HAKIKAT SAINS
Dari Pengetahuan Khusus, Aktivitas Ilmiah, Hingga Disiplin Ilmu
Oleh: Muhammad Abdul Malik Al Furqon, S.Pd.I1
I.
Pendahuluan
Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu untuk menghadapi
zaman yang penuh dengan persaingan ini. Karena dengan sains, seseorang bisa
dihormati dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi
salah satu indikator kemajuan suatu bangsa, karena pada dasarnya semua bidang
kehidupan memerlukan sains. Oleh karenanya, dapat dipastikan apabila suatu bangsa
tertinggal dari peradaban yang ada, pastilah faktor utamanya karena mereka tidak
mengikuti arus perkembangan sains yang begitu pesat.
Pada makalah ini, penulis akan mengkaji dan menjelaskan dari beberapa
referensi yang ada mengenai hakikat sains. Penulis berkesimpulan bahwa hakikat sains
tidak hanya dapat dilihat dari satu perspektif saja. Melainkan sains itu mencakup
pengetahuan ilmiah, aktivitas ilmiah dan disiplin ilmu. Pada akhirnya, penulis
berharap semoga tulisan yang sederhana ini dapat menambah khazanah keilmuan bagi
pembaca, serta menjadi amal shalih bagi kami di sisi Allah SWT.
I.
Pengertian Sains
Sains memiliki tinjauan makna yang bersifat umum sekaligus khusus. Sains
dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ilmu atau ilmu pengetahuan.2 Selain itu,
sains dapat pula bermakna khusus sebagai ilmu pengetahuan alam, yaitu pengetahuan
alam yang sistematik mengenai botani, zoologi, kimia, geologi, dan lainnya. 3 Kata
sains, diadaptasi dari bahasa Inggris “science” yang sebenarnya juga berasal dari
bahasa latin “scientia”,4 yaitu pengetahuan mengenai struktur dan tingkah laku dari
alam dan dunia yang fisik, berdasarkan fakta yang dapat dibuktikan seperti dengan
percobaan.5 Seorang pakar fisika asal Jerman, Einstein (w.1940 M) mengatakan,
1
Mahasiswa Semester II Pasca Sarjana UNIDA Gontor, Program Studi Akidah Filsafat Islam
Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hal.420
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
hal.1244
4
Fritjof Capra, Sains Leonardo, diterjemahkan oleh Ismanto, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal.209
5
Yaitu bermakna “knowledge about the structure and behaviour of the natural and physical world,
based on facts that you can prove, for example by experiments” dalam Albert Sidney Hornby, Oxford advanced
2
1
“Science is the attempt to make the chaotic diversity of our sense ecperience
correspond to a logically uniform system of thought.”6 Berdasarkan penjelasan ini,
makna science pada berbagai kamus lebih banyak bersifat konseptual yang mengacu
seperti hal di atas.
Namun, ketika sains atau science diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia
bermakna ‘ilm atau ilmu yang disetarakan dengan knowledge.7 Sedangkan secara
konseptual, ‘ilm dalam bahasa Arab berarti pengetahuan (idrak) mengenai sesuatu
sesuai dengan hakikatnya (kebenarannya) yang meyakinkan.8 Ilmu juga bermakna
pengetahuan terhadap sesuatu secara komprehensif dan sistematis, bukan hanya
pengetahuan yang parsial atau sebagian.9
Pengertian sains sebagai pengetahuan atau sebagai bagian dari pengetahuan ini
tampaknya merupakan pengertian paling dasar. Sehingga, ciri-ciri dasar dari apa yang
disebut pengetahuan melekat pada sains. Meski begitu, ia mempunyai ciri-ciri khusus
yang berbeda dengan pengetahuan jenis lain.10 Selain itu, pengertian sains sering
dikaitkan dengan ruang lingkup atau isu yang juga menjadi ciri khasnya, yaitu sebagai
pengetahuan ilmiah, aktivitas ilmiah, dan sebagai disiplin ilmu atau pengetahuan yang
sudah sistematis.
II.
Pembahasan
A. Sains Sebagai Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dari penyimpulan yang
masuk akal serta sesuai dengan informasi dan pengalaman, sehingga proses dan
bahan-bahannya dapat dipertanggungjawabkan. Pada yang demikian ini, secara
otomatis ia akan berpengaruh pada prilaku, karena hakikatnya apa yang diperbuat
seseorang itu selalu berdasarkan dengan apa yang telah ia tangkap dan pikirkan.
Sesuatu yang telah sampai pada tingkat pengetahuan, tidaklah sama dengan informasi
Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press: 2015) cet. 9, hal.1384 demikian juga
bermakna “(1) [uncountable] (knowledge from) the systematic study od the structure and behavior of the
physical world, especially by watching, measuring, and doing experiments, and the development of the theories
to describe the results of these activities; (2) [countable] a particular subject that is studied using scientific
methods; (3) the study of science. Lihat: Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hal.1274
6
Albert Einstein adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan
terbesar dalam abad ke-20. Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk
penjelasannya tentang efek fotolistrik dan “pengabdiannya bagi Fisika Teoretis”.
