkan, kepatuhan, atau penyerahan diri kepada Allah. P. Tule, “Kuliah Islamologi” (manuskrip kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana, Malang, 1991), hlm. 15. Banyak ahli juga berusaha menjelaskan arti Islam secara terminologis. Syeikh Mahmud Shaltut dari Universitas Al-Azhar (di Kairo, Mesir) mendefinisikan Islam sebagai “…agama Allah yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengajar tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturan dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia, mengajak mereka untuk memeluknya.” Ibid., mengutip M. Shaltut, Islam sebagai Aqidah dan Shari’ah, terj. A. Gani dan B.H. Ali (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 15. Sedangkan Ahmad Abdulah Al-Masdosi, seorang cendekiawan muslim dari Urdu College (Karachi, Pakistan), menyatakan: Agama (Islam) adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia dari masa ke masa sejak manusia menghuni bumi ini, dan terwujud dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Qur’an yang diwahyukan Tuhan kepada nabinya yang terakhir Muhammad SAW, satu kaidah hidup yang memuat tuntutan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material. Ibid., hlm. 16, mengutip A.A. Al-Masdoosi, Living Religions of The World: A Socio-political Study (Karachi: Begum Asiha Bawahi Wakf), pp. 7 – 8. Kedua definisi terminologis di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam bukan saja sebuah sistem keagamaan dalam arti yang murni. Agama ini juga berperan dalam mengatur dimensi hidup manusiawi dan memberikan patokan normatif bagi sistem budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dalam kaitannya dengan hal ini, ada ungkapan Islam yang terkenal, yakni Al-Islam din wa dawla (Islam agama dan negara) yang menunjukkan hubungan erat antara keduanya. Ibid. Arti Kata “Politik” Pemaknaan esensial terhadap kata politik merupakan langkah penting dalam menelusuri sejarah antara Islam dan politik. Secara etimologis, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis atau “kota”. Plato dan Aristoteles mengidentifikasikan polis dengan istilah “negara” seperti dalam pengertian yang kita kenal saat ini. Dalam karyanya yang berjudul “Politeia”, Plato menekankan bahwa sebuah negara dapat dikatakan ideal apabila mampu menjaga dan memelihara kesatuan dan keutuhan negara itu sendiri sebagai satu keluarga. P. Budi Kleden, “Sejarah Filsafat Barat Kuno” (manuskrip kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2001), hlm. 128. Pandangan ini diteruskan oleh muridnya Aristoteles yang menilai negara sebagai suatu persekutuan hidup politis. Menurut Aristoteles, seorang manusia hanya dapat mengembangkan dirinya lewat kehadiran orang lain. Ungkapan no man is an island (manusia bukanlah sebuah pulau) secara metaforis mau menggambarkan kebenaran tersebut. Manusia bagaimanapun juga selalu membutuhkan orang lain di sekelilingnya. Berdasarkan alasan ini, Aristoteles menamai manusia sebagai zoon politicon, yaitu makhluk politik atau makhluk sosial. Ibid., hlm. 179. Dalam arti yang lebih operasional, politik ialah “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dst.) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain”. “politik,” Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 694. Jika seseorang dikatakan sedang berpolitik, itu berarti ia sedang menjalankan (menganut paham) politik; ikut serta dalam urusan politik. “berpolitik”, ibid. Ada berbagai cara berpolitik, misalnya lewat partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik masyarakat. Cara lain yang tidak kalah penting yaitu terlibat dalam pemilu (pemilihan umum) guna memilih wakil-wakil rakyat yang kompeten dalam memperjuangkan kepentingan rakyat akan hidup yang sejahtera. Ikut ambil bagian dalam dunia politik merupakan hak sekaligus kewajiban yang harus dijalankan oleh semua warga negara dengan penuh tanggung-jawab. Muhammad dan Kelahiran Agama Islam Islam merupakan agama yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW (570-632 M) kepada masyarakat yang hidup di Jazirah Arab. Selain terletak pada jalur perdagangan yang strategis karena menghubungkan Asia Kecil dan Afrika, keadaan alam Jazirah Arab yang hampir seluruhnya terdiri atas padang pasir tandus itu telah membentuk peradaban yang khas bagi masyarakatnya. Mereka hidup secara nomaden (badawi atau badui; berpindah-pindah) di dalam kelompok sukunya masing-masing, mencari rumput bagi ternak, sambil berusaha menemukan tempat-tempat aman untuk berlindung dari ancaman iklim padang pasir yang ganas. Peperangan antar suku sering terjadi. Oleh karena itu, pola hidup nomaden amat membutuhkan adanya seorang pemimpin yang berkepribadian kokoh dan mampu mempersatukan serta membina solidaritas antar warga suku atau kelompok. P. Tule, op.cit., hlm. 20 - 23. Muhammad hadir sebagai tokoh yang amat didambakan itu. Muhammad termasuk seorang yang amat prihatin pada kerohanian dan moralitas bangsanya. Ia menyaksikan banyak degradasi moral yang terjadi, baik dari segi kebudayaan maupun dari segi keserakahan manusia. Periode Arab pra-Islam yang dikenal dengan istilah zaman Jahiliyah itu ditandai dengan beberapa ciri sebagai berikut: penyembahan patung-patung berhala, fanatisme suku, hedonisme (mabuk-mabukan dan pesta-pora), sikap kurang menghargai kaum wanita, hingga praktik wa’d Dalam konteks kehidupan masyarakat Timur Tengah, wa’d adalah praktik membunuh atau menguburkan hidup-hidup bayi perempuan karena dipandang lemah dan tak berperanan dalam membela suku, dalam ibid.,hlm. 24. yang keji. Karena semua itu, ia selalu berusaha menemukan terang dan bimbingan Ilahi. Ibid. Kenabian dan Kepemimpinan Muhammad Pada tahun 610 M, di Gua Hira (di sebuah bukit yang disebut Jabal Nur), Muhammad menerima Wahyu Ilahi untuk pertama kalinya. Pengalaman rohani ini kemudian membimbing Muhammad untuk berdakwah (mewartakan) di Mekkah, kota asalnya, mengenai kebenaran yang harus ditaati agar kehidupan yang aman dan sejahtera lahir-batin dapat terwujud. Itulah penyerahan diri kepada Allah; inti kebenaran islami. Akan tetapi, Muhammad justru mengalami penolakan dari kaum Quraysh yang tidak lain adalah kaum sukunya sendiri. Mereka memiliki tiga alasan utama untuk menyatakan penolakan. Ibid., hlm. 38 - 39. Pertama, persaingan merebut kekuasaan. Pada waktu itu, orang belum mampu membedakan antara “kenabian” dan “kekuasaan”. Seruan kenabian Muhammad dicurigai bakal membuat banyak orang tunduk kepadanya. Demi mencegah kemungkinan dominasi kekuasaan oleh Muhammad, maka segala yang dilakukannya harus ditolak. Kedua, ajaran tentang persamaan hak dan kewajiban yang dibawa Muhammad. Kaum Quraysh menganggap diri lebih tinggi martabatnya dibanding kaum-kaum lain. Jika memeluk Islam, mereka takut martabat mereka jatuh karena harus disamakan dengan kaum lain yang lebih rendah. Ketiga, sikap taqlid atau “tunduk secara membabi-buta” kepada adat-istiadat. Dakwah tentang Islam yang dibawa Muhammad merupakan sesuatu yang masih terbilang baru. Agar tradisi taqlid tersebut tetap bertahan, ajaran Muhammad mau tak mau tidak perlu ditolerir. Sumber lain menambahkan bahwa dakwah Muhammad juga akan mempengaruhi berkurangnya jumlah para peziarah yang datang untuk menyembah dewa-dewi yang ada di ka’bah. Keuntungan finansial Mekkah yang diraup dari para peziarah itu tentu saja akan ikut dipengaruhi. Aktivitas Muhammad dianggap sebagai suatu ancaman bagi kota itu. D.T..Irvin dan S.W..Sunquist, Kekristenan: Gerakan Universal, Sebuah Ulasan Sejarah (Maumere: Ledalero, 2004), I, hlm. 401. Penolakan demi penolakan yang terjadi memaksa Muhammad dan para pengikutnya untuk berpindah ke Medinah (Yathrib) lewat peristiwa Hijriyah pada pertengahan tahun 622 M. Mereka diterima baik oleh penduduk yang sudah lebih dahulu ada di sana. Di kota inilah Muhammad memulai upayanya membangun suatu komunitas Islam yang sesungguhnya. Ia mengkonsolidasikan suku-suku yang terpisah-pisah, membuat perjanjian