LAPORAN MIKROBIOLOGI INDUSTRI
ACARA III
“NATA”
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Inawati Jati H3113052
M. Reza Fahlefi H3113064
Lintang Sawitri N H3113059
Pebry Fitrianasari H3113074
Rufik Dwi Kurniawati H3113083
Susi Novitasari H3113090
Yuliana Freksopel H3113098
PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
ACARA III
NATA
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara III “Nata” sebagai berikut:
Mahasiswa dapat memahami dan mampu mempraktikkan pembuatan nata.
Mahasiswa dapat mengetahui bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan nata beserta fungsinya.
Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh sumber C (Carbon) dan sumber N (Nitrogen) terhadap nata yang dihasilkan.
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Teori
Fermentasi adalah suatu proses pengubahan senyawa yang terkandung didalam substrat oleh mikroba (kulture) misalkan senyawa gula menjadi bentuk lain (misalkan selulosa/nata de coco), baik merupakan proses pemecahan maupun proses pembentukan dalam situasi aerob. Jadi proses fermentasi bisa terjadi proses katabolisme maupun proses anabolisme. Nata de coco adalah krim yang berasal dari air kelapa. Krim ini dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Mikroorganisme membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula (Simanihuruk, 2012).
Ketebalan nata sangat bergantung sekali pada kandungan medium, terutama ketersediaan sumber karbon (C) dan nitrogen (N). Hal ini berkaitan dengan konsentrasi gula dan jenis medium. Kersedianya gula adalah mutlak sebab nata yang terbentuk adalah hasil dari pengambilan glukosa yang digabungkan dengan asam lemak membentuk precursor oleh aktifitas Acetobacter xylinum. Pemberian gula sebanyak 400 gram dalam 4 liter bahan pada masing-masing medium ditambah dengan kadar glukosa yang sejak awal sudah terkandung di dalam medium akan menaikkan konsentrasi glukosa, sehingga konsentrasi glukosa antara medium dari limbah pembaceman dan limbah pewarnaan berbeda (Purnomo dkk., 2009).
Aktifitas bakteri A. xylinum dapat dilihat dengan adanya serat-serat halus berupa jalinan-jalinan berbentuk benang yang mulai terbentuk pada hari pertama masa inkubasi (24 jam). Selulosa tersebut merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh A. xylinum pada fase pertumbuhan statis. Serat-serat selulosa ini akan semakin banyak diproduksi seiring dengan semakin panjangnya masa inkubasi. Serat-serat ini akan menuju permukaan media dan membentuk suatu jalinan kompak yang akan mengapung dipermukaan media. Terbentuknya partikel nata mulai dapat dilihat setelah 24 jam inkubasi dan nata dapat terapung karena adanya CO2 yang dihasilkan oleh A. xylinum dari proses fermentasi (Alwi dkk., 2011).
Tahap–tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan diperlambat, fase stasioner, fase menuju kematian, dan fase kematian. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase-fase tersebut sangat ditentukan oleh strain (jenis spesifik), umur inokulum, nutrisi, dan kondisi lingkungan. Strain merupakan subspesies yang mempunyai kemampuan dan karakteristik lebih spesifik. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu nutrisi. Kondisi nutrisi mempunyai beberapa faktor yang berkaitan yaitu sumber karbon (C), sumber nitrogen (N), tingkat keasaman (pH), temperatur, udara (oksigen), dan aktivitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata (Pambayun, 2002).
Penggunaan bakteri selulosa akan menghasilkan nata yang lebih tebal. Selulosa bakteri yang dihasilkan dari molase bit menggunakan Gluconacetobacter xylinus. Hasil dari bakteri selulosa (BC) yang dihasilkan dari molase bit lebih tinggi dari glukosa sebagai sumber karbon tunggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hasil maksimal bakteri selulosa (BC) adalah 1,69 g / l00 ml (Afreen, 2014).
Selulosa bakteri (BC) disintesis oleh Acetobacter xylinum adalah biopolimer yang menjanjikan dan telah digunakan di sejumlah aplikasi biomedis. Berbeda dengan selulosa yang dihasilkan oleh tanaman yang memiliki tingkat kemurnian. Komponen penting dari media tumbuh selulosa bakteri adalah karbon dan nitrogen yang akan memberikan nutrisi pertumbuhan Acetobacter xylinum (Pandey, 2014).
Acetobacter xylinum adalah jenis bakteri yang menghasilkan selulosa dengan sifat fisik yang menguntungkan. A. xylinum diidentifikasi sebagai gram bakteri negatif dengan batang pendek, yang mampu mengoksidasi glukosa untuk glukonat asam asam organik dan secara bersamaan. Bakteri selulosa (BC) telah dikenal sebagai metabolit sekunder dari glukosa dengan merilis asam asetat ke dalam lingkungan. Berbeda dengan selulosa dari pulp kayu, BC memiliki kemurnian tinggi, kekuatan yang unik, struktur ultra halus dan biodegradable. Isolasi dan pemurnian BC ini juga sederhana. Properti ini memungkinkan SM untuk digunakan sebagai pengganti bahan baku kayu dalam industri kertas berkualitas tinggi, makanan rendah kalori membran bahan (Ultra filtrasi) dan bahan lainnya (Lestari et al., 2014).
Medium yang dipergunakan untuk pertumbuhan mikrobia harus mengandung komponen nutrien yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan mikrobia yang menjalankan proses fermentasi. Sumber karbon yang utama adalah karbohidrat, meliputi : monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa), disakarida (maltosa, laktosa, sukrosa), trisakarida (rafinosa), dan polisakarida (pati, dekstrosa, pektin, selulosa). Pembentukan nata oleh bakteri Acetobacter xylinum membutuhkan gula sebagai sumber C, substrat gula sebagai sumber karbon terdiri atas glukosa, maltosa laktosa, sukrosa, dekstrin dan galaktosa. Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sumber C yang menunjang pertumbuhan optimal Acetobacter xylinum adalah glukosa dan sukrosa. Sukrosa paling banyak digunakan para produsen nata karena mudah mendapatkannya (Purwanto, 2012).