7
Yaitu ‘ilm berarti science, knowledge, information, perception, dan cognition. Lihat: Rohi Baalbaki,
al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary, (Beirut: Daar al-‘Ilm al-Malayin, 1995), hal.775
8
Louis Ma’luf, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 2002), hal. 527
9
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadiy, al-Qamus al-Muhith: tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi
Muassasah ar-Risalah, (Beirut: al-Muassasah ar-Risalah, 2005), hal. 624
10
Menurut Jujun S. Suriasumantri, knowledge merupakan terminology generic, dan science adalah
anggota (species) dari kelompok (genus) tersebut. Lihat: Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hal. 294
2
atau pengalaman. Dan tentu pula sangat berbeda dengan apa yang disebut keimanan.
Keimanan adalah tingkatan dimana hati seseorang telah merasakan keyakinan,
sehingga tidak ada ruang bagi akal dan indrawi untuk mengujinya. Dengan demikian,
seorang yang bijak akan dapat mengukur dirinya, pada taraf mana sesuatu itu telah ia
peroleh, karena setiap satu tingkatan dengan lainnya memiliki sekat yang nyata dan
semu.
Dalam sejarah filsafat, ada dua aliran yang sangat signifikan dan relevan dalam
membicarakan apa itu kebenaran pengetahuan dan bagaimana pengetahuan tentang
kebenaran itu bersumber. Dua aliran tersebut adalah rasionalisme dan empirisisme
yang berusaha, bahkan dengan ekstrim, mempertahankan argumentasinya masingmasing. Namun dengan kekuatan dialektis, filsafat mampu membuat sintesis atau titik
temu antara keduanya, yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masingmasing pihak memiliki andil yang sangat penting dalam membangun ilmu
pengetahuan dewasa ini, lebih spesifik dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Aliran Rasionalisme11
Pengagungan manusia yang dari kodratnya sebagai hayawan nathiq (makhluk
yang berakal budi) dan memiliki kemampuan berpikir menentukan segala sesuatu di
dunia ini (homo mensura), menjadi dasar dan basis rujukan dari pemikir-pemikir
rasionalis. Menurut aliran rasionalisme, yang menjadi sumber satu-satunya
pengetahuan adalah akal budi manusia.12 Pandangan ini didukung oleh tokoh klasik,
bernama Plato (427-347 SM) yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kumpulan
ingatan manusia yang dapat mengetahui dan menyelidiki sesuatu untuk mencapai
pengetahuan sejati. Untuk mencapai pengetahuan sejati, manusia mengandalkan akal
budinya, yang Plato sebut sebagai Ide Abadi yang ada dalam dunia ide-ide.13
Sementara Rene Descates (1596-1650) mengatakan bahwa untuk dapat mencapai
pengetahuan yang benar dan sejati tentang realitas, manusia harus mengandalkan akal
budi. Dan kegiatan untuk menangkap realitas dengan mengandalkan akal budi ini,
disebut proses berpikir.14
11
Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai sumber utama
pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran pengetahuan manusia. Lihat:
Donny Gahrial Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Teraju, 2002, Cet.I), hal.43
12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal.102
13
T.Z. Lavine, Petualang Filsafat: Dari Socrates Ke Satre, Diterjemahkan oleh Andi Iswanto dan
Deddy Adrian Utama, (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal 6-14
14
Aliran ini dipelopori oleh Rene Descartes, kemudian dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir
Barat, diantaranya Spionoza, Leibniz dan Christian Wolf. Lihat: Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik
Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal.94
3
Menurut Descartes, ketika manusia berpikir, maka manusia itu ada. “Saya
berpikir, maka saya ada” (Cogito ergo sum). Kegiatan berpikir untuk menegaskan
keberadaan manusia adalah kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan, yang menjadi
landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia. Karena itu, kegiatan berpikir
dengan mengandalkan akal budi adalah unsur yang paling kokoh dan pokok dari
pengetahuan manusia. Segala sesuatu yang dapat diterima akal budi dalam proses
berpikir menjadi pengetahuan yang paling benar dan paling sejati.15 Pengetahuan
berdasarkan versi rasionalisme adalah pengetahuan yang sifatnya ada begitu saja
secara pasti dalam akal budi manusia (apriori), tanpa ada proses awal dalam
memunculkan pengetahuan tersebut.16
Aliran Empirisisme17
Menurut pandangan empirisisme, pengetahuan manusia harus didasarkan pada
bukti yang meyakinkan. Menurut aliran ini, bukti bahwa pengetahuan itu benar dan
sejati serta pasti adalah pengetahuan ini dapati dinderai dan memiliki bukti
pengalaman empiris. Bukti pengalaman empiris yang dimaksud adalah pengalaman
yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca idera. Oleh karena itu, pengalaman,
percobaan, pengamatan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta
dan data, menjadi titik tolak dari pengetahuan manusia karena didasarkan pada
pengalaman indrawi.18 Secara ekstrim aliran melihat panca indera berperanan penting
dalam membentuk pengetahuan dibandingkan dengan akal budi. Ada beberapa alasan,
yakni: Pertama, semua pernyataan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman
atau yang disimpulkan dari pengalaman. Kedua, konsep atau ide tidak bisa terbentuk
tanpa didasarkan pada pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi kalau
punya acuan ke realitas atau pengalaman. Dengan ini, aliran empirisisme mau
menegaskan bahwa pengetahuan adalah suatu yang harus tampak pada kita melalui
indera. Sebuah konsep atau proposisi tentang sesuatu tidak bisa terbentuk tanpa
sesuatu diinderai lebih dahulu (aposteriori).19
15
Menurut kaum Rasionalisme, sumber pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan)
yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan tersebut menurut Descartes terbagi atas tiga kategori, yaitu;
Pertama, Cogitans atau pemikiran, bahwa secara fitrah manusia membawa ide bawaan yang sadar bahwa dirinya
adalah makhluk yang berpikir. Kedua, Allah atau deus, manusia secara fitroh memiliki ide tentang wujud yang
sempurna, dan wujud yang sempurna itu tak lain adalah Tuhan. Ketiga, Extensia atau keluasaan, yaitu ide
bawaan manusia, materi yang memiliki keluasaan dalam ruang. Lihat: Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu...,
hal.95
16
Steven Burgess, “Nietzsche and Heidegger on the Cartesian Atomism of Thought” Dissertation,
(USA: University of South Florida, 2013), hal.66
17
Empirisisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu empeirikos artinya pengalaman. Lihat: Lihat:
Mohammad Muslih, Falsafah Sains, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), hal.207
18
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal.33
19
Aposteriori, secara bahasa diartikan setelah diketahui (dilihat, diselidiki, dan sebagainya) keadaan
yang sebenarnya. secara epistemologi, dikembangkan oleh filusuf Immanuel Kant yang menggambarkan “bahanbahan” hasil cerapan inderawi yang mesti dibangun oleh akal aktif (apriori).
4
Dua tokoh penting dari aliran ini adalah John Locke dan David Hume. 20 Dalam
bukunya An Essay Concerning Human Understanding, John Locke (1632-1704)
mengatakan bahwa manusia dilahrkan ke dunia ini seperti kertas putih kosong (tabula
rasa), karenanya ide atau konsep belum ada dalam diri manusia, pengetahuan baru ada
ketika manusia memiliki pengalaman.21 Manusia baru menegaskan keberadaan
pengetahuan ketika berpengalaman atau mendayagunakan berbagai kemampuan
inderawinya. Secara radikal mereka mengklaim: Saya merasa (berpengalaman), maka
saya ada! (Sensio, Ergo Sum). Dengan ini John Locke kembali menegaskan bahwa
sumber pengetahuan adalah pengalaman manusia. Sementara David Hume (17111776)
dalam
bukunya
yang
berjudul An
Enquiry
Concerning
Human
Understanding (1748) menegaskan bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan
manusia melalui dua proses dalam diri manusia.22 Proses pertama adalah kesan
(impresi), yaitu pencerapan langsung panca indera terhadap realitas, dan proses kedua
adalah proses tidak langsung dimana kesan tersebut diolah lagi dalam diri manusia.
Tetapi menurut Hume, sumber pertama dan utama tetap ada pada pengalaman atau
realitas.
Ada beberapa implikasi penting dari pemikiran aliran empirisisme ini.
Pertama, Kebenaran yang pasti adalah kebenaran yang bersumber pada pengalaman
dan karena itu tidak dapat diragukan lagi (indubitable). Kedua, yang menjadi metode
dalam aliran ini adalah metode induktif, yakni metode yang mengambil kesimpulan
dari hal-hal yang khusus menuju hal yang umum. Ketiga, karena itu, pengetahuan
dengan sendirinya bersifat aposteriori, yakni pengalaman mendahului segala sesuatu
atau sudah sebelum yang lainnya dalam membentuk pengetahuan manusia. Keempat,
valid tidaknya pengetahuan manusia, tergantung pada kesesuaiannya atau pembuktian
secara langsung lewat pengalaman, fakta, dan data.
Apriori adalah potensi akali manusia yang aktif mengkonstruk pengetahuan, sehingga pengetahuan
menjadi proses sintesa antara apriori yang aktif dengan aposteriori yang berposisi sebagai bahan (matter). Lihat:
Mohammad Muslih, Falsafah..., hal.207
20
Aliran Empirisisme disandarkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat, diantaranya: Francis Bacon,
thomas Hobbes, David Hume dan John Locke. Adapun yang paling populer adalah dua tokoh terakhir tersebut.
