Academia.eduAcademia.edu

KELOMPOK 5 PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Tahun 1950-1965 dalam sejarah Indonesia dapat dipandang sebagai banyak masa di dalam suatu masa, tergantung pada lensa yang digunakan; (dekolonisasi; federalism ke kesatuan; konflik kedaerahan; demokrasi konstitusional; faksionalisme politik; pemerintahan otokratis; hubunganhubungan internasional; merosotnya ekonomi; intervensi-intervensi Perang Dingin). Akan tetapi, dalam suatu hal masa ini memang merupakan suatu masa tunggal -yakni sebagai hasil pembentukan gagasan-gagasan mengenainya yang ditentukan oleh bagaimana masa itu berakhir. Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an mempromosikan pengembangan nasionalisme dalam kebudayaan, seni, dan ilmu pengetahuan, dan kongres-kongres kebudayaan resmi yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1948, konteks baru ini menambahkan tingkat mendesaknya dan kebutuhan bagi pengambilan keputusan praktis terkait perdebatan kebudayaan yang telah menjadi bagian wacana kaum nasionalis sejak tahun 1930-an. Kini, disamping mempersoalkan definisi kebudayaan dan bangsa, tibalah waktunya pula untuk memulai menata aspek kebudayaan negara Indonesia. Berdasarkan permasalahan diatas maka dirumuskanlah : 1. Bagaimana konsep kebudayaan Indonesia? 2. Bagaimana pandangan mengenai kebudayaan Indonesia pada tahun 1945 -1965? 3. Mengapa terjadi pergeseran budaya kearah anti -Barat? 1 BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP KEBUDAYAAN INDONESIA 1. Pengertian Kebudayaan Kebudayaan atau yang dapat disebut juga "Peradaban mengandung pengertian yang sangat " luas dan mengandung pemahaman perasaan suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi pengetahuan,kepercayaan, seni,moral, hukum, adat -istiadat,kebiasaan dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. (Taylor, 1897). Apabila ditinjau dari asal katanya, maka "Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu "Budhayah , yang merupakan bentuk jamak dari " " "Budhi yang berarti Budi atau Akal. Dalam hal ini, Kebudayaan dapat diartikan sebagai Hal -hal " " " yang bersangkutan dengan budi atau akal. Selanjutnya Koentjaraningrat (1980) mendefinisikan Kebudayaan sebagai "Keseluruhan dari hasil budi dan karya". Dengan kata lain "Kebudayaan " adalah keseluruhan dari apa yang pernah dihasilkan oleh manusia karena pemikiran dan karyanya". Jadi menurutnya Kebudayaan merupakan produk dari Budaya. Kebudayaan juga memiliki unsure-unsure menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai 7 (Tujuh) Unsur Universal, yaitu (1) Bahasa, (2) Sistem Teknologi, (3) Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian, (4) Organisasi Sosial, (5) Sistem Pengetahuan, (6) Religi, dan Kesenian. Herkovits yang dikenal dengan bukunya yang berjudul "MAN AND HIS WORK"telah memberikan Dalil tentang Teori Kebudayaan, yaitu: 1) Kebudayaan dapat dipelajari.

BAB I LATAR BELAKANG Tahun 1950-1965 dalam sejarah Indonesia dapat dipandang sebagai banyak masa di dalam suatu masa, tergantung pada lensa yang digunakan; (dekolonisasi; federalism ke kesatuan; konflik kedaerahan; demokrasi konstitusional; faksionalisme politik; pemerintahan otokratis; hubungan-hubungan internasional; merosotnya ekonomi; intervensi–intervensi Perang Dingin). Akan tetapi, dalam suatu hal masa ini memang merupakan suatu masa tunggal - yakni sebagai hasil pembentukan gagasan-gagasan mengenainya yang ditentukan oleh bagaimana masa itu berakhir. Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an mempromosikan pengembangan nasionalisme dalam kebudayaan, seni, dan ilmu pengetahuan, dan kongres-kongres kebudayaan resmi yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1948, konteks baru ini menambahkan tingkat mendesaknya dan kebutuhan bagi pengambilan keputusan praktis terkait perdebatan kebudayaan yang telah menjadi bagian wacana kaum nasionalis sejak tahun 1930-an. Kini, disamping mempersoalkan definisi kebudayaan dan bangsa, tibalah waktunya pula untuk memulai menata aspek kebudayaan negara Indonesia. Berdasarkan permasalahan diatas maka dirumuskanlah : Bagaimana konsep kebudayaan Indonesia? Bagaimana pandangan mengenai kebudayaan Indonesia pada tahun 1945 – 1965? Mengapa terjadi pergeseran budaya kearah anti – Barat? BAB II PEMBAHASAN KONSEP KEBUDAYAAN INDONESIA Pengertian Kebudayaan Kebudayaan atau yang dapat disebut juga “Peradaban‟ mengandung pengertian yang sangat luas dan mengandung pemahaman perasaan suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi pengetahuan,kepercayaan, seni,moral, hukum, adat - istiadat,kebiasaan dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. (Taylor, 1897). Apabila ditinjau dari asal katanya, maka “Kebudayaan‟ berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Budhayah‟, yang merupakan bentuk jamak dari “Budhi‟ yang berarti Budi atau Akal. Dalam hal ini,‟Kebudayaan‟ dapat diartikan sebagai Hal -hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Selanjutnya Koentjaraningrat (1980) mendefinisikan Kebudayaan sebagai “Keseluruhan dari hasil budi dan karya”. Dengan kata lain “Kebudayaan “ adalah keseluruhan dari apa yang pernah dihasilkan oleh manusia karena pemikiran dan karyanya”. Jadi menurutnya Kebudayaan merupakan produk dari Budaya. Kebudayaan juga memiliki unsure- unsure menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia mempunyai 7 (Tujuh) Unsur Universal, yaitu (1) Bahasa, (2) Sistem Teknologi, (3) Sistem Ekonomi/ Mata Pencaharian, (4) Organisasi Sosial, (5) Sistem Pengetahuan, (6) Religi, dan (7) Kesenian. Herkovits yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “MAN AND HIS WORK”telah memberikan Dalil tentang Teori Kebudayaan, yaitu: Kebudayaan dapat dipelajari. Kebudayaan berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia. Kebudayaan mempunyai struktur. Kebudayaan dapat dipecah - pecah ke dalam berbagai aspek. Kebudayaan bersifat dinamis. Kebudayaan mempunyai variabel. Kebudayaan memperlihatkan keteraturan yang dapat danalisis dengan metode ilmiah. Kebudayaan merupakan alat bagi seseorang untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya. Jadi pada intinya Kebudayaan adalah suatu pemahaman, perasaan suatu bangsa (kelompok) dari hasil akal manusia yang bersifat sangat kompleks yaitu meliputi aspek-aspek kehidupan. Ciri – Ciri Kebudayaan Indonesia Kebudayaan Indonesia dipengaruhi Kebudayaan yang kita miliki menurut Prof Takdir Alisyahbana mempunyai 4 lapisan unsur sejarah yang mempengaruhi, yaitu : Taqdir Alisjahbana. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia (Jakarta : Idayu Press. 1982). hlm 5. Kebudayaan Indonesia Asli Kebudayaan Indonesia yang sudah beragam dari awal sebelum kedatangan hindia memiliki beberapa kesamaan misalnya memiki cara berpikir yang kompleks atau keseluruhan. Dahulu kekuasaanya masih berbentuk kekuasaan-kekuasaan yang kecil (desa) yang dipimpin oleh orangdari suku itu juga yang dipilih untuk dijadikan ketua suku sama seperti sekarang yaitu presiden dipilih oleh rakyatnya. Kebudayaan India Kebudayaan India masuk ke Indonesia dengan membawa kebudayaan, yang berupa Agama Hindu- budha, bahasa sansekerta, serta pola system kerajaannya kita adopsi. Kebudayaan Arab / Islam Kebudayaan ini masuk dan menyebarkan agama Islam yang banyak dianut orang Indonesia sekarang. Kebudayaan Modern Eropa- Amerika Ini terjadi semenjak bangsa eropa datang dan menjajah ke Indonesia, mereka membawa yang mempunyai 3 misi yaitu gold glory dan gospel (mencari kekayaan, kejayaan, dan menyebarkan agama kristen). Namun dalam proses pengaruhnya dengan kreativitas dan kedinamisanya dalam bukunya Herkovist sehingga berbeda dengan budaya-budaya yang mempengaruhinya. Perbedaan proses dan tempat yang dipengaruhi oleh kebudayaan lain menjadikkan budaya kita semakin kaya akan keberagaman. Musyawarah dan Pemufakatan Dari dahulu sebelum kebudayaan-kebudayaan laindatang dan mempengaruhi Indonesia sudah mencari jawaban dengan musyawarah , dan sampai sekarang sudah diabadikan dalam sila ke 4 Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kebudayaan Indonesia Berbeda dengan Nation- nation lain seperti jepang korea, italia, yang memiliki kesamaan budaya yang menyatukan mereka, Indonesia memiliki beragam suku- bangsa – budaya namun memiliki kesadaran nasional yang didorong akan kesamaan nasib yang akhirnya menyatukkan kita dalam suatu Nation yaitu Indonesia. Jadi Indonesia memang terdiri atas banyak suku bangsa yang tentunya beda bahasa, adat istiadat dll (budaya) , hal yang perlu menjadi tanda tanya mengenai konsep Kebudayaan Nasionalhal ini menjadi bahasan temu budaya tanggal 15-17 februari 1988. Masyarakat Nasional Indonesia yang modern memang dewasa ini belum terwujud, prosesnya masih panjang dan berlangsung dan masih terus menerus berjalan dengan permasalahannya, dan tahap yang paling dini dipandang perlu untuk segera dibaurkan, dileburkan atau ditransformasikkan terhadap kebudayaan Indonesia yang baru, yang perlu tetap dikembangkan adalah zone-zone netral, tempat transaksi cultural antar nation dan tempat penetapan performulasi materi cultural yang telah diterima secara consensus sebagai milik bersama contoh : bahasa Indonesia. Soetandyo Wigyosoeproto. Konsep kebudayaan Nsional (Surabaya : Temu Budaya Jawa Timur. 1988). hlm 13. Mencari Jati Diri Kebudayaan Indonesia (Kongres Kebudayaan) Kongres Kebudayaan (1945-1965) Kongres Kebudayaan 1948 Merupakan kongres pertama yang dilakukkan setelah Indonesia merdeka yang berlangsung dari tanggal 20-24 Agustus 1948, dipendopo Kabupaten Magelang, sebagai bentuk pelaksanaan dari keputusan konferensi persiapan yang diselenggarakan pada tanggal 6 mei 1948. Gagasan kongres ini muncul dari pusat kebudayaan KEDU sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Nunus Supardi. Kongres Kebudayaan (1918-2003) Edisi Revisi (Yogyakarta : Ombak. 