POLITIK HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Muhammad Ramadhan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara
Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, Sumatera Utara, 20371
e-mail: ramadhanm753@gmail.com
Abstrak: Politik hukum merupakan sesuatu yang mendasari kebijakan dasar diundangkannya
suatu regulasi, dan dasar kebijakan diberlakukannya suatu regulasi tertentu dalam
tatanan sistem hukum nasional. Pengaturan dan keberlakuan regulasi perbankan
syariah di Indonesia dalam perspektif politik hukum adalah sesuatu yang patut
untuk dipahami. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
komparatif deskriptif sebagai analisis berpikirnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa
regulasi perbankan syariah menjadi cerminan dalam dimensi kebijakan dasar (basic
policy). Regulasi perbankan syariah merupakan respons atas perkembangan industri
perbankan syariah yang membutuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan hukum
dalam suatu regulasi yang jelas. Dalam dimensi kebijakan keberlakuan hukum (enactment
policy) regulasi perbankan syariah diyakini memberikan manfaat (utility) dan kemaslahatan
bagi masyarakat Indonesia dan dipandang sejalan dengan tujuan ekonomi nasional.
Eksistensi regulasi perbankan syariah di Indonesia saat ini memperkuat teori positivisasi
hukum Islam dan memperkuat paradigma hukum profetik dalam sistem hukum nasional.
Abstract: Legal Policy of Islamic Banking in Indonesia. Legal policy is
something that underlies basic policy of a regulation and a basic policy of enactment
specific regulation in the national legal system order. Setting and enforceability
of Islamic banking regulations in Indonesia on political law perspective is something
that deserves to be understood. This study uses qualitative research with descriptive
comparative as its thinking analysis. This study shows that the regulation of Islamic
banking was a reflection of basic policy dimension. Islamic banking regulation
was a response to growing Islamic banking industry that need of legaly and legal
justice in a clear regulation. In the enactment of policy dimension, regulation of
Islamic banking is believed to provide utility and benefit for Indonesia people and
seen as a goal of national economic objectives. The existence of Islamic banking
regulations in Indonesia nowadays reinforces the theory of Islamic law positivism
and strengthening the legal prophetic paradigm in the national legal system.
Kata Kunci: politik hukum, perbankan syariah, positivisasi, hukum profetik
267
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
Pendahuluan
Perkembangan mutakhir khususnya pasca reformasi, ekonomi syariah mendapatkan momentumnya untuk dapat disebut berkembang. Menguatnya isu syariah, dapat
disebut sebagai bentuk adanya kesadaran baru bagi masyarakat Muslim Indonesia untuk
memahami syariah, di mana syariah tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang normatifabstrak, melainkan sesuatu yang empiris-riil dalam kehidupan. 1 Penguatan isu syariah
ini, secara empiris dikuatkan dengan munculnya berbagai aktivitas ekonomi yang mengatasnamakan syariah, seperti bank syariah, pasar modal syariah, asuransi syariah, dan
gadai syariah. Fenomena tersebut adalah realitas yang menjelaskan bahwa isu syariah
dijadikan masyarakat Muslim Indonesia sebagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang ekonomi.2
Pada konteks perbankan tersebut, istilah ekonomi syariah tidak hanya dikenal pada
bank Islam atau yang mengatasnamakan Islam saja, tetapi juga ditemukan pengelolaannya
dalam perbankan konvensional, di mana dapat dipandang sebagai upaya penguatan ekonomi
syariah di bidang perbankan. Munculnya bank-bank konvensional yang belakangan menggunakan nama syariah, seperti BRI Syariah dan BNI Syariah yang membuka model spin
off dari induk konvensionalnya atau bank umum konvensional yang membuka Unit Usaha
Syariah semisal Bank Sumut. Dapat dipahami bahwa bank syariah mendapatkan perhatian
dari para pelaku perbankan konvensional. Terutama dengan kemungkinan, melalui label
“syariah” dianggap mampu mencakup ruang nasabah yang lebih luas. 3 Perkembangan
bank syariah tersebut, dianggap membawa kebaikan bagi kepentingan peningkatan ekonomi
masyarakat, sehingga ada kesan bahwa kebangkitan ekonomi syariah sebagai kebangkitan
ekonomi umat Islam. Walaupun tentu saja dalam praktiknya, bank syariah belum sepenuhnya dapat memenuhi tujuan ideal yang disebut.
Banyak faktor yang menentukan perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Menurut Rifki Ismal, beberapa faktor pendukung perkembangan bank syariah di Indonesia.
Pertama, jumlah populasi umat Islam yang besar. Kedua, dukungan dari perbankan,
pemerintah dan sarjana syariah. Ketiga, kinerja yang baik dari bank syariah dalam dua
1
Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politicts in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2008), h. 3.
2
Untuk pengalaman Indonesia isu syariah ini tidak hanya ditemukan dalam praktik perbankan,
tetapi lebih luas juga diikuti dengan adanya upaya penerapan unsur syariah lainnya, walaupun
tentu yang terakhir disebut tidak menjadi fokus tulisan ini. Arskal Salim dan Azyumardi Azra,
“Introduction: The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” dalam Arskal
Salim dan Azyumardi Azra (ed.,) Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies, 2003), h. 1-16.
3
Muhamad Abduh dan Mohd Azmi Omar, “Islamic Banking and Economic Growth: The
Indonesia Experience,” dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management, Vol. 5, No. 1, 2008), h. 35-47.
268
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
dekade terakhir telah menarik simpati masyarakat. Keempat, perbankan syariah sebagai
pilihan dalam kerja ekonomi Indonesia.4
Dalam konteks masyarakat Indonesia, tentu saja perkembangan perbankan syariah
tidak dapat dipisahkan dari dukungan umat Islam sebagai masyarakat mayoritas. Harapannya, perkembangan perbankan syariah di Indonesa mampu mengimbangi perkembangan
perbankan syariah di negara lainnya, seperti di kawasan Asia Tenggara. Dukungan lainnya
yang tentu saja tidak bisa diabaikan, adalah dukungan pemerintah yang secara khusus
memperkuat eksistensi perbankan syariah di Indonesia.5
Perkembangan perbankan syariah ini tentu saja muncul sebagai sesuatu harapan
baru bagi kepentingan umat Islam Indonesia, walaupun tentu saja harapan ini masih jauh
dari yang diinginkan. Realitas masih menunjukkan bahwa market share perbankan syariah
hingga saat ini masih di bawah 5%. Akan tetapi, kehadiran perbankan syariah ini masih
dapat disebut mampu menarik perhatian umat Islam untuk menjadi bagian di dalamnya,
terutama upaya umat Islam untuk terbebas dari perilaku riba yang bertentangan dengan
ajaran Islam.
