REVISI TUGAS 5
OPERASI MANAJEMEN PELABUHAN
KL4211
Dosen :
Andojo Wurjanto, Ph. D
oleh :
Rebeka Naibaho
15511047
PROGRAM STUDI TEKNIK KELAUTAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
Tugas 05
Pengantar :
Air Ballast kapal sebenarnya masuk dalam kategori
limbah MARPOL, namun
penanganannya tidak praktis menggunakan RF (reception facility) karena volumenya yang
besar, bukan B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan tidak bernilai ekonomi.
Penanganan Air Ballast mengarah ke BWMS
Tugas Anda :
Cara dan sarikan materi tentang pengelolaan Air Ballast Kapal
1.
Pengertian Air Ballast
Air ballast
Air yang digunakan sebagai pemberat dan penyeimbang kapal saat berlayar. Untuk itu terjadi
penambahan da pengurangan air untuk menjaga keseimbangan kapal, pertukaran air ballast
akan menyebabkan perpindahan mikroorganisme atau bahan-bahan pencemar lainnya selama
pelayaran dan akan mencemari pelabuhan tujuan.
Dalam International Health Regulation, disebutkan bahwa pada setiap pelabuhan laut dan
udara haruslah tersedia cara yang efektif dan aman dalam hal pembuangan kotoran dan
limbah serta benda-benda lain yang berbahaya bagi kesehatan.
Pertukaran air ballast buangan kapal mendapat perhatian oleh IMO (International Maritim
Organization), dengan mengeluarkan peraturan yang mengharuskan air ballast yang keluar
dari kapal dalam kondisi bersih. Aturan ini dapat dipenuhi dengan berbagai macam jalan,
sehingga air yang dikeluarkan dalam kondisi bersih dan aman bagi air di pelabuhan tujuan.
Penanganan air ballast kapal
Mungkin sesuatu yang tidak kita sadari bahwa dibalik melimpahnya resources dari lautan kita
yang begitu luas ternyata mengandung suatu ancaman pencemaran? Betapa tidak, sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang melintang pada 6°LU - 11°08'LS dan membujur di
97°' - 141°45'BT tentunya perairan Indonesia tak luput dari lalu lalang transportasi laut yang
begitu padat.
Banyaknya kapal yang melalui perairan tersebut mengandung konsekuensi logis, yaitu
adanya potensi pencemaran baik di pelabuhan, laut, maupun udara.
Sebagai contoh, tumpahan minyak dari kapal tanker, tumpahan muatan dari kapal pembawa
bahan kimia (chemical tanker), pelepasan SO2, NO2, dan CO2 ke atmosper dari gas buang
mesin kapal, dan penyebaran biota laut yang invasif (invasive marine species) dari tanki
balas. Bahan pencemar (polutan) tersebut secara akumulatif akan merusak ekosistem alam
semesta.
Seperti terlihat pada Gambar 1, bahwa ketika kapal-kapal barang seperti kapal kontainer atau
tanker membongkar muatan, air laut dipompa ke dalam kompartemen di lambung kapal,
sedang ketika mengangkut muatan, air laut di lambung kapal tadi dibuang ke laut. Air laut
yang dipompakan ke lambung atau dibuang ke laut tadi berfungsi sebagai alat untuk
menstabilkan dan menyeimbangkan kapal.
Gambar 2 mengilustrasikan lebih jelas tentang bagaimana pertukaran air balas terjadi.
Sebuah kapal dari Lautan India berlayar melalui Terusan Suez, membongkar muatan di
Mediterania sehingga kapal tersebut perlu mengisi tanki balas sebelum mengarungi Lautan
Atlantic.
Pertukaran air balas (ballast water exchange) terjadi di Lautan Atlantik sehubungan dengan
akan masuk ke kawasan Great Lakes. Sehubungan dengan kapal mengangkut muatan
terigu/gandum, maka air balas dibuang ke laut.
Dari aktifitas yang digambarkan di atas, di seluruh dunia ada kurang lebih 10 milyar ton
meter kubik air balas yang ditransfer kapal setiap tahunnya.
