Academia.eduAcademia.edu

Akuntansi Mudharabah

A. PENDAHULUAN Islam adalah sebuah agama yang diturunkan oleh Allah SWT secara kaffah. Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia termasuk perekonomian. Islam mengatur mana transaksi-transaksi yang diperbolehkan dan mana transaksi yang tidak diperbolehkan. Islam juga mengatur bagaimana etika sebaiknya dalam bertransaksi, seperti yang terdapat pada Surat Al-Baqarah ayat 282, yaitu: Lafaz faktubuh pada ayat tersebut menunjukkan kata perintah untuk mencatat transaksi utang piutang. Catatan ini menurut Ibnu Asyur dalam tafsirnya Al-Tahrir wa Al-Tanwir memiliki dua kemungkinan: catatan yang ditulis oleh dua pihak yang saling berutang atau salah satu di antara keduanya sebagai bukti jika terjadi pengingkaran; serta catatan dari pihak ketiga sekaligus sebagai saksi apabila kedua pihak memang tidak bisa mencatat, dan inilah yang banyak terjadi pada saat turunnya ayat dimana kondisi bangsa Arab belum akrab dengan dunia tulisan. Berkaitan dengan wajib tidaknya mencatat jumlah nominal dalam transaksi utang-piutang, Imam Al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menyebutkan dua perbedaan ulama. Pendapat pertama mengatakan adanya kewajiban mencatat utang baik nominalnya besar maupun sedikit untuk menghindari keragu-raguan, sebagaimana mengutip riwayat Al-Dhahak, Ibnu Juraij, dan Qatadah. Kewajiban ini menurut Imam Al-Qurthubi juga disebabkan agar tidak terjadi pengingkaran antar kedua pihak jika saling lupa di kemudian hari. Namun pada jual beli kontan tidak diwajibkan pencatatan agar proses transaksi lebih cepat dan mudah. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak diwajibkan mencatat utang, dengan mengutip riwayat Al-Sya’bi. Hal ini dikarenakan ayat setelahnya yang artinya “jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat utangnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah swt”, menunjukkan rukhsah atau keringanan untuk tidak adanya kewajiban pencatatan utang, dengan syarat kedua pihak saling pecaya menjaga amanat utang. Pendapat Jumhur (mayoritas ulama) kemudian menyimpulkan bahwa pencatatan anggaran utang baik sedikit maupun banyak dihukumi sunnah atau nadb, jika kedua pihak saling amanah dan orang yang diutangi juga dapat dipercaya. Namun jika orang yang diberi utang diduga kurang dapat dipercaya, maka hukumnya wajib. Hal demikian dikarenakan agar tidak adanya kesalahan dan kekeliruan dalam jumlah dan nominal barang utang sebab lupa, sehingga lebih dianjurkan untuk dicatat. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….. Sejalan dengan perkembangan dunia keuangan syariah di Indonesia yang semakin pesat dan kompleks secara tidak lansung mengakibatkan perkembangan pada unsur-unsur pendukung, seperti sistem akuntansi syariah yang dipakai setiap entitas keuangan syariah. Diversifikasi produk tentu saja membutuhkan sistematika pencatatan yang berbeda dalam tiap transaksinya. Transaksi yang saat ini banyak dilakukan oleh lembaga keuangan syariah adalah transaksi mudharabah. Transaksi mudharabah adalah merupakan salah satu produk keuangan syariah dengan akad mudharabah yang digunakan untuk skim pembiayaan (financing) dengan menggunakan sistem profit or loss sharing (bagi hasil atau bagi rugi). Bersamaan dengan musyarakah sesungguhnya kedua akad dan produk ini adalah ruh dan filantropi sistem keuangan syariah sesungguhnya. Makalah ini akan menjelaskan mengenai mudharabah dalam literature fiqh muamalah, mudharabah dalam fatwa DSN dan PBI, perlakuan untuk keuntungan dan kerugian, penerapan mudharabah dalam LKS dan LBS, berakhirnya akad mudharabah, skema mudharabah, pengawasan transaksi syariah mudharabah, Standar Akuntansi Mudharabah B. Pembahasan 1. Mudharabah Dalam Literatur Fiqh Muamalah a. Pengertian Mudharabah Secara etimologis mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan bepergian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 101: Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qasharsembahyang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Secara terminologis mudharabah adalah kontra (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya. b. Dasar Hukum Mudharabah 1) Dasar kebolehan praktik mudharabah adalah Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 198, yaitu: Artinya: tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat. 2) Dasar hukum ini juga terdapat pada Qurat Surat Muzzammil ayat 20, yaitu: ......... Artinya: dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…… 3) Hadis dari Shuhaibah Rasulullah SAW bersabda, ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah) Hadits riwayat Ibnu Majah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yang menggunakannya sebagai dalil untuk akad Mudharabah ataupun jual beli tempo. 