ALQURAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN:
Telaah Ayat-Ayat Ekologis
Dede Rodin
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang
email: dederodin@walisongo.ac.id
Abstracts: The environmental conservation discourse has become
a central issue in the threat of global environmental crisis due to the
consideration that it is the biggest problem of this century that effect
the inhabitants of today’s world and future generations. Experts
have discovered that the environmental crisis has caused a variety of
disasters, climate change, global warming, shrinking quality of life and
the threat of future earth destruction. Therefore, the people must find the
appropriate solutions to overcome this crisis. This article proposed the
concept of environmental conservation through the study of ecological
verses in the Quran using thematic and semantic approaches.
Formulating environmental conservation from the perspective of the
Quran becomes essential because Quran is believed by Muslims as a
source underlying beliefs, attitudes and behavior as well as ecological
research based on the interpretation of religious texts is necessary to
provides a theological basis for environmental conservation.
أصبح خطاب الحفاظ على البيئة وإصالحها قضية فعلية في:الملخص
وألن أزمة البيئة قد اعترفت بأنها.خضم تهديد األزمة البيئية العالمية
.أكبر مشكلة في هذا القرن تؤثر على سكان عالم اليوم واألجيال المقبلة
وقد رسم الخبراء أن األزمة البيئية سببت مجموعة متنوعة من الكوارث
وتقلص نوعية الحياة والتهديد من تدمير،وتغير المناخ واالحترار العالمي
فإن الناس فى العالم ال يزال يسعى إلى إيجاد، ولذلك.األرض في المستقبل
يقدم هذا البحث مفهوم الحفاظ على البيئة.حلول لسرعة تسارع األزمة
إن صياغة.من خالل دراسة موضوعية آليات البيئة في القرآن الكريم
ألنه باإلضافة إلى أن،الحفاظ على البيئة من منظور القرآن أمر مهم
فضال،القرآن مصدر للمعتقدات األساسية والمواقف والسلوكيات للمسلمين
عن البحوث البيئية القائمة على تفسير النصوص الدينية ضرورية لتوفير
التأصيل الشرعي لحفظ البيئة
392
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
Abstrak: Diskursus konservasi lingkungan telah menjadi isu
aktual di tengah ancaman krisis lingkungan global. Karena krisis
lingkungan dianggap sebagai masalah terbesar abad ini yang
berdampak pada penghuni dunia sekarang dan generasi masa
depan. Para ahli telah memetakan bahwa krisis lingkungan telah
menyebabkan berbagai bencana, perubahan iklim, pemanasan
global, menurunkan kualitas hidup dan ancaman kehancuran bumi
di masa depan. Karena itu, manusia di seluruh dunia terus mencari
solusi bersama untuk mengatasi krisis ini. Artikel ini menawarkan
konsep konservasi lingkungan melalui studi tentang ayat-ayat
ekologis di dalam Alquran dengan menggunakan pendekatan
tematik dan semantik. Dengan menelusuri berbagai term yang
digunakan Alquran kemudian dirumuskan prinsip-prinsip Alquran
tentang lingkungan. Merumuskan konservasi lingkungan dari sudut
pandang Alquran menjadi penting, karena selain Alquran diyakini
oleh umat Islam sebagai sumber yang mendasari kepercayaan,
sikap dan perilaku. Penelitian ekologi berdasarkan interpretasi
teks agama diperlukan untuk memberikan dasar teologis untuk
konservasi lingkungan.
Keywords: konservasi lingkungan, krisis lingkungan, ayat-ayat
ekologi, prinsip-prinsip ekologi.
PENDAHULUAN
Persoalan ekologi merupakan salah satu dari lima isu aktual dewasa
ini, selain globalisasi, demokrasi, HAM, dan gender. Bahkan isu
ekologi akan menjadi tema yang selalu menarik dan aktual untuk
dikaji, mengingat krisis lingkungan sudah menjadi persoalan serius
global saat ini yang meresahkan masyarakat dunia. Sehingga hampir
tidak ada satu negara pun yang luput dari dampak krisis ini.1
1
Kerusakan lingkungan di berbagai belahan bumi telah sampai pada tahapan yang
mengkhawatirkan. Di antara beberapa tulisan yang mengingatkan bahwa kerusakan
lingkungan merupakan bahaya terbesar bagi umat manusia di masa depan adalah The
Ecologist dan The Limits to Growth tulisan E. Golsmith dan Dennis L. Mesdows,
Eric Ashby melalui buku Reconciling Man with Nature menyarankan dilakukannya
hubungan timbal-balik atau saling menguntungkan antara alam dengan manusia.
Lester Brown lewat World without Borders mengecam keserakahan manusia dalam
mengeksploitasi alam, dan Rachel Carson melalui karya monumentalnya, Silent Spring,
mengisyaratkan akan adanya kemungkinan buruk yang bakal menimpa kehidupan umat
manusia.
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
393
Berbagai bencana muncul silih berganti akibat kerusakan ekologi
yang dilakukan oleh manusia, dengan mengeksploitasi lingkungan
tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keseimbangannya.
Manusia sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) di bumi, yang diberi
amanah untuk melestarikan lingkungan, justru menjadi aktor
utama kerusakan lingkungan. Dengan keserakahannya, manusia
mengeksploitasi alam tanpa dan menjadikannya sebagai objek nilai,
ekonomi, dan kebutuhan hidup pragmatis. Selain itu, pengaruh
paham materialisme dan kapitalisme serta pemanfaatan teknologi
yang tidak tepat guna dan ramah lingkungan juga ikut andil terhadap
rusaknya lingkungan yang semakin masif.2 Bahkan, menurut Walhi
Institute, persoalan lingkungan hidup sekarang sudah mencapai
keadaan status bahaya. 3
Karena itu manusia sejagat terus mencari solusi bersama guna
mengatasi krisis ekologi ini. Kemampuan teknologi, analisisanalisis geografi dan iklim terus dipakai sebagai cara menemukan
solusi yang efektif untuk mengatasi krisis lingkungan. Selain itu,
peraturan, undang-undang, berbagai traktat tentang konservasi dan
kemauan politik juga ditempuh untuk mengefektifkan pelaksanaan
penanggulangan krisis. Namun penanganan krisis lingkungan selama
ini masih dilakukan dengan menggunakan pedekatan business
as usual. Oleh karenanya, diperlukan pendekatan yang lain untuk
memperbaiki situasi ini sehingga krisis ekologis ini tidak semakin
parah di masa yang akan datang.
Menurut para ahli, ada persoalan mendasar yang selama ini
diabaikan dalam memahami persoalan lingkungan, yakni aspek
spiritualitas (agama). Sebelumnya, dalam diskursus ekologi sebagai
disiplin keilmuan, agama tidak begitu mendapatkan tempat, paling
tidak sebagai acuan pendekatan dalam melihat persoalan ekologi.