Menyadari perkembangan perbankan syariah ini, negara memandang perlu memberikan pengaturan (regulasi) yang jelas terhadap eksistensi perbankan syariah. Regulasi
perbankan syariah telah mengalami sejumlah tahapan dan proses yang telah dilalui dalam
konstelasi politik hukum nasional. Tulisan ini akan melihat bagaimana sesungguhnya politik
hukum perbankan syariah di Indonesia. Pada prinsipnya politik hukum memiliki dua
dimensi. Pertama, kebijakan dasar (basic policy) yaitu politik hukum yang menjadi alasan
dasar diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, tujuan atau alasan
yang muncul di balik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan (enactment
policy). Dimensi kedua ini menjadi hal yang menarik karena peraturan perundang-undangan
seringkali dijadikan oleh penguasa sebagai instrumen politik bagi pemerintah.
Politik hukum perbankan syariah di Indonesia menjadi menarik untuk dikaji karena
melibatkan sumber hukum yang berasal dari ajaran agama Islam yang dalam bahasa yang
lebih populer disebut positifisasi hukum Islam. Terbitnya sejumlah regulasi antara lain
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan
absolut Peradilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah dan UU Nomor
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang memberikan pilihan forum (choice of forum)
penyelesaian sengketa di antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum patut untuk
didalami. Kajian politik hukum perbankan syariah di Indonesia ini semakin menjadi
menarik lagi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
4
Rifki Ismal, Islamic Banking in Indononesia: New Perspectives on Monetary and Financial
Issue (England: John Wiley & Sons, Ltd, Chichester, 2013), h. 73-74.
5
Rodney Wilson, Legal, Regulatory and Governance Issues in Islamic Finance (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2012), h. 131.
269
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
Dinamika dan Konstelasi Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia
Secara yuridis formal, regulasi perbankan syariah pada awalnya diatur dalam UU
Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.6 Pada UU ini akomodasi terhadap perbankan
syariah dilakukan dengan mengakui keberadaan bank yang beroperasi dengan prinsip
bagi hasil baik bank umum maupun BPRS. Hanya saja pada UU ini tidak disebut apa definisi
dari bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Definisi bank yang beroperasi dengan
prinsip bagi hasil disebutkan dalam PP Nomor 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan
prinsip bagi hasil, Pasal 2 yang menyebutkan prinsip bagi hasil yang digunakan oleh bank
berdasarkan prinsip bagi hasil dalam menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada
masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan
kepadanya, menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan
dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun
modal kerja termasuk kegiatan usaha jual beli dan menetapkan imbalan yang akan diterima
sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip
bagi hasil.
Selanjutnya pada tahun 1998, istilah bank dengan prinsip bagi hasil diperbaiki dengan
terbitnya UU Nomor 10 tahun 19987 tentang perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 yang
mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional serta memperkenankan bank
konvensional membuka kantor cabang syariah. Istilah yang disebutkan untuk mengganti
bank dengan prinsip bagi hasil adalah bank berdasarkan prinsip syariah. Pada UU Nomor
10 tahun 1998 pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa definisi prinsip syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana, dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudhârabah),
pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyârakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murâbahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ijârah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijârah wa iqtina’).
Selanjutnya pada tahun 1999 terbit UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,8
sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas
UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,9 kemudian dirubah
6
Diundangkan pada 25 Maret 1992 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 32 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473.
7
Diundangkan pada 10 Nopember 1998 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
8
Diundangkan pada 17 Mei 1999 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843.
9
Diundangkan pada 15 Januari 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357.
270
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,10 sebagaimana
telah ditetapkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi UU,11 selanjutnya disebut dengan
UU Bank Indonesia. Dalam UU tentang Bank Indonesia ini diakomodasi kebijakan moneter
berdasarkan prinsip syariah di mana Bank Indonesia bertanggung jawab terhadap pengaturan dan pengawasan bank komersial termasuk bank syariah. BI dapat menetapkan
kebijakan moneter dengan menggunakan prinsip syariah.
Pada tahun 2000, Majelis Ulama Indonesia membentuk Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang memiliki tugas pokok salah satunya mengkaji, menggali, dan merumuskan
nilai dan prinsip-prinsip syariah dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam
kegiatan transaksi pada lembaga keuangan syariah. DSN MUI bertugas dan memiliki
kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha
bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Fatwa-fatwa DSN MUI umumnya dipergunakan menjadi landasan bagi ketentuan
atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang seperti Kementerian
Keuangan dan Bank Indonesia di bidang perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi
syariah, dan lembaga keuangan syariah lainnya. Pada bidang perbankan syariah, Bank
Indonesia menjadikan fatwa-fatwa DSN MUI di bidang perbankan syariah sebagai landasan
dalam pembuatan Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta Surat Edaran Bank Indonesia
(SEBI) yang mengatur kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah pada Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah yang dibuka oleh Bank Umum Konvensional, dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Dalam kaitan fatwa DSN MUI dengan kegiatan usaha bank syariah, sejumlah PBI
telah diterbitkan. Ketentuan mengenai bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah diatur dalam PBI Nomor 6/24/PBI/2004 yang mewajibkan
adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam setiap bank syariah yang bertugas mengawasi
penerapan syariah dalam kegiatan usaha bank. Ketentuan mengenai Bank Pembiayaan
Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur dalam
PBI Nomor 6/17/2004.
Selanjutnya terdapat sejumlah Peraturan Bank Indonesia yang berpedoman pada
fatwa-fatwa DSN MUI yaitu antara lain PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
10
Diundangkan pada 13 Oktober 2008 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 142 dan T]ambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901.
11
Diundangkan pada 13 Januari 2009 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962.
271
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
Prinsip Syariah. Dalam penjelasan umum PBI Nomor 7/46/PBI/2005 ini dijelaskan bahwa
ketentuan persyaratan minimum akad yang diatur ketentuan itu disusun dengan berpedoman kepada fatwa yang diterbitkan oleh DSN. PBI Nomor 7/47/PBI/2005 dan PBI
Nomor 8/3/PBI/2005.
UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah12 selanjutnya disebut dengan
UU Perbankan Syariah disahkan. Istilah yang digunakan dari sebelumnya bank berdasarkan
prinsip syariah diubah dengan istilah bank syariah. Terdapat dua bentuk bank yang menjalankan prinsip syariah dalam UU ini yaitu BUS dan BPRS. Definisi prinsip syariah dalam
UU Nomor 21 tahun 2008 berbeda dengan pengertian yang disebutkan dalam UU Nomor
10 tahun 1998. Dalam UU Nomor 21 tahun 2008 disebutkan prinsip syariah adalah hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Berdasarkan sejumlah regulasi yang mengatur perbankan syariah tersebut, terlihat
jelas bahwa pengaturan perbankan syariah pada awalnya masih diatur dalam ruang lingkup
perbankan secara umum, sebab pada tahap awal perbankan syariah masih dianggap tidak
terpisahkan dari perbankan konvensional. Pada gilirannya, pengaturan perbankan syariah
diatur dalam UU yang khusus tentang perbankan syariah. Pengaturan UU Perbankan
Syariah ini, tentu saja berkaitan dengan keyakinan bahwa perbankan syariah tidak lagi
dapat disamakan dengan perbankan konvensional, sehingga diperlukan adanya pengaturan khusus yang menunjukkan bahwa perbankan syariah merupakan sebuah sistem
yang terpisah, yaitu sistem perbankan syariah.
Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Pengaturan regulasi Perbankan Syariah dapat dilihat dari perspektif politik hukum.
Eksistensi hukum dalam suatu negara menjadi suatu persyaratan utama untuk dapat
menjalankan kehidupan negara dan masyarakat dan menciptakan ketertiban dan kedamaian.
Hukum yang diberlakukan haruslah memiliki nilai-nilai yang dapat diterapkan oleh masyarakat
setempat. Sistem hukum nasional di Indonesia sangat terkait dengan dasar hukum negara
Pancasila sebagai pusat dalam pembentukan sistem hukum nasional yang diikuti oleh
konstitusi UUD 1945 sebagai landasan setiap hukum yang diberlakukan baik peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan.
Politik hukum (legal policy) merupakan tujuan dan alasan di balik dibentuknya peraturan
perundangan. Politik hukum merupakan sesuatu hal yang penting dalam memahami
mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dan menentukan
apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan dalam
12
Diundangkan pada 16 Juli 2008 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 94 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867.
272
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
pasal-pasal. Politik hukum nasional meliputi dua hal. Pertama, pembangunan hukum
yang berisikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. 13
Politik hukum nasional mencakup proses pembuatan hukum dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Politik hukum merupakan arah resmi yang dijadikan pijakan dan cara untuk membuat
dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Politik
hukum menjadikan suatu hukum menjadi bagian dari proses pencapaian tujuan negara
lewat jalur formil kenegaraan.
Pengaturan perbankan syariah merupakan kesadaran dan kebijakan pemerintah
dalam menetapkan regulasi yang akan diberlakukan, yaitu menetapkan pengaturan di
mana kedudukan perbankan syariah sama seperti perbankan konvensional lainnya,
terutama dalam pengaturannya perbankan syariah dibedakan dengan perbankan konvensional.14
Perbankan syariah dan konvensional diregulasi dalam batasan yang jelas. Bank umum
dapat membuka BUS yang beroperasi secara penuh berdasarkan prinsip syariah. Bagi
Bank Umum Konvensional dapat membuka Unit Usaha Syariah yang dipersyaratkan
untuk memisahkan diri (spin off) dari induk konvensional dalam kurun waktu tertentu.
Pengaturan UU Perbankan Syariah merupakan respons pemerintah terhadap keberadaan
perbankan syariah itu sendiri, di mana perbankan syariah tidak lagi hanya dipandang sebagai
sistem perbankan baru, tetapi lebih dari itu juga memiliki peluang untuk dapat bersaing
dengan perbankan konvensional, atau bahkan mungkin juga mampu melampaui perbankan
konvensional. Namun muncul pertanyaan, apa sejatinya argumentasi yang menjustifikasi
intervensi pemerintah terhadap pengaturan perbankan syariah di Indonesia? Pertanyaan
filosofis tersebut, menjadi salah satu gagasan dalam penelitian ini untuk menggali politik
hukum perbankan syariah di Indonesia terutama untuk melihat keterlibatan pemerintah
dalam meregulasi perbankan syariah. Apakah pemerintah sudah memberikan kewenangan
secara penuh kepada pelaku industri syariah dan institusi yang melengkapinya. Ataukah
pemerintah masih sebatas retorika dalam meregulasi perbankan syariah di Indonesia.
Menyadari akan hal tersebut, guna melengkapi pengaturan terhadap UU Perbankan
Syariah tentu dilihat pula pola penyelesaian sengketa perbankan syariah yang berlaku
di Indonesia. Kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah sudah diatur dalam
UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
13
Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum Undang-undang Ekonomi di Indonesia,” dalam
Jurnal Hukum, Vol. 01 Tahun 2005, h. 24.
14
Mohamed Ariff, “Islamic Banking: A Southeast Asian Perspective”, dalam Mohamed
Ariff (ed.), Islamic Banking in Southeast Asia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,
1988), h. 210.
273
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
Agama,15 selanjutnya disebut dengan UU Peradilan Agama. Sebagaimana Pasal 49 UU
Peradilan Agama secara tegas menyebutkan, bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.” 16
Ekonomi syariah yang dimaksud adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian
syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. 17 Namun, kajian
ini tetap memfokuskan penelitian pada aspek perbankan syariah.
Pasal 50 ayat (1) UU Peradilan Agama mengatur, bahwa “Dalam hal terjadi sengketa
hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus
mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.”18 Selanjutnya dalam ayat (2) menetapkan, bahwa “Apabila
terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya
antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan
Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.”19
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama dapat
memutuskan sengketa hak milik, termasuk di bidang ekonomi syariah, secara khusus
15
Diundangkan pada 20 Maret 2006 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611.
16
Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Lihat juga Arskal Salim, Contemporary Islamic Law in Indonesia: Sharia and
Legal Pluralism (Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 2005), h. 43.
17
Penjelasan Pasal 49 huruf i UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
18
Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
19
Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Penjelasan Pasal 50 ayat (2) menyebutkan, bahwa “Ketentuan
ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik
atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat
atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan
lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Pengadilan
Agama. Sebaliknya, apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain
tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan
agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah
mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri
terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa
lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya,
Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak
terkait dimaksud.
274
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
adalah perbankan syariah, sepanjang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama
Islam. Ketentuan tersebut sekaligus membatasi sengketa hak milik bagi subjek hukum
Muslim dan non Muslim, harus diselesaikan lebih dahulu di Peradilan Umum. Ketentuan
tersebut melahirkan sejumlah pertanyaan, yaitu bukankah nasabah perbankan syariah
tidak hanya dibatasi terhadap subjek hukum Muslim saja? Bukankah subjek hukum Non
Muslim dapat menjadi nasabah perbankan syariah? Bagaimana jika terjadi sengketa hak
milik di sana? Haruskah juga diselesaikan di lingkungan Peradilan Umum? Bukankah
kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah
adalah kompetensi absolut, yang melihat sistem ekonominya dan bukan melihat agama
subjek hukumnya? Maka wajar jika Hikmahanto Juwana menyebutkan, bahwa secara
praktis kewenangan Pengadilan Agama ini tidak dapat direalisasikan sepenuhnya berdasarkan
UU Peradilan Agama, karena Pengadilan Agama tidak memiliki wewenang sebagai lembaga
eksekutor dalam memutuskan sengketa ekonomi syariah. 20
Dalam perspektif politik hukum, ketentuan Pasal 50 UU Peradilan Agama tersebut
menegaskan adanya tarik menarik kepentingan antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan
Umum dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dalam hal ini perbankan syariah.