Permasalahannya, air tersebut mengandung ribuan spesies hewan laut maupun tanaman laut
yang menimbulkan masalah bagi lingkungan laut, kesehatan manusia, serta mengancam
ekonomi kelautan yang bergantung pada ekosistim laut yang sehat.
Mnemiopsis leidy, spesies sejenis comb jellyfish yang menghuni estuari dari Amerika Serikat
sampai ke Tanjung Valdés di Argentina sepanjang pantai Lautan Atlantik telah menyebabkan
kerusakan di Laut Hitam.
Pada tahun 1982, diidentifikasi bahwa populasi jenis ubur-ubur ini meningkat secara
eksponensial dan pada tahun 1988, merusak usaha penangkapan ikan setempat. Penangkapan
ikan Anchovy menurun drastis dari 204.000 ton di tahun 1984 menjadi hanya 200 ton di
tahun 1993; ikan Spart dari 24.600 ton di tahun 1984 menjadi 12.000 ton di tahun 1993; ikan
Mackerel dari 4.000 ton di tahun 1984 menjadi nol di tahun 1993.
Sekarang ubur-ubur ini telah meluluhlantakkan zooplankton termasuk larva ikan sehingga
jumlahnya menurun secara drastis. S
ekali invasive marine species seperti ubur-ubur ini menempati suatu area baru, dia bisa
menguasai daerah tersebut, menyebarkan jenis penyakit baru, menciptakan material gen baru,
merubah landscape dan menurunkan kemampuan spesies lokal dalam mencari makanan.
Untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di daratan dan lautan Amerika yang diakibatkan
oleh spesies invasif ini dikeluarkan biaya sekitar 137 milyar dolar Amerika setiap tahun.
Akibat lain dari datangnya spesies asing kedalam lingkungan baru, air balas yang dibuang ke
laut dapat menyebarkan penyakit menular dan penyakit yang mematikan, dan racun yang
secara potensial dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan kehidupan biota
laut.
Air balas ke lingkungan perairan pantai berpotensi menyebabkan keracunan bagi biota laut
dan mikroorganisme. Hal ini menyebabkan berbagai masalah, seperti perubahan pola pertumbuhan, kerusakan siklus hormonal, kecacatan dalam kelahiran, penurunan sistem kekebalan,
dan menyebabkan kanker, tumor, dan kelainan genetik atau bahkan kematian.
Spesies asing tersebut juga bisa merangsang pertumbuhan biota laut dan sebagai sumber
makanan. Seafood menjadi terkontaminasi dan tidak sehat untuk dikonsumsi manusia. Tidak
mengherankan, penyebaran penyakit Cholera adalah penyakit yang disebabkan polusi laut
dari pengoperasian kapal.
Penelitian terakhir para ahli menyatakan bahwa bakteri penyebab Cholera, Vibrio Cholerae,
dapat menyebar melalui organisme laut yang hidup di air balas. Seafood sebangsa kerangkerangan dan air minum juga terkontaminasi ketika kapal membuang air balasnya.
Regulasi Sistem Air Balas
Regulasi air balas yang diundangkan oleh IMO (International Maritime Organisation)
bertujuan untuk meminimalkan resiko masuknya spesies baru ke daerah perairan lain.
Standard D-1 (Ballast Water Exchange) yang masih berlaku sampai saat ini dilaksanakan
dengan membilas air balas sebanyak tiga kali di laut yang berjarak lebih dari 200 nautical
mile dari pantai dengan kedalaman lebih dari 200 meter.
Metode ini sangat efektif sebab organisma dari perairan pantai sepertinya tidak bisa survive
di lautan lepas atau sebaliknya, organisma dari lautan lepas tidak akan bisa bertahan di
perairan pantai.
Tetapi metoda ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu (1) sedimen dan residu dari dasar
tanki balas sangat sulit untuk dihilangkan secara keseluruhan, (2) organisma yang menempel
pada sisi-sisi tangki balas atau penyangga struktur kapal dalam tangki balas tidak bisa
dikeluarkan, dan (3) tidak bisa melakukan pembilasan jika badai atau ombak besar terjadi
selama dalam pelayaran.
Sehingga organisma yang berada di dalam tangki balas mungkin terikut dibilas pada saat
kapal mendekati pelabuhan.
