LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan karunianya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Teknologi dan Produksi Benih ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua atas do’a dan dukungannya. Penulis juga menucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, para asisten serta kawan-kawan yang telah memimbing, membantu serta berpartisipasi dalam kegiatan praktikum ini.
Laporan ini memuat berbagai hasil praktikum teknologi dan produksi benih yang telah dilakukan penulis dan didasarkan pada sumber yang ada. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan-kesalahan dalam penulisan karena sebagai insan biasa tak luput dari kesalahan. Demikian laporan ini penulis buat untuk persyaratan praktikum teknologi dan produksi benih dan semoga bermanfaat bagi kita semua tetutama penulis sendiri.
Purwokerto, 12 Mei 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Lampiran ACARA I PENGUJIAN KEMURNIAN BENIH
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
II. TINJAUAN PUSTAKA
III. METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ACARA II PENGUJIAN KADAR AIR BENIH
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
II. TINJAUN PUSTAKA
III. METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ACARA III PEMATAHAN DORMANSI
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
II. TINJAUN PUSTAKA
III. METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ACARA IV. PERKECAMBAHAN PADA LINGKUNGAN SUBOPTIMAL
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
II. TINJAUN PUSTAKA
III. METODE PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
Prosedur Kerja
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan ……
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……
Kesimpulan ……
Saran ……
DAFTAR PUSTAKA ……
LAMPIRAN ……
ACARA V. PENGUJIAN DAYA PERKECAMBAHAN BENIH DAN INDEKS VIGOR PERKECAMBAHAN .......
I. PENDAHULUAN ……
Latar Belakang ……
Tujuan ……
II. TINJAUN PUSTAKA ……
III. METODE PRAKTIKUM ……
Alat dan Bahan ……
Prosedur Kerja ……
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……
Hasil ……
Pembahasan ……
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……
Kesimpulan ……
Saran ……
DAFTAR PUSTAKA ........
LAMPIRAN ……
ACARA VI. PENGUJIAN TIPE PERKECAMBAHAN ........
I. PENDAHULUAN ……
Latar Belakang ……
Tujuan ……
II. TINJAUN PUSTAKA ……
III. METODE PRAKTIKUM ……
Alat dan Bahan ……
Prosedur Kerja …….
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……
Hasil ……
Pembahasan ……
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……
Kesimpulan ……
Saran ……
DAFTAR PUSTAKA ........
LAMPIRAN ……
ACARA VII. IMBIBISI PADA PERKECAMBAHAN ........
I. PENDAHULUAN ……
Latar Belakang ……
Tujuan ……
II. TINJAUN PUSTAKA ……
III. METODE PRAKTIKUM ……
Alat dan Bahan ……
Prosedur Kerja ……
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……
Hasil ……
Pembahasan ……
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……
Kesimpulan ……
Saran ……
DAFTAR PUSTAKA ........
LAMPIRAN ……
BIODATA PRAKTIKAN ……
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA I
PENGUJIAN KEMURIAN BENIH
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benih merupakan benda yang disebut sebagai tanaman atau bagian dari tanaman yang digunakan untuk memperbanyak atau mengembangbiakkan tanaman. Produksi benih oleh produsen benih diadakan umtuk menyediakan bahan perbanyakan tanaman tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan plasma nutfah yang ada.
Produksi benih yang dilakukan tidak hanya sekedar memperhatikan kuantitatif dari produksi itu sendiri tetapi kualitatif juga diutamakan. Mutu benih sangat penting diperhatikan karena benih bukan merupakan benda mati yang dijual di pasaran kemudian dipakai atau dikonsumsi sehinga habis kegunaannya. Benih yang hendak digunakan oleh para konsumen adalah benih yang memiliki kriteria sesuai dengan peminatan masyarakat.
Kemurnian benih adalah persentase berdasarkan berat benih murni yang terdapat dalam suatu contoh benih. Pengujian kemurnian benih oleh produsen bertujun memperoleh persentase kemurnian suatu contoh benih. Prinsip pengujian kemurnian benih yaitu dengan memisahkan benih kedaklam tiga komponen benih yaitu benih murni, varietas lain, dan kotoran benih.kemurnian suatu benih merupakan faktor penting yang harus diketahui, dikarenakan kemurnian suatu benih nantinya akan menentukan hasil produksi tanaman. Hal tersebutlah yang mendasari dilakukannya praktikum pengujian kemurnian benih agar dapat mengetahui persentase benih yang ideal yang dapat digunakan untuk produsi suatu tanaman.
Tujuan
Praktikum pengujian kemurnian benih bertujuan untuk dapat membedakan benih murni, biji tanaman lain, kotoran benih dan menghitung persentase kemurnian benih
TINJAUAN PUSTAKA
Benih adalah biji tanaman yang digunakan untuk tujuan pertanaman. Masalah teknologi benih merupakan masalah yang berada dalam ruang lingkup agronomi. Agronomi senidiri diartikan sebagai suatu gugus ilmu pertanian yang mempelajari pengelolaan lapang produksi dengan segenap unsur alam (iklim, tanah, dan air), tanaman, hewan dan manusia untuk mencapaiproduksi tanaman secara maksimal (Kartasapoetra, 1986).
Kemurnian benih merupakan persentase benih yang dihasilkan berdasarkan berat benih murni yang terdapat dalam suatu contoh benih. Uji kemurnian benih sebaiknya merupakan uji yang pertama kali dilakukan, benih murni yang diperoleh dari hasil pengujian tersebut kemudian dipakai untuk uji yang lain, yaitu persentase kadar air dan viabilitas benih. Hal ini dilakukan karena nilai yang ingin diperoleh adalah nilai dari benih murni, bukan dari benih campuran. Tujuan utama dari analisa kemurnian benih adalah untuk meentukan komposisi berdasarkan berat contoh benih yang akan diuji atau dengan kata lain komposisi dari kelompok benih dan untuk mengidentifikasi dari berbagai spesies benih dan partikel partikel lain yang terdapat dalam suatu contoh benih (Kuswanto, 1997).
Pengujian kualitas benih ini sangat penting karena terujinya kualitas benih dapat memberikan jaminan kepada petani dan masyarakat untuk mendapatkan benih dengan kualitas yang baik sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tentunya dapat menghindari petani dari berbagai kerugian yang ditimbulkan. Nilai SNI yang ditetapkan untuk kualitas benih dalam kemasan berlebel adalah 70-80% tergantung pada jenis tanaman, benih yang berkualitas tinggi itu memiliki viabilitas lebih dari 90% (Kartasapoetra, 2003).
Faktor genetik benih adalah benih yang berasal dari varietas-varietas yang memiliki genotip yang baik seperti hasil produksi yang tinggi, tahan terhadap hama penyakit, dan responsive terhadap kondisi pertumbuhan yang lebih baik atau tahan terhadap cekaman abiotik. Faktor fisik benih adalah benih yang bermutu tinggi dengan kemurnian yang tinggi, daya kecambah yang tinggi, bebas dari kotoran, gulma dan hama penyakit. Faktor fisik lainnya yaitu benih memiliki kadar air yang rendah (Kamil, 1986).
Komponen dari benih terdapat tiga macam, yaitu benih murni, varietas lain, dan kotoran benuh. Benih murni termasuk semua varietas dari spesies yang dinyatakan berdasarkan penemuan dengan uji laboratorium. Kategori yang termasuk dalam benih murni dari suatu spesies adalah benih masak dan utuh, benih yang berukuran kecil, mengerut tidak masak, benih yang telah berkecambah sebelum diuji dan pecahan benihnya lebih besar dari separuh benih yang sesungguhnya, namun dengan syarat dapat dipastikan bahwa pecan benuh itu termasuk kedalam spesie yang dimaksud (Justice, 1990).
Komponen benih spesies lain mecakup semua benih dari tanaman pertanian yang ikut tercampur dalam contoh dan tidak dimaksudkan untuk diuji. Benih gulma mencakup semua benih ataupun bagian vegetatif tanaman yang termasuk dalam kategori gulma, selain itu juga pecahan gulma yang berukuran setengah atau kurang dari setengah dari ukuran sesungguhnya tetapi masih mempunyai embrio. Bahan lain atau kotoran, termasuk semua pecahan benih yang tidak memopengaruhi persyaratan baik dari komoponen benih murni, benih speies lain maupun benih gulma, partikel-partikel tanah, pasir, sekam, jerami, dan bagian-bagian tanaman seperti ranting dan daun (Sutopo,1984).
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum pengujian kemurnian benih adalah benih padi, benih jagung, benih kedelai. Alat yang digunakan yaitu meja pemurnian, pinset, petridish, plastik, label, dan timbangan listrik.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum pengujian kemurnian benih adalah sebagai berikut :
Alat dan bahan yang akan digunakan pada praktikum disiapkan
Masing-masing contoh benih (padi, jagung, kedelai) ditimbang kemudian dicatat hasilnya
Setelah itu masing-masing benih (padi, jagung, kedelai) dipisahkan kedalam komponen benih murni, varietas lain, dan kotoran benih diatas meja kerja
Kemudian masing-masing komponen (benih murni, varietas lain, dan kotoran benih) dari ketiga contoh benih tersebut ditimbang
Persentase masing-masing komponen ketiga benih tersebut dihitung kemudian dimasukkan kedalam tabel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1.1 pengujian kemurnian benih
Komoditas
Berat Komponen
Persentase
BM
VL
KB
BM
VL
KB
Padi
10,3
1,6
27,6
26,07%
4,05%
69,88%
Jagung
8,1
9,7
23,6
19,56%
23,43%
57,00%
Kedelai
7,4
13
33,7
13,68%
24,03%
62,29%
Persentasi Padi
% BM =
% VL =
% KB =
Persentase Jagung
% BM =
% VL =
% KB =
Persentase Kedelai
% BM =
% VL =
% KB =
Pembahasan
Kemurnian benih merupakan persentase benih yang dihasilkan berdasarkan berat benih murni yang terdapat dalam suatu contoh benih. Uji kemurnian benih sebaiknya merupakan uji yang pertama kali dilakukan, benih murni yang diperoleh dari hasil pengujian tersebut kemudian dipakai untuk uji yang lain, yaitu persentase kadar air dan viabilitas benih. Hal ini dilakukan karena nilai yang ingin diperoleh adalah nilai dari benih murni, bukan dari benih campuran. Tujuan utama dari analisa kemurnian benih adalah untuk meentukan komposisi berdasarkan berat contoh benih yang akan diuji atau dengan kata lain komposisi dari kelompok benih dan untuk mengidentifikasi dari berbagai spesies benih dan partikel partikel lain yang terdapat dalam suatu contoh benih (Kuswanto, 1997).
Mutu benih mencakup pengertian mutu genetik, fiologis dan fisik. Mutu genetik yaitu penampilan benih murni dari spesies atau varietas tertentu yang menunjukkan identitas genetic dari tanaman induknya, mulai dari benih penjenis, benih dasar, benih pokok, dan benih sebar. Mutu fisiologis yaitu menampilkan kemampuan daya hidup atau viabilitas benih yang mencakup daya kecambah dan kekuatan tumbuh benih. Mutu fisik merupakan penampilan benih secara prima apabila dilihat secara fisik, antara lain dari ukuran dan homogeni, bernas, bersih dari campuran benih lain, biji gulma dan dari berbagai kontaminan lainnya, serta kemasan yang menarik (Rudi, 2008).
Mutu fisik dan fisiologis merupakan cerminan dari rangkaian proses penanganan benih dari mulai dari proses produksi sampai pengecambahan benih. Sedangkan mutu genetik menunjukkan tingkat kemurnian varietas yang dihasilkan dari kinerja pemuliaan pohon. Mutu genetik juga didefinisikan sebagai tingkat keterwakilan keragaman genetik suatu sumber benih. Untuk mempertahankan mutu fisik-fisiologis benih hasil pemuliaan agar terjamin baik, diperlukan penanganan benih secara tepat (Yuniarti et al. 2013).
Praktikum kemurnian benih yang dilaksanakan dengan menggunakan meja pemurnian benih, pinset, petridish, plastik, label, dan timbangan analitik.Contoh kerja dari benih yang ada dengan jalan pengurangan dengan memakai pembagi benih sehingga diperoleh berat benih yang diinginkan dan timbangan.Contoh kerja merupakan campuran dari benih kedelai, benih jagung, benih padi, varietas tanaman lain, dan kotoran benih.Contoh kerja sedikit demi sedikit diteliti di atas meja pemurnian benih dan dipisahkan benih murni, biji tanaman lain, biji gulma, dan kotoran benih.Kemudian persentase berat komponen – komponen contoh kerja dihitung terhadap berat contoh benih.
Praktikum yang dilakukan sesuai dengan pendapat Kartika (2014), bahwa benih murni yang merupakan salah satu komponen dalam pengujian benih, sangat penting dalam menghasilkan benih yang berkualitas tinggi. Pengujian daya berkecambah, benih yang diuji diambil dari fraksi benih murni.Dengan demikian hasil pengujian kemurnian benih dan daya kecambah benih mempengaruhi nilai benih untuk tujuan pertanaman. Pengujian kemurnian digunakan untuk mengetahui komposisi contoh kerja, kemurnian, dan identitasnya yang akan mencerminkan komposisi benih yang didasarkan pada berat komponen pengujian. Dalam pengujian kemurnian contoh kerja kemurnian dipisahkan menjadi benih murni, biji tanaman lain, biji gulma dan kotoron.
Menurut Sutopo (2008), biji tanaman lain merupakan komponen yang mencakup semua benih dari tanaman pertanian yang ikut tercampur dalam contoh dan tidak dimaksudkan untuk diuji. Biji gulma mencakup semua biji ataupun bagian vegetatif tanaman yang termasuk dalam kategori gulma. Sedangkan bahan lain atau kotoran termasuk komponen dari semua pecahan benih yang tidak memenuhi persyaratan baik dari komponen biji murni, biji tanaman lain maupun biji gulma, partikel-partikel tanah, pasir, sekam, jerami dan bagian-baian tanaman seperti ranting dan daun.
Pelaksanaan uji kemurnian benih yang dilaksanakan Kartasapoetra (2003), yaitu dengan cara menimbang berat benih padi dalam sebuah wadah dengan timbangan analitik. Selanjutnya memisahkan empat komponen yaitu:
Biji spesies lain
Benih murni
Biji gulma
Bahan lain atau kotoran
Kemudian masing-masing ditimbang kembali. Setelah itu menghitung presentasi dari setiap komponen tersebut, didapatkan dengan berat masing-masing komponen dibagi dengan berat total, kemudian dikalikan dengan seratus persen. Data hasil pengamatan dimasukkan dalam tabel yang berisi keterangan berat masing-masing komponennya.
Pengujian kemurnian benih merupakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menelaah tentang kepositifan fisik komponen-komponen benih termasuk persentase berat dari benih murni (pure seed), benih tanaman lain, benih varietas lain, biji-bijian herba (weed seed), dan kotoran-kotoran pada masa benih. Pengujian kemurnian benih ditujukan untuk mengetahui mutu atau kualitas dari suatu jenis atau kelompok benih. Pengujian benih dilakukan dilaboratorium untuk menentukan baik mutu fisik maupun fisiologik suatu jenis atau kelompok benih. Manfaat dari uji pemurnian enih adalah dapat memperoleh keahlian dalam pengambilan contoh benih dengan mendapatkan contoh kerja yang diambil dari contoh kiriman dan mengenal alat pengambilan contoh benih (Hasanah, 2012).
Pengujian kemurnian benih dilakukan untuk menjaga kualitas benih. Pengujian kemurnian benih adalah pengujian yang dilakukan dengan memisahkan tiga komponen benih murni, benih tanaman lain, dan kotoran benih, yang selanjutnya dihitung persentase dari ketiganya. Tujuan analisis kemurnian benih adalah untuk menentukan komposisi benih murni, benih lain, dan kotoran dari contoh benih yang mewakili lot benih. Pengujian kemurnian benih memiliki manfaat untuk menjaga kualitas benih dan mengetahui persentase kemurnian benih (BPMBTPH, 2013).
Suatu contoh benih dikelompokkan kedalam tiga komponen. Berikut adalah ciri-ciri dari sertiap komponen benih :
Benih murni adalah segala macam biji-bijian yang merupakan jenis atau spesies yang sedang diuji. Benih murni meliputi :
Benih masak utuh
Benih yang berukuran kecil, mengkerut, tidak masak
Benih yang telah berkecambah sebelum diuji
Pecahan atau potongan benih yang berukuran lebih dari separuh benih yang sesungguhnya
Biji yang terserang penyakit dan bentuknya masih dapat dikenali (Surahman, 2012).
Benih varietas lain adalah jenis atau spesies lain yang ikut tercampur dalam contoh dan tidak dimaksudkan untuk diuji. Benih varietas lain meliputi: Benih tanaman lain yang tidak sengaja terbawa pada benih tanaman tertentu, misalnya pada benih jagung tedapat benih bayam (Heuver, 2006).
Kotoran benih adalah benih dan bagian dari benih yang ikut terbawa dalam contoh. Kotoran beih meliputi:
Benih dan bagian benih
Benih tanpa kulit benih
Benih yang terlihat bukan benih sejati
Biji tanpa lembaga pecahan benih kurang dari setengah ukuran normal
Cangkang benih
Kulit benih
Pasir
Ranting
Jerami
Daun
Tangkai
Tanah
Sekam (Indaryani, 2012).
Pengujian kemurnian benih merupakan kegiatan-kegiatan untuk menelaah tentang kepositifan fisik komponen-komponen benih termasuk persentase berat dari benih murni (pure seed), benih tanman lain, bnih varietas lain, biji-bijian herba (weed seed), dan kotoran-kotoran pada masa benih. Metode pengujian kemurnian benih menurut ISTA (2010) terbagi dalam dua metode, yaitu:
Metode duplo
Metode duplo merupakan suatu metode yang digunakan untuk menguji kemurnian benih dengan cara pengambilan dari contoh benih dilakukan sebanyak dua kali. Kelebihan dari metode duplo adalah untuk meningkatkan ketetapan pengujian kemurnian benih. Beda antara hasil ulangan pertama dan kedua tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah 5%. Setiap komponen ditimbang lalu ditital dimana berat total seharusnya dengan berat mula-mula keseluruhan contoh uji untuk kemurnian tetapi bias kurang. Persentase dari setiap komponen didapatkan dari berat masing-masing komponen dibagi berat total dikali 100%. Hasilnya ditulis dalam dua decimal atau dua angka dibelakang koma.
Metode simplo
Metode simplo merupakan metode yang digunakan untuk melakukan pengujian kemurnian benih dengan cara pengambilan contoh benih dilakukan satu kali. Kelebihan dari metode ini adalah waktu yang digunakan dalam melakukan pengujian relatif singkat dan cepat.
International Seed Testing Associstion (ISTA) merupakan acuan yang memuat metode pengujian benih yang telah diuji validitasnya dan diterima secara internasional di dunia perdagangan benih. ISTA adalah asosiasi untuk laboratorium penguji benih yang independent, didirikan pada tahun 1924 bekerja untuk sebuah visi keseragaman dalam pengujian benih di tingkat internasional. Misi ISTA adalah mengembangkan, mengadaptasi dan mempublikasikan prosedur standar umtuk pengambilan contoh atau sampling dan pengujian benih serta mendorong keseragaman aplikasi prosedur tersebut untuk evaluasi pertukaran benih dalam perdagangan internasional. Kebutuhan untuk pengujian benih yang reliable dan reproducible diantara anggota yang terakreditasi adalah kebutuhan dasar untuk ISTA. Hal ini diperoleh melalui publikasi atau yang disebut ISTA rules. Tujuan utama ISTA rules adalah untuk menyediakan metode pengujian untuk calon benih yang ditanam atau menghasilkan tanaman. Sebagian besar metode pengujian dapat diaplikasikan untuk evaluasi kualitas benih yang digunakan untuk makanan atau untuk tujuan teknis. Tugas dari ISTA yaitu melaksanakan pengembangan serta pemberian bimbingan teknis pengujian mutu benih dan penerapan system manajemen mutu benih tanaman pangan dan hortikultura. Fungsi nya antara lain yaitu:
penyusunan program dan evaluasi pengembangan pengujian mutu benih serta pemberian bimbingan teknis pengujian mutu benih dan penerapan system manajemen mutu benih tanaman pangan dan hortikultura.
Pelaksanaan pengembangan teknik dan metode pengujian laboratorium sertifikasi dan pengawasan peredaran benih tanaman pangan dan hortikultura.
Pelaksanaan uji banding antar laboratorium benih tanaman pangan dan hortikultura.
Pelaksanaan uji petik mutu benih tanaman pangan dan hortikultura.
Pelaksanaan sistem mutu dan pemberian hak penandaan hak Standar Nasional Indonesia pada pelaku usaha perbenihan tanaman pangan dan hortikultura.
Pelaksanaan pemberian bimbingan teknis pengujian mutu benih dan penerapan sistem manajemen mutu benih tanaman pangan dan hortikultura.
Penyusunan informasi dan dokumentasi hasil pengembangan pengujian mutu benih serta pemberian bimbingan teknis pengujian mutu benih dan penerapan system manajemen mutu benih tanaman pangan dan hortikultura.
Pengelolaan usaha tata usaha dan rumah tangga Balai Besar PPMB-TPH
(Amrik, 2011).
Berdasarkan standar SNI kelas benih sebar syarat benih murni di laboratorium adalah benih murni dengan batas minimum 98%; kotoran benih 2% dan biji benih tanaman lain 0%. Standar benih yang tinggi dipengaruhi oleh teknik budi daya, penanganan benih (pengeringan, pembersihan, dan pemilahan), cara penyimpanan, dan umur benih (periode simpan benih). Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa benih dengan berat jenis yang lebih tinggi (>1,125 g/L) mempunyai viabilitas dan vigor yang lebih tinggi (Wahyuni et al., 2011). Hasil penelitian Sudir dan Suprihanto (2007) menunjukkan bahwa benih dengan kualitas yang baik (daya berkecambah > 90% dengan tingkat diskolorasi 90%), menghasilkan bibit yang lebih baik dan hasil gabah yang lebih tinggi dibandingkan benih dengan kualitas jelek dan benih campuran. Persentase benih murni yang diperoleh pada saat praktikum adalah benih padi 20,93%, benih jagung 37,21% , dan benih kedelai 20,93%.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa benih murni adalah segala macam biji-bijian yang merupakan jenis atau spesies yang sedang diuji. Benih varietas lain adalah jenis atau spesies lain yang ikut tercampur dalam contoh dan tidak dimaksudkan untuk diuji. Kotoran benih adalah benih dan bagian dari benih yang ikut terbawa dalam contoh. Persentase benih murni pada contoh benih padi sebesar 26,07%, pada contoh benih jagung sebesar 19,56%, pada contoh benih kedelai sebesar 13,68%. Persentase varietas lain pada contoh benih padi sebesar 4,05%, pada contoh benih jagung sebesar 23,43%, pada contoh benih kedelai sebesar 24,03%. Persentase kotoran benih pada contoh benih padi adalah 69,88%, pada contoh benih jagung sebesar 57%, pada contoh benih kedelai sebesar 62,29%.
Saran
Praktikan disaran melakukan pemisahan setiap komponen benih dengan teliti pada saat membedakannya, pada saat melakukan penimbangan dan perhitungan harus dilakukan dengan benar agar hasil persentase kemurnian benih menjadi akurat. Selain itu praktikan disarankan untuk bekerja dengan serius dan efisiensi waktu dikarenakan waktu, tempat, dan peralatan yang terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Amrik, Humandini. 2011. International Seed Testing Associaton. Pengawas Benih Madya Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian. Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
BPMBTPH Balai Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2013. Penetapan Kadar Air dan Kegiatan Pendukungnya. Direktorat jenderal Tanaman Pangan. Direktorat Perbenihan. Jakarta
BPTH. 2008. Buku Saku Sertifikasi atau Pengujian Mutu Benih. Kalimantan
Coperland L.O. and Mc Donald M.D. 1985. Seed Pathology and Phytopathological Testing. In Principles of Seed Science and Technology. Bungee Publ.Camp USA. p. 245-271
Delouche, J.C. 1971. Determinants of Seed Quality. Seed Technology Laboratory Mississippi State University. Mississippi State. Mississippi
Hasanah. 2012. Peran Mutu Genetik dan Fisiologik Benih Dan Pengembangan Industri Benih Tanaman Industri. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 21(3):84–91
Heuver, M. 2006. Introducing to Seed Testing. IAC Wageningen. The Netherlands
Indaryani, et al. 2012. Pengaruh Jenis Kemasaman dan Periode Simpan terhadap Viabilitas Benih Beberapa Varietas Padi. Jurnal Agrisistem. Vol 8(2): 22-25
ISTA. 2010. International rules for seed testing: Edition 2010. The International Seed Testing Association. Bassersdorf. Switzerland
Justice, Oren L. dan Louis N. B. 1990. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih. Rajawali Press. Jakarta
Kamil, J. 1986. Teknologi Benih 1 Cetakan ke 10. Angkasa Raya. Padang
Kartasapoetra. 1986. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. Bina Aksara, Jakarta.
___________. 2003. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. Bina Aksara, Jakarta.
Kuswanto, H. 1997. Analisis Benih. Andi. Yogyakarta
Prasetyo. 2008. Evaluasi Mutu Benih Beberapa Genotipe Padi Selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol 20(3): 17-23
Rudi, H dan Y. Nengsih. 2008. Penggunaan Benih Bermutu Untuk Meningkatkan Produksi Menuju Ketahanan Pangan, hlm 57- 67. Jurnal Imiah Universitas Batanghari Jambi. Vol 8( 3): 9-15.
Sadjad, S. 1993. Dari benih kepada benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Sutopo, L. 1984. Teknologi Benih Cetakan keempat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tortora, G. J. 1987. Principles of Anatomy and Physiologi. Harper and Row. New York
LAMPIRAN
Penimbangan contoh benih padi
Pengujian kemurnian benih padi
Penimbangan contoh benih jagung
Pengujian kemurnian benih jagung
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA II
PENGUJIAN KADAR AIR BENIH
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benih merupakan alat perkembangbiakan tanaman yang berasal dari pembiakan generatif antara induk jantan dan betina yang merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya tanaman. Mutu benih terbagi atas mutu genetik dan mutu fisiologis. Mutu benih sangat tergantung oleh beberapa hal, salah satunya adalah kadar air benih.
Kadar air benih adalah berat air yang terkandung dan yang kemudian hilang karena pemanasan sesuai dengan aturan yang ditetapkan, yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat awal contoh benih. Penetapan kadar air adalah banyaknya kandungan air dalam benih yang diukur berdasarkan hilangnya kandungan air tersebut dan dinyatakan dalam persen terhadap berat asal contoh benih. Penyimpanan dan daya hidup suatu benih sangat erat hubungannya dengan kadar air. Benih biasanya mengandung kadar air yang rendah pada bagian lapisan penutup atau perikarp, jika disbanding dengan bagien embrio dan endosprema. Penyimpanan akan menyebabkan perubahan kandungan kadar air dari suatu biji yang nantinya akan mempengaruhi laju kemunduran benih tersebut.
