MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
PENDAHULUAN
Sebagai Negara kesatuan Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang memberikan mandat kepada Presiden sebagaipenyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk mengembangkan kebijakan pelayanan yang berlaku secara nasional.Negara memberikan mandat kepada pemerintah pusat untuk mengembangkan standar pelayanan yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia.Namun karena Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang desentralistik maka pengembangan sistem pelayanan publik nasional harus memberikan ruang kepada daerah untuk mengembangkan manajemen pelayanan yang responsif sesuai dengan aspirasi dan dinamika lokal.
Berbagai aspek dari sistem pelayanan, seperti struktur kelembagaan dan peran dari masing – masing lembaga pelayanan, standar pelayanan dan problematika yang terjadi dalam pelaksanaannya, serta hak – hak warga untuk berperan serta dalam penyelenggaraan layanan. Mengawali pembahasan semua itu, bab ini terlebih dahulu mengkaji ulang konsep pelayanan publik, yang dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik gagal didefinisikan secara jelas.
KONSEP PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik cenderung menjadi konsep yang sering digunakan oleh banyak pihak, baik dari kalangan praktisi maupun ilmuwan, dengan makna yang berbeda-beda. Dalam sejarah perjalanan administrasi publik,pelayanan publik semula dipahami secara sederhana sebagai pelayanan publik semula di pahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik. Literatur terdahulu umumnya menjelaskan bahwa “whatever government does is public service”. Pendapat seperti itu dahulu dapat dimaklumi karena pemerintahan pada saat itu hanya peduli untuk menyelenggarakan pelayanan menjadi barang publik atau pelayanan yang menurut kesepakatan politik dan pertimbangan moral dinilai penting bagi kehidupan warganya.Namun ketika telah terjadi perubahan peran pemerintahan dan non-pemerintahan dalam penyelenggaraan layanan yang menjadi hajat hidup orang banyak dalam era sekarang ini maka definisi pelayanan publik seperti yang telah disebutkan di atas perlu dipikirkan kembali.
Munculnya gerakan new public management(NPM) di negara-negara maju telah menimbulkan tekanan terhadap praktik penyelenggaraan publik di Negara-negara tersebut. Keinginan untuk melakukan transpormasi praktik manajemen pelayanan publik dengan mengadopsi nilai-nilai yang selama ini berkembang di sector bisnis, seperti entrepreneursbip, kepedulian kepada pengguna, serta orientasi pada revenue-generating dan penghasilan, telah mendorong telah jadinya perubahan yang sangat berarti dalam praktik pelayanan publik (Osborne & Gaebler, 1992; Ferlie, dkk., 1996; Osborne & Plastrik, 1997; Kettl, 2000).
Untuk mengembangkan semangat dan nilai – nilai kewirausahaan, manajer disektor publik dituntut untuk merubah pola pikir dari yang semula sebagai manajer birokrasi pemerintah menjadi wirausaha.Seorang manajer birokrasi sekarang ini dituntut tidak hanya melayani warganya dengan menghabiskan anggaran pemerintah, tetapi apabila memungkinkan juga mencari sumber penerimaan dan penghasilan bagi pemerintah.Dalam situasi tertentu, manajer birokrasi pemerintah dapat melayani warganya sekaligus memberikan konstribusi terhadap sumber penerimaan bagi pemerintah melalui pelayanan yang mereka selenggarakan itu.Pelayanan publik yang dahulunya lebih banyak merupakan domain pemerintah untuk melayani warganya menjadi bergeser bukan hanya ranah pelayanan tetapi juga menjadi komoditas yang dapat dijual kepada warganya.Manajer pelayanan publik dapat melayani warganya sekaligus mencari sumber penerimaan bagi pemerintah.
Melihat adanya pergeseran peran pemerintah, korporasi, dan satuan sosial ekonomi lainnya dalam penyelenggaraan layanan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat maka mendefinisikan pelayanan publik sebagai pelayanan pemerintah menjadi tidak lagi tepat dan dapat menyesatkan.Definisi seperti itu cenderung menyederhanakan persoalan karena mengabaikan pemahaman kita tentang dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan layanan publik.