Standar yang lain adalah Standard D-2 (ballast water treatment). Standar ini mensyaratkan
adanya treatment bagi air balas yang ditemukan adanya kandungan lebih dari 10
mikroorganisme per meter kubik yang berukuran lebih dari atau sama dengan 50 mikron.
Dengan adanya pengolahan (water treatment) ini maka tidak akan ada lagi mikroorganisma
yang lolos ke lingkungan baru, sehingga kerusakan lingkungan dapat dicegah.
Teknologi Pengolahan Air Ballast
Mengingat hebatnya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh air balas, maka Konvensi
Internasional untuk Kontrol dan Managemen Air Balas yang diadakan pada tahun 2004,
mewajibkan semua kapal yang menggunakan air balas untuk menerapkan Standard D-2 atau
melengkapi dengan pengolahan air balas (water treatment) pada tahun 2016.
Teknologi pada pengolahan air balas yang disyaratkan oleh IMO harus bebas bahan aditif,
bahan kimia dan racun.
Salah satu teknologi terkini yang digunakan dalam pengolahan air balas adalah menggunakan
AOT (Advanced Oxidation Technology).
Teknologi AOT ini menggunakan Titanium Dioxide Catalyst yang akan menghasilkan
radikal ketika disinari. Radikal yang bertahan hidup hanya beberapa mili detik ini akan
berfungsi sebagai pembunuh membran sel dari mikroorganisme.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, bahwa ketika pengisian tangki balas (ballasting), air dari
laut dilewatkan filter 50 mikro meter untuk menyaring partikel-partikel besar untuk
menghindari sedimentasi dan mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Kemudian air dialirkan melalui Wallenius AOT yang memproduksi radikal yang berfungsi
membunuh mikroorganisme yang masih bisa lolos dari filter sebelumnya.
Ketika membuang air balas ke laut (deballasting), air dari tangki balas dialirkan melalui
Wallenius AOT untuk yang kedua kalinya, sehingga menetralkan air balas dari
mikroorganisme yang berbahaya.
Manajemen Pengelolaan Air Ballast
Dikeluarkannya peraturan tentang manajemen air ballast dimaksudkan untuk mengurangi
penyebaran organisme laut yang tidak terkendali. Berikut adalah standar manajemen
air ballast disesuaikan dengan ukuran kapal dan tahun pembuatan:
Standar manajemen air ballast berdasar regulasi D-1:
- Ketika proses pengisian atau pengosongan balat, sistem kapal harus mampu mengisi atau
mengosongkan sedikitnya 95% dari total kapasitas tangki ballast.
- Untuk
kapal
dengan
menggunakan
metode
pumping-through,
kemampuan
pompa harus dapat memompa terus menerus selama pengisian 3x volume tangki ballast.
Standar manajemen air ballast berdasar regulasi D-2:
- Kapal dengan sistem manajemen air ballast tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10
organisme hidup tiap meter kubik atau setara dengan ukuran lebih dari 50 mikrometer dan
tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap milliliter untuk ukuran kurang
dari 50 mikrometer. Indicator discharge mikroorganisme tidak boleh melebihi konsentrasi
yang ditentukan berikut:
1.
Toxicogenic Vibrio cholera kurang dari 1 cfu ( colony forming unit ) tiap 100
mililiter atau kurang dari 1 cfu per gram zooplankton
2.
Eschericia coli kurang dari 250 cfu per 100 mililiter
3.
Intestinal entericocci kurang dari 100 cfu per 100 mililiter
- Sistem manajemen air ballast harus disetujui oleh pihak sesuai dengan regulasi IMO Ada
beberapa perlakuan untuk menangani masalah ini. Beberapa diantaranya adalah dengan
proses kimia dan proses fisika.
1.
Proses kimia: dilakukan perlakuan khusus terhadap air ballast dengan bahan kimia
seperti chlorine atau ozone untuk membunuh organisme yang terkandung di dalamnya.
2.
Proses fisika: dapat dilakukan dengan radiasi ultra violet, pemanasan, penyaringan,
dan sedimentasi.
Isi dari Manajemen pengelolaan air ballast
Aturan internasional dan peraturan yang berbeda dari seluruh port sate kontrol di
seluruh dunia
Lokasi pelabuhan yang menyedian fasilitas pembongkaran sedimen air ballast.