Kadar air sangat mempengaruhi lama atau tidaknya suatu benih tersebut dapat bertahan atau dapat disimpan. Kadar air benih yang rendah memungkinkan daya hidup benih dan daya simpan benih lebih lama. Sebaliknya jika kadar air benih tinggi menyebabkan perkecambahan lebih cepat sebelum ditanam. Kadar air yang tinggi pada saat penyimpanan menyebabkan naiknya pernafasan benih dan menyebabkan terkurasnya cadangan makanan benih sehingga benih tidak dapat bertahan lama. Pentingnya hal-hal tersebut untuk diketahui maka melatarbelakangi dilakukannya praktikum pengujian kadar air benih, agar mahasiswa mampu mengetahui kadar air yang ideal untuk setiap contoh benih.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk menguji kadar air benih dengan memanfaatkan berbagai cara dan alat pengukur.
TINJAUAN PUSTAKA
Benih merupakan material yang higroskopis, memiliki susunan yang kompleks dan heterogen. Air merupakan bagian yang fundamental yang terdapat disetiap di bagian dalam benih. Banyaknya kadar air benih yang terkandung di dalam benih tergantung pada kelembababn relatif serta temperatur. Kelembabab relatif dan temperatur menentukan tekanan uap dalam benih dan udara di sekitarnya. Tekanan uap air yang berada dalam benih lebih besar daripada tekanan udara disekitarnay menyebabkan uap air akan menerobos dan keluar dari dalam benih. Sebaliknya, jika tekanan uap air di luar benih lebih tingggi, maka uap akan menerobos masuk ke dalam benih. Tekanan uap air di dalam dan di luar benih sama kuatnya, maka tidak akan terjadi pergerakan uap serta dan terjadi keseimbangan kadar air dalam benih (Kartasapoetra, 1986).
Benih berukuran besar atau benih berkulit keras harus digiling atau dipotong lebih kecil sebelum penimbangan dan pengeringan. Hal tersebut dilakukan agar kulit benih tidak menahan penguapan air dari benih. Air akan tetap berada didalam benih setelah pengeringan sehingga kadar air benih hasil pengujian menjadi terlalu rendah. Berat contoh kerja setelah digiling atau dipotong sekurang-kurangnya perulangan lima samapai sepuluh gram (Hasanah, 2006).
Kadar air benih adalah jumlah air yang terkandung dalam benih. Tinggi rendahnya kandungan air dalam benih memegang peran yang sangat penting dan berpengaruh terhadap viabilitas benih. Pengujian terhadap kadar air benih perlu dilakukan agar benih memiliki kadar air terstandar berdasarkan kebutuhannya (Sutopo, 2006).
Metode pengukuran kadar air benih secara langsung dilakukan dengan cara kadar air benih dihitung secara langsung dari berkurangnya berat benih akibat hilangnya air dalam benih, sering juga disebut dengan metode oven. Pengukuran kadar air secara tidak langsung dilakukan dengan cara, kadar air diukur tanpa mengeluarkan air dari benih, tetapi dengan menggunakan hambatan listrik dalam benih yang kemudian dikorelasikan dengan kadar air biasanya. Alat yang digunakan dalam metode ini yaitu Steinlete Moisture Tester (Hasanah, 2006).
Kadar air menentukan lamanya penyimpanan benih dan daya hidup suatu benih. Kadar air optimum dalam penyimpanan bagi sebagian besar benih adalah antara 6-8%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan benih berkecambah sebelum ditanam. Kadar air yang tinggi pada saat penyimpanan dapat merangsang perkembangan cendawan patogen didalam tempat penyimpanan. Kadar air yang terlalu rendah menyebabkan kerusakan pada embio (Mugnisjah, 1990).
Semakin tinggi kandungan air benih semakin tidak tahan benih tersebut untuk disimpan lama. Kenaikan 1% dari kandungan air benih maka umur benih akan berkurang setengahnya. Hukum ini berlaku untuk kandungan air benih antara 5 dan 14 % karena jika dibawah 5% kecepatan menuanya umur benih dapat meningkat disebabkan oleh autoksidaslipid di dalam benih. Kandungan air benih diatas 14% akan terdapat cendawan gudang yang merusak kapasitas perkecambahan benih (Hong dan Ellis, 2005).
Indonesia menerapka salah satu parameter yang harus tertera pada label adalah kadar air benih, bahkan untuk beberapa komoditan kadar air benih merupakan faktor penentu kadaluarsa dari label tersebut. Mealui SK Mentan pemerintah membuat sebuah konsep bahwasannya persyaratan kadar air maksimal untuk beberapa benih tanaman pangan maupun hortikultura yang bertujuan untuk memberikan jaminan mutu benih (BBMBTPH, 2013). Kadar air benih adalah hilangnya berat air ketika benih dikeringkan, dan dinyatakan sebagai persentase berat awal contoh benih. Metode pengukuran kadar air yang diterapkan dirancang untuk mengurangi oksidasi, dekomposisi atau hilangnya zat yang mudah menguap bersamaan dengan pengurangan kelembababn sebanyak mungkin (ISTA, 2010).
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada saat praktikum adalah benih padi, benih jagung, dan benih kacang tanah. Alat yang digunakan adalah oven, timbangan, plastik, label, amplop kertas, dan Moisture tester.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum pengujian kadar air benih adalah sebagai berikut:
Metode Langsung
Masing- masing contoh benih ditimbang, benih padi 20gram, benih jagung, 30gram, benih kacang tanah 30gram
Masing-masing contoh benih dimasukkan kedalam amplop berukuran sedang yang berbeda-beda, kemudian contoh benih yang berada di amplop sedang dimasukkan ke dalam amplop yang berukuran besar kemudian contoh benih dimasukkan kedalam oven selama 2 x 24 jam
Setelah 2 x 24 jam contoh benih diambil kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan bobot akhir
Kemudian persentase kadar air dihitung dengan rumus % KA = , rumus KA yaitu berat awal – berat akhir
Metode Tidak Langsung
Contoh benih padi, jagung, dan kacang tanah serta alat moisture tester disiapkan
Setelah alat siap, secara bergantian contoh benih dimasukkan ke dalam lubang pengujian pada alat tersebut
Kemudian skrup penghancur benih diputar hingga benih benar-benar hancur
Menu uji ditekan sesuai dengan benih yang diuji, kemudian hasil yang muncul pada layar dicatat hasilnya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 2.1 Metode Langsung
Komoditas
Bobot Awal
Bobot Akhir
%KA
Padi
20,0
1,95
90,25%
Jagung
20,0
1,88
90,6%
Kacang
20,0
2,02
89,9%
% KA Padi =
% KA Jagung =
% KA Kacang =
Tabel 2.2 Metode Tidak Langsung
Komoditas
Ulangan
Data ke-
Rata-rata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Padi
1
12,6
12,6
12,6
12,6
12,6
12,5
12,5
12,5
12,6
12,5
2
13,8
13,8
13,9
13,8
13,8
13,8
13,8
13,8
13,8
12,4
3
14,4
14,4
14,3
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,3
12,8
4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
11,9
Jagung
1
11,4
11,4
11,4
11,4
11,4
11,5
11,5
11,5
11,5
12,6
2
14,5
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
14,4
12,8
3
12,3
12,3
12,3
12,2
12,2
12,2
12,2
12,2
12,2
12,0
4
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
11,0
Kacang
1
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
14,9
11,6
2
14,7
14,7
14,7
14,7
14,7
14,7
14,7
14,7
14,7
10,7
3
15,1
15,2
15,2
15,2
15,2
15,2
15,2
15,2
15,1
12,6
4
10,6
10,6
10,5
10,5
10,5
10,5
10,5
10,5
10,5
11,68
Kesimpulan:
Rata- rata kadar air kacang tanah hasil pengamatan adalah 11,65%, hal ini sesuai dengan AAK (1989) yang menyebutkan bahwa KA kacang = 10-15%
Rata- rata kadar air jagung hasil pengamatan adalah 12,1%, hal ini sesuai dengan Purwono et al., (2005) yang menyebutkan bahwa KA jagung = 12-14%
Rata-rata kadar air padi hasil praktikum adalah 12,4%, hal ini sesuai dengan pendapat Prasetyo, YT (2002) yang menyatakan kadar air padi = 12-14%
Pembahasan
Kadar air benih adalah berat air yang hilang karena prosespengeringan, dan dinyatakan sebagai persentase dari berat awal contoh benih. Kadar air benih merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan pada kegiatan pemanenan, pengolahan, penyimpanan, dan pemasaran benih. Kadar air benih dapat menentukan tingkat kerusakan mekanis ketika pengolahan, kemampuan benih mempertahankan viabilitasnya selama di penyimpanan, dan menentukan lulus atau tidak lulusnya dalam pengujian benih bersertifikat (Kuswanto, 2007).
Kadar air benih selama penyimpanannya merupakan faktor yang paling mempengaruhi masa hidupnya. Benih yang cukup masak dan cukup kering penting untuk segera dipanen. Kehilangan viabilitas benih yang baru dipanen berkolerasi dengan kadar air benihnya serta lamanya benih disimpan pada suhu tertentu. Benih berkadar air 54% disimpan pada suhu 30 ̊C selama 45 jam kehilangan daya kecambah 20%. Benih berkadar air 44% akan tahan terhadap suhu 45 ̊C selama 36 jam tanpa kehilangan viabilitasnya. Benih berkadar air 22 dan 11% tidak menunjukkan kehilangan viabilitas pada suhu 50 ̊C selama 45 jam (Prasetyo, 2014).
Kadar air merupakan salah satu komponen dari mutu benih. Kadar air benih mempunyai peranan yang penting dalam penyimpanan benih. Kadar air benih dapat memacu proses pernafasan benih sehingga akan meningkatkan perombakan cadangan makanan benih, akibatnya benih akan kehabisan cadangan makanan pada saat diperlukan atau berkecambah. Kadar air benih harus diketahui baik untuk tujuan pengolahan, maupun penyimpanan benih. Kadar air memiliki dampak besar terhadap benih selama penyimpanan. Tujuan penetapan kadar air diantaranya untuk mengetahui kadar air yang tepat selama penyimpanan dalam rangka mempertahankan viabilitas benih tersebut (Widajati, 2013).
Kadar air merupakan faktor yang paling mempengaruhi dalam perkecambahan benih. Kadar air yang sangat rendah menyebabkan benih terhambat dalam melakukan proses metabolisme untuk untuk pertumbuhan dan perkembangannya hal tersebut menyebabkan benih mengalami fase dormansi. Dormansi juga dapat diakibatkan kekerasan kulit pada benih sehingga air dan oksigen sulit untuk menembus nya peristiwa tersebut jugalah yang menyebabkan kadar air dalam benih sangat rendah. Kekurangan air dapat menghambat perkecambahan benih (Zakaria et al., 2006).
Kadar air benih yang rendah akan menurunkan kecepatan aktivasi enzim di dalam sel saat perkecambahan yang akan terlihat pada daya tumbuh benih yang rendah. Penurunan aktivitas enzim akan mempengaruhi kerja metabolisme dalam perkecambahan benih. Proses perkecambahan benih diawali oleh proses imbibisi. Proses imbibisi yaitu proses penyusupan atau penyerapan air ke dalam ruangan antardinding sel sehingga dinding selnya akan mengembang. Kemunduran benih akan menyebabkan proses imbibisi berjalan dengan lambat. Hubungan laju proses imbibisi dan kegiatan enzim akan berpengaruh pada laju pertumbuhan kecambah, sehingga apabila kadar air rendah laju perkecambahan akan menjadi terhambat (Halloin, 1983 dalam Agustin dan Yudha, 2017).
Kandungan air dalam benih merupakan faktor internal yang berpengaruh pada viabilitas benih selama penyimpanan. Benih yang memiliki kadar air rendah peka terhadap kerusakan mekanis, sehingga benih dapat mudah terserang cendawan. Benih yang mempunyai kadar air terlalu tinggi akan mengalami kemunduran benih yang lebih cepat dan tingginya resiko terserang cendawan (Barton dalam Justice dan Bass, 2002).
Pengeringan benih adalah suatu cara untung mengurangi kandung air di dalam benih, dengan tujuan agar benih dapat disimpan lama. Teknik pengeringan benih menurut Sutopo (2002) ada dua macam yaitu yang pertama pengeringan dengan matahari secara langsung (sun drying), cara ini merupakan cara yang paling sederhana dan umum digunkan oleh petani di Indonesia. Teknik pengeringan yang kedua yairu dengan teknik pengeringan menggunakan alat mekanis (artificial drying), hal-hal pokok yang membuat pengering mekanid ini lebih baik daripada pengering alami adalah suhu, kelembaban, dan kecepatan angin dapat diukur, sanitasi dan hygiene dapat lebih mudah dikendalikan.
Pengeringan buatan atau pengeringan mekanis dapat dilakukan dengan dua metode. Pengeringan yang pertama dilakukan yaitu pengeringan kontinyu atau berkesinambungan (continuous drying), dimana pemasukan dan pengeluaran bahan berjalan terus menerus. Pengeringan kedua dilakukan dengan pengeringan tumpukan (batch drying), bahan masuk ke alat pengering sampai pengeluaran hasil kering, kemudian baru dimasukkan bahan berikutnya (Hasibun, 2005). Metode berkesinambungan bergerak melalui ruang pengering dan mengalami kontak dengan udara panas secara parallel atau berlawanan. Metode tumpukan terdapat tiga jenis menurut Doran (1983) yaitu:
Pengeringan Langsung (direct drying)
Bahan yang dikeringkan secara langsung berhubungan dengan udara yang dipanaskan.
Pengeringan Tidak Langsung (indirect drying)
Udara panas berhubungan dengan bahan melalui perantara, umumnya berupa dinding-dinding atau tempat meletakkan bahan. Bahan akan kontak dengan panas secara konduksi.
Pengeringan beku (freeze drying)
Bahan ditempatkan pada tempat hampa udara, lalu dialiri udara yang sangat dingin melalui saluran udara sehingga air bahan mengalami sublimasi yang kemudian dipompa ke luar ruang pendingin.
Teknik pengeringan benih yang dilakukan sampai taraf yang aman untuk disimpan menurut Astutik (2008) adalah: pertama, pengeringan tanpa pemanasan yaitu metode ini dilakukan di daerah yang udaranya relative kering, dimana kelembaban nisbi dibawah atau sekitas 70%, metode ini merupakan metode yang sangat sederhana yang hanya membutuhkan peralatan dan perlakuan yang tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Cara ini hanya memerlukan tempat yang kering, aliran udaranya lancer dan kelembabannya sekitar 70% saja, namun hal ini tergantung pada daerah atau lokasi tempat dimana kita melakukan pngeringan. Kedua yaitu dengan cara pengeringan dengan pemanasan yang tinggi, metode ini dilakukan dengan aliran atau tiupan udara yang kontinu tinggi yang dihasilkan dengan mengalirkn udara melalui suatu alat pemanas. Pengeringan benih dapat dilakukan dengan pemanasan, pendinginan, dan proses kimiawi. Cara yang sring dilakukan adalah pemanasan, karena prosesnya lebih cepat dan untuk mencegah terjadinya proses deteriosasi dalam rangka mempertahankan kualitas benih. Pengeringan benih dapat dilakukan dengan cara memanaskan udara atau mencampur antara udara dingin dengan udara panas. Pengaturan suhu diperlukan menggunakan alat pengontrol suhu agar didapat kualitas benih seperti yang diinginkan. Memanfaatkan peralatan tersebut benih-benih harus dikenalkan dengan suhu yang cukup tinggi dalam waktu yang tidak lama. Benih akan kehilangan uap air, tetapi belum seimbang dengan kelembaban udara yang relatif yang sangat rendah. Menggunakan peralatan pengering ini sejumlah benih yang masih basah dapat menjadi benih kering dalam waktu antara 0,5 sampai 1 jam. Ketiga yaitu dengan pengeringan dengan tambahan pemanasan, digunakan suhu rendah misalnya ditambahkan 10 ̊F (-12,2 ̊C) di atas suhu lingkungan. Penggunaan suhu lingkungan yang tidak tinggi menjadikan terjaganya kualitas benih serta lebih aman dalam pelaksanaannya. Memanfaatkan peralatan pengeringan dengan suhu rendah (medium temperature dryers). Peralatan ini diharapkan agar pengeringan berlangsung lebih cepat daripada menggunakan peralatan pengering dengan suhu rendah.
Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar air benih adalah tipe benih, ukuran benih, dan penyimpanan. Untuk tipe benih ada yang mempunyai tipe kulit luar yang keras dan tidak keras sehingga berpengaruh dalam proses imbibisi yang berpengaruh pada kadar air dalam benih. Ukuran benih berbeda – beda tiap benih, ukuran benih yang ideal akan memudahkan penyerapan air dalam proses imbibisi sehingga kadar air benih tercukupi. Penyimpanan merupakan faktor paling berpengaruh karena sejatinya, benih lebih lama dalam keadaan penyimpanan. Suhu, kondisi ruang penyimpanan dan kelembapan akan berpengaruh besar terhadap kadar air dalam benih terutama untuk menjaga kadar air dalam benih tersebut seimbang atau tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Seperti hasil penelitian Purwanti (2004) yang menyatakan adanya hubungan warna kulit benih dengan suhu ruang penyimpanan. Warna kulit benih juga tergantung dengan tipe benih dan suhu penyimpanan yang merupakan faktor yang berpengaruh pada kadar air dalam benih.
Bertambahnya kadar air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban udara relatif. Jika suhu rendah dan kelembaban tinggi maka kondisi ini akan memacu naiknya kadar air untuk mencapai keseimbangan, sedangkan naiknya suhu akan mengakibatkan dilepaskannya kandungan air dalam bahan yang disimpan, sehingga terjadi perubahan kadar air. Hal ini terjadi karena antara kadar air, temperatur dan kelembaban saling berhubungan (Kastanja, 2007).
Farida (2012) menyatakan bahwa kadar air biji di lapangan sangat tergantung pada faktor kondisi lingkungan. Pada umur 100 HST terjadi peningkatan kembali kadar air hingga dua kali kadar air sebelumnya yang disebabkan oleh kondisi hujan dilapangan. Biji ortodoks bersifat higroskopis sehingga kadar air selalu berkeseimbangan dengan lingkungan. Selanjutnya kadar air ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan cendawan dan laju respirasi yang berpengaruh terhadap kualitas benih.
Berdasarkan sifatnya di dalam penyimpanan (storage behavior) benih dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu benih ortodoks dan benih rekalsitran. Benih ortodoks adalah benih yang dapat disimpan lama, kadar air dapat diturunkan sampai di bawah 10%, dan dapat disimpan pada suhu dan kelembapan rendah. Benih rekalsitran yaitu benih yang tidak dapat disimpan dalam waktu lama, tidak tahan atau mati jika disimpan pada suhu dingin, dan tidak tahan disimpan bila kadar airnya diturunkan sampai di bawah kadar air kritis. Benih ortodoks meliputi benih kedelai, padi, cabe, akasia, sengon, cendana, ampupu, kacang hijau, sonorbit dan anggur. Sedangkan benih rekalsitran meliputi benih durian, kakao, damar, eboni, kayu karet, kelapa, cengkeh, nangka, salak, dan meranti (Apriyani, 2014).
Benih ortodoks dapat dibedakan antara yang berselaput benih (seed coat) keras dan yang tidak, sedangkan benih rekalsitran ada yang tahan di bawah suhu 10ºC atau yang tidak tahan. Benih ortodoks berselaput keras dapat disimpan lebih lama, dengan viabilitas yang masih baik, daripada benih ortodoks yang tidak berselaput keras. Tanaman dari kelompok legum diketahui ada yang berselaput keras; bahkan, dalam spesies yang sama terdapat perbedaan kekerasan selaput benih antarvarietas. Berbagai percobaan penyimpanan secara alamiah atau melalui pengusangan yang dipercepat telah membuktikan hal ini, misalnya untuk benih kedelai, dengan sifat impermeabilitas selaput benih yang dapat dimanipulasi secara teknik budidaya. Golongan tanaman yang lazimnya berbenih ortodoks meliputi tanaman semusim atau dua musim; tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman pakan. Tanaman tahunan (tanaman buah-buahan, perkebunan, dan hutan) kebanyakan bersifat rekalsitran walaupun tidak sedikit pula yang tergolong ortodoks (Mugnisjah, 2008).
Berdasarkan terminologi penanganan benih, benih dikelompokkan dalam dua kelompok utama berdasarkan potensi fisiologisnya, yaitu benih ortodoks dan rekalsitran. Benih ortodoks merupakan benih yang dapat disimpan lama dengan kadar air yang dapat diturunkan sampai kurang lebih dibawah 10-15 %, serta dapat disimpan pada suhu dan kelembaban rendah. Viabilitasnya dapat diperpanjang dengan menurunkan kelembaban dan suhu penyimpanan. Benih dari jenis rekalsitran tetap mempertahankan kadar air tinggi sampai masak (sering >30-50 %) dan peka terhadap pengeringan di bawah 12-30 %, tergantung pada jenisnya. Benih ini mempunyai daya simpan rendah, kehilangan viabilitasnya dengan cepat pada berbagai kondisi penyimpanan. Benih rekalsitran memiliki daya hidup yang relatif pendek walaupun benih disimpan pada kondisi lembab. Benih tanaman obat sebagian termasuk dalam golongan benih ortodoks, seperti benih terung KB, sambiloto, selasih, secang, dan saga, dan sebagian lain tergolong benih rekalsitran seperti mengkudu, mahkota dewa, katuk, dan purwoceng (Murrinie et al., 2017).
Berdasarkan praktikum menggunakan metode oven yang telah dilakukan tanaman padi persentase kadar airnya mendapatkan hasil 90,25%, jagung 90,6%, dan kedelai 89,9%. Berdasarkan metode moisture test rata-rata kadar air benih padi basah yaitu sebesar 12,4%, rata-rata jagung sebesar 12,1%, dan rata-rata benih kedelai sebesar 11,65%. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Yulyatin dan Alit (2015) bahwa benih kedelai bersifat higroskopis, mudah menyerap atau mengeluarkan air dari atau ke udara sekitar, sehingga memiliki kadar air yang tinggi. Benih yang berukuran besar lebih cepat menyerap air sehingga kadar airnya lebih besar daripada benih ukuran sedang dan kecil. Kadar air benih yang terlalu tinggi mendorong terciptanya kondisi yang mempercepat laju kerusakan benih, akibat terjadinya proses metabolisme dan respirasi. Laju respirasi yang tinggi dapat mempercepat hilangnya viabilitas benih.
PENUTUP
Kesimpulan
Praktikum pengujian kadar air benih dapat disimpulkan bahwa, persentase kadar air benih yang diuji dengan metode langsung pada benih padi sebesar 90,25%, pada benih jagung sebesar 90,6%, pada benih kacang tanah sebesar 89,9%. Pengujian dengan metode tidak langsung memiliki persentase rata-rata pada benih padi sebesar 12,4%, pada benih jagung sebesar 12,1%, pada benih kacang tanah sebesar 11,65%.
Saran
Praktikan disarankan agar melakukan pengujian serta mrlakukan persentase kadar air setiap contoh benih dengan teliti serta efisiensi waktu, dikarenakan keterbatasan alat dan tempat.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, M. 2011. Ecology of seed dormancy and germination of Carex divisia hunds : Effect of stratifications, temperature and salinity. International Journal of Plant Production. Vol 1(1): 2-12
Astutik, Sei mulia. 2008. Teknik Pengeringan Bawang Merah Dengan Cara Perlakuan Suhu dan Tekanan Fakum. Jurnal Teknik Pertanian. Vol 3(2): 32-41
BPMBTPH Balai Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2013. Penetapan Kadar Air dan Kegiatan Pendukungnya. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Direktorat Perbenihan. Jakarta
Coppelad. 1980. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Pebl. co. Minneapolis. Minnesota
Doran, J. C., Tumbull, J.W., Bolland, J. D. 1983. Handbook on Seed of Dry-zone Acacias. A guide for collecting, extracting, cleaning, and stering the seed and for treatment to promote germination of dry-zone acacias. FAO Rome
Harington. 1972. Dari Benih Kepada Benih. PT Grasindo. Jakarta
Haryano. 2007. Petunjuk Praktikum Analisis Benih Biologi. Jurdik Biologi. FMIPA. UNY. Yogyakarta
Hasanah, M dan Rusmin. 2010. Teknologi Pengelolaan Benih Beberapa Tanaman Obat Di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Obat. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 25(2):68-73
_______. 2006. Teknologi Benih. Angkasa. Bandung
Hasibun, Rosdaneli. 2005. Proses Pengeringan. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara
Hong, T. D dan R. H., Ellis. 2005. A Protocol to Determine Seed Storage Behaviour IPGRI. Technical Bulletin No. 1 Departement of Agriculture. The University of Reading. UK
Huever, M. 2006. Introduction to Seed Testing. IAC Wageningen. The Netherlands
ISTA. 2010. International Rules for Seed Testing Edition 2010. ISTA Co
Justice, and Bass. 1979. Physiology of Seed Deteriorstion. Crop Science Society of America Inc. Madison. Wiscondin. USA
Kartasapoetra, 1986. Teknologi Benih. Rineka Cipta. Jakarta
Kuswanto, H. 2007. Analisis Benih. Kanisius. Yogyakarta
Mai, R.R. dan B.A. Suripatty. 1994. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Viabilitas Benih Pometia pinnata Forst yang Disimpan dalam Kantong Aluminium Foil. Jurnal Penelitian Kehutanan Vol 2(2): 23-25
Mudiana, D. 2007. Perkecambahan Syzygium cumini L. Skeels. Penerbit Balai Konservasi Tumbuhan Kebun raya Purwodadi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indosensia (LIPI). Pasuruan
Mugnisjah, W. Q. 1990. Pengantar Produksi Benih. Rajawali Press. Jakarta
______________. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Muhammad, A. F. 2010. Teknologi Benih. Angkasa. Bandung
Prasetyo, Adi. 2014. Evaluasi Mutu Benih Beberapa Genotipe Padi Selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. Vol 3(2): 17-23
Roseli, Rennie. 1994. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT Widia Sarana Indonesia. Jakarta
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penggunaan Benih Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta
Sutopo, L. 1984. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya Malang. Malang
________. 2002. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya Malang. Malang
________. 2006. Teknologi Benih Edisi Revisi. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya Malang. Malang
Widajati, E. Murniati, E. Palupi ER. Kartika T. Suhartanto MR. Qadir, A. 2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB. Bogor
LAMPIRAN
Proses penimbangan benih padi jagung dan kedelai
Benih dimasukkan kedalam amplop
pengujian kadar air benih dengan metode tidak langsung
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA III
PEMATAHAN DORMANSI
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dunia pertanian tidak lepas dari kata benih. Benih adalah biji yang dipersiapkan untuk tanaman yang telah melalui proses seleksi, sehingga diharapkan dapat mencapai proses pertumbuhan menjadi tanaman yang besar atau dewasa. Benih juga diartikan sebagai bagian tanaman yang digunakan untuk memperbanyak dan mengembangbiakkan tanaman.