Sebab, penyelesaian sengketa hak milik antara subjek hukum non Muslim harus diselesaikan
di Pengadilan Umum terlebih dahulu, walaupun objek sengketa berada di ranah ekonomi
syariah. Sebagaimana diketahui, bahwa subjek hukum non Muslim dapat menjadi nasabah
di perbankan syariah, atau secara luas bahwa subjek hukum non Muslim dapat menggunakan
ekonomi syariah. Dengan demikian, sejatinya penyelesaian sengkata ekonomi syariah
tidak terbatas hanya terhadap subjek hukum Muslim saja, tetapi juga terhadap subjek hukum
Non Muslim juga, sepanjang objek sengketanya berada pada ranah ekonomi syariah,
dalam hal ini perbankan syariah.
Tarik menarik kewenangan ini, menjelaskan adanya persoalan politik hukum pemerintah
dalam meregulasi perbankan syariah khususnya terkait kewenangan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah. Secara khusus, politik hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah
ini, terkait dengan pembatasan ruang dan kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian
sengketa hak milik, yakni dengan subjek hukum non Muslim. Lalu pertanyaannya, bagaimana
jika pemilik perbankan syariah tersebut adalah non Muslim? Bukankah pemilik perbankan
syariah juga disebut sebagai subjek hukum? Bagaimana jika terjadi sengketa kepemilikan
dengan nasabahnya yang subjek hukumnya Muslim? Apakah juga sengekta kepemilikannya
diselesaikan di Pengadilan Umum? Walaupun sengketa kepemilikan tersebut berada di
area perbankan syariah (ekonomi syariah)? Pengalihan wewenang penyelesaian sengketa
hak milik antar subjek hukum non Muslim tersebut, walaupun di bidang ekonomi syariah,
20
Hikmahanto Juwana, et al. “Sharia Law as A System of Governance in Indonesia: The
Development of Islamic Financial Law,” dalam Wiscoinsin International Law Journal, Vol. 25,
No. 4, 2008, h. 783.
275
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
jelas tidak memberi ruang yang utuh dan sepenuhnya kepada Pengadilan Agama dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Dalam perspektif politik hukum, kewenangan penyelesaian sengketa perbankan
syariah (ekonomi syariah), tentu tidak dapat dipisahkan dari unsur filosofis, politis dan
sosiologis. Walaupun pengaturan UU Perbankan Syariah telah ditetapkan, namun tidak
dapat dipisahkan dari prinsipnya untuk menjaga dan mengatur kepentingan umat Islam.
Bahkan Abdul Manan berpandangan, dalam perspektif politik hukum penentuan wewenang
Pengadilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah, masih berkaitan dengan kuatnya
teori receptie Snouck Hurgronje, di mana hukum Islam masih dianggap lebih rendah dibandingkan
hukum lainnya. Sedangkan Pengadilan Agama masih dianggap sebagai peradilan semu,
karena pengaruh citra inferior yang masih sulit dihilangkan, serta ditambah lagi belum
kuatnya regulasi tentang ekonomi syariah, menambah kecurigaan masyarakat pada
operasional lembaga keuangan syariah.21
Hingga pada titik ini, perlu dipertanyakan, bagaimana sesungguhnya pengaturan
perbankan syariah di Indonesia? Serta bagaimana penegakan hukumnya jika terjadi sengketa
antar para pihak? Secara khusus mempertanyakan, bagaimana pengaturan perbankan
syariah sebagaimana dalam UU Perbankan Syariah? Serta bagaimana penegakan hukumnya
jika terjadi sengketa dalam UU Pengadilan Agama? Hingga akhirnya mempertanyakan
bagaimana seharusnya pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia?
Secara empiris, pengalaman Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah sangat minim. Problematika terletak pada keahlian Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan sengekta perbankan syariah tersebut. Sebagai regulasi yang dapat dikatakan
baru, Pengadilan Agama masih mengalami keterbatasan hakim yang ahli di bidang perbankan
syariah, agar lembaga tersebut dapat disebut kreadibel dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah. Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) di bidang perbankan syariah di Pengadilan
Agama, masih belum tersedia secara khusus, padahal itu menjadi syarat utama untuk
mampu menangani kasus-kasus yang terjadi. Selain itu, sebagai kasus baru tentu saja
sengketa perbankan syariah belum memiliki yurisprudensi yang cukup banyak, sehingga
dapat membantu dan mempermudah penyelesaian sengketa yang terjadi.
Persoalan politik hukum perbankan syariah terus berlanjut, walaupun setelah terbitnya
UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama,22 selanjutnya disebut juga dengan UU Peradilan Agama. Ketentuan Pasal
3 A ayat (1) UU Peradilan Agama menyebutkan, bahwa “di lingkungan Peradilan Agama
21
Abdul Mannan, “Hukum Perbankan Syariah,” dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan,
Vol. 1, No. 7, 2012, h. 5.
22
Diundangkan pada 29 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 159 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078.
276
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan UU.”23 Selanjutnya ketentuan Pasal
3A ayat (3) UU Peradilan Agama mengatur, bahwa “pada pengadilan khusus dapat diangkat
hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan
keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.” 24
Sebagaimana penjelasan Pasal 3A ayat (3) menyebutkan, bahwa “Tujuan diangkatnya
“hakim ad hoc” adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian
khusus misalnya kejahatan perbankan syariah dan yang dimaksud dalam “jangka waktu
tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”25
Ketentuan Pasal 3A UU Peradilan Agama tersebut menjustifikasi pandangan sebelumnya,
bahwa Pengadilan Agama belum memiliki ketersediaan SDM yang cukup untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah, sehingga membutuhkan dibentuknya pengadilan khusus.
Selanjutnya, bahwa pengadilan khusus tersebut hanya berlaku untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara yang subjek hukumnya terbatas pada orang-orang yang beragama
Islam saja.26 Ketentuan demikian, ternyata membatasi kewenangan Pengadilan Agama
pada subjek hukum non Muslim yang melakukan kejahatan perbankan syariah. Karena
peristiwa hukum yang demikian menjadi kompetensi absolut Pengadilan Umum.
Kondisi ini mempertanyakan kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian
sengketa perbankan syariah. Pandangan tersebut dapat dibenarkan, jika dilihat dari sedikitnya
jumlah kasus sengketa ekonomi syariah yang ada di Pengadilan Agama. Walaupun butuh
penelitian lebih lanjut tentang kenyataan rendahnya kepercayaan pengelola lembaga keuangan
syariah, untuk menyelesaikan masalahnya di Pengadilan Agama.
Ketidakjelasan kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah makin dipertegas dengan terbitnya Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Pasal 55 ayat (1) disebutkan “Penyelesaian sengketa
perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”.
Namun, dalam Pasal 55 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad”. Selanjutnya dalam Pasal 55 ayat (3) berbunyi “Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip
syariah.”