Tugas dan tanggung jawab dari semua kru diatas kapal terkait dengan operasional
ballast.
Prosedur dan metode yang harus dilakukan didalam pengisian air ballast.
Lokasi dari perairan dangkal yang berbeda-beda harus dijelaskan didalam
perencanaan ballast.
Hal-hal yang harus dicatat pada saat penggantian air ballast:
Tanggal dilaksanakannya pengisian air ballast.
Temperatur air ballast
Posisi lintang dan bujur kapal pada saat pengisian
Tangki yang di isi air ballast
Kadar garam
Jumlah air ballast yang diisikan kedalam tangki ballast
Semua yang dilakukan dan dicatat dalam pengoperasian ballast harus ditandatangi
oleh mualim satu
Nakhoda sebagai orang yang bertanggung jawab secara keseluruhan diatas kapal
harus juga mengetahui tentang operasional ballast
Tanggal terakhir kali dilakukannya pembersihan tangki ballast
Jika ada kejadian-kejadian yang janggal atau kecelakaan dalam proses ballast dan de-
ballasting harus diketahui oleh mualim satu dan nakhoda serta disampaikan dengan otoritas
pelabuhan.
Keuntungan dari rencana pengelolaan air ballast
Dengan bantuan dari rencana pengelolaan ballast yang tepat dan beberapa informasi
tambahan, penundaan operasional dapat dihindari yang akan membantu untuk menghemat
waktu dan uang.
Sumber :
1.
GloBallastPartnerships, http://globallast.imo.org/index.asp?page=ballastw_%20treatm
.%1fhtm&menu=true, diakses tanggal 26 Juni 2008.
2.
Guidelines for The Control and Management of Ship’s Ballast Water to Minimize The
Transfer of Harmful Aquatic Organisms and Pathogens, International Maritime Organisation
(IMO), Resolutionhttp://globallast.imo.org/., diakses tanggal 26 Juni 2008.
3.
Marine
Bioinvasions
Fact
Sheet:
Ballast
Water
Treatment
Options,http://massbay.mit.edu/resources/pdf/ballast-treat.pdf, diakses tanggal 30 Juni 2008.
4.
PureBallast Technical Data, http://www.alfalaval.com/pureballast. diakses tanggal 26
Juni 2008.
5.
http://nihlawati.blogspot.com/2009/03/artikel-lingkungan.html
2.
Resiko air ballast terhadap lingkungan
Kategori Air Ballast
Kategori bahan-bahan kimia yang dimaksud dalam annex ini adalah:
Kategori X:
NOx jika dibuang ke laut dianggap menimbulkan tingkat bahaya paling tinggi kepada
lingkungan laut, kesehatan manusia, sehingga diberikan larangan untuk pembuangan zat
kimia tipe ini.
Kategori Y:
NOx jika dibuang ke laut menimbulkan bahaya terhadap lingkungan laut dan kesehatan
manusia, sehingga diberikan batasan mengenai jumlah dan kualitas zat kimia ini untuk
dibuang ke laut.
Kategori Z:
NOx jika dibuang ke laut menimbulkan bahaya yang relative kecil terhadap lingkungan laut
dan kesehatan manusia, sehingga diberikan batasan yang tidak terlal ketat tentang
pembuangan zat imia ini ke laut.
Substansi lainya:
Adalah substansi diluar kategori X, Y, dan Z karena tdak menimbulkan bahaya apapun jika
dibuang ke laut.
Limbah dari Kapal. Kegiatan operasional tersebut dapat berupa pembersihan tangki-tangki
baik secara rutin maupun untuk pengedokan, pembuangan kotoran yang ada di saluran got
kapal, pembuangan air ballast , termasuk juga sampah dan limbah minyak dari mesin kapal.
Semua kapal yang beroperasi diwajibkan memiliki penampung limbah.
Berikut adalah standar manajemen air ballast disesuaikan dengan ukuran kapal dan tahun
pembuatan:
Standar manajemen air balas berdasar regulasi D-1:
Ketika proses pengisian atau pengosongan ballast, system kapal harus mampu mengisi atau
mengosongkan sedikitnya 95% dari total kapasitas tangki ballast.