Selulosa berasal dari proses fermentasi. Misalnya, polisakarida mikroba disusun oleh serat selulosa yang diproduksi oleh strain xylinum, subspesies Acetobacter aceti dari bakteri non-patogen dan bakteri disebut sebagai selulosa atau bakteri selulosa yang berasal dari fermentasi dengan bantuan mikroba. Salah satu fitur kunci lain dari selulosa bakteri dari selulosa tanaman adalah kemurnian kimia yang tinggi. Hal ini mengacu untuk produksi tanpa lignin dan hemiselulosa seperti selulosa tanaman. Lignin dan hemiselulosa, yang membentuk dinding sel tanaman, sulit untuk menghapus untuk pemurnian. Bakteri biocellulose juga dapat dibedakan oleh tanaman selulosa karena memiliki indeks kristalisasi tinggi di kisaran 60% (Mohammad et al., 2014).
Tinjauan Bahan
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal nata yang dibuat dari air kelapa (nata de coco). Meskipun demikian, produk nata juga dapat dibuat dari aneka buah seperti nanas, bahkan dari air tahu dan cairan lendir kakao bisa digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan nata, yang penting bahan itu mengandung gula, protein dan mineral yang cukup. Umur biakan starter pada pembuatan nata sangat mempengaruhi rendemen dan ketebalan nata yang diperoleh karena umur biakan ini berkaitan erat dengan aktivitas bakteri pembentuk nata. Media fermentasi yang sudah tua mudah mengalami kontaminasi sehingga menghasilkan produk nata yang relatif tipis (Hartati dan Muhiddin, 2010).
Nata merupakan makanan penyegar atau pencuci mulut yang dihidangkan dalam bentuk campuran dengan buah-buahan (coctail). Dalam pembuatan nata faktor-faktor yang perlu diperhatikan antara lain sumber nitrogen. Sumber nitrogen yang diberikan dalam pembuatan nata bertujuan untuk merangsang pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Peningkatan konsentrasi nitrogen dalam substrat dapat meningkatan jumlah polisakarida nata yang terbentuk. Sumber nitrogen yang umum digunakan adalah pupuk urea, ZA, NPK, ammonium sulfat [(NH4)2SO4] dan ammonium phospat [(NH4)2H2PO4]. Ammonium sulfat adalah sumber nitrogen yang mudah diperoleh dan harganya relatif murah dibandingkan sumber nitrogen lainnya. Selain itu [(NH4)2SO4] akan memberikan tekstur yang lembut pada nata de coco dan juga cukup efektif digunakan dalam pembuatan nata de pinna. Konsentrasi [(NH4)2SO4] optimum pada pembuatan nata de pinna adalah 0,8%, namun konsentrasi [(NH4)2SO4] yang optimum dalam pembuatan nata de banana belum pernah dilaporkan (Rossi dkk., 2008).
Nata de coco memiliki bentuk padat, berwarna putih seperti kolang kali, dan terasa kenyal. Nata de coco mengandung air cukup banyak (80%), tetapi dapat disimpan lama. Nata de coco terbentuk karena keberadaan bakteri Acetobacter xylinum dalam media tumbuhnya. Hasil penelitian dari Balai Mikrobiologi Puslitbang Biologi LIPI Bogor menyebutkan bahwa nata de coco mengandung nilai nutrisi sebagai:
No
Nutrisi
Kandungan Nutrisi (per 100 gr bahan)
1
Kalori
146 kal
2
Lemak
0,2 %
3
Karbohidrat
36,1 mg
4
Kalsium
12 mg
5
Fosfor
2 mg
6
Fe (Zat besi)
0,5 mg
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan nata yaitu kompor, panci, pengaduk, jerigen plastik, corong plastik, baki atau loyang plastik, gelas ukur, karet gelang, pisau, telenan, dan kertas koran (Warisno, 2004).
Nata de soya merupakan makanan penyegar seperti agar-agar yang dapat dicampur pada es buah (koktail). Nata de soya mirip dengan nata de coco yang telah banyak beredar di pasaran, hanya saja dalam pembuatannya menggunkan air tahu (whey). Air tahu (whey) merupakan air sisa penggumpalan tahu. Air tahu dapat digunakan dalam pembuatan tahu sebagai bahan penggumpal, tetapi karena kebutuhannya lebih sedikit dibandingkan limbah yang diperoleh maka air tahu banyak yang dibuang sehingga mencemari lingkungan. Cara pembuatan nata de soya hampir sama seperti pembuatan nata de coco. Perbedaanya hanya pada bahan tambahan dan lama waktu fermentasi. Cara pembuatan nata de soya terdiri dari pembuatan media fermentasi, inokulasi dan fermentasi serta panen (Sarwono dan Yan 2009).
Bahan baku aneka nata terdiri dari air kelapa, limbah tahu (kedelai) dan nanas. Kelapa menghasilkan air sebanyak 50-150 ml per butir. Air kelapa mengandung banyak gula dan mineral. Jika air kelapa dibiarkan di lingkungan terbuka pada suhu normal selama satu hari, akan terbentuk asam organik yang berasal dari reaksi peluruhan gula rantai pendek. Cirinya air kelapa agak berbau menyengat seperti alkohol. Kandungan gula, asam organik, dan mineral tersebut akan memudahkan Acetobacter xylinum untuk menghasilkan nata. Sedangkan limbah tahu di hasilkan dari industri pembuatan tahu berupa whey tahu. Whey tahu mengandung banyak mineral, seperti P, K, Ca, Mg, Fe, dan Zn. Kandungan mineral ini sangat membantu bakteri Acetobacter xylinum untuk menghasilkan nata. Whey tahu juga mengandung gula, tetapi kadarnya rendah (0,7-0,9%). Karena itu, ketika diolah menjadi nata harus ditambahkan gula pasir. Bahan baku yang ketiga yaitu nanas, nanas merupakan salah satu buah tropis yang biasanya dikonsumsi sebagai buah segar, nanas dapat diolah menjadi sari buah, selai, dan minuman. Bagian nanas yang dapat dikonsumsi sekitar 60%, sisanya limbah kulit nanas. Karakteristik limbah nanas di antaranya mudah mengalami pembusukan dan mencemari lingkungan karena itu, limbah nanas perlu di olah menjadi nata de pina (Warisno dan Kres., 2009).