Masa pertumbuhan benih untuk menjadi suatu tanaman yang besar atau tanaman dewasa seringkali benih mengalami fase istirahat dalam pertumbuhannya atau sering disebut dormansi. Dormansi benih merupakan suatu kondisi dimana benih tidak berkecambah walaupun ditanam pada kondisi lingkungan yang optimum. Dormansi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain yaitu impermeabilitas kulit biji terhadap air atau gas ataupun resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio. Benih yang mengalami dormansi ini dapat distimulasikan untuk berkecambah dengan suatu perlakuan mekanis, fisik, maupun kimia.
Kemampuan benih untuk menunda perkecambahan sampai waktu yang tepat adalah mekanisme pertahanan hidup yang penting dalam tanaman. Dormansi benih diturunkan secara genetic dan merupakan cara tanaman agar dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkunganya. Dormansi dapat dipecahkan atau dipatahkan dengan melakukan berbagai perlakuan.
Metode pematahan dormansi yang efektif dibedakan berdasarkan penyebabnya, sebab metode yang satu belum tentu bias digunakan untuk metode pematahan dormansi penyebab yang lain. Metode pematahan dormansi yang disebabkan faktor fisik adalah skarifikasi yaitu perlukaan kulit benih agar air dan nutrisi bias masuk ke dalam benih. Pematahan dormansi faktor fisiologis pada kasus after ripening adalah dengan perendaman dengan senyawa kimia tertentu. Hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi dilakukan praktikum pematahan dormansi agar dapat melakukan pematahan dormansi benih dengan metode tertentu.
Tujuan
Praktikum pematahan dormansi bertujuan untuk mempercepat perkecambahan biji dengan metode skarifikasi benih.
TINJAUAN PUSTAKA
Benih merupakan komponen teknologi kimiawi biologis pada setiap musim tanama untuk komoditas pangan. Benih dari segi teknologi diartikan sebagai organisme mini hidup yang dalam keadaan istirahat atau dorman yang tersimpan dalam wahan tertentu yang digunakan sebagai generasi penerus. Benih dikatakan dorman apabila benih gtersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan (Sutopo, 2002).
Dormansi didefinisikan sebagai status dimana benih tidak berkecambah walaupun pada kondisi lingkungan yang ideal untuk perkecambahan. Beberapa mekanisme dormansi terjadi pada benih baik fisik maupun fisiologi, termasuk dormansi primer dan sekunder. Fungsi dormansi bagi tanaman untuk siklus pertumbuhan tanaman dengan keadaan lingkungan (Ilyas, 2007).
Dormansi primer merupakan bentuk dormansi yang paling umum dan terdiri atas dua macam yaitu dormansi eksogen dan dormansi endogen. Dormansi elsogen adalah kondisi dimana persyaratan penting untuk perkecambahan tidak tersedia bagi benih sehingga gagal berkecambah. Tipe dormansi ini biasanya berkaitan dengan sifat fisik kulit benih. Kondisi cahaya ideal dan stimulus lingkungan lainnya untuk perkecambahan mungkin tidak tersedia. Faktor-faktor penyebab dormansi eksogen adalah air, gas, dan hambatan mekanis. Benih yang impermeabel terhadap air dikenal sebagai benih keras (Idris, 2003). Metode pematahan dormansi eksogen yaitu :
Skarifikasi mekanis untuk menipiskan testa, pemanasan, pendinginan, perendaman dalam air mendidih, pergantian suhu drastic, namun temperature tinggi jarang digunakan untuk mematahkan dormansi benih, karena biasanya temperatur tinggi dapat meningkatkan dormansi benih daripada memperbaiki perkecambahannya (Esmaeili, 2009)
Skarifikasi kimia untuk mendegradasi testa, yaitu asam sulfat. Testa yang mengandung senyawa tak larut air yang menghalangi masuknya air ke benih, maka pelarut organik seperti alcohol dan aseton dapat digunakan untuk melarutkan dan memindahkan senyawa tersebut sehingga benih dapat berkecambah (Esmaeili, 2009).
Dormansi endogen dapat dipatahkan dengan perubahan fisiologis seperti pemasakan embrio rudimeter, respon terhadap zat pengatur tumbuh, perubahan suhu, ekspos ke cahaya. Mekanisme dormansi dapat dibedakan pada dua lokasi yang berbeda, yaitu penutupp embrio dan embrio. Dormansi yang disebabkan penutup embrio di antaranya pertukaran gas terhambat, penyerapan air terhambat, penghambatan mekanis, inhibitor didalam penutup embrio dan kegagalan dalam memobilisasi cadangan makanan dari endosperma. Sementara dormansi di embrio antaranya embrio belum berkembang dan berdiferensiasi pemblokiran sintesa asam nukleat dan protein kegagalan dalam memobilisasi cadangan makanan dari embrio defisiensi zat pengatur tumbuh adanya inhibitor (Bradbeer, 1989).
Dormansi sekunder, benih non dorman dapat mengalami kondisi yang menyebabkan menjadi dorman. Penyebabnya kemungkinan benih terekspos kondisi yang ideal untuk terjadinya perkecambahan kecuali yang tidak terpenuhi, misalnya saja perubahan fisik yang terjadi pada kulit biji yang diakibatkan oleh pengeringan berebihan, sehingga pertukaran gas-gas pada saat imbibisi menjadi lebih terbatas (Soejadi, 2002). Dormansi sekunder dapat diinduksi oleh thermo (suhu) diknal sebagai thermodormancy, photo (cahaya) dikenal sebagai photodormancy, skoto (kegelapan) dikenal sebagai skotodormancy, meskipun penyebab lain seperti kelebihan air, bahan kimia, dan gas bias juga terlibat. Mekanisme dormansi sekunder diduga karena :
Terkena hambatan pada titik-titik rusial dalam sekuens metabolic menuju perkecambahan.
Ketidakseimbangan zat pemacu pertumbuhan versus zat penghambat pertumbuhan
(Soejadi, 2002).
Dormansi benih dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi diataranya berdasarkan faktor penyebabnya, mekanisme dormansi, dan berdasarkan bentuk dormansi. Berdasarkan faktor penyebabnya dormansi dibedakan menjadi Imposed dormancy yaitu terhalangnya pertumbuhan aktif karena keadaan yang tidak menguntungkan, dan Imnate dormancy yang disebabkan oleh keadaan atau kondisi didalam organ-organ biji itu sendiri. Berdasarkan mekanismenya dibedakan menjadi mekanisme fisik dan mekanisme fisiologis. Sementara berdasarkan bentuk dormansi dibedakan menjadi kulit biji impermeable terhadap air atau oksigen, biji membutuhkan suhu rendah dan biji yang bersifat light sensitive (Cahyono, 2001).
Salah satu faktor yang dapat mematahkan dormansi adalah ZPT atau zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Zat pengatur tumbuh atau hormone (fitohormon) tumbuhan merupakan senyawa organic yang bukan hara, ZPT dalam jumlah sedikit dapat memicu, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis tumbuhan. Zat pengaruh tumbuh memberikan kontribusi penting dalam dunia pertanian (Gunawan, 2002).
Zat pengatur tumbuh yang membantu mematahkan dormansi diantaranya adalah auksin, etilen, sitokinin, dan giberelin. Auksin adalah hormon yang diproduksi tumbuhan yang berfungsi sebagai pengatur pembesaran sel dan memicu pemanjangan sel di daerah belakang meristem. Hormon auksin secara alami ditemukan pada bagian akar, ujung batang dan bunga. Fungsi auksin pada tanaman antara lain merangsang proses perkecambahan biji, dilakukan dengan cara melakukan perendaman benih dengan auksin. hal ini auksin memiliki fungsi sebagai pemecah dormansi pada benih. Etilen merupakan hormon tumbuh yang diproduksi dari hasil metabolisme normal dalam tanaman. Etilen berperan dalam pematangan buah dan kerontokan daun. Etilen disebut juga ethane. Senyawa etilen pada tumbuhan ditemukan dalam fase gas, sehingga disebut juga gas etilen. Gas etilen tidak berwarna dan mudah menguap. Etilen berfungsi untuk mengakhiri masa dormansi. Sitokinin adalah sekelompok hormon tumbuhan dan zat pengatur tumbuh yang mendorong terjadinya pembelahan sel (sitokinesis) di jaringan meristematik. Fungsi sitokinin bersama auksin dan giberelin adalah merangsang pembelahan dan pemanjangan sel, menghambat dominansi apikal oleh auksin, merangsang pertumbuhan kuncup lateral, merangsang pemanjangan titik tumbuh, mematahkan dormansi biji serta merangsang pertumbuhan embrio, merangsang pembentukan akar cabang, menghambat pertumbuhan akar adventive, menghambat proses penuaan (senescence) daun, bunga dan buah dengan cara mengontrol proses kemunduran yang menyebabkan kematian sel-sel daun. Giberelin atau asam giberelat adalah semua anggota kelompok hormon tumbuhan yang memiliki fungsi yang serupa atau terkait dengan bioassay GA1. Fungsi giberelin adalah merangsang pemanjangan batang dan pembelahan sel, merangsang perkecambahan biji, memecah dormansi biji dan merangsang pembungaan dan pembuahan (Yusinda, 2006).
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum pematahan dormansi adalah benih albasia, cabai, tomat, kolang-kaling, melinjo, pinang. Alat yang digunakan adalah cawan petri, polybag, dan pasir.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum pematahan dormansi adalah sebagai berikut :
Alat dan bahan yang digunakan disiapkan
Benih yang telah diberi perlakuan seperti cabai dengan air kelapa, melinjo kupas dan amplas, kolang-kaling amplas, albasia yang direndam air biasa dan air panas, pinang yang dikupas, dan tomat yang diberi ZPT, ditanam pada polybag yang berbeda masing-masing benih sebanyak sepuluh benih
Setelah benih yang telah diberi perlakuan ditanam, selanjutnya benih yang tidak diberi perlakuan ditanam pada polybag yang berbeda masing-masing sepuluh benih sebagai perlakuan kontrol
Pengamatan dilakukan setiap dua hari sekali dan dilakukan pencatatan selama 14 hari
Persentase benih yang berkecambah normal dicatat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 3.1. Perlakuan albasia
Perlakuan albasia
Pengamatan ke-
1
2
3
4
5
6
Air biasa
0
0
0
3
1
2
Air panas
0
0
0
5
0
2
% pertumbuhan =
% pertumbuhan air biasa = = 60%
% pertumbuhan air panas = = 70%
Tabel 3.2. Perlakuan melinjo
Perlakuan melinjo
Pengamatan ke-
1
2
3
4
5
6
Kontrol
0
0
0
0
0
0
Amplas
0
0
0
0
0
0
Kupas
0
0
0
0
0
0
% pertumbuhan =
% pertumbuhan kontrol = = 0%
% pertumbuhan amplas = = 0%
% pertumbuhan kupas = = 0%
Tabel 3.3. Perlakuan cabai
Perlakuan pinang
Pengamatan ke-
1
2
3
4
5
6
Kontrol
0
0
0
4
0
2
ZPT
0
0
0
3
1
1
% pertumbuhan =
% pertumbuhan kontrol = = 50%
% pertumbuhan ZPT = = 60%
Tabel 3.4. Perlakuan tomat
Perlakuan tomat
Pengamatan ke-
1
2
3
4
5
6
Kontrol
0
0
0
4
1
3
ZPT
0
0
0
3
0
1
% pertumbuhan =
% pertumbuhan kontrol = = 40%
% pertumbuhan ZPT = = 80%
Pembahasan
Biji yang telah masak dan siap untuk berkecambah membutuhkan kondisi klimatik dan tempat tumbuh yang sesuai untuk dapat mematahkan dormansi dan memulai proses perkecambahannya. Pretreatment skarifikasi digunakan untuk mematahkan dormansi kulit biji, sedangkan stratifikasi digunakan untuk mengatasi dormansi embrio (Cahyono, 2001). Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perawatan awal pada benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya perkecambahan biji yang seragam. Upaya ini dapat berupa pemberian perlakuan secara fisis, mekanis, maupun chemis mengklasifikasikan dormansi atas dasar penyebab dan metode yang dibutuhkan untuk mematahkannya. Perlakuan mekanis, diantaranya yaitu dengan Skarifikasi (Soejadi, 2002).
Skarifikasi mencakup cara-cara seperti mengkikir atau menggosok kulit biji dengan kertas amplas, melubangi kulit biji dengan pisau, memecah kulit biji maupun dengan perlakuan goncangan untuk benih-benih yang memiliki sumbat gabus.Tujuan dari perlakuan mekanis ini adalah untuk melemahkan kulit biji yang. Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perlakuan awal pada benih yang ditujukan untuk mematahkan dormansi dan mempercepat terjadinya perkecambahan benih yang seragam (Saleh, 2008). Skarifikasi (pelukaan kulit benih) adalah cara untuk memberikan kondisi benih yang impermeabel menjadi permeabel melalui penusukan; pembakaran, pemecahan, pengikiran, dan penggoresan dengan bantuan pisau, jarum, pemotong kuku, kertas, amplas, dan alat lainnya Kulit benih yang permeabel memungkinkan air dan gas dapat masuk ke dalam benih sehingga proses imbibisi dapat terjadi. Benih yang diskarifikasi akan menghasilkan proses imbibisi yang semakin baik. Air dan gas akan lebih cepat masuk ke dalam benih karena kulit benih yang permeabel. Air yang masuk ke dalam benih menyebabkan proses metabolisme dalam benih berjalan lebih cepat akibatnya perkecambahan yang dihasilkan akan semakin baik. Benih saga manis yang diskarifikasi diduga akan berkecambah lebih baik dibandingkan dengan benih yang tidak diskarifikasi. Kecambah normal yang dihasilkan dari benih yang diskarifikasi akan dihitung dan dibandingkan dengan benih saga manis yang tidak diskarifikasi (Juhanda, 2013).
Salah satu proses atau perlakuan untuk mematahkan dormansi biji dengan cara menciptakan lingkungan tertentu. Cara itu berupa pengaturan suhu dan kelembabab, sehinnga didsapat suhu dan kelembaban yang disukai biji untuk berkecambah. Pematahan dormansi penting untuk kelangsungan hidup benih selanjutnya, yakni perkecambahan. Ada dua jenis stratifikasi, yakni stratifikasi dingin dan stratifikasi hangat. Stratifikasi dingin terutama diteraokan pada tanaman daerah dingin. Metode ini biji diberi kelembaban tinggi dan suhu rendah (0-10 ̊C).
Stratifikasi hangat dipraktikkan pada biji tanaman tropis, memberikan suhu hangat diatas 10 ̊C dan lembab pada biji (Nurussintani, 2013). Mekanisme pematahan dormansi dengan perendaman air panas merupakan upaya mematahkan dormansi fisik pada Leguminosae melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereid, atau merusak tutup strophiolar. Metode ini paling efektif bila benih direndam dalam air panas. Pencelupan juga baik untuk mencegah kerusakan embrio. Perubahan suhu yang cepat menyebabkan perbedaan tegangan, bukan karena suhu tinggi, bila perendaman terlalu lama, panas dapat diteruskan kedalam embrio sehingga dapat menyebabkan kerusakan. Cara umum dilakukan adalah dengan menuangkan benih dalam air mendidih dan membiarkannya untuk mendingin dan menyerap air selama 12 – 24 jam. Suhu air menurun dengan cepat sehingga tidak merusak embrio, contoh pada I Cassia siamea. Kepekaan terhadap suhu bervariasi di antara maupun didalam jenih, demikian pula pada beberapa jenis Acacia yang lebih baik diberi perlakuan di bawah titik didih, sedangkan benih kering yang masak atau kulit bijinya relative tebal, toleran terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih (Utomo, 2006).
Perlakuan skarifikasi mekanik terhadap benih sirsak yang telah dilakukan tidak dapat meningkatkan daya berkecambah benih. Hal ini diduga akibat benih mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berkecambah normal (Copeland dan Donald, 2001). Menurut Widyawati et al (2009) teknik yang umum dilakukan pada perlakuan skarifikasi mekanik yaitu pengamplasan, pengikiran, pemotongan, dan penusukan jarum tepat pada bagian titik tumbuh sampai terlihat bagian embrio. Skarifikasi mekanik memungkinkan air masuk ke dalam benih untuk memulai berlangsungnya perkecambahan.
Perlakuan skarifikasi mekanik pada benih aren dalam penelitian Maryani dan Irfandri (2008) dapat menipiskan kulit benih aren sehingga kebutuhan benih terhadap air dan oksigen cepat tersedia dalam jumlah yang cukup untuk perkecambahan. Menurut Olszewski et al., (2010) skarifikasi mekanik pada biji nyamplung dengan meretakan tempurung buah setelah biji ditabur meningkatkan persentase perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan perendaman pada air dingin, kontrol, dan perendaman pada air panas. Biji dengan tempurung yang diretakan dengan air dapat diabsorbsi biji sehingga proses perkecambahan dapat berlangsung sehingga skarifikasi biji berfluktuasi terhadap pertumbuhan bibit sampai dengan bibit siap tanam. Proses perkecambahan diawali dengan imbibisi air oleh biji sehingga embrio membesar (Finch-Savage&Leubner-Metzger, 2006).
Banyak orang yang berpendapat bahwa lamanya waktu yang diperlukan biji melinjo untuk berkecambah disebabkan oleh suatu dormansi, yakni dormansi kulit keras dari biji melinjo. Masa dormansi biji melinjo tidaklah lama, konstruksi kulit biji melinjo memungkinkan air dengan mudah masuk ke dalam biji, dan kecambah tanpa kesukaran dapat keluar dari biji. Perkecambahan yang lama dari biji melinjo disebabkan karena letak embrio (Idris, 2003).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa biji melinjo setelah lepas pohon karena telah masak (berkulit merah), belum memiliki embrio yang sempurna. Embrio baru diwujudkan oleh sekelompok sel yang belum mengalami deferensiasi (pembedaan fungsi). Perkembangan embrio berlangsung di luar pohon. Banyak terjadi pada tanaman dari Gymnospermae (berbiji terbuka) yang tidak dilindungi oleh daging buah. Buah melinjo sebenarnya adalah biji, dan yang tampak merah setelah tua itu adalah kulit luarnya. Waktu lama yang diperlukan untuk berkecambah itu sebenarnya adalah waktu yang diperlukan biji untuk menyempurnakan embrionya. Perkecambahan embrio dapat bila dipercepat, maka perkecambahan akan lebih cepat terjadi dan lebih serentak, sehingga dapat diperoleh bibit yang lebih seragam tumbuhnya (Sunanto, 1991).
Biji melinjo pada umumnya mulai berkecambah 6 bulan setelah ditanam (disemai), dan persentasinya sangat rendah yakni 1%-2%. Persentasi yang berkecambah semakin naik, biasanya setelah 12 bulan hampir semua biji berkecambah, hanya beberapa saja yang baru berkecambah setelah 14 bulan. Biji yang tidak mau berkecambah setelah sekian lama berada di pesemaian, kemungkinan biji itu tidak memiliki embrio, tetapi hanya memiliki endosperm (Maulidya et al. 2011).
Air kelapa memiliki kandungan mineral yang tinggi, selain itu air kelapa mengandung gula, protein dan minerallainnya seperti natrium, kalsium, magnesium, ferum, cuprum, fosfor, dan sulfur. Air kelapa juga mengandung berbagai macam vitamin seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam pantotenal, asam folat, niacin, riboflavin, dan thiamin. Air kelapa juga mengandung auksin dan sitokinin sebagai pendukung sel embrio. Air kelapa dapat meningkatkan hasil, seperti contohnya yaitu pada kedelai dapat meningkatkan hasil mencapai 64%, kacang tanah mencapai 15%, dan sayuran mencapai 20-30%. Hal tersebut terjadi karena auksin dapat memacu pemanjangan sel dan sitokinin merangsang pembentukan akar dan batang serta pembentukan cabang akar dan batang dengan menghambat dormansi apikal, sehingga pada saat perkecambahan terjadi lebih cepat dan menghasilkan tanaman yang banyak sehingga hasilnya sesuai. Air kelapa juga dapat merangsang pembungaan pada anggrek seperti dendrobium dan phalaenopsis (Yusinda, 2006).
Zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam air kelapa menurut Heddy (1989) adalah sebagai berikut:
ABA.
ABA merupakan hormon tanaman yang secara alamiah disintesis dalam plastida atau kloroplas dan ditemukan pada berbagai jenis tanaman. ABA banyak diproduksi tanaman terutama bila tanaman berada dalam keadaan stress. ABA tergolong dalam zat penghambat tanaman atau inhibitor tanaman karena kerjanya pada umumnya berlawanan dengan hormon pendorong seperti auksin, sitokinin dan giberilin. Peran fisiologis ABA terutama dalam pengaturan stomata, dormansi tunas, dormansi biji dan absisi organ tanaman misalnya daun, bunga, buah.
Umumnya ABA dipakai di dalam kultur jaringan pada konsentrasi 5-50 mg/l. Beberapa jenis tanaman dilaporkan bahwa pemberian ABA dengan konsentrasi yang rendah mampu mendorong pembentukan kalus. ABA didalam proses pembentukan embrio somatik dan benis somatik telah banyak dicoba. Penambahan ABA pada kegiatan ini telah terbukti mampu mendorong pematangan embrio somatik dan pada benih mampu menginduksi dormansi.
Auksin
Auksin adalah hormon yang diproduksi tumbuhan yang berfungsi sebagai pengatur pembesaran sel dan memicu pemanjangan sel di daerah belakang meristem. Hormon auksin secara alami ditemukan pada bagian akar, ujung batang dan bunga. Fungsi auksin pada tanaman antara lain :
Merangsang proses perkecambahan biji, dilakukan dengan cara melakukan perendaman benih dengan auksin. Auksin memiliki fungsi sebagai pemecah dormansi pada benih.
Merangsang proses pembentukan dan pertumbuhan akar.
Merangsang terbentuknya bunga dan buah.
Merangsang terjadinya partenokarpi. Partenokarpi adalah suatu kondisi dimana tanaman mampu membentuk buah tanpa penyerbukan. Pemberian auksin dapat menghasilkan buah tanpa biji.
Mencegah kerontokan buah.
Memecah dormansi pucuk atau apikal adalah suatu kondisi pucuk atau akar tanaman tidak mau berkembang.
Sitokinin
Sitokinin berfungsi sebagai pemicu pembelahan sel pada tumbuhan. Senyawa yang dapat berfungsi sebagai sitokinin adalah kinetin dan zeatin. Zeatin alami dapat diperoleh pada biji jagung muda. Zeatin juga ditemukan pada air kelapa. Fungsi sitokinin pada tanaman :
Merangsang proses pembelahan dan pembesaran sel, sehingga dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Merangsang proses perkecambahan biji.
Merangsang pertumbuhan tunas.
Menghambat proses penuaan pada hasil panen.
Giberelin
Giberelin sering juga disebut dengan GA (gibberellic acid) atau asam giberelat. Giberelin memiliki kemiripan sifat dengan sitokinin. Giberelin dapat ditemukan pada hampir semua siklus hidup tanaman. Giberelin alami dapat diperoleh pada tumbuhan paku-pakuan/pakis, jamur, lumut, gymnospermae dan angiospermae terdapat pada biji muda, pucuk batang, ujung akar dan daun muda. Giberelin memiliki fungsi sebagai berikut :
Mengontrol pertumbuhan dan perkembangan seluruh tumbuhan baik akar, daun maupun batang tanaman, seperti pengembangan benih, perkecambahan biji, pertumbuhan tunas, pertumbuhan daun, dan pemecah dormansi.
Merangsang pembungaan, perkembangan buah, perpanjangan batang, serta deferensiasi akar.
Pemberian giberelin di bawah tajuk tumbuhan dapat meningkatkan laju fotosintesis daun tumbuhan.
Memacu pertumbuhan daun, terjadi peningkatan pembelahan sel dan pertumbuhan sel yang mengarah pada perkembangan daun.
Memacu pemanjangan batang tumbuhan.
Etilen
Zat Pengatur Tumbuh ini sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, yakni pada saat kita memeram buah. Misalnya penggunaan ethrel untuk mempercepat pematangan buah cabai, atau penggunaan karbit pada pemeraman buah. Etilen berfungsi untuk :
Membantu proses pematangan buah.
Memacu pembungaan.
Merangsang pemekaran bunga.
Merangsang pertumbuhan akar dan batang.
Merangsang pengguguran buah dan daun.
Merangsang perkecambahan biji.
Menghambat pemanjangan batang kecambah.
Memperkokoh batang tanaman.
Mengakhiri masa dormansi.
Etilen yang digunakan bersamaan dengan giberelin, menjadikan etilen berfungsi dalam mengatur perbandingan bunga jantan dan betina pada tumbuhan berumah satu.
Menurut Aguzaen (2009) auksin (IAA) bersama kofaktor perakaran (umumnya vitamin) akan membentuk kompleks IAA-kofaktor, kemudian bersama glukosa/karbohidrat, nitrogen dan zat hara lainnya akan mendorong terbentuknya inisiasi akar. Keberadaan auksin pada selang konsentrasi sempit/rendah diperlukan untuk merangsang dan memacu inisiasi akar pada jaringan kalus yang berbentuk di stek. Selang konsentrasi luas/tinggi, auksin justru akan menghambat inisiasi akar, namun keberadaanya bersama sitokinin masih mampu merangsang inisiasi akar (Karjadi, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa auksin dan sitokinin bekerja sinergis dalam merangsang dan memacu inisiasi akar stek lada. Harjadi (1984) menyatakan bahwa karbohidrat juga berperan dalam meningkatkan laju pembelahan sel jaringan meristem pada kambium, titik tumbuh batang dan ujung akar, termasuk panjang akar. Semakin banyak terbentuk inisiasi akar pada stek lada berarti semakin banyak pula jumlah akar bibit stek lada. Semakin cepat terbentuk inisiasi akar pada stek lada berarti semakin panjang akar tersebut, sehubungan dengan bertambahnya umur bibit.
Sitokinin merupakan ZPT yang mendorong pembelahan (sitokinesis), pertumbuhan dan perkembangan kulktur sel tanaman. Sitokinin juga menunda penuaan daun, bunga dan buah dengan cara mengontrol dengan baik proses kemunduran yang menyebabkan kematian sel-sel tanaman. Efek sitokinin sering dipengaruhi oleh keberadaan auksin, misalnya jumlah akar yang banyak akan menghasilkan sitokinin dalam jumlah banyak. Peningkatan konsentrasi sitokinin ini akan menyebabkan sistem tunas membentuk cabang dalam jumlah yang lebih banyak (Lawalata, 2011).