Lihat: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal.24
21
T.Z. Lavine, Petualang Filsafat: Dari Socrates Ke Satre, Diterjemahkan oleh Andi Iswanto dan
Deddy Adrian Utama, (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal.132
22
Ibid, hal.123-125
5
Titik Temu Pemikiran Rasionalisme dan Empirisisme
Bila aliran Rasionalisme membuat kesimpulan bahwa pengetahuan manusia
termanifestasi dalam bentuk apriori, maka aliran Empirisisme membuat kesimpulan
bahwa pengetahuan manusia termanifestasi dalam bentuk aposteriori.23 Tidak
dipungkiri, bahwa pada kedua aliran ini akhirnya ditemukan sebuah kebuntuan untuk
mencapai pengetahuan. Rasionalisme gagal membangun transendensi Tuhan atas
alam. Di lain pihak, Empirisisme pun gagal membuktikan eksistensi alam yang
diyakini sebagai yang berbeda dari pikiran. Empirisisme justru kehilangan jati dirinya
dalam skeptisisme. Hakikatnya, kegagalan Rasionalisme dan Empirisisme adalah
konsekuensi logis dari fenomenalisme yang sebenarnya adalah pondasi dari
Rasionalisme dan Empirisisme itu sendiri, terutama ajaran bahwa manusia tidak bisa
mengetahui benda-benda (things) atau realitas; bahwa yang diketahui manusia
hanyalah penampakan (appearance) dimana benda-benda atau kenyataan dihasilkan
atau diproduksi dalam pikiran manusia.
Kebuntuan kelompok Rasionalisme dan Empirisisme akhirnya memunculkan
sebuah kesadaran bahwa pengetahuan atau ilmu pengetahuan bukan soal yakin atau
tidak yakin dan bukan soal paham atau tidak paham, tapi soal meyakinkan atau tidak,
dan memahamkan atau tidak, tentu pada orang-orang yang waras akalnya. Oleh
karena, diperlukan bukti-bukti yang empiris dan penjelasan-penjelasan yang rasional.
Ketika terjadi pertarungan filsafat antara Rasionalisme dan Empirisisme
mengenai dasar pengetahuan manusia. Immanuel Kant, seorang filusuf Jerman
kemudian mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan tajam antara kedua
aliran tersebut.24 Pada mulanya Kant mengikuti aliran Rasionalisme, kemudian
menurut pengakuannya sendiri ia kemudian terjaga dari mimpi rasionalismenya
setelah membaca buku David Hume. Tetapi kemudian ia tetap berpendapat bahwa
empirisisme tidak bisa ia terima begitu saja karena akan membawa keraguan pada
akal. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat mencaai kebenaran. Untuk itu, ia
kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian kebenaran akal. Itulah
sebabnya aliran filsafatnya sering disebut dengan aliran Kritisisme.25
23
Yang dimaksudkan dengan bentuk pengetahuan apriori adalah pengetahuan ‘yang sudah lebih dahulu
atau sebelumnya ada’. Sementara bentuk pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan ‘yang ada sesudahnya’.
24
Noeng Muhajir, Filsafat ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001, Cet.II), hal.109
25
Tahap pertama dalam proses pencapaian pengetahuan bagi Kant adalah pencapaian inderawi terhadap
realitas eksternal. Namun yang dapat dicapai oleh manusia hanyalah fenomenanya atau gejala yang tampak saja
yang tak lain adalah sintesis dari unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk apriori ruang
dan waktu dalam struktur pemikiran manusia. Lihat: Noeng Muhajir, Filsafat ilmu..., hal.110
6
Proses terbentuknya pengetahuan ilmiyah, bagi Kant tidak hanya yang melalui
sarana rasio dan sensibilitas, tetapi lebih dari itu bahwa sesuatu yang metafisik pun
memungkinkan untuk disebut sebagai pengetahuan yang ilmiyah. Bagi Kant
pengetahuan adalah konstruksi rasio atas bahan-bahan berupa pengalaman dan
pengetahuan. Sehingga tegasnya, pengetahuan terbangun dari sistesis (perpaduan)
antara apriori dan aposteriori .
Dalam filsafat Kritisisme, Kant menganggap bahwa pengalaman dan akal
manusia sama-sama dapat digunakan dalam mencapai pengetahuan manusia.
Selanjutnya, Kant membagi tahap pencapaian pengetahuan manusia menjadi tiga
tingkatan, yaitu: Pertama,
tingkatan pencerapan indrawi (Sinneswahrnehmung).
Pada level ini sintesis (perpaduan) antara unsur-unsur apriori dan aposteriori sudah
terjadi.26 Tingkatan ini bisa disebut sebagai pengetahuan ‘pengalaman’ tingkat dasar
yang bisa terjadi pada seluruh manusia (awam), selama sensibilitas dan rasionya masih
hidup.27 Kedua, tingkatan akal budi. Pengetahuan pengalaman yang terkonstruk oleh
‘ruang dan waktu’ apriori itu adakalanya berhenti cukup menjadi pengalaman. Namun
bisa jadi dikonstruk lagi oleh apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ideide bawaan yang memiliki fungsi epistemologis dalam diri manusia.28 Pengetahuan
pada level ini sudah bisa disebut sebagai pengetahuan ilmiyah atau sains. Pengetahuan
ini merupakan konstruksi rasio manusia (ilmuan) yang berupa kategori apriori
terhadap pengetahuan pengalaman.29 Ketiga, tingkatan intelek. Pengetahuan tingkat
ketiga bisa disebut pengetahuan metafisik atau teologis atau metafisis-teologis.