Bahan tambahan dalam pembuatan nata terdiri dari bahan baku penyiapan biakan murni, pembuatan starter, dan bahan baku fermentasi nata. Bahan baku penyiapan biakan murni adalah biakan murni Acetobacter xylinum, gula, urea, ekstrak khamir, K2HPO4, (NH4)2SO4, agar media, dan asam asetat. Bahan baku pembuatan starter terdiri dari biakan murni Acetobacter xylinum, gula, urea, media, dan asam asetat. Di lain pihak, bahan baku fermentasi nata adalah starter, gula, urea, dan media. Bakteri Acetobacter xylinum digunakan sebagai pembentuk nata karena kemampuannya mengubah gula menjadi selulosa. Gula digunakan sebagai pemicu konversi oleh bakteri terhadap gula yang terdapat dalam media, asam asetat digunakan untuk menurunkan pH media. Urea digunakan sebagai penambah unsur nitrogen (Suryani dkk., 2008).
Selulosa bakteri Acetobacter xylinum diproduksi oleh air kelapa dikenal sebagai nata de coco. Produk konvensional ini berdasarkan air kelapa asli dari Filipina dan dikembangkan pertama secara lokal pada tahun 1949. Selama bertahun-tahun telah populer di negara-negara lain seperti Jepang, Korea dan Amerika Serikat. A. xylinum menggunakan nutrisi dalam medium air kelapa, membentuk berlendir, lapisan transparan tipis selulosa pada permukaan media, yang mengental dengan usia membentuk lembaran putih tebal setelah 15-20 hari. Lembaran tebal ini merupakan selulosa lalu potong dadu, dicuci dan direbus dalam air sebelum dimasak dalam sirup gula. Nata memiliki kandungan lebih dari 90% air menyerap selulosa dan biasanya digunakan pada makanan penutup, dicampur koktail buah dan jeli buah (Jagannath, 2008).
Metodologi
Alat
Panci
Kompor
Loyang
Pengaduk
Koran
Karet gelang
Bahan
Air kelapa
Limbah cair tahu
Air kran
Urea
Ammonium sulfat ((NH4)2SO4)
Cuka
Gula pasir
Starter Acetobacter xylinum
Cara Kerja
Gula 30 gr
(NH4)2SO4 4 gr
Urea 4 gr
Pendinginan sampai suhu kamar
Cuka 10 ml
Starter 100 ml
Inkubasi selama 1 minggu
Air kelapa/limbah cair tahu/air kran sebanyak 1 Liter
Pemanasan sampai mendidih selama 15 menit
Pemasukkan ke dalam loyang (sambil disaring)
Nata
Hasil dan Pembahasan
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Nata
Kelompok
Kode Sampel
Sampel
Berat (gr)
Tebal
1,4 THP A
135
Air kelapa
330,7
+++
1,4 THP B
300
+++
2,5 THP A
278
Limbah cair tahu
34,3
++
2,5 THP B
80
++
3,6 THP A
450
Air kran
30,6
+
3,6 THP B
31,9
+
Sumber : Hasil Praktikum
Keterangan
+ : Tipis
++ : Tebal
+++ : Sangat tebal
Menurut Gunzales (1972), istilah nata berasal dari bahasa Spanyol yaitu “nadar” yang berarti terapung-apung. Nata sendiri sebenarnya merupakan pelikel atau polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan dari bakteri Acetobacter xylinum, terakumulasi pada bagian permukaan cairan dan terapung-apung. Terapungnya biomassa yang sebagian besar terdiri atas selulosa disebabkan oleh adanya gas-gas CO2 yang dihasilkan selama proses metabolisme dan menempel pada fibril-fibril pelikel sehingga menyebabkan terapung. Menurut Sutarminingsih (2004), nata adalah bahan menyerupai gel (agar-agar) yang terapung pada medium yang mengandung gula dan asam hasil bentukan mikroorganisme Acetobacter xylinum. Nata pada dasarnya merupakan selulosa. Apabila dilihat dibawah mikroskop akan tampak sebagai suatu massa fibril tidak beraturan yang menyerupai benang atau kapas.
Menurut Nugraheni (2007), nata mengandung serat yang tinggi sehingga memiliki manfaat serta berpengaruh pada penurunan kolesterol, trigliserida, LDL, meningkatkan HDL. Serat memiliki kemampuan untuk mencegah kanker kolekteral dan menurunkan profil glukosa pada penderita diabetes mellitus, serta mencegah konstipasi dan obesitas. Serat nata terdiri dari dua macam yaitu serat yang larut dalam air yang berfungsi untuk mengikat kadar air, menyerap karbohidrat dan melambatkan proses penyerapan glukosa. Menurut Kusharto (2006), nata sangat baik dikonsumsi terutama oleh mereka yang diet rendah kalori atau diet tinggi serat. Serat yang lain bernama serat yang tidak larut dalam air yang berfungsi untuk melancarkan saluran pencemaan atau memperlancar proses metabolisme tubuh. Serat nata di dalam tubuh manusia akan mengikat semua unsur sisa hasil pembakaran yang tidak diserap oleh tubuh, kemudian dibuang melalui anus berupa tinja atau bolus. Oleh karena produk nata terbilang rendah nutrisi, banyak produsen nata de coco melakukan fortifikasi pangan. Fortifikasi pangan adalah proses penambahan satu atau lebih nutrisi (zat gizi) ke dalam suatu makanan. Gunanya untuk mencegah defisiensi (kekurangan) nutrisi pada masyarakat akibat kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan kemasan yang rendah nutrisi. Nata mengalami fortifikasi beberapa vitamin dan mineral, gunanya untuk meningkatkan nilai gizi dan mampu bersaing dengan produk bemutrisi lainnya. Beberapa vitamin dan mineral ditambahkan dalam kandungan gizi nata de coco seperti vitamin C, vitamin B1, riboflavin, kalsium, fosfor dan lainnya. Zat-zat vitamin dan mineral ini bersifat stabil dalam suhu kamar yaitu 20 sampai 25 derajat Celcius selama 11 bulan atau lebih.