Padahal, menurut Seyyed Hossein Nasr, agama memiliki peran
penting dalam membantu mengatasi masalah lingkungan yang krusial
ini. Bagi Nasr, alam adalah simbol Tuhan. Pemahaman terhadap
2
Muhammad Harfin Zuhdi, “Rekonstruksi Fiqh al-Bīah Berbasis Maslahah:
Solusi Islam Terhadap Krisis Lingkungan,” Jurnal Istinbath, IAIN Mataram 14, no. 1
(2015): 43.
3
Lebih lanjut baca hasil hasil riset “Hasil Riset Walhi; Perlu Terobosan Sistematis
Hadapi Isu Lingkungan,” Media Online Lingkungan Hidup Indonesia, Greeners.
Go (blog), 2017, http://www.greeners.co/berita/hasil-riset-walhi-perlu-terobosansistematis-hadapi-isu-lingkungan/.diakses 7 Juni 2017.
394
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
simbol ini akan mengantarkan pada eksistensi dan keramahan
Tuhan. Merusak alam sama dengan “merusak” Tuhan.4 Menurut
Chapman, sejatinya semua agama (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu,
Budha, Tao dan lain-lainnya), telah menumbuhkan kesadaran akan
kearifan terhadap lingkungan hidup.5
Fritjof Capra dalam bukunya, The Turning Point: Science,
Society, and the Rising Culture menyatakan bahwa, malapetaka
yang terjadi di muka bumi saat ini, seperti kerusakan ekologis
yang terjadi akibat perkembangan IPTEK, disebabkan oleh tidak
disertainya IPTEK dengan wawasan spiritual (agama). Karena itu
Capra mengajak para ilmuwan untuk meninggalkan paradigma ilmu
pengetahuan yang terlalu menekankan aspek materi-positivistik,
untuk menuju paradigma pengetahuan yang bersifat holistikintegralistik, di mana pada dataran ini, masalah keagamaan dan
agama (Islam), serta nilai-nilai etika spiritual dalam ajaran agama
(Alquran), menjadi sangat penting untuk dikedepankan, dan terus
menerus dikaji secara mendalam.6
Menurut Hasan Hanafi, problem ekologis dalam perspektif
agama akan memungkinkan untuk menyelesaikan sumber-sumber
krisis lingkungan dan kerusakan alam langsung dari akarnya. Yakni,
dari sudut pandang kesadaran manusia, sikap manusia menentukan
cara hubungan manusia dengan alam.7 Bahkan, menurut David E.
Cooper dan Joy A. Palmer, para tokoh sepakat bahwa wawasan
spiritual terhadap alam menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam
upaya memelihara lingkungan hidup dan menyelamatkan planet
bumi.8
Memahami persoalan lingkungan dari perspektif agama
menjadi penting karena perilaku manusia (mode of conduct) dan
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Natur (New York: Oxford
University Press, 1996), 3.
5
Audrey R Chapman, et Peterson, and al, Consumption, Population and
Sustainability: Perspectives from Science and Religion (Washington DC: Island Press,
2000), 1.
6
F Capra and Robert March, “The Turning Point: Science, Society, and the Rising
Culture,” Physics Today 35, no. 11 (1982): 54.
7
Hasan Hanafi, Islam Wahyu Sekuler: Gagasan Kritis Hasan Hanafi, Terj. M.
Zaki Husein (Jakarta: Instad, 2001), 72–73.
8
F. M Mangunjaya, H Heriyanto, and R Gholami, Menanam Sebelum Kiamat:
Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007), 88.
4
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
395
pola pikirnya (mode of thought) sejalan beriringan, sementara di sisi
lain pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsir atas teks-teks keagamaan,
yang pada akhirnya menjadi sistem teologi. Ini artinya, pendekatan
agama melalui rekonstruksi penafsiran Alquran terhadap persoalan
lingkungan menjadi sesuatu yang sangat penting.9 Tulisan ini akan
membahas tentang konservasi lingkungan dilihat dari perspektif
Alquran serta prinsip-prinsip Alqur’an terkait konservasi lingkungan.
Dengan menggunakan metode tematik dan semantik, kajian tentang
konsep Alquran tentang lingkungan dilakukan dengan menelaah
berbagai term yang digunakan Alquran ketika berbicara lingkungan,
sebagaimana akan dijelaskan dalam paragraf-paragraf berikut ini.
TERM EKOLOGI DALAM ALQURAN
Alquran sebagai sumber ajaran Islam banyak mengungkap persoalan
lingkungan. Menurut Mohammad Shomali, ada lebih dari 750 ayat
Alquran yang terkait dengan alam. Empat belas surah Alquran
dinamai sesuai dengan nama hewan dan kejadian alam tertentu,
seperti al-Baqarah (sapi betina), al-Ra‘d (halilintar), al-Naḥl (lebah),
al-Naml (semut), al-Nūr (cahaya), al-An‘ām (binatang ternak), alFīl (gajah), al-Fajr (fajar), al-Lail (malam), al-Shams (matahari),
al-Qamar (bulan) dan lain-lain.10 Nama-nama tersebut adalah
komponen-komponen lingkungan yang membentuk ekosistem.
Meskipun nama-nama surah tersebut tidak tidak memberi rincian
untuk aplikasi konservasi lingkungan, namun hal itu dapat
dipandang sebagi spirit konservasi manusia pada lingkungan bumi.
Demikian pula, Alquran menyinggung tentang eksistensi laut (bahr
[pl. bihār]; al-yamm), air (mā’), awan dan angina (rīh [pl. riyāh],
tumbuh-tumbuhan (al-ḥabb, al-‘adas, baṣal, fūm, khardal, yaqtīn,
ṭīn, zaitūn, nakhl, rummān), sungai (nahr [pl. anhār]), dan binatang
(dābbāh).
Dalam Alquran, istilah lingkungan (ekologi) diperkenalkan
dengan berbagai term, antara lain al-’ālamīn (seluruh spesies), al9
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Alqur’an (Jakarta:
Paramadina, 2001), 16.
10
Mohammad Shomali, “Aspects of Environmental Ethics: An Islamic Perspective,”
Thingking Faith, The Online Jornal of The British Jesuits, 2008. Bandingkan dengan
Murad Hofmann, Islam: The Alternative (Maryland: Amana Publication, 1993), 95.
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Ri‘Āyat Al-Bī’ah fī Sharī‘at al-Islām (Kairo: Dār al-Shurūq, 2000),
54–55.
396
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
samā’ (ruang waktu), al-arḍ (bumi), dan al-bī’ah (lingkungan).