4) Hadis riwayat Thabrani dan Ibnu Abbas “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak m,embeli hewan ternak. Jika persyarat5an itu dilanggar, mia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abba situ didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahan melakukan transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam bab mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha (ahli fiqhj). Hadits ini menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnya mudharabah muqayyadah, karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan beberapa persyaratan bagi mudharib dalam mengelola dana yang diberikan. Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan mudharabah. Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih baik, terdapat pada perniagaan terlebih pada jual beli yang dilakukan secara tempo ataupun akad mudharabah sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam hadits tersebut. Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily daaaaari kitab al Fiqh al Islamy wa Adillatuh. Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan mudharabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak seorangpun dari mereka yang menyanggah ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam satu amalan tertentu disaksikan oleh sahabat lain lalu tidak seorangpun menggahnya, maka hal itu merupakan ijma’. Ketentuan ijma’ ini secara sharih mengakui keabsahan praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan. 5) Qiyas merupakan dalil lain yang memperbolehkan Mudharabah dengan menqiyaskannya kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerjasama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put perkebunan (pertanian). Dalam mudharabah, pemilik dana dianalogkan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan dengan pengusaha. Mengingat dasar hokum musaqat lebih valid dan tegas nyang diambil dari sunnah Rasulullah SAW, maka metodologi qiyas dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah. Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 224 – 227. c. Rukun Mudharabah Menurut ulama Syafi’iyah, rukun qiradh atau mudharabah ada enam, yaitu: Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya Orang yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang Maal, yaitu harta pokok atau modal Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba Keuntungan. Menurut pasal 232 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun mudharabah ada tiga, yaitu: Shahib al-maal atau pemilik modal Mudharib atau pelaku usaha Akad Menurut Sayid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2012), hlm. 194-195. d. Syarat Mudharabah Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan, maka emas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpanya setengah, sepertiga atau seperempat. Melafazkan ijab-qabul Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Syafi’i dan Malik. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hambal, mudharabah tersebut sah. e. Jenis-jenis mudharabah Mudharabah jika dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja oleh ulama fiqih dibagi menjadi dua, diantaranya: Mudharabah Mutlaqah Mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib dalam mengelola modal dan usahanya. Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 97. Teknik mudharabah mutlaqah dalam bank adalah kerjasama antara bank dengan mudharib atau dalam hal ini nasabah yang bisa mengelola suatu usaha yang produktif dan halal atau yang mempunyai keahlian atau keterampilan lainnya. Hasil atau keuntungan yang didapatkan dari penggunaan dana dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Contoh produk mudharabah mutlaqah adalah Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah muqayyadah adalah penyertaan modal dengan syarat-syarat tertentu. Artinya tidak semua usaha bisa dijalankan dengan modal tersebut, jadi hanya usaha yang telah ditentukan (perjanjian) yang boleh dikelola. Teknis mudharabah muqayyadah dalam bank adalah akad kerjasama antara shahibul maal dengan bank. Modal yang diterima dari shahibul maal dikelola bank untuk diinvestasikan ke dalam proyek yang ditentukan oleh pemilik modal terkait. Hasil keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai nisbah yang telah disepakati bersama. 