kerjasama di antara kaum muslim dan non-muslim, mengusahakan sistem sosial ekonomi serta meletakkan dasar-dasar dawlah islamiyah (pemerintahan Islam). Semuanya itu bersumber dari Wahyu yang diterimanya dan dituangkan ke dalam Al-Quran (Kitab Suci). Cara hidup sehari-hari Muhammad dan para sahabatnya juga menjadi unsur pembentuk kehidupan masyarakat yang tak kalah pentingnya. Hal yang terakhir ini kemudian dikumpulkan oleh para pengikutnya dalam bentuk tradisi lisan yang dinamakan Hadis (laporan-laporan). Al-Quran dan Hadis merupakan cikal-bakal bagi apa yang kemudian berkembang menjadi kumpulan hukum Islam atau syari’at Islam. Ibid., hlm. 406. Maka jelaslah bahwa Islam sejak awal telah menjadi agama hukum yang menuntut pelaksanaan hukum itu dalam berbagai segi kehidupan baik politis maupun kultural. Bagi banyak pihak di Madinah, Muhammad betul-betul telah menjelma menjadi seorang pemimpin yang diharapkan. Ia sungguh-sungguh menjadi pemimpin sekaligus nabi yang membawa berbagai kemajuan dalam masyarakat. Jumlah pengikutnya kian hari kian bertambah sehingga memudahkannya dalam urusan berdakwah sekaligus melakukan ekspansi politis ke seluruh wilayah Arab. P. Tule, op.cit., hlm. 44. Apa yang dilakukan Muhammad kurang-lebih telah memenuhi prinsip etika politik Plato dan Aristoteles yaitu terbentuknya solidaritas di antara masyarakat dengan sikap respek terhadap pemimpin yang unggul. Gaya kepemimpinan profetisnya terus dipertahankan oleh negara-negara Islam, bahkan menginspirasi sejumlah kalangan Islam di Indonesia guna menghadapi tantangan politik masa kini. Setelah Muhammad meninggal pada tahun 632 M, ia digantikan oleh para khalif atau khalifah yang berarti “dia yang mengikuti” atau “pengganti”. Para khalifah ini adalah orang-orang yang baik dari sisi hubungan darah maupun perkawinan berhak menggantikan kedudukan sang Nabi sebagai pemimpin ummat (komunitas Islam). Di bawah kepemimpinan mereka agama Islam berkembang amat pesat ke seluruh jazirah Arab, bahkan hingga mampu menumbangkan dominasi kekuatan politis kerajaan dan kekaisaran di sekitarnya. Ibid., hlm. 63. Perkembangan Islam di Persia dan Gujarat (India) pada gilirannya membawa prospek cerah bagi kehadiran agama ini di wilayah nusantara. ISLAM DAN SITUASI KULTURAL-POLITIS DI INDONESIA Keberadaan Islam di Indonesia Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa agama Islam sudah ada di Indonesia sejak sekitar tahun 694 M. Pada waktu itu, telah terdapat koloni para pedagang Islam di pantai-pantai Sumatera meskipun belum bisa dipastikan dari mana datangnya mereka. M. Effendy, “Islam di Indonesia”, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001), II, hlm. 456 - 457. Namun satu hal yang pasti ialah bahwa iman akan Islam berkembang pesat seturut perkembangan perdagangan di wilayah nusantara oleh para pedagang Arab, Persia, dan Gujarat (India) pada abad pertengahan. Selain mendorong perdagangan, kebudayaan maritim yang dominan waktu itu juga membantu memungkinkan terjadinya penyebaran agama Islam. Menjelang abad XVI, agama Islam telah dianut mayoritas penduduk yang tersebar di berbagai kepulauan Indonesia. H. Mutalib, Islam in Southeast Asia (Vol. 11; Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), p. 13. Menurut catatan sejarah, beberapa kerajaan Islam yang sangat berpengaruh pernah berdiri di wilayah Indonesia. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Samudera Pasai (sejak th.1251-abad XVI M) di Aceh, Kerajaan Demak (th.1500-1546 M) sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, kerajaan Ternate dan Tidore (abad XV M) di wilayah Maluku Utara, dan Kerajaan Goa-Tallo (abad XVII M) di Makassar. Kerajaan-kerajaan tersebut diperintah secara Islam dan sempat terlibat dalam upaya melawan penjajahan Portugis dan Belanda pada masa penjajahan. M. Effendy, op.cit., hlm. 457 - 464. Dari sini, kita dapat memperoleh gambaran mengapa agama Islam pun memiliki pengaruh kultural-politis yang sangat kuat bagi sejarah