Muniarti dan Suminar (2006) menyatakan bahwa dalam pengujian benih, salah satu persyaratan tumbuh yang paling penting adalah substrat/media tumbuh benih. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih adalah media perkecambahan.Pada beberapa benih tertentu, substrat perkecambahan dapat menyebabkan benih menjadi dorman (enforced domancy). Penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2003) benih yang dikecambahkan pada media tanah campur kompos menghasilkan nilai-nilai PTM, DB, KCT, KCT relatif, panjang epikotil dan jumlah daun tertinggi berturut-turut 89.2%, 88.7%, 2.9%/etm, 84.6%, 4.9 cm dan 6.0, yang berbeda nyata dibandingkan bila benih ditanam pada pasir dan arang sekam.
Nampaknya media tanah campur kompos merupakan media optimum untuk perkecambahan benih mengkudu. Kompos yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Kuntum Nursery dan mengandung limbah kulit benih mengkudu. Lendir pada kulit benih mengandung senyawa proxeronin yang secara fisiologis mampu mengaktifkan fungsi sel (Goreti, 2001). Kemungkinan kandungan senyawa tersebut banyak terdapat pada kompos yang digunakan sebagai media perkecambahan dalam penelitian ini sehingga membuat kondisi medium menjadi optimum untuk perkecambahannya. Selain itu juga kemungkinan kompos yang ditambahkan pada tanah mampu meningkatkan KTK tanah, mempercepat dan mempermudah penyerapan unsur nitrogen oleh tanaman, sehingga terlihat pada bibit mengkudu berumur 90 HST, panjang epikotil dan jumlah daunnya lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan media lainnya.
Menurut Rofik dan Muniarti (2008) faktor lain yang juga penting dalam perkecambahan adalah media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih yang disemai pada media pasir dan arang sekam memiliki nilai PTM yang cukup tinggi. Adams et al (1994) menyatakan bahwa pasir sangat penting digunakan sebagai campuran media tanam karena bersifat inert (tidak mudah bereaksi). Penelitian ini dapat diketahui bahwa media tanah dan kompos kurang tepat sebagai media awal untuk perkecambahan benih aren. Media ini lebih sesuai untuk tahap persemaian lanjut. Saleh (2005) menyatakan bahwa media tanah yang berasal dari tempat tumbuh asal sumber aren diduga akan menghasilkan perkecambahan yang lebih baik karena benih akan lebih mudah beradaptasi dengan media asal sumber benih. Menurut Sutopo (2008) salah satu faktor penting yang mempengaruhi perkecambahan adalah media yaitu harus mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air dan bebas dari organisme penyebab penyakit.
Benih cabai yang ditanam dilakukan dua perlakuan yaitu perlakuan kontrol dan perlakuan perendaman air kelapa. Perlakuan kontrol menghasilkan persen pertumbuhan sebesar 80% dan pada perlakuan perendaman air kelapa sebesar 100%. Hasil pertumbuhan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman air kelapa menyebabkan perkecambahan dan pertumbuhan tanaman lebih banyak atau lebih tinggi dikarenakan didalam air keapa mengandung hormon yang memacu perkecambahan dan pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan hasil praktikum sesuai dengan pendapat Rahmatan (2016) bahwa air kelapa telah lama diketahui sebagai bahan yang kaya akan zat-zat aktif yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Hormon yang terkandung dalam air kelapa sebagai zat pengatur tumbuh adalah sitokinin 5,8 mgL-1, auksin 0,07 mgL-1 dan giberelin. Auksin membantu proses pembiakan vegetatif. Hormon tumbuhan atau sering disebut fitohormon merupakan sekumpulan senyawa organik bukan hara (nutrien), baik yang terbentuk secara alami maupun buatan, yang dalam kadar sangat kecil mampu menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis untuk mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan, perkembangan, dan pergerakan (taksis) tumbuhan.
Menurut Setiadi (2005) auksin adalah hormon tumbuhan yang ditemukan pada ujung batang, akar, dan bunga yang berfungsi sebagai pengatur pembesaran sel dan memicu pemanjangan sel di daerah belakang meristem ujung.Kerja hormon auksin ini sinergis dengan hormon sitokinin dan hormon giberelin.auksin menyebar luas dalam tubuh tanaman dari batang atas ke bawah hingga titik tumbuh akar, melalui jaringan pembuluh tapis (floem) atau jaringan parenkim. Auksin sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar dan sebagai bahan aktif sering yang digunakan dalam persiapan hortikultura komersial terutama untuk akar.Air kelapa juga mengandung zeatin yang diketahui termasuk dalam kelompok sitokinin.
Hormon sitokinin merupakan hormon turunan dari adenin yang berfungsi dalam hal pembelahan sel dan diferesiansi mitosis, disintesis pada ujung akar dan translokasi pada pembuluh xilem. Sitokinin terutama juga bekerja pada proses cytokinesis (proses pembelahan sel) pada berbagai organ tanaman. Konsentrasi sitokinin yang tertinggi di daerah meristematik dan daerah potensi pertumbuhan berkelanjutan seperti akar, daun muda, pengembangan buah-buahan, dan biji-bijian. Sitokinin bersama dengan auksin memunyai peranan penting untuk mendorong terjadinya pembelahan sel dan diferensiasi jaringan tertentu dalam pembentukan tunas pucuk dan pertumbuhan akar. Giberelin merupakan hormon tumbuh alami pada tanaman yang bersifat sintesis dan berperan mempercepat perkecambahan (Lawalata, 2011).
Benih albasia yang ditanam ada dua perlakuan yaitu perlakuan perendaman air panas dan perendaman air dingin. Persen pertumbuhan benih albasia perlakuan perendaman air panas 70% dan air dingin sebesar 70%. Hal ini terjadi karena air merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan dalam pertumbuhan, ketika jumlah air yang ada dalam benih mencukupi maka pertumbuhan akan lebih cepat, perendaman air juga dapat melunakkan kulit benih sehingga membantu proses perkecambahan benih karena mudahnya air dan gas terserap oleh benih. Hasil praktikum tersebut sesuai dengan pendapat Masoedi (1985) bahwa perlakuan mekanis umum dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis kulit perkecambahan yang terdapat pada kulit biji.Selama stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadi pembentukan bahan–bahan yang merangsang pertumbuhan (Siregar et al. 2013).
Benih melinjo yang ditanam dilakukan tiga perlakuan yaitu perlakuan kontrol, amplas, dan kupas. Persen pertumbuhan pada ketiga perlakuan benih melinjo tersebut sebesar 0% atau benih melinjo tidak tumbuh. Perkecambahan pada benih melinjo dapat dipercepat dengan cara mengamplas, atau memberi lubang pada kulit melinjo sehingga mempermudah masuknya air maupun udara ke dalam benih (Silomba, 2006). Hal tersebut sudah dilakukan dalam praktikum dengan mengamplas dan megupas melinjo, menurut Harbani (2004) perkecambahan pada benih melinjo dibutuhkan waktu sekitar 1 hingga 2 bulan, namun praktikum yang dilakukan hanya dua minggu, faktor waktu tersebutlah yang mungkin menyebabkan melinjo tidak berkecambah
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa perkecambahan biji pada benih albasia dengan perendaman air panas memiliki persentase perkecambahan 10% lebih besar dibandingkan benih albasia perlakuan air dingin. Perlakuan cabai dengan ZPT persentasenya sebesar 60% dan perlakuan kontrol sebesar 50%. Perlakuan melinjo amplas kupas dan kontrol persentasenya 0% atau tidak tumbuh. Perlakuan tomat yang diberi ZPT dan perlakuan kontrol memiliki persentase 80% dan 40%.
Saran
Praktikan disarankan agar merawat tanaman dengan serius agar tanaman tidak mengalami kekeringan ataupun kerusakan. Selain itu disarankan agar melakukan pengamatan dengan teliti dan menghitung persentase dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Bradbeer, J.W. 1989. Seed Dormancy and Germination. Chapman and Hall. New York
Cahyono, R.C. 2001. Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Viabilitas Benih Beberapa Varietas Kacang Tanah. Makalah Seminar. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Chairani, M dan Subronto. 1988.Pengecambahan dan Pertumbuhan Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr). Jurnal Penelitian Kelapa. Vol 19 (3): 120-136
Dartius. 1991. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. USU Press. Medan
Dwijoseputro, D. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta
Esmaeili, M. 2009. Ecology of Seed Dormancy and Germination of Carex divisa huds: effects of stratification, temperature and salinity. International Journal of Plant Production. Vol 1(3): 13-21
Gunawan, 2002. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lab Kultur Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPB. Bogor
Guritno, B. dan Sitompul, S. M. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta
Harbani, A. A. 2004. Pengaruh Beberapa Perlakuan Terhadap Perkecambahan Benih Belian (Eusideroxylon zwageri T Et B). (Skripsi). Fakultas Kehutanan Tanjungpura. Pontianak
Harjadi, Sri Setyati. 1986. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Hartaman, 1975. Peran Hormon Giberelin Dalam Pemecahan Dormansi Biji Jati (Tectona Grandis Linn. F). Skripsi. Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Univer Sitas Airlangga. Surabaya
Heddy, S. 1990. Biologi Pertanian. Rajawali Press. Jakarta
Heddy, Suwono. 1989. Hormon tumbuhan. Rajawali. Jakarta
Idris, 2003. Dasar-Dasarr Teknologi Benih. Universitas Mataram. Mataram
Ilyas, S. dan W.T. Diarni. 2007. Persistensi dan pematahan dormansi benih pada beberapa varietas padi gogo. Jurnal Agrista. Vol 11(2): 92-101
Juhanda, Y. Nurmiaty, dan Ermawati. 2013. Pengaruh Skarifikasi Pada Pola Imbibisi Dan Perkecambahan Benih Saga Manis (Abruss precatorius L.). Jurnal Agrotek Tropika. Vol 1(1): 45-49
Kartasapoetra, Anto G. 2003. Pengelolaan Benih dan Tuntunan Praktikum. Bina Aksara. Jakarta
Mashud N.R Rahman dan R. B. Mallangkay. 1989. Pengaruh berbagai perlakuan fisik dan kimia terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr). Jurnal Penelitian Kelapa. Vol 4(1): 27-37
Masoedi. 1985. Pengaruh Komposisi Media Dan Larutan Kalium Nitrat Terhadap Perkecambahan Benih Kopi Robusta (Coffea cenephora). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian, Bogor
Mayer, Lynn. 1975. Biology. Harper & Raws Publishers. New York
Muhammad, H. 2009. Pengaruh Pemberian Pupuk Urea Terhadap Pertumbuhan Bibit Pinang. Jurnal floratek. Vol 4(1): 34-49
Mustika, S, dkk. 2010. Perkecambahan Benih Pinang pada Berbagai Cara Penanganan Benih dan Cahaya. Jurnal Agroland. Vol 17(2): 108-114
Nurasari, Elda dan Djumali. 2012. Respon Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Terhadap Lima Dosis Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Asam Naftalen Asetat (NAA). Jurnal Agrovigor. Vol 5 (1): 26-33
Nurussintani, W., Damanhuri, dan S.L. Purnamaningsih. 2013. Perlakuan Pematahan Dormansi Terhadap Daya Tumbuh Benih 3 Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea). Jurmal Produksi Tanaman. Vol 1(1): 86-88
Nutile, G E, and Woodstock, L W. 1967. The influence of dormancy-inducing dessication treatments on the respiration and germination. Journal of Physiologia Plantarum. Vol 20(1): 554-561
Rahmatan, H. 2016. Pengaruh penyiraman air kelapa. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Vol 1(1): 2-10
Rubenstin, Irwin dkk. 1978. The Plant Seed. Academi Press Inc. USA
Sadjad, 1993. Stuktur Benih Dan Dormansi Pada Benih Panggal Buaya (Zanthoxylum Rhetsa (Roxb) D.C). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Saleh, M.S., E. Adelina, E. Murniati dan T. Budiarti. 2008. Pengaruh Skarifikasi Dan Media Tumbuh Terhadap Viabilitas Benih Dan Vigor Kecambah Aren. Jurnal Agroland. Vol 15 (3): 182 – 190
Salisbury, dan Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. ITB Press. Bandung
Santoso. 2004. Perkecambahan dan Pertumbuhan Palem Jepang (Actinophloeus mochorturii) Akibat Perendaman Dalam Lumpur. Jurnal Natur Indonesia. Vol 6(1): 99-100
Silomba, S, D, A. 2006. Pengaruh Lama Perendaman Dan Pemanasan Terhadap Viabilitas Benih Kelapa Sawit. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Soejadi dan U. S. Nugraha. 2002. Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi Terhadap Daya Berkecambah Padi. Hal 155-162. Dalam E. Murniati et al., (Eds.): Industri Benih di Indonesia Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB. 291 hal.
Sutopo. 1985. Teknologi Benih. Rajawali. Jakarta
Sutopo, 2002. Teknologi Benih. Rajawali. Jakarta
Syamsuwida D., Dede J, dan Nurhasybi. 2011. Teknologi Untuk Memperbaiki Perkecambahan Benih Kepuh. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor
Wilkins, M. B. 1989. Fisologi Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta
Yusnida Bey, Wan Syafii, dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin (GA3) dan Air Kelapa terhadap Perkecanbahan Bahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabillis BL) Secara In Vitro. Jurnal Biogenesis. Vol.2(2): 41-46
LAMPIRAN
Pengujian skarifikasi pada benih albasia
Kontrol Air dingin Air panas
Pengujian Skarifikasi terhadap biji kolang-kaling
Perlakuan dikupas Perlakuan kontrol
Pengujian skarifikasi benih melinjo
Kontrol Dikupas Diamplas
Pengujian skarifikasi ZPT pada benih cabai
Kontrol ZPT
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA IV
PERKECAMBAHAN PADA LINGKUNGAN SUBOPTIMAL
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan tanaman adalah kondisi yang muncul dari dalam tanaman sendiri dn juga tanggapan yang muncul terhadap infeksi yang dibangkitkan oleh sistem imunitas tanaman. Ketahanan tanaman terhadap organisme pengganggu atau keadaan lingkungan suboptimal merupakan kajian penting dalam ilmu pertanian. Lingkungan suboptimal merupakan keadaan yang tidak ideal untuk ditumbuhi suatu tanaman, lingkungan suboptimal dapat memberikan cekaman terhadap tanaman.
Salah satu ciri-ciri lingkungan suboptimal adalah banyaknya garam pada media tumbuh tanaman tersebut atau tanah. Kandungan garam yang cukup tinggi pada suatu media akan menghambat perkecambahan benih. Hal tersebut berkaitan dengan penyerapan air yang sangat dibutuhkan untuk perkecambahan. Tanpa adanya air maka perkecambahan tidak dapat berlangsung karena air merupakan pelarut dan pereaksi.
Idealnya semua benih harus memiliki kekuatan tumbuh yang tinggi, sehingga bila ditanam pada kondisilapangan yang beraneka ragam akan tetap tumbuh sehat dan kuat serta berproduksi tinggi dengan kualitas baik. Tanah salinitas tidak cukup baik untuk pertumbuhan tanaman budidaya pertanian, apalagi digunakan untuk berproduksi tinggi guna memenuhi kebutuhan manusia. Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi dilakukannya praktikum ini agar dapat diketahui jenis tanaman ataupun varietas tanaman apa yang dapat digunakan atau ditaman pada tanah salin atau tanaman yang tahan terhadap kekeringan, sehingga tanah salin tersebut dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman yang cocok.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh garam pada medium terhadap perkecambahan dan serapan air oleh benih.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkecambahan benih merupakan salah satu kriteria yang berkaitan dengan kualitas benih. Perkecambahan benih juga merupakan salah satu tanda dari benih yang telah mengalami proses penuaan. Berkecambah adalah jika dari benih tersebut telah muncul plumula dan radikula di embrio. Plumula dan radikula yang tumbuh diharapkan dapat menghasilkan kecambah yang normal, jika faktor lingkungan mendukung (Kuswanto, 1997).
Vigor benih merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang suboptimal. Vigor dipisahkan antara vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda, sedangkan vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama. Vigor fisiologi dapat dilihat antara lain dari indikasi tumbuh akar dari plumula don koleoptilnya, ketahanan terhadap serangan penyakit dan warna kotiledon (Sutopo, 1994).
Keadaan di lapangan sangat penting dalam menentukan kekuatan tumbuh benih adalah sangat nyata dan perbedaan-perbedaan kekuatan tumbuh benih dapat terlihat nyata dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan. Kecepatan tumbuh benih dapat pula menjadi petunjuk perbedaan kekuatan tumbuh (Kamil, 1986). Kemunduran suatu benih dapat diterangkan sebagai turunnya viabilitas benih yang mengakibatkan rendhnya vigor dan jeleknya pertumbuhan tanaman serta produksinya. Kejadian tersebut merupakan suatu proses yang tidak dapat kembali dari kualitas suatu benih. Benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya kemunduran yang cepat selama penyimpanan benih (Sasil,2004)
Salah satu kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan adalah adanya tanah salin. Tanah salin merupakan tanah yang mempunyai kandungan garam NaCl yang tinggi. Tanah dengan kandungan garam tinggi dibedakan dalam tanah salin, tanah sodik, dan tanah salin-sodik. Kandungan garam yang tinggi dapat berpengaruh pada penyerpan air yang dilakukan oleh biji. Keadaan tanah yang terlalu salin dan NaCl yang diserap terlalu banyak maka akan menghambat proses metabolisme dalam benih. Konsentrasi NaCl yang terlalu pekat maka akan menyebabkan cairan dalam benih akan keluar sehingga dapat merusak benih sehingga benih tidak dapat berkecambah dengan baik (Sadjad, 1993).
Garam-garam atau Na+ yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-sifat tanah jika terdapat dalam keadaan yang berlebihan dalam tanah. Kekurangan unsur Na+ dan Cl- dapat menekan pertumbuhan dan mengurangi produksi. Peningkatan konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis. Jumlah air yang masuk ke dalam akar akar berkurang sehingga mengakibatkan menipisnya jumlah persediaan air dalam tanaman (Sutopo, 1984)
Proses fisiologi tanaman Na+ dan Cl- diduga mempengaruhi peningkatan air oleh tanaman sehingga menyebabkan tanaman tahan terhadap kekeringan. Cl- diperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan produksi oksigen. Penyrapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan mengakibatkan pembengkakan dan penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas, serta disperse material koloid tanah (Kuswanto, 1998)
Tanah salin berkembang dari pengaruh elektrolit-elektrolit garam natrium dengan reaksi sekitar netral. Sifat-sifat yang dapat menimbulkan cekaman adalah tekanan osmotik larutan tanah yang tinggi dan toksisitas dari ion Na+ dan Cl-. Upaya meningkatkan toleransi tanaman terhadap lahan marjinal diantaranya lahan dengan tanah salin, semakin penting dengan semakin berkurangnya lahan subur karena meningkatnya alih fungsi. Tanah salin banyak terdapat di daerah rawa, daerah pasang surut, dan muara (Kamil, 1986).
Adaptasi penting ditemukan dlam banyak organisme yang mengalami cekaman air, cekaman garam, atau cekaman lainnya adalah penimbunan senyawa organik tertentu, misalnya sukrosa, asam amino, dan beberapa zat yang menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim. Gangguan yang disebabkan stress salinitas yaitu terganggunya keseimbangan ionik, penyerapan Na+ merusak potensial membran dan penyerapan Cl- secara cepat menurunkan gradient kimia. Na+ meracuni metabolisme sel dan mengakibatkan rusaknya fungsi beberapa enzim. Terjadi ketidakseimbangan osmotik dan kekacauan membran, menurunyya tingkat pertumbuhan, terhambatnya pembelahan dan pembesaran sel, serta mengurangi proses fotosintesis (Salisbury, 1995).
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada saat praktikum perkecambahan pada lingkungan suboptimal adalah benih padi, garam NaCl, dan aquades. Alat yang digunakan pada saat praktikum adalah cawan petridish, kertas merang, dan sprayer.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum perkecambahan pada lingkungan suboptimal adalah sebagai berikut:
Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan
Sebanyak tiga cawan petridish disiapkan, masing-masing petridish dilapisi lima rangkap kertas merang kemudian dibasahi degan air
Masing-masing cawan diberi benih padi sebanyak 20
Setelah benih padi diletakkan di cawan petridish, kemudian diberi perlakuan masing-masing, yaitu perlakuan kontrol dengan disemprot aquades atau 0 ppm, larutan NaCl 2500 ppm dan 5000 ppm
Benih yang telah ditanam di cawan petridish diamati dua hari sekali selama sepuluh hari, dan dilakukan penyemprotan sesuai perlakuan setiap hari hingga kapasitas lapang (tidak tergenang)
Setelah sepuluh hari kemudian persentase perkecmbahan dihitung dengan rumus : % Perkecambahan = x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 4.1 Perkecambahan pada lingkungan sub optimal
Perlakuan
Hari
2
4
6
8
10
0 ppm
0
0
0
0
0
2500 ppm
0
0
0
0
0
5000 ppm
0
0
0
0
0
Persentase perkecambahan 0 ppm =
=
= 0%
Persentase perkecambahan 2500 ppm=
=
= 0%
Persentase perkecambahan 5000 ppm=
=
= 0%
Kesimpulan: Tidak ada pengaruh pemberian gara (NaCl) dengan komsemtrasi 0 ppm, 2500 ppm, dan 5000 ppm terhadap perkecambahan benih padi.
Pembahasan
Lahan suboptimal merupakan lahan yang telah mengalami degradasi yang mempunyai kesuburan yang rendah dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Teknologi pengelolaan lahan, hara terpadu, dan konservasi tanah dan air diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanah pada lahan suboptimal (Hanafiah, 2007). Lahan sub optimal atau lahan yang tidak subur memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda menurut Hanafiah (2007), antara lain:
Lahan Kering
Lahan kering dengan kemiringan 0±15% didominasi oleh tanah podzolik merah kuningotisol/inceptisol. Tanah ini kurang menguntungkan bagi pertanian, karena: berekasi masam, kadar UH rendah, KTK kendah, daya simpan air rendah, struktur&tekstur tanah tidak stabil sehingga mudah erosi.
Masalah yang dihadapi pada lahan kering, yaitu ketersediaan air, kondisi lahan, keterbatasan teknis petani, sarana prasarana, kelembagaan pemerintah terbatas, teknologi pertanian belum berkembang dan lain-lain.
Lahan rawa pasang surut
Kendala pada lahan basah; pH tanah masam keracunan Fe dan Al, lapisan gambut yang tebal dan belum matang.
Produktivitas tanaman rendah, resiko kegagalan tinggi, tingkat keberlanjutan rendah, tingginya input pupuk kimia dan pestisida, diversitas organisme dan musuh alami serta ketahanan ekosistem lemah.
Terdapat berbagai macam lahan suboptimal, diantaranya adalah sebagai berikut:
Tanah Salin
Salinitas merupakan suatu keadaan sebuah tanah yang sedang terakumulasi oleh garam yang terlarut dalam air. Salinitas terjadi karena kandungan garam dalam tanah tersebut sangatlah berlebih. Keadaan tersebut membuat tanaman akhirnya susah ataupun sulit dalam menyerap air. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin (Shofiyanti, 2008).
Tanah Masam
Tanah masam adalah tanah ber pH rendah (pH dibawah 6), semakin rendah pH tanahnya maka semakin ekstrim kemasamannya. pH tanah sangat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. pH tanah yang optimal bagi pertumbuhan kebanyakan tanaman k adalah antara 5,6 - 6,0. Tanah yang memiliki pH lebih rendah dari 5,6 pada umumnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting seperti fosfor dan nitrogen. apabila pH lebih rendah dari 4.0 pada umumnya terjadi kenaikan Al3+ dalam larutan tanah yang berdampak secara fisik merusak sistem perakaran, terutama akar-akar muda, sehingga pertumbuhan tanaman menjadiaa terhambat. Kemasaman tanah merupakan kendala paling inherence dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh normal (sehat) umumnya pada ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk tanah mineral karena pada pH <8 >5,5 50 cm dari permukaan tanah (Nazaruddin, 2000).
Tanah Basa
Tanah basa adalah tanah yang memiliki nilai derajat keasaman (pH) > 7. Taman pada kondisi tercekam basa adalah dimana keadaan unsur P (fosfor) akan banyak terikat oleh Ca (kalsium), sementara unsur mikro molibdenum (Mo) berada dalam jumlah banyak. Unsur Mo pada tanah basa menyebabkan tanaman keracunan (Sembiring, 2015).
Tanah Laterit
Tanah laterit memiliki warna merah bata karena mengandung banyak zat besi dan alumunium. Indonesia sendiri tanah ini sepertinya cukup fimiliar di berbagai daerah, terutama di daerah desa dan perkampungan. Tanah laterit termasuk dalam jajaran tanah yang sudah tua sehingga tidak cocok untuk ditanami tumbuhan apapun dan karena kandungan yang ada di dalamnya pula (Subagyo, 2000).
Tanah Kapur
Tanah kapur berasal dari batuan kapur yang mengalami pelapukan. Tanah ini tidak subur dan tidak bisa ditanami tanaman yang membutuhkan banyak air (Subagyo, 2000).
Tanah Padas
Tanah padas sebenarnya tidak juga bisa dibilang sebagai tanah karena sangat keras hampir seperti dengan batuan. Hal ini dikarenakan kandungan air didalamnya hampir tidak ada karena tanah padas sangat padat bahkan tidak ada air. Unsur hara yang ada di dalamnya sangat rendah dan kandungan organiknya sangat rendah bahkan hampir tidak ada. Tanah padas tidak cocok digunakan untuk bercocok tanam (Subagyo, 2000).
Tanah salin merupakan tanah yang mempunyai sifat konduktifitas listrik dalam kondisi tanah jenuh (Electrical Conductivity = ECse) > 4 mmhos/cm, pH < 8,5 dan persen Na+ yang dapat dipertukarkan (Nadd) (ESP) < 15%. Tanah salin juga dikenal dengan tanah alkalin putih karena adanya deposit garam di permukaan tanah ketika evaporasi terjadi. Garam-garam ini dapat tercuci keluar, tanpa berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH. Konsentrasi garam-garam larut ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, meskipun beberapa spesies tanaman dapat toleran pada kadar garam tinggi (Cardon, 2003). Selain memiliki tanah pertanian yang luas Indonesia juga memiliki laut yang cukup luas sehingga banyak juga terdapat lahan yang tercekam salinitas di daerah pesisir pantai. Tanah salin yang parah terdapat di Aceh yang diakibatkan oleh adanya tsunami yang menyebabkan terjadinya kerusakan tanah di lahan pertanian. Bencana tsunami tidak hanya menggenangi lahan pertanian dengan air laut, tetapi juga mengendapkan lumpur berkadar garam tinggi. Garam pada lumpur ini dapat terinfiltrasi ke dalam tanah dan berpotensi untuk meningkatkan salinitas tanah di daerah perakaran, merusak struktur tanah, dan mencemari air tanah (Shofiyanti, 2008).
