fenomena
cuaca antariksa
Edisi Revisi
sebuah persembahan dari
Pusat Sains Antariksa (Pussainsa)
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Buku ini diterbitkan oleh
Pusat Sains Antariksa LAPAN
ISBN: XXX - XXX - XXX - X
Penulis:
Dyah Rahayu Martiningrum
Adi Purwono
Fitri Nuraeni
Johan Muhamad
Penyunting naskah:
Abdul Rachman
© 2012
Pusat Sains Antariksa LAPAN
Tentang gambar sampul:
Salah satu penampakan Aurora Borealis di atas Bear Lake,
Eielson Air Force Base, Alaska. Gambar ini adalah versi suntingan dari foto yang diambil oleh Senior Airman Joshua Strang
(sumber: Wikipedia).
pengantar
Puji Syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan petunjukNya, sehingga buku
Fenomena Cuaca Antariksa edisi revisi ini berhasil diselesaikan. Buku ini merupakan pembaruan dari buku edisi sebelumnya yang telah terbit beberapa tahun
yang lalu dengan menambahkan beberapa informasi baru dan mengoreksi beberapa kesalahan yang ditemukan. Kami juga berupaya agar buku ini lebih enak
dibaca dengan memperjelas kaitan antar fenomena. Harapan kami buku ini bisa
menjelaskan dengan baik mengenai apa dan bagaimana sebenarnya Matahari
dan cuaca antariksa mempengaruhi Bumi kita.
Cuaca antariksa menunjukkan kondisi yang terjadi di Matahari dan di
ruang antarplanet yang dipengaruhi oleh Matahari. Cuaca antariksa menjadi
sangat penting untuk dipahami mengingat makin besarnya ketergantungan manusia pada teknologi yang berbasis antariksa. Cuaca antariksa dapat mempengaruhi orbit dan operasional satelit dan juga astronot yang sedang menjalankan
misi ruang angkasanya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah
merasakan manfaat dari teknologi yang berbasis antariksa ini, seperti misalnya
komunikasi melalui satelit, penentuan posisi berbasis satelit (GPS), bahkan komunikasi radio pun menggunakan lapisan ionosfer yang ada di atas Bumi kita.
Bukan hanya pada teknologi berbasis antariksa saja, variasi cuaca antariksa juga
mempengaruhi medan magnet Bumi, jaringan listrik, bahkan pada jangka panjang dapat mempengaruhi iklim di Bumi.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya cuaca antariksa merupakan suatu kemajuan yang besar dalam pendidikan keantariksaan. Dengan munculnya
kesadaran seperti ini diharapkan masyarakat bisa lebih memahami kondisi
ataupun fenomena yang terjadi baik di Bumi maupun di lingkungan antariksa.
Akan tetapi pemahaman masyarakat seringkali dibelokkan oleh pemberitaan
yang tidak benar, sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat yang berlebihan. Matahari terus beraktivitas sebagaimana biasanya, dan badai Matahari
bukanlah suatu peristiwa yang sangat menakutkan. Antisipasi dini merupakan
kunci untuk mengantisipasi dampak yang merugikan.
Untuk itulah buku ini menjadi sangat penting artinya dalam memberikan
pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang fenomena cuaca antariksa. Usaha untuk selalu memperbaharui informasi yang disampaikan kepada
masyarakat memang harus selalu dilakukan mengingat ilmu pengetahuan selalu
berkembang seiring dengan perkembangan penelitian yang dilakukan oleh para
saintis di bidangnya masing-masing. Untuk itu diucapkan terimakasih dan penghargaan atas usaha para peneliti di Pusat Sains Antariksa dengan menerbitkan
edisi revisi ini.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat pada kita semua untuk menyikapi berbagai fenomena terutama yang terkait dengan keantariksaan.
Bandung, Nopember 2012
Kepala Pusat Sains Antariksa
Clara Yono Yatini
iii
Daftar Isi
iv
v
Cuaca Antariksa
CME
Cuaca juga terjadi di antariksa namun tidak berupa hujan air atau kondisi langit yang cerah seperti
lazimnya di Bumi. Cuaca antariksa meliputi aktivitas Matahari, keadaan di ruang antarplanet
(angin surya), magnetosfer, termosfer, dan ionosfer dengan Matahari menjadi sumber penggerak
utamanya. Peningkatan aktivitas Matahari secara
umum akan mengakibatkan peningkatan kondisi cuaca antariksa yang dapat mengganggu teknologi dan
kesehatan bahkan keselamatan manusia.
Bagaimana cuaca antariksa terjadi?
Cuaca antariksa terjadi setiap saat.
Matahari senantiasa memancarkan
radiasi elektromagnetik dan partikelpartikel bermuatan. Terkadang intensitasnya lebih tinggi saat terjadi fenomena transien di Matahari seperti flare,
lontaran massa korona (CME), dan
lubang korona (coronal hole). Di samping berasal dari Matahari, partikel
bermuatan bisa juga berupa sinar kosmik yang berasal dari luar tata surya
baik dari galaksi kita sendiri atau galaksi
lain. Partikel bermuatan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung pada teknologi di antariksa
dan di permukaan Bumi.