Indonesia. Pengaruh ini masih sangat kentara pada masa-masa awal berdirinya negara dan terus memainkan peranan yang cukup krusial hingga saat ini. Keterlibatan Islam dalam Dunia Politik pada Masa-Masa Awal Berdirinya Negara Indonesia Keterlibatan Islam dalam dunia politik Indonesia terbilang cukup penting semenjak zaman pergerakan nasional. Macam-macam organisasi yang menandai masa tersebut, seperti Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908, umumnya bergerak di bidang kesejahteraan masyarakat. Keadaan masyarakat yang menderita akibat penjajahan saat itu, rupanya mendorong kaum Islam untuk melakukan hal serupa. Maka didirikanlah beberapa organisasi atau partai bernafaskan Islam yang tidak saja bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan sosial, tapi juga pengembangan kehidupan rohani umat Islam. Organisasi-organisasi Islam tersebut antara lain Serikat Islam/ SI (th. 1911), Muhammadiyah (th. 1912), Nahdlatul Ulama/ NU (th. 1926), dan Majelis Syura Muslimin Indonesia/ Masyumi (th. 1943). Seiring perkembangan politik Indonesia yang kian menuju kemerdekaan, organisasi-organisasi tadi pun ikut mengubah haluan ke arah politis. Corak islami yang amat khas tidak dihilangkan samasekali. Ibid., hlm. 465 - 469. Masa-masa persiapan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan pihak Islam pula. Soekarno sebagai pencetus gagasan Pancasila sempat mengalami kesulitan untuk mencari format yang tepat mengenai hubungan agama dan negara. Guna mengatasi kesulitan tersebut, dibentuklah Panitia Sembilan yang beranggotakan sembilan orang tokoh Islam termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta. Pada tanggal 22 Juni 1945, hasil kerja tim ini dikeluarkan dan dikenal dengan nama “Piagam Jakarta” yang direncanakan akan menjadi rumusan dasar/ ideologi negara yang baru terbentuk ke depan. Akan tetapi, rumusan Piagam Jakarta tersebut rupanya menimbulkan silang-pendapat yang cukup sengit segera sesudah diumumkan. Alasannya karena di dalamnya termuat frase yang berbunyi, ”… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, … dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dikutip dari http://id.wikisource.org/wiki/Piagam_Jakarta, diakses pada tanggal 25 Oktober 2012. Keberatan atas rumusan tersebut dilontarkan oleh Latuharhary, yang lalu didukung oleh Wongsonegoro dan Husein Jayadiningrat dari golongan kebangsaan. Soekarno didukung tokoh-tokoh muslim seperti H. Agus Salim dan Wakhid Hasyim tetap mempertahankan pendirian mereka. Soekarno berargumen bahwa frase tersebut merupakan hasil kompromi antara gologan kebangsaan dan golongan Islam, yang jika tidak dicantumkan akan mendapat penolakan langsung dari pihak Islam. Ketegangan akibat perbedaan pendapat itu malah belum mencapai titik terangnya sampai saat proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dikumandangkan. P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.57 - 58. Muhammad Hatta adalah tokoh yang berperan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat itu. Ia menerima informasi dari seorang perwira Angkatan Laut (Kaigun) Jepang bahwa wakil Katolik dan Protestan di daerah yang yang dikuasai Jepang berkeberatan terhadap frase “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam”. Mereka menilai bahwa poin yang diusung di dalamnya sangat bersifat diskriminatif terhadap golongan non-Islam dan seakan-akan tidak menghargai pluralisme di bumi Indonesia. Hatta benar-benar menyadari kenyataan tersebut dan bahaya disintegrasi yang mengancam di baliknya. Ia pun mengambil inisiatif untuk mengakomodasi dan memperjuangkan dihapuskannya frase kontroversial itu. Maka, pada tanggal 18 Agustus 1945, disepakatilah dalam sidang pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bahwa frase kontroversial itu ditiadakan. Sejak saat itu, rumusan Pancasila seperti yang kita kenal kini resmi menjadi dasar negara. Ibid., hlm.73 - 74. Peran Politis Islam Masa Kini Di tengah-tengah kemelut badai politik yang melanda bangsa dan negara, masyarakat mulai mempertanyakan kredibilitas pemimpinnya, bahkan keampuhan Pancasila sebagai dasar negara. Keragu-raguan seringkali disuarakan sekelompok kecil dari pihak Islam yang menilai bahwa sudah saatnya kita memikirkan ulang dasar negara yang lebih baik dari Pancasila. Http://indonesian.irib.ir/cakrawala-indonesia/-/asset_publisher/eKa6/content/negara-dan-agama-dalam-bingkai-pancasila?, diakses pada tanggal 3 Januari 2013. Sikap ragu-ragu kalangan Islam yang ditujukan kepada Pancasila tersebut memang cukup beralasan. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, Pancasila memang kerapkali mengalami periode pasang-surut berkepanjangan yang kemudian mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Orde Baru. Oleh Soeharto, Pancasila dijadikan “sakti dan keramat”. Kesaktian dan kekeramatan Pancasila tersebut tampak lewat berbagai doktrin yang tidak boleh dikritik atau didefinisikan berbeda dari perspektif penguasa. Sikap berbeda dari siapapun akan dianggap melawan negara, mengganggu ketertiban umum, dan mengancam keamanan nasional. Padahal, kenyataan berbicara bahwa Pancasila yang sakti dan keramat itu sebenarnya sedang dimanipulasi untuk kepentingan memperoleh legitamasi atas kebijakan dan kekuasaan belaka. R..Raki, “Bukan Pancasial, melainkan Pancasila; Menelisik Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Hatta,” Vox, seri 56 (Januari, 2012), 104 - 105. Lebih dari itu, Soeharto juga melakukan “depolitisasi Islam”, yaitu membatasi peran politik partai-partai Islam yang dahulu ikut ambil bagian dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, antara lain Masyumi, NU, dan SI. Langkah ini dipilihnya untuk mencegah isu “islamisasi” di bidang politik. Soeharto ingin berperan sebagai satu-satunya pemimpin tunggal. Bermacam-macam bentuk protes atas-nama agama Islam akan ditindak setegas-tegasnya. H. Mutalib, op.cit., pp. 17 - 18. Selama kurang lebih tiga puluh tahun masa kepemerintahan Soeharto, rakyat hidup dalam ideologi Pancasila yang palsu. Luka yang mendalam ini perlahan-lahan terobati sejak era reformasi. Partai-partai politik yang mengusung berbagai kepentingan bermunculan memenuhi panggung politik Indonesia. Namun biar bagaimanapun juga situasi negara pasca reformasi saat ini pun belum menjamin terpuaskannya beragam kepentingan yang selama ini tidak muncul ke permukaan. Kita dapat memaklumi mengapa kalangan tertentu dari pihak Islam lebih memilih untuk kembali kepada syari’at Islam sebagai patokan hidup bersama, sebagaimana sudah dibuktikan oleh Nabi Muhammad pada masanya. GAGASAN MENGENAI HUBUNGAN ISLAM DENGAN NEGARA Wacana mengenai hubungan agama dengan negara bagi kalangan politisi Islam memang masih hangat dibicarakan. Ada yang memilih syari’at atau hukum Islam dijadikan dasar normatif negara. Akan tetapi, pilihan tersebut akan menyulitkan ketika berhadapan dengan kenyataan pluralisme yang dimiliki bangsa Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang bakal muncul: “apakah syari’at Islam sanggup menjamin keadilan sosial bagi semua golongan masyarakat? Sanggupkah pelaksanaan syari’at bebas dari kecenderungan dominasi Islam dan praktik-praktik yang diskriminatif?” Berikut ini adalah ketiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaaan itu. Tiga Responsi Sikap Kaum Islam menurut Gus Dur KH. Adurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur (alm.) adalah seorang tokoh besar NU yang sangat moderat. Pemikirannya tidak jarang melawan arus kemapanan, bahkan jika kebenaran mengharuskannya menempatkan kelompoknya sendiri pada posisi yang kurang menguntungkan. Mantan Presiden keempat RI ini berpendapat bahwa secara garis besar ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara, yakni responsi integratif, responsi fakultatif dan responsi konfrontatif. Gus Dur, “Kongres Umat Islam: Mencari Format Hubungan Agama dan Negara,” Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, eds. F.M. Parera