Dalam banyak ayat, Alqur’an menyatakan bahwa semua fenomena
alam memiliki kesadaran akan Tuhan dan memuliakan Tuhan.11
Kata al-‘ālamīn dalam Alqur’an disebut sebanyak 71 kali dimana
sejumlah 44 kali di-muḍāf-kan kepada kata rabb,12 dengan makna:
Pertama, seluruh spesies (disebut sebanyak 46 kali); baik spesies biotik
(manusia, binatang, mikroba) maupun abiotik (tumbuhan, binatang
mati, mineral. Kata rabb al-‘ālamīn digunakan untuk konotasi Tuhan
sebagai Pemilik, Pemelihara, dan Pendidik seluruh alam semesta
atau seluruh spesies (QS. al-Fātiḥah: 2). Adapun kata al-‘ālamīn
yang digabung dengan kata depan: li, ‘an, ‘alā disebut sebanyak 5
kali dalam QS. al-Baqarah: 251; Ali ‘Imrān: 97, 108; al-‘Ankabūt: 6,
dan al-Ṣāffāt: 79). Jika dicermati kata al-‘ālamīn yang digabungkan
dengan kata depan semuanya berkonotasi alam semesta atau seluruh
spesies. Sebab berdasarkan konteks pembicaraannya tidak hanya
berkaitan dengan manusia, tetapi berkaitan dengan seluruh spesies.
Kedua, spesies manusia, disebut dalam Alqur’an sebanyak 25 kali
(QS. al-Baqarah: 37, 122; Ali ‘Imrān: 33, 42, 97; al-Mā’idah: 20, 115;
al-An‘ām: 66, 90; al-A‘rāf: 140, Yūsuf: 104; al-Hijr: 70; al-Anbiyā’:
71, 91, 107; al-Furqān: 1; al-Shu‘arā’: 165; al-‘Ankabūt: 15, 28; alṢaffāt: 79; Ṣād: 87; al-Dukhān: 32; al-Jāthiyah: 16; dan al-Qalam: 52).
Kata al-samā’ (pl. al-samāwāt) dan derivasinya dalam Alquran
disebut sebanyak 387 kali (210 kali dalam bentuk tunggal, dan 117
kali dalam bentuk plural).13 Secara etimologis, kata al-samā’ berasal
dari kata samā, yasmū, sumuww, samā’an, yang berarti “meninggi,
menyublim dan sesuatu yang tinggi”. Sedangkan secara terminologis,
kata ini berarti jagad raya (QS al-Baqarah: 22), ruang udara (QS. alNaḥl: 79), dan ruang angkasa (QS. al-Furqān: 61). Dengan demikian,
alam raya yang meliputi ruang atmosfer dan biosfer adalah salah
satu term yang digunakan Alquran untuk menyebut lingkungan.14
Kata al-arḍ digunakan Alquran sebanyak 463 kali, baik secara
sendirian maupun digabungkan dengan kata tugas.15 Kata al-arḍ
memiliki dua makna. Pertama, bermakna planet bumi yang sudah
Shomali, “Aspects of Environmental Ethics: An Islamic Perspective.”
Holy Quran, versi 6.50 (Sakhr, 1997).
13
Holy Quran.
14
Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, 44.
15
Holy Quran.
11
12
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
397
jadi dengan konotasi tanah sebagai ruang tempat organisme atau
jasad renik, sebuah wilayah kehidupan manusia dan fenomena
geologis. Kedua, bermakna lingkungan planet bumi dalam proses
menjadi, yakni proses penciptaan dan kejadian planet bumi. Untuk
kepentingan perumusan konsep lingkungan tampaknya konotasi
yang pertama, yakni lingkungan bumi yang sudah jadi, dapat
membantu dan mempertegas konsep. Sementara itu untuk kata alarḍ dalam konotasi proses penciptaan lingkungan lebih tepat jika
digunakan untuk kepentingan kajian filosofis. Oleh karena itu, yang
perlu dicermati lebih lanjut adalah kata al-arḍ yang berkonotasi
bumi sebagai lingkungan yang sudah jadi.
Adapun penyebaran ayat ekologis yang menggunakan kata alarḍ memiliki berbagai konotasinya, yakni ekologi bumi (QS. alBaqarah: 164), lingkungan hidup (QS. al-Baqarah: 22, al-A‘rāf: 24),
ekosistem bumi (QS. al-Naḥl: 15), dan daur ulang dalam ekosistem
bumi (QS. al-Hajj: 5).16
Berdasarkan data makna semantik kata al-arḍ yang terungkap
dalam Alquran di atas, maka terdapat indikasi kuat bahwa kata
al-arḍ dalam Alquran dijadikan sebagai salah satu term guna
memperkenalkan istilah lingkungan dalam disiplin ilmu ekologi.
Dengan demikian, cukup kuat untuk menyatakan bahwa salah
satu konsep lingkungan dalam Alquran diungkapkan dengan
menggunakan term al-arḍ. Hal ini pararel dengan tradisi masyarakat
ekologis yang lazim menggunakan istilah lingkungan untuk arti
planet bumi. Dengan kata lain, masyarakat ekologi lazim memahami
istilah lingkungan sebagai ungkapan lain dari istilah planet bumi.17
Sedangkan kata al-bī’ah yang merupakan derivasi dari kata bā’a,
yabī’u, bī’ah berarti “kembali, menempati wilayah, ruang kehidupan,
dan lingkungan.”18 Secara kuantitatif, kata ini disebut Alquran sebanyak
18 kali, tetapi ayat yang secara langsung bermakna lingkungan sebagai
ruang kehidupan hanya 6 ayat (QS. Ali ‘Imrān: 21; al-A‘rāf: 74; Yūnus:
93; Yūsuf: 56; al-Naḥl: 41, dan al-‘Ankabūt: 58).
Secara terminologis, menurut Yūsuf al-Qaraḍāwī, al-bī’ah adalah
sebuah lingkungan di mana manusia tinggal dan hidup di dalamnya,
baik ketika bepergian ataupun ketika mengasingkan diri, tempat
Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, 47.
Abdillah, 47.
18
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Kairo: Dār al-Hadīth, 1997), 27–31.
16
17
398
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
ia kembali, baik secara sukarela maupun terpaksa. Lingkungan ini
mencakup lingkungan yang bersifat statis (mati), seperti alam semesta
dan berbagai bangunan dan dinamis (lingkungan hidup), seperti
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.19 Penggunaan kata al-bī’ah
(lingkungan) sebagai ruang kehidupan sejalan dengan tradisi ekologi
yang lazim memahami bahwa lingkungan merupakan segala sesuatu
di luar suatu organisme yang identik dengan ruang kehidupan.