GLOBALISASI, DESENTRALISASI, DAN PELAYANAN PUBLIK
Selama beberapa dekade terakhir ini,sistem pelayanan publik di Indonesia mengalami banyak tekanan dan sekaligus tantangan baru sejalan dengan semakin menguatnya persaingan global. Globalisasi telah memaksa banyak Negara, termasuk Indonesia untukmereformasi sistem pelayanan publik yang berlaku karena globalisasi ekonomi telah memperluas lingkungan dari sistem pelayanan publik. Penyelenggaraan layanan publik di suatu Negara,atau daerah harus dapat berkompetisi dengan penyelenggaraan layanan publik dari Negara lain yang selama ini cenderung lebih efesien, efektif dan responsif. Sistem pelayanan publik yang tidak efesien di suatu Negara cenderung akan mempersulit satuan sosial ekonomi di Negara tersebut ketika mereka harus berkompetisi di pasar global.
Untuk merespon tekanan globalisasi tersebut, banyak Negara termasuk Indonesia,berusaha melaksanakan serangkaian kebijakan untuk mereformasi sistem pelayanan publik, seperti debirokratisasi,privatisasi dan desentralisasi. Debirokratisasi dilakukan untuk mengurangi rigiditas dan kelambanan yang sering melekat dalam penyelenggaraan layanan dari birokrasi pemerintah (Caiden, 1991). Struktur birokrasi pemerintah yang Weberian,hirarkis,rigid dan formalistic seringkali menjadi penghalang birokrasi pemerintah untuk dapat merespon dinamika lingkungannya dan memberikan pelayanan yang mudah diakses, murah dan efisien. Struktur birokrasi yang semacam itu sering menciptakan biaya pelayanan dan pemerintahan yang tinggi dan membuat efesiensi nasional sulit ditingkatkan.Padahal efesiensi nasional menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk dapat memenangkan persaingan global.
Perbedaan kapasitas daerah dalam penyelenggaraan layanan publik tidak dapat dihindari telah menciptakan gapdalam cakupan, volume dan kualitas pelayanan antar daerah. Kemampuan dan kepedulian daerah yang berbeda – beda membuat akses warga terhadap jenis dan kualitas pelayanan publik menjadi berbeda antar daerah. Daerah yang memiliki fisik dan kepedulian yang tinggi terhadapn pelayanan publik mampu menyelenggarakan pelayanan yang mencangkup banyak bidang pelayanan dengan kualitas yang tinggi, sementara daerah yang miskin dan kurang peduli terhadap pelayanan publikcenderung mengabaikan kebutuhan dari warganya.Fenomena seperti ini mengimplikasikan tentang perlunya pemerintah untuk membuat standard layanan minimum (SLM) bagi semua pelayanan publik yang penting dan strategis bagi kehidupan warganya. SPM menjamin warga di manapun mereka berada untuk memperoleh akses terhadap pelayanan publik dengan volume dan kualitas yang sama.
Desentralisasi juga telah mendorong kecenderungan daerah untuk melakukan lokalisasi pelayanan publik, dengan berusaha membatasi akses lokalisasi pelayanan publik marak terjadi di banyak daerah terutama dalam penyelengaraan layanan pendidikan dan kesehatan.dalam penyelenggaraan layanan pendidikan, beberapa daerah menerapkan sistem kuota atau pembatasan jumlah khusus untuk siswa dari luar daerah.Dengan adanya system kuota tersebut, siswa dari luar daerah walaupun memiliki kemampuan yang tinggi dan secara akademik sebenarnya lebih layak diterima seringkali gagal untuk diterima di sekolah-sekolah di luar daerah domisilinya, yang biasanya merupakan sekolah bermutu didaerah perkotaan. Pada sisi lain, pihak sekolah sendiri juga tidak dapat sepenuhnya menerima siswa berdasarkan prestasi akademiknya sehingga kualitas pendidikan sekolah juga menjadi kurang optimal.