23
Pasal 3A ayat (1) UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
24
Pasal 3A ayat (3) UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
25
Penjelasan Pasal 3A ayat (3) UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
26
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Lihat Pasal
1 angka 1 UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
277
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
Menurut catatan Mahkamah Agung, sepanjang tahun 2012 hanya ditemukan 31
kasus sengketa ekonomi syariah yang diterima. Jika dibandingkan dengan jumlah Pengadilan
Agama dan/atau Mahkamah Syariah di seluruh Indonesia, yakni sebanyak 359 Pengadilan
Agama dan/atau Mahkamah Syariah, maka masing-masing Pengadilan Agama dan/atau
Mahkamah Syariah hanya menangani perkara ekonomi syariah sebanyak 0,01% dari
total perkara sengketa ekonomi syariah.27
Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia Pasca Putusan MK Nomor
93/PUU-X/2012
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 telah menyatakan
semua penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah
bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun,
Pasal 55 ayat (2) yang merupakan pasal induk dan tetap berlaku serta memiliki kekuatan
hukum mengikat. Putusan ini berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim bahwa penjelasan
Pasal 55 ayat (2) yang membuka choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah akan mengakibatkan tumpang tindih kewenangan dan menyebabkan kekacauan
hukum.
Konsekuensi konstitusional dari putusan ini adalah sejak adanya putusan tersebut,
maka lembaga di lingkungan Peradilan Agama menjadi satu-satunya lembaga peradilan
yang berwenang mengadili perkara sengketa perbankan syariah. Dengan demikian tidak
ada lagi dualisme kewenangan lembaga peradilan antara Peradilan Agama dan Peradilan
Negeri dalam memutus perkara ekonomi syariah yang dipandang dapat menyebabkan
kebingungan dan tumpang tindih kewenangan antara dua lembaga peradilan di atas.
Berdasarkan kondisi di atas dalam perspektif politik hukum pada dimensi pertama
yaitu regulasi perbankan syariah dalam kebijakan dasar (basic policy). Regulasi perbankan
syariah dilakukan tentu karena adanya kebutuhan untuk merespons dinamika dan perkembangan
perbankan syariah yang semakin marak di tanah air yang semakin hari semakin membutuhkan
landasan hukum yang tegas dan jelas. Regulasi mengenai perbankan syariah tumbuh secara
bertahap dan evolutif seiring dengan perkembangan perbankan syariah. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dimulainya regulasi perbankan syariah secara bertahap dari ketika masih berbentuk
bank bagi hasil pada UU Nomor 7 tahun 1992. Selanjutnya diperkuat lagi pada UU Nomor
10 tahun 1998 dengan istilah bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah. Hingga akhirnya
dikukuhkan secara mandiri dalam UU Nomor 21 tahun 2008 dengan istilah yang lebih
tegas yaitu Perbankan Syariah.
27
Gala Perdana Lubis, “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 terhadap
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia” (Tesis: Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Tesis, 2014), h. 9
278
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Kondisi di atas menunjukkan bahwa regulasi perbankan syariah bukan sesuatu
yang sekali jadi. Regulasi perbankan syariah menjalani tahapan proses yang dapat dikatakan
sebuah evolusi. Apalagi terjadi drama yang diakibatkan oleh penjelasan Pasal 55 ayat
(2) UU Nomor 21 tahun 2008 yang memberikan pilihan forum penyelesaian sengketa
perbankan syariah kepada Peradilan Agama dan Peradilan Negeri. Tentu hal ini dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kewenangan di antara dua lembaga
peradilan tersebut. Oleh karenanya dalam perspektif kebijakan dasar dapat dipahami
bahwa regulasi perbankan syariah dalam perspektif politik hukum adalah sebagai landasan
hukum bagi industri perbankan syariah untuk memperoleh kepastian hukum.
Pada dimensi kedua politik hukum menelaah tujuan pemberlakuan regulasi perbankan
syariah. Terdapat sejumlah faktor yang menjadi dasar pemberlakuan regulasi perbankan
syariah. Pertama, dalam timbangan teori utility. Secara teoritis, utilitarisme berpandangan
bahwa hukum seharusnya dibuat untuk kepentingan masyarakat. Hukum harus mampu
melindungi segala kepentingan masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum.
Kepentingan masyarakat itu sendiri dapat diukur dengan tingkat terciptanya tujuan hukum
itu sendiri, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, demi terlindunginya kepentingan
masyarakat luas. Secara filosofis teori utility dapat dijelaskan melalui kerangka pemikiran
John Stuart Mill, bahwa teoritis utility dapat dikelompokkan pada 2 (dua) kerangka dasar.
Pertama, prinsip dasar sebuah tindakan dapat disebut benar apabila berupaya untuk menciptakan
kebaikan dan menghindarkan segala yang dapat berimplikasi pada yang buruk. Kedua,
keinginan dasar semua orang untuk melakukan kebaikan hidup secara kolektif. 28
Merujuk pada kerangka dasar utility menurut Mill, dapat dipahami bahwa kebaikan
mampu memberi dampak positif bagi kepentingan masyarakat atau kebalikannya menghindari
yang buruk, sebagai tujuan dari pelaksanaan hukum. Secara sederhana dapat disebut,
bahwa utility merupakan kerangka dasar hukum untuk menjaga dan mengatur terlaksananya
kebaikan bagi kepentingan masyarakat. Merujuk pada fungsinya, teori utility yang dianggap
sebagai bentuk dari mencapai terbesar (the greatest happiness) yang dijadikan sebagai landasan
etik pelaksanaan hukum, maka teori utility sebagai kerangka kerja dalam upaya melihat
politik hukum perbankan syariah, tentu harus dapat dipastikan untuk tercapainya manfaat
hukum tersebut. Jika tidak mencapai manfaat hukum, maka pelaksanaan hukum tersebut
sesungguhnya tidak memberikan kontribusi manfaat bagi masyarakat.
Secara lebih teknis, teori utility dijadikan kerangka teori hukum dengan prinsip dasar,
bahwa setiap tindakan yang dilakukan semua orang ditujukan untuk mencapai kebahagiaan
yang diukur dengan tingkat daya gunanya. Menurut Mill, teori utility sebagai moralitas
harus melindungi semua orang, secara tegas ia mengatakan,29 “The moralities which protect
every individual from being harmed by others, either directly or by being hindered in his freedom
28
John Stuart Mill, the Collected Work of John Stuart Mill (Toronto: University of Toronto
Press, 1991), h. 230.
29
Mill, The Collected Work, h. 256.
279
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
of pursuing his own good, are at once those which he himself has most at heart, and those which
he has the strongest interest in publishing and enforcing by word and deed...; it is these moralities
primarily, which compose the obligations of justice.”
