Academia.eduAcademia.edu

Asma kehamilan

asma dalam kehamilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Fisiologi Respirasi dalam Kehamilan Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan fisiologi paru sebagai adaptasi terhadap kebutuhan oksigen yang meningkat dan perubahan anatomik.3 Perubahan anatomik Tinggi diafragma naik sekitar 4 cm Diameter transversal dada meningkat sekitar 2 cm Sudut subkosta meningkat 35o Perubahan hormonal mempengaruhi saluran pernafasan atas dan mukosa saluran nafas, menyebabkan hiperemia, edema mukosa, hipersekresi, dan peningkatan sensitivitas mukosa. Perubahan fisiologi pernafasan Kapasitas vital: meningkat 100-200 ml Kapasitas inspirasi: meningkat sekitar 300 ml pada akhir kehamilan Volume cadangan ekspirasi: dari 1.300 ml menurun menjadi 1.100 ml Volume residu: dari 1.500 ml menurun menjadi 1.200 ml Kapasitas residu fungsional: jumlah volume cadangan ekspirasi + volume residu menurun sekitar 500 ml Volume tidal: dari 500 ml meningkat menjadi 700 ml Ventilasi per menit meningkat 40% dari 7,5 l/menit menjadi 10,5 l/menit, karena peningkatan volume tidal, respirasi rate tetap Perubahan ini terjadi karena peningkatan penggunaan oksigen basal, terutama pada paruh akhir kehamilan menjadi sekitar 20-40 ml/menit, PO2 arteri sedikit menurun menjadi 28 mmHg, pH plasma 7,45; bikarbonat menurun menjadi sekitar 20 mEq/l.3 Asma dalam Kehamilan 2.2.1 Prevalensi Di Indonesia, prevalensi asma sekitar 5-6% dari seluruh populasi. Prevalensi asma dalam kehamilan mencapai sekitar 3,7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.3,4 Patofisiologi Asma merupakan suatu penyakit inflamasi kronis saluran pernafasan dengan komponen herediter mayor, terkait pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, 16, dan reseptor IgE dengan afinitas tinggi, sitokin, reseptor T-sel antigen. Keadaan ini juga dihubungkan dengan mutasi gen ADAM-33 pada rantai pendek kromosom 20 pada individu yang terpapar rokok, dan influenza (stimulasi alergi akibat lingkungan). Peningkatan respons inflamasi menyebabkan obstruksi reversible akibat kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukur, dan edema mukosa pada saluran pernafasan. Adanya iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan olahraga dapat menstimulasi respons inflamasi ini. Terjadi aktivasi sel mast oleh sitokin yang memediasi bronkokonstriksi akibat pelepasan histamin, prostaglandin D, dan leukotriens. Prostaglandin F dan ergonovin harus dihindari karena dapat menyebabkan eksaserbasi asma.2,3,5 Klasifikasi Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.2 Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis2 Gejala Klinik Penilaian secara subjektif tidak dapat secara akurat menentukan derajat asma. Gejala klinis bervariasi dari wheezing ringan hingga bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi dengan hiperventilasi, yang ditandai dengan PO2 normal, penurunan PCO2, dan alkalosis respirasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang menyebabkan retensi CO2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal nafas, yang ditandai dengan asidosis, hiperkapnea, adanya pernafasan dalam, takikardi, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernafasan, sianosis sentral, hingga gangguan kesadaran. Keadaan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.3,5 Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal, ventilasi, dan keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan penanganan rutin pada semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran FEV1 sekuensial merupakan gold standard yang menggambarkan derajat asma. FEV1 < 1 liter (< 20%) menggambarkan asma berat. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) berkorelasi erat dengan FEV1, dan dapat diukur menggunakan spirometri dengan mudah.3,5 Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma Tidak terdapat bukti klinis pengaruh kehamilan terhadap asma ataupun pengaruh asma terhadap kehamilan. Pada sebuah studi perspektif terhadap ibu hamil dengan asma, tidak didapatkan adanya perbedaan kelompok yang mengalami perbaikan, menetap, atau memburuk. Namun, terdapat hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13% mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderate 26% mengalami serangan saat hamil dan pada asma berat sebanyak 50% mengalami serangan saat kehamilan. Sebanyak 20% dari ibu dengan asma ringan dan moderate mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan resiko serangan 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan pervaginam.3,6 Luaran Kehamilan Terdapat komplikasi berupa preeklampsia sebesar 11%, IUGR 12% dan prematuritas sebesar 12% pada kehamilan dengan asma. Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat menyebabkan gagal nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum, cor pulmonale akut, dan aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik.3,6 Pada asma berat, hipoksia janin dapat terjadi sebelum hipoksia pada ibu terjadi. Gawat janin terjadi akibat penurunan sirkulasi uteroplasenta dan venous return maternal. Peningkatan pH (alkali) menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin. Hipoksia maternal menyebabkan penurunan aliran darah pada tali pusat, peningkatan resistensi vaskular pulmonary dan sistemik, dan penurunan cardiac output.3 Obat-obatan anti asma yang biasa digunakan tidak memiliki efek samping teratogenik. Resiko pada anak untuk terkena asma bervariasi antara 6-30%, bergantung pada faktor herediter dari ibu dan ayah atopik atau penderita asma. Tatalaksana Asma dalam Kehamilan Penanganan Asma Kronis Menurut National Asthma Education and Prevention Expert Panel, penanganan yang efektif untuk asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut:3,7 Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin Menghindari/menghilangkan faktor presipitasi lingkungan Terapi farmakologik Edukasi pasien Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380-550 l/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan. Kromolin disodium atau ipratropium inhalasi menghambat degranulasi sel mast, sehingga hanya efektif sebagai pencegahan asma kronis (dapat juga menggunakan leukotriene modifier). Teofilin (metilsantin) merupakan bronkodilator antiinflamasi.3 Derajat Asma Terapi Ringan intermiten β agonis inhalasi Ringan persisten β agonis inhalasi + Kromolin/ Kortikosteroid inhalasi Moderat persisten β agonis inhalasi + Kortikosteroid inhalasi + Teofilin per oral Severe persisten β agonis inhalasi + Kortikosteroid inhalasi + Teofilin per oral + kortikosteroid per oral Tabel 2.2 Penanganan Asma Kronis Pada Kehamilan3 Penanganan Asma Akut Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non hamil, namun memiliki hospitality treshold lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemberikan oksigen masker, agar PO2 > 60 mmHg dan saturasi O2 95%. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran FEV1, PEFR, pulse oximetry, dan fetal monitoring.3,7 Penanganan lini pertama adalah β adrenergic agonis (subkutan, per oral, inhalasi) dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam hingga tercapai kadar teurapetik dalam plasma sebesar 10-20 µg/ml. Obat ini akan mengikat reseptor spesifik permukaan sel dan mengaktifkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan relaksasi otot bronkus. Selain itu diberikan kortikosteroid, metilprednisolon 40-40 mg IV tiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung pada pemantauan respons hasil terapi. Bila FEV1, PEFR > 70% baseline, maka pasien diperbolehkan pulang. Namun, jika PEFR <70% baseline setelah 3 kali pemberian β agonis, perlu dilakukan observasi di rumah sakit.3,7 Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30-60 menit dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di ICU dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas.3,7 Sebelum Kehamilan Konseling mengenai pengaruh kehamilan dan asma, serta pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk optimalisasi fungsi respirasi. Hindari faktor pencetus, allergen. Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal. Selama Kehamilan Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar teofilin dalam darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi. Pengobatan untuk mencegah serangan dan penanganan dini bila terjadi serangan. Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek sistemik pada janin. Pemeriksaan fungsi paru ibu. Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester II/awal trimester III. Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan. Saat Persalinan Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan diulang bila timbul gejala. Pemberian oksigen adekuat. Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg iv tiap 8 jam) diberikan 4 minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance diberikan selama persalinan. Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan. Pada persalinan operatif disarankan menggunakan anestesi regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea. Penanganan perdarahan pasca persalinan sebaiknya menggunakan uterotonika atau PGE2 karena PGF dapat merangsang bronkospasme. Pasca Persalinan Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mukus paru, latihan pernafasan untuk mencegah atau meminimalisasi atelektasis, mulai pemberian terapi maintenance. Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapatkan obat antiasma termasuk prednison. Tabel 2.3 Langkah Penanganan Asma Pada Kehamilan3