2007). hlm 132. Kongres ini berupaya mencari dan menyepakati konsep dan strategi dalam menata kehidupan berbangsa dan berbudaya kearah kedepan. Meskipun kongres ini dilakukkan pada waktu yang sulit dan keamanan Negara belum stabil dikarenakkan setelah adanya pemberontakkan PKI pimpinan Muso dan masih adanya agresi militer belanda yang siap menghancurkan bangsa ini. Kongres ini memiliki banyak kesukaran dalam hal transportasi namun atas bantuan gotong – royong masyarakat sekitar, Kongres ini dilaksanakan dengan disediakkannya 600 kursi undangan (banyak orang yang mengapresiasi sehingga banyak yang tidak kebagian kursi terpaksa untuk berdiri). Pada kongres ini menekankan untuk meletakkan dasar-dasar Kebudayaan Nasional. Dari pihak panitia meminta untuk para pemrasaran dan pendebat untuk memperhatikan 2 hal ini : (1) bagaimanakah caranya mendorong kebudayaan kita supaya dapat maju cepat (2) bagaimana caranya agar kebudayaan kita jangan sampai bersifat kebudayaan jajahan, akan tetapi supaya menjadi kebudayaan yang menentang tiap-tiap anasir cultureel imperialism . Gagasan untuk menyelenggarakan KK(Kongres Kebudayaan) yang sangat strategis itu kemudian diambil alih oleh kementrian pengajaran, pendidikan dan kebudayaan, tetapi campur tangan Mr. Ali Sastroamidjojo adalah “campur tangan passief” saja. Majalah Indonesia No. I-II, 1950 :13 Judul prasaran (prae-advies) dan pemrasaran (prae-adviseur) yang dibahas dalam kongres antara lain Sebagai berikut : kebudayaan dan pembangunan masyarakat, oleh Ki Mangoensarkoro. Kebudayaan dan Hukum Masyarakat, oleh Prof. Mr. Djokosoetono Kebudayaan dan Pembangunan Ekonomi, oleh prof. Mr. Soenarja Kolopaking Kebudayaan dan Pembangunan Kota-kota, oleh Prof. Ir. Poerbodiningrat Kebudayaan dan pembangunan Negara , oleh Mr. Koentjoro Poerbopranoto Kebudayaan dan pendidikkan, oleh Ki Hajar Dewantoro Kebatinan sebagai Alat dalam Pembangunan Negara, oleh Ki Ageng Soejomentaram, dr. Radjiman Wedjodiningrat dan ki Mangoensoedarso Namun dalam makalah ini kami akan lebih menekankan dalam membahas Lembaga Kebudayaan Lembaga Kebudayaan. Lemaga Kebudayaan Indonesia dididirikkan dengan ketua sementara Mr. Wongsonegoro dan Ketua Muda Dr. Abu Hanfiah, dewan redaksi untuk membuat rancangan anggaran dasar dikepalai MR.J Poerbopranoto,armijn Pane cs. Untuk diselesaikan dalam waktu 2 bulan. Mengusulkan kepada pemerintah segera berdirinya suatu akademi kesenian (Prae-Advies Sdr. Sindoe Soewarno.) Memajukkan kepada pemerintah untuk mengadakan kementrian sendiri untuk kebudayaan Majalah Indonesia No. I-II, 1950: 14 Hasil perdebatan para budayawan pada 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka dalam permusyawaratan kebudayaan yang dibuat dalam majalah Pantja Raja, tanggal 15 Januari 1946, namun belum terwujud sampai sekarang.) *) Catatan : tugas LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) adlah menyelenggarakan konferensi Kebudayaan Indonesia dan melakukan persiapan penyelenggaraan kongres kebudayaan berikutnya. **) Prae –Advies artinya adalah referensi Kongres Kebudayaan 1951 Kongres ini diselenggarakan dikota bandung Tanggal 6-11 oktober 1951 yang diselenggarakan oleh LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia), kongres ini mengkhususkan diri untuk usaha pemecahan berbagai bidang kesenian. Ada empat masalah yang dijadikan pembicaraan mengenai (1) Hak Pengarang atau hak cipta, (2) perkembangan kesusastraan, (3) Kritik Seni, (4) mengenai Sensor film. Selain itu juga dibahas mengenai organisasi Kebudayaaan Namun dalam makalah ini penulis akan lebih menekankan mengenai organisasi kebudayaan. Kongres memberikkan tugas kepada panitia kesimpulan supaya dengan melalui pengurus LKI selambat-lambatnya 2 bulan setelah kongres selesai. Keimpulan tersebut dibagikan kepada organisasi kebudayaan yang ikut ataupun yang berhalangan untuk ikut unruk dipertimbangkan. Dalam waktu 2 bulan organisasi-organisasi kebudayaan itu harus menyerahkan pendapatnya, yang pada nantinya 6 bulan setelah kongres diadakan konferensi oleh LKI pada tanggal 11 oktober 1951 guna membahas kesimpulan akhir dari pendapat-pendapat tersebut yang akan disetujui oleh kebanyakan organisasi kebudayaan dan LKI. Pembentukkan Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN) Sesuai dengan mandate yang diberikkan oleh kongres di bandung pada tanggal 14 april 1952 peserta konferensi yang dihadiri lebih dari 120 organisasi kebudayaan (seperti Taman Siswa, Himpunan budaya Surakarta dll) memutuskan berdirinya BMKN pada tanggal 12 mei 1952, dan LKI yang dibentuk pada kongres 1948 memutuskan untuk meleburkan diri dengan BMKN. Kongres Kebudayaan 1954 Kongres ini dilaksanakan pada tanggal 18-23 september 1954 disurakarta, kongres ini memiliki dua keistimewaan yaitu disiapkan oleh lembaga kebudayaan baru yaitu oleh BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia) , dan kongres ini dilaksanakkan bersamaan dengan rapat umum BMKN . Kongres ke 3 ini menyoroti masalah pendidikkan kebudayan bagi kaum pelajar, masyarakat kota, dan buruh tani. Prae advies disini memiliki kualifikasi yang tinggi dibidang pendidikan , kriterianya adalah harus merupakkan kalangan Perguruan Tinggi, Kalangan seniman yang banyak mengetahui mengenai soal-soal pendidikan kebudayaan untuk msyarakat serta dari kalangan masyarakan seniman yang mengetahui soal pendidikan kebudayaan untuk massa Buruh tani. Kongres Kebudayaan 1957 Kongres ini mengalami banyak perdebatan apakah ini merupakan kongres, rapat umum BMKN atau pertemuan kebudayaan. Namun ada kemungkinan seperti kongres tahun 1954 mungkin ini digabung dengan rapat umum BMKN. Kongres ini dilaksanakan pada tanggal 20-24 juli 1957 di buleleng Bali (sebenarnya tempat yang seharusnya adalah di Makasar dan sudah dipersiapkan matang-matang namun dengan tidak adanya kejelasan tiba-tiba dipindah ke Bali). Dalam kongres ini topic perbincangan dan pemrasarana (pemateri) yang disepakati adalah (1) Hubungan arsitektur dengan seni rupa, (2) Penyelenggaraan Kesenian Semasyarakat, (3) Kebudayaan dan Konstitusi. Terdapat perbedaan antara faham humanism realis dan humanisme universal baru memanas antara 2 kelompok peserta. Kongres Kebudayaan 1960 Kongres ini dilaksanakan pada bulan juli 1960 dengan pokok masalah yang diangkat adalah Fungsi Kebudayaan dalam Pembangunan Ekonomi yang meliputi peranan ilmu dan sarjana, peranan seni dan seniman dan peranan pendidikan dan pendidik.pemrasarana yang ditunjuk adalah Prof. Soediman Kartohadiprodjo, Drs. Sudjoko dan Sarino Mangunpronoto. Pertentangan antara 2 kelompok peserta meledak ketika itu para utusan lekra mengajukka resolusi yang intinya mendesak agar BMKN dalam kongresnya di bandung itu menerima Manipol Usdek sebagai landasan kegiatan kerjanya di masa depan.Situ Sitomorang sebagai penyanggah utama dari prasana Sudjoko bahwa ia tidak ada persoalan dengan prasrann , dan meminta untuk menjadi prasaran kepada ketua, dengan dasar toleransi beliau diijinkan. Dalam materinya pada intinya mengatakan bahwa prasaran sebelumnya terlalu bersifat teori dan bermuka politik sehingga sepantasnya berada di jalan asia afrika bukan di Jalan Surapati (tempat kongres berlangsung). Menurut penilaian Lekra bahwa BMKN selama ini belum pernah secara jelas menyetujui atau tidak terhadap Manipol Usdek. Menanggapi tuduhan miring tersebut BMKN mengeluarkan Bantahan terhadap tuduhan Lekra PERNYATAAN TENTANG BMKN DAN KONGRES KEBUDAYAAN 1960 DI BANDUNG, tanggal 13 oktober 1960, No.977/III/’60 yang dikirimkan kepada Presiden RI dan copyannya diserahkan kepada menteri PP dan K. Dalam bantahan ditekankan bahwa (1) soal usaha-usaha yang dilakukan, (2) dan soal fungsi dalam kaitan dengan kepentingan ideology pemerintah (3)LKI/ BMKN tidak pernah menyimpang dari kepentingan nasionbal, singkatnya BMKN tidak menyimpang dari Pancasila dan mendukung Manipol Usdek (4) sesuai pasal 2 AD BMKN, kegiatan-kegiatan BMKN berazazkan ke bebasan dan kerakyatan ,(5) BMKN adalah organisasi atau perorangan yang memiliki kedaulatan meski tiap aliran-aliran kelompok ingin membawa ke orbit masing-masing, Namun BMKN hanya menempuh jalan permufakatan saja. PERDEBATAN DI RANAH KEBUDAYAAN INDONESIA 1945 - 1965 Angkatan 45 Angkatan 45 ialah sebuah istilah yang merujuk pada pola standar seluruh gerak kehidupan dalam masa Revolusi Nasional 1945-1949. Istilah ini mengandung unsur emosional yang sangat kuat dalam keterlibatan dan partisipasi semangat perjuangan yang melahirkan bangsa Indonesia beserta harapan tentang drama, kegairahan dan janji-janji revolusi. Membawa topik Angkatan 45 dalam pembahasan sejarah kebudayaan modern Indonesia, kita tidak bisa lepas dari nama Chairil Anwar. Sosoknya melegenda menjadi tampilan (yang semakin) sempurna mewakili seluruh keberadaan Angkatan 45. Memang demikianlah yang ditumbuhkan selama ini. Chairil Anwar beserta keliaran, internasionalisme dan individualismenya dijadikan sebagai semangat utama Angkatan 45. Pengkajian lebih dalam tentang konteks historis Angkatan 45, membuat segala image yang dibangun tentangnya bisa jadi menyesatkan. Produksi kebudayaan yang dikategorikan pada angkatan ini, dengan wakil utamanya Chairil Anwar, dan segala keterkaitannya dengan semangat revolusi pembebasan bangsa, sebenarnya adalah peleburan seni modernis dan kesusasteraan Eropa ke dalam budaya Indonesia. Lebih tegas dikatakan bahwa Chairil Anwar dan teman-teman sejamannya sebenarnya lebih dan telah memilih jalan Barat dan menganggap pengaruh budaya Barat yang universal itu sebagai cita-cita kemanusiaan universal, daripada berkutat pada pembangunan identitas nasionalisme bagi Indonesia muda. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 60. Chairil Anwar muncul, sebagai pelopor kesusasteraan baru yang menjadi model dominan setelah tahun 1945. Chairil dianggap membawa semangat modern pada kesusasteraan Indonesia dan kebudayaan pada umumnya. Semangat yang kemudian diperkenalkan sebagai “Humanisme Universal.” Kalau Chairil dianggap membawa semangat ini di wilayah kebudayaan. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tahun 1950-an adalah tahun-tahun yang penuh dengan harapan, bahkan dalam keadaan tertentu bisa dikatakan penuh dengan “mimpi-mimpi”.. Memasuki tahun 1950, seluruh rakyat Indonesia bersatu dalam keyakinan bahwa pengakuan kedaulatan secara internasional dalam KMB 1949, akan membawa ke cita-cita yang selama ini diperjuangkan lewat revolusi fisik. Kini saatnya mewujudkan harapan dan cita-cita yang selama ini telah dibangun bersama, saatnya mewujudkan segala “pengandaian kalau Indonesia merdeka” menjadi kenyataan. Harapan dan kegairahan ini mewujud dalam ratusan partai yang muncul di bidang politik. Di lapangan kebudayaan , ini ditandai dengan munculnya SKG dan Mukadimah Lekra 1950. Antara SKG dan Mukadimah Lekra lahir dari alam pemikiran yang sama, alam pemikiran kebudayaan yang terkenal dengan sebutan “Angkatan 45”. Menurut Joebaar Ayoeb, Angkatan 45 bersikap intuitif terhadap revolusi, dan Lekra mencoba mengembangkan sikap intuitifnya ke dalam konsep atau wawasan yang dilembagakan. Sementara itu SKG yang merupakan bagian dari sikap Angkatan 45, bersikap terhadap kebudayaan dunia dan revolusi nasional, maka Lekra ingin menjabarkannya secara lebih kategoris dan aktual bagi kepentingan pembaruan kebudayaan Indonesia. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 95. Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) Naskah lengkap Surat Kepercayaan Gelanggang lihat lampiran 1 Sebagai manifesto kebudayaan pertama yang muncul setelah Indonesia merdeka, SKG tidaklah dihasilkan oleh sebuah organisasi kebudayaan. Karena itu sulit dicari penjelasannya secara utuh. Masing-masing pihak yang merasa ikut terlibat melahirkannya merasa berhak untuk menjelaskan. Penjelasan yang disesuaikan dengan pemahaman masing-masing, dan seturut dengan perkembangan keadaan. Karena itu interpretasi dan penjelasan SKG jadi beragam dan penuh warna, tidak jarang saling bertentangan. Ada yang meyatakan bahwa SKG adalah ibu kandung dari Manifes Kebudayaan, sebagai pengejawantahan unsur-unsur universalisme yang humanis. Karena itu dia berlawanan dengan, misalnya, Mukadimah Lekra yang dianggap menolak prinsip Humanisme Universal dan menganut Realisme Sosialis. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. (Jakarta: STF Driyarkara. 2000). hlm 46. Pernyataan SKG sendiri pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan Sastera yang juga bernama “Gelanggang” dari Majalah Siasat, Siasat adalah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali Januari 1947, sedangkan ruang kebudayaan “Gelanggang”-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif sekelompok seniman (yang bukan kebeteluan juga bernama) “Gelanggang” seperti Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kelompok yang bernama lengkap “Gelanggang Seniman Merdeka” inilah yang kemudian oleh HB Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah sastra Indonesia. edisi Oktober 1950. Redaksi ruang kebudayaan Gelanggang adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Kalimat pembuka dalam SKG seringkali dikutip oleh kalangan seniman dan sastrawan sebagai landasan argumen bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah universal. Ia melintasi batas-batas bahasa, suku, agama bahkan bangsa. Identitas kebudayaan mereka dapat dari cara mereka meneruskan bangunan kebudayaan itu dengan “cara kami sendiri”.. Dengan ini mereka juga menyatakan vitalnya kebebasan kreatif bagi perkembangan kebudayaan. Seturut dengan semangat universal itu, maka mereka tidak secara khusus mengidentifikasi masyarakat di mana mereka tumbuh selain “kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan”. Bagian yang cukup menarik dari SKG ini adalah semangat “internasionalismenya,” Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusateraan Indonesia modern dibawa terutama oleh Chairil Anwar yang berangkat dari identifikasi dengan estetika modern Eropa. Lihat misalnya Foulcher, Keith, 1994, Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayan dan Revolusi Indonesia, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya, hlm.. 23, atau Sastrowardoyo, Subagio, 1997, Sosok Pribadi dalam Sajak, Jakarta, Pustaka Pelajar hlm. 24. dengan meletakkan tanggung jawab penuh integritas seniman secara individual sebagai pembangun budaya. Artinya, dalam konteks perjuangan bangsa keluar dari penjajahan dan pembangunan Indonesia baru, revolusi sebagai perjuangan bersama rakyat (kolektif) dilihat sebagai perjuangan individu-individu. Ditinjau dari konteks sosio politis jamannya, SKG cukup kontroversial. Saat seluruh potensi bangsa dipusatkan untuk mempertahankan kemerdekaan, bersatu memantapkan identitas ke-Indonesia-an, SKG muncul merelatifkan semua itu. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” adalah pernyataan yang menisbikan batas-batas timur dan barat. Dalam konteks tahun 1950-an ini bisa diartikan menghilangkan perbedaan antara penjajah (barat) dan yang dijajah (timur). Keadaan sosio politik tahun 1950-an memang dilihat dengan cara yang berbeda oleh para konseptor SKG ini. Situasi politik tahun-tahun itu, dengan hiruk pikuk aktivitas partai-partai, mereka baca dengan kritis dan sinis. Di tengah kejenuhan ini mereka ingin tampil lain dari pada yang lain, ingin meneruskan “dengan cara kami sendiri”, tidak mau “melap-lap kebudayaan lama”, dan menolak otoritas “pemeriksaan segala ukuran nilai”. Asrul Sani, mewakili sikap kalangan seniman dan budayawan yang bergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”, menyatakan kejenuhannya atas dominasi politik terhadap setiap sektor kehidupan, yang termanifestasi dalam kehidupan parta-partai politik. Dalam keadaan seperti ini kebenaran politik lalu mengatasi kebenaran lain, termasuk kebenaran kebudayaan. Orang tidak lagi bisa melihat sajak sebagai sajak bukan sebagai manifestasi politik. Dengan kungkungan politik ini, kebudayaan diperlakukan seperti orang memperlakukan bangkai binatang dalam ruang anatomi, disuntik dengan formalin sehingga kaku sama sekali. Asrul Sani. 1950, “Fragmen Keadaan II”, Siasat, Minggu 29 Oktober 1950. Kebudayaan lalu menjadi urusan birokratis, mencari pejabat yang akan mengurusinya dan membangun kantor baru sebagai tempat pegawai-pegawainya. Di sini Asrul Sani menuntut kejujuran dalam mengembangkan kebudayaan, kembali pada subyek pencipta kebudayaan: manusia. Karena itulah dalam menyikapi warisan polemik kebudayaan tahun 1930-an, baginya harus dikembalikan pada “kehendak mencari alasan”, motivasi sang pencipta budaya. Mencipta budaya membutuhkan energi keyakinan dan kejujuran, dan energi ini tidak bisa didapat dengan mempertentangkan atau membandingkan antara kita yang timur dan mereka yang barat. Lebih baik kita berpijak dari apa yang ada sekarang, tidak perlu malu kalau yang ada dalam darah kita sekarang tidak murni timur. Asrul pada intinya menegaskan bahwa budayawan dan seniman yang memperkaya kehidupan kebudayaan bukanlah semata-mata tenaga kreatif, tetapi juga hati nurani bangsa. Karena itulah, di atas segala-galanya adalah “kejujuran”, atau lebih tepat integritas pribadi sebagai pencipta adalah kemutlakan yang tak bisa diganggu gugat oleh seorang budayawan dan seniman. Reaksi terhadap SKG baru muncul sekitar 13 tahun kemudian, lewat pemrasaran Pramoedya Ananta Toer di depan Seminar Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Perlu di catat di sini adalah dalam tenggang waktu 13 tahun telah terjadi banyak perubahan, polarisasi politik di kalangan seniman semakin mengental Dalam makalah panjangnya (151 halaman dengan lampiran- lampiran), yang membahas tinjauan sosial Realisme Sosialis pada sastra Indonesia, Pram menganalisa perkembangan sastra Indonesia dan memasukkan di dalamnya SKG. Tanggapan Pram terhadap surat kepercayaan ini adalah hujatan. Baginya surat kepercayaan gelanggang tidak lebih dari manifestasi Humanisme Universal yang tidak lain merupakan kelanjutan dari politik etis kolonial. Subyektivitas dan kebebasan yang diagungkan justru membuatnya tertinggal oleh perkembangan jaman yang begitu pesat, mengurungnya dalam menara gading idealisme. Pretensi untuk selalu mencipta yang baru, avant-gardasme, menurut Pram adalah kesombongan merasa diri sebagai kelompok yang paling maju dalam masyarakat. Dalih untuk membedakan diri sejauh mungkin dari Rakyat. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 52. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Lahirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Tahun 1950 Lembaga Kebudayaan Rakyat didirikan di Jakarta oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan tepat pada ulang tahun ke-5 Republik Indonesia, 17 Agustus 1950 atau enam bulan setelah Gelanggang Seniman Merdeka Atas usaha penyair Chairil Anwar pada pertengahan tahun 1946, bertemulah beberapa orang pendiri Gelanggang, yakni Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, M. Balfas, Baharudin, dan Henk Ngantung. Dari hasil pembicaraan mereka, dikandung maksud untuk segera merealisasikan gagasan mendirikan perkumpulan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka. Tentang dasar dan tujuan dinyatakan: Sadar, bahwa kebudayaan nasional Indonesia masih harus diperbulat, bahwa kebudayaan ini suatu faktor yang mutlak bagi penjadian manusia Indonesia yang hidup, maka berdirilah perkumpulan ini dengan tujuan (a) Mempertanggungjawabkan penjadian bangsa kita; (b) Mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan ruh kita; (c) Memasukkan cita-cita dan dasar ke dalam segala kegiatan kita. menegeluarkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra adalah A.S Darta, M.S Ashar, dan Herman Arjuno sebagai Sekretaris I, II dan III dengan anggota Heng Ngantung, Nyoto dan Joebaar Ajoeb. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 53 Mengenai tujuan pendirian Lekra, Joebaar Ajoeb dalam laporan kongres pertamanya di Solo menyatakan: “Demikianlah, Lekra didirikan tepat sesudah 5 tahun revolusi Agustus pecah, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.” Joebar Ajoeb. “Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan Lekra Di Dalamnya” dalam Dokumen Kongres I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. hlm 15. Dari kutipan di atas, dapat kita petik satu kesimpulan bahwa hal yang melatar belakangi berdirinya LEKRA agaknya ialah keadaan-keadaan dalam negara saat itu yang kacau dan menurunnya garis revolusi. Harus kita akui bahwa kelahiran Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Naskah lengkap Mukadimah Lekra tahun 1950 lihat lampiran 2. yang dideklarasikan tidak lama setelah dikelarkannya SKG, mempunyai keterkaitan langsung dengan masalah konsepsi kebudayaan dan sastra yang mengemuka dalam SKG. Deklarasi Mukadimah Lekra 1950 mengindikasikan suatu reaksi langsung terhadap SKG. Lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) dan Mukadimah Lekra pada menandai satu fase kemajuan dalam sejarah kebudayaan di Indonesia karena memberikan satu identitas kepada generasi seniman-sastrawan yang dikenal dengan angkatan 45, akan tetapi Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) hanya merupakan satu pernyataan sikap semata dari seniman sastrawan yang tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka. Sedangkan Mukadimah Lekra, tidak semata pernyataan manifesto kebudayaan belaka, tapi juga selangkah lebih maju dengan menjadikan Lekra sebagai Lembaga pekerja seni yang organik. Baik Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) maupun Lekra lahir dari semangat zaman yang sama, zaman romantik. Perbedaanya adalah, Mukadimah Lekra diwujudkan secara kongkrit dalam bentuk organiasasi sebagai action dari apa yang dicita-citakan. Sedangkan SKG menempatkan diri pada tingkat pernyataan dan cenderung longgar dan multi tafsir memberi ruang interpretasi yang luas– yang menyerahkan kepada individu-individu masyarakat untuk menafsirkan dan mempraktekkannya. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 58 – 59. Perbedaan sikap atau pandangan antara Generasi Gelanggang dan Lekra, secara rinci yaitu : Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Jakarta: Balai Pustaka. 