Untuk kapal dengan menggunakan metode pumping-through, kemampuan pompa harus
dapat memompa menerus selama pengisian 3x volume tangki ballast.
Pengaruh Pencemaran Minyak Terhadap Ekosistem Laut
Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan
air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam
sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen
hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan,
dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan
sendirinya dapat menurunkan produksi ikan.
Akibat jangka pendek.
Molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan
keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang
dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung
minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon
dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.
Akibat jangka panjang.
Lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota laut.
Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi
dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan
dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di
dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan
tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang
kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar
laut. Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang
bermigrasi ke daerah lain.
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk
sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Lapisan minyak juga akan menghalangi
pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada
tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.
Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut,
lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat
mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga
akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut
akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai
makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus.
Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat, selain akan mematikan
organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada tumbuhan laut yang ada.
Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh
terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana
akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika
minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada
akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut.
Tumpahan minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi
dengan hutam mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.
Minyak yang mengapung terutama sekali amat berbahaya bagi kehidupan burung laut yang
suka berenang di atas permukaan air, seperti auk (sejenis burung laut yang hidup di daerah
subtropik), burung camar dan guillemot ( jenis burung laut kutub). Tubuh burung ini akan
tertutup oleh minyak, kemudian dalam usahanya membersihkan tubuh mereka dari minyak,
mereka biasanya akan menjilat bulu-bulunya, akibatnya mereka banyak minum minyak dan
akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan minyak yang menempel pada bulu
burung, maka burung akan kehilangan kemampuan untuk mengisolasi temperatur sekitar (
kehilangan daya sekat), sehingga menyebabkan hilangnya panas tubuh burung, yang jika
terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan nafsu makan dan
penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.
Peristiwa yang sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa
pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut
sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh
genangan minyak. Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula
mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung
musnah.
Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Organisme
Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan
air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam
sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen
hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan,
dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan
sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber
mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada
tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar (Fakhrudin, 2004).
Sumadhiharga (1995) dalam Misran (2002) memaparkan bahwa dampak-dampak yang
disebabkan oleh pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka
panjang.
Efek lethal (kematian)
Di perairan lepas pantai efek tumpahan minyak sebagai B3 sering disebabkan oleh
kecelakaan kapal tanker, kegiatan off-shore atau oleh rembesan alami minyak bumi dari dasar
laut (oil seep), sampai saat ini belum ada laporan tentang kegiatan industri di darat yang
melakukan pembuangan limbah jauh kearah perairan oseanik. Untuk kasus oil spill
(tumpahan minyak), di perairan terbuka, konsentrasi minyak dibawah slick biasanya sangat
rendah, dan maksimum akan berada dalam kisaran 0.1 ppm sehingga tidak menyebabkan
kematian masal organisma terutama ikan-ikan akibat tumpahan minyak di perairan lepas
pantai. Permasalahannya, kebanyakan kasus tumpahan minyak terjadi di perairan pantai
ataupun perairan dalam (inshore). Pernah dilaporkan pada kecelakaan kapal tanker Amono
Cadiz tahun 1978 di Perairan Inggris dan Perancis, populasi ikan-ikan dari jenis Pleurenectes
platessa dan Solea vulgaris dilaporkan mengalami kematian massal. Resiko kematian masal
akan lebih besar lagi bagi ikan-ikan di tambak ataupun di keramba serta jenis kerangkerangan yang kemampuan migrasi untuk menghindari spill sangat rendah (Davis et al.,
1984).
Efek sub-lethal
Berbeda dengan efek lethal yang dapat dikuantifikasi dengan mudah dilapangan, efek
sublethal akan lebih akurat jika dibuktikan di laboratorium. Uji laboratorium menunjukan
bahwa reproduksi dan tingkah laku ikan dan kerang-kerangan dipengaruhi oleh konsentrasi
minyak di air. Dengan konsentrasi yang relatif rendah (‹ 0.1 ppm), kemampuan tetas telur,
tingkat kelulusan hidup, jumlah larva cacat, penutupan cangkang (pada kerang) dipengaruhi
secara signifikan. Banyak jenis udang dan kepiting membangun sistem penciuman yang
tajam untuk mengarahkan banyak aktifitasnya, akibatnya eksposure terhadap bahan B3
menyebabkan udang dan kepiting mengalami gangguan didalam tingkah lakunya seperti
kemampuan mencari, memakan, dan kawin (GESAMP, 1993).