Konflik antar daerah dan antar warga dari daerah yang berbeda juga semakin banyak terjadi sebagai akibat dari desentralisasi urusan pemerintahan.Konflik dalam pengelolaan sampah, sumberdaya air, areal tambang dan lingkungan seringkali melibatkan antar daerah dan antar warga mendorong terjadinya lokalisasi dalam pengelolaan berbagai masaalah dan kebutuhan pelayanan publik tersebut.
NKRI DAN SISTEM PELAYANAN PUBLIK
Dalam mengembangkan sistem pelayanan publik, isu tentang kebijakan dan standard pelayanan terjadi sangat penting. Dalam kontek Indonesia yang memiliki keragaman yang tinggi antar daerah,isu tentang kebijakan nasional pelayanan publik menjadisangat penting untuk didiskusikan. Keragaman antar daerah, termasuk kemajuan pembangunan sosial ekonomi antar daerah yang berbeda- beda, sering mempengaruhi kebutuhan pelayanan publik yang berbeda-beda, baik dalam jenis ataupun kualitasnya. Dalam situasi seperti ini pemberlakuan kebijakan nasional tentang pelayanan publik dapat menimbulkan permasaalahan tersendiri, karena kebijakan nasional tersebut mungkin tidak merespon dinamika antar daerah.Namun menyerahkan penyelenggaraan pelayanan publik sepenuhnya menjadi diskresi daerah juga memiliki resiko, terkait dengan kemungkinan terjadinya kegagalan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan yang berkaulitas.
Sebagai Negara kesatuan tentu pembuatan kebijakan dan standar nasional penyelenggaraan pelayanan publik merupakan hal yang wajar dan perlu dilakukan.Walaupun pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi dengan mengalihkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada daerah, termasuk dalam penyelenggaraan berbagai layanan publik, bukan berarti pemerintah pusat kehilangan otoritas untuk membuat kebijakan dan standar pelayanan yang berlaku secara nasional. Dalam Negara kesatuan,pemerintah biasanya mengembangkan sistem pelayanan publik yang berlaku nasional. Pemerintah membuat standar nasional pelayanan yang mengatur bagaimana daerah harus mengelola penyelenggaraan layanan publik. Standar yang meliputi standar tentang input, proses dan output pelayanan dapat dibuat oleh pemerintah pusat untuk dijadikan sebagai pedoman bagi daerah dalam mengelola pelayanan publik.
STANDAR PELAYANAN
Penetapan standar pelayanan menjadi isu yang sangat penting dalam pengembangan sistem pelayanan publik di Negara kesatuan. Standar pelayanan dapat mengatur aspek input, proses, dan output pelayanan. Input dari pelayanan pendidikan itu diantaranya dapat diketahui dari sejumlah ukuran. Kondisi dari berbagai aspek yang merupakan bagian dari input pelayanan tersebut tentu mempengaruhi kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang ada diberbagai daerah. Karena kondisi dari input pelayanan antar daerah sangat bervariasi menjadikan kualitas pelayanan antar daerah di Indonesia sangat beragam bahkan cenderung menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup mencolok. Ketimpangan standar input ini tentu akan menghasilkan ketimpangan kualitas pelayanan pendidikan. Akibatnya pada contoh kasus pendidikan, ketika pemerintah menetapkan nilai ujian nasional sebagai standar output sekolah maka sekolah dan siswa yang berada di daerah terbelakang menjadi dirugikan karena mereka merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah. Standar proses pelayanan juga penting diatur. Namun pengaturannya harus dilakukan secara hati-hati agar standar proses pelayanan tidak mencegah atau membatasi kreativitas lokal dalam menyelenggarakan layanan publik. Proses penyelenggaraan layanan harus memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (Dwiyanto, dkk., 2006). Standar proses perlu dirumuskan untuk menjamin pelayanan publik didaerah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan layanan yang transparan, non-partisan, efisien, dan akuntabel. Standar transparasi, misalnya, mengatur kewajiban penyelenggaraan layanan untuk menyediakan informasi dan menjelaskan kepada warga pengguna layanan mengenai persyaratan, prosedur, biaya, dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan. Termasuk yang harus ada dalam standar transparasi adalah keharusan bagi penyelenggara untuk memberitahukan hak-hak warga pengguna untuk mengadu dan memprotes ketika mereka merasa diperlukan secara tidak wajar oleh penyelenggara layanan.