Pengetahuan ini berada ditingkatan atas dari pengetahuan pengalaman dan ilmiah.
Pengetahuan ini merupakan konstruksi rasio manusia yang berupa kategori apriori idea
transendental terhadap pengetahuan pengalaman dan pengetahuan ilmiah.30 Orang
yang dapat mencapai tahap ini disebut sebagai agamawan, yaitu orang yang telah
berhasil melalui tahap keawaman dan tahap keilmiahan.31
B. Sains Sebagai Aktivitas Ilmiah
“Science is the process which makes knowledge.”32 Ungkapan ini sangatlah
tepat untuk mendefinisikan makna sains dalam tinjauan yang lebih realistis. Ia tentu
tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas ilmiah. Lafal sains yang berasal dari bahasa
Latin ‘scire’ memiliki arti mempelajari (to learn). Dengan demikian, sains menurut
asal usul perkataannya berarti aktivitas mempelajari sesuatu atau mencari ilmu yang
dalam bahasa Arab disebut thalab al-‘ilm.33
26
Immanuel Kant, Critique of pure Reason, Translated by JMD. Meiklejohn, (New York: Prometheus
books, 1990), hal.60
27
Noeng Muhajir, Filsafat ilmu..., hal.111
28
Immanuel Kant, Critique of pure Reason..., hal.61
29
Noeng Muhajir, Filsafat ilmu..., hal.112
30
Immanuel Kant, Prolegomena Any Future Meaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W.
Ellington, (Cambridge: hackett Publishing Company, 1977), hal.89-90
31
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), hal.247
32
Max Black, Critical Thinking: An Introduction to Logic and Scientific Method,New York: PrenticeHall, 1952), hal.402
33
Al-Ghawiyyu Majdu al-Din, al-Qamus al-Muhith..., hal. 624
7
Mohammad Muslih, seorang pakar filsafat ilmu dan sains menjelaskan dalam
bukunya, bahwa mencari ilmu atau mempelajari sesuatu bukanlah aktivitas menunggu
yang pasif sampai suatu pengetahuan datang sendiri, melainkan harus berusaha secara
aktif untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu
diperoleh. Oleh karenanya, sains dalam tinjauan aktivitas ilmiah terbagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu: membaca, meneliti dan mengembangkan.34
Dosen profesional di bidang filsafat ilmu itu kembali menegaskan, bahwa
membaca menduduki posisi serta peran yang sangat penting dalam konteks kehidupan
umat manusia, terlebih pada era informasi dan komunikasi seperti sekarang ini.
Membaca juga merupakan sebuah jembatan bagi siapa saja yang berkeinginan meraih
kemajuan dan kesuksesan, baik dilingkungan dunia persekolahan maupun di dunia
pekerjaan. Oleh karena itu, para pakar sepakat bahwa kemahiran membaca (reading
literacy) merupakan conditio sine quanon (persyaratan mutlak) bagi setiap insan yang
ingin memperoleh kemajuan.
Anderson (w. 1972 M) secara singkat dan sederhana mencoba mendefinisikan
membaca sebagai proses kegiatan mencocokan huruf atau melafalkan lambanglambang bahasa tulis (reading is a recording and decoding process). Tepatkah
pengertian membaca seperti ini? Jawabannya bisa ia bisa juga tidak. Bagi Budi yang
masih duduk di kelas 1 SD misalnya, pengertian membaca semacam ini sudah bisa
dikatakan tepat. Alasannya karena ketika dia melakukan kegiatan membaca dia hanya
terbatas mengemukakan atau membunyikan rangkaian lambang-lambang bahasa tulis
yang dilihatnya; dari huruf menjadi kata, kemudian menjadi frase, kalimat dan
seterusnya. Perkara apakah dirinya memahami atau tidak rangkaian dari lambanglambang bahasa tulis tersebut tidak begitu menjadi persoalan. Kagiatan membaca
semacam itu tentunya merupakan level yang paling rendah.35
Definisi membaca juga dikemukakan oleh Gillet (w. 1986 M). Menurutnya,
reading is making sense of written language (membaca adalah memberi makna
terhadap bahasa tulisan). Memberi makna sering disebut ‘memahami’. Supaya dapat
memahami, kita harus menjalani berbagai proses yang sering kali berlangsung secara
simultan. Dalam kajian membaca, jenis membaca semacam ini digolongkan dalam
membaca kritis serta membaca kreatif.36
Sebagai aktivitas ilmiah, membaca bukanlah proses tunggal sebagaimana yang
selama ini banyak dipahami oleh masyarakat awam. Ia merupakan sintesis dari
berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada satu perbuatan tunggal. Hal ini
34
Aktivitas ilmiah yang terdiri dari membaca, meneliti, dan mengembangkan ilmu, sudah tentu dapat
mendatangkan kemanfaatan yang luar biasa bagi kemajuan umat dan memungkinkan terbentuknya suatu
peradaban. Inilah maksud dari thalab al-‘ilm yang dalam ajaran agama Islam merupakan kewajiban bagi umat