Efek terhadap plankton
Stadium planktonik dari telur dan larva ikan, moluska dan crustaceae memiliki kerentanan
yang tinggi dari kontak secara langsung dengan B3. Pada kasus yang ekstim seperti oil spill
yang terjadi saat perang Teluk (1991-1992), 75 % stock udang menurun. Kondisi ini akan
menjadi lebih buruk jika spillage bertepatan dengan periode memijah (spawning) dan lokasi
yang terkena dampak adalah daerah asuhan (nursery ground). Dampak terhadap stadia
planktonik dari organisma juga akan semakin tinggi ketika bersamaan waktunya dengan
peride pemijahan serta masuknya spesies yang peruraya ke daerah tertutup/semi tertutup
seperti teluk yang tercemar.
Efek terhadap ikan migrasi
Secara umum, ikan akan dapat menhindari bahan pencemar dan efek jangka panjang terhadap
populasi lokal dapat dihindari. Uniknya beberapa jenis ikan yang bersifat teritorial, ikan akan
harus kembali kedaerah asal untuk mencari makan dan berkembang biak kendatipun daerah
yang dituju adalah daerah yang terkontaminasi B3. Hal ini akan meningkatkan resiko
terhadap ikan migrasi.
Sumber :
https://serdaducemara.wordpress.com/2013/12/27/metode-penanggulangan-minyak-di-laut/
http://hubla.dephub.go.id/kebijakan/Transportasi%20Laut/pm_29_tahun_2014.pdf
c. Penanganan air ballast kapal
-ballast water exchange
-ballast water management system
Jawab :
ballast water exchange
Regulasi air balas yang diundangkan oleh IMO (International Maritime Organisation)
bertujuan untuk meminimalkan resiko masuknya spesies baru ke daerah perairan lain.
Standard D-1 (Ballast Water Exchange) yang masih berlaku sampai saat ini dilaksanakan
dengan membilas air balas sebanyak tiga kali di laut yang berjarak lebih dari 200 nautical
mile dari pantai dengan kedalaman lebih dari 200 meter.
Metode ini sangat efektif sebab organisma dari perairan pantai sepertinya tidak bisa survive
di lautan lepas atau sebaliknya, organisma dari lautan lepas tidak akan bisa bertahan di
perairan pantai.
Tetapi metoda ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu (1) sedimen dan residu dari dasar
tanki balas sangat sulit untuk dihilangkan secara keseluruhan, (2) organisma yang menempel
pada sisi-sisi tangki balas atau penyangga struktur kapal dalam tangki balas tidak bisa
dikeluarkan, dan (3) tidak bisa melakukan pembilasan jika badai atau ombak besar terjadi
selama dalam pelayaran.
Sehingga organisma yang berada di dalam tangki balas mungkin terikut dibilas pada saat
kapal mendekati pelabuhan.
ballast water management system
Teknologi Pengolahan Air Ballast
Mengingat hebatnya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh air balas, maka Konvensi
Internasional untuk Kontrol dan Managemen Air Balas yang diadakan pada tahun 2004,
mewajibkan semua kapal yang menggunakan air balas untuk menerapkan Standard D-2 atau
melengkapi dengan pengolahan air balas (water treatment) pada tahun 2016.
Teknologi pada pengolahan air balas yang disyaratkan oleh IMO harus bebas bahan aditif,
bahan kimia dan racun.
Salah satu teknologi terkini yang digunakan dalam pengolahan air balas adalah menggunakan
AOT (Advanced Oxidation Technology).
Teknologi AOT ini menggunakan Titanium Dioxide Catalyst yang akan menghasilkan
radikal ketika disinari. Radikal yang bertahan hidup hanya beberapa mili detik ini akan
berfungsi sebagai pembunuh membran sel dari mikroorganisme.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, bahwa ketika pengisian tangki balas (ballasting), air dari
laut dilewatkan filter 50 mikro meter untuk menyaring partikel-partikel besar untuk
menghindari sedimentasi dan mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Kemudian air dialirkan melalui Wallenius AOT yang memproduksi radikal yang berfungsi
membunuh mikroorganisme yang masih bisa lolos dari filter sebelumnya.