Dari berbagai term yang digunakan Alquran untuk memperkenalkan
konsep lingkungan, dapat disimpulkan bahwa konsep lingkungan hidup
dalam perspektif Alquran memiliki makna yang luas, yang mencakup
lingkungan hidup seluruh spesies, baik yang ada di ruang bumi maupun
ruang angkasa, bahkan yang ada di luar angkasa luar. Karena faktanya,
keseimbangan ekosistem di bumi barkaitan dengan ekosistem di luar
ruang bumi. Oleh karena itu, menurut Alquran, manusia wajib menjaga
kelestarian daya dukung lingkungan, bukan saja dalam lingkungan planet
bumi tapi juga di luar angkasa (QS. al-Baqarah: 22; al-Anbiyā’: 32).
Selain itu, ayat-ayat di atas membentuk konsep teologi Alquran
(Islam) tentang ekologis yang dapat dijabarkan sebagai berikut. Allah
adalah Tuhan pemelihara seluruh alam semesta dengan dasar cinta dan
kasih-Nya. Ayat-ayat Alquran sebagai kalam Tuhan memuat informasi
keseluruhan alam semesta dari langit, daratan, dan lautan yang semuanya
sebagai satu kesatuan yang utuh dalam membentuk regularitas kehidupan
dan demi sebesar-besar kemanfaatan manusia. Namun semuanya tunduk
hanya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Mengetahui dengan aturanNya yang Maha Suci. Ketika salah satu di antaranya diciderai oleh
manusia, maka akan mengganggu regularitas tersebut dan alam berbalik
menjadi musuh bagi seluruh manusia. Dengan ini, manusia didorong
untuk memahami hukum-hukum lingkungan hidupnya, dan akhirnya
termotivasi untuk melestarikan lingkungannya.20
Selain aspek-aspek lingkungan di dalam Alquran yang disebutkan
di atas, Alquran juga berbicara secara tegas dan spesifik tentang krisis
lingkungan. Ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan Alquran
menggunakan beberapa term, antara lain fasād, halaka dan sā’a.
Secara leksikal, kata fasād –yang merupakan antonim dari ṣalāh
al-Qaraḍāwī, Ri‘Āyat al-Bī’ah fī Sharī‘at al-Islām, 12.
Alim Roswantoro Alim Roswantoro, “Refleksi Filosofis atas Teologi Islam
mengenai Lingkungan dan Pelestariannya,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam IAIN
Ponorogo 12, no. 2 (2012): 226–27.
19
20
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
399
(manfaat, berguna)– bermakna “keluar dari keseimbangan (khurūj
al-sha’i ‘an al-i‘tidāl) (sesuatu yang keluar dari keseimbangan).
Sementara cakupan makna term fasād mencakup jiwa, fisik, dan apa
saja yang menyimpang dari keseimbangan/yang semestinya.21
Term fasād dengan berbagai derivasinya di dalam Alquran
terulang sebanyak 50 kali, yang dapat dibedakan menjadi: (1) perilaku
menyimpang dan tidak bermanfaat (QS. al-Baqarah: 11, al-A‘rāf: 56), (2)
ketidakteraturan/ berantakan (QS. al-Anbiyā’: 22), (3) perilaku destruktif
(merusak) (QS. al-Naml: 34), (4) menelantarkan atau tidak peduli (QS.
al-Baqarah: 220), (5) kerusakan lingkungan (QS. al-Rūm: 41).22
Term fasād jika berbentuk maṣdar dan berdiri sendiri, maka
menunjukkan kerusakan yang bersifat fisik, seperti banjir, pencemaran
udara dan lain-lain. Jika berupa kata kerja (fi‘l) atau berbentuk
maṣdar namun sebelumnya ada kalimat fi‘l, umumnya menujukkan
kerusakan non-fisik, seperti kufur, syirik, nifak, dan yang lain-lain.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kerusakan yang bersifat
fisik hakikatnya merupakan akibat dari kerusakan non-fisik.23
Salah satu ayat yang berbicara tentang krisis lingkungan dengan
menggunakan term fasād adalah firman Allah:
ْ َظَهَ َر ْالفَ َسا ُد فِي ْالبَرِّ َو ْالبَحْ ِر بِ َما َك َسب
ْض الَّ ِذي
َ اس لِيُ ِذيقَهُ ْم بَع
ِ َّت أَ ْي ِدي الن
ََع ِملُوا لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ِجعُون
Telah nampak kerusakan (fasād) di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar) (QS. al-Rūm: 41).24
21
Al-Rāghib al-Aṣfahānī, Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān (Beirut: Dar El Fikr,
n.d.), 379.
22
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, “Tafsir Al-Qur’an,” Vol. 4 (Jakarta:
Kementerian Agama, 2014), 132–34.
23
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 135.
24
Ayat di atas, sepintas tampak adanya kekurangan satu unsur ekologi, yaitu
udara yang tidak disebut secara eksplisit dalam ayat tersebut. Namun, di sinilah letak
kemukjizatan dalam menyusun redaksi dan isinya, sebab jika diperhatikan dengan
seksama akan terjawab dengan sendirinya karena manusia yang hidup di darat maupun
laut, secara otomatis harus hidup dalam ruang lingkup lingkungan atmosfer juga.
Bahkan, tidak sampai dalam hitungan 5-10 menit manusia akan meninggal, jika tidak
mendapatkan udara yang cukup untuk pernafasannya. Lihat Achmad Cholil Zuhdi,
“Krisis Lingkungan Hidup dalam Perspektif Al-Qur’an,” Mutawātir: Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya 2, no. 2 (2012): 150.
400
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
Para mufassir klasik umumnya memaknai kata fasād dalam ayat
ini sebatas kerusakan sosial dan kerusakan spiritual, sebagaimana
pendapat Ibn Kathīr (w. 1373 M) yang mengartikan fasād dalam
ayat di atas dengan perbuatan syirik, pembunuhan, kemaksiatan, dan
segala pelanggaran terhadap Allah.25 Sementara ulama kontemporer,
seperti Yūsuf al-Qarḍāwī memahami fasād sebagai krisis
lingkungan secara fisik yang mengakibatkan berbagai bencana,
seperti penyebaran penyakit, krisis pangan, krisis sumber daya alam,
perubahan musim, pencemaran lingkungan yang membahayakan
seluruh spesies bumi.26
Menurut ayat ini, kerusakan dan krisis lingkungan (fasād)
diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak memerhatikan
kelestarian ekologi. Selain itu, krisis lingkungan juga pada
hakikatnya juga diakibatkan oleh krisis mental manusia. Karenanya,
para ahli tafsir memahami bahwa penyebab kerusakan tersebut
bukan perilaku manusia secara langsung dalam konteks kerusakan
alam, seperti penebangan pohon secara illegal, membuang sampah
secara sembarangan, pembuangan limbah industri yang tidak sesuai
amdal, dan lain-lain, tetapi mengacu kepada perilaku non-fisik,
seperti kemusyrikan, kefasikan, kemunafikan dan segala bentuk
kemaksiatan.27
Di kalangan umat Islam, masih ada golongan yang menganut
paham teologi teosentrik yang memaknai berbagai bencana alam
seperti tsunami, banjir dan sebagainya sebagai takdir Tuhan, dan
tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis
kemanusiaan dan krisis moralitas sosial serta kegagalan manusia
dalam memahami hukum sosial-kemasyarakatan (sunnatullāh).