Cekaman salinitas menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman dan tanaman akan menunjukkan beberapa respon akibat tercekamnya tanaman tersebut. Salah satu respon yang ditunjukkan adalah respon fisiologi. Respon fisiologi benih antara lain :
Penurunan potensial osmotik
Potensial osmotik yaitu zat cair dalam vakuola dan bagian-bagian sel lainnya yang mengandung zat-zat terlarut di dalamnya. Zat tersebut mengalami penurunan dikarenakan air yang terserap menjadi sedikit akibat garam yang mengikat air sehingga tidak dapat diserap.
Kemampuan mengakumulasi zat-zat terlarut
Elastisitas sel atau jaringan yang tinggi dan
Ukuran sel yang kecil (Herawati, 2000)
Cekaman salinitas pada tanaman selain menunjukkan respon fisologis juga menunjukkan respon morfologis, diantaranya adalah:
Mengurangi luas permukaan daun sehingga transpirasi menurun.
Mempercepat perkembangan perakaran terutama kearah bawah menyebabkan nisbah akar atau pucuk meningkat sehingga tanaman lebih mampu mengabsorbsi air dari lapisan tanah yang lebih dalam sementara transpirasi dari bagian atas tanaman menurun
Mengubah sudut daun pada posisi hampir sejajar dengan datangnya cahaya, agar suhu daun tidak segera meningkat sehingga transpirasi dapat ditekan.
Pembentukan lapisan kutikula pada permukaan daun dapat mengurangi penguapan. Selain itu lapisan lilin dapat meningkatkan pantulan cahaya, sehingga mengurangi suhu permukaan daun.
Membuka dan menutup stomata. Perilaku stomata, berhubungan dengan potensial air daun yang tergantung pada faktor umur, kondisi tumbuh
Mengurangi luas daun, yang berkaitan dengan laju transpirasi.
Penggulungan atau pelipatan daun. (Herawati, 2000)
PPM atau Part per Million adalah satuan konsentrasi yang sering dipergunakan dalam di cabang kimia analisa. Satuan ini sering digunakan untuk menunjukkan kandungan suatu senyawa dalam suatu larutan misalnya kandungan garam dalam air laut, kandungan polutan dalam sungai, atau biasanya kandungan yodium dalam garam juga dinyatakan dalam ppm. Seperti halnya namanya yaitu ppm, maka konsentrasinya merupakan perbandingan antara berapa bagian senyawa dalam satu juta bagian suatu sistem. Sama halnya denngan persentase yang menunjukan bagian per seratus. Contohnya yaitu air mengandung yodium sebesar 15 ppm, bisa diartikan bahwa setiap liter air tersebut terdapat 0,015 mg yodium. Ppm atau part per million atau dalam satuan mg/L (milligram per liter) (Untung, 2006). Hal tersebut dapat diartikan bawa pada saat praktikum menggunakan larutan garam 0 ppm, 2500 ppm, dan 5000 ppm. 0 ppm berarti dalam larutan tersebut tidak mengandung garam, 2500 ppm berarti setiap liter air mengandung garam sebanyak 2,5 mg, 5000 ppm berarti setiap liter air mengandung 5 mg garam. Ppm dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
ppm =
ppm =
= 5000 ppm
ppm =
ppm =
= 2500 ppm
Respon benih tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua bentuk adaptasi yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi. Mekanisme respon benih tanaman terhadap cekaman salinitas adalah sebagai berikut:
Mekanisme morfologi
Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat unik dapat ditemukan pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alam pada kawasan huta pantai dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur meliputi ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal (Yildirim, 2006).
Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor, sedangkan lignifikasi akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat penting untuk untuk memelihara turgor yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsi metabolisme yang normal. Dilakukannya adaptasi struktural ini kondisi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Pertumbuhan akar pada lingkungan salin umumnya kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan daun (pucuk) atau buah. Hal ini diduga karena akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap air. Pertumbuhan tanman yang cepat juga merupakan mekanisme untuk mengencerkan garam. Apabila garam dikeluarkan oleh akar, maka bahan organik yang tidak mempunyai efek racun akan tertimbun dalam jaringan, dan ini berguna untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dengan larutan tanah (Salisbury, 1995).
Mekanisme Fisiologi
Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk, menurut Da Silva (2008) adalah sebagai berikut:
Osmoregulasi (pengaturan potensial osmose)
Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian dengan menurunkan potensial osmose tanpa kehilangan turgor. Agar memperoleh air dari tanah sekitarnya potensial air dalam cairan xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. Halofita mampu menjaga potensial osmotik terus menjadi lebih negatif selama musim pertumbuhan sejalan dengan penyerapan garam. Halofita lainnya memiliki kemampuan mengatur penimbunan garam (Na+ dan Cl–) pada kondisi cekaman salinitas, misalnya tanaman bakau yang mampu mengeluarkan 100% garam.
Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan akumulasi solute organik yang cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot molekul rendah yang setara dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam organik, asam amino dan senyawa gula disintesis sebagai respon langsung terhahadp menurunnya potensial air eksternal yang redah. Senyawa organik yang berperan mengatur osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi adalah asam-asam organik dan senyawa-senyawa gula. Asam malat paling sering menyeimbangkan pengambilan kation yang berlebihan. Dalam tanaman halofita, oksalat adalah asam organik yang menyeimbangkan osmotik akibat kelebihan kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya, akumulasi sukrosa yang berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon terhadap salinitas.
Kompartementasi dan sekresi garam
Tanaman halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena mempunyai kemampuan mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui transpor membran dan kompartementasi. Garam disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam organel-organel atau dieksresi ke luar tanaman. Pengeluaran garam pada permukaan daun akan membantu mempertahankan konsentrasi garam yang konstan dalam jaringan tanaman. Ada pula tanaman halofita yang mampu mengeluarkan garam dari kelenjar garam pada permukaan daun dan menyerap air secara higroskopis dari atmosfir. Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur yang disebut glandula garam (salt glands) dari daun dan batang. Pada jenis-jenis mangrove biasanya tanaman menyerap air dengan kadar salinitas tinggi kemudian mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus pohon mangrove yang dapat mensekresikan garam memiliki kelenjar garam di daun yang memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl–. Beberapa contoh mangrove yang dapat mensekresikan garam adalah Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia, Acanthus, dan Laguncularia.
Integritas membran
Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan kompartemen-kompartemen adalah struktur yang paling penting untuk mengatur kadar ion dalam sel. Lapisan terluar membran sel ataau plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen metaboliknya dari larutan tanah salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi permeabel ini berfungsi menghalangi difusi bebas garam ke dalam sel tanaman, dan memberi kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan aktif atas unsur-unsur hara essensial. Membran lainnya mengatur transpor ion dan solute lainnya dari sitoplasma dan vakuola atau organel-organel sel lainnya termasuk mitokondria dan kloroplas. Plasmolemma yang berhadapan langsung dengan tanah merupakan membran yang pertama kali menderita akibat pengaruh salinitas. Ketahanan relatif membran ini menjadi unsur penting lainnya dalam toleransi terhadap garam.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil yaitu persentase perkecambahan perlakuan 0 ppm persentase perkecambahan sebesar 90%. Persentase perkecambahan perlakuan 2500 ppm sebesar 30%. Persentase perkecambahan perlakuan 5000 ppm sebesar 10%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar larutan garam yang diberikan maka persentase perkecambahan semakin kecil. Hasil praktikum tersebut sesuai dengan pendapat (Hossain, 2004) yaitu semakin tinggi konsentrasi NaCl semakin rendah presentase benih yang berkecambah, hal ini disebabkan karenakonsentrasi garam NaCl yang tinggi membuat benih sulit berkecambah. Konsentrasi NaCl juag akan berpengaruh terhadap penyerapan air yang dilakukan oleh benih. Tanah terlalu salin dan NaCl yang di serap terlalu banyak maka akan menghambat proses metabolisme dalam benih. Kandungan NaCl yang tinggi juga akan menyebabkan penyusutan pada benih, disebabkan air garam merupakan salah satu larutan dengan tingkat osmotic tinggi yang dapat menghambat perkecambahan.
Mekanisme uji coba ini dilakukan dengan memanipulasi lingkungan yang memiliki kadar garam yang berbeda-beda atau salinitas. Percobaan dilakukan dengan menggunakan benih padi yang disemprotkan larutan NaCl dengan berbagai konsentrasi yakni konsentrasi 2500 ppm dan konsentrasi 5000 ppm serta konsentrasi 0 ppm atau kontrol.
Benih ditaruh pada petridish yang telah dilapisi kertas merang sebanyak 5 lembar untuk kemudian dikecambahkan, perlakuan panambahan NaCl sesuai dengan konsentrasi rendaman masing-masing jika larutan dalam petridish sudah kering. Setelah 10 hari didapatkan hasil bahwa pada petridish yang ditanami benih padi dengan penyemprotan 0 ppm, 2500 ppm dan 5000 ppm, persentase perkecambahan adalah 0% untuk 0 ppm serta 0% untuk 2500 ppm dan 0% untuk 5000 ppm. Hal ini terjadi karena sesuai dengan keadaan lingkungan sub optimal yaitu lingkungan dengan cekaman garam yang tinggi atau salinitas yang tinggi, karena dengan kandungan garam yang tinggi membuat nutrisi atau unsur hara yang terserap akan keluar kembali (plasmolisi) atau akhirnya unsur hara tidak terserap oleh tanaman (Bybordi, 2009). Pernyataan ini diperkuat oleh Agus (2008), yaitu penurunan daya kecambah pada konsentrasi garam yang lebih tinggi akan mengakibatkan air yang keluar dari biji semakin banyak dan garam yang masuk kedalam biji semakin banyak. Garam yang ada dalam biji akan menghambat perkecambahan biji, karena dalam perkecambahan hal yang paling utama dan yang pertama adalah adanya air yang masuk kedalam biji. Air membuat proses perkecambahan selanjutnya akan berlangsung. Semakin besar konsentrasi garam pada media perkecambahan berarti semakin besar air yang hilang dari dalam biji sehingga membuat vigor semakin menurun. Namun kejanggalan terjadi pada benih perlakuan 0 ppm karena tidak ada benih yang tumbuh. Kami memperkirakan hal ini adalah karena benih tersebut tidak mendapatkan air yang cukup untuk berkecambah.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa Tidak ada pengaruh pemberian gara (NaCl) dengan komsemtrasi 0 ppm, 2500 ppm, dan 5000 ppm terhadap perkecambahan benih padi. Salinitas yang terlalu tinggi menyebabkan air lebih banyak terikat oleh garam sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman sehingga menyebabkan tanaman kekurangan air dan tidak mampu berkecambah.
Saran
Praktikan disarankan melakukan pengamatan dan pemberian perlakuan sesuai dengan jadwal yang ditentukan, agar hasil yang didapatkan juga akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Cardon, G. E., Davis, J. G., Bauder, T. A. and Waskom, R. M. 2003. Managing Saline Soil. Colorado State University Cooperative Extension
Da Silva, E.C., R.J.M.C. Nogueira, F.P. de Araujo, N.F. de Melo and A.D. de Ajevedo Neto. 2008. Physiological Respon to Salt Stress in Young Umbu Plants. Journal Environmental and Experimental Botany. Elsevier
Hanafiah, AK. 2007. Dasar Dasar Ilmu Tanah Edisi 2. PT Raja Gravindo Persada. Jakarta
Herawati T dan Setiamihardja R., 2000. Pemuliaan Tanaman. Departemen Pertanian RI dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Jatinangor, Bandung
Hossain. 2004. NaCl Stress Its chromotoxic Effects and Antioxidant Behavior In Rootd Of Chyransthemum Morfolium Ramat. Journal Plant science. Vol 16 (6) :215-220
Kamil. 1986. Teknologi Benih 1. Penerbit Angkasa Raya. Padang
Kuswanto. 1997. Analisis Benih. PT Grasindo. Jakarta
________. 1998. Analisis benih. PT Grasindo. Jakarta
Nazaruddin. 2000. Respon Tanaman Terhadap Tanah Masam. Staf Balai Pangkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya. Kalimantan Tengah
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Gramedia. Jakarta
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Penerbit ITB. Bandung
Sasil. M. 2004. Cekaman Abiotik pada Tumbuhan. Andi. Yogyakarta
Sembiring, A. S., jonis, G. dan Ferry E S. 2015 Pengaruh Populasi Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.) dan Jagung (Zea mays L.) terhadap Lingkungan Cekkaman Salinitas, Masam, dan Basa. Jurnal Online Aroteknologi. Vol. 3(1): 109-118
Shofiyanti, R. 2008. Pengkajian Salinitas Tanah Secara Cepat di Daerah yang Terkena Dampak Tsunami Pengalaman di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Warta Pertanian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28(3): 251-260
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor
Sutopo, L. 1984. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo. Jakarta
________. 1994. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo. Jakarta
Untung, Tri Haryanto. 2006. Kimia SMA kelas XII. Viva Pakarindo. Karanglo
Yildirim, E., A.G. Taylor and T.D. Spittler. 2006. Ameliorative Effects of Biological Treatments on Growth of Squash Plant Under Salt Stress. Scientia Horticulturae 111 (2006) 1-6. Elsevier
LAMPIRAN
Perkecambahan pada perlakuan salinitas 0 ppm
Perkecambahan pada perlakuan salinitas 2500 ppm
Perkecambahan pada perlakuan salinitas 5000 ppm
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA V
PENGUJIAN DAYA PERKECAMBAHAN DAN INDEKS VIGOR PERKECAMBAHAN
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benih merupakan biji tanaman yang digunakan untuk tujuan pertanaman, artinya benih memiliki fungsi agronomis. Benih yang diproduksi dan tersedia harus bermutu tinggi agar mampu menghasilkan tanaman yang mampu berproduksi maksimal. Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukan oleh metabolisme atau pertumbuhan benih.
Perkecambahan merupakan tahapan penting dalam pertumbuhan benih untuk tumbuh menjadi tanaman dewasa. Kecepatan perkecambahan dari benih dapat berbeda-beda. Kecepatan perkecambahan benih tersebut dapat dinyatakan dengan indeks vigor yang merefleksikan jumlah benih yang berkecambah pada interval satu hari setelah dikecambahkan. Kecepatan perkecambahan benih dapat bermanfaat dalam pertanian karena dengan mengetahui kecepatan perkecambahan benih dapat diketahui gambaran atau keterangan yang mencerminkan kenyataan di lapangan.
Pengujian viabilitas benih mencakup pengujian daya berkecambah atau daya tumbuh dan pengujian vigor benih. Perbedaan antara daya berkecambah dan vigor benih adalah apabila informasi daya berkecambah ditetukan oleh kecambah yang tumbuh normal pada lingkungan yang optimum, sedangkan vigor ditentukan oleh kecambah yang tumbuh normal pada lingkungan yang suboptimum atau bibit yang tumbuh di lapangan.
Metode pengujian benih merupakan suatu metode yang digunakan untuk menentukan nilai pertanaman dilapangan. Komponen-komponen mutu benih yang menunjukan hubungan dengan nilai pertanaman benih di lapang harus dievaluasi dalam pengujian. Pengujian benih mencakup pengujian mutu fisik fisiologi benih. Metode yang umum digunakan dalam pengujian vigor benih adalah dengan menguji kecepatan perkecambahannya. Kecepatan perkecambahan dapat dinyatakan dengan indeks vigor. Berdasarkan hal-hal tersebut yang melatarbelakangi dilakukannya praktikum pengujian daya perkecambahan dan indeks vigor perkecambahan.
Tujuan
Praktikum pengujian daya perkecambahan dan indeks vigor perkecambahan bertujuan untuk menguji daya berkecambah berbagai benih tanaman, mengidentifikasi kecambah atau bibit normal dan abnormal, dan membiasakan dengan konsep indeks matematis vigor benih.
TINJAUAN PUSTAKA
Vigor merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang suboptimal. Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, yaitu kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Kedua nilai fisiologis ini menempatkan benih pada kemungkinan kemampuannya untuk tumbuh menjadi tanaman (Sutopo, 2002).
Vigor benih dalam hitungan viabilitas absolute merupakan indikasi viabilitas benih yang menunjukkan benih kuat tumbuh di lapang dalam kondisi yang suboptimum. Tolok ukur kecepatan tumbuh mengindikasikan vigor kekuatan tumbuh karena benih yang cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapang yang suboptimum. Kecepatan tumbuh benih diukur dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari (Sadjad, 1993).
Vigor dibagi menjadi vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda sedang vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama. Vigor fisologi dapat dilihat antara lain dari indikasi tumbuh akar dari plumula atau koleoptilmua, ketahanan terhadap serangan penyakit dan warna kotiledom dalam efeknya terhadap Tetrazolium test (Kartasapoetra, 1986)
Kelangsungan daya hidup benih ditunjukan oleh persentase benih yang akan menyelesaikan perkecambahan, kecepatan perkecambahan dan vigor akhir yang menyelesaikan perkecambahannya. Proses perkecambahan suatu benih, memerlukan kondisi lingkungan yang baik, viabilitas benih yang tinggi dan pada beberapa jenis tanaman tergantung pada upaya pemecahan dormansinya. Vigor benih dapat menjadi informasi penting untuk mengetahui kemampuan tumbuh normal dalam kondisi optimal dan sub optimal (Shankar, 2006).
Perubahan katabolik terus berlangsung sejalan dengan semakin tuanya benih dan kemampuan benih untuk berkecambah juga menurun. Penurunan daya kecambah yang terukur, tidak segera terjadi setelah kemasakan tercapai. Kondisi penyimpanan yang menguntungkan, awal kemunduran mungkin terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun, tergantung pada kondisi penyimpanan, macam benih, serta kondisi penyimpanan sebelumnya. Perkecambahan benih merupakan salah satu kriteria yang berkaitan dengan kualitas benih dan di pihak lain perkecambahan benih juga merupakan salah satu tanda dari benih yang telah mengalami proses penuaan (Kuswanto, 1997).
Kehilangan vigor dapat dianggap sebagai suatu tahap perantara dari kehidupan benihnya, yaitu yang terjadi antara awal dan akhir proses kemunduran. Kemunduran vigor sangat sulit untuk diukur. Metode yang dapat digunakan untuk mengukur vigor adalah metode yang berdasarkan pengukuran yang berhubungan dengan daya kecambah (Justice, 1990).
Permasalahan terjadinya kemunduran mutu benih baik yang diakibatkan oleh faktor penyimpanan maupun diakibatkan oleh faktor kesalahan dalam penanganan benih, dapat dilakukan dengan melakukan teknik invigorasi. Invigorasi adalah suatu perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan atau memperbaiki vigor benih yang telah mengalami kemunduran mutu. Perlakuan ini sudah banyak dilakukan pada beberapa tanaman seperti tanaman padi, kedelai dan jambu mete (Rusmin, 2003).
Kualitas benih digolongkan menjadi tiga macam, yaitu kualitas genetik, fisiologis, dan kualitas fisik. Pengujian viabilitas dilakukan untuk mengetahui kualitas fisiologis yang berkaitan dengan kemampuan benih untuk berkecambah. Index matematis terhadap perkecambahan dapat mudah untuk menggambarkan kualitas benih yang dapat diterima oleh seluruh konsumen (Al-Karaki, 2002).
Pengujian viabilitas benih meliputi metode uji secara langsung dan tidak langsung. Metode uji secara langsung kita dapat mengetahui dan menilai struktur-struktur penting kecambah secara langsung. Metode uji secara tidak langsung dapat diketahui mutu hidup benih yang ditunjukkan melalui gejala metabolisme (Suresha, 2007).
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum pengujian daya perkecambahan dan indeks vigor perkecambahan adalah benih padi dan benih jagung. Alat yang digunakan adalah kertas label, kertas merang, plastik bening, petridish, sprayer, ember.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Pengujian Daya Perkecambahan Dengan Kertas Gulung
Pengujian daya perkecambahan dengan kertas gulung adalah sebagai berikut:
Kertas merang dibasahi dengan air air sampai seluruh bagiannya basah.
Satu lembar plastik dihamparkan, kemudian diatas plastic diletakkan tiga lembar kertas merang yang telah dibasahi
Sebanyak 20 butir diletakan secara zig zag di atas kertas merang, kemudian ditutup dengan 2-3 lembar kertas merang, bagian bawah kertas dilipat dan digulung. Kemudian ditulis tanggal tanam, tanggal panen benih, pada label yang ditempelkan di gulungan kertas.
Penanaman dilakukan selama 10 hari, pada hari ke-10 tanaman didestruksi, kemudian dihitung benih yang berkecambah normal, abnormal, dan tidak berkecambah, dan kemudian diitung persetase perkecambahan benih jagung tersebut.
Pengujian Indeks Vogor Perkecambahan
Metode yang dilakukan pada pengujian indeks vigor perkecambahan adalah sebagai berikut:
Sebanyak 20 butir benih padi diletakkan diatas cawan petridish yang sudah dialasi dengan kertas merang
Pengamatan dilakukan setiap hari selama 10 hari
Kemudian dihitung indeks vigor dan coefficient vigor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 5.1. Pengujian daya perkecambahan dengan kertas gulung
Benih
Kecambah Normal
Kecambah Abnormal
Tidak Berkecambah
Jagung
20
0
0
% perkecambahan normal =
=
= 100%
Kesimpulan: benih jagung yang dapat berkecambah normal sebesar 90% pada metode perkecambahan dengan kertas gulung
Tabel 5.2. Pengujian indeks vigor perkecambahan
Benih
Pengamatan ke-
1
2
3
4
5
Padi
0
0
0
0
0
Perhitungan indeks vigor =
=
= 0
Perhitungan koefisien vigor
=
= ∞
Kesimpulan: Nilai indeks vigor dan koefisien vigor sebesar ∞, tidak tumbuhnya kecambah dipengaruhi oleh banyak faktor.
Pembahasan
Vigor adalah sejumlah sifat-sifat benih yang mengidikasikan pertumbuhan dan perkembangan kecambah yang cepat dan seragam pada cakupan kondisi lapang yang luas. Cakupan vigor benih meliputi aspek-aspek fisiologis selama proses perkecambahan dan perkembangan kecambah. Vigor benih bukan merupakan pengukuran sifat tunggal, tetapi merupakan sejumlah sifat yang menggambarkan beberapa karakteristik yang berhubugan dengan penampilan suatu lot benih (Harnowo, 2006)
Vigor merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang suboptimal. Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, yaitu kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Kedua nilai fisiologis ini menempatkan benih pada kemungkinan kemampuannya untuk tumbuh menjadi tanaman (Sutopo, 2002).
Vigor benih dalam hitungan viabilitas absolute merupakan indikasi viabilitas benih yang menunjukkan benih kuat tumbuh di lapang dalam kondisi yang suboptimum. Tolok ukur kecepatan tumbuh mengindikasikan vigor kekuatan tumbuh karena benih yang cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapang yang suboptimum. Kecepatan tumbuh benih diukur dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari (Sadjad, 1993).
Vigor dibagi menjadi vigor genetik dan vigor fisiologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbeda-beda sedang vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama. Vigor fisologi dapat dilihat antara lain dari indikasi tumbuh akar dari plumula atau koleoptilmua, ketahanan terhadap serangan penyakit dan warna kotiledom dalam efeknya terhadap Tetrazolium test (Kartasapoetra, 1986). Benih vigor adalah benih yang mempunyai sifat : tahan simpan, berkecambah cepat dan merata, bebas dari penyakit benih, tahan terhadap berbagai gangguan mikroorganisme, bibit tumbuh kuat baik ditanah basah maupun kering (Sutopo 2010).
Viabilitas adalah kemampuan benih atau daya hidup benih untuk tumbuh secara normal pada kondisi optimum. Berdasarkan pada kondisi lingkungan pengujian viabilitas benih dapat dikelompokkan ke dalam viabilitas benih dalam kondisi lingkungan sesuai (favourable) dan viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai (unfavourable). Pengujian viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai termasuk kedalam pengujian vigor benih. Perlakuan dengan kondisi lingkungan sesuai sebelum benih dikecambahkan tergolong untukmenduga parameter vigor daya simpan benih, sedangkan jika kondisi lingkungan tidak sesuai diberikan selama pengecambahan benih maka tergolong dalam pengujian untuk menduga parameter viabilitas tumbuh benih (Kamil, 1979).
Viabilitas benih diartikan sebagai daya hidup benih yang ditunjukkan melalui gejala metabolisme dan fenomena pertumbuhan Dapat pula ditunjukkan oleh keadaan organela sitoplasma sel atau kromosom. Kondisi fisiologi yang baik benih mempunyai viabilitas yang tinggi meliputi vigor dan daya kecambah (Sadjad, 1989). Viabilitas merupakan daya hidup benih yang ditunjukan dengan gejala pertumbuhan atau gejala metabolisme. Viabilitas benih dapat diukur dengan tolok ukur daya berkecambah (germinationcapacity) (Copeland, 2001). Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui gejala metabiolisme dan atau gejala pertumbuhan, selain itu daya kecambah juga merupakan tolak ukur parameter viabilitas potensial benih. Umumnya viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi kecambah (Suwarno, 2008).
Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah benih, persentase kecambah benih atau daya tumbuh benih. Perkecambahan benih mempunyai hubungan erat dengan viabilitas benih dan jumlah benih yang berkecambah dari sekumpulan benih merupakan indeks dari viabilitas benih. Viabilitas ini makin meningkat dengan bertambah tuanya benih dan mencapai perkecambahan maksimum jauh sebelum masak fisiologis atau sebelum tercapainya berat kering maksimum, pada saat itu benih telah mencapai viabilitas maksimum (100 persen) yang konstan tetapi sesudah itu akan menurun sesuai dengan keadaan lingkungan (Purbojati, 2006).
Peran pengujian daya kecambah benih adalah diperolehnya informasi nilai penanaman benih dilapangan, dapat membandingkan kualitas benih antar seedlot (kelompok benih), dapat menduga storabilitas (daya simpan) benih, dan dapat mengetahui apakah nilai daya berkecambah benih telah memenuhi peraturan yang berlaku atau tidak. Pengujian daya kecambah benih juga bermanfaat untuk menentukan benih per satuan luas lahan dan mengecek kualitas benih (Siregar, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi vigor benih yaitu faktor genetik, faktor fisiologis, faktor eksternal benih. Faktor genetik yang mempengaruhi vigor benih adalah pola dasar perkecambahan dan pertumbuhan yang merupakan bawaan genetik dan berbeda antara satu spesies dan spesies lain. Faktor fisiologis yang mempengaruhi vigor benih adalah semua proses fisiologis yang merupakan hasil kerja komponen pada sistem biokimia benih. Faktor eksternal yang mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan pada saat memproduksi benih, saat panen, pengolahan, penyimpanan, dan penanaman kembali (Bedell, 1998).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi viabilitas benih yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal dapat mempengaruhi viabilitas benih yaitu kondisi lingkungan pada saat memproduksi benih, saat panen, pengolahan, penyimpanan, dan lingkungan tempat pengujian benih. Kondisi tersebut seperti kemasan benih, suhu, komposisi gas, dan kelembaban ruang simpan. Faktor internal yang dapat mempengaruhi viabilitas benih yaitu sifat genetik benih, kondisi kulit benih, dan kadar air benih (Mulyana, 2012).