Demikian juga keadilan bersumber dari naluri manusia menghindarkan segala bentuk
yang buruk, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain. Keadilan merupakan syarat utama
terbentuknya moral yang sebenarnya bagi kepentingan kesejahteraan bagi manusia. Teori
utility ini apabila dilihat dalam kerangka kerja hukum, terutama dalam upaya perumusan
dan penerbitan hukum harus mereferensikan nilai keadilan bagi semua orang, maka
regulasi yang muncul seharusnya mampu memberikan kebahagiaan kepada masyarakat
yang menjadi objek UU tersebut.
Prinsip pembentukan hukum atau UU dalam teori utility harus mewujudkan tujuan
asasi kemanusiaan tentang kebahagiaan. Pertama, untuk memberikan nafkah hidup (to
provide subsistence). Kedua, untuk memberikan makanan yang berlimpah (to provide
abundance). Ketiga, untuk memberikan perlindungan (to provide security). Keempat,untuk
mencapai persamaan (to provide equity). Merujuk pada prinsip kemanfaatan yang menjadi
dasar teori utility ini harus menciptakan kepastian hukum dan keadilan hukum, maka
tentu perumusan dan penerbitan UU harus diatribusikan untuk memberikan kebaikan
kepada seluruh masyarakat.
Tentu saja pemerintah harus bertanggung jawab untuk mewujudkan prinsip kemanfaatan,
karena pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam mencapai tujuan nasional. Posisi
pemerintah dalam hal ini menurut Mill,30 “The only government which can fully satisfy all
the exigencies of the social state is one in which the whole people participate; that any participation,
even in the smallest public function, is useful; that the participation should everywhere be as
great as the general degree of improvement of the community will allow, and that nothing less
can be ultimately desirable than the admission of all to share in the sovereign power of the State.”
Merujuk pada prinsip keadilan Mill yang dikemukakan, tentu peran pemerintah
menjadi penting sebagai aparat yang harus memperhatian kepentingan masyarakat,
terutama memastikan fungsi sosial dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu,
pemerintah juga harus menciptakan masyarakat yang terlibat aktif di dalamnya dengan
menjaga keutuhan dan persatuan masyarakat.
Teori utility dianut oleh utilitarianisme yang merupakan teori yang menghubungkan
korelasi antara hukum dan ekonomi. Teori ini berpandangan, bahwa hukum dibangun
atas dasar kemanfaatan, maka kaitannya dengan ekonomi akan dipandang baik apabila
memberi manfaat kepada sebagaian besar masyarakat. Untuk menjalankan teori utility
ini akan digunakan kerangka yang digunakan J.S. Mill dan Jeremy Bentham, yang menempatkan
3 (tiga) kerangka acuan manfaat yang dimaksudkan dalam tersebut. Pertama, manfaat
30
Ibid., h. 403.
280
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
merupakan kebijaksanaan yang mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Kedua,
manfaat merupakan kebijakan yang mendatangkan manfaat besar dibanding dengan
kebijaksanaan alternatif. Ketiga, manfaat merupakan sebuah tujuan yang bertujuan
untuk masyarakat.31
Dalam timbangan teori utility ini regulasi perbankan syariah dipandang sebagai sesuatu
yang baik dan memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini
dirasa wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karenanya
pemberlakuan sejumlah regulasi perbankan syariah dan Putusan MK Nomor 93/PUUX/2012 juga dapat dilihat sebagai suatu upaya memberikan kepastian hukum bagi industri
perbankan syariah dan menegakkan keadilan atas kewenangan Peradilan Agama sebagai
lembaga yang telah diamanahi menyelesaikan sengketa ekonomi syariah secara absolut
dalam UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Sesungguhnya teori utililty ini dapat dipadankan dengan teori maslahat yang berkembang
dalam dunia Hukum Islam. Al-Mashlahat merupakan sebuah upaya mewujudkan kemanfaatan
dan menghindari kemudaratan (jalbu al-mashâlih wa dar‘u al-mafâsid).32 Tujuan syariat
menurut al-Syatîbî diturunkan adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat secara bersama-sama. 33
Dalam konteks maslahat inilah negara memandang perlu memberikan pengaturan
(regulasi) yang jelas tentang keberadaan perbankan syariah. Perbankan syariah tidak
hanya berkaitan khusus dengan masyarakat Muslim Indonesia, tetapi juga terkait dengan
kepentingan negara secara luas. Oleh karenanya, pengaturan perbankan syariah diharapkan
mampu mencapai tujuan kemaslahatan masyarakat luas dan juga kemaslahatan negara
di bidang ekonomi.
Kedua, dalam timbangan teori positifisasi hukum Islam regulasi perbankan syariah
dalam sejumlah Peraturan dan Perundang-undangan dapat dilihat sebagai salah satu
upaya pemberlakuan hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Keberlakuan
suatu hukum dalam sistem hukum nasional umumnya diukur dalam sejumlah teori,
yaitu antara lain
Teori Receptio in Complexu
Sejak abad ke 19, di Indonesia berlaku hukum Islam sebagaimana pendapat Solomon
Keyzer (1823-1868). Pendapat ini diperkuat oleh L.W. Christian Van den Berg dengan pernyataan
31
J.S. Mill dan Jeremy Bentham, Utilitarism and Other Essays (London: Penguin Book Ltd,
2004), h. 5.
32
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: the Methodology of Ijtihad (Kuala
Lumpur: The Other Press, 2002), h. 212.
33
Abî Ishâq Ibrâhîm al-Syâthîbî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Juz II (Beirut: Dâr Kutub
al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 5-8.
281
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama
Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Menurut Berg, orang Islam Indonesia
telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan
yang disebut dengan receptio in complexu.34
Materi teori receptio in complexu dimuat dalam pasal 75 RR (Regeeringsreglement)
tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan
UU agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu.” Hukum Islam
berlaku bagi orang Islam dengan istilah godsdienstige wetten. Pada masa teori ini keluar
stbl.1888 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama (Priesterrad) di samping
Pengadilan Negeri (landraad), yang sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab yang
berisi himpunan hukum Islam, pegangan para hakim, seperti Mogharrer Code pada tahun
1747, Compendium Freijer pada tahun 1761.35
Teori Receptio
Teori receptio in complexu dibantah oleh Snouck Hurgronje (1857-1936) yang saat
itu menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda urusan agama Islam dan bumi putra
dengan teorinya yang disebut receptio.36 Menurut Snouck, hukum yang diberlaku bagi
orang Islam adalah hukum adat. Hukum Islam berlaku jika telah diterima hukum adat.
Teori ini menjadi terkenal setelah disistematisasikan dan dikembangkan oleh Cornelis
van Vollenhoven dan Ter Haar dan para pengikutnya. Teori ini sangat sistematis mengerdilkan
bahkan menghapuskan keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Keberlakukan hukum
Islam (dalam arti materil) maupun dalam proses peradilan (dalam arti formil) dihapus.
Pada saat teori ini berlaku, politik hukum Islam benar-benar berada pada kemunduran
bahkan dalam jurang kehancuran.