muslim dan muslimat. Dengan kata lain, aktivitas saintifik itu mestinya tidak dipisahkan dari istilah thalab al‘ilm, atau setidaknya thalab al-‘ilm bisa ditingkatkan pengertiannya menjadi aktivitas saintifik. Lihat:
Mohammad Muslih, Falsafah Sains..., hal.45
35
Frank Smith, Understanding Reading: a Psikolinguistic Analysis of Reading and Learning to Read,
(London: Lawrence Erlbaum Asociates Publisher, 2003), hal.128
36
Ibid, hal.129
8
berarti bahwa kita harus memandang membaca sebagai suatu pengalaman yang aktif,
yakni suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, bertujuan pemahaman, dan
pemaknaannya akan ditentukan oleh sejumlah pengalaman si pembaca. Oleh karena
itu, Thorndike (w. 1874 M) mengatakan bahwa proses membaca itu tidak ubahnya
dengan proses ketika seseorang sedang berpikir atau bernalar (reading as thinking or
reading as reasoning).37 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hittleman (w. 1978
M) sebagaimana dikutip dari bukunya yang berjudul Reading in a Changing World.
Dia mengatakan, “Reading is a verbal process interrelated with thinking and with all
other communication abilities listening, speaking and writing. Specifically, reading is
the process of reconstructing from the printed patterns on the page the ideas and
information intended by the author.”38
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan pula bahwa membaca adalah
proses merekonstruksi kembali gagasan atau ide yang terdapat dalam sebuah teks tulis
serta informasi yang digagas oleh para penulis. Sehingga, membaca dengan baik
merupakan penerapan strategi berpikir dari ide-ide tertulis. Inilah kategori membaca
dalam lingkup aktivitas ilmiah.
Tidak dipungkiri, seseorang yang memahami variasi membaca dan
mempraktikan-nya akan dapat menemukan pengetahuan baru. Dengan begitu, ia
memantapkan dan memastikan dirinya sebagai peneliti dengan tumbuhnya sensivitas
dan curiositas untuk melakukan inkuiri, eksplorasi dan riset secara lebih dalam.
Salah satu hal yang penting dalam sains adalah penelitian (research). Research
berasal dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari, sehingga
research atau penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk
mengembangkan dan mengkaji kebenaran suatu pengetahuan. Penelitian ilmiah
didefinisikan sebagai rangkaian pengamatan yang sambung menyambung,
berakumulasi dan melahirkan teori-teori yang mampu menjelaskan dan meramalkan
fenomena-fenomena.39
Penelitian ilmiah sering diasosiasikan dengan metode ilmiah sebagai tata cara
sistimatis yang digunakan untuk melakukan penelitian. Penelitian ilmiah juga menjadi
salah satu cara untuk menjelaskan gejala-gejala alam. Adanya penelitian ilmiah
membuat ilmu berkembang, karena hipotesis-hipotesis yang dihasilkan oleh penelitian
ilmiah seringkali mengalami retroduksi.
Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan
sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada empat karakteristik penelitian ilmiah, yaitu:40
37
Theodore L., Dictionary of Reading and Related Term, (London: International Reading Asociation,
2001), hal.104
38
Richard T. Vacca, Content Area Reading, (Boston: Scott Foresman and Company, 2000), hal.143
39
Mohamad Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), hal.23
40
Ibid, hal.25
9
a. Sistematik, yang berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan secara
berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan sederhana
sampai yang kompleks.
b. Logis. Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan
berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut
prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang
dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan
umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu
cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan
yang bersifat umum.
c. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman seharihari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau
melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
Landasan penelitian empirik ada tiga yaitu :a). Hal-hal empirik selalu memiliki
persamaan dan perbedaan (ada penggolongan atau perbandingan satu sama
lain). b). Hal-hal empirik selalu berubah-ubah sesuai dengan waktu. c). Hal-hal
empirik tidak bisa secara kebetulan, melainkan ada penyebabnya (ada
hubungan sebab akibat).
d. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji kembali
oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan
dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif,
penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi
seorang peneliti.