2010). hlm 405. Generasi Gelanggang Generasi Lekra Kebebasan individu Kemanusiaan sejagat (humanisme universal) Tanpa ikatan Penerimaan berbagai pengaruh asing dan pengangkatan kebudayaan baru Penolakan terhadap wadah yang menghambat Revolusi belum selesai, nilai baru mengganti nilai lama yang using Tidak mempersoalkan feodalisme Tidak mementingkan aliran(isme) Keharusan mengabdi pada masyarakat Kemanusiaan proletariat Terikat pada kepentingan golongan/partai Penolakan pengaruh asing dan penerimaan kesenian rakyat Keharusan memasuki satu wadah Revolusi belum selesai, manusia baru untuk membentuk kebudayaan rakyat Menentang feodalisme Mementingkan aliran (realisme sosialis) Seperti diketahui, sebelum kelahiran Lekra 1950, Indonesia sejak merdeka pada 1945 mengalami banyak persoalan, salah satu masalah yang dianggap pokok oleh Lekra adalah kegagalan Indonesia mencapai kemerdekaan sepenuhnya, secara politik, ekonomi juga kebudayaan karena perjuangan Rakyat dalam menyelesaikan Revolusi diganti dengan perjuangan diplomasi. Untuk mencegah kemerosotan Revolusi lebih lanjut, Lekra menganggap bahwa seniman-sastrawan pun harus turut bersama memikul tugas dan mengawal jalannya Revolusi. Karena gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti djuga gagalnya perjuangan pekerja kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat. Lekra menilai dalam kurun waktu tiga abad lebih mengkolonialisasi Indonesia, tentunya Belanda –juga negara-negara Eropa lain yang pernah menjajah Indonesia– tidak saja meninggalkan kesengsaraan fisik Rakyat dan kerusakan ekologi alam Indonesia, tapi juga sekaligus meninggalkan satu tata nilai-norma kolonial yang bercampur dengan nilai feodalisme yang membentuk mental pada masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang terjajah, masyarakat yang “tertidur” kesadarannya justru ketika masyarakat tersebut berada pada masa-masa kemerdekaannya. Deklarasi dan Mukadimah Lekra adalah “kentongan” yang membangunkan Rakyat Indonesia yang sejenak tertidur lelah-terlena karena kemerdekaan. Mukadimah Lekra berusaha membongkar bangunan penindasan yang fondasinya adalah kebudayaan. Konsep-konsep kebudayaan Rakyat yang termaktub dalam Mukadimah Lekra merupakan siasat “...mempertahankan dan memperkuat benteng kebudajaan Rakjat (kultur Rakjat)”. Konsepsi Kebudayaan Rakyat Lekra yang menjadi landasan gerak organisasi serta menjadi uraian penting dari Mukadimah Lekra 1950. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) Tahun 1959-1965 Naskah lengkap Mukadimah Lekra Tahun 1950 lihat lampiran 2. Di awal tahun 1959, Lekra berhasil menyelenggarakan Kongres Nasional-nya yang pertama. Salah satu hasil terpentingnya adalah revisi terhadap Mukadimah Lekra versi tahun 1950. Revisi ini menunjukkan perkembangan gagasan yang tumbuh di dalam Lekra, berkaitan dengan perubahan kondisi sosial politik jamannya. Mukadimah revisi ini sebenarnya sudah disusun pada Konferensi Nasional Pertama Lekra Juli 1955, namun baru disahkan dalam Kongres Nasional pertamanya tahun 1959 di Solo. Mukadimah 1950 dianggap tidak lagi cocok lagi dengan kondisi sosial politik jamannya. Dia tidak bisa lagi menjawab permasalahan-permasalah baru yang muncul seturut dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Selain itu, Mukadimah 1950 yang hanya menjelaskan mengapa Lekra didirikan, dianggap tidak mencukupi lagi karena Lekra sudah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu merumuskan kembali pokok-pokok utama tujuan gerak langkahnya. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 69. Sekretaris Umum Lekra baru, yang dipilih dalam Koferensi Nasional 1955, Joebaar Ajoeb menyatakan dalam laporan umumnya bahwa faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan kebudayaan rakyat seperti: Tiadanya kesadaran, bahwa perjuangan rakyat terutama perjuangan buruh tani tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan kebudayaan. Sentimen terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai akibat menyamaratakan kultur rakyat dengan kultur borjuis. Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan tani untuk memperhatikan masalah kultur. Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja kebudayaan rakyat untuk menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan borjuis, meskipun kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang berlimpah-limpah. Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama gerakan buruh tani dalam usaha menarik golonganinteligensia dan pelajar pemuda yang berpikiran maju ke dalam barisannya. Joebaar Ajoeb. “Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra”, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra. (Jakarta : Bagian Penerbitan Lekra. 1959). hlm 44 – 45. Lekra telah berhasil membawa perjuangan kebudayaan pada setiap sektor gerakan rakyat, sudah berhasil membangun wacana dan mengembangkan kebudayaan rakyat dan berhasil menarik kalangan intelektual untuk bergabung ke dalam gerakan kebudayaan rakyat. Berangkat dari kenyataan itu Lekra melihat bahwa perjuang kebudayaan harus berpindah dari garda depan penghancur faktor-faktor penghalang dan mempersiapkan kondisi yang mendukung pertumbuhan kebudayaan rakyat, dalam rangka besar memperbaiki kegagalan revolusi Agustus 1945. Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari kepemimpinan revolusi nasional, karena Lekra melihat bahwa revolusi nasional haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 70.. Dengan demikian perjuangan rakyat pun menjadi berubah: …dari hanya yang bersifat materiil dan hanya memakai alat-alat yang materiil atau fisik, ia berubah menjadi juga bersifat kulturil dan juga memakai alat-alat kulturil. (Ajoeb 1959b, 25) Perubahan cara pandang dan titik berangkat ini pun segera tercermin dalam perubahan konsep tentang “rakyat”. Kalau sebelumnya rakyat didefinisikan sebagai buruh dan tani dalam konteks perjuangan kelas, dalam Mukadimah 1959 konsep rakyat diperluas menjadi “semua golongan dalam masyarakat yang menentang penjajahan.” Tuntutan kondisi-kondisi tertentu, beserta langkah-langkah yang harus diambil bagi perkembangan kebudayaan rakyat sebagaimana dinyatakan pada Mukadimah 1950, sudah dianggap selesai pada Mukadimah 1959. Kondisi itu dianggap sudah ada, sehingga langkah selanjutnya yang harus diambil adalah mengambil kepemimpinan pembangunan kebudayaan nasional. Dalam rangka ini, maka pokok-pokok pembangunan kebudayaan nasional pun dipertegas. Watak kerakyatan tentu saja masih terus dibawa, dengan definisi “rakyat” yang diperluas seperti telah disinggung di atas. Rakyat ditempatkan sebagai pusat dan tujuan utama revolusi Agustus yang akan diteruskan: “Revolusi Agustus membuktikan, bahwa pahlawan dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya dalam seluruh sejarah bangsa ini, tidak lain adalah rakyat”.. Kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi kemudian ditetapkan sebagai syarat bagi perkembangan bebas kebudayaan rakyat. Tiga prasyarat tersebut, dengan penekanan pada demokrasi, diyakini sebagai hal yang universal. Karena itu Lekra juga “membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan perdamian bangsa-bangsa” Dengan demikian Lekra memasukkan perspektif internasionalisme dalam kesadaran kerakyatan yang dibangunnya. Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 71. Lekra menyatakan diri terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan jaman. Malah memasukkan tambahan: “memberikan bantuan aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju”. Warisan tradisi yang menjadi latar belakang historis kebudayaan Indonesia, diperlakukan sama dengan hasil-hasil ciptaaan klasik dunia: “dipelajari dengan seksama… dan dengan ini meneruskan secara kreatif tradisi agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah”. Ditambahkan pula secara khusus bahwa keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus menjadi bahan yang tidak ada habis-habisnya dalam penciptaan-penciptaan baru. Kemungkinan-kemungkinan inilah yang selama ini dan terus akan digarap oleh Lekra. Dari bagian mukadimah inilah Joebaar Ajoeb, dalam kongres nasional pertama Lekra mengusulkan asas “Meluas dan Meninggi”: Dengan usaha yang meluas ini sebagai landasan, Lekra mendorong serta menyelenggarakan kegiatan yang meninggi. Kegiatan meluas sebagai landasan kegiatan yang meninggi, dan kegiatan meninggi sebagai pengangkat kegiatan yang meluas. (Ajoeb 1959b, 17) Kegiatan meluas yang dimaksud adalah rekruitmen pekerja- pekerja kebudayaan baru, mendidik dan mengembangkan bakat-bakatnya. Bersamaan dengan itu Lekra juga mengajak intelektual dan seniman yang sudah terkemuka Tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer, baru belakangan bergabung dengan Lekra. untuk terus senantiasa mempertinggi mutu artistik, keilmuan dan idelogisnya. Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan bekerja menyediakan seluruh kemungkinan, fasilitas-fasilitas, dan situasi yang kondusif untuk itu. Dengan demikian kerja penyebaran gagasan-gagasan yang diperjuangkan Lekra, yaitu kebudayaan berorientasi rakyat, nasional dan ilmiah, bisa berbarengan dengan eksplorasi dan pemahaman lebih dalam atas gagasan-gagasan tersebut. Nyoto, salah satu Pimpinan Pusat Lekra, dalam pidato sambutannya atas laporan umum Sekretaris Umum Joebaar Ajoeb, menambahkan lebih jauh bahwa perjuangan kebudayaan juga harus mampu langsung menyentuh massa rakyat pekerja. Karena itu para pekerja budaya harus terjun langsung pada massa rakyat, masuk ke perkampungan- perkampungan buruh, ke desa-desa kaum tani untuk hidup dan bekerja bersama mereka sambil menyebarkan gagasan-gagasan kebudayaan rakyat. Nyoto “Revolusi adalah Api Kembang”. Sambutan atas Laporan Umum dan Pandangan Para Utusan, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra. (Jakarta : Bagian Penerbitan Lekra). hlm. 61. Ide ini kemudian dikenal sebagai prinsip kerja “Turun ke Bawah”. Selanjutnya Nyoto mengangkat permasalahan hubungan antara perjuangan politik dan perjuangan kebudayaan. Nyoto menolak pemikiran yang menganggap bahwa kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa seniman tidak boleh berpolitik karena akan menurunkan mutu artistik karya- karyanya. Baginya politik dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, dan belum dibuktikan bahwa seniman yang berpolitik akan merosot mutu “kesenimannya. Lebih tegas lagi Nyoto: Politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak… Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan sajapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima. (Njoto 1959, 56- 57) Azas “Politik Sebagai Panglima” yang muncul pertama kali dalam kongres, kemudian dibicarakan secara khusus dalam Konfernas Lekra Agustus 1960. Politik yang dimaksud adalah politik yang maju, kerakyatan dan revolusioner, untuk membedakan dengan politik yang kolot, anti kerakyatan dan reaksioner. Joebaar Ajoeb. “Manifesto Politik dan Kebudayaan : Laporan Umum”. dalam Pleno Agustus Pimpinan Pusat Lekra 1960. Laporan Kebudayaan Rakyat II. (Jakarta: Bagian Penerbitan Lekra. 