Benih normal adalah benih yang setelah berkecambah memiliki perkembangan sisten perakaran yang baik terutama akar primer dan untuk tanaman yang secara normal menghasilkan akar seminimal maka akar ini tidak boleh kurang dari dua. Terjadi perkembangan hipokotil yang baik sempurna tanpa ada kerusakan pada jaringan-jaringannya. Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik, didalam atau muncul darikoleoptil atau pertumbuhan epikotil yang sempurna dengan kuncup yang normal. Memiliki satu kotiledone untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi dikotil (Dina, 2012).
Benih mati adalah benih yang sampai pada akhir masa pengujian tidak keras, tidak segar, dan tidak berkecambah. Benih mati dapat dilihat dari keadaan benih yang telah membusuk, warna benih terlihat agak kecoklatan. Hal ini disebabkan karena adanya penyakit primer yang menyerang benih. Disebabkan karena pada saat kultur teknis dilepangan tanaman yang menajdi induk talah terserang hama dan penyakit sehingga pada benih tersebut berpotensi membawa penyakit dari induknya (Dina, 2012).
Benih abnormal adalah benih yang memiliki kecambah yang rusak, tanpa kotiledon, embrio, yang pecah dan akar primer yang pendek. Kecambah yang bentuknya cacat, perkembangan lemah atau kurang seimbang dari bagain-bagian yang penting. Plumula yang terputar, hipokotil, epikotil, kotiledon yang mebengkak, akar yang pendek. Koleoptil yang pecah atau tidak mempunyai daun, kecambah yang kerdil. Kecambah yang tidak membentuk chlophyl. Kecambah yang lunak. Benih pepohnan bila dari microphyl keluar daun dan bukanya akar (Dina, 2012).
Perkecambahan benih dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode-metode perkecambahan benih antara lain :
Uji diatas kertas
Uji daya kecambah benih dimana contoh kerja diletakkan di atas substrat kertas yang telah di lembabkan. Metode ini sangat baik digunakan untuk benih yang membutuhkan cahaya bagi perkecambahannya. Kertas merang digunakan dalam metode UDK karena kertas merang memiliki daya mempertahankan air yang tinggi, walaupun tujuh hari tidak diberi air. Contoh benih : benih kacang hijau, benih padi (Suwarno, 2007).
Uji Kertas Digulung
Uji daya kecambah benih dimana contoh kerja diletakkan di antara substrat kertas yang telah dilembabkan lalu digulung. Uji Kertas Digulung dalam Plastik (UKDdp) dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat kertas substrat agar tidak tembus oleh akar yang dapat mengakibatkan kertas substrat menjadi rusak sehingga pengamatan menjadi sulit dilakukan. Media kertas digulung akan mempermudah dalam mengontrol suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan kondisi air dari media untuk pertumbuhan benih yang optimal (Kamil, 1979). Uji Kertas Digulung (UKD), digunakan untuk benih-benih berukuran besar yang tidak peka cahaya dalam perkecambahannya. Jika dalam pemakaiannya digunakan plastik sebagai alas kertas maka disebut Uji Kertas Digulung Didirikan dengan Plastik (UKDdp). Contoh benih : Jagung (Sadjad, 1993).
Uji Antar Kertas (UAK)
uji ini digunakan untuk untuk benih besar dan kecil seperti tanaman pangan dan sayuran. Contoh benih : benih sawi, benih kangkung (Harringto, 1972).
Uji Dengan Media Pasir
Uji ini digunakan untuk benih yang termasuk golongan benih tanaman tahunan. Contoh benih : benih pinang, benih melinjo (Harringto, 1972).
Indeks vigor adalah metode yang digunakan untuk mengetahui vigor benih dengan menguji kecepatan perkecambahannya yang dapat dinyatakan. Indeks vigor dapat digunakan untuk menduga keserampakan dan kecepatan benih tumbuh pada interval hari setelah dikecambahkan, namun tidak dapat menduga kualitas dan ketegaran bibit yang dihasilkan. Oleh karena itu pengujian indeks vigor harus beserta dengan indeks vigor hipotetik yang berguna untuk mengetahui kekuatan dan kemampuan tumbuh benih secara normal di lapangan. Daya kecambah benih adalah tolak ukur bagi kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi lingkungan yang optimum dan dinyatakan dalam persen. Koefisien vigor dalah angka atau jumlah daya vigor benih dalam berkecambah. Perbedaan dari ketiganya adalah indeks vigor diperoleh dengan cara menjaga kondisi lingkungan saat penyimpanan. Daya kecambah benih tidak sekedar gejala hidup yang dapat diamati tetapi daya hidup itu harus dapat dijadikan indeks vigor mutu benih, khususnya fisiologi tumbuh. Koefisien vigor adalah angka yng menunjukkan daya vigor benih. Manfaat mengetahui indeks vigor, koefisien vigor, dan daya kecambah benih adalah untuk mengetahui kualitas benih yang dapat dikecambahkan untuk menjadi tumbuhan normal dan berdaya hasil yang tinggi (Sadjad, 1993).
Kertas merang berfungsi sebagai media pertumbuhan benih. kertas lebih banyak digunakan karena lebih praktis dan memenuhi persyaratanpersyaratan dalam prosedur pengujian mutu benih secara modern. Kertasmerang digunakan untuk mengganti tanah sebagai media tanam. Kertas merang digunakan karena kertas merang memiliki daya mempertahankan air yang tinggi, walaupun tujuh hari tidak diberi air (Suwarno, 2007).
Substrat yang digunakan untuk menguji daya kecambah dan indeks vigor benih adalah:
Kertas merang
Kertas merang digunakan sebagai media tumbuh benih. Kertas merang memiliki ketahanan terhadap menahan air, dan juga lebih praktis.
Larutan NaCl
Larutan NaCl digunakan untuk memberikan cekaman pada benih agar dapat diketahui seberapa banyak benih yang berkecambah dalam keadaan tercekam salinitas
Kriteria benih yang cocok ditanam pada uji diatas kertas dan kertas gulung menurut (Shiddiqui, 2008), diantaranya adalah:
Kecambah dengan pertumbuhan sempurna, ditandai dengan akar dan batang yang berkembang baik, jumlah kotiledon sesuai, daun berkembang baik dan berwarna hijau, dan mempunyai tunas pucuk yang baik.
Kecambah dangan cacat ringan pada akar, hipokotil/ epikotil, kotiledon, daun primer, dan koleoptil.
Kecambah dengan infeksi sekunder tetapi bentuknya masih sempurna. Kriteria tersebut kecambah normal diambil lalu dipisahkan dari benih yang belum berkecambah. Jumlah kecambah normal tersebut kemudian dihitung. Evaluasi kedua yaitu melihat adanya kecambah normal, kecambah abnormal, benih yang tidak berkecambah, benih keras, benih segar tidak tumbuh, benih mati, benih busuk.
Benih berkecambah memiliki perkembangan sistem perakaran yang baik.
Tahapan kerja UKD dan UDK dalam praktikum sebagai berikut: Pengujian
Tahapan kerja UKD (uji kertas gulung) pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
Kertas merang dibasahi
Selembar plastik dihamparkan kemudian kertas merang yang sudah dibasahi diletakkan diatas plastic tersebut
Benih jagung ditanam diatas kertas merang secara zig-zag
Bagian bawah kertas merang serta plastik dilipat kemudian digulung dan diikat menggunakan karet agar tidak lepas
Setelah itu kertas gulung berisi benih jagung diletakkan di ember dan diberdirikan
Diamati selama sepuluh hari kemudian di hari ke sepuluh didestruksi untuk dihitung benih normal yang tumbug
Tahapan kerja UDK (uji diatas kertas) pada saat praktikum adalah sebagai berikut:
Kertas merang dibasahi mengunakan air kemudian ditiriskan
Setelah dibasahi kertas merang diletakkan diatas cawan petridish
Kemudian benih padi di tanam diatas kertas merang tersebut
Kemudian diberi perlakuan yang sesuai
Diamati selama 10 hari dua hari sekali
Tahapan kerja UKD dan UDK menurut Purbojati (2006), sebagai berikut:
Uji Diatas Kertas
Pengujian ini dimaksudkan untuk menguji benih diatas lembar substrat. Cara kerjanya yaitu dengan menanam benih diatas lembar substrat yang diletakkan pada petridish atau cawan plastik. Petridish dapat ditutup atau dibuka, tergantung pada ukuran besarnya benih. untuk benih sebesar padi, petridish dibuka. Meletakan cawan petridish pada trays di germinator dapat secara dimiringkan yaitu dengan memiringkan letak trays di germinator, sehingga metode menjadi UDKm.
Uji Kertas Digulung
Metode ini dimaksudkan untuk menguji benih dengan cara menanam benih diantara lembarsubstrat, kemudian digulung. Metode ini dapat digunakan untuk benih yang tidak peka cahaya untuk perkecambahannya. Benih yang berukuran sebesar benih jagung, kedelai kacang tanah,dan sebagainya, sebstrat pengujian dilapisi plastik diluarnya sehingga metodenya menjadi UKDp (Uji Kertas Digulung dalam Plastik).
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan pada metode perkecambahan dengan kertas gulung, benih jagung yang dapat berkecambah normal sebesar 90%. Pengujian benih padi yang dilakukan dengan metode diatas kertas diperoleh vigor sebesar 5,09, dan koefisien vigor sebesar 26,22. Berdasarkan hasil data yang sudah didapat bahwa hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor fisiologis, faktor eksternal benih. Faktor genetik yang mempengaruhi vigor benih adalah pola dasar perkecambahan dan pertumbuhan yang merupakan bawaan genetik dan berbeda antara satu spesies dan spesies lain. Faktor fisiologis yang mempengaruhi vigor benih adalah semua proses fisiologis yang merupakan hasil kerja komponen pada sistem biokimia benih. Faktor eksternal yang mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan pada saat memproduksi benih, saat panen, pengolahan, penyimpanan, dan penanaman kembali (Bedell, 1998).
Berdasarkan kegiatan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh presentase perkecambahan dari hasil uji daya kecambah jagung dengan kertas gulung sebesar 45 %, sedangkan pada pengujian nilai indeks vigor dan koefisien vigor perkecambahan selama 5 hari adalah 0 dan ~. Kecepatan kecambah dapat dinyatakan dengan indeks vigor yang mengekspresikan jumlah benih yang berkecambah pada interval satu hari setelah dikecambahkan, sedangkan koefisien vigor untuk menghitung jumlah benih yang berkecambah pada waktu tertentu. Berdasarkan hasil tersebut akan memberikan gambaran daya tumbuh benih sebelum ditanam dilapang.
Menurut Kuswanto (1996), uji vigor benih bertujuan untuk menilai kemampuan benih untuk tumbuh di lahan. Pengujian ini amat penting karena pada pengujian di laboratorium kondisi lingkungannya telah di buat seoptimal mungkin sehingga peluang benih untuk berkecambah menjadi lebih besar. Uji viabilitas tidak cocok dengan kenyataan di lapang. Metode pengujian benih dapat dibagi menjadi dua jenis pengujian, yaitu pengujian langsung dan tidak langsung.
Menurut Sajdad (1999), bahwa perhitungan daya berkecambah ditentukan berdasarkan jumlah benih yang berkecambah normal dibandingkan dengan jumlah benih yang ditabur. Menurut Wahyuni (2011) bahwa benih yang bervigor tinggi mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam proses perkecambahan dalam kondisi lingkungan yang beragam. Ballo et al., (2012) Biji dikatakan berkecambah jika panjang radicula mencapai 2 mm.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa Daya kecambah benih adalah tolak ukur bagi kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi lingkungan yang optimum. Benih normal adalah benih yang setelah berkecambah memiliki perkembangan sisten perakaran yang baik, terjadi perkembangan hipokotil yang baik, pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik. Benih mati adalah benih yang sampai pada akhir masa pengujian tidak keras, tidak segar, dan tidak berkecambah. Benih abnormal adalah benih yang memiliki kecambah yang rusak, tanpa kotiledon, embrio, yang pecah dan akar primer yang pendek.
Saran
Praktikan disarankan agar melaksanakan praktikum dengan baik dan melakukan kegiatan praktikum dengan maksimal, agar hasil praktikum juga maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Karaki. G.N. 2002. Seed size and water potential effects on water uptake, germination and growth oflentil. Journal of Agronomy Crop Science. Vol 181(4) :237-242
Bedell, P.E. 1998. Seed Science and Technology. Indian Forestry Species. Allied Publishers Limited. New Delhi. 346 p.
Copeland, L.O., M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology. 4 th edition. Kluwer Acad. Publish. London.
Dina, N. 2012. Pengujian Viabilitas Dan Vigor Benih Beberapa Jenis Tanaman. Yang Beredar Di Pasaran. Jurnal produksi tanaman. Vol 8(4) :291-298
Harnowo, D., 2006. Teknologi Penaganan Benih Tanaman Pangan Guna Menghasilkan Benih Bermutu Tinggi. Makalah pada Pelatihan Penangkar Benih Tanaman Pangan se NTB dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Propinsi NTB: 12–15 September 2006. 19 hal.
Harringto. 1972. Seed Storage and Longevity, Seed Biology. Vol. 3 In Ed Kozlowsky, T.T., Academic Press New York.
Justice, O.L., dan Louis, N.B. 1990. Prinsip Dan Praktek Penyimpanan Benih. Rajawali. Jakarta
Kamil, Jurnalis. 1979. Teknologi Benih I. Angkasa Raya. Padang
Kartasapoetra, A. G. 1986. Teknologi Benih, Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum. CV Bina Aksara, Jakarta
Kuswanto, H. 1997. Analisis Benih. Andi, Yogjakarta
Mulyana dan Asmarahman. 2012. Untung Besar dari Bertanam Sengon. Agro Media Pustaka. Jakarta
Purbojati, L., F.C. Suwarno. 2006. Studi alternatif substrat kertas untuk pengujian viabilitas benih dengan metode uji di atas kertas. Buletin Agronomi. Vol 36 (1): 55 – 61
Rusmin, Devi. 2003. Peningkatan viabilitas benih jambu mete (Anacardium occidentale L.) melalui invigorasi. Jurnal Akta Agrosia. Vol 6 (1): 23-29
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Grasindo. Jakarta
Sadjad, S., Endang M., dan Satriyas I. 1989. Parameter Pengujian Vigor Benih. Grasindo.Jakarta
Shankar, U. 2006. Seed size as a predictor of germination success and early seedling growth in Hollong (Dipterocarpus macrocarpusvesque). New Forests. Vol 31(2):305- 320
Shiddiqui, S.U., A. Ali, A.M. Chaudhary. 2008. Germination behavior of wheat (Triticum aestivum) varieties to artificial ageing under varying temperature and humidity. Journal Botany. Vol 40(1):1121-1127
Siregar, H. dan N.W. Utami. 2004. Perkecambahan biji Kenari Babi(Canarium decumanum Gaertn.). Jurnal Kebun Raya Indonesia. Vol 8(1) :25-29
Suresha, N.L., H.C. Balachandra, H. Shivanna, 2007. Effect of seed size on germination viability andseedling biomass in Sapindus emerginatus (Linn). Karnataka Journal of Agricultural. Science. Vol 20(2):326-327
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada, Jakarta
________. 2010. Teknologi Benih (Edisi Revisi Fakultas Pertanian UNIBRAW). PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Suwarno, F. C., dan I. Hapsari. 2008. Studi alternatif substrat kertas untuk pengujian viabilitas benih dengan metode uji UKDdp. Bulletin Agronomi. Vol 3(3): 84 – 91
LAMPIRAN
Pengujian daya perkeambahan dengan metode kertas gulung
Pengujian indeks vigor
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA VI
PENGUJIAN TIPE PERKECAMBAHAN
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benih merupakan suatu bagian dari tanaman yang merupakan cikal bakal suatu tumbuhan baru yang memiliki ciri atau sifat seperti induknya. Benih memiliki beragam jenis, baik bentuk, ukuran, maupun struktur bagiannya. Benih seharusnya memilki kualitas yang baik agar tanaman baru yang didapat merupakan tanaman yang sehat. Teknologi benih adalah suatu ilmu pengetahuan mengenai cara-cara untuk dapat memperbaiki sifat-sifat genetik dan fisik dari benih yang mencakup kegiatan seperti pengembangan varietas, penilaian dan pelepasan varietas, produksi benih, pengolahan, penyimpanan, serta sertifikasi benih.
Pertumbuhan dan perkembangan pada pertumbuhan biji dimulai dengan perkecambahan. Perkecambahan adalah munculnya plantula (tanaman kecil dari biji). Embrio yang merupakan calon individu baru terdapat di dalam biji. Biji tanaman yang ditempatkan pada lingkungan yang menunjang dan memadai biji tersebut akan berkecambah.
Perkecambahan biji berlangsung secara berbeda-beda. Tipe perkecambahan terdapat dua macam yaitu epigeal dan hypogeal. Tanaman yang berkecambah secara epigeal biasanya merupakan tanaman yang termasuk golongan dikotil, sedangkan tipe perkecambahan hypogeal biasanya terjadi pada tanaman golongan monokotil. Berdasarkan hal-hal diatas maka melatarbelakangi dilakukannya praktikum ini agar mampu membedakan tipe perkecambahan benih.
Tujuan
Praktikum pengujian tipe perkecambahan bertujuan untuk mengetahui tipe-tipe perkecambahan dan daya vigor tanaman.
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu ciri organisme adalah tumbuh dan berkembang. Pertumbuahn adalah peristiwa perubahan biologi yang terjadi pada makhluk hidup yang berupa pertambahan ukuran (volume, massa dan tinggi). Pertumbuhan ini beresifat kuantitatif atau terukur. Perkembangan adalah proses menuju kedeewasaan pada organisme. Proses ini berlangsung secara kualitatif. Baik pertumbuhan dan perkembangan bersifat irreversibel atau tidak dapat balik (Irpan, 2013).
Cara perkembangbiakan tanaman pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara generatif dan secara vegetatif. Perkembangbiakan secara generatif adalah perbanyakan tanaman tersebut melalui biji atau embrio yang dihasilkan dari persatuan gamet jantan dan gamet betina melalui proses penyerbukan dan pembuahan pada tanaman berbunga. Perkembangbiakan secara vegetatif artinya tanaman atauindividu tanaman baru berasal dari bagian vegetatif tanaman induk. Bagian vegetatif dapat berupa akar, batang, daun, umbi yang apabila dilepas dan ditempatkan pada lingkungan yang sesuai dapat tumbuh menjadi tanaman baru yang sempurna (Harjadi, 2002).
Perkecambahan biji adalah suatu proses yang berkaitan dengan sel hidup yang mana membutuhkan energi. Energi yang dibutuhkan oleh suatu proses didalam sel hidup biasanya diperoleh dari proses oksidasi, baik adanya molekul O2 atau tidak. Proses ini secara berurutan disebut pernafasan (respiration), dan fermentasi, dimana terjadi pertukaran gas yaitu CO2 dikeluarkan dan O2 diambil pada proses pernafasan, disebut pernafasan aerob. Pernafasa tanpa molekul O2 bebas disebut pernafasan anaerob dimana oksigen diperoleh dari proses kimia (Kamil, 1979).
Proses perkecambahan di dalamnya akan terjadi respirasi yang akan meningkat disertai pula dengan meningkatnya pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, air dan energi yang berupa panas. Terbatasnya oksigen yang dipakai akan mengakibatkan terhambatnya proses perkecambahan benih. Sintesa lemak menjadi gula diperlukan oksigen karena molekul asam lemak mengandung lebih sedikit oksigen pada molekul gula. Energi yang digunakan untuk kegiatan mekanisme sel-sel dan mengubah bahan baku bagi proses pertumbuhan dihasilkan melalui proses oksidasi dari cadangan makanan di dalam benih (Sutopo, 2002).
Perkecambahan merupakan serangkaian proses penting yang terjadi sejak benih dorman sampai ke bibit yang sedang tumbuh. Daya kecambah benih adalah mekar dan berkembangnya bagian-bagian penting dari embrio suatu benih yang menunjukkan kemampuan untuk tumbuh normal pada lingkungan yang sesuai. Daya kecambah benih meningkat dengan bertambah tuanya biji sampai masak fisiologis biji tercapai. Tipe perkecambahan benih ada dua macam yaitu hipogeal dan epigeal. Tipe kecambah hipogeal, kotiledon tetap tinggal di tanah, sedangkan pada tipe kecambah epigeal kotiledon terangkat keatas. Biji legum termasuk tipe kecambah epigeal dimana kotiledonnya ikut terangkat ke permukaan tanah. Hal itu disebabkan karena pertumbuhan dan perpanjangan hipokotil kearah bawah tertambat ke tanah dengan akar-akar lateral. Hipokotil membengkok, bergeser dan muncul ke permukaan tanah (Hadi, 2011).
Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang memiliki kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tumbuhan baru. Komponen biji tersebut adalah bagian kecambah yang terdapat di dalam biji, misalnya radikula dan plumula. Hasil dari perkecambahan ini adalah munculnya tumbuahan kecil dari dalam biji. Proses perubahan embrio saat perkecambahan adalah plumula tumbuh dan berkembanng menjadi batang dan radikula tumbuh dan berkembang menjadi akar (Henny, 2010).
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah benih jagung dan benih kedelai. Alat yang digunakan adalah polybag, pasir, dan air.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum adaah sebagai beikut:
Benih jagung dan benih kedelai ditanam di polybag yang berbeda menggunakan media pasir, setelah ditanam kemudian disiram menggunakan air.
Benih yang sudah ditanam diamati setiap hari ke1, 3, 5, 7, dan 9.
Setiap pengamatan dilakukan destruksi 1 benih tanaman, kemudian benih tersebut dideskripsikan bagian benih tersebut serta di gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 6.1 Tabel Pengamatan pada Tanaman Kedelai
No.
Pengamatan ke-
Gambar
Foto
Keterangan
1
Hari ke 1
Tanaman belum tumbuh
2
Hari ke 3
Bagian-bagian:
Kotiledorn
Plumule
Radikula
3
Hari ke 5
Bagian-bagian:
Daun
Kotiledon
Hipokotil
Akar
4
Hari ke 7
Bagian-bagian:
Daun
Kotiledon
Hipokotil
Akar
5
Hari ke 9
Bagian-bagian:
Daun
Kotiledon
Hipokotil
Akar
Tabel 6.2 Tabel Pengamatan pada Tanaman Jagung
No.
Pengamatan ke-
Gambar
Foto
Keterangan
1
Hari ke 1
Benih kedalaman 3 cm sudah tumbuh plumula dan radikula, sedangkan yang lain belum tumbuh.
2
Hari ke 3
Bagian-bagian:
Plumule
Radikula
3
Hari ke 5
Bagian-bagian:
Daun
Coleoptil
Akar
4
Hari ke 7
Bagian-bagian:
Daun
Coleoptil
Radikula
5
Hari ke 9
Bagian-bagian:
Daun
Coleoptil
Radikula
Kesimpulan:
Tanaman kedelai memiliki tipe perkecambahan epigeal sehingga hipokotil serta kotiledonnya terangkat keatas saat terjadi perkecambahan dan perakarannya tunggang sehingga akarnya terus menuju lapisan terdalam media., sedangkan tanaman jagung memiliki tipe perkecambahan hypogeal sehingga kotiledonnya tidak terangkat keatas dan masih terbenam dibawah permukaan tanah, sedangkan akarnya terus menyebar disekitar permukaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mudiana (2007) yang menyatakan bahwa perkecambahan bersifat epigeal, artinya saat berkecambah keping lembaganya terangkat keatas dan terbelah menjadi dua saat diatas permukaan tanah, sedangkan hypogeal merupakan kebalikan dari epigeal yaitu perkecambahan yang terjadi dibawah tanah sehingga keping lembaga tidak muncul ke permukaan. Selain itu, panjang akar tidak selalu konstan karena saat destruksi terjadi kesalahan teknis seperti mencabutnya terlalu keras sehingga akar putus atau tertinggal. Menurut Simajuntak et al., (2016) setiap benih tanaman memiliki system perakaran yang berbeda sehingga kemampuan akar untuk menyerap air guna menunjang pertumbuhan tanaman juga berbeda-beda. Selain itu, factor fisik tanah juga mempengaruhi kemampuan banyaknya air yang dapat diserap oleh akar.
Pembahasan
Perkecambahan merupakan batas antara benih yang masih tergantung pada sumber makanan dari induknya dengan tanaman yang mampu berdiri sendiri dalam mengambil hara. Kondisi perkecambahan dan rentang toleransi untuk perkecambahan benih bervariasi tergantung jenis dan berhubungan dengan lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh (Bekti, 2009).
Perkecambahan merupakan proses metabolisme biji hingga dapat menghasilkan pertumbuhan dari komponen kecambah (plumula dan radikula) (Sadjad, 1993) Defenisi perkecambahan adalah jika sudah dapat dilihat atribut perkecambahanya, yaitu plumula dan radikula dan keduanya tumbuh normal dalam janggka waktu terrtentu sesuai dengan ketentuan ISTA (International Sed Testing Association). Setiap biji yang dikecambahkan ataupun yang di ujikan tidak selalu prosentase pertumbuhan kecambahnya sama, hal ini dipengaruhi berbagai maacam faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan (Purnobasuki, 2011).
Proses perkecambahan merupakan tahap awal dari proses terbentuknya individu baru pada tumbuhan berbiji. Terjaminnya kelangsungan jenisnya, kelompok tumbuhan berbiji menghasilkan biji yang merupakan propagul untuk tumbuh menjadi individu baru. Biji tersebut didalamnya terdapat berbagai komposisi kimia yang berperan sebagai embrio yang dapat aktif tumbuh menjadi individu baru apabila berada pada kondisi lingkungan yang sesuai (Mudiana, 2006). Indikator perkecambahan biji dimulaidari proses penyerapan air oleh biji diikuti dengan melunaknya kulit biji serta terjadinya hidrasi sitoplasma dan peningkatan suplai oksigen sehingga menyebabkan peningkatan respirasi dalam biji. Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit biji permeable terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu (Kozlowski, 1972).
Tipe perkecambahan biji ada dua, yaitu perkecambahan epigeal dan hipogeal. Perkecambahan epigeal merupakan perkecambahan yang ditandai dengan hipokotil yang tumbuh memanjang sehingga plumula dan kotiledon terangkat ke atas permukaan tanah (Djufr. 2003). Kotiledon dapat melakukan fotosintesis selama daun belum terbentuk. Contoh tumbuhan ini adalah kacang hijau, kedelai, bunga matahari dan kacang tanah. Organ pertama yang muncul ketika biji berkecambah adalah radikula. Radikula ini kemudian akan tumbuh menembus permukaan tanah (Sabarno, 2002). Tanaman dikotil yang dirangsang dengan cahaya, ruas batang hipokotil akan tumbuh lurus ke permukaan tanah mengangkat kotiledon dan epikotil. Epikotil akan memunculkan daun pertama kemudian kotiledon akan rontok ketika cadangan makanan di dalamnya telah habis digunakan oleh embrio (Sutopo, 2002). Perkecambahan hipogeal merupakan perkecambahan yang ditandai dengan epikotil tumbuh memanjang kemudian plumula tumbuh ke permukaan tanah menembus kulit biji. Kotiledon tetap berada di dalam tanah. Contoh tumbuhan yang 12 mengalami perkecambahan ini adalah kacang ercis, kacang kapri, jagung, dan rumput-rumputan (Campbell et al., 2000).