Padahal Alquran sering menginformasikan bahwa berbagai bencana
alam kerapkali diawali dengan penyimpangan perilaku manusia
di dalam masyarakat. Dengan kata lain, perilaku makrokosmos
seringkali berbanding lurus dengan perilaku mikrokosmos.28
Abu al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm, version
3.47, al-Maktabah al-Shāmilah, n.d., 319..
26
Al-Qaraḍāwī, Ri‘āyat al-Bī’ah fī Sharī‘at al-Islām, 29.
27
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghaib, version 3.47, al-Maktabah al-Shāmilah,
n.d., 245. Abū al-Qāsim Maḥmūd bin ‘Amr bin Aḥmad al-Zamakhsharī, Tafsīr alKashshaf, version 3.74, al-Maktabah al-Shāmilah, n.d., 259. Ibn Ashūr, Al-Taḥrīr wa
al-Tanwīr, version 3.47, al-Maktabah al-Shāmilah, n.d., 86.
28
Nasaruddin Umar, Islam Fungsional (Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2010), 275.
25
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
401
Dalam QS. al-A‘rāf: 56, larangan berbuat kerusakan (ifsād)
terhadap lingkungan dihubungkan dengan kata iṣlāḥ yang dapat
diartikan dengan “konservasi”. Kata iṣlāḥ dengan derivasinya diulang
di dalam Alquran sebanyak 181 kali.29 Ini menunjukkan pentingnya
makna ini dalam konteks konservasi lingkungan dan aspek-aspek
yang terkait dengannya sehingga menimbulkan kebajikan-kebajikan
otentik sebagaimana makna harfiah kata itu.30
Jika iṣlāḥ menunjukkan makna konservasi lingkungan, maka
kata ifsād sebaliknya menunjukkan suatu tindakan merusak (afsada,
yufsidu, ifsād) yang dalam ayat di atas terkait dengan larangan
merusak bumi. Jika kata ini dikaitkan dengan QS. al-Rūm: 41 yang
menjelaskan kerusakan di daratan dan lautan akibat perbuatan
manusia, maka konsep ifsād adalah sebuah antitesis dari konsep
konservasi lingkungan (iṣlāh al-bī’ah, ri‘āyat al-bī’ah). Dalam
konteks iṣlāḥ, Yūsuf al-Qarḍāwī memilih kata iḥsān yang bukan
saja dikaitkan dengan ibadah, tetapi juga dikaitkan dengan berbuat
baik kepada atau untuk merawat dan menjaga lingkungan.31
Term halaka dan derivasinya diulang dalam Alquran sebanyak
68 kali. Menurut al-Aṣfahānī, term ini dibagi ke dalam empat
kategori: (1) hilangnya sesuatu dari diri seseorang (QS. al-Hāqqah:
29), menghabiskan harta benda (QS. al-Balad: 6), kerugian atau
kemudaratan (QS. al-Baqarah: 195, al-An‘ām: 26), kehancuran
berupa kerusakan alam (QS. al-Baqarah: 205), (2) kematian/
meninggal dunia (QS. al-Nisā’: 176, al-Anfāl: 42, Ghāfir: 34, alA‘rāf: 155, al-Mulk: 28, al-Mā’idah: 17, Yūsuf: 85, al-Jāthiyah: 24),
(3) fanā’ (lawan dari baqā’) (QS. al-Qaṣaṣ: 88), (4) kebinasaan dan
kehancuran kolektif (makna inilah yang paling banyak).32
Kebanyak term halaka tidak terkait dengan lingkungan. Di antara
yang menunjukkan arti kehancuran lingkungan adalah firman Allah:
Dan apabila dia berpaling (darimu), dia berusaha untuk berbuat
kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang
Allah tidak menyukai kerusakan (QS. al-Baqarah: 205)
29
Holy Quran.
Kata iṣlāh dan ifsād merupakan dua kata yang berlawanan. Dalam Mukhtār alShiḥāh, misalnya, dua kata itu didefinisikan sebagai واحدة المصالح واإلستصالح ضد اإلستفساد
الصالح ضد الفساد والمصلحة. Lihat Zainuddīn al-Rāzī, Mukhtār al-Shiḥāh (Beirut, 1952),
75.
31
Al-Qarḍāwī, Ri‘āyat al-Bī’ah fī Sharī‘at al-Islām, 120–42.
32
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, “Tafsir al-Qur’an,” 134.
30
402
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
Ayat ini berbicara tentang sifat-sifat orang munafik dimana
mereka selalu berusaha menghancurkan (merusak) sawah ladang
kaum Muslim yang didorong oleh kebencian mereka terhadap kaum
Muslim. Sekalipun demikian, perbuatan ini mencakup juga segala
perbuatan yang tidak bermanfaat, termasuk merusak lingkungan.
Sehingga menurut al-Rāzī, jika perilaku merusak tersebut dilakukan
oleh kaum Muslim, maka ia juga termasuk dikritik oleh ayat ini, atau
layak menyandang sifat munafik.33
Sedangkan term sa‘ā dengan derivasinya disebut dalam Alqur’an
sebanyak 30 kali. Secara etimologis, kata ini berarti “berjalan dengan
cepat.” Kemudian term ini digunakan untuk menunjukkan kesungguhan
dalam melaksanakan suatu persoalan, dan umumnya dalam perbuatan
yang terpuji.34 Term sā’a yang terkait dengan lingkungan adalah QS.
al-Baqarah: 205 yang disebut secara bersamaan dengan term halaka.
Tindakan merusak lingkungan merupakan bentuk kezaliman
dan kebodohan manusia. Semua perbuatan manusia yang dapat
merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan
kemungkaran. Maka, setiap manusia, baik secara individu maupun
kelompok, yang melihat tindakan tersebut, wajib menghentikannya
melalui berbagai cara yang mungkin dan dibenarkan.35
Dalam perspektif Alquran, merusak alam (lingkungan) termasuk
dosa setingkat di bawah dosa memusuhi Allah Swt. dan Rasul-Nya,
yang diancam dengan hukuman mati, disalib, dipotong tangan
dan kakinya secara silang, atau diasingkan, sesuai dengan tingkat
kerusakan alam yang ditimbulkannya, serta ancaman hukuman
setimpal di akherat kelak:
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya
dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari
tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia,
dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar (QS. al-Mā’idah: 33).