Standar transparasi juga harus mengatur pemberian informasi tentang biaya dan waktu yang diperlukan bagi warga pengguna untuk mendapatkan pelayanan publik. Standar waktu dan biaya sangat penting karena ketidakpastian waktu dan biaya sangat mempengaruhi perilaku warga dalam mengakses layanan. Ketidakpatian waktu dan biaya membuat pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian12 dan membuat waga tidak lagi sanggup berhubungan secara langsung dengan birokrasinya. Indikasinya yaitu angka pengguna perantara atau biro jasa masih sangat besar di Indonesia, berkisar antara 40-80 persen tergantung jenis pelayanannya. Pelayanan tertentu seperti layanan sertifikasi tanah dan SIM memiliki angka pengguna biro jasa yang sangat tinggi (Data Primer GDS tahun 2004, diakses melalui www.gds-indonesia .org). hasil dari survei yang sama yang diselenggarakan pada dua tahun berikutnya menunjukkan penggunaan perantara masih cukup tingginya meskipun angkanya lebih kecil dibandingkan hasil survei sebelumnya, yaitu lebih dar 30 persen (Data Primer GDS tahun 2006, diakses melalui www.gds-indonesia.org).
Standar output pelayanan tentu sangat penting untuk diatur karena standar tersebut menjamin hak warga dan penduduk indonesia dimanapun mereka berada untuk memperoleh kualitas dan kuantitas pelayanan tertentu. Dalam pendidikan, standar output yang paling biasa digunakan adalah standar kelulusan siswa yang sementra ini diukur dari nilai murni ujian akhir nasional. Standar output lainnya dalam bidang pendidikan yang semestinya dapat dipertimbangkan adalam kemampuan siswa dalam menguasai bahasa asing atau penguasaan keterampilan tertntu khususnya untuk siswa SMK. Dalam bidang kesehatan, standar output yang perlu dirumuskan seperti presentase jumlah kelahiran yang ditanggani melalui pertolongan medis, presentase jumlah balita yang terlayani imunisasi, presentase jumlah pasien yang dapat disembuhkan oleh puskesmas dan rumah sakit pada kasus terjadinya wabah penyakit, presentase jumlah pasien atau keluarga pasien yang puas dengan layanan dari puskesmas dan rumah sakit, dan lain sebaginya. Standar output harus menjadi benchmark bagi setiap penyelenggara layanan untuk menilai apakah mereka sudah dapat memenui standar yang telah ditentukan ataukah belum. Pemerinta dapat menggunakan jarak yang terjadi antara standar output pelayanan dengan kualitas dan kuantitas pelayanan untuk peningkatan kapasitas penyelenggaraan layanan agar mereka dapat memenuhi standar minimal yang telah ditentukan. Dalam Negara kesatuan yang memiliki variabilitas agar daerah yang sangat tinggi, penentuan standar output harus dilakukan secara hati-hati a hati-hati agar standar tersebut dapat diterap secara nasional. Penentuan standar harus memperhatikan tujuan dan nilai yang inggin diwujudkan dalam penyelenggaraan layanan sekaligus kapasitas daerah untuk mewujudkannya.