Sains, suatu proses yang bekerja dengan metode ilmiah, telah banyak
memperbaiki pandangan-pandangan manusia. Salah satu keberhasilan itu adalah
koreksi atas teori generasi spontan yang telah ada sejak jaman pertengahan. Teori ini
menganggap bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk tak hidup. Contohnya, katak
muncul dari lumpur, serangga dari sisa makanan, kain kotor yang ditaburi gandum
dapat memunculkan tikus, dan belatung berasal dari daging. Setelah bekerja keras
melalui penelitian yang panjang, Louis Pasteur (w. 1822 M), seorang ilmuwan
kenamaan Prancis, mengumumkan kesimpulannya yang menggugurkan teori generasi
spontan maupun teori evolusi Charles Robert Darwin.41
Pasteur mengungkapkan hal berikut: “Dapatkah materi melakukan
pembentukan dirinya sendiri? Tidak! Sampai saat ini tidak ada faktor-faktor yang
dengannya orang dapat membuktikan adanya makhluk hidup-makhluk hidup
mikroskopis yang dapat hidup di bumi tanpa adanya induk yang menyerupai
sebelumnya.” Penemuan-penemuan dibidang sains memperbaiki teknologi. Sementara
itu, kemajuan teknologi menunjang pencapaian penelitian.42
41
42
Charles Darwin, On the Origin of Species, (Canada: BroadViev Press,1977), hal.646
Niles Eldredge, The Myths of Human Evolution, (Columbia: University Press, 1984), hal.2-3
10
C. Sains Sebagai Pengetahuan Sistematis
Sains merupakan representasi realitas oleh ilmuan dengan menggunakan
metodologi dan ukuran validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam hal ini realitas yang dimaksud adalah kenyataan yang tidak hanya berdasarkan
objek indrawi, tetapi juga objek rasio, perasaan, serta spiritual. Ia secara murni
berbeda dengan apa yang disebut ‘fakta’, yaitu segala sesuatu yang ditangkap oleh
indra manusia dan diyakini oleh orang banyak sebagai hal yang sebenarnya. Sejatinya,
dalam istilah keilmuan fakta adalah gejala-gejala (atau penampakan) dari realitas yang
dapat ditangkap oleh indra sehingga dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun. Selain
itu, ia pula tidaklah sama dengan ‘data’, yaitu kumpulan informasi faktual yang
diperoleh dari suatu pengamatan, dapat berupa angka, lambang atau sifat, yang pada
dasarnya adalah sebagian dari fenomena. Istilah-istilah tersebut haruslah dipahami
untuk dapat membuktikan proses repersentasi atau menghadirkan kembali realitas.43
Pada hakikatnya, apa yang dapat ditangkap manusia dari realitas tidak lain
hanyalah gejala-gejalanya saja. Para ilmuan, sangatlah antusias dalam mengamati
gejala-gejala alamiah atau yang disebut phenomena natural. Kemudian dengan
menggunakan metode ilmiah, mereka menemukan titik terang akan adanya ‘hukumhukum tetap’ dari ‘prilaku’ alam ini. Dari sinilah mereka berkesimpulan akan adanya
hukum alam yang tidak lain adalah hasil pengamatan mereka terhadap gejala-gejala
alamiah. Dari usaha dan keseriusan mereka dalam mengamati gejala-gejala alam,
akhirnya muncullah sebuah disiplin ilmu alam (science).
Sejauh ini, muncullah para ilmuan berikutnya yang dengan gigih melakukan
penelitian terhadap gejala-gejala pada ‘alam sosial’. Dalam hal ini ‘prilaku
masyarakat’ adalah sebagai objek utamanya, sehingga ditemukanlah hukm tetap baru
atau yang disebut sebagai ‘hukum sosial’. Dalam hal ini para ilmuan menerapkan
metodologi sains alam untuk membaca fenomena sosial. Sehingga, dari usaha dan
keseriusan mereka dalam mengamati gejala-gejala sosial, akhirnya muncul pula
sebuah disiplin ilmu baru, yaitu ilmu sosial. Pada masa berikutnya, para ilmuan sosial
seperti tidak henti dalam mengamati fenomena-fenomena sosial, sehingga ilmu sosial
mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan tidak sedikit dari para ilmuan yang
melakuakn terobosan baru dengan melakukan pendekatan yang lebih bercorak
‘emosional’ dari pada pendekatan ‘rasional’ sebagaimana yang dipakai dalam ilmu
kealaman selama ini.
Antara fenomena alam dan sosial terdapat perbedaan yang mendasar. Dalam
hal ini fenomena alam adalah sesuatu yang bersifat tetap dan dapat dilakukan
rekayasa, bahkan pada taraf tertentu dilakukan eksploitasi alam. Sementara, fenomena
sosial dapat berubah, kompleks dan tidak sederhana.