Jenis nata biasanya di sesuaikan dengan bahan baku yang digunakan, menurut Warisno (2004), bahan baku nata terdiri dari air kelapa (nata de coco), limbah tahu (nata de Soya), dan nanas (nata de pina). Menurut Rossi dkk (2008), jenis-jenis nata yaitu nata de cacao (cairan pulp kakao), nata de cassava (singkong), nata de banana (kulit pisang), dan nata de aren (nira). Menurut Res (2009 ) seiring perkembangan teknologi, bahan membuat nata semakin beragam, dapat dibuat dari buah semu jambu mete dan lidah buaya.
Menurut Suprapti (2005), syarat untuk membuat produk nata secara umum yaitu bahan dasar harus mempunyai kandungan glukosa (karbohidrat) yang cukup tinggi. Menurut Lazuardi (1994), penggunaan starter merupakan syarat yang sangat penting, yang bertujuan untuk memperbanyak jumlah bakteri Acetobacter xylinum yang menghasilkan enzim pembentuk nata, disamping itu starter juga berguna sebagai media adaptasi bakteri dari media padat (agar) ke media cair. Menurut Lapuz et al (1967), medium fermentasi merupakan medium pertumbuhan mikrobia yang dibutuhkan oleh mikrobia untuk memperoleh energi, pertumbuhan, motilitas, dan biosintesa makromolekul. Medium yang dipergunakan untuk pertumbuhan mikrobia harus mengandung komponen nutrien yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan mikrobia yang menjalankan proses fermentasi. Pembentukan nata oleh bakteri Acetobacter xylinum membutuhkan gula sebagai sumber C, substrat gula sebagai sumber karbon terdiri atas glukosa, maltosa, laktosa, sukrosa, dekstrin dan galaktosa. Sumber C yang menunjang pertumbuhan optimal Acetobacter xylinum adalah glukosa dan sukrosa. Sukrosa paling banyak digunakan para produsen nata karena mudah mendapatkannya. Menurut Steinkraus (1983), penambahan sukrosa 10 % berat per volume menghasilkan nata yang paling baik berdasarkan ketebalan dan tekstur yang terbentuk.
Mekanisme terbentuknya nata menurut pambayun (2008), bakteri A. xylinum akan memecah sukrosa ekstraseluler menjadi glukosa dan fruktosa. Senyawa-senyawa glukosa dan fruktosa tersebut baru dikonsumsi sebagai bahan bagi metabolisme sel. Bakteri A. xylinum merombak gula untuk meperoleh energi yang diperlukan bagi metabolisme sel. Selain itu, bakteri ini juga mengeluarkan enzim yang mampu menyusun (mempolimerisasi) senyawa glukosa menjadi polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Fruktosa, selain digunakan sebagai sumber energi, bahan dasar nata setelah dihidrolisis menjadi glukosa, juga berperan sebagai individu bagi sintesis enzim ekstraseluler polimerase. Hal ini merupakan salah satu alasan, bahwa sukrosa mempunyai kelebihan dibanding gula sederhana dalam fungsi sebagai substrat pembuat nata. Berdasarkan pada pengamatan morfologi pengamatan nata oleh A. xylinum diawali dengan pembentukan lembaran benang-benang selulosa. Pembentukan benang tersebut, pada mulanya tampak seperti flagel (cambuk pada bakteri umumnya). Kenyataan ini bahwa semula di duga bakteri pembentuk nata adalah golongan bakteri berflagel, seperti bakteri asam laktat Leuconostoc mesentroide. Selanjutnya, bakteri A. xylinum membentuk mikrofibril selulosa di sekitar permukaan tubuhnya hingga membentuk serabut selulosa yang sangat banyak dan dapat mencapai ketebalan tertentu. Pada akhirnya lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus, yang disebut nata.
Beberapa tahap kegiatan dalam pembuatan nata menurut Pambayun (2002), yaitu preparasi, inokulasi, fermentasi dan pengendaliaanya. Tahap preparasi terdiri dari (1) penyaringan, bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau benda-benda asing yang tercampur dengan air kelapa, seperti misalnya sisa sabut. Penyaringan yang lebih baik apabila dilakukan dengan menggunakan kain penyaring. (2) Penambahan gula pasir dan ammonium sulfat, rasio karbon dan nitrogen dalam pembuatan nata merupakan kunci utama agar proses tidak menghasilkan limbah yang berupa sisa cairan fermentasi (dicapai tingkat zero residual substrate), substrat (nutrisi dalam media) habis digunakan oleh bakteri nata. Jenis sumber karbon bisa berupa bahan seperti misalnya glukosa, laktosa, fruktosa. Demikian juga dengan jenis sumber nitrogen yang digunakan dapat berupa nitrogen organik seperti misalnya protein, ekstrak yeast, maupun nitrogen anorganik seperti misalnya ammonium fosfat, ammonium sulfat, dan urea. (3) Perebusan, dilakukan sampai mendidih dan dipertahankan selama 5–10 menit untuk meyakinkan bahwa mikroba kontaminan telah mati, dan juga menyempurnakan pelarutan gula pasir dan ammonium sulfat yang ditambahkan. (4) Penambahan cuka, bertujuan penambahan cuka/asam asetat adalah untuk menurunkan pH. Kondisi pH 4,3 merupakan kondisi optimal bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. (5) Pendinginan, paling baik dilakukan dengan cara membiarkan cairan dalam nampan selama satu malam. Hal ini sekaligus untuk mengecek ada tidaknya kontaminan yang tumbuh pada cairan. Sedangkan tahap inokulasi, fermentasi, dan pengendaliannya terdiri dari (1) pemberian bibit (inokulasi), dilakukan apabila campuran bahan, ammonium sulfat, dan asam asetat/cuka telah benar-benar dingin. Bila pemberian bibit dilakukan pada waktu cairan bahan masih dalam keadaan panas atau hangat, maka bibit nata dapat mengalami kematian, sehingga proses fermentasi tidak bisa berlangsung. (2) Fermentasi atau pemeraman, campuran bahan yang sudah diberi bibit, dibiarkan selama 7–8 hari agar terjadi proses fermentasi dan terbentuklah nata.