Perkecambahan Epigeal secara sederhana, proses perkecambahan epigeal adalah sebuah proses perkecambahan dimana pertumbuhan hipokotil dari biji tersebut memanjang yang membuat kotiledon dan juga plumula dari biji tersebut terangkat ke permukaan tanah. Sehingga posisi kotiledon atau keping biji berada di atas tanah. Proses perkecambahan ini biasanya terjadi pada tumbuhan-tumbuhan berjenis dikotil. Salah satu tumbuhan yang memiliki proses perkecambahan epigeal adalah kacang hijau dan jarak (Pruves, 2004).
Perkecambahan Hipogeal secara sederhana, proses perkecambahan hipogeal adalah proses pertumbuhan memanjang dari epikotil biji yang membuat plumula dari biji tersebut muncul ke permukaan tanah. Sementara, kotiledon dari biji itu tetap berada di dalam tanah. Umumnya, proses perkecambaan hipogeal ini terjadi pada tumbuhan yang berjenis monokotil. Salah satu contoh tumbuhan yang mengalami proses perkecambahan hipogeal adalah jagung dan kacang kapri (Pruves, 2004)
Tipe proses perkecambahan benih ada dua tipe, menurut Bertham (2002) yaitu:
Proses fisika pada perkecambahan diawali dengan penyerapan air oleh biji hingga setiap selnya terisi cukup air. Adanya pasokan air menyebabkan komponen-komponen dalam selnya mulai bekerja. Biji menyerap air dari lingkungannya karena potensi air pada biji lebih rendah. Secara fisiologi, proses perkecambahan ini berlangsung dalam beberapa tahapan penting yang meliputi: absorbsi air, metabolisme pemecahan materi cadangan makanan, transpor materi hasil pemecahan dari endosperm ke embrio yang aktif tumbuh, proses-proses pembentukan kembali materi-materi baru, respirasi, serta pertumbuhan.
Proses kimia melibatkan hormon dan enzim. Ketika biji memiliki pasokan air yang cukup, biji akan mengembang dan menyebabkan kulit biji pecah. Setelah itu, embrio akan aktif melepaskan hormon giberelin yang beperan dalam sintesis enzim. Enzim yang dihasilkan menghidrolisis cadangan makanan yang terdapat dalam kotiledon dan endosperma sehingga menghasilkan molekul kecil yang kemudian diserap oleh kotiledon selama pertumbuhan embrio menjadi bibit tanaman.
Benih dikatakan berkecambah apabila sudah dapat dilihat atribut perkecambahannya yaitu plumula dan radikel yang keduanya tumbuh normal dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan. Proses perkecambahan ini bisa berupa suatu proses metabiolisme yang terdiri dari proses katabiolisme dan anabiolisme dimana pada katabiolisme terjadi proses terjadi perombakan cadangan makanan sehingga menghasilkan energi ATP, sedangkanpada anabiolisme terjadi sintesa senyawa protein untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio. Kedua proses ini terjadi secara berurutan pada tempat yang berbeda. Tahap awal metabiolisme untuk tumbuh benih dapat diungkapkan sebagai 3 tipe yaitu:
perombakan bahan cadangan
translokasi dari bagian benih ke satu bagian yang lain
sintesa bahan-bahan yang baru
Adapun tahapan proses perkecambahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama dimulai dengan penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi oleh protoplasma.
Tahap kedua dimulai dengan kegiatan sel-sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih.
Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh.
Tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah terurai di daerah meristematik, yang digunakan untuk menghasilkan energi dari kegiatan pembentukan komponen dalam pertumbuhan sel-sel baru.
Tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh, pertumbuhan kecambah ini tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji.
Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeable terhadap air dengan tekanan osmosis tertentu. Serapan air dan berbagai proses biokimia yang berlangsung pada benih pada akhirnya akan tercermin pada pertumbuhan dan perkembangan kecambah menjadi tanaman muda (bibit), kecuali jika benih tersebut dalam keadaan dorman.
Gambar 2.1. Tipe proses perkecambahan
Gambar 2.1 Proses perkecambahan
Keterangan:
(a) embrio menyerap air,
(b) embrio mengeluarkan GA ke aleuron,
(c) aleuron mengeluarkan enzim dan enzim menuju ke endosperma,
(d) enzim bekerja menguraikan zat makanan hingga diperoleh energi untuk perkecambahan.
(Bertham, 2002).
Perubahan biokimia benih yang mempengaruhi dormansi yaitu adanya indikasi biokimia dalam benih yang mengalami kemunduran adalah terjadinya perubahan aktivitas enzim, perubahan laju respirasi, perubahan dalam cadangan makanan, perubahan di dalam membran, kerusakan khromosom dan akumulasi bahan toksin. Perubahan kondisi selama penyimpanan dapat menyebabkan perubahan laju respirasi. Laju respirasi terus meningkat bila suhu lingkungan meningkat sampai suatu saat lajunya dihambat karena terjadinya hal seperti inaktivasi enzim, kehabisan cadangan nutrisi atau oksigen atau karena karbondioksida terakumulasi, hingga mencapai tingkat yang menghambat. Selama penyimpanan, benih yang mengandung banyak lemak lebih cepat rusak dibandingkan dengan benih yang banyak mengandung pati atau protein, dengan mengetahui kandungan biokimia tersebut, maka potensi benih dapat diprediksi sehingga teknik penyimpanan atau pengujian yang tepat dapat ditetapkan bagi benih tersebut (Sadjad, 1993).
Perkecambahan ditandai denagn embrio yang tumbuh belum memiliki klorofil, sehingga embrio belum dapat membuat makanan sendiri. Secara umum makanan untuk pertumbuhan embrio berasal dari endosperma. Perkecambahan dimulai dengan proses penyerapan air ke dalam sel-sel. Proses ini merupakan proses fisika. Masuknya air pada biji menyebabkan enzim aktif bekerja. Bekerjanya enzim merupakan proses kimia. Enzim amilase bekerja memecah tepung menjadi maltose, selanjutnya maltose dihidrolisis oleh maltase menjadi glukosa. Protein juga dipecah menjadi asam-asam amino. Senyawa glukosa masuk ke proses metabolisme dan dipecah menjadi energi atau diubah menjadi yang senyawa karbohidrat yang menyusun struktur tubuh. Asam-asam amino dirangkaikan menjadi protein yang berfungsi untuk menyusun struktur sel dan menyusun enzim-enzim baru. Asam-asam lemak terutama dipakai untuk menyusun membrane sel. Perkecambahan biji berhubungan dengan aspek kimiawi. Proses tersebut meliputi beberapa tahapan, antara lain imbibisi, sekresi hormon dan enzim, hidrolisis cadangan makanan, pengiriman bahan makanan terlarut dan hormon ke daerah titik tumbuh atau daerah lainnya, serta asimilasi (fotosintesis). Proses penyerapan cairan pada biji (imbibisi) terjadi melalui mikropil. Air yang masuk ke dalam kotiledon menyebabkan volumenya bertambah, akibatnya kotiledon membengkak (Prihastanti, 2011). Pembengkakan tersebut pada akhirnya menyebabkan pecahnya testa. Secara fisiologi, proses perkecambahan berlangsung dalam beberapa tahapan penting, meliputi:
Absorbsi air
Metabolisme pemecahan materi cadangan makanan
Transpor materi hasil pemecahan dari endosperm ke embrio yang aktif tumbuh.
Proses-proses pembentukan kembali materi-materi baru.
Respirasi
Pertumbuhan Proses perkecambahan fisiologis, dalam tahap ini embrio di dalam benih yang semula berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan ia berkembang menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai kecambah. Kecambah adalah tumbuhan (sporofit) muda yang baru saja berkembang dari tahap embrionik di dalam benih. Tahap perkembangan ini disebut perkecambahan dan merupakan satu tahap kritis dalam kehidupan tumbuhan. Proses perkecambahan dalam hal ini melalui 3 tahap, yakni: (i) Perembesan air ke dalam benih (imbibisi), (ii) pengaktifan proses metabolisme; dan (iii) perkecambahan (Kozlowski, 1972).
Kedalaman tanam berhubungan dengan vigor tanaman, bibit normal dari benih yang memiliki kekuatan tumbuh yang baik pada kedalaman optimal namun sebaliknya jika kedalaman kurang optimal benih tidak akan tumbuh dengan baik karena benih memerlukan ruang yang optimal agar dapat berkecambah serta tumbuh. Vigor berhubungan dengan bobot benih, dimana kemampuan benih menghasilkan perakaran dan pucuk yang kuat pada kondisi yang tidak menguntungkan serta bebas mikroorganisme atau berpengaruh dalam perkecambahan (Saleh, 2004). Menurut Pratama et al (2014), kedalaman tanam memiliki pengaruh nyata terhadap perkecambahan dan jumlah daun bibit.
Media tanam yang baik untuk perkecambahan haruslah memiliki sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerap air dan bebas dari organisme penyebab penyakit terutama cendawan. Pengujian daya tumbuh benih dapat menggunakan media seperti substrat kertas, pasir dan tanah (Sutopo, 2004). Menurut Imanda (2018) komposisi media tanam memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan benih. Media tanam yang tepat dapat meningkatkan daya perkecambahan benih.
Setiap benih memiliki kebutuhan air yang berbeda tergantung kepada jenis benihnya. Penyerapan air oleh benih dipengaruhi oleh sifat benih itu sendiri terutama kulit pelindungnya dan jumlah air yang tersedia pada media di sekitarnya dan tingkat pengambilan air turut dipengaruhi oleh suhu (Sutopo, 2004). Benih mempunyai kemampuan kecambah pada kisaran air tersedia. Kondisi media yang terlalu basah akan dapat menghambat aerasi dan merangsang timbulnya penyakit serta busuknya benih karena cendawan atau bakteri (Sutopo, 2004). Menurut Sofyanti (2012), frekuensi penyiraman memiliki pengaruh nyata terhadap pertumbuhan benih. Perbedaan frekuansi penyiraman akan berpengaruh nyata terhadap tinggi benih, jumlah daun, dan diameter batang.
Benih yang bermutu akan menghasilkan tanaman yang bermutu pula. Mutu benih mencakup mutu genetis, mutu fisiologis dan mutu fisik. Mutu genetis ditentukan oleh derajat kemurnian genetis sedangkan mutu fisiologis ditentukan oleh laju kemunduran dan vigor benih. Vigor dicerminkan oleh vigor kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Kedua nilai fisiologis ini memungkinkan benih tersebut untuk tumbuh menjadi normal meskipun keadaan biofisik di lapangan produksi sub optimum. Tingkat vigor tinggi dapat dilihat dari penampilan kecambah yang tahan terhadap berbagai faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya (Ichsan, 2006).
Parameter viabilitas benih mmeliputi daya muncul bibit dari benih sumber dan viabilias benih yang dihasilkan berupa daya berkecambah, kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, dan bobot kering tanaman. Benih yang memiliki viabilitas tinggi akan memberikan hasil produksi tanaman yang tinggi dan begitu pula sebaliknya (Hariyati, 1989).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kedalaman tanam berhubungan dengan vigor tanaman, bibit normal dari benih yang memiliki kekuatan tumbuh yang baik pada kedalaman optimal namun sebaliknya jika kedalaman kurang optimal benih tidak akan tumbuh dengan baik karena benih memerlukan ruang yang optimal agar dapat berkecambah serta tumbuh. Vigor berhubungan dengan bobot benih, dimana kemampuan benih menghasilkan perakaran dan pucuk yang kuat pada kondisi yang tidak menguntungkan serta bebas mikroorganisme atau berpengaruh dalam perkecambahan (Saleh, 2004). Menurut Pratama et al (2014), kedalaman tanam memiliki pengaruh nyata terhadap perkecambahan dan jumlah daun bibit. Untuk kedalaman tanam 2,5-3,5 cm yang memiliki jarak yang hampir sama pembentukan mesocotyl dan akar adventif dapat terbentuk dengan baik, sebaliknya pada kedalaman yang terlalu dalam (15-17 cm) dari permukaan tanah, maka coleoptyle akan kering di dalam tanah tanpa membentuk akar adventif yang berakibat bibit akan mati (Santoso dan Purwoko, 2008).
Berdasarkan praktikum yang telah kami lakukan, sebenarnya tidak dapat diketahui secara pasti kedalaman yang paling baik untuk menanam kedua jenis benih tersebut (jagung dan kedelai) karena nilai variabel pengamatan fluktuatif, sebagai contoh pada variabel panjang akar. Benih jagung pada hari ke-5 di kedalaman 3 cm, 5 cm, dan 7 cm memiliki panjang akar masing-masing 18 cm, 10 cm, dan 6 cm. Namun pada pengamatan berikutnya (hari ke-7) masing-masing kedalaman memiliki panjang akar 5 cm, 8 cm, dan 7 cm. Hal yang sama juga terjadi pada variabel pengamatan lainnya, yaitu tinggi tajuk. Nilai yang fluktuatif ini terjadi pada pertumbuhan benih kedelai dan jagung. Menurut Saleh (2004) kedalaman tanam berhubungan dengan vigor tanaman, bibit normal dari benih yang memiliki kekuatan tumbuh yang baik pada kedalaman optimal namun sebaliknya jika kedalaman kurang optimal benih tidak akan tumbuh dengan baik karena benih memerlukan ruang yang optimal agar dapat berkecambah serta tumbuh. Vigor berhubungan dengan bobot benih, dimana kemampuan benih menghasilkan perakaran dan pucuk yang kuat pada kondisi yang tidak menguntungkan serta bebas mikroorganisme atau berpengaruh dalam perkecambahan. Menurut kami, munculnya nilai fluktuatif pada perkecambahan kedua benih (kedelai dan jagung) adalah karena perbedaan nilai vigor setiap benih. Namun jika dilihat dari pengamatan terakhir (hari ke-13) maka dapat kami simpulkan bahwa kedalaman yang paling baik untuk benih kedelai adalah 5 cm (tajuk 16,4 cm, akar 78,7 cm) dan untuk benih jagung adalah 7 cm (tajuk 19,3 cm dan akar 44,3 cm).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan bahwa benih jagung yang ditanamn pada saat praktikum semuanya berkecambah. Tipe perkecambahan jagung adalah hipogeal yaitu kotiledon tinggal di dalam tanah. Benih kedelai yang ditanam tidak ada yang berkecambah. Tipe perkecambahan kedelai adalah epigeal, jika pada saat praktikum benih kedelai tumbuh maka kotiledon akan terangkat ke atas.
Saran
Praktikan disarankan agar merawat tanaman dengan baik agar syarat tumbuh yang dibutuhkan terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Sumaru. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UGM Press. Yogyakarta
Bekti Tri W. 2009. Pengaruh Perlakuan Pendahuuluan dan Berat Benih Terhadap Perkecambahan Benih Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.). Skripsi. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Bertham, Yudhi Harini. 2002. Respon Tanaman Kedelai Terhadap Pemupukan Fosfor dan Kompos Jerami pada Tanah Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 4(2): 78-83
Bewley and Black 2005. Physiology and Biochemistry of Seed in Relation to Germination. Heidelberg. New York
Campbell, N.A., J.B. Reece and L.G. Mitchell, 2000. Biologi, Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta
Carbajosa JV dan Pilar C 2005. Seed Maturation: Developing An Intrusive Phase to Accomplish A Quiescent State. International Journal Development Biology. Vol 4(9) : 645 – 651
Djufr. 2002. Penentuan Pola Distribusi, Asosiasi, dan Interaksi Spesies Tumbuhan yang Melakukan Tahapan Perkecambahan Secara Normal. Jurnal Biodiversitas. Vol 3(1):181-188
Hadi, Solihul. 2011. Dunia Tumbuhan Dan Hewan. Rineka Cipta. Bandung
Halmer, P. 1987. Technical and Commercial Aspects of Seed Pelleting and Film Coating. British Crop Protection Council. Thorton Heath
Harjadi, M. 2002. Pengantar Agronomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Henny, Dwika. 2010. Perkecambahan Biji. Pustaka Buana. Bandung
Heydecker, W.1972.Vigour In Viability of Seeds. Chpman and Hall
Irpan, muhammad. 2013. Pertumbuahan Dan Perkembangan Tumbuhan. Kanisius. Yogyakarta
Kamil, Jurnalis. 1979. Teknologi Benih 1. Angkasa Raya. Padang.
Kartasapoetra, Anto G. 1986. Pengelolaan Benih dan Tuntunan Praktikum. Bina Aksara. Jakarta
Khan, A.A., J.D. Maguire, G.S. Abawi and S. Ilyas. 1992. Matriconditioning of vegetable seeds to improve stand establishmeny in early field plantings. Journal American Society Horticulture Science. Vol 11(1): 41-47
Kozlowski, 1972. Teknologi Benih 1. Angkasa raya. Padang
Kuswanto, H., 1997. Analisis Benih. ANDI. Yogyakarta
Mudiana, D. 2007. Perkecambahan Syzygium cumini (L.). Skeels. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pasuruan
Novijanto, N. 1996. Pengaruh Suhu Dan Lama Perendaman Terhadap Mutu Kecambah Kacang Hijau. Agri Journal. Vol 3(2):30
Prihastanti, E. 2011. Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan Semai Kakao (Theobroma cacao L.) Asal Sulawesi Tengah yang Dibudidayakan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan Biologi F. MIPA Undip. Jawa Tengah.
Purnobasuki, H. 2011. Perkecambahan. Agrologia. Ambon
Purves et al.2004. Life: The Science of Biology. Sinauer Associates Inc and W. H. Freeman and Company. Sunderland
Sabarno, M. Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Journal Biodiversitas. Vol 3(1): 207-212
Sadjad, S., H. Suseno, S.S. Hajadi, J. Sutakaria, Sugiharso, dan Sudarsono. 1993. Dasar-dasar Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Siregar, H. dan N.W. Utami. 2004. Perkecambahan biji Kenari Babi (Canarium decumanum Gaertn). Jurnal Kebun Raya Indonesia. Vol 1(8) : 25-29
Sugito, Yogi. 1994. Dasar-Dasar Agronomi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang
Sutopo, lita. 1993. Teknologi Benih Fakultas Pertanian UNIBRAW. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sutopo, Lita. 2002. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Tjitrasam, 1983. Botani Umum I. Angkasa. Bandung
LAMPIRAN
Pengamatan I
Pengamatan II
Pengamatan III
Pengamatan IV
Pengamatan V
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI DAN PRODUKSI BENIH
ACARA VII
IMBIBISI PADA PERKECAMBAHAN BENIH
Oleh:
Aufa Anggarseti
NIM A1D116042
Rombongan 11
Pj asisten: Gelar Maulana Wandah Kusumah
NIM A1D015181
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benih atau biji merupakan hasil dari fase generatif tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan tanam untuk generasi berikutnya. Tanaman dewasa yang sempurna didapatkan dengan cara membuat benih tersebut melalui proses perkecambahan. Perkecambahan adalah muncul dan berkembangnya struktur terpenting dari embrio serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada keadaan alam yang menguntungkan.
Proses perkecambahan benih dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh adalah susunan kimiawi benih, kadar air benih, kegiatan enzim dalam benih serta legiatan fisik dan biokimiawi dari kulit benih. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah air, cahaya, gas, suhu, dan oksigen. Air merupakan faktor yang sangat berperan dalam perkecambahan benih. Dua faktor penting yang mempengaruhi penyerapan air oleh benih adalah kulit pelindung biji dan jumlah air yang tersedia pada medium disekitarnya. Banyaknya air yang diperlukan bervariasi tergantung pada jenis benih. Tetapi umumnya tidak melampaui dua atau tiga kali dari berat keringnya.
Kadar air biji merupakan salah satu komponen yang harus diketahui baik untuk tujuan pengolahan, maupun penyimpanan biji. Kadar air memiliki dampak besar terhadap biji selama perkecambahan. Penyerapan air oleh biji akan mempengaruhi proses perkecambahan mula-mula air masuk ke dalam biji secara imbibisi dan osmosis, kemudian terjadi pelunakan kulit biji, pengembangan embrio dan endosperm, dan pada akhirnya kulit biji pecah dan terjadi pengeluaran radikula.
Imbibisi oleh biji memiliki kemampuan atau batas penyerapan, ketika biji tersebut mencapai titik jenuh maka air yang masuk tidak lagi bertambah melainkan tetap pada keadaan semula. Penyerapan air oleh biji dipengaruhi dari berbagai faktor. Faktor inilah yang natinya juga akan mempengaruhi biji untuk mencapai titik jenuh dalam penyerapan air. Berdasarkan uraian diatas yang melatarbelakangi dilakukannya praktikum imbibisi pada perkecambahan benih agar dapat mengetahui imbibisi yang terjadi pada setiap jenis benih.
Tujuan
Praktikum imbibisi pada perkecambahan benih bertujuan untuk:
Mendefinisikan istilah imbibisi air dan arti penting imbibisi pada perkecambahan benih
Membahas proses-proses fisiologis yang berkaitan dengan imbibisi pada benih
Membedakan komposisi dan permeabilitas benih antar spesies tanaman yang berpengaruh terhadap tingkat imbibisi
TINJAUAN PUSTAKA
Perkecambahan diawali dengan penyerapan air dari lingkungan sekitar biji, baik tanah, udara maupun media tanam lainnya. Perubahan yang teramati adalah membesarnya ukuran biji yang disebut tahap imbibisi. Biji menyerap air dari lingkungan sekitarnya, baik dari tanah maupun udara dan biji akan melunak. Kehadiran air di dalam sel mengaktifkan sejumlah enzim perkecambahan awal. Fitohormon asam absisat menurun kadarnya, sementara giberelin meningkat. Diketahui pula bahwa dalam proses perkecambahan yang normal sekelompol faktor transkripsi yang mengatur auksin direndam oleh mRNA. Perubahan pengendalian ini merangsang pembelahan sel di bagian yang aktif melakukan mitosis, seperti di ujung radikula. Akibatnya ukuran radikula semakin besar dan kulit atau cangkang biji terdesak dari dalam, yang pada akhirnya pecah (Kimball, 1992).
Imbibisi adalah penyerapan air (absorbsi) oleh benda-benda yang padat (solid) atau agak padat (semi solid) karena benda-benda tersebut mempunyai suatu zat penyusun dari bahan yang berupa koloid. Ada banyak hal yang merupakan proses penyerapan air yang terjadi pada makhluk hidup, misalnya penyerapan air dari dalam tanha oleh akar tanaman. Penyerapan yang dimaksudkan disini yaitu penyerapan air oleh biji kering. Hal ini juga banyak kita jumpai dikehidupan kita sehari-hari yaitu pada proses pembibitan tanaman padi, pembuatan kecambah tauge, biji kacang hijau terlebih dahulu direndam dengan air. Peristiwa perendaman inilah terjadi proses imbibisi oleh kulit biji tanaman tersebut. Tidak hanya itu, proses imbibisi juga memiliki kecepatan penyerapan air yang berbeda-beda untuk setiap biiji tanaman (Rezky, 2011).
Imbibibisi adalah suatu proses fisika dengan suatu nilai kurang dari dua dan akan terjadi pula biji yang tidak mampu hidup. Potensial air pada biji-bijian kering cukup rendah untuk menarik uap iar dari atmosfir tanah, tetapi laju gerakannya sangat lebih lambat lewat lintasan uap. Alasan utama potensial air biji yang rendah, adalah bahan simpanan yang terutama bersifat koloid, khususnya protein. Berat suatu biji yang kaya proteindapat melipat dua dalam 24 jam sebagai akibat air yang diambil. (Fitter and Hay. 1990)
Salah satu perilaku pertumbuhan dan perkembangan jenis ini adalah proses perkecambahan biji serta pertumbuhan semai setelah perkecambahan tersebut. Perkecambahan adalah proses terbentuknya kecambah (planula). Kecambah sendiri didefinisikan sebagai tumbuhan kecil yang baru muncul dari biji dan hidupnya masih tergantung pada persediaan makanan yang terdapat dalam biji. Kecambah tersebut akan berkembang menjadi semai/ anakan/ seedling, yang pada tahap selanjutnya akan tumbuh menjadi tumbuhan yang dewasa (Mudiana, 2007).
Kadar air benih merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi daya simpan benih. Kadar air benih terlalu tinggi dapat memacu respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh. Umumnya pada tanaman legume dan padi-padian, ovule atau tepatnya embrioyang sedang mengalami pembuahan mempunyai kadar air kira-kira 80 % dalam bebarapa hari kemudian kadar air ini meningkat sampai kira-kira 85% lalu pelan-pelan menurun secara teratur. Dekat kepada waktu masak kadar air ini menurun dengan cepat sampei kira-kira 20% pada biji tanaman sereallia,setelah tercapai berat kering maximum dari pada biji,kadar air tersebut agak konstan sekitar 20% tetapi sedikit naik terun seimbang dengan keadaan lingkungan di lapangan (Sasmitamihardja, 1996).
Penyerapan air dipengaruhi oleh faktor dalam (disebut pula faktor tumbuhan) dan faktor luar atau faktor lingkungan (Soedirokoesoemo, 1993). Faktor dalam terdiri dari :
a. Kecepatan transpirasi: semakin cepat transpirasi makin cepat penyerapan.
b. Sistem perakaran: tumbuhan yang mempunyai system perakaran berkembang baik, akan mampu mengadakan penyerapan lebih kuat karena jumlah bulu akar semakin banyak.
c. Kecepatan metabolisme: karena penyerapan memerlukan energi, maka semakin cepat metabolismem (terutama respirasi) akan mempercepat penyerapan.
Faktor lingkungan terdiri dari:
a. Ketersediaan air tanah: tumbuhan dapat menyerap air bila air tersedia antara kapasitas lapang dan konsentrasi layu tetap. Apabila air melebihi kapasitas lapang penyerapan terhambat karena akan berada dalam lingkungan anaerob.
b. Konsentrasi air tanah: air tanah bukan air murni, tetapi larutan yang berisi berbagai ion dan molekul. Semakin pekat larutan tanah semakin sulit penyerapan.
c. Temperatur tanah: temperatur mempengaruhi kecepatan metabolism. Ada temperatur optimum untuk metabolisme dan tentu saja ada temperatur optimum untuk penyerapan.
d. Aerasi tanah: yang dimaksud dengan aerasi adalah pertukaran udara, yaitu maksudnya oksigen dan lepasnya CO2 dari lingkungan. Aerasi mempengaruhi proses respirasi aerob, kalau tidak baik akan menyebabkan terjadinya kenaikan kadar CO2 yang selanjutnya menurunkan pH. Penurunan pH ini berakibat terhadap permeabilitas membran sel.