dan T.J. Koekerits (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 1999), hlm. 23 - 24. Dalam responsi integratif, Islam samasekali menghilangkan kedudukan formalnya dan samasekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan kenegaraan. Hubungan antara kehidupan keagamaan yang mereka ikuti desesuaikan dengan pola hidup masyarakat yang mereka hayati. Kelompok ini sangat menjunjung tinggi pluralitas yang menjadi khazanah bangsa dan negara. Menempatkan hukum agama Islam untuk menjadi landasan normatif kehidupan bersama dipandang sebagai bentuk ketidakadilan yang berpotensi menimbulkan konflik berbau agama. Responsi kedua ialah responsi fakultatif. Responsi ini mengandaikan jika kekuatan mereka cukup besar di parlemen atau di MPR, kaum muslimin (para wakil rakyat Islam) akan berusaha untuk membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka pun samasekali tidak memaksakan pendirian mereka. Aturan perundang-undangan yang berbeda dari ajaran Islam dapat diterima dengan sepenuh hati. Responsi ketiga, yakni responsi konfrontatif, datang dari kelompok “ekstremis” atau “fundamentalis” yang terang-terangan menolak kehadiran hal-hal yang ditengarai “tidak Islami”. Kelompok ini pula yang dengan getol menyuarakan wacana pendirian negara Islam serta penghapusan Pancasila dan pemberlakuan syari’at Islam di seluruh wilayah negara. Bila perlu, mereka akan dengan berani menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk melegitimasi setiap kepentingan sepihak kelompoknya. Akan tetapi, tidak semua kalangan muslim setuju dengan sikap yang mereka miliki itu. Gus Dur dengan berani menempatkan dirinya pada responsi pertama. Melalui berbagai pemikirannya yang sangat terbuka, ia sering mengkritik segala bentuk politisasi Islam yang telah salah arah. Islam ideal, bagi Gus Dur, adalah Islam yang mampu merangkul segala macam perbedaan, bukannya mempertahankan mati-matian kepentingan sendiri. Tidak mengherankan bila media Barat menganggapnya sebagai seorang tokoh pemimpin yang moderat, toleran, dan piawai. Sukidi, “Citra Muslim di Barat: Refleksi Fenomenal Presiden Gus Dur,” Islam di Tengah Arus Transisi, ed. A. Mu’nim D.Z. (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), hlm. 248. Ketiga responsi yang ditawarkannya di atas telah menggambarkan sikap umum umat Islam terhadap negara. Dari sini, kita bisa menilai bahwa Gus Dur dan kalangan muslim moderat lainnya tidak menyetujui adanya negara Islam atau negara yang berdasarkan Islam. 4.2. Prioritas terhadap Kebangsaan : Mengapresiasi Pancasila oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif Ahmad Syafi’i Ma’arif memiliki latar-belakang Muhammadiyah. Ma’arif sering menganjurkan agar filosofi Muhammadiyah hendaknya menempatkan kepentingan bangsa sebagai prioritas dan kemudian baru menjalankan kepentingan umat dan persyarikatan. Ia merujuk pada pandangan Bung Karno tentang nation and character building dengan alasan utama bahwa Indonesia adalah sebuah “kebhinekaan” yang harus dijaga dan diberdayakan. Untuk itu, prinsip kebangsaan sudah seharusnya menjiwai setiap orang. A.S. Ma’arif, “Antara Ayat Kitab Suci dan Ayat Konstitusi dalam Hidup Bernegara,” Negara Minus Hati Nurani, ed. A.F.T. Indratno (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 26 - 29. Namun ia juga menyadari ironi bahwa dengan semakin kokohnya Pancasila sebagai dasar negara, kondisi moral bangsa belum kunjung membaik. Kenyataan ini sengaja dieksploitasi sekelompok kecil orang untuk menyudutkan posisi Pancasila dan menganjurkan dasar negara baru yang berasal dari ayat Kitab Suci sesuai penafsiran mereka. Terhadap hal ini, ia secara tegas menyatakan bahwa kebobrokan moral bangsa justru terjadi karena Pancasila dikhianati dalam perbuatan sekalipun masih dimuliakan dalam kata-kata. Ma’arif kembali menekankan urgensi Pancasila di atas segala macam kepentingan politis apapun, termasuk kepentingan politis keagamaan. Hal yang perlu kita benahi yaitu menghentikan