Dalam pembuatan nata pada praktikum ini menggunakan sampel air kelapa, limbah cair tahu dan air kran. Kelompok 1 dan 4 THP A menggunakan sampel air kelapa dengan kode sampel 135 mendapatkan nata dengan berat 330,7 gram dan ukuran nata yang sangat tebal, sedangkan kelompok dengan sampel dan kode yang sama mendapatkan berat nata 300 gram dengan ukuran sangat tebal. Sampel limbah cair tahu kelompok 2 dan 5 THP A dengan kode sampel 278 mempunyai berat 34,3 dengan ukuran tebal. Untuk THP B kelompok 2 dan 5 mendapatkan nata dengan berat 80 gram dengan ukuran tebal. Kelompok 3 dan 6 THP B dengan sampel air kran mendapatkan nata dengan berat 30,6 dengan ukuran tipis, sedangkan untuk THP B mendapatkan nata dengan berat 31,9 gram dengan ukuran tipis. Dari semua nata yang dibuat oleh praktikan semuanya berhasil mengandung nata namun ukurannya berbeda-beda setiap sampel. Menurut Hasbullah (2001), fermentasi nata dibuat pada media cair yang ditambahkan sumber C dan N diinokulasi dengan starter.
Hasil SPSS yang diperoleh dari segi warna dengan signifikan 0,05 yaitu memiliki perbedaan nyata antara kode sampel 450, 278, dan 135. Dalam hal ini warna sangat dipengaruhi oleh bahan utama yang digunakan pada pembuatan nata. Saragih (2004), menyatakan semakin putih nata yang dihasilkan maka dapat dikatakan semakin baik pula kualitasnya. Tingkat kekeruhan warna ini sesuai dengan jenis medium yang digunakan dalam pembuatan nata. Dalam segi tekstur terdapat perbedaan nyata yaitu kode sampel 450 terletak pada subset 1, kode sampel 278 terletak pada subset 2 dan kode sampel 135 terletak pada subset 3. Tekstur dalam nata juga tergantung pada bahan baku yang digunakan tekstur yang paling baik kode sampel 135 dengan bahan baku air kelapa. Hal ini didkung oleh teori Hubies et al (1996), tekstur nata dipengaruhi oleh serat-serat selulosa yang saling terjalin. Semakin tebal nata yang dihasilkan maka kandungan seratnya semakin banyak karena ketebalan nata dipengaruhi oleh kadar seratnya. Perbandingan antara kadar serat dan kekenyalan adalah berbanding lurus, artinya semakin banyak kandungan serat maka semakin kenyal tekstur nata. Secara overall setiap sampel memiliki perbedaan yang sangat nyata karena terletak pada subset yang berbeda. Menurut Delima (2003), proses pembuatan nata tergantung pada aktivitas dari Acetobacter xylinum yang dipengaruhi oleh kondisi fermentasi yakni meliputi kandungan nutrien serta umur biakan starter. Makin tua umur biakan starter makin menurun hasilnya (berat dan tebal). Media fermentasi yang mengandung starter tua sangat mudah mengalami kontaminasi sehingga menghasilkan nata yang tipis. Menurut Yusmarini dkk (2004), kemampuan polisakarida untuk mengikat air adalah sama. Nata yang tebal berarti kandungan polisakaridanya tinggi dan kemampuan mengikat air juga lebih besar, namun dengan tebalnya nata lapisan polisakarida yang terperangkap menjadi sedikit. Kisman dkk (1997), menyatakan bahwa semakin banyak selulosa yang terbentuk akan menyebabkan jaringan antar selulosa semakin rapat. Kadar air yang terdapat pada nata yang tebal berbeda nyata dengan nata yang tipis. Pada nata yang tipis matriks selulosa yang dihasilkan masih jarang sehingga banyak air yang terperangkap di dalamnya yang mengakibatkan kadar air nata juga tinggi. Sulandra dkk (2000), menjelaskan bahwa kandungan air yang relatif tinggi pada nata disebabkan karena nata sebagian besar tersusun dari selulosa dimana gugus hidrogen dari air. Hasil yang baik untuk pembuatan nata ini adalah sampel air kelapa dengan kode sampel 135 kelompok 4 THP B dilihat dari segi berat, tebal, dan kenampakan. Menurut Pambayun (2002), kelengkapan asam-asam amino dalam air kelapa sangat mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitas bibit nata Acetobacter xylinum. Selain karbohidrat dan protein, air kelapa juga mengandung berbagai mineral yang sangat diperlukan oleh Acetobacter xylinum. Kelengkapan unsur mineral yang terkandung dalam air kelapa tersebut merupakan faktor kelebihan air kelapa jika dibandingkan dengan bahan pembuatan nata lainnya. Untuk THP B tidak ada penyimpangan namun THP A ada penyimpangan yaitu adanya jamur pada nata yang dihasilkan. Menurut hidayat (2006), adanya jamur pada nata bisa disebabkan oleh alat-alat yang digunakan kurang steril dan udara yang kurang bersih.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan kegagalan dalam pembuatan nata disebabkan oleh ruang inkubasi yang tidak stabil suhunya, alat-alat yang kurang bersih, tercelupnya koran ke dalam bahan saat inkubasi dan udara yang kurang bersih serta kontaminasi saat inokulasi starter. Sedangkan menurut Hidayat (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pembuatan nata yaitu suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembentuk nata yang akhirnya juga menghambat produksi nata, starter yang kurang baik atau terkontaminasi, alat-alat yang tidak steril, medium fermentasi yang mengandung sedikit gula, waktu fermentasi lebih dari 4 minggu, pH yang terlalu basa, dan tempat fermentasi yang terkena cahaya matahari langsung serta gerakan atau goncangan pada tempat fermentasi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas nata menurut Rukmana (1997) yaitu bahan-bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan nata harus memenuhi kualitas baik, hal ini bertujuan agar nata yang dihasilkan kualitasnya baik. Apabila bahan-bahan yang digunakan kualitasnya kurang baik, maka akan mempengaruhi kualitas nata secara keseluruhan, baik warna, rasa, aroma, dan tekstur yang kurang disukai. Kandungan nutrisi bahan masih perlu diperkaya agar bakteri nata produktif dalam menghasilkan nata. pH diatur sesuai dengan persyaratan tumbuh optimal bakteri tersebut.