Teori Receptio Exit
Munculnya teori receptio seperti yang dikemukakan di atas menimbulkan penentangan
di kalangan para ahli hukum Islam sebab, menurut Hazairin, teori yang dikemukakan
34
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 241.
35
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Prata, 2001), h. 112.
36
Teori Reception menurut Mohammad Daud Ali dalam kepustakaan hukum mengandung
arti bahwa norma hukum tertentu atau keseluruhan aturan hukum tertentu diambilalih dari
perangkat hukum yang lain. Dalam hubungan ini menurut sejarah hukum Eropa resepsi telah
dilakukan oleh hukum Romawi sebelumnya, dan hukum Romawi telah diresepsikan pula oleh
hukum banyak negara di Eropa, ada yang banyak dan ada pula yang sedikit atau sebagian. Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 242, dalam
foonote.
282
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
oleh Snouck Hurgronje adalah teori iblis (teori setan). Teori ini hendak mematikan hukum
Islam yang telah diterima oleh masyarakat Indonesia dan merupakan suatu ajakan kepada
umat Islam untuk tidak patuh dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul. Pada
saat Indonesia merdeka, Hazairin mengatakan: 37
Pemahaman inilah yang dimaksud dengan matinya atau hapusnya teori receptie atau
keluarnya dari teori receptio yang disebut dengan Receptie exit. Berlakunya teori receptio
exit diawali pengesahkan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagian
pem-bukaannya merupakan Piagam Jakarta yang merupakan keberhasilan dari tokoh
tokoh kebangsaan yang selalu memperjuangkan berlakuya hukum Islam. Walaupun
dalam piagam tersebut telah dihapuskan tujuh kata (“dengan kewajiban menjalankan
syari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) namun di dalamnya terdapat landasan
filosofis adalah Pancasila sebagaimana rumusannya terdapat dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 dan landasan yuridis yang terdapat dalam pasal 29 UUD 1945
tentang kebebasan pemberlakuan hukum agama bagi pemeluknya.
Keberlakuan hukum Islam akhirnya dimasukkan dalam rumusan dasar negara Republik
Indonesia yang dikenal dengan Piagam Jakara yang berbunyi: “Negara berdasarkan kepada
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Tujuh kata
terakhir ini yang semula tercantum dalam Piagam Jakarta dihapus oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Namun melalui dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali ke
UUD 1945, Soekarno mengatakan bahwa “kita percaya bahwa piagam Jakarta yang ditulis
tanggal 22 Juni 1945 adalah inspirasi di belakang UUD 1945, dan adalah bagian yang
integral dari konstitusi ini.”38 Dalam sejarah pembentukan dasar negara bahwa sila pertama
berasal dari piagam Jakarta yang berbunyi “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. 39
Teori Receptio a Contrario
Teori Receptio a contrario adalah juga teori bantahan terhadap teori Receptio. Teori
37
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 7-8.
Rifyal Ka’bah, the Jakarta Charter and the Dynamic of Islamic Syariah in the History of
Indonesian Law (Jakarta: University of Indonesia School of Law Post Graduate Studies Program,
2006), h. 7; Muhammad Hatta, Sekitar Proklamasi (Jakarta: Tintamas, 1971), h. 57-59.
39
Dalam sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar negara, semula golongan Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara, namun dalam perdebatan dan kompromi, Islam tidak dijadikan
dasar negara (dan agama negara), tetapi terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan
yang dikemukakan Soekarno pada tanggal 1 Juni. Prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir
ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”). Lihat, Yudi Latif,
Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2011), h. 24.
38
283
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
Receptio a contrario dicetuskan oleh Hazairin dengan pernyataan bahwa teori resepsi
tidak dapat dipergunakan untuk melihat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah
dasar hukum di Indonesia. Menurut Hazairin, keistimewaan hukum agama adalah bahwa
hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakan sebagai bagian dari perkara iman.
Teori ini merupakan kebalikannya dari teori Receptio, di mana hukum adat baru
berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Di beberapa daerah yang dianggap
sangat kuat adatnya, seperti di masyarakat Aceh yang menghendaki perkawinan dan
kewarisan diatur dan disesuaikan dengan hukum Islam. Bila berlaku hukum adat dapat
juga diterima apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Oleh karenanya kenyataan adanya regulasi perbankan syariah saat ini di Indonesia
mengukuhkan eksistensi teori receptio exit dan receptio a contrario yang meneguhkan teori
positifisasi hukum Islam serta sekaligus menolak eksistensi teori receptio. UU Nomor 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan UU Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah merupakan bentuk formalisasi hukum Islam menjadi hukum
positif di Indonesia.
Positifisasi hukum Islam dengan menggunakan hukum Islam sebagai salah satu
sumber hukum nasional didasarkan pada UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 sebagai Pengganti Garis-Garis
Besar Haluan Negara. Positifisasi hukum Islam dengan menggunakan hukum Islam disandarkan
pada dasar Negara Pancasila yaitu sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945
pada pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan demikian, dalam konteks politik hukum dalam dimensi kebijakan pemberlakukan
hukum (enactment policy) perbankan syariah dapat dijelaskan dalam dua faktor utama
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal, hukum Islam diakui sebagai
salah satu sumber dalam pembentukan sistem hukum nasional selain hukum adat (kebiasaan
masyarakat) dan hukum Barat (Belanda) yang memiliki kedudukan yang sama dan seimbang.
Pemikiran pemberlakukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional saat ini juga
diperkuat oleh paradigma hukum profetik yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo dan
diperjelas oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra. Gagasan hukum profetik diilhami oleh Muhammad
Iqbal dan Roger Garaudy. Munculnya ilmu hukum profetik ini merupakan alternatif kajian
keilmuan bagi hukum. Pemikiran hukum profetik berbasis pada nilai-nilai profetik yang
sumber utamanya adalah wahyu ilahi. Oleh karenanya, al-Qur’an dan hadis dalam konteks
paradigma hukum profetik menjadi basis utama epistemologinya. 40
Masuknya hukum perbankan syariah dalam proses positifisasi hukum nasional
menjadi bukti kuat bahwa hukum Islam adalah hukum yang diakui sebagai salah satu
40
M. Syamsuddin (ed.), Ilmu Hukum Profetik: Gagasan Awal, Landasan Kefilsafatan dan
Kemungkinan Pengembangannya di Era Postmodern (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UIIFH UII Press, 2013).
284
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
sumber hukum nasional dan memungkinkan paradigma hukum profetik menjadi salah
satu alternatif di dalam kajian ilmu hukum. Proses regulasi perbankan syariah mulai
dari penyusunan hingga pemberlakuan sudah melalui proses demokratisasi sebagaimana
sumber hukum lainnya. Proses demokratisasi di sini memiliki arti penting karena bermakna
bahwa hukum Islam khususnya perbankan syariah yang dipositifisasi dalam sistem hukum
nasional diyakini bermanfaat dan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia
dan memiliki tujuan yang seiring sejalan tujuan nasional di bidang ekonomi.