1960). hlm 22 – 24. Lebih jauh lagi prinsip ini menuntut komitmen politik para anggota Lekra dalam setiap aktivitasnya secara kongkrit. Inilah pokok utama yang dibawakan secara simultan oleh Joebaar Ajoeb sebagai Sekretaris Umum dan Nyoto sebagai salah satu Pimpinan Pusat Lekra dalam Kongres Nasional Lekra Pertama. Mereka berdua menyatakan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia tergantung pada keterlibatan Lekra dalam setiap pengambilan keputusan politik di tingkat nasional. (Foulcher 1986, 107) Bahkan sebelum disahkan secara resmi organisasional pada Konfernas yang dilakukan pada tiga tahun sesudah Kongres, prinsip- prinsip tersebut (Meluas dan Meninggi, Turun ke Bawah dan terutama Politik sebagai Panglima) telah mewarnai setiap kegiatan Lekra. Kampanye politik nasional di bawah demokrasi terpimpin yang dikampanyekan oleh pemerintah, selalu menjadi tema utama dan mendapat tempat langsung di setiap aktivis kebudayaan Lekra. Akhirnya, pada Konfernas Lekra 1962, ditetapkan perumusan pedoman gerak Lekra, yang terkenal dengan nama prinsip 1-5-1: Dengan Berlandaskan azas politik sebagai panglima, menjalankan 5 kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu arstistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner, memadukan kreativitet individuil dan kearifan massa, dan memadukan Realisme Sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke bawah. “Kesimpulan atas Laporan Umum”, dalam Keputusan-Keputusan Konprensi Nasional I, Bali 1962, hlm 165. Lima kombinasi di atas kemudian dikenal sebagai “azas dua tinggi”, dan merupakan pengembangan dari prinsip meluas dan meninggi. Ketika Joebar Ajoeb melansir asas dua tinggi ini, tidak diberikan penjelasan secara khusus. Sebagai bagian dari laporan umumnya, setelah menyebutkan beberapa karya seniman Lekra di bidang seni lukis, film, sastera dan puisi, dia memberikan penilaian dan menyimpulkan bahwa karya- karya itu telah menempuh jalan: “mengkombinasikan isi yang baik dengan bentuk yang indah, mengkombinasikan mutu ideologis yang tinggi dengan mutu artistik yang tinggi, mengkombinasikan tradisi yang baik dengan kesenian yang revolusioner dan mengkombinasikan realisme revolusioner dengan romantik revolusioner.” Yang menarik diperhatikan adalah masuknya dua istilah “Realisme Sosialis dan romantisme revolusioner”. Padahal dalam pembicaraan dan diskusi yang terjadi sejak kongres pertama tahun 1959, disusul Pleno PP Lekra tahun 1960 sampai Konfernas I tahun 1962, dua istilah itu tidak menjadi topik pembahasan. Nyoto memang pernah menyinggung nama Chou Yang dalam pidato sambutannya di Kongres I Lekra tahun 1959, namun tidak dalam konteks pembahasan dua istilah tersebut. Nama Chou Yang di sini menjadi penting, karena Keith Foulcher menengarai bahwa rumusan 1-5-1 ini merupakan pengaruh dari Cina. Menurutnya, kombinasi antara Realisme Sosialis dan romantisme revolusioner pertama kali dikemukakan oleh Mao Tse Tung, kemudian ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh Chou Yang dalam Red Flag, edisi Juni 1958. Sedangkan saat Nyoto menyinggung nama Chou Yang, ia tidak menyebut tentang dua istilah itu. Artinya, Realisme Sosialis tidak pernah dibahas, apalagi diterima dan disahkan, sebagai ideologi resmi Lekra. Namun demikian, Realisme Sosialis Realisme Sosialis sebagai suatu aliran dalam kesusastraan bersumber dari ajaran Karl Marx dan Frederich Engels yang mengatakan,”Sejarah eksistensi masyarakat sejak mula hingga kini adalah sejarah pertentangan kelas” kemudian ditempelkan begitu saja sebagai ideologi Lekra. Penempelan ini tidak melihat lebih detil bagaimana sebenarnya perkembangan konsep ini dalam tubuh Lekra. Seperti dalam buku Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: 1972, disebutkan bahwa Realisme yang diadobsi Lekra adalah Realisme Sosialis seperti yang digariskan Stalin 1930-1940. Selain Realisme Sosialis, azas “politik sebagai panglima” juga menjadi kehebohan tersendiri. Penerimaan Lekra akan azas ini dijadikan senjata utama serangan balik para penyerang Lekra kemudian, setelah lembaga kebudayaan terbesar dalam sejarah Indonesia ini dihancurkan dalam segala arti yang bisa dipikirkan manusia. Pada gilirannya, pertanggungjawaban mengapa pilihan itu yang diambil, tidak mendapatkan tempat, selain sebagai argumentasi pelengkap dari kesalahan yang sudah dtetapkan sebelumnya. Artinya, serangan terhadap azas “politik sebagai panglima” didasarkan pada pemahaman mereka yang tidak menyetujuinya, dan terutama dipisahkan dari konteks historis lahirnya pilihan untuk menerima azas “politik sebagai panglima”. Seluruh kekacauan yang terjadi sebelum 1965, secara simplistis dianggap sebagai akibat tersedotnya seluruh aspek kehidupan dalam politik (kekuasaan). Misalnya pembangunan yang tidak jalan serta merta disederhanakan sebagai kesalahan politik yang membuat kabinet jatuh bangun dan tidak sempat melaksanakan program-programnya. Kita tidak akan masuk pada topik ini, namun ilustrasi di atas mau menunjukkan bagaimana orang begitu antipati pada politik setelah kejatuhan Orde Lama. Dan keputusan menjadikan “politik sebagai panglima” dalam azas gerak resmi Lekra menjadi sasaran empuk penyerang-penyerangnya. Azas ini dianggap menundukkan kesenian dan kebudayan pada umumnya di bawah kendali politik, mengotori supremasi seni dengan membawanya pada urusan tikung menelikung dalam dunia politik. Joebaar Ajoeb dalam refleksinya yang dibuat lebih dari 25 tahun sesudah peristiwa G/30/ S/1965 mencoba menjelaskan konteks permasalah mengapa Lekra sampai memilih “Politik sebagai Panglima”.. Pertama-tama Joebaar Ajoeb mengklarifikasi bawa azas politik sebagai panglima bukanlah instruksi atau keharusan dalam sebuah kreatif penciptaan, tradisi yang menurutnya tidak pernah dikembangkan dalam Lekra. Kebebasan individu, walau dalam semangat dan gerak kolektif tetap mendapat tempat yang sangat layak dalam Lekra. Seperti ditegaskan dalam Mukadimah Lekra: “terdapat kebebasan dalam perkembangan kepribadian berjuta-juta rakyat”. Politik sebagai panglima disahkan dalam konferensi dan diterima sebagai azas kerja kreatif, bersama tuntutan lainnya yang tergabung dalam rumusan 1-5-1. Tidak pernah dibuatkan petunjuk resmi dan rinci mengenai hal ini. Para anggota bebas menginterpretasikan, memakai atau tidak memakainya dalam kerja dan karya. Latar belakang dari semboyan ini adalah agar para anggota Lekra memiliki pengetahuan politik yang memadai. Lalu mengapa perlu sampai dijadikan semboyan resmi? Karena pada saat itu, di tengah tarik-menarik kekuatan politik yang semakin memanas, ada semacam propaganda untuk menjauhkan seniman dari gelanggang politik, dalam arti yang seluasnya dengan slogan “Politik itu kotor dan seniman itu suci.” Dan Lekra menentang propaganda ini. Dalam suasana seperti itulah, pada tanggal 17 Agustus 1963, 16 orang penulis, tiga Pelukis dan seorang komponis menandatangani dan mengumumkan sebuah Manifesto Kebudayaan, lewat harian Berita Republik 19 Oktober 1963 dan majalah bulanan Sastra edisi September, halaman 27- 29. Manifes Kebudayaan Lahirnya Manifes Kebudayaan Manifes Kebudayaan pada hakikatnya telah dimulai sejak karyawan-karyawan kebudayaan nasional melangkahkan kaki untuk melaksanakan pendirian dan cita-cita kebudayaan nasionalnya. Tumbuhnya kesadaran akibat faktor-faktor obyektif selama sejarah nasional Indonesia berangsur-angsur membuat karyawan-karyawan kebudayaan bertindak "mengalahkan alam dan zaman", yakni bertindak secara kreatif. Setelah kebudayaan nasional terhindar dari dua campur tangan yang dilakukan secara kekerasan oleh pihak Belanda dalam Agresi I dan Agresi II, suatu bahaya lain secara perlahan-lahan mengembangkan dirinya dan sekaligus, mengancam kehidupan kebudayaan itu, yakni bahaya perpecahan nasional yang berasal dari maraknya suasana komunis sebagai salah satu sebab pokoknya. Sebagai konsekuensi dari sistem komunis yang pada saat itu berlaku, partai-partai politik mengembangkan diri sesuai dengan kodratnya, yakni perkembangan ke arah suatu kekuasaan yang sebesar-besarnya. Perkembangan partai-partai politik secara sedemikian itu berakibat berpusatnya sebagian besar kegiatan Revolusi dalam kancah para politisi, yang sesuai dengan kodratnya di saat itu melakukan suatu freefight competition, persaingan bebas yang berlangsung dengan sengitnya, terutama saat-saat menjelang Pemilihan Umum sesudahnya. Dalam masa itulah dominasi politik akibat-akibat perpecahannya menyusup pula ke sektor-sektor lain dari kebudayaan kita, seperti kesenian, pendidikan dan pengajaran, serta ilmu pengetahuan. Para karwayan kebudayaan tersebut menganggap bahwa pada masa masuknya politik dalam kebudayaan mengakibatkan tidak mudah untuk menulis karena seluruh bahasa telah diikat dengan slogan – slogan politik. Para penulis diharuskan mencantumkan kata – kata seperti rakyat, buruh, tani, manipol, dan revolusioner untuk menunjukkan bahwa mereka loyal pada perjuangan bangsa. Sehingga para penulis harus memiliki ketegasan politik dalam karya – karyanya dan tidak boleh seenaknya mengikuti imajinasi tanpa pijakan realitas yang kongkrit. Taufik Ismail & D. S. Moeljanto. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra (Bandung : Mizan. 1995). hlm 253. Hal yang esensial dalam Manifes Kebudayaan adalah “humanisme universal” dengan adanya ide yang mempunyai dinamika, dalam arti kata lain, dengan kebebasan tanpa digariskan oleh ideology tertentu, budayawan wajib menentukan arah kreativitasnya sesuai dengan keyakinannya. Harry Waluyo. “Alam Pikiran Budayawan Lekra dan Manifestan dalam Mencari Sosok Budaya Bangsa Indonesia 1950-1965”. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Indonsia. 1998. hlm 136. Namun, humanisme universal yang diterima Manifes Kebudayaan mempunyai syarat. Manifestan menerima humanisme universal apabila humanisme universal tersebut diartikan sebagai sebuah perjuangan dari budi nurani universal untuk memerdekakan setiap manusia dari belenggu yang mengukungnya. Hal ini disebabkan manifestan menyadari bahwa setiap manusia pasti menginginkan kebebasan. Kebebasan inilah yang sebenarnya ingin disuarakan manifestan, khususnya kebebasan dalam berkarya. Manifestan kembali tidak menyetujui humanisme universal jika humanisme universal tersebut membuat orang bersikap indifferent atau tidak membedakan semua paham atau aliran yang ada. Sikap yang tidak membedakan tersebut akan membuat manusia toleran terhadap kolonalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, manifestan tetap dengan tegas memisahkan diri dengan musuh-musuh kebudayaan. Namun, hal ini lantas tidak membuat mereka menjadi sektaris dan chauvinis atau membenci orang-orang yang dianggap musuh. Mereka menganggap bahwa musuh mereka bukanlah manusia. Musuh mereka adalah unsur-unsur yang membelenggunya. Unsur-unsur yang membelenggunya ini sebenarnya adalah paham atau ideologi yang dianutnya. Sikap ini membuktikan sifat humanis para manifestan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, manifestan juga mengungkapkan bahwa sejahat-jahat manusia, tetapi tetap memancarkan nilai Illahi atau nilai kebaikan. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia” . Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. Hlm 39. Ideologi humanisme universal Manifes Kebudayaan telah menunjukkan dengan sendirinya bahwa Manifes Kebudayaan berwatak kontrarevolusi. Paham humanism universal yang ingin memerdekakan setiap manusia tersebut dianggapnya membela kaum imperialis karena bersifat kompromis terhadap lawan. Jika dilihat di dalam naskah Manifes Kebudayaan, kita dapat melihat bahwa paham humanisme universal yang dianut Manifes Kebudayaan tidaklah berseberangan dengan revolusi. Paham humanisme universal menginginkan nilai-nilai kemanusian yang tinggi. Tentunya humanisme universal ini menolak imperialisme dengan tegas karena imperialisme mebiarkan oarng asing menginjak hak-hak bangsa lain. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. hlm 56 – 57. Menurut seniman Manifes Kebudayaan, masuknya para seniman pada salah satu kekuatan politik yang ada pada saat itu cenderung mencari aman daripada sebuah kesesuaian ideologis. Seniman Manifes Kebudayaan dengan berani menyatakan tidak setuju dengan paham yang dianut oleh para seniman dan sastrawan angkatan 45 dan tahun-tahun 50-an. Para pengarang dan seniman tahun 50-an yang mereka maksud sebagai pengarang Lekra. Hal ini disebabkan para pengarang dan seniman Lekra menyatakan menganut aliran realisme sosialis yang mencampurkan kebudayaan dengan politik. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. hlm 32. Penciptaan karya seni untuk alat propaganda politik akan mempersempit kebebasan kreatif yang sekaligus pula menurunkan kualitas karya seni. Harry Waluyo “Alam Pikiran Budayawan Lekra dan Manifestan dalam Mencari Sosok Budaya Bangsa Indonesia 1950-1965”. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Indonsia. 1998. hlm. 135 Karena inilah Manifes Kebudayaan mendapat dukungan yang luas setelah diumumkan dari para seniman yang “telah lama mencari suatu basis konseptual yang memuaskan untuk peran mereka di tengah mobilisasi politik yang intensif di masa awal 1960-an. Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 36. Diumumkannya sebuah dekrit pada 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno merupakan isyarat untuk dihentikannya suasana komunis itu, dihentikannya permainan kaum politisi, sehingga politik dikembalikan salah satu bagian yang integral dari Revolusi, dari kebudayaan. Kreativitas kaum karyawan kebudayaan nasional mendapat kesempatan untuk tumbuh sepesat-pesatnya, karena kreativitas tersebut tidak lagi akan dihalangi oleh dominasi salah satu partai politik—suatu keadaan yang bertentangan dengan kodrat kreativitas itu sendiri. Demikianlah, didesak oleh kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan oleh konsepsi-konsepsi kebudayaan yang ada, pada awal bulan Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta telah diadakan pertemuan-pertemuan di antara pengarang-pengarang dan seniman-seniman lain, yang sebelumnya telah didahului oleh tulisan-tulisan, ceramah-ceramah dan perhubungan antarseniman-cendekiawan di berbagai daerah. Hasil pertemuan itu kemudian berbuah sebagai suatu manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional dari kaum karyawan kebudayaan Indonesia, yang dilahirkan di Jakarta pada 17 Agustus 1963. Manifes tersebut, yang bernama "Manifes Kebudayaan" memang dimaksudkan sebagai landasan ideal suatu organisasi sebagai alat perjuangan yang revolusioner, tetapi dari dirinya sendiri Manifes tersebut tidak menuntut apa-apa selain persatuan yang lebih jelas antara kaum karyawan kebudayaan dalam mengamankan kebudayaan nasional kita dewasa ini, dan juga kelak kemudian hari. Taufik Ismail & D. S. Moeljanto. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra (Bandung : Mizan. 1995). hlm 259. Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada 17 Agustus 1963. Setelah dipelajari, akhirnya dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut, sebagai bahan yang diajukan ke diskusi pada 23 Agustus 1963 dijalan Raden Saleh 19 Jakarta. Dalam rapat ini hadir tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu: (1) Trisno Sumardjo, (2) Zaini, (3) H.B. Jassin, (4) Wiratmo Soekito, (5) Bokor Hutasuhut, (6) Goenawan Mohamad, (7) Bur Rasuanto, (8) A. Bastari Asnin (datang dari Yogya), (9) Ras Siregar, (10) Djufri Tanissan, (11) Soe Hok Djin (Arief Budiman), (12) Sjahwil (dari Sanggar Bambu), dan (13) D.S. Moeljanto. Rapat tersebut memutuskan, bahwa Manifes Kebudayaan dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu : Taufik Ismail & D. S. Moeljanto. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra (Bandung : Mizan. 1995). hlm 231. Pancasila sebagai Falsafah Kebudayaan Bagian pertama menerangkan bagaimana kebudayaan yang berfalsafahkan Pancasila. Yaitu kebudayaan yang tidak hanya cukup “berwatak nasional” tapi juga harus tampil sebagai kepribadian nasional di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Gagasan bahwa kebudayaan mempunyai nilai-nilai universal sedikit mulai disinggung di sini, sambil mengingatkan bahwa bahaya terbesar yang mengancam kebudayaan justru datang dari wilayah sendiri, yang didefinisikan sebagai kecederungan fetisy yang non kreatif, adalah pendewaaan yang berlebihan terhadap arus kebudayaan/kesenian tertentu. Kesenian revolusioner, yang menjadi wacana utama pada masa itu, mempunyai bahaya untuk masuk dalam fetisy tersebut. Untuk menghindarinya, maka ruang kreatifitas harus dibuka selebar mungkin dengan pencarian bersumber pada diri sendiri. Kritik halus terhadap Lekra yang nasionalis dan revolusioner tersirat di sini. Juga penegasan yang sama halusnya dari apa yang sudah pernah dinyatakan dalam SKG tentang kreativitas dan integritas individu pencipta budaya/seni. Kepribadian dan Kebudayaan Nasional Bagian kedua secara terang mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan Humanisme Universal, sekaligus menyatakan bahwa mereka menganut paham ini. Humanisme universal yang mereka anut adalah yang “bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-nilai universal, bukanlah semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.” Dari bagian inilah orang lalu menarik hubungan kelompok Manikebu ini sebagai penerus kelompok SKG. Politisi dan Estetisi. Bagian terakhir adalah penjelasan tentang Realisme Sosialis, diletakkan dalam konteks “politisi dan estetisi”. Dalam rumusan ini mereka membedakan antara Realisme Sosialis lanjutan pemikiran J. Stalin dan Realisme Sosialis yang berangkat dari pemikiran Maxim Gorki. Mereka beranggapan bahwa Stalin sudah tumbuh menjadi fetish, sehingga semua yang keluar darinya dimengerti sebagai dogma dalam kehidupan seni dan sastra. Sedangkan Mereka menolak Realisme Sosialis ini, karena ia memberi dasar pada “paham politik di atas estetik…(yang) dilihat dari sudut kebudayaan dan kesenian adalah utopia. Sedangkan Realisme Sosialis Gorki bagi mereka sejalan dengan garis mereka anut: “menempuh politik sastra universil”. Perumusan, pendefinisian yang mereka berikan di sini pada saat yang sama berarti pembakuan. Ini berarti keluar dari tradisi perjalanan konsep Realisme Sosialis, yang tidak pernah berhenti berkembang. Di bagian terakhir ini pula ketidaksetujuan mereka pada asas “politik sebagai panglima” diungkap. Walau mereka juga setuju bahwa kehidupan kesenian tidak dapat lepas dari politik, karena “Humanisme Universal janganlah menyebabkan orang indifferent (acuh tak acuh) terhadap semua aliran (politik)”, tapi menjadikannya sebagai panglima menurut mereka mempunyai bahaya besar. Karena kalaupun “dilaksanakan dengan jujur hanya akan menghasilkan perasaan-perasaan kekecewaan, dan jikalau dilaksanakan dengan tidak jujur akan dapat merupakan tipu muslihat kaum politisi yang ambisius”. Manifes Kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan lewat surat kabar Berita Republik dalam ruang "Forum" Sastra dan Budaya No. 1, Th. I, 19 Oktober 1963 dan dalam majalah Sastra No. 9/10, Th. III, 1963, pimpinan H.B. Jassin, yang memuat lengkap Mukadimah, Penjelasan dan Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan, kemudian dikutip dan disiarkan oleh seluruh media pers, radio, organisasi-organisasi kebudayaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Para pendukung Manifes Kebudayaan menyebut dirinya sebagai “manifestan”. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. hlm 29. Perdebatan Mengenai Manifes Kebudayaan Sejak pertama kali diumumkan Manifes Kebudayaan ini mengundang reaksi yang luar biasa, baik yang setuju maupun yang menentangnya. Sampai pada akhirnya, 8 Mei 1964 Presiden Soekarno menyatakan Manifesto Kebudayaan terlarang. Keberadaannya sebagai sebuah bentuk manifesto-lah yang membuatnya dilarang, karena dianggap menyaingi “Manifesto Politik” yang sudah ada. Dengan argumen ini ditegaskan bahwa Manikebu adalah sebuah “manifesto politik” lain, yang menyaingi manifesto politik resmi pemerintah yang sudah ada. Manifes Kebudayaan sangat singkat dan bersifat seruan umum. Menimbang kondisi sosial politik Indonesia pada saat diumumkan, maka nada manifesto ini penuh dengan pernyataan-pernyataan yang longgar, netral, halus dan tidak berapi-api. Gagasan yang diajukan bersifat sangat umum, seperti: “Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan menyempurnakan kondisi hidup manusia” atau pernyataan: “… kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya…”. Sikap yang netral dan tidak berapi-api ini, pada saat yang sama bisa dilihat sebagai sebuah ketidaktegasan sikap. Dengan pengaruh atmosfir politik tertentu sikap seperti ini bisa diartikan sebagai sebuah pengkhianatan. Yang terakhir inilah posisi yang diambil oleh para penyerang Manikebu. Apalagi dalam penjelasan panjang yang menyertai Manifes ini menyediakan banyak pintu masuk serangan, karena rumusan-rumusan gagasan yang disampaikan terlalu longgar. Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 81 – 82. Pembahasan lebih jauh tentang isi teks Manikebu dan perdebatan atasnya, ini tidak mendapatkan tempat selayaknya. Tempat ini justru diisi berbagai intrik di seputar (konteks) Manikebu sendiri. Usaha penjelasan tentang gagasan yang dibawa dalam manifesto oleh para penandatangannya pun tidak maksimal. Pertama, karena media yang tersedia hampir tidak memberi tempat pada mereka, karena media pada masa itu justru didominasi mereka yang tidak setuju dengan manikebu. Pada masa ini, hampir semua media massa utama mempunyai afiliasi, atau paling tidak kedekatan dengan kelompok politik tertentu. Sikap independen non partisan yang dipilih kelompok manikebu, dengan sendirinya menutup ruang publik mereka sendiri di media massa. Kedua, karena sejak pertama kali diumumkan manifesto kebudayaan ini sudah diterima sebagai manifesto politik di wilayah kebudayaan, serangan, dan juga dukungan terhadapnya dilakukan secara politis, dan tidak menyentuh esensi gagasan yang coba dibawanya. Namun, Manifes Kebudayaan berani menyatakan sikap untuk menolak paham humanisme universal yang dianut angkatan 45 dan realisme sosial dari Lekra, manifestan juga menyatakan bahwa mereka bukanlah pelarian politik yang berlindung atas nama kebudayaan. Hal ini tercetus mungkin karena terkait dengan kondisi masa itu. Pada masa itu, begitu banyak organisasi kebudayaan yang lahir yang diciptakan oleh partai-partai politik, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN/PNI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra/PKI), Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi/NU), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI/Masyumi), Lembaga Kebudayaan Indonesia Katholik (LKIK/Partai Katholik), Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia (Lakmi/PSII), dan Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi/Perti). Manifestan ingin menyatakan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang seperti itu. Mereka merupakan sekelompok budayawan yang ingin menyatakan dengan tegas pendiriannya tentang masalah kebudayaan masa itu. Mereka menyatakan bahwa mereka menolak adanya subordinasi pada bidang kebudayaan. Hal ini terkait dengan adanya semboyan “politik adalah panglima” yang dijalankan dan disebarluaskan Lekra pada masa itu. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. hlm 32. Manifestan mengungkapkan bahwa pernyataan kebudayaan yang kemudian dinamakan Manifes Kebudayaan tersebut juga bermaksud untuk membuktikan bahwa Pancasila menolak semboyan “The End Justifies the Means”. “The End Jutifies the Means” merupakan semboyan Lekra. Menurut mereka, semboyan tersebut akan menciptakan karya-karya di bidang kebudayaan yang bersifat propaganda semata. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. hlm 34. Pihak yang mendukung Manifes Kebudayaan Mereka yang setuju melihat manikebu sebagai usaha memberikan wacana lain di tengah dominasi Lekra dengan wacana kebudayaan kerakyatannya, mencoba mencari ruang yang lebih longgar untuk ekspresi seni yang lebih mandiri. Di tengah mendengungnya semboyan politik sebagai panglima, manikebu mencoba menyuarakan kebebasan kreatif, kejujuran dalam mencipta dan terutama adalah pencarian akan basis konseptual (dalam berkarya) di tengah mobilisasi politik yang intensif di masa awal 1960-an. Manifes Kebudayaan pada saat itu sepertinya membawa sebuah angin segar bagi kebebasan berkarya dan mencipta. Pernyataan sikap itu rupanya disambut dengan baik oleh beberapa organisasi kebudayaan dan seniman Indonesia yang memang mengharapkan kebebasan dalam berkreasi setelah sekian lama PKI dengan organisasi kebudayaannya, yaitu Lekra, mencoba menekan para seniman dan sastrawan untuk mengikuti garis kebudayaannya. Hal ini terbukti dari cukup banyaknya organisasi dan perseorangan yang mendukung Manifes Kebudayaan. Bahkan Berita Republik mencatat bahwa pada bulan Februari 1964, yaitu setelah empat bulan Manifes Kebudayaan diumumkan, Manifes Kebudayaan telah mempunyai 35 organisasi dan 5000 perseorangan yang mendukungnya. Ada berbagai alasan yang menyebabkan mereka mendukung Manifes Kebudayaan. Dalam Genta Revolusi tanggal 27 April 1964, tujuh organisasi mahasiswa menyatakan mendukung Manifes Kebudayaan yang dimuat di artikel yang berjudul “7 Organisasi Mahasiswa Dukung Manifes Kebudajaan”. Ketujuh organisasi tersebut adalah Gerakan Mahasiswa Indonesia Cabang Medan, Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Medan, Perhimpunan Katholik RI Cabang Medan, GAMKI Sumatera Utara, GMK Cabang Medan, Pemuda Katholik Sumatera Utara, dan Pelajar Islam Indonesia. Mereka menyatakan mendukung Manifes Kebudayaan karena isi dari naskah Manifes Kebudayaan dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila dan Manifesto Politik. Mereka dengan berani menyatakan mendukung Manifes Kebudayaan walaupun pada masa itu terdapat pro-kontra mengenai masalah Manifes Kebudayaan dan adanya keputusan dari Front Sumatera Utara tanggal 19 Maret 1964 yang menyatakan menolak setiap manifes di bidang kebudayaan, olahraga dan lain-lain yang bertentangan dengan Manifesto Politik RI. Mereka tetap mendukung Manifes Kebudayaan karena mereka tidak melihat isi dan hakekat Manifes Kebudayaan yang berlawanan dengan Pancasila dan Manifesto Politik RI. Oleh karena itu mereka mengungkapkan bahwa tidak ada alasan untuk menolak Manifes Kebudayaan. Jika dilihat dari naskah Manifes Kebudayaan, memang tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa mereka menentang Manipol. Walaupun memang di dalam naskah tersebut tidak disebutkan secara implisit bahwa Manifes Kebudayaan berdasarkan Manipol, ada beberapa pernyataan yang ternyata didasari dari Manifesto Politik. Salah satunya yaitu pernyataan yang mengungkapkan bahwa rakyat tidak ingin ditindas oleh bangsa lain, tidak ingin dieksplotir oleh golongan apapun. Mereka menginginkan adanya kebebasan. beberapa pernyataan yang ada di dalam naskah Manifes Kebudayaan diambil dari Manifesto Politik. Dalam Manifesto Politik, Soekarno menyebutkan bahwa ia berkeyakinan rakyat di muka bumi adalah sama, yaitu mereka tidak ingin ditindas oleh bangsa lain dan tidak ingin dieksplotir oleh golongan apapun. Selain itu, rakyat juga ingin kebebasan. Adanya persamaan pernyataan antara Manifesto Politik dan Manifes Kebudayaan tersebut memperlihatkan bahwa Manifes Kebudayaan tidak menentang Manifesto Politik. Bahkan Manifes Kebudayaan justru sejalan dengan Manifesto Politik. Oleh karena itu, beberapa organisasi dan individu mendukung Manifes Kebudayaan karena berkeyakinan Manifes Kebudayaan tidak bertentangan dengan Manifesto Politik. Saktiana Dwi Hastuti “Manifes Kebudayaan dalam Kesusastraan Indonesia”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2009. hlm 49 – 51. Dukungan terhadap Manifes Kebudayaan tidak hanya didengungkan oleh organisasi mahasiswa dan organisasi pemuda. Manifes Kebudayaan juga didukung oleh lembaga-lembaga kebudayaan. Dukungan terhadap Manifes Kebudayaan bukanlah suatu aksi simpati belaka, tetapi betul-betul merupakan dukungan nyata. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sebelum menyatakan dukungannya terhadap Manifes Kebudayaan, para pendukungnya membaca dengan saksama dan memikirkannya dengan matang. Salah satu contohnya yaitu beberapa organisasi kebudayaan dan kesenian di Palembang. Sebelum menyatakan dukungannya terhadap Manifes Kebudayan, mereka mengadakan diskusi terlebih dahulu untuk memutuskan hal tersebut. Akhirnya, delapan organisasi kebudayaan dan kesenian serta mahasiswa Palembang seperti Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, Lembaga Seni Sastra Palembang, Lesbumi Palembang, Teater Muslim Palembang, Himpunan Seni Budaya Islam, Ikatan Pencita Seni, Himpunan Bekas Pelajar Quraniah, dan Pelajar Islam Indonesia menyatakan mendukung Manifes Kebudayaan. Pihak yang menolak Manifes Kebudayaan Mereka yang menolak, sejak awalnya memandang pengumuman manifes ini sebagai sebuah move politik di wilayah kebudayaan, sebuah proyeksi dari sebuah pertarungan politik. Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 87. Ada hal lain Lekra terus menyerang Manifes Kebudayaan, yaitu karena para pendukung Manifes Kebudayaan menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang dianggap sebagai suatu konsepsi asing. Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Jakarta: Balai Pustaka. 2010). hlm 504. Apalagi KKPI juga didukung oleh militer, sehingga menjadi sebuah ancaman bagi Lekra. Pada awal tahun 1960-an, tiga kekuatan politik dominan yang saling tarik menarik adalah Soekarno dengan dukungan penuh PNI, kemudian militer dalam hal ini Angkatan Darat, dan PKI sebagai pihak ketiga yang menunjukkan peningkatan luar biasa setelah pemilu 1955. Dengan terbentuknya Front Nasional, lewat Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Soekarno berhasil menyatukan kekuatan-kekuatan partai-partai politik terbesar pemenang pemilu 1955. Tentu saja selain partai Islam modernis Masyumi, yang bersama PSI dinyatakan terlarang sejak tahun 1960 karena terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan konstelasi politik semacam itu, maka tinggalah militer yang sendirian tanpa afiliasi dengan kekuatan politik yang ada pada saat itu, bersama kecenderungan latennya yang anti partai dan pemerintahan sipil. Manifes Kebudayaan juga mendapat dukungan dari militer karena anti Lekra yang kiri, sejalan dengan militer yang berseberangan dengan PKI. Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 88 – 89. Dukungan terselubung militer ini menjadi terbuka ketika kelompok Manikebu mengadakan Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia 1-7 Maret 1964. Konprensi ini diadakan terutama untuk memberi wadah pada para pendukung Manikebu, semacam pelembagaan awal kegiatan mereka. Diharapkan lewat forum ini , mereka bisa merapatkan barisan menghadapi para penyerang, dengan mulai menterjemahkan gagasan menjadi aksi. Dukungan militer dalam konprensi ini mulai dari transportasi untuk para peserta dari luar Jakarta, penyediaan akomodasi dan tempat sampai mengirimkan wakilnya, Brigadir Jendral Soedjono sebagai ketua Presidium konprensi tersebut. Kepala Staf Angkatan Bersenjata A.H. Nasution dalam sambutannya lebih tegas lagi menyatakan ketidak setujuannya pada kelompok ini atas penolakan mereka pada azas “politik sebagai panglima” dan malah menyarankan agar menyusun sebuah : manifes” yang baru. Militer mendukung di belakang layar penyelenggaraan KKPI tersebut, tapi di atas pentas Nasution menentang mereka. Sambutan Nasution ini semakin menunjukkan bagaimana kelompok Manikebu ini benar dijadikan komoditi politik militer. Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 90 – 91. Berbagai artikel yang berisi kecaman keras, lontaran-lontaran yang bernada mengejek, serta berbagai tuduhan lain terhadap Manifes Kebudayaan dipublikasikan Lekra dan kawan-kawannnya di berbagai media massa. Lekra sebagai organisasi kebudayaan terbesar saat itu dan juga mempunyai kekuasan yang cukup besar di bidang kebudayaan begitu giat melakukan aksi “pengganyangan” terhadap Manifes Kebudayaan khususnya setelah Manifes Kebudayaan berhasil mengadakan KKPI. Oleh karena itu, pada masa itu media massa, khususnya media massa yang bergerak di bidang kebudayaan diwarnai oleh artikel-artikel yang berisi kecaman dan penolakan terhadap Manifes Kebudayaan. Setidaknya ada enam tuduhan Lekra terhadap para manifestan yang menyebabkan Manifes Kebudayaan dianggap kontrarevolusioner. Faktor-faktor tersebut yaitu (1) Manifes Kebudayaan menganut humanisme universal, (2) Manifes Kebudayaan ingin menandingi Manifesto Politik, (3) Manifes Kebudayaan menolak politik sebagai panglima, (4) Manifes Kebudayaan menolak semboyan “tujuan menghalalkan cara”, (5) Manifes Kebudayaan anti-Nasakom, dan (6) Manifes Kebudayaan menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi. Pembubaran Manifes Kebudayaan Presiden Soekarno dalam pernyataannya yang dikeluarkan tanggal 18 Mei menyatakan Manikebu terlarang, dengan alasan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidk mungkin di damping dengan Manifesto lain, apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap ragu – ragu terhadap Revolusi dan member kesan berdiri disampingnya, padahal demi suksesnya Revolusi, maka segala usaha juga dalam kebudayaan harus dijalankan di atas rel Revolusi menurut ptunjuk – petunjuk Manipol dan bahan indoktrinasi lainnya. Dengan pernyataan Presiden tentang pelarangan Manikebu pada hakikatnya golongan komunis secara politis mencatat kemenangan. Kekuatan – keakuatan yang menentang komunisme lantas di desak mundur Rosihan Anwar. Sukarno - Tentara – PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006). hlm 306. PERGESERAN BUDAYA KE ARAH ANTI – BARAT Tahun 1953 – 1957 merupakan periode yang penting di dalam sejarah hubungan antara Indonesia dengan Amerika. Peningkatan hubungan ini dikarenakan meningkatnya pula usaha pemerintah Indonesia untuk menghancurkan pemberontakan – pemberontakan daerah yang memperoleh dukungan dari Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat hubungan dengan Negara – Negara di Asia tidak hanya Indonesia seperti Jepang, Filipina, Thailand, Malaysia, Burma, Sri Lanka, India dan Pakistan menunjukkan kian intensifnya upaya Amerika untuk mengendalikan penyebaran komunis di Asia melalui cara – cara budaya. Ini menjadi tugas USIA, sebuah agensi pemerintah Amerika Serikat yang didirikan tahun 1953 pada masa pemerintahan Eisenhower. Program yang dijalankan oleh USIA adalah Perjalanan Graham yang didanai oleh Emergency Fund for International Affairs, atas pemintaan Eisenhower pada 27 Juli 1954, sebagaimana pernyataannya untuk menunjukkan dedikasi Amerika Serikat pada perdamaian dan umat anusia untuk mengimbangi tuduhan – tuduhan propaganda komunis di seluruh dunia bahwa Amerika tidak memiliki kebudayaan. Jennifer Lindsay & Maya H.T Liem. Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia (Jakarta : Pustaka Larasan-KITLV. 2011). hlm 120 – 121. USIA yakin kalau kepentingan mendasar dan sifat abadi dari hubungan – huungan budaya secara aktif menunjukkan kebudayaan rakyat Amerika, bukan kebudayaan kaum elite atau kaum terpelajar kepada dunia untuk menandingi ancaman Soviet. Sepanjang tahun 1950-an, siaran radio Indonesia selama dua jam perhari menyiarkan Voice if America (VOA). USIA juga menerbitkan buku – buku dan pamphlet – pamphlet, mengelola perpustakaan – perpustakaan, membuat dan memutar film – film melakukan program pertukaran budaya dan bekerjasama dengan CIA dalam berbagai propaganda dan program – program peperangan psikologis, tidak hanya itu film – film Hollywood pun juga dipasarkan. Dan statistic USIA memperkirakan bahwa sekitar 10 juta orang Indonesia telah menyaksikan film USIA sepenjang tahun 1950-an. Tidak hanya pemerintah Eisenhower yang mulai melakukan pencegahan komunis di Indonesia, tetapi Dewan Keamanan Nasional sepanjang Januari 1955 merancang strategi propaganda untuk menandingi pengaruh komunis pada Konferensi Asia – Afrika yang digelar di Bandung. Akan tetapi, di tahun 1955, Soekarno pun telah menunjukkan hubungan yang dekat dengan PKI sehingga membuat hubungan Indonesia dengan Amerika memudar, yang mana Soekarno membentuk pemerintahan “demokrasi terpimpin” yang anti-Amerika. Kritikan terhadap budaya Amerika pun kian memanas ketika memasuki tahun 1960-an, meskipun di tahun 1950-an banyak kalangan yang juga mengkhawatirkan pengaruh dari kebudayaan Amerika Serikat, hal ini seperti dugaan sementara. Tidak hanya film – film Amerika saja yang diputar dan mendapatkan kritik ketika memasuki tahun 1960-an. Musik – music Barat juga mendapatkan kritikan, yang mana music juga menjadi suatu sarana propaganda yang sudah ada sejak penjajahan Jepang, dan terbukti efektif. Rakyat Indonesia pun juga menyukai music – music barat tidak hanya film – film saja. Akan tetapi, berdirinya LEKRA menjadi titik balik perkembangan kebudayaan Indonesia. Lekra menginginkan agar kebudayaan Indonesia dapat lebih dikembangkan dan diutamakan. Lekra juga mempunyai program agar music daerah meraih pamor yang tinggi sebagai music yang mempunyai wibawa dalam music Indonesia. Dasarnya adalah upaya mengembangkan music daerah menjadi “revolusioner”. Musik daerah sebagai sebuah kerja kreasi yang diberi tema – tema revolusioner. Citra music daerah dinaikan dengan cara mengadakan festival – festival serta lomba paduan suara music daerah, music nasional, dan music revolusioner. Jennifer Lindsay & Maya H.T Liem. Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia (Jakarta : Pustaka Larasan-KITLV. 2011). hlm 470. Dalam proses pengembangan music daerah tersebut, Lekra mendirikan Lembaga Musik Indonesia (LMI) yang perhatiannya lebih diarahkan pada pencarian music nasional yang revolusioner. Pada tahun 1959 Soekarno menyerukan kepada para seniman agar berdiri dalam front antiimperialisme dan antikolonialisme. Di lapangan budaya, Soekarno mengkampanyekan untuk mengembangkan kebudayaan yang berkepribadian nasional dan menolak budaya imperialis. Saat itu pemerintah dan Lekra (termasuk LMI) memandang budaya pop, terutama pop Amerika sebagai budaya imperialis dan dekaden. Hal paling nyata bisa dilihat dalam bidang film, begitu pula dalam bidang music. Meskipun lagu – lagu Barat popular boleh dimainkan, tahun 1963 mulai timbul keberatan terhadap beberapa jenis lagu seperti rock’ n roll (termasuk rock’ n roll Indonesia Koes Ploes), lagu pop Elvis Presley, twist, the Beatles, serta lagu – lagu India yang dianggap romantisme cengeng. Jennifer Lindsay & Maya H.T Liem. Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia (Jakarta : Pustaka Larasan-KITLV. 2011). hlm 472 – 473. Musik pop asing (atau music Indonesia yang mencontoh pop asing) dianggap dekaden dan termasuk kategori “lawan”nya LMI, sedangkan music yang dianggap “kawan” adalah yang berkepribadian nasional dan memegang teguh paham progresif revolusioner. Selain itu, music aliran Kiri di Indonesia tahun 1950-an sampai 1960-an juga menjadi bahasa solidaritas dan diplomasi. Banyak lagu diciptakan dengan tema mengenang kesetiakawanan atau sebagai wujud respon aktif terhadap peristiwa yang terjadi di Negara – Negara sahabat seperti Vietnam, RRC, dan Korea Utara. Tampak bahwa lagu – lagu yang didukung Lekra harus menunjukkan tema – tema yang tidak jauh dari realitas dan persoalan manusia. Musik harus ikut mengurusi Negara, politik, partai, solidaritas Asia Afrika, kaum tani, dan tidak berkhianat kepada rakyat. Jennifer Lindsay & Maya H.T Liem. Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia (Jakarta : Pustaka Larasan-KITLV. 2011). hlm 473 – 478. Pada 3 Februari 1952 didirikannya Gembira sebagai ansambel tari dan nyayi. Kegiatannya hanya terbatas dalam bidang seni suara tanpa tari karena awalnya adalah (koor) paduan suara. Yang diikuti penekanan lagu rakyat dan lagu – lagu sosialis internasional. Pembiayaan kegiatan Gembira bersandar pada iuran anggota, ditambah bantuan sponsor dan doasi baik pemerintah maupun pribadi tertentu. Gembira sering diundang dalam acara kenegaraan seperti peringatan kemerdekaan 17 Agustus, bahkan pentas kalangan Kiri dan menghibur prajurit Indonesia di garis depan. Sifatnya yang fleksibel dalam melayani permintaan berbagai kalangan mungkin menjadi factor yang membuat Gembira cepat popular dan diterima oleh masyarakat umum. Jennifer Lindsay & Maya H.T Liem. Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia (Jakarta : Pustaka Larasan-KITLV. 2011). hlm 485 – 486. BAB III KESIMPULAN Selama tahun 1950-an dan 1960-an, sebagaimana juga dengan masyarakat Asia lain yang baru menjalani dekolonisasi – dan sebgaimana yang akan terjadi dengan bangsa-bangsa Afrika yang sedang muncul dari kolonialisme Eropa – suatu proses dekolonisasi kesadaran adalah hakiki pada identitas Indonesia yang otonom dan postcolonial. Kenyataan bangsa baru mengguncang proses renungan posisi warisan budaya, proses yang dimulai beberapa dasawarsa sebelumnya. Kenyataan menjadi bangsa baru juga memulai suatu proses yang lamban, yaitu pelepasan dari konstruksi Belanda yang Orientalis mengenai kebudayaan Indonesia. Peristiwa-peristiwa politik utama dalam rentang lima belas tahun dari 1950 hingga kudeta 1965 yang berpuncak dengan pemakzulan Soekarno dan penyingkiran kalangan kiri telah didokumentasikan dengan baik. Periode 1950-1965 secara umum dipilih menjadi dua: 1950-1957 sebgai era demokrasi konstitusional yang mencakup diantaranya pemilihan umum pertama pada 1955, dan 1957-1969 sebgai era Demokrasi Terpimpin, dengan 1957-1958 sebgai titik yang menentukan dengan pecahnya berbagai pemberontakan daerah yang serius, krisis politik, pemerintahan yang mulai lebih otokratis, posisi kiri yang kian meningkat di dalam kehidupan politik, social, dan budaya, serta nasionalisasi perusahaan Belanda. Mengangkat 1950 sebagai titik awal juga mengaburkan banyak kesinambungan dengan periode 1945-1949, termasuk negosiasi dan konflik yang menandai transisi bertahap-tahap dari nasion federal Republik Indonesia Serikat menuju Republik Kesatuan yang akhirnya terwujud pada 1950, dan menetapkan Soekarno sebagai pemimpin politik dan menyingkirkan pemimpin-pemimpin lain seperti Sjahrir dan Hatta. Menurut Alexander Supartono, menjejerkan teks Mukadimah Lekra dan teks Manifesto Kebudayaan tidak terdapat perbedaan mendasar. Kalau Lekra menyatakan “bekerja untuk membantu manusia yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dan perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis,” maka Manifesto menegaskan bahwa “bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.” Penolakan Manifesto Kebudayaan pada Humanisme Universal yang membuat “orang harus toleran terhadap imperialisme dan kolonialisme”, diteruskan dengan kerja Lekra untuk merombak “sisa-sisa kebudayaan penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah”. Jadi pertentangannya terletak pada konteks sejarah jaman yang melingkupi kedua kertas kebudayaan tersebut. Keduanya terseret pada gejolak dan perseteruan politik yang terjadi pada masa itu. Dengan satu dan lain cara, kekuatankekuatan politik dominan pada masa itu (Soekarno, Militer dan PKI) telah berhasil membawa medan pertempuran mereka ke wilayah kebudayaan, ketika menyeret dan menjadikan Lekra dan Manikebu sebagai pemain-pemain utamanya. Dengan demikian, pelarangan Manifesto Kebudayaan adalah tidak lebih dari hasil dari dramatisasi dan manipulasi politik. Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF Driyarkara. 2000). hlm 92 – 93. Potret aliran music Indonesia di era akhir 1950-an dan awal 1960-an menjadi titik balik perkembangan music di Indonesia, yang bersifat revolusioner sejak penjajahan Jepang hingga 1965. Bahkan ketika memasuki demokrasi terpimpin music Indonesia yang pada awal 1950 mendapatkan pengaruh dari music Barat kemudian berubah menjadi anti – Barat. Memang pada dasarnya, seluruh komponen masyarakat berjuang untuk merumuskan identitas nasional. Organisasi – organisasi kebudayaan seperti Lekra, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), dan lainnya muncul dan turut aktif memikirkan dan menyemarakan panggung kebudayaan Indonesia guna membentuk identitas nasional. Selama kurun waktu 1950 – 1965 corak kebudayaan nasional dicari, dibentuk dan dimunculkan sesuai identitas masing – masing lembaga. Ada yang bernuansa sosialis, ada yang berbasis nasionalis, dan ada pula yang berbasis agama. Namun, dalam kurun 1950 – 1965 tampaklah Kiri yang lebih mendominasi, namun berubahnya situasi poltik Indonesia secara dramatis pasca 30 September – 1 Oktober 1965, politik kiri harus turun panggung. PAGE \* MERGEFORMAT 1