Menurut Saragih (2004), ciri-ciri nata yang bermutu baik bila ditinjau dari aspek kekenyalan adalah nata yang memiliki tekstur kenyal dan tidak tembus jika ditekan dengan jari. Selain itu nata yang bermutu baik berwarna putih bersih, tampak licin dan agak mengkilap, sedangkan ciri-ciri nata yang bermutu rendah memiliki penampakan yang agak kusam dan berjamur. Nata yang baik juga memiliki aroma asam ketika dipanen. Aroma asam ini terjadi karena media pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah media yang bersifat asam dan dalam aktivitasnya bakteri ini menghasilkan asam cuka atau asam asetat serta lapisan putih yang terapung-apung di permukaan media cair tersebut yang kita kenal sebagai nata. Untuk menghilangkan kandungan asam nata ini dapat dilaukan dengan pencucian dan perendaman nata yang berulang-ulang.
Berdasarkan sifat tersembunyi karakteristik nata yang berkualitas baik diketahui dari SNI (Standar Nasional Indonesia), Adapun syarat mutu nata menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) adalah sebagai berikut :
Tabel 3.2 Syarat Mutu Nata
Sumber : SNI 01–2881-1992
Menurut Pelczar dan Chan (1988), bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter, yang mempunyai ciri–ciri yaitu sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel – selnya bersifat gram negatif, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil. Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena sifatnya yang bila ditumbuhkan pada medium yang kaya komponen gula, bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Dalam medium cair, Acetobacter xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam benang–benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium.
Gambar 3.1 Acetobacter xylinum
Menurut Pambayun (2008), sifat-sifat Acetobacter xylinum yaitu (1) sifat morfologi Acetobacter xylinum yaitu bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2 mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6–8 sel. Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose. (2) Sifat fisiologi Acetobacter xylinum dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil alkohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. Sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan mempolimerisasi glukosa hingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. Faktor-faktor yang paling dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan oksigen. (3) pertumbuhan sel, merupakan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Dalam satu waktu generasi, bakteri akan melewati beberapa fase pertumbuhan sebagai berikut :
Gambar 3.2 Tahap –tahap Pertumbuhan Bakteri Acetobacter xylinum dalam Kondisi Normal (Pambayun, 2002).
Fase adaptasi
Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0–24 jam atau ± 1 hari sejak inokulasi.
Fase pertumbuhan awal
Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.
Fase pertumbuhan eksponensial
Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1-5 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak–banyaknya, untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa.
Fase pertumbuhan diperlambat
Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.
Fase stasioner
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.
Fase menuju kematian
Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya.
Fase kematian
Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari fase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya. Kecepatan kematian di pengaruhi oleh nutrisi, lingkungan, dan jenis bakteri. Fase ini dicapai setelah hari kedelapan hingga kelima belas sehingga A. xylinum tidak digunakan sebagai bibit nata.
Menurut Pambayun (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu nutrisi. Kondisi nutrisi mempunyai beberapa faktor yang berkaitan yaitu (1) sumber karbon (C), senyawa sumber karbon yang di dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Pembentukan nata dapat terjadi pada media yang mengandung senyawa glukosa, sukrosa, dan laktosa. Sukrosa mempunyai kelebihan apabila dibanding dengan gula sederhana lain, yakni selain sebagai sumber energi dan bahan pembentuk nata, gula ini juga dapat berfungsi sebagai bahan induser yang berperan dalam pembentukan enzim ekstraseluler polimerase yang bekerja menyusun benang-benang nata, sehingga pembentukan nata dapat maksimal. Penambahan sukrosa yang berlebihan, tidak ekonomis dan mempengaruhi tekstur nata serta menyebabkan terciptanya limbah baru berupa sisa dari sukrosa tersebut. Sedangkan, penambahan yang terlalu sedikit menyebabkan bibit nata menjadi tumbuh tidak normal dan nata tidak dapat dihasilkan secara maksimal. (2) sumber nitrogen (N), sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast dan kasein. Namun amonium sulfat dan aminium fosfat (ZA) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Kelebihan pengguanaan ZA adalah dapat menghambat atau mepersulit pertumbuhan Acetobacter aceti yang merupakan pesaing Acetobacter xylinum. (3) tingkat keasaman (pH), Acetobacter xylinum bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5-7,5, namun sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam keadaan basa, bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya. (4) Temperatur, suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah 28-31oC. Pada suhu dibawah 28oC, pertumbuhan bakteri akan terhambat. Pada suhu 31oC bibit nata akan mengalami kerusakan dan bahkan pada suhu ± 40oC bakteri A. xylinum akan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata. (5) Udara (oksigen), bakteri nata A. xylinum merupakan mikrobia aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan atau hambatan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. (6) Aktivitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata, apabila ditumbuhkan dalam media yang kaya akan sukrosa (gula pasir), bakteri ini akan memecah sukrosa ekstraseluler menjadi glukosa dan fruktosa.