METODE PRAKTIKUM
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada imbibisi pada perkecambahan benih adalah benih kacang tanah, benih kedelai, dan benih jagung, air destilasi, Polyethylene Glycol (PEG). Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, cawan petri, dark germinator pada 25 0C, dan pasir.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada praktikum imbibisi pada perkecambahan benih adalah sebagai berikut:
Imbibisi pada benih hidup dan mati
Dua kelompok benih ditimbang kemusian hasilnya dicatat
Kedua kelompok benih direndam di dalam air selama satu jam
Setelah satu jam benih diangkat dikeringkan kemudian ditimbang kembali
Persentase bobot benih dihitung
Laju imbibisi dua tipe benih
Benih jagung dan benih kacang dibelah menjadi dua bagian sama besar
Kedua kelompok benih ditimbang secara terpisah
Kedua kelompok benih tersebut dimasukkan kedalam cawan petri dan direndam dengan air hingga benar-benar terendam
Pengamatan dilakukan setiap 15 menit sekali selama satu jam. Pengamatan dilakukan dengan cara melakukan penimbangan kemudian hasilnya dicatat
Setelah ditimbang benih dikembalikan ke dalam cawan petri dan diulangi setiap 15 menit selama 60 menit
Pengaruh kadar air media terhadap imbibisi air
Benih jagung, kedelai, dan kacang tanah masing-masing 40 benih disiapkan untuk dua kali ulangan
Dua buah cawan petri disiapkan
Cawan petri diisi menggunakan pasir hingga setengah bagian kemudian ketiga jenis benih tersebut disusun diatas pasir kemudian diatas benih ditutup pasir kembali kemudian cawan petri ditutup. Cawan pertama tidak diberi apa-apa langsung dimasukkan ke dalam germinator. Cawan petri kedua setelah ditutup pasir diberi larutan PEG sebanyak -10 bars kemudian ditutup dan dimasukkan ke germinator.
Penyimpanan dalam germinator dilakukan selama 7 hari. Hari ke-8 cawan diambil dan dihitung benih yang berkecambah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 7.1. Imbibisi pada benih hidup dan mati
Perlakuan
Bobot awal (gr)
Bobot setelah perendaman (gr)
% peningkatan
Benih mati
1,82
2,05
12,63%
Benih hidup
1,90
2,37
24,73%
% peningkatan perkecambahan benih mati =
=
= 12,63%
% peningkatan perkecambahan benih hidup =
=
= 24,73%
Kesimpulan: % peningkatan perkecambahan benih hidup lebih tinggi daripada % peningkatan perkecambahan benih mati, yaitu sebesar 24,73% lebih besar daripada 12,63%.
Tabel 7.2. Laju imbibisi dua tipe benih
Spesies
Bobot awal
Kadar air
Bobot kering awal
Bobot pada pengamatan 15 menit ke-
1
2
3
4
Kacang tanah
1,60
14,6
1,37
1,83
1,90
1,98
2,02
jagung
1,27
11,6
1,13
1,44
1,47
1,50
1,53
Bobot kering awal kacang tanah
%KA =
14,6% =
KA =
BKA = BA – KA
= 1,6 – 0,23 = 1,37
Bobot kering awal jagung
%KA =
11,6% =
KA =
BKA = BA – KA
= 1,27 – 0,14 = 1,13
Tabel 7.3 Rerata Absorbsi Benih Kacang dan Jagung
Spesies
Rerata Absorbsi Air per Gram
Berat Kering
15’’
30’’
45’’
60’’
Kacang
0,16
0,05
0,06
0,03
Jagung
0,15
0,02
0,03
0,02
Rerata absorbansi (n) =
Rerata absorbansi kacang (15 menit) =
Rerata absorbansi jagung (15 menit) =
Rerata absorbansi kacang (30 menit) =
Rerata absorbansi jagung (30 menit) =
Rerata absorbansi kacang (45 menit) =
Rerata absorbansi jagung (45 menit) =
Rerata absorbansi kacang (60 menit) =
Rerata absorbansi jagung (60 menit) =
Tabel 7.4. Pengaruh kadar air media terhadap imbibisi air
Kelompok benih
Tekanan osmotik (bars)
0
-10
% perkecambahan
Kacang tanah
0 %
20 %
Kedelai
70 %
40 %
Jagung
50 %
80 %
Benih Kacang
(-10) = x 100%
= 0%
(-20) = x 100%
= 20%
Benih Kedelai
(-10) = x 100%
= 70%
(-20) = x 100%
= 40%
Benih Jagung
(-10) = x 100%
= 50%
(-20) = x 100%
= 80%
Kesimpulan:
Cekaman PEG berpengaruh terhadap perkecambahan benih kacang tanah, baik pada tekanan osmotik -10 bar maupun -20 bar, ditandai dengan rendahnya tingkat perkecambahan benih, terutama pada tekanan osmotik -20 bar.
Cekaman PEG berpengaruh terhadap perkecambahan benih jagung dan kedelai namun tidak sebesar pada benih kacang tanah.
Pembahasan
Imbibisi adalah tahap pertama yang sangat penting karena menyebabkan peningkatan kandungan air benih yang diperlukan untuk memicu perubahan biokimiawi dalam benih sehingga benih berkecambah (Asiedu et al., 2000). Jika proses terhambat maka perkecambahan juga akan terhambat. Proses imbibisi yaitu air yang ada pada lingkungan akan masuk kedalam benih melalui kulit biji yaitu melalui membran permeabel. Setelah air masuk kedalam benih air tersebut akan mengaktifkan enzim-enzim agar laju metabolisme dalam benih dapat berjalan lancar. Setelah metabolisme dalam biji aktif maka proses perkecambahan pun akan terjadi. Begitu juga perendaman yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses masuknya air ke dalam benih. Perendaman untuk mngetahui laju imbibisi benih. Shephard dan Naylor (1996) menyebutkan bahwa jika pada tahap imbibisi suplai air dalam keadaan terbatas, maka perkecambahan benih sangat bervariasi.
Proses imbibisi yang terjadi di dalam biji tumbuhan pada dasarnya meliputi dua proses yang berjalan bersama-sama yaitu proses difusi dan osmosis. Dikatakan proses difusi karena air bergerak dari larutan yang lebih rendah konsentrasinya di luar biji, masuk ke dalam zat di dalam biji yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi sedangkan proses osmosis tidak lain terjadi karena kulit biji bersifat permeabel terhadap molekul-molekul, sehingga air dapat masuk ke dalam biji melalui pori-pori yang ada di dalam kulit biji. Pada Imbibisi tidak ada keterlibatan membran, seperti pada osmosis. Imbibisi terjadi karena permukaan struktur-struktur mikroskopik dalam sel tumbuhan seperti selulosa, butir pati, protein dan bahan lainnya menarik dan memegang molekul-molekul air dengan gaya tarik antar molekul. Dengan kata lain imbibisi terjadi oleh potential matrik (Tjitrosomo, 1985) Pada proses imbibisi juga dipengaruhi oleh kadar atau konsentrasi larutan sama seperti pada proses difusi dan osmosis.
Proses imbibisi sangat memerlukan energi, dimana benih yang hidup akan menyediakan energi lebih banyak dibandingkan benih mati. Energi tanah tersimpan pada benih tersebut digunakan dalam proses fisiologis ketika terjadi imbibisi yaitu penyerapan air secara imbibisi dan osmose, pencernaan atau pemecahan senyawa komplek menjadi molekul yang lebih kecil, sederhana, larut dalam air dan dapat diangkut, pengangkutan hasil pencernaan, asimilasi atau penyusunan kembali senyawa hasil pencernaan, pernafasan atau respirasi yang merupakan perombakan cadangan makanan, dan pertumbuhan pada titik-titik tumbuh (Kamil, 1992). Shephard (1996), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada sel kacang tanah dan sel jagung yang hidup memiliki sel-sel yang aktif dalam melakukan perembesan dan penyerapan molekul-molekul air melewati dinding-dinding sel yang mempunyai membran sel yang bersifat permeable. Porses imbibisi air oleh biji kacang dipengaruhi oleh komposisi kimia biji kacang, permeabilitas biji, jumlah air yang tersedia (Afifah, 1990). Ehara, (2001) menambahkan bahwa benih kacang tanah dan jagung dalam keadaan mati mengalami proses imbibisi karena terjadi penambahan berat setelah perlakuan yang ditandai adanya penyerapan air akibat keadaan morfologi pada kacang mati nampak struktur kulit terlihat mengkerut. Seharusnya pada benih mati tidak terjadi proses imbibisi karena sel-sel dalam kacang sudah mati dan bakal embrio cacat atau tidak dapat melakukan proses penyerapan air. Lain halnya dengan pendapat Ai dan Maria (2010) menyebutkan bahwa pada biji yang kering atau biji yang mati masih dapat melakukan imbibisi namun tidak dapat memperlancar laju metabolisme pada benih, sehingga biji hanya akan menggelembung.
Benih yang mengandung protein tinggi menyerap air lebih cepat sampai tingkat tertentu daripada benih dengan kadar karbohidrat tinggi. Benih dengan kadar minyak tinggi tetapi kadar proteinnya rendah, kecepatan serapnya sama dengan benih berkadar karbohidrat tinggi. Benih yang hidup akan mudah melakukan proses imbibisi dibandingkan benih mati. Karena benih hidup sel-selnya masih aktif dan imbibisi masih berlangsung dengan baik. Imbibisi sendiri memiliki arti proses masuknya air kedalam benih ,maka apabila benih dalam keadaan hidup maka proses imbibisi akan terus berlangsung (Salisbury dan Ross, 1995).
Menurut Sun dan Leopold (1994), kadar air dan kelembaban menyebabkan kerusakan protein meningkat. Menurut (Syamsuwida et al., 2007) bahwa perubahan biokimia selama penyimpanan menunjukan adanya peningkatan kandungan lemak, protein serta penurunan kandungan karbohidrat. Hal ini mengindikasikan terjadi kemunduran kualitas benih. Kadar air keseimbangan benih berpati tinggi lebih tinggi daripada yang dicapai oleh benih berminyak tinggi dikarenakan minyak atau lemak tidak dapat bercampur dengan air (Mugnisjah, 1990). Didalam benih, terdapat dua tipe air yaitu air yang terikat secara kimiawi dan air yang terikat secara fisik. Komposisi biokimia benih berupa protein akan menyerap air lebih banyak dalam proses imbibisi, dimana protein tersebut bersifat hidrofilik sehingga lebih cepat dalam menyerap air. Pada benih yang mengandung protein lebih tinggi akan meiliki laju imbibisi yang lebih tinggi pula (Pine, 1988).
Air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih. Air berfungsi dalam penguraian karbohidrat dalam kotiledon biji untuk dapat digunakan bagi pertumbuhan embrio. Karena peranan penting ini, sebelum mengecambahkan benih para petani umumnya akan merendam benih dalam air dalam waktu tertentu (Purnobasuki, 2011).
Air memegang peranan penting pada proses perkecmbahan, dimana pada awal perkecambahan tersebut kebutuhan air meningkat. Peranan air pada proses perkecambahan adalah untuk melunakkan kulit benih, untuk pelarut, sebagai pereaksi, untuk kegiatan metabolisme, dan untuk transportasi. Air yang diserap oleh benih mengandung unsur hara, maka benih secara tidak langsung akan mendapatkan stimulan dalam proses perkecambahannya. Masuknya air ke dalam benih maka otomatis hara yang terkandung di dalam larutan juga ikut masuk, dengan catatan bahwa konsentrasi air masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh benih. Karena air yang dapat diserap oleh benih adalah air yang konsentrasinya lebih rendah dibandingkan cairan yang ada di dalam benih (Surtinah, 2010).
Imbibisi adalah penyerapan air (absorpsi) oleh benda-benda yang padat (solid) atau agak padat (semi solid) karena benda-benda tersebut mempunyai zat penyusun dari bahan yang berupa koloid. Difusi adalah peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah. Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Sedangkan osmosis merupakan perpindahan molekul air melalui selaput semipermiabel selektif dari bagian yang lebih encer ke bagian yang lebih pekat. Membran semipermeabel harus dapat ditembus oleh pelarut, tapi tidak oleh zat terlarut, yang mengakibatkan gradien tekanan sepanjang membrane (Copeland, 2001).
Hubungn dari ketiga proses tersebut Pada dasarnya proses imbibisi yang terjadi di dalam biji tumbuhan meliputi dua proses yang berjalan bersama-sama yaitu proses difusi dan osmosis. Dikatakan proses difusi karena air bergerak dari larutan yang lebih rendah konsentrasinya di luar biji, masuk ke dalam zat di dalam biji yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi sedangkan proses osmosis tidak lain terjadi karena kulit biji bersifat permeabel terhadap molekul-molekul, sehingga air dapat masuk ke dalam biji melalui pori-pori yang ada di dalam kulit biji. Pada Imbibisi tidak ada keterlibatan membran, seperti pada osmosis. Imbibisi terjadi karena permukaan struktur-struktur mikroskopik dalam sel tumbuhan seperti selulosa, butir pati, protein dan bahan lainnya menarik dan memegang molekul-molekul air dengan gaya tarik antar molekul. Dengan kata lain imbibisi terjadi oleh potential matrik (Bewley, 2006).
Potensial imbibisi adalah kemampuan atau besar energi tanaman untuk menyerap air ke dalam ruangan antar dinding sel, sehingga dinding sel akan mengembang. Kecepatan imbibisi pada ketiga jenis biji sangat berbeda karena pada setiap biji mempunyai tekanan atau potensial air yang berbeda, selain itu daya serap air oleh masing-masing biji juga berbeda, dan struktur dari masing-masing biji juga tidak sama. Imbibisi merupakan penyerapan air akibat potensial air yang rendah pada biji yang kering. Air yang berimbibisi menyebabkan biji mengembang dan memecahkan kulit pembungkusnya dan juga memicu perubahan metabolik pada embrio yang menyebabkan biji tersebut melanjutkan pertumbuhan. Semakin tinggi suatu konsentrasi larutan maka kemampuan biji untuk menyerap suatu larutan akan semakin besar, sehingga air akan semakin cepat bergerak kedalam biji dikarenakan konsentrasi potensial air larutan dalam biji rendah dibandingkan dengan potensial air larutan tersebut sehingga berat biji menjadi bertambah. Semakin kecil potensial airnya (pelarutnya) dan semakin kecil atau sedikit air yang diserap biji, sehingga penambahan biji pun juga semakin kecil. Kandungan garam yang tinggi dapat berpengaruh pada penyerapan air yang dilakukan oleh biji (Susilo, 1991).
PEG adalah suatu polimer yang terdiri dari beberapa ikatan monomer. Mononer itu sendiri secara bahasa adalah suatu senyawa yang dapat dipolimerisasi. Polietilen glikol (PEG) termasuk kedalam golongan polimer sintesis. PEG mempunyai kelarutan yang baik dalam air dan kesamaan secara struktur kimia karena adanya gugus hidroksil primer pada ujung rantai polieter yang mengandung oksietilen (-CH2-CH2-O-). PEG mempunyai sifat stabil, mudah larut dalam air hangat, tidak beracun, non-korosif, tidak berbau, tidak berwarna, memiliki titik lebur yang sangat tinggi (580°F), tersebar merata, higoskopik (mudah menguap) dan juga dapat mengikat pigmen. Pemberian PEG berupa putih seperti lilin yang menyerupai paraffin. Berupa bentuk padat dalam pada suhu kamar, mencair pada suhu 104°F, memiliki berat molekul rata-rata 1000 (Anisa, 1997).
Imbibisi adalah penyerapan air oleh benda-benda yang padat (solid) atau agak padat (semi solid) karena benda-benda tersebut mempunyai zat penyusun dari bahan yang berupa koloid. Laju imbibisi merupakan kecepatan benih menyerap air dan akan mempengaruhi kecepatan perkecambahan. Perkecambahan adalah peristiwa tumbuhnya embrio di dalam biji menjadi tanaman baru. Struktur biji yang berbeda antara tumbuhan monokotil dan dikotil akan menghasilkan struktur kecambah yang berbeda pula. Perbedaan struktur kecambah tumbuhan dikotil dan monokotil adalah sebagai berikut :
Pada tumbuhan monokotil, struktur kecambah meliputi radikula, akar primer, plumula, koleoptil, dan daun pertama
Sedangkan, pada kecambah tumbuhan dikotil terdiri atas akar primer, hipokotil, kotiledon, epikotil, dan daun pertama
Perkecambahan pada monokotil adalah hipogeal dan dikotil adalah epigeal (Morris, 2000).
Komposisi biokimia yang utama pada jagung adalah karbohidrat terutama pati, kira-kira 80% dari bahan kering), zat tepung 61% (Amylopectin: 78%, amylose: 22%), 11% sucrose, protein (kira-kira 15% dari bahan kering), dan lemak kira-kira 5% dari bahan kering) dan air. Selain itu mineral kira-kira 2%), dan sumber vitamin B. Komposisi biokimia yaitu kacang tanah kaya dengan lemak, mengandung protein yang tinggi, zat besi, vitamin E dan kalsium, vitamin B kompleks dan Fosforus, vitamin A dan K, lesitin, kolin dan kalsium. Kacang tanah mengandung omega 3 yang merupakan lemak tak jenuh ganda dan omega 9 yang merupakan lemak tak jenuh tunggal, kacang tanah mengandung fitosterol. Komposisi biokimia pada kedelai adalah protein, lemak, globulin yaitu yang larut dalam air dan larutan garam dan tidak mudah dikoagulasikan oleh panas, dan karbohidrat (Muchtadi, 1992).
Imbibisi adalah peristiwa penyerapan air oleh permukaan zat-zat yang hidrofilik, seperti protein, pati, selulosa, agar-agar, gelatin, liat dan lainnya yang menyebabkan zat tersebut dapat mengembang setelah menyerap air. Biji yang kering atau mati masih dapat melakukan imbibisi namun tidak dapat memperlancar laju metabolisme pada benih, sehingga biji hanya akan menggelembung. Sedangkan pada benih hidup, air akan masuk ke dalam biji akan mengaktifkan enzim-enzim yang ada di dalam biji, yang sangat membantu dalam proses pembentukan energi yang ditransfer ke bagian embrionik axi, untuk membantu proses terjadinya perkecambahan biji (Danu, 1998). Pembelahan benih mempengaruhi proses imbibisi, karena pembelahan benih menyebabkan perlukaan pada benih sehingga memudahkan air masuk ke dalam benih atau memudahkan proses imbibisi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada praktikum imbibisi benih hidup dan mati menghasilkan % peningkatan perkecambahan benih hidup lebih tinggi daripada % peningkatan perkecambahan benih mati, yaitu sebesar 54,4% lebih besar daripada 39,45%.
Tujuan dari teknik perendaman biji atau benih dengan waktu yang berbeda-beda (secara berkala) adalah agar didapat suatu biji dengan kemampuan penyerapan terhadap air yang paling optimal serta untuk melihat kestabilan laju imbibisi benih. Perbedaan antara benih yang direndam dengan waktu berkala dan benih yang direndam dalam waktu 1 jam adalah apabila benih yang direndam pada waktu berkala dapat dilihat pada menit berapa kenaikan imbibisi benih yang paling optimum serta kestabilan imbibisi dapat dilihan persatuan waktu. Benih yang direndam dalam waktu satu jam hanya dapat dilihat hasil akhirnya setelah satu jam tersebut saja.
Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum yang pertama adalah pengukuran laju imbibisi pada benih hidup dan mati. Dilakukan dengan menggunakan dua kelompok pada benih kcang tanah, langkah pertama yang dilakukan adalah menimbang dua kelompok benih dan hasil penimbangannya dicatat. Kedua kelompok benih direndam dalam air destilasi selama 1 jam, lalu masing-masing benih ditimbang kembali dan catat hasil penimbangannya. Setelah itu hitung presentasi peningkatan bobot benih ditentukan, yang disebabkan oleh tambahan air. Fungsi dari tahapan ini adalah untuk melihat perbedaan imbibisi pada benih hidup dan mati, dan mengetahui perbedaan bobot benih setelah perendaman kedua benih tersebut.
Prosedur kerja yang kedua yaitu pengukuran laju imbibisi dua tipe benih. Pengukuran dilakukan dengan mengukur kadar air benih dan hasilnya dicatat. Pengukuran menggunakan benih kacang tanah dan jagung, dan kedua benih tersebut dibelah. Kedua kelompok benih tersebut ditimbang secara terpisah dan hasil penimbangannya dicatat. Kedua kelompok benih tersebut dimasukkan kedalam cawan petri yang telah diisi air destilasi hingga benih benar-benar terendam. Benih diambil, dikeringkan, dan ditimbang setelah 15 menit direndam, kemudian hasil penimbangannya dicatat. Setelah dicatat, kedua kelompok benih dikembalikan kedalam cawan petri. Langkah tersebut diulangi selama 60 menit secra berkala dilakukan penimbangan pada menit 15, 30, 45 dan 60 menit. Fungsi dari teknik perendaman biji atau benih dengan waktu yang berbeda-beda (secara berkala) dimaksudkan agar didapat suatu biji dengan kemampuan penyerapan terhadap air yang paling optimal serta untuk melihat kestabilan laju imbibisi benih.
Prosedur kerja yang ketiga adalah pengaruh kadar air media terhadap imbibisi air. Perlakuan dilakukan dengan menggunakan benih jagung, kedelai, dan kacang tanah yang ditanam pada media pasir diatas cawan petri. Perlakuan diulang sebanyak dua kali. Perlakuan pertama yaitu kontrol, ketiga benih ditanam dalam satu cawan petri kemudian dimasukkan kedalam germinator. Perlakuan kedua yaitu ketiga benih ditanam dalam satu media kemudian diberi larutan PEG -10 bars, kemudian dimasukkan kedalam germinator. Pengamatan dilakukan setelah 7 hari benih disimpan dalam germinator. Hari ke 8 dihitung persentase perkecambahan dari ketiga benih tersebut. Fungsi dari perlakuan ini adalah untuk melihat perbedaan imbibisi antara perlakuan kontrol dan perlakuan PEG.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil sebagai berikut. Perlakuan sub bab pertama yaitu imbibisi pada benih hidup dan mati dihasilkan persen peningkatan perkecambahan benih hidup lebih tinggi daripada persen peningkatan perkecambahan benih mati, yaitu sebesar 54,4% lebih besar daripada 39,45%. Perlakuan sub bab kedua laju imbibisi dua tipe benih dihasilkan rerata absorbansi kacang dan jagung pada 15 menit adalah 4,566 dan 12,36. Rerata absorbansi kacang dan jagung pada 30 menit adalah 0,114 dan 0,575. rerata absorbansi kacang dan jagung pada 45 menit adalah 6,96 dan 1,58. rerata absorbansi kacang dan jagung pada 60 menit adalah 1,313 dan 0,394. Perlakuan sub bab ketiga yaitu pengaruh kadar air media terhadap imbibisi air didapatkan hasil perkecambahan kacang tanah kontrol 20%, kedelai kontrol 0%, jagung kontrol 25%. Sedangkan perlakuan -10 PEG persentase kacang tanah, kedelai, dan jagung adalah 0% atau tidak tumbuh. Perbedaan hasil yang didapatkan pada saat praktikum dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan. Faktor tersebut anatara lain air dan mineral, kelembaban suhu, cahaya matahari, nutrisi (Marjenah, 2007).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa:
Imbibisi adalah penyerapan air (absorpsi) oleh benda-benda yang padat (solid) atau agak padat (semi solid) karena benda-benda tersebut mempunyai zat penyusun dari bahan berupa koloid.
Proses imbibisi memiliki kecepatan penyerapan air yang berbeda-beda untuk setiap jenis biji tanaman.
Berdasarkan hasil praktikum ternyata benih yang mati tidak dapat melakukan proses imbibisi, benih jagung lebih lambat melakukan proses imbibisi daripada kacanng tanah dan proses imbibisi sangat memerlukan ketersediaan air yang cukup.
Saran
Sebaiknya praktikum ini dilakukan lebih baik dan lebih teliti agar berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa, R. 1997. Kimia. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Bewley, J.D. and M. Black. 2006. Seeds, Physiology of Development And Germination. Plenum Press. New York
Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology. Kluwer. Academic Publishers
Danu, 1998, Perkecambahan dan Penyimpanan Benih Jelitung rawa. Buletin Teknologi Perbenihan. Makalah. Penunjang pada Expose hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Kehutanan. Diposkan oleh Muliana GH-biologylovers
Dwidjoseputro, D. 1986. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia, Jakarta
Fitter, AH., dan RKM. Hay. 1990. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Kamil, Jurnalis. 1979. Teknologi Benih Jilid I. Angkasa Raya. Padang
Kimball, J. W. 1992. Biology. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, New York
Kuswanto, Hendarto. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi, dan Sertivikasi Benih. Penerbit Andi, Yogyakarta
Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Pustaka Buana. Bandung
Marjenah. 2007. Pertumuhan Tanaman Jati (Tectona grandis L.F) Pada Beberapa Sistem Lahan di Kalimantan. Rimba Kalimantan Fakultas Kehutanan Unmul. Kalimantan
Marthen, Kaya E & Rehatta H. 2013. Pengaruh Perlakuan Pencelupan Dan Perendaman Terhadap Perkecambahan Benih Sengon (Paraserianthes falcataria L.). Jurnal Ilmu Budidaya Tanama. Vol 2(1): 1-85
Moris, E.C. 2000. Germination Response of Seven East Australian Grevillea Species (Protaceae) to make, heat exposure and Scarification. Journal Botani. Vol 48(1):179-189
Muchtadi T dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. IPB. Bogor
Mudiana, D. 2007. Germination of Syzygium cumini (L) skeells. Jurnal Biodiversitas. Vol 8(1): 39 – 47
Purnobasuki, H. 2011. Perkecambahan. Agrologia. Ambon
Resky, Andi. 2011. Laporan Praktikum Imbibisi. UGM Press. Yogyakarta
Sari, Riezka. 2012. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta
Sasmitamihardja, D; Arbayati, S. 1996. Fisiologi Tumbuhan. IPB. Bogor
Siregar, Arbaya. 2003. Fisiologi Tumbuhan. Direktoral Jendral Pendidikan Tingkat DEPDIKBUD. Bandung
Soedirokoesoemo, Wibisono. 1993. Materi Pokok Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Surtinah. 2010. Teknologi Untuk Memperbaiki Perkecambahan Benih Kepuh. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor
Susilo, W. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Sutopo, L., 2004. Teknologi Benih. Rajawali. Jakarta
Tjitrosomo, S. S. 1985. Botani Umum 2. Angkasa. Bandung
LAMPIRAN
Imbibisi pada benih mati dan hidup
penimbangan benih
Perendaman benih dengan air
Laju imbibisi 2 tipe benih
Perendaman dua tipe benih
Pengaruh PEG pada imbibisi air
BIODATA PRAKTIKAN
Nama : Aufa Anggarseti
NIM : A1D116042
Rombongan : 11
TTL : Cilacap, 9 Juni 1998
Alamat : Jl. Gangmascilik 25, Kranji, Purwokerto Timur.
No. Hp : 085726559101
54