2. Mudharabah Dalam Fatwa DSN dan PBI Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pembiayaan mudharabah (qiradh) terdapat pada fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000, Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 38/DSN-MUI/X/2002 Tentang Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA), Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang akad mudharabah  musyarakah, fatwa Dewan Syariah Nasional No. 59/DSN-MUI/IV/2007 tentang obligasi syariah mudharabah   konversi. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Mudharabah yaitu, PBI No. 19/04/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. 3. Perlakuan untuk Keuntungan dan Kerugian Prosentase Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungan itu misalnya adalah 50:50, 70:30 atau 60:40, atau bahkan 99:1. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarka kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal, tentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal Rp tertentu, misalnya Shahib al-maal mendapat Rp.50rb, mudharib Rp. 50 rb. Bagi untung dan bagi rugi Bila laba bisnis besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula, bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapatkan bagian yang kecil juga. Bila bisnis dalam akad ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan didasarkan pada nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Itulah alasan mengapa nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja, yakni karena nisbah 50:50 atau 99:1 hanya bisa diterapkan bila bisnisnya untung. Bila bisnis rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak bukan berdasarkan nisbah. Hal ini dikarenakan ada perbedaan kemampuan untuk mengabsorpsi /menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Bila untung tidak ada masalah mengabsorpsi/menikmati untung. Karena sebesar apapun keuntungan yang terjadi, kedua belah pihak akan selalu menikmati keuntungan itu, lain halnya kalau merugi, kemampuan shahib al-maal dalam menanggung kerugian financial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan ketentuan mudharib tidak lalai, bila mudharib lalai shahib al-maal tidak memiliki kewajiban untuk menanggung kerugian tersebut. Jaminan Para fuqaha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Menentukan besarnya nisbah Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar menawar antara shahib al-maal dengan mudharib. Dalam praktiknya diperbankan modern tawar-menawar nisbah antara pemiliki modal (yakni investor atau deposan) dengan bank syariah hanya terjadi bagi deposan/investor dengan dana besar, karena mereka ini memiliki daya tawar dengan jumlah relative tinggi. Kondisi ini disebut dengan special nisbah. Cara menyelesaikan kerugian Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal. Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 206-210. 4. Penerapan Mudharabah dalam LKS dan LBS Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada: Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya Deposito special (special investmen), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk; Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengaaan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal. 5. Berakhirnya akad Mudharabah Akad mudharabah bisa saja berakhir dengan berbagai kejadian baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan. Sebenarnya lama kerja sama yang dibangun dalam akad ini tidak tentu dan tidak memiliki batasan. Namun banyak pihak yang memilih menentukan jangka waktu yang jelas agar usaha dan transaksi berjalan dengan jelas dan gamblang. Akad mudharabah bisa berakhir jika : Salah satu pihak memutuskan untuk mengundurkan diri dari perjanjian, baik dengan alasan diterima maupun tidak diterima. Karena akad ini haruslah terjadi dengan kesediaan kedua belah pihak tanpa ada paksaan. Dalam hal mudharabah tersebut, dibatasi waktunya atau diberikan waktu jelasnya Jika salah satu pihak meninggal dunia atau mengalami hilang akal. Sehingga dianggap sebagai hilangnya kesepakatan. Pengelola dan tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad tersebut. Modal yang dimiliki sudah habis atau tidak ada. 6. Skema Mudharabah 7. Pengawasan Syariah Transaksi Mudharabah Untuk mengawasi dan memastikan apakah prakteknya sesuai dengan ketentuan syariah atau tidak dan dilakukan oleh bank, DPS melakukan pengawasan secara periodik. Dimana pengawasan tersebut berdasarkan pada pedoman yang sudah ditetapkan oleh BI sebagai berikut : Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian investasi mudharabah. Hal ini agar tidak adanya pelencengan karena pemaksaan atau hal yang tidak diinginkan dalam hal persetujuan. Karena akan bahaya jadinya jika, salah satu pihak mengalami pemaksaan. Memastikan sudah terpenuhinya rukun dan syarat mudharabah Meneliti apakah perhitungan bagi hasil memang sesuai dengan prinsip syariah yang sudah ditentukan, selain itu meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah disampaikan oleh pihak terkait seperti bank kepada nasabah Memastikan bahwa kegiatan pengelola dana dan pemilik dana memang benar adanya dan tidak merugikan semua pihak. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Memastikan bahwa investasi yang dibiayai bukanlah usaha yang bertentangan dengan agama, dimana usaha memang haruslah menguntungkan namun juga masih termasuk usaha yang diperbolehkan. Adanya Dewan Pengawas Syariah atau DPS maka transaksi akan tertib dan lebih terkendali  8. Manfaat Mudharabah (dalam dunia perbankan) Bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap , tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak mengalami negative spread Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow sehingga tidak memberatkan nasabah Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang bukan hanya sesuai dengan syariah, namun juga mempunyai prospek yang baik. 9. Permasalahan Mudharabah Walaupun mudharabah dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan Islam, dan mempunyai banyak keuntungan dan “lebih baik” dibandingkan dengan siatem lainnya, namun ternyata mudharabah dalam kenyataaannya belum menjadi skema pembiayaan yang utama pada bank syariah. Beberapa permasalahan yang dihadapi sehingga mudharabah menjadi kurang berkembang, diidentifikasikan natara lain sebagai berikut : Pertama, kontrak profit loss sharing dikaitkan dengan agency problems manakala seorang pengusaha tidak mempunyai insentif untuk memberikan usaha tetapi mempunyai insentif untuk melaporkan profit yang lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan pribadi dari manager. Argumen ini berdasarkan ide bahwa pihak-pihak pada transaksi bisnis akan melalaikan jika mereka dikompensasi kurang dari kontribusi marginal pada proses produksi, dan manakala ini terjadi pada kasus profit loss sharing, kaum kapitalis ragu-ragu untuk berinvestasi berdasarkan basis profit loss sharing. Sebagai contoh A meminjam uang pada bank syariah AZ kemudian ia melaporkan keuntungannya pada laporan laba rugi yang usahanya lebih rendah. Sehingga, tingkat profit-loss sharing yang diberikan kepada bank lebih rendah. Kedua, kontrak profit loss sharing membutuhkan jaminan agar dapat berfungsi secara efisien. Sedikitnya jaminan hak property pada kontrak profit loss sharingmenyebabkan kegagalan adopsi karena tidak ada aturan yang melandasi. Pada praktiknya di Indonesia, jaminan hak property atas profit-loss sharing belum diatur dengan tegas dan jelas Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dari pembiayaan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini berdasarkan konsep mudharabah dan musharakah yang dianutnya. Tetapi seringkali pelaksanaannya manajemen asset dari mudharabah dan musharakah tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Idealnya, dana pada perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada asset riil. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia, pengelolaan asset pada perbankan syariah masih terpusat pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia Keempat, batasan peran investor pada manajemen dan dikotomi struktur keuangan dari kontrak profit loss sharing menimbulkan ketidak partisipasian. Mereka tidak berbagi kontrak berdasarkan partisipasi pengambilan keputusan. Disatu sisi terlihat hanya pihak manajemen yang mengelola dana sedangkan investor hanya menikmati hasilnya. Kelima, pembiayaan ekuitas tidak tepat bagi pembiayaan proyek jangka pendek manakala dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi (efek diversifikasi waktu pada ekuitas). Pada kasus di Indonesia, dimana banyak pengelolaan dana perbankan syariah yang disalurkan melalui sertifikat wadiah bank Indonesia, menimbulkan risiko yang tinggi jika pembiayaan tersebut berjangka pendek dan lebih berisiko lagi jika bank syariah menyalurkan pengelolaan dana melalui Jakarta Islamic Index. 10. Solusi Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah agar dapat mengatasi kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: Muljawan, Dadang. 2001. Bank Syariah, Filosofi dan Operasi. (Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia). Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih terperinci dan pemakaian benchmarking Penerapan standar akuntansi yang memadai 11. Standar Akuntansi Mudharabah Pengakuan dan Pengukuran Pembiayaan Mudharabah a. Pengakuan pembiayaan Mudharabah adalah sebagai berikut: Pembiayaan Mudharabah diakui pada saat pembayaran kas atau penyerahan aktiva non kas kepada pengelola dana (mudharib) Pembiayaan Mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap pembayaran atau penyerahan b. Pengukuran pembiayaan Mudharabah adalah sebagai berikut: 1. Pembiayaan Mudharabah dalam bentuk kas diukur sejumlah uang yang diberikan bank pada saat pembayaran 2. Pembayaran Mudharabah dalam bentuk aktiva non kas: Diukur sebesar nilai wajar aktiva non kas pada saat penyerahan Selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva non kas diakui sebagai keuntungan dan kerugian bank 3. Beban yang terjadi sehubungan dengan Mudharabah tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan Mudharabah kecuali telah disepakati bersama. c. Setiap pembayaran kembali atas pembiayaan Mudharabah oleh pengelola dana (mudharib) mengurangi saldo pembiayaan Mudharabah. d. Apabila sebagian pembiayaan Mudharabah hilang sebelum dimulainya usaha karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pihak mudharib, maka rugi tersebut mengurangi saldo pembiayaan Mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank. e. Apabila pembiayaan diberika dalam bentuk non kas maka kegiatan usaha Mudharabah dianggap mulai berjalan sejak barang tersebut diterima oleh mudharib dalam kondisi siap dipergunakan. f. Apabila sebagian pembiayaan Mudharabah hilang setelah dimulainya usaha tanpa ada kelalaian atau kesalahan pengelola dana (mudharib) maka rugi tersebut diperhitungkan pada saat bagi hasil. g. Apabila pembiayaan diberikan dalam bentuk non kas dan barang tersebut mengalami penurunan nilai pada saat atau setelah barang dipergunakan secara efektif dalam kegiatan usaha maka rugi tersebut tidak langsung mengurangi jumlah pembiayaan namun diperhitungkan pada saat pembagian hasil. h. Kelalaian atau kesalahan pengelola dana (mudharib) antara lain ditunjukkan oleh: Tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan didalam akad Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force major) yang lazim ]dan/atau yang telah ditentuka dalam akad atau Hasil putusan dari badan abritrase atau pengadilan i. Apabila Mudharabah berakhir sebelum jatuh tempo dan pembiayaan Mudharabah belum dibayar oleh pengelola dana (mudharib), maka pembiayaan Mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo Pengakuan laba atau rugi Mudharabah a. apabila pembiayaan Mudharabah melewati satu periode pelaporan: Laba pembiayaan Mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati, dan Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan Mudharabah b. pengakuan laba atau rugi Mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh bank c. bagi hasil Mudharabah dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua metode, yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba, dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana Mudharabah. Sedangkan bagi pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan Mudharabah. Contoh: Uraian Jumlah Metode Bagi Hasil Penjualan 100 Revenue Sharing Harga Pokok Penjualan 65 Laba Kotor 35 Beban 25 Laba Rugi Bersih 10 Profit Sharing d. Rugi pembiayaan Mudharabah yang diakibatkan penghentian Mudharabah sebelum masa akad berakhir diakui sebagai pengurang pembiayaan Mudharabah. e. Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib dibebankan pada pengelola dana (mudharib) f. Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana (mudharib) pada saat Mudharabah selesai atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada pengelola dana. Penyajian a. Pembiayaan Mudharabah mutlaqah yang diterima bank syariah disajikan dalam neraca pada unsur investasi tidak terikat diaantara unsur kewajiban dan ekuitas Pengungkapan a. Pengungkapan pembiayaan Mudharabah mencakup, tetapi tidak terbatas pada: 1) Jumlah pembiayaan Mudharabah kas dan non kas 2) Kerugian atas penurunan nilai aktiva mudhrabah, apabila ada 3) Persentase kepemilikan dana pada investasi tidak terikat yang signifikan berdasarkan kepemilikan perorangan dan/atau badan hukum b. Sejauh bisa dilaksanakan, hal-hal tersebut di bawah ini yang berasal dari investasi yang dibiayai bersama oleh bank dan para pemilik dana investasi tidak terikat dan investasi yang hanya dibiayai oleh bank harus diungkapkan secara terpisah: 1) Pendapatan dan keuntungan investasi 2) Beban dan kerugian investasi 3) Laba (rugi) investasi 4) Bagian para pemilik investasi tidak terikat pada pendapatan (kerugian) dari investasi sebelum bagian mudharib 5) Bagian bank pada pendapatan (kerugian) investasi 6) Bagian bank pada pendapatan dana investasi tidak terikat sebagai mudharib Sofyan S. Harahap, dkk. Akuntansi Perbankan Syariah. (Jakarta: LPFE Usakti), h. 279-288. 