segala bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila dengan memiliki kesadaran konstitusional untuk menjalankan nilai-nilai luhur di dalamnya dengan rasa kebangsaan yang tinggi. Tujuan utama yang harus dicapai ialah tegaknya keadilan dan kemakmuran secara merata. Ibid., hlm. 28. Jadi, kita tidak perlu mendirikan suatu negara Islam demi tujuan itu. Kita hanya perlu lebih menghargai Pancasila. Liberalisasi Islam dan Masyarakat Madani menurut Cak Nur Prof. Dr. Nurcholis Madjid (alm.) amat terkenal dengan idenya mengenai “liberalisasi Islam” (pembaharuan Islam). Ide ini digulirkan tokoh yang juga disapa Cak Nur ini sebagai tanggapannya atas fenomena polarisasi politik Islam yang marak terjadi di Indonesia. Menurutnya, terpecah-pecahnya perjuangan politis Islam ke dalam berbagai organisasi yang membawa kepentingan yang berbeda seperti itu merupakan bukti bahwa umat Islam hanya mementingkan jumlah daripada kualitas. Kualitas keislaman ada pada kesanggupan Islam untuk menyesuaikan diri dengan segala macam kebutuhan dan tantangan zaman ini. Proses liberalisasi yang dimaksud mencakup tiga hal berikut ini: (1) sekularisasi,(2) kebebasan berpikir, dan (3) idea of progress serta sikap terbuka. A.Gaus A.F., Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 89 - 102. Ide sekularisasi dipakainya untuk menanggapi kecenderungan yang banyak terjadi pada tingkat organisasi dan partai Islam. Kebanyakan orang tidak bisa lagi membedakan antara hal-hal yang transendental (ilahi) dengan hal-hal temporal (fana, sementara). Demi kepentingan politik, organisasi dan partai disakralkan. Ia mengajak kaumnya untuk menduniawikan hal-hal yang semestinya duniawi itu tanpa mencederai konsep tauhid ”Tauhid” merupakan pemutlakan transenden semata-mata kepada Allah yang Esa. Ibid., hlm. 92. dalam Islam. Cak Nur pun menggunakan jargon “Islam yes, partai Islam no” untuk menggambarkan ide sekularisasinya. Konsep liberalisasi berikutnya yaitu mengenai kebebasan berpikir. Ia menilai bahwa sekarang ini kaum Muslim Indonesia sering terperangkap dalam pemikiran mengenai Islam yang sempit. Hal itu dikarenakan mereka seringkali merasa nyaman dengan pemikiran-pemikiran yang cenderung konservatif, bahkan fundamental. Tidak jarang, fanatisme sempit begitu mudahnya menguasai cara pandang mereka. Nurcholis menganjurkan agar pemikiran-pemikiran baru dalam Islam hendaknya diberi perhatian khusus karena justru dari yang baru tersebut seringkali Islam terbantu untuk menyesuaikan dirinya di tengah realitas zaman yang semakin modern ini. Proses liberalisasi yang ketiga ialah idea of progress (pemikiran tentang kemajuan, berpikir ke depan) dan sikap terbuka. Agenda pemikiran ini menegaskan visi seorang Cak Nur akan masa depan Islam yang harus disambut dengan kemauan untuk berubah. Idea of progress membutuhkan sikap terbuka terhadap segala perbedaan sehingga tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan reaksioner begitu perbedaan tampaknya dapat menjadi ancaman. Nurcholis pun mempopulerkan istilah “masyarakat madani” sebagai bentuk masyarakat ideal yang justru harus diperjuangkan Islam. Masyarakat madani merupakan representasi masyarakat Madinah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Prinsip dasar pembentukan masyarakat yang tertuang lewat Piagam Madinah (Mitsaqal Madinah) tersebut meliputi wacana kebebasan beragama, persaudaraan antaragama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Sukidi, “Kongres Umat Islam: Menuju Masyarakat Madani” Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, eds. F.M. Parera dan T.J. Koekerits (Jakarta: Penerbit Kompas, 1999), hlm.236 - 237. Muatan Piagam Madinah di atas kurang-lebih telah kita miliki dalam kelima sila Pancasila. Masyarakat Madinah yang cukup modern untuk zamannya itu hanyalah model bagi pembangunan masyarakat Indonesia sesuai konteksnya saat ini. Dengan kata lain, tidak perlu ada upaya untuk merombak seluruh bangunan dasar negara ini dan