Gula dalam pembuatan nata berfungsi sebagai sumber karbon atau energi. Menurut Hidayat (2006), sumber karbon merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri untuk menghasilkan nata membutuhkan sumber karbon bagi proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembang biakannya. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Menurut Pambayun (2002), sumber karbon yang digunakan dapat berupa berbagai jenis gula, misalnya glukosa, sukrosa, maupun maltosa. Adapun jumlah gula yang ditambahkan ke dalam bahan baku adalah adalah sebanyak 2%-7,5%. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gula sebesar 2% akan menghasilkan rendemen nata tidak jauh berbeda dengan penambahan 5%. Menurut Sutarminingsih (2004), peningkatan penggunaan gula akan menurunkan tingkat kekerasan nata de coco, namun penggunaan yang terlalu tinggi juga tidak ekonomis. Jenis gula pasir yang digunakan harus yang berwarna putih bersih dan kering. Selain itu, menurut Hayati (2003), juga penambahan gula dalam pembuatan nata juga memiliki tujuan untuk membentuk tekstur, penampakan, flavor yang ideal, serta berfungsi sebagai pengawet.
Menurut Anastasia & Afrianto (2008) yang menyatakan bahwa perlu ditambahkan asam ke dalam media untuk menciptakan pH media yang sesuai dengan kebutuhan Acetobacter xylinum. Penambahan asam cuka juga dilakukan sampai mencapai pH 4-5 dimana merupakan pH yang optimal untuk bakteri Acetobacter xylinum untuk tumbuh. Hal ini didukung oleh teori dari Pambayun (2002), yang menyatakan bahwa penambahan asam asetat glacial bertujuan untuk menciptakan kondisi pH media yang optimal, serta bertujuan untuk menciptakan suasana asam karena Acetobacter xylinum dapat tumbuh optimal pada pH 4-4,5. Menurut Atlas (1984) menambahkan bakteri Acetobacter xylinum tidak mampu tumbuh pada pH yang terlalu rendah. Hal ini disebabkan karena akan menyebabkan bakteri ini mengeluarkan energi berlebihan untuk menghindari stress akibat kondisi pH yang terlalu asam sehingga aktivitas fermentasi menjadi terhenti akibat energi yang tersedia telah habis.
Nitrogen merupakan salah satu bahan yang dapat merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Nitrogen yang yang biasa digunakan adalah amonium fosfat (ZA) atau Urea, karena mudah diperoleh dan relatif murah. Menurut Sutarminingsih (2004), penggunaan amonium sulfat sebesar 0,5%, menghasilkan rendemen nata de coco sebesar 70,64% dengan warna putih, penggunaan ekstrak khamir menghasilkan rendemen 64,54% dengan warna kuning, dan penggunaan ZA sebesar 0,3% akan memberikan rendemen yang tinggi yaitu 93,3%. Penambahan konsentrasi ZA dapat meningkatkan jumlah polisakarida yang terbentuk, namun penambahan yang terlalu tinggi (lebih dari 1% dapat menyebabkan penurunan rendemen dan penurunan derajat putih pada nata yang dihasilkan. Hal tersebut diduga karena konsentrasi yang tertinggi justru akan menurunkan pH medium, yang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan bakteri. Selain itu ion-ion hasil hidrolisanya akan menghasilkan warna gelap.
Menurut Science Company, bahan kimia dapat digolongkan sebagai food grade adalah yang minimal sudah memiliki spesifikasi layak konsumsi sebagaimana ditentukan secara global oleh United States Pharmacopeia (USP) dan National Formulary (USP-NF). Dibawah kategori ini adalah untuk penggunaan laboratorium non makanan dan teknis, seperti pupuk dan industri non-makanan. Salah satu standar yang umum digunakan untuk bahan baku makanan adalah standar FCC (food chemical codex). FCC untuk ammonium sulfat yang boleh digunakan sebagai bahan pangan adalah tidak boleh mengandung logam berat yang terdiri dari arsenik lebih dari 0,5 ppm, besi 15 ppm, dan selenium 5 ppm. Jika dibandingkan dengan pupuk urea dan ZA. Untuk pupuk urea (standar US 756:2007), kandungan biuret, atau bahan pestisida golongan kolinesterase, adalah 1,5%, logam berat yang terdiri dari arsenik 20 ppm, atau 40 kali lebih tinggi dari FCC grade, kadmium 7 ppm, merkuri 0,1 ppm, selenium 1 ppm, timbal 30 ppm, dan kromium 500 ppm. Berdasarkan standar US 757:2007, kandungan logam berat pada pupuk ZA terdiri dari 50 ppm arsenik, atau sekitar 100 kali lebih tinggi dari FCC grade, timbal 30 ppm, atau sekitar 10 kali lebih tinggi dari FCC grade, merkuri 5 ppm, kromium 150 ppm, dan kobalt 100 ppm. Tiga logam berat terakhir seharusnya tidak terdeteksi di standar FCC grade.
Berkaitan dengan nata menggunakan bahan food grade atau non food grade, menurut Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia menyarankan yaitu (1) agar sedapat mungkin menghindari penggunaan bahan non food grade, salah satu sebabnya adalah kadar ketidakmurnian yang tinggi, misalnya pada kandungan logam berat yang jauh lebih tinggi di bahan-bahan non food grade tersebut; (2) pencucian berulang dalam proses produksi nata de coco adalah titik kritis keamanan pangan, dimana boleh jadi komponen-komponen berbahaya seperti logam berat dan residu pestisida akan leeching atau larut ke air pencuci; (3) direkomendasikan untuk mengukur kadar logam berat pada produk yang saat ini menghadapi kasus hukum, sebelum ditentukan status keamanan dari produk tersebut.
Menurut Natalingsih (2010), ammonium sulfat merupakan senyawa kimia dengan rumus (NH4)2SO4 yang berbentuk kristal, berwarna putih kebiru-biruan atau kekuningan. Di pasaran ammonium sulfat diperdagangkan dalam dua golongan yaitu golongan koersial dan golongan kering. Yang digunakan sebagai sumber nitrogen untuk membantu pertumbuhan yang optimal bagi mikroba seperti golongan Acetobacter yang digunakan dalam fermentasi vinegar maupun nata. Penambahan ammonium sulfat dalam media fermentasi selain merupakan sumber tambahan nitrogen bertujuan pula untuk menurunkan pH awal dari media fermentasi sehingga dapat menciptakan suasana keasaman yang tepat dalam pertumbuhan mkroba. Selanjutnya dikatakan oleh Hardjowigeno (2007), bahwa ammonium sulfat mengandung nitrogen 20.4-21 %, bersifat tidak higroskopis dan baru akan menyerap air bila kelembaban nisbi sudah mencapai 80% pada suhu 30oC.