Dalam kajian filsafat, terdapat fenomena lainnya yang menjadi kajian para
ilmuan selain fenomena alam dan sosial, yaitu fenomena keagamaan. Sederhananya,
43
http://www.merriam-webster.com/dictionary/data diakses 27 Maret 2018 jam 13.30
11
fenomena yang ketiga ini bisa dipahami sebagai setiap prilaku masyarakat yang
didorong oleh motifasi keagamaan. Seperti sikap dan prilaku seseorang yang gemar
menjaga shalat, ringan dalam bersedekah, melakuakn haji, bersabar dalam
mengerjakan puasa dan lain-lain. Dari berbagai aspeknya, fenomena keagamaan ini
menjadi objek kajian disiplin ilmu tersendiri. Seperti: fenomenologi agama, sosiologi
agama, psikologi agama, dan lain-lain. Beberapa disiplin ini memang ada sebagian
ilmuan yang menganggapnya sebagai bagian dari ilmu sosial, tetapi sebagian besarnya
menyatakan bahwa hal itu berbeda dengan ilmu sosial, mereka kemudian
mengelompokkannya ke dalam disiplin studi keagamaan atau science of religon.44
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita akan menyimpulkan beberapa hal yang terkait
dengan hakikat sains. Melihat point-pointnya, kita dapat mendeskripsikannya sebagai
berikut:
Sains merupakan tolak ukur bagi kemajuan dan kemunduran suatu bangsa.
Apabila suatu bangsa tertinggal dari peradaban yang ada, pastilah faktor utamanya
karena mereka tidak mengikuti arus perkembangan sains yang begitu pesat. Oleh
karenanya, ia sering kali diartikan sebagai pengetahuan, namun tentu ini adalah makna
yang sempit. Pada dimensi filsafat, hakikat sains tidak hanya dapat dilihat dari satu
perspektif saja. Melainkan sains itu mencakup pengetahuan ilmiah, aktivitas ilmiah
dan disiplin ilmu.
Dalam perspektif pengetahuan ilmiah, sains disebut sebagai pengetahuan
bukan hanya ketika dapat di-rasio oleh akal atau dibuktikan dengan pengalaman.
Namun, ia haruslah berdasarkan dari penyimpulan yang masuk akal serta sesuai
dengan informasi dan pengalaman, sehingga proses dan bahan-bahannya dapat
dipertanggung-jawabkan.
Sementara, dalam perspektif aktivitas ilmiah, ia dapat diartikan dengan
aktivitas mencari ilmu atau mempelajari sesuatu. Hal ini tentu bukanlah aktivitas
menunggu yang pasif sampai suatu pengetahuan datang sendiri. Melainkan, harus
berusaha secara aktif untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai
pengetahuan itu diperoleh. Oleh karenanya, sains dalam tinjauan ini terbagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu: membaca, meneliti dan mengembangkan.
Adapun yang terakhir, dalam perspektif disiplin ilmu, sains merupakan
representasi realitas oleh ilmuan dengan menggunakan metodologi dan ukuran
validitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini realitas yang
dimaksud adalah kenyataan yang tidak hanya berdasarkan objek indrawi, tetapi juga
objek rasio, perasaan, serta spiritual.
44
Walter H. Capps, Religious Studies, The Making of a Disclipine, (Minneapolis: Fortress Press),
hal.68-71
12
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahrial. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Teraju, 2002)
Baalbaki, Rohi. al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary, (Beirut: Daar al-‘Ilm alMalayin, 1995)
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
Burgess, Steven. “Nietzsche and Heidegger on the Cartesian Atomism of Thought”
Dissertation, (USA: University of South Florida, 2013)
Capps, Walter H. Religious Studies, The Making of a Disclipine, (Minneapolis: Fortress
Press)
Darwin, Charles. On the Origin of Species, (Canada: BroadViev Press,1977)
Eldredge, Niles. The Myths of Human Evolution, (Columbia: University Press, 1984)
Al-Fairuzabadiy, Muhammad bin Ya’qub. al-Qamus al-Muhith: tahqiq Maktabu Tahqiq alTurats fi Muassasah ar-Risalah, (Beirut: al-Muassasah ar-Risalah, 2005)
Fautanu, Idzam. Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012)
Fritjof Capra, Sains Leonardo, diterjemahkan oleh Ismanto, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)
Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980)Lavine, T.Z.
Petualang Filsafat: Dari Socrates Ke Satre, Diterjemahkan oleh Andi Iswanto dan
Deddy Adrian Utama, (Yogyakarta: Jendela, 2002)
Kant, Immanuel. Critique of pure Reason, Translated by JMD. Meiklejohn, (New York:
Prometheus books, 1990)
Kant, Immanuel. Prolegomena Any Future Meaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh
James W. Ellington, (Cambridge: hackett Publishing Company, 1977)
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014)
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 2002) cet. 39
Muhajir, Noeng. Filsafat ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme,
(Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Cet.II)
13
Muslih, Mohammad. Falsafah Sains, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002)
Nasir, Mohamad. Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999)
Smith, Frank. Understanding Reading: a Psikolinguistic Analysis of Reading and Learning to
Read, (London: Lawrence Erlbaum Asociates Publisher, 2003)
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan,
1990)
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001)
Team, Cambridge. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2008)
Theodore L., Dictionary of Reading and Related Term, (London: International Reading
Asociation, 2001)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008)
Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008)
Vacca, Richard T. Content Area Reading, (Boston: Scott Foresman and Company, 2000)
http://www.merriam-webster.com/dictionary/data
14