menggantikannya dengan ideologi Islam. Pancasila yang telah kita miliki sekarang cukup perlu diberikan tempat istimewa dalam penghayatan kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani itu. Di sinilah letak medan perjuangan Islam yang sesungguhnya. PENUTUP Ketelibatan Islam dalam dunia politik Indonesia terbilang cukup penting. Dari sejarah keberadaanya, Islam mampu menyumbang banyak hal berguna yang dapat dijadikan salah satu model politik di Tanah Air. Model politik tersebut tentunya berguna dalam rangka membangun serta mengarahkan bangsa dan negara kita menuju kehidupan yang diharapkan seluruh lapisan masyarakat kita yang plural ini. Namun patut selalu disadari bahwa perjuangan politik Islam hendaknya berorientasi murni pada kepentingan bersama. Sebagai agama mayoritas, Islam sendiri harus berani melawan kecenderungannya untuk mendominasi segala bidang kehidupan manusia dan menjadi agen yang pertama kali menentang diskriminasi sosial. Islam harus senantiasa menginsyafi realitas sosial dengan sikap terbuka. Bila tidak, Islam hanya akan terjebak, baik dalam sikap maupun dalam stereotipe “ekstremis” atau “fundamentalis”, sebagai akibat sempitnya wawasan kebangsaan. Dengan demikian, Islam akan sungguh hidup di bumi Indonesia ini dan mampu mengayomi segala macam perbedaan yang ada menuju cita-cita bangsa dan negara. DAFTAR KEPUSTAKAAN Kamus dan Ensiklopedi Effendy, M. “Islam di Indonesia,” Ensiklopedi Agama dan Filsafat, II, hlm. 456 – 457. Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-4, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Buku-buku Gaus, A.F.A. Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Irvin, D.T., dan S.W..Sunquist. Kekristenan: Gerakan Universal, Sebuah Ulasan Sejarah. Maumere: Ledalero, 2004. Ma’arif , A.S. “Antara Ayat Kitab Suci dan Ayat Konstitusi dalam Hidup Bernegara,” Negara Minus Hati Nurani, A.F.T. Indratno (ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009. Sukidi. “Citra Muslim di Barat: Refleksi Fenomenal Presiden Gus Dur,” Islam di Tengah Arus Transisi, Abdul Mu’nim D.Z. (ed.). Jakarta: Penerbit Kompas, 2000. _______. “Kongres Umat Islam: Menuju Masyarakat Madani,” Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Frans M. Parera dan T.J. Koekerits (eds.) Jakarta: Penerbit Kompas, 1999. Mutalib, H. Islam in Southeast Asia. Vol. 11. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008. Gus Dur. “Kongres Umat Islam: Mencari Format Hubungan Agama dan Negara,” Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, Frans M. Parera dan T.J. Koekerits (eds.). Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 1999. Suwarno, P.J. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Majalah dan Manuskrip Kleden, P.B. “Sejarah Filsafat Barat Kuno.” Jld. I. Diktat kuliah untuk mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2005. Raki, R. “Bukan Pancasial, melainkan Pancasila; Menelisik Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Hatta”. Vox, seri 56: 104 - 105, Januari, 2012. Tule, P. “Kuliah Islamologi.” Diktat kuliah untuk mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana, Malang, 1991. Internet Iran Indonesian Radio. Situasi Politik 2013 Diprediksi Memanas. [online]. Tersedia: http://indonesian.irib.ir/cakrawala-indonesia/-/asset_publisher/eKa6/content/situasi-politik-2013-diprediksi memanas. (Diakses pada tanggal 3 Januari 2013). Muhsin, L. (2012, 20 Desember). Negara dan Agama dalam Bingkai Pancasila. [online]. Tersedia: http://indonesian.irib.ir/cakrawala-indonesia/-/asset_publisher/eKa6/content/negara-dan-agama-dalam-bingkai-pancasila?. (Diakses pada tanggal 3 Januari 2013). Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Agama di Indonesia. [online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Islam,. (Diakses pada tanggal 28 Desember 2012). _______. Piagam Jakarta. [online]. Tersedia: http://id.wikisource.org/wiki/Piagam_Jakarta,. (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2012). 16