Kesimpulan
Dari pembahasan acara III “Nata” dapat disimpulkan sebagai berikut :
Nata merupakan makanan penyegar atau pencuci mulut yang dihidangkan dalam bentuk campuran dengan buah-buahan (coctail).
Acetobacter xylinum adalah jenis bakteri yang menghasilkan selulosa membentuk nata dengan sifat fisik yang menguntungkan.
Gula berfungsi sebagai sumber karbon atau energi bagi Acetobacter xylinum sedangkan cuka berfungsi untuk menciptakan kondisi pH optimal pada media.
Urea dan amonium sulfat berfungsi sebagai sumber N untuk memantau pertumbuhan yang optimal bagi mikroba.
Pembuatan nata terdiri dari preparasi, inokulasi, fermentasi, dan pengendaliannya.
Mekanisme terbentuknya nata yaitu pembentukan lembaran benang-benang yang tampak seperti flagel selanjutnya membentuk mikrofibril selulosa hingga membentuk serabut selulosa yang sangat banyak dan dapat mencapai ketebalan tertentu berwarna putih transparan dengan permukaan licin dan halus yang disebut nata.
Ciri-ciri nata yang baik yaitu nata yang memiliki tekstur kenyal, tidak tembus jika ditekan dengan jari, putih bersih, tampak licin, agak mengkilat, dan beraroma asam.
Manfaat nata bagi kesehatan yaitu menurunkan kolestrol dan melancarkan proses metabolisme.
Dari 3 sampel yang digunakan, hasil yang paling baik yaitu kode sampel 135 dengan sampel air kelapa sedangkan menurut saragih (2004), sampel yang paling baik yaitu nata de coco.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Muhammad., Andi Lindhemuthianingrum., Umrah. 2011. Formulasi Media Tumbuh Acetobacter xylinum Dari Bahan Limbah Cair Tempe dan Air Kelapa Untuk Produksi Nata De Soyacoco. Jurnal Biocelebes, Vol. 5 No. 2, ISSN: 1978-6417.
Anastasia, N. dan Afrianto, E. 2008. Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.
Gunzales, IL. 1972. The Bacteria A Treat on Structure and Function. Academic Press Inc. London, Vol. 3:380-382.
Hartati dan Muhiddin Palennari. 2010. Pengaruh Umur Biakan Acetobacter Cylinum terhadap Rendemen Nata Aren. Jurnal Chemica Vo. 11, 65-70.
Hayati, M. 2003. Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Jagannath, A., A. Kalaiselvan., S. S. Manjunatha., P. S. Raju., A. S. Bawa. 2008. The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on the Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol 24:2593–2599.
Lestari, Puji., Nitariani Elfrida., Ani Suryani., Yadi Suryadi. 2014. Study on the Production of Bacterial Cellulose from Acetobacter xylinum using Agro-Waste. Jordan Journal of Biological Sciences. Volume 7, Number 1, ISSN 1995-6673. Pages 75 – 80.
Mohammad, Siti Mohainin., Norliza Abd Rahman., Mohd Sahaid Khalil., Siti Rozaimah Sheikh Abdullah. 2014. An Overview of Biocellulose Production Using Acetobacter xylinum Culture. Advances in Biological Research 8 (6): 307-313.
Nataliningsih. 2010. Pengaruh pH Awal dan Persentase Amonium Sulfat terhadap Produk Nata De Kakao yang Dihasilkan. Jurnal pangan.
Pambayun, Rindit. 2002. Teknologi Pengolahan Nata De Coco. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta.
Pandey, Manisha. Muhammad Mustafa Abeer. Mohd Cairul Iqbalmohd Amin. 2014. Dissolution Study of Bacterial Cellulose (Nata De Coco) From Local Food Industry: Solubility Behaviour and Structural Changes. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 6, Issue 6.
Purwanto, Agus. 2012. Produksi Nata Menggunakan Limbah Beberapa Jenis Kulit Pisang. Widya Warta No. 02 Tahun XXXV. ISSN 0854-1981.
Rossi, Evi., Usman Pato., S. R. Damanik. 2008. Optimmalisasi Pemberian Ammonium Sulfat terhadap Produksi Nata De Banana Skin. Jurnal Sagu. Vol. 7, No. 2 : 30-36.
S.S. Afreen. Lokeshappa B. 2014. Production of Bacterial Cellulose from Acetobacter Xylinum using Fruits Wastes as Substrate. International Journal Of Science and Technoledge (ISSN 2321 – 919X) Vol. 2 Issue 8.
Saragih, Y.P. 2004. Membuat Nata De Coco. Puspa Swara, Jakarta.
Sarwono B. dan Yan Pieter Saragih. 2009. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Simanihuruk, Naomi. 2012. Pemanfaatan Limbah Air Kelapa dalam Pembuatan Nata De Coco. Jurnal Pengolahan Hasil Pertanian.
Suryani, Ani., Erliza Hambali., Prayoga Suryadarma. 2008. Membuat Aneka Nata. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutarminingsih, L. 2004. Peluang Usaha Nata De Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Warisno dan Kres Dahana. 2009. Inspirasi Usaha Membuat Aneka Nata. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Warisno. 2004. Mudah dan Praktis Membuat Nata De Coco. AgroMedia. Jakarta.
LAMPIRAN FOTO
Gambar 3.3 Hasil nata sampel air kelapa
Gambar 3.2 Air kepala + gula, (NH4)2SO4 + urea setelah dipasnaskan
Gambar 3.4 Hasil nata sampel limbah cair tahu
Gambar 3.5 Hasil nata sampel air kran