MASALAH DALAM PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN
Selama ini banyak standar yang telah dibuat oleh pemerintah tetapi manfaatnya terhadap perbaikan praktik dan layanan dan juga kesejahtraan war tidak jelas, bahkan tidak ada sama sekali15. Sejauh ini pemerintah telah menetapkan 13 SPM untuk berbagi bidang pelayanan, yaitu: perumahan rakyat, pemerintahan dalam negeri, sosial, kesehatan, pemberdayaan perempuan dan anak, lingkungan hidup, keluarga berencana dan sejahtera, ketenagakerjaan, pendidikan, pekerjaan umum, ketahanan pangan, kesenian, dan komunikasi dan informasi. Pertanyaannya adalah apakah penetapan SPM dalam berbagai bidang tersebut mampu mendorong pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan seperti yang diatur dalam SPM tersebut? Meskipun pemerintah telah berupaya mendorong derah untuk mulai pelaksanaan SPM, sejauh ini pelaksanaan SPM belum mampu mengubah praktik penyelenggaraan layanan diberbagai bidang tersebut. Pengembangan standar pelayanan tidak akan banyak memberikan manfaat jika tidak diikuti dengan pengaturan mekanisme pelaksanaan yang jelas, termasuk strategi pembedayaan, monitoring dan evaluasi, dan penegakan aturan tentang standar pelayanan itu sendiri. Selain itu, terdapat beberapa penyebab substantiif mengpa pemberlakuan SPM tidak mampu mendorong perubahan praktik penyelenggaraan layanan publik. Pertama, SPM gagal menjadikan dirinya sebagai alat dan senjata bagi warga untuk memahami hak-haknya yang secara minimal harus dipenuhi oleh warga Negara agar mereka dapat hidup secara layk dan bermatabat. SPM seharnya diruuskan sedemikian rupa untuk menjamin hak-hak minimal warga dalam bidang pelayanan tertentu yang harus dipenuhi oleh Negara. Namun SPM yang dibuat oleh pemerintah sekarang ini kecenderungannya dirumuskan sebagai target pencapaian agregat yang harus diperoleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan layanan tertentu. Presentase pencapaian cangkupan pelayanan yang dirumuskan dalam SPM memberikan peluang kepada penyelengara layanan untuk menghindar dari tuntutan warga yang merasa hak-haknya belum terpenuhi, kecuali target pencapaiannya sebesar 100 pesen 16 . cara perumusan target pencapaian seperti ini amat sulit untuk diukur karena keterbatasan data yang dimiliki oleh pemerintahan dan daerah. Monitoring dan evaluasi terhadap daerah dalam pencapaian target membutuhkan beaya yang sangat besar dan tidak fisibel untuk dilakukan. Cara merumuskan SPM yang berbasis pada target pencapaian yang seperti itu harus diubah menjadi berbasis pemenuhan hak-hak minimal warga. Pemberian penghargaan ataupun sanksi kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan SPM yang saat ini didasarkan pada pencapaian standar dalam batas waktu yang ditetapkan harus diganti dengan mendasarkannya pada kemampuan daerah memenuhi hak-hak minimal warga tentang jenis dan mutu pelayanan. Dengan cara tersebut warga yang tidak terpenuhi hak-hak minimalnya dapat dengan mudah melapor dan mengadu kepada pemerintah sehingga monitoring dan evaluasi menjadi lebih mudah dan murah.
Kedua, target pencapaian yang dirumuskan dalam berbagai SPM tersebut umumnya dinilai terlalu tinggi oleh para pengaku kepentingan didaerah. Para pelaku didaerah sering kali mengeluh tentang cakupan jenis pelayanan yang ada dalam SPM yang menurut mereka terlalu banyak. Mereka juga mengeluh kan tentang standar mutu yang juga terlalu tinggi, melebihi kapasitas daerah untuk mewujudkannya. Variabilitas kapasitas daerah yang amat tinggi membuat target cakupan jenis dan mutu pelayanan sulit dicapai oleh daerah dengan kapasitas rendah. Akibatnya, banyak pejabat daerah utamanya diluar jawa seperti dikawasan daerah bagian timur yang mengeluh tentang kesulitan mereka untuk memenuhi target pencapaian indicator SPM.