Ketika membuang air balas ke laut (deballasting), air dari tangki balas dialirkan melalui
Wallenius AOT untuk yang kedua kalinya, sehingga menetralkan air balas dari
mikroorganisme yang berbahaya.
Manajemen Pengelolaan Air Ballast
Dikeluarkannya peraturan tentang manajemen air ballast dimaksudkan untuk mengurangi
penyebaran organisme laut yang tidak terkendali. Berikut adalah standar manajemen
air ballast disesuaikan dengan ukuran kapal dan tahun pembuatan:
Standar manajemen air ballast berdasar regulasi D-1:
- Ketika proses pengisian atau pengosongan balat, sistem kapal harus mampu mengisi atau
mengosongkan sedikitnya 95% dari total kapasitas tangki ballast.
- Untuk
kapal
dengan
menggunakan
metode
pumping-through,
kemampuan
pompa harus dapat memompa terus menerus selama pengisian 3x volume tangki ballast.
Standar manajemen air ballast berdasar regulasi D-2:
- Kapal dengan sistem manajemen air ballast tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10
organisme hidup tiap meter kubik atau setara dengan ukuran lebih dari 50 mikrometer dan
tidak boleh mengeluarkan lebih dari 10 organisme hidup tiap milliliter untuk ukuran kurang
dari 50 mikrometer. Indicator discharge mikroorganisme tidak boleh melebihi konsentrasi
yang ditentukan berikut:
4.
Toxicogenic Vibrio cholera kurang dari 1 cfu ( colony forming unit ) tiap 100
mililiter atau kurang dari 1 cfu per gram zooplankton
5.
Eschericia coli kurang dari 250 cfu per 100 mililiter
6.
Intestinal entericocci kurang dari 100 cfu per 100 mililiter
- Sistem manajemen air ballast harus disetujui oleh pihak sesuai dengan regulasi IMO Ada
beberapa perlakuan untuk menangani masalah ini. Beberapa diantaranya adalah dengan
proses kimia dan proses fisika.
3.
Proses kimia: dilakukan perlakuan khusus terhadap air ballast dengan bahan kimia
seperti chlorine atau ozone untuk membunuh organisme yang terkandung di dalamnya.
4.
Proses fisika: dapat dilakukan dengan radiasi ultra violet, pemanasan, penyaringan,
dan sedimentasi.
Isi dari Manajemen pengelolaan air ballast
Aturan internasional dan peraturan yang berbeda dari seluruh port sate kontrol di
seluruh dunia
Lokasi pelabuhan yang menyedian fasilitas pembongkaran sedimen air ballast.
Tugas dan tanggung jawab dari semua kru diatas kapal terkait dengan operasional
ballast.
Prosedur dan metode yang harus dilakukan didalam pengisian air ballast.
Lokasi dari perairan dangkal yang berbeda-beda harus dijelaskan didalam
perencanaan ballast.
Hal-hal yang harus dicatat pada saat penggantian air ballast:
Tanggal dilaksanakannya pengisian air ballast.
Temperatur air ballast
Posisi lintang dan bujur kapal pada saat pengisian
Tangki yang di isi air ballast
Kadar garam
Jumlah air ballast yang diisikan kedalam tangki ballast
Semua yang dilakukan dan dicatat dalam pengoperasian ballast harus ditandatangi
oleh mualim satu
Nakhoda sebagai orang yang bertanggung jawab secara keseluruhan diatas kapal
harus juga mengetahui tentang operasional ballast
Tanggal terakhir kali dilakukannya pembersihan tangki ballast
Jika ada kejadian-kejadian yang janggal atau kecelakaan dalam proses ballast dan de-
ballasting harus diketahui oleh mualim satu dan nakhoda serta disampaikan dengan otoritas
pelabuhan.
Keuntungan dari rencana pengelolaan air ballast
Dengan bantuan dari rencana pengelolaan ballast yang tepat dan beberapa informasi
tambahan, penundaan operasional dapat dihindari yang akan membantu untuk menghemat
waktu dan uang.