Secara eksternal, tuntutan perkembangan perbankan syariah di level global dan
nasional tentu memerlukan landasan hukum yang tegas dan jelas. Hal ini mutlak untuk
menciptakan kepastian hukum. Seiring dengan perkembangan market share perbankan
syariah tentu berpotensi menimbulkan berbagai persoalan yang mengiringinya. Kepastian
dan keadilan hukum dalam regulasi perbankan syariah semakin kukuh pasca terbitnya
Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 yang meneguhkan kewenangan absolut peradilan
agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Penutup
Pemberlakuan hukum perbankan syariah dalam sistem hukum nasional di Indonesia
dilakukan lewat proses evolusi bertahap. Pada tahapan awal regulasi perbankan syariah
masih diatur secara minimal pada UU Nomor 7 tahun 1992 dengan mengakomodasi bank
dengan prinsip bagi hasil. Pada tahap ini, regulasi perbankan syariah merupakan respons
terhadap praktik bank syariah yang masih dipandang masih dalam bentuk bank dengan
prinsip bagi hasil. Pada tahap selanjutnya, regulasi perbankan syariah diatur dalam UU
Nomor 10 tahun 1998 dengan mengakomodasi bank dengan prinsip syariah. Pada dua
regulasi ini, bank syariah diregulasi bersamaan dengan aturan yang sama dengan yang
mengatur bank konvensional. Akhirnya, terbitlah UU Nomor 21 tahun 2008 yang meregulasi
perbankan syariah secara terpisah dari bank konvensional. Sempat terjadi drama dalam
panggung politik hukum nasional berkaitan dengan regulasi perbankan syariah ini. Dalam
UU Nomor 3 tahun 2006 diatur bahwa Peradilan Agama memiliki kompetensi absolut
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Namun, dalam penjelasan pasal 55 ayat
(2) masih diberikan pilihan (choice of forum) bagi para pihak menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah di antara Peradilan Agama dan Peradilan Negeri. Akhirnya setelah terbitnya
Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 semua penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah diputuskan bertentangan dengan konstitusi
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam perspektif politik hukum, realitas dinamika regulasi perbankan syariah memiliki
makna tersendiri. Politik hukum mengandung dua dimensi dalam mengkaji sebuah regulasi
yaitu dari dimensi kebijakan dasar mengapa suatu regulasi diundangkan (basic policy)
dan dimensi kebijakan pemberlakuan (enactment policy). Dari sudut kebijakan dasar regulasi
285
MIQOT Vol. XL No. 2 Juli-Desember 2016
perbankan syariah diadakan untuk menjamin terciptanya kepastikan hukum bagi industri
perbankan syariah yang terus bertumbuh dan berkembang di tanah air. Dalam hal ini
terbitnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 semakin menguatkan regulasi terkait perbankan
syariah selain untuk menciptakan kepastian hukum juga untuk menegakkan keadilan
hukum. Respon atas pertumbuhan dan perkembangan industri perbankan syariah di tanah
air ini menjadi faktor eksternal lahirnya regulasi perbankan syariah dalam tatanan hukum
nasional.
Dari dimensi kebijakan pemberlakukan regulasi perbankan syariah yang dipositifisasi
dalam sistem hukum nasional diyakini bermanfaat (utility) dan memberikan kemaslahatan
bagi masyarakat Indonesia dan memiliki tujuan yang seiring sejalan tujuan nasional di
bidang ekonomi. Dalam teori positifisasi hukum, pemberlakuan perbankan syariah dalam
sistem hukum nasional memperkuat keberadaan teori receptio exit dan receptio a contrario
yang meneguhkan teori positifisasi hukum Islam dan sekaligus menolak eksistensi teori
receptio. Dalam paradigma hukum profetik, pemberlakuan hukum perbankan syariah menjadi
salah satu penguat bahwa hukum Islam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam
adalah salah satu alternatif bidang kajian hukum yang patut dikembangkan dan menjadi
salah satu elemen dalam pembinaan dan pembangunan hukum nasional.
Pustaka Acuan
Abduh, Muhammad dan Omar Mohd Azmi. “Islamic Banking and Economic Growth:
The Indonesia Experience,” dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern
Finance and Management, Vol. 5, No. 1, 2008.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1998.
Al-Syâthîbî, Abî Ishâq Ibrâhîm. al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Juz II. Beirut: Dâr
Kutub al-‘Ilmiyâh, t.t.
Ariff, Mohamed. “Islamic Banking: A Southeast Asian Perspective,” dalam Mohamed
Arif, (ed.). Islamic Banking in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 1988.
Fealy, Greg dan White, Sally. Expressing Islam: Religious Life and Politicts in Indonesia. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2008.
Hatta, Muhammad. Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tintamas, 1971.
Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Tintamas, 1982.
Ismal, Rifki. Islamic Banking in Indonesia: New Perspectives on Monetary and Financial
Issue. England: John Wiley & Sons, Ltd, Chichester, 2013.
Juwana, Hikmahanto, et al. “Sharia Law as A System of Governance in Indonesia: The
Development of Islamic Financial Law,” dalam Wiscoinsin International Law Journal,
Vol. 25, No. 4, 2008.
286
Muhammad Ramadhan: Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Juwana, Hikmahanto. “Politik Hukum UU Ekonomi di Indonesia,” dalam Jurnal Hukum,
Vol. 01, Tahun 2005.
Ka’bah, Rifyal. The Jakarta Charter and the Dynamic of Islamic Syariah in the History of
Indonesian Law. Jakarta: University of Indonesia School of Law Post Graduate Studies
Program, 2006.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Lubis, Gala Perdana. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012 terhadap
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia.” Tesis: Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, 2014.
Mannan, Abdul. “Hukum Perbankan Syariah,” dalam Jurnal: Mimbar Hukum dan Peradilan,
Vol. 1, No. 7, 2012.
Mill, J.S. dan Bentham, Jeremy. Utilitarism and Other Essays. London: Penguin Book Ltd, 2004.
Mill, John Stuart. The Collected Work of John Stuart Mill. Toronto: University of Toronto
Press, 1991.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories of Islamic Law, the Methodology of Ijtihad. Kuala Lumpur:
The Other Press, 2002.
Salim, Arskal dan Azyumardi Azra (ed.). Shari’a and Politics in Modern Indonesia. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2003.
Salim, Arskal. Contemporary Islamic Law in Indonesia: Sharia and Legal Pluralism. Edinburgh:
Edinburgh University Press Ltd, 2005.
Syamsuddin, M. (ed.). Ilmu Hukum Profetik: Gagasan Awal, Landasan Kefilsafatan dan
Kemungkinan Pengembangannya di Era Postmodern. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
FH UII-FH UII Press, 2013.
Usman, Suparman. Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, Cet. 2. Jakarta: Gaya Media Prata, 2001.
Wilson, Rodney. Legal, Regulatory and Governance Issues in Islamic Finance. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2012.
287