12. Perlakuan Akuntansi dan Contoh Kasus Bank-bank Islam menggunakan prinsip Mudharabah dengan para pemegang rekening investasi (deposan/penabung) dalam penghimpunan dana, dan bisa juga melaksanakan pemberian pembiayaan Mudharabah, dimana dalam perlakuan akuntansinya sangat berbeda. Perlakuan akuntansi yang berkaitan dengan transaksi pembiayaan Mudharabah telah diatur dalam PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dalam paragraph 14 sampai dengan 28, yang dapat dijelaskan dalam kelompok-kelompok permasalahan sebagai berikut: 13. Pengakuan dan Pengukuran Pembiayaan Mudharabah a. Sesuai dengan hukum Syariah, modal harus diketahui baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dan hal ini akan merupakan dasar dari penilaian, dimana keuangan Mudharabah disajikan dalam pembukuan bank. Kemudian ketentuan pemberian modal harus disepakati yakni pemberian dalam bentuk tunai. Sesuai dengan kebijakan saat ini, modal bisa diberikan dalam bentuk asset perniagaan dan dalam nilai asset tersebut pada saat pengadaan kontrak tersebut senilai/sama dengan modal yang akan diberikan dalam Mudharabah. Ketentuan tersebut juga merupakan dasar dalam penentuan jumlah modal mudhrabah pada saat pengadaan kontrak. Modal bisa juga diberikan dalam bentuk asset non kas yang siap digunakan dan pada saat pengadaank kontrak dalam modal Mudharabah, nilai pasar asset tersebut sesuai dengan realita yang ada. Dalam hukum Syariah, ketetapan modal yang harus dibayar atau diserahkan kepada Mudharib sesuai dengan kebijakan persyaratan yang telah ditentukan, bahwa pembayaran akan dicairkan tanpa penyesuaian akuisisi (perolehan) aktualnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar dana Mudharabah tidak diambil begitu saja tanpa adanya persetujuan dari bank. Ada dua alasan yang tidak bisa digunakan dalam penilaian asset non-kas yang akan diterima oleh Bank sebagai modal adalah: Ketentuan nilai yang telah disepakati oleh semua pihak, tentang penilaian asset non-moneter yang akan diakui akuntansi keuangan Penerapan nilai tersebut yang dapat disepakati bersama oleh para pihak dari kontrak untuk menilai asset non moneter akan menjurus kepada penerapan konsep kejujuran representasional Dasar penghitungan biaya secara historis telah digunakan dalam pengukuran modal Mudharabah yang disediakan oleh bank tersebut setelah penandatanganan kontrak yang merupakan salah satu persyaratan kaidah atau peraturan syariah Mudharabah sehubungan dengan spesifikasi modal dan pemeliharaan dari modal yang ditetapkan sampai waktu diketahui keuntungan. Keuntungan adalah sejumlah pendapatan dari hasil pengelolaan modal Mudharabah. Keuntungan ini juga harus sesuai dengan ciri-ciri pengukuran akuntansi. Pengukuran dan pengakuan akuntansi pembiayaan Mudharabah, telah dijelaskan pada PSAK 59 tentang akuntansi Perbankan Syariah, paragraf 14 samapai dengan 17 sebagai berikut: a. pengakuan pembiayan mudharabah adalah sebagai berikut: Pembiayaan mudharabah diakui pada saat pembayaran kas atau penyerahan aktiva non kas kepada pengelola dana (mudharib); dan Pembiayaan mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap pembayaran atau penyerahan b. Pengukuruan pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut: Pembiayaan mudharabah dalam bentuk kas diukur sejumlah uang yang diberikan bank pada saat pembayaran; Pembiayaan mudharabah dalam bentuk aktiva non kas: - Diukur sebesar nilai wajar aktiva non-kas pada saat penyerahan - Selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva non-kas diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank Beban yang terjadi sehubungan dengan mudharabah tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan mudharabah kecuali telah disepakati bersama. c. Setiap pembayaran kembali atas pembiayaan mudharabah oleh pengelola dana (mudharib) mengurangi saldo pembiayaan mudharabah d. Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang sebelum dimulainya usaha karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pihak mudharib, maka rugi tersebut C. Penutup Kesimpulan - Secara etimologis mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan bepergian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 101. Secara terminologis mudharabah adalah kontra (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya. - Rukun Mudharabah 1. Shahib al-maal atau pemilik modal 2. Mudharib atau pelaku usaha 3. Akad - Syarat Mudharabah Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan, maka emas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasaruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpanya setengah, sepertiga atau seperempat. Melafazkan ijab-qabul Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Syafi’i dan Malik. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hambal, mudharabah tersebut sah. - Jenis-jenis mudharabah 1. Mudharabah Mutlaqah 2. Mudharabah Muqayyadah - Standar Akuntansi Mudharabah Pengakuan dan Pengukuran Pembiayaan Mudharabah a. Pengakuan pembiayaan Mudharabah adalah sebagai berikut: 1. Pembiayaan Mudharabah diakui pada saat pembayaran kas atau penyerahan aktiva non kas kepada pengelola dana (mudharib) 2. Pembiayaan Mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap pembayaran atau penyerahan b. Pengukuran pembiayaan Mudharabah adalah sebagai berikut: 1. Pembiayaan Mudharabah dalam bentuk kas diukur sejumlah uang yang diberikan bank pada saat pembayaran 2. Pembayaran Mudharabah dalam bentuk aktiva non kas: Diukur sebesar nilai wajar aktiva non kas pada saat penyerahan Selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva non kas diakui sebagai keuntungan dan kerugian bank 3. Beban yang terjadi sehubungan dengan Mudharabah tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan Mudharabah kecuali telah disepakati bersama. c. Setiap pembayaran kembali atas pembiayaan Mudharabah oleh pengelola dana (mudharib) mengurangi saldo pembiayaan Mudharabah. d. Apabila sebagian pembiayaan Mudharabah hilang sebelum dimulainya usaha karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pihak mudharib, maka rugi tersebut mengurangi saldo pembiayaan Mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank. e. Apabila pembiayaan diberika dalam bentuk non kas maka kegiatan usaha Mudharabah dianggap mulai berjalan sejak barang tersebut diterima oleh mudharib dalam kondisi siap dipergunakan. f. Apabila sebagian pembiayaan Mudharabah hilang setelah dimulainya usaha tanpa ada kelalaian atau kesalahan pengelola dana (mudharib) maka rugi tersebut diperhitungkan pada saat bagi hasil. g. Apabila pembiayaan diberikan dalam bentuk non kas dan barang tersebut mengalami penurunan nilai pada saat atau setelah barang dipergunakan secara efektif dalam kegiatan usaha maka rugi tersebut tidak langsung mengurangi jumlah pembiayaan namun diperhitungkan pada saat pembagian hasil. h. Kelalaian atau kesalahan pengelola dana (mudharib) antara lain ditunjukkan oleh: Tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan didalam akad Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force major) yang lazim ]dan/atau yang telah ditentuka dalam akad atau Hasil putusan dari badan abritrase atau pengadilan i. Apabila Mudharabah berakhir sebelum jatuh tempo dan pembiayaan Mudharabah belum dibayar oleh pengelola dana (mudharib), maka pembiayaan Mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo DAFTAR PUSTAKA Bagas Heradhyaksa, RuzianMarkom. Mudharabah Financing Supervision Of Islamic Banking in Indonesia. Diponegoro Law Review, vol. 3, no. 1, pp. 1-14, Apr. 2018. Bambang Waluyo. Implementasi Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah Untuk Merealisasikan Tujuan Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2016. Harahap, Sofyan S. Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Kerangka Teori dan Tujuan Akuntansi Syariah. Jakarta: Pustaka Quantum, 2008. Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: LPFE-Usakti. 2005. Md Rakib Mia, Md. Abu Hasnat, Wahida Mahjabeen. Mudharabah and Musharakah from the accounting perspective by referring to AAOIFI, IFRS and MFRS. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-ISSN: 2278-487X, p-ISSN: 2319-7668. Volume 18, Issue 7 .Ver. III (July 2016), PP 67-72 www.iosrjournals.org. Noraina Mazuin Sapuana. An Evolution of Mudarabah Contract: A Viewpoint From Classical and Contemporary Islamic Scholars. 7th International Economics & Business Management Conference, 5th & 6th October 2015. Taudlikhul Afkar. Influence Analysis Of Mudharabah Financing And Qardh Financing To The Profitability Of Islamic Banking In Indonesia. AJIE - Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship (e-ISSN: 2477- 0574; p-ISSN: 2477-3824) Vol. 02, No. 03, September 2017 Triyowono, Iwan. Akuntansi Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Zainab Abd Rahman and Yusserie Zainuddin. Accounting Treatment For Mudarabah Regarding Unrestricted Investment Deposits In Malaysian Islamic Banks. 27