Ketiga, kesulitan dalam pemenuhan target pencapaian SPM juga muncul dari tidak adanya hubungan antara standar pelayanan dengan biaya dan anggaran pelayanan. Mekanisme pembuatan SPM yang terpisah dari proses dan kebijakan anggaran membuat lembaga pelayanan layanan mengalai kesulitan untuk memenuhi standar pelayanan yang telah dibuat oleh pemerintah17. Sejauh ini pemerintah tidak pernah tertarikuntuk menentukan standar biaya pelayanan. Pemerintah pusat (Kementerian dan lembaga non-kementerian) hanya membuat pedoman analisis biaya dan pedoman kebutuhan SDM dalam perencanaan penganggaran ditingkat kabupaten dan kota. Akibatnya, informasi tentang standar biaya layanan tidak pernah tersedia sehingga alokasi anggaran untuk penyelenggaraan layanan tidak pernah didasarkan atas standar biaya yang jelas. Tidak adanya informasi tentang standar biaya ini memberikan peluang bagi pemerintah menghindari kewajibannya untuk mengalokasikan anggaran yang cukup untuk mendukung penyelenggaraan layanan sntandar dengan kualitas dan kuantitas yang dirumuskan dalam SPM. Selain anggara, pengalokasian sumber daya lainnya seperti SDM dan teknoligi pendukung pusat dan pemerintah kabupaten/kota selama ini juga tidak dilakukan dalam rangka mendukung pembunuhan SPM. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh lewis untuk mengatasi kendala dalam pembiayaan pelaksanaan SPM adalah dengan menigkatkan evensiensi daerah dalam penyelenggaran layanan. Denggan menggunakan kasus dalam pelayanan pendidikan dasar, lewis menilai bahwa tingkat evensiensi daerah hanya sekitar 65 persen. Artinya, terbuka peluang bagi daerah untuk mengikatkan evensiensi dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Hasil dari optimalisasi evisiensi ini akan dapat digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan SPM.
Keempat, kesulitan pelaksanaan SPM juga muncul tidak adanya strategi implementasi yang jelas dalam pelaksanaan SPM. Kementrian sektoral umumnya merasa tugasnya telah selesai ketika SPM sudah berhasil diserahkan dan kemudian menyeahkan pelaksanaan SPM sepenuhnya kepada daerah. seolah-olah pelaksanaan SPM menjadi tanggung jawab sepenuhnya daerah. penigkatan kapasitas daerah dan kemampuan aparat, serta pembinaan dan pengawasan kepada daerah dalam pelaksanaan SPM belum dilakukan secara optimal. Bahkan, pemerintah sejauh ini belum memiliki peta jalan (Road Map) pencapaian SPM sesuai dengan target waktu yang telah ditentukanuntuk masing-masing dari 13 SPM yang telah diterbitkan oleh pemerintah. Masing-masing dari 13 kementrian yang menggeluarkan SPM belum memiliki pedoman yang jelas yang dapat digunakan daerah untuk menentukan prioritas target pencapaian ketika kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya untuk melaksanakan SPM terbatas.
Kelima, strategi pelaksanan SPM selama ini kurang memperhatikan peran dari pihak luar pemerintah. Strategi pelaksanan belum menyentuh sama sekali peran dari in stitusi diluar pemerintah. Pembagian kerja yang jelas antar Negara, pelaku usaha, warga, dan pemangku, kepentingan lain nya dalam pelayanan dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanan peran dari masing-masing pihak dalam penyelanggaraan publik belum terdefinisi dengan jelas. Walaupun secara konstitusi nasional Negara berkwajiban memenuhi kebutuhan minimal warga untuk dapat hidup sejahtera dan mertabat, realitasnya masih menunjukkan bahwa Negara dan pemerintah memiliki kapasitas yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan minimal warga dan penduduk agar dapat hidup secara layak dan mertabat. Karena itu pembagian peran dan beban antara pemerintah, warga, dan pengaku kepentingan lainnya harus dilakukan. Tanpa disertai adanya pembagian peran yang jelas antar para pihak yang berkepentingan maka SPM menjadi tidak ada artinya.