Selain hukuman melalui tangan manusia lain tersebut, Allah
juga akan memberikan siksa secara langsung kepada manusia
melalui “tangan” alam itu sendiri; seperti pemanasan global, angin
al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghaib, 214.
al-Aṣfahānī, Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, 233.
35
Mangunjaya, Heriyanto, and Gholami, Menanam Sebelum Kiamat: Islam,
Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup, 6.
33
34
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
403
puting beliung, banjir, longsor dan lain-lainnya (QS. al-Rūm: 41).
Bahkan tindakan perusakan atas alam yang dilakukan manusia akan
menjadi sebab dicabutnya hak kepemilikan dan penguasaan manusia
atas alam ini. Karena Allah hanya akan menyerahkan alam kepada
orang-orang yang salih (QS. al-Anbiyā’: 105). Ketegasan Allah
Swt. melarang manusia merusak alam dengan berbagai ancaman
hukuman di dunia dan akhirat terjadi karena tindakan itu (merusak
alam) merupakan kejahatan yang dapat menghancurkan umat
manusia dan kemanusiaan (QS. al-Mā’idah: 32).
PRINSIP-PRINSIP EKOLOGI DALAM ALQURAN
Dari beberapa term yang digunakan Alquran untuk menyebut
lingkungan (ekologi), tampak bahwa Alquran telah merespon
masalah lingkungan sebelum teori ekologi itu lahir. Dalam paradigma
tafsir ekologi, dapat dirumuskan prinsip-prinsip etis-teologis yang
ditawarkan Alquran (Islam) sebagai agama ramah lingkungan36 atau
agama hijau (greendeen).37 Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
Pertama, prinsip tauhid. Secara harfiah, tauhid berarti kesatuan
(unitas), yang secara absolut berarti mengesakan Allah dan sekaligus
membedakannya dari makhluk-Nya. Akan tetapi secara luas, tauhid
juga dapat dimaknai sebagai kesatuan (unitas) seluruh ciptaan;
manusia maupun alam dalam relasi-relasi kehidupan.38 Dalam
bahasa lain, tauhid mengandung makna kesatuan (unitas) antara
Tuhan, manusia, dan alam sehingga relasi antara ketiganya harus
berjalan seimbang dan harmonis. Penghilangan salah satu kutub akan
menyebabkan ketidakharmonisan. Penghilangan kutub Tuhan akan
menyebabkan sekulerisme yang mengeksploitasi alam dan berujung
pada krisis ekologi. Sedangkan penghilangan kutub alam, akan
menjadikan manusia miskin pengetahuan dan peradaban.39 Doktrin
36
Menurut Mujiyono, agama ramah lingkungan adalah agama yang mengajarkan
kepada pemeluknya tentang kearifan lingkungan (Abdillah, Agama Ramah Lingkungan)
37
Menurut Ibrahim Abdul-Matin, agama hijau (greendeen) adalah agama yang
menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral
antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta) (Ibrahim Abdul-Matin, Greendeen;
Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam (Jakarta: Zaman, 2012), 21–34.
38
Nurcholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,
1998), 276.
39
Mamluatun Nafisah, “Alqur’andan Konservasi Lingkungan (Suatu Pendekatan
Maqāṣid al-Sharī‘ah)” (UIN Syarif Hidayatullah, 2017), 93.
404
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
tauhid inilah yang –sebagaimana dikatakan Ismail Raji al-Faruqi,
menjadi pandangan dunia (weltanschauung) yang memberikan
penjelasan secara holistik tentang realitas.40
Setiap tindakan manusia yang berhubungan dengan makhluk
lain, harus dilandasi keyakinan tentang keesaan dan kekuasaan
Allah yang mutlak. Karenanya, tidak sempurna iman seseorang jika
tidak peduli lingkungan. Karenanya, manusia yang beriman dituntut
untuk memfungsikan imannya dengan meyakini bahwa konservasi
lingkungan hidup adalah bagian dari iman tersebut.41 Sebaliknya,
orang yang merusak lingkungan dapat dikategorikan kafir ekologis
(kufr al-bī’ah).42 Karena di antara tanda-tanda kebesaran Allah
adalah adanya jagad raya ini. Karena itu, merusak lingkungan
sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah karena
memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang
kafir (QS. Ṣād: 27), apalagi jika sampai melakukan pengrusakan
terhadap alam.
Kedua, prinsip bahwa alam dan lingkungan adalah bagian dari
tanda-tanda (ayat) Allah di alam semesta. Oleh karena itu, Alquran
memberikan nama fenomena alam dengan istilah āyat [pl. āyāt]
yang berarti “tanda”, yakni tanda adanya Allah, tanda kebesaranNya atau tanda perjalanan menuju kebahagiaan dunia (zahir) dan
akhirat (batin).43 Baik manusia maupun alam (lingkungan) adalah
tanda-tanda Allah, yang saling berhubungan satu sama lain dan
saling tergantung.44
Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, signifikansi alam ini
selaras dengan signifikansi Alquran, dimana Alquran merupakan
representasi wahyu yang terhimpun dalam lambang bahasa tulisan
dan kata (the recorded Qur’an), sedangkan alam merupakan
representasi wahyu yang terhampar (Qur’an of creation) yang
memiliki nilai yang sama dengan the recorded Qur’an. Karena
itu, keduanya sama-sama disebut dengan ayat-ayat Tuhan. Yang
Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life (Pensylvania:
(Wyncote Press, 1982), 56.
41
Ali Yafie, Merintis Fiqh Lingkungan (Jakarta: Ufuk Press, 2006), 41–42.
42
Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’an.
43
M. Thalhah and Achmad Mufid, Fiqh Ekologi: Menjaga Bumi Memahami
Makna Kitab Suci (Yogyakarta: Total Media, 2008), 7.
44
Richard C Foltz, Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, “Islam and
Ecology: A Bestowed Trust” (Amerika: Harvard University Press, 2003), 22.