KESIMPULAN
Pemberlakuan UU no 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik memberikan harapan baru bagi para pihak untuk mewujudkan sistem pelayanan publik yang efesien, transparan, dan pratisipatif. UU tersebut telah menjadi basis legal yang memadai bagi penyelenggaraan layanan publik untuk lebih responsife terhadap keragaman dan dinamika kebutuhan masyarakat didaerah. Berbagai aspek dari sistem pelayanan publik, seperti kelembagaan, standar, mekanisme dan pengaduan, hak-hak warga, serta peran Ombudsman telah secara jelas diatur dalam UU tersebut. Tentu pengaturan saja belum cukup untuk mewujudkan sistem pelayanan efesien, efektif, transparan, dan partisipatif namun setidaknya UU telah mampu meletakkan pondasi yang diperlukan bagi upaya pembangunan sistem pelayan publik diindionesia. Dalam kontek NKRI yang desentralistik, sistem pelayanan publik yang dikembangkan harus relefan dengan sistem pemerintahan yang disentralistik. Dalam kontek ini, sistem pelayanan yang dikembangkan tidak hanya harus dapat menjamin adanya ruang bagi daerah untuk mengembangkan kreatifitas dalam management pelayanan, mamun juga harus menjamin kepastian bagi warganya untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas pelayanan minimal.
Struktur kelembagaan pelayanan publik harus mencerminkan struktur pemerintah yang destranalistik, yang memiliki susunan ganda, dengan titik berat otonomi pada kabupaten/kota. Sejak kebijakan desntralisasi dilaksanakan satu dekade lalu, sebagian besar urusan pemerintahan telah dilimpahka kepada daerah (privinsi dan kabupaten). Walaupun titik berat otonomi daerah berada pada kabupaten/kota tetapi hal itu tidak berarti, bahwa keberadaan dan peran profesi dalam penyelenggaraan layanan dapat dinegeasikan. Karena itu, sistem pelayanan publik harus mengatur dengan jelas peran dari setiap tingkatan dan susunan pemerintah dalam management pelayanan publik.
Sistem pelayanan harus megantur hak-hak warga bukan hanya sebagai penguna layanan (CUSTOMER) tetapi juga hak-hak mereka sebagai warga Negara (Cityzen) yang memiliki kedaulatan atas kelayanan yang dibutuhkan untuk dapat hidup secara layak dan mertabat. Karena itu selayaknya mereka tidak hanya dilibatkan dalam perumusan standar lainnya terhadap layanan yang diterimanya. Mereka harus memiliki hak untuk mengadu jika mereka merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diterimanya. Sistem pelayanan publik harus mengartur hak-hak tersebut dan menggembangkan institusi dan mekanisme yang memungkinkan tersebut merespon pengaduan secara responsive, wajar,dan akuntebel. Keberadaan Ombudsman dan sisem pelayanan publik menjadi sangat krusial untuk menjamin agar sistem tersebut responsive dinamika dan keragaman kebutuhan warga namun, ombudsman tidak akan dapat bekerja secara efektif jika kendala warga untuk mengekspresikan kepedulian masalahnya terhadap penyelenggaraan publik tidak dapat ketika kebebasan dan ruang bagi warga untuk mengekspresikan aspirasi dan kebutuhannya tidak tersedia serta mekanisme untuk menyampaikan pengaduan tidak mudah diikuti maka keberadaan mekanisme pengaduan dan ombudsman tidak akan banyak bermanfaat dalam mendorong sistem pelayanan untuk menjadi lebih responsive dan akuntebel pada warganya.
PENULIS :
AGUS DWIYANTO (2015)
Diterbitkan oleh :
Gadjah Mada University Pres Anggota IKAPI
ISBN :
979-420-775-6
1505080-C2E
DAFTAR PUSTAKA
Agung, G.P. (2006) Peralihan Sistem Birokrasi dan Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Bank Dunia (2006) Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Jakarta : The Workl Bank Office Jakarta.
Bappenas (2009). Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan, Strategi dan Operasi) Laporan Hasil Kajian Tahun 2009.