40
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
405
pertama ayat yang menunjuk pada bagian dari surah-surah Alquran,
dan yang kedua ayat yang menunjuk pada kebesaran Tuhan yang
terhampar pada diri manusia dan alam semesta.45
Dalam hal ini manusia diperintahkan untuk membaca “tandatanda” (āyāt) alam semesta (lingkungan) yang diperlihatkan oleh
Sang Maha Pencipta dan Pengatur lingkungan. Untuk itu, manusia
harus memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dalam mengelola
alam semesta. Karenanya, tidak sedikit ayat-ayat Alquran yang
mengajak manusia untuk meneliti dan menyelidiki langit dan bumi,
segala sesuatu yang dapat dilihat di lingkungan (binatang, awan,
bulan, matahari, pegunungan, hujan, angin, dan sebagainya) dan
semua fenomena alam.46
Ketiga, prinsip kedudukan manusia sebagai hamba Allah
(‘abdullāh) dan wakil Allah di bumi (khalīfatullāh fi al-arḍ). Sebagai
hamba Allah manusia berkewajiban untuk mengabdi kepada-Nya
(QS. al-Dhāriyāt: 56) sehingga konservasi lingkungan bagian dari
pengabdian (ibadah) seseorang kepada Sang Khalik. Sedangkan
sebagai khalifah Allah di bumi (QS. al-Baqarah: 30) manusia bertugas
mewakili Allah untuk mengurus dan memakmurkan bumi dengan
segala isinya (QS. Hūd: 61). Prinsip ini membuat manusia harus
menyadari seutuhnya bahwa, dia adalah aktor penanggung jawab
dalam mengelola alam semesta, sekalipun dia dibolehkan mengambil
manfaatnya, tetapi dia tetap harus memelihara dan menjaga
kelestariannya dan dilarang merusaknya (QS. al-Qaṣaṣ: 77).
Dalam perspektif Alquran, arti kekhalifahan memiliki tiga
unsur, yaitu (1) manusia (sendiri) yang dinamai khalifah, (2) alam
raya, yang disebut dalam QS. al-Baqarah: 21 sebagai bumi, dan (3)
hubungan manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan
manusia (istikhlāf [tugas-tugas kekhalifahan]). Selanjutnya hubungan
manusia dengan alam adalah hubungan sebagai pemelihara yang
saling membutuhkan satu sama lain. Maka tugas manusia adalah
memelihara dan memakmurkan alam.47
Untuk menjalankan misi kekhalifahan tersebut, Allah Swt.
membekali manusia dengan berbagai keistimewaan, antara lain
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Unwin Paperbacks,
1979), 55.
46
Foltz, Denny, and Baharuddin, “Islam and Ecology: A Bestowed Trust,” 7.
47
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), 29.M.
45
406
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
Allah menundukkan alam semesta itu untuk manusia (taskhīr) (QS.
Luqmān: 20; Ibrāhīm: 32-33; al-Jāthiyah: 12-13). Selain itu, manusia
juga dibekali dengan berbagai potensi untuk mengubah kehidupan
di dunia ke arah yang lebih baik (QS. al-Ra‘d: 11), ditetapkan arah
yang harus ia tuju (QS. al-Dhāriyāt: 56), dianugerahkan kepadanya
petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan (QS. al-Baqarah:
38), dan ditetapkan tujuan hidupnya, yakni mengabdi kepada Ilahi
(QS. al-Dhāriyāt: 56).48
Keempat, prinsip amanah, yakni amanah untuk memanfaatkan
sumber daya alam dan lingkungan dengan sebaik-baiknya dan
penuh tanggungjawab dalam batas-batas kewajaran ekologis.
Untuk itu, manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, tidak
diperkenankan mengeksploitasi secara sewenang-wenang, terutama
sumber daya umum yang tidak dimiliki perorangan, seperti air,
sungai, laut, hutan, dan lain-lain. Dalam pandangan Alquran,
pemilik hakiki lingkungan adalah Allah (QS. al-Baqarah: 284, Ali
‘Imrān: 109, 129, 180, 189; al-Nisā’: 126, 131, 132, 170, 171; alMā’idah: 17-18, 40, 120; al-A‘rāf: 157; al-Taubah: 116; Yūnus: 55,
66). Sedangkan kepemilikan manusia bersifat titipan atau pinjaman
yang pada saatnya harus dikembalikan kepada Pemiliknya.
Menurut MS Ka’ban, dalam berinteraksi dengan alam serta
lingkungan hidup itu, manusia mengemban tiga amanah dari Allah.
Pertama, al-intifā’. Allah mempersilahkan kepada manusia untuk
mengambil manfaat dan mendayagunakan hasil alam dengan sebaikbaiknya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Kedua, al-i‘tibār.
Manusia dituntut untuk selalu memikirkan dan menggali rahasia di
balik ciptaan Allah serta mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa
alam. Ketiga, al-iṣlāh. Manusia diwajibkan untuk terus menjaga dan
memelihara kelestarian lingkungan itu.49
Kelima, prinsip keadilan (‘adl). Dalam upaya memanfaatkan
alam ini, manusia juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan.
Penggabungan konsep tauhid, khilāfah, amanah, dengan konsep
keadilan, akan melahirkan suatu kerangka yang komprehensif
tentang etika lingkungan dalam perspektif Alquran. Konsep etika
lingkungan ini mengandung sebuah penghargaan yang sangat tinggi
Shihab, 69–70.
M S Ka’ban, “Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Islam,” Jurnal
Millah, MSI PPS UII Yogyakarta 6, no. 2 (2007): 5.
48
49
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
407
terhadap alam, yaitu pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan
persaudaraan semua makhluk. Konsep etika lingkungan inilah
yang harus menjadi landasan dalam setiap perilaku dan penalaran
manusia.50
Keenam, prinsip keselarasan dan keseimbangan (al-tawāzun,
equilibrium), sebab keseimbangan merupakan sunnatullah yang
berlaku di alam semesta (lingkungan) dan dalam kehidupan
manusia (QS. al-Infiṭār: 7; al-Hijr: 19; al-Mulk: 3-4; Yāsin: 40).
Tindakan moral-etik tidak hanya berhubungan dengan relasi
antarmanusia, tetapi juga dengan alam. Maka hak manusia untuk
memanfaatkan alam tidak berarti membolehkannya merusak dan
bahkan menghancurkan keseimbangan ekologinya yang memang
sudah ditetapkan-Nya dalam pola yang demikian indah dan
harmonis. Karena itu, rusaknya lingkungan adalah karena manusia
mengabaikan prinsip keseimbangan alam.
Prinsip-prinsip di atas membuktikan bahwa Alquran
mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai
alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal
itu membuktikan bahwa Alquran mengajarkan adanya kesesuaian
antara jalan ruhani dan ilmiah. Keenam prinsip itu juga dapat menjadi
pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan
Alquran.
PENUTUP
Konservasi lingkungan adalah amanah bagi manusia untuk
memelihara kehidupan dengan segenap sistemnya dan merupakan
salah satu dari tujuan syariah (maqāṣid al-sharī‘ah), bahkan
tujuan tertinggi. Konservasi yang dilakukan melalui pelestarian,
perlindungan, pemanfaatan secara lestari, rehabilitasi, dan
peningkatan mutu lingkungan pada dasarnya untuk menjamin
kemaslahatan manusia beserta makhluk hidup lainnya dalam jangka
panjang dan berkesinambungan.
Alquran sebagai sumber ajaran Islam banyak mengungkap
persoalan ekologi dimana lebih dari 750 ayat Alquran bericara
tentang alam, 14 surah Alquran dinamai sesuai dengan nama hewan
dan kejadian alam tertentu yang merupakan komponen-komponen
50
Zuhdi, “Rekonstruksi Fiqh al-Bīah Berbasis Maslahah: Solusi Islam terhadap
Krisis Lingkungan,” 59.
408
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
lingkungan yang membentuk ekosistem. Selain juga Alquran
menyinggung tentang eksistensi laut (bahr [pl. bihār]; al-yamm), air
(mā’), awan dan angina (rīh [pl. riyāh], tumbuh-tumbuhan (al-ḥabb,
al-‘adas, baṣal, fūm, khardal, yaqtīn, ṭīn, zaitūn, nakhl, rummān),
sungai (nahr [pl. anhār]), dan binatang (dābbāh). Secara spesifik,
istilah lingkungan (ekologi) diperkenalkan Alquran dengan berbagai
term, antara lain al-’ālamīn (seluruh spesies), al-samā’ (ruang
waktu), al-arḍ (bumi), dan al-bī’ah (lingkungan).
Sementara prinsip-prinsip Alquran terkait lingkungan adalah:
(1) prinsip tauhid, yakni pemahaman memahami kesatuan Tuhan dan
ciptaan-Nya (lingkungan); (2) prinsip bahwa alam dan lingkungan
adalah bagian dari tanda-tanda (ayat) Allah di alam semesta; (3)
prinsip kedudukan manusia sebagai wakil Allah di bumi (khalīfatullāh
fi al-arḍ); (4) prinsip amanah, dimana dalam kapasitasnya
sebagai khalifah manusia diberi amanah untuk memanfaatkan alam
ini dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab; (5) prinsip
keadilan (‘adl), dan (6) prinsip keselarasan dan keseimbangan
(al-tawāzun, equilibrium), sehingga rusaknya lingkungan karena
manusia mengabaikan prinsip keseimbangan alam.
DAFTAR RUJUKAN
Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif AlQur’an. Jakarta: Paramadina, 2001.
Abdul-Matin, Ibrahim. Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga
dan Mengelola Alam. Jakarta: Zaman, 2012.
Alim Roswantoro, Alim Roswantoro. “Refleksi Filosofis atas
Teologi Islam Mengenai Lingkungan dan Pelestariannya.” AlTahrir: Jurnal Pemikiran Islam IAIN Ponorogo 12, no. 2 (2012).
‘Amr bin Aḥmad al-Zamakhsharī, Abū al-Qāsim Maḥmūd bin.
Tafsīr Al-Kasysyāf (version 3.74). Al-Maktabah al-Shāmilah,
n.d.
Dede Rodin, Al-Quran dan Konservasi Lingkungan
409
Aṣfahānī, al-Rāghib al-. Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān. Beirut:
Dar El Fikr, n.d.
Capra, F, and Robert March. “The Turning Point: Science, Society,
and the Rising Culture.” Physics Today 35, no. 11 (1982).
Chapman, Audrey R, et Peterson, and al. Consumption, Population
and Sustainability: Perspectives from Science and Religion.
Washington DC: Island Press, 2000.
Faruqi, Ismail Raji al-. Tawhid: Its Implication for Thought and Life.
Pensylvania: (Wyncote Press, 1982.
Foltz, Richard C, Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin.
“Islam and Ecology: A Bestowed Trust.” Amerika: Harvard
University Press, 2003.
Hanafi, Hasan. Islam Wahyu Sekuler: Gagasan Kritis Hasan Hanafi,
terj. M. Zaki Husein. Jakarta: Instad, 2001.
“Hasil Riset Walhi; Perlu Terobosan Sistematis Hadapi Isu
Lingkungan.” Media Online Lingkungan Hidup Indonesia.
Greeners.Go (blog), 2017. http://www.greeners.co/berita/hasilriset-walhi-perlu-terobosan-sistematis-hadapi-isu-lingkungan/.
Hofmann, Murad. Islam: The Alternative. Maryland: Amana
Publication, 1993.
Holy Quran. Versi 6.50. Sakhr, 1997.
Ibn Ashūr. Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr (version 3.47). Al-Maktabah alShāmilah, n.d.
Ka’ban, M S. “Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Perspektif
Islam.” Jurnal Millah, MSI PPS UII Yogyakarta 6, no. 2 (2007).
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. “Tafsir Al-Qur’an,” Vol. 4.
Jakarta: Kementrian Agama, 2014.
Madjid, Nurcholis. Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan, 1998.
Mangunjaya, F. M, H Heriyanto, and R Gholami. Menanam Sebelum
Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
410
Al-Tahrir, Vol. 17, No. 2 November 2017 : 391-410
Manẓūr, Ibnu. Lisān Al-‘Arab. Kairo: Dār al-Hadīth, 1997.
Nafisah, Mamluatun. “Alqur’an dan Konservasi Lingkungan
(Suatu Pendekatan Maqāṣid al-Syarī‘ah).” Tesis, UIN Syarif
Hidayatullah, 2017.
Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: Unwin
Paperbacks, 1979.
Nasr, Seyyed Hossein. Religion and the Order of Natur. New York:
Oxford University Press, 1996.
Qaraḍāwī, Yūsuf al-. Ri‘Āyat al-Bī’ah fī Sharī‘at al-Islām. Kairo:
Dār al-Shurūq, 2000.
Rāzī, Fakhruddīn al-. Mafātih al-Ghaib (version 3.47). al-Maktabah
al-Shāmilah, n.d.
Rāzī, Zainuddīn al-. Mukhtār al-Shiḥāh. Beirut, 1952.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan,
1992.
Shomali, Mohammad. “Aspects of Environmental Ethics: An
Islamic Perspective.” Thingking Faith, The Online Jornal of
The British Jesuits, 2008.
Thalhah, M., and Achmad Mufid. Fiqh Ekologi: Menjaga Bumi
Memahami Makna Kitab Suci. Yogyakarta: Total Media, 2008.
‘Umar ibn Kathīr, Abu al-Fidā’ Ismā‘īl bin. Tafsīr al-Qur’ān alAẓīm (version 3.47). Al-Maktabah al-Shāmilah, n.d.
Umar, Nasaruddin. Islam Fungsional. Jakarta: Rahmat Semesta
Center, 2010.
Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan. Jakarta: Ufuk Press, 2006.
Zuhdi, Achmad Cholil. “Krisis Lingkungan Hidup dalam Perspektif
al-Qur’an.” Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis UIN
Sunan Ampel Surabaya 2, no. 2 (2012).
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Rekonstruksi Fiqh al-Bīah Berbasis
Maslahah: Solusi Islam Terhadap Krisis Lingkungan.” Jurnal
Istinbath, Mataram, IAIN Mataram 14, no. 1 (2015).