Efeknya pada teknologi
Cuaca antariksa berpengaruh pada beragam teknologi. Dibanding teknologi
lain, satelit dan wahana antariksa lainnya adalah teknologi yang pertama
kali akan terganggu. Satelit di ruang
antarplanet dan di magnetosfer dapat
terganggu akibat interaksi subsistemnya dengan partikel energetik. Di masa
depan diperkirakan gangguan semacam
ini akan semakin besar. Satelit di termosfer dapat terganggu akibat pening-
1
Satelit
Atmosfer atas
Aurora di daerah
sekitar Kutub
BUMI
Partikel berenergi
tinggi
Lup magnetik
Radiasi sinar-X dan
EUV
Pelindung Bumi,
Magnetosfer
katan kerapatan atmosfer karena radiasi
sinar-X dan ultraviolet ekstrem (EUV) serta
badai geomagnet. Sinar-X dan EUV juga
mengionisasi molekul-molekul di atmosfer
atas sehingga memperbanyak jumlah elektron yang dapat mengganggu sinyal satelit
komunikasi dan navigasi, serta komunikasi
radio HF.
Angin Surya
Adalah aliran partikel bermuatan berupa plasma (gas terionisasi) dari Matahari. Angin surya mengalir setiap saat
sambil membawa medan magnet
Matahari hingga ke tepian tata surya.
Angin surya bersama medan magnet
ini terpuntir akibat rotasi Matahari sehingga membentuk spiral.
Matahari
Jupiter
Flare
Di permukaan Bumi, terutama di lintang
tinggi, cuaca antariksa juga dapat mengakibatkan rusaknya jaringan pembangkit listrik dan memudahkan terjadinya
korosi pada pipa bawah tanah akibat arus
induksi yang ditimbulkan oleh badai geomagnet.
Efeknya pada manusia
Cuaca antariksa juga dapat menimbulkan
ancaman pada kesehatan dan keselamatan astronot terutama yang melakukan
misi di luar wahana dan penumpang pesawat terbang yang melewati daerah kutub. Ancaman ini terkait dengan radiasi
elektromagnetik dan partikel bermuatan.
IMF (interplanetary magnetic
field) adalah medan magnet
Matahari yang dibawa oleh
angin surya memenuhi ruang
antarplanet
MATAHARI
Efeknya pada iklim di Bumi?
Cuaca antariksa dimungkinkan berpengaruh pada iklim dalam jangka panjang. Salah satu mekanisme yang mungkin adalah terjadinya peningkatan
konsentrasi ozon di stratosfer akibat meningkatnya intensitas sinar-X dan EUV di
puncak aktivitas Matahari. Peningkatan
konsentrasi ozon ini akan mengakibatkan meningkatnya temperatur di permukaan Bumi.
2
Energi Matahari
Matahari adalah bintang yang terdekat dari Bumi. Seperti halnya
bintang yang lain, Matahari memancarkan energi sendiri, yaitu
berupa cahaya dan panas. Energi Matahari berasal dari reaksi
nuklir yang terjadi di intinya. Energi hasil reaksi di inti
terhantar hingga ke permukaan Matahari melalui proses yang kompleks dan lama. Proses
inilah yang menjadikan Matahari
sebagai bintang aktif penggerak
cuaca antariksa.
Reaksi di inti Matahari
Di inti Matahari, reaksi fusi
nuklir terjadi, yaitu empat inti
hidrogen bergabung menjadi
satu inti helium. Hasil reaksi itu
energi yang sangat besar dalam
bentuk gelombang elektromagnetik dan partikel.
Daerah radiasi
Daerah bagian terluar inti Matahari hingga jarak
sekitar 0,8 jari-jari Matahari. Bagian dasar bersuhu 7 juta derajat Celcius, sedangkan bagian luar
2 juta derajat Celcius.
H
1
H
2
H
1
He
3
H
1
H
1
He
4
Melihat Korona
Meskipun jauh lebih panas dari fotosfer, korona lebih redup darinya
sehingga tidak tampak dari Bumi
kecuali pada saat gerhana matahari. Pada bagian ini, terjadi juga
beberapa aktivitas Matahari yang
dapat berpengaruh pada cuaca
antariksa.
Daerah konveksi
Daerah yang
memiliki aliran
plasma yang begitu
kompleks.
H
1
H
H
1
Korona
Lapisan terluar atau
atmosfer Matahari yang
suhunya mencapai 2 juta
derajat Celcius, lebih
panas dari fotosfer dan
kromosfer.
3
proton
H
2
sinar gamma
neutron
V
positron
Reaksi fusi berantai di Matahari
Kromosfer
Lapisan di atas
fotosfer yang bersuhu 4.500– 25.000
derajat Celcius.
Munculnya aktivitas Matahari
Di daerah konveksi, aliran plasma begitu
kompleks sehingga menghasilkan medan
magnet yang berfluktuasi sepanjang waktu.
Dinamika medan magnet ini sangat aktif sehingga mempengaruhi munculnya beragam
aktivitas di Matahari. Aktivitas Matahari ini
kadang teramati dari Bumi dan sering mengakibatkan pengaruh besar terhadap kondisi
cuaca antariksa secara keseluruhan.
H
1
He
3
1
Fotosfer
Permukaan Matahari
yang suhunya mencapai 5700 derajat
Celcius.
Granula
luapan plasma
seperti gelembung
di fotosfer
Inti
Suhunya mencapai 15
juta derajat Celcius dan
ukurannya sepertiga jarijari Matahari.
Lanjutkan membaca “Aktivitas Matahari”
di halaman 5
Proses keluarnya cahaya
Setelah terbentuk di inti, cahaya
Matahari melewati beberapa
lapisan hingga akhirnya mencapai permukaan. Dari inti, cahaya
melewati daerah radiasi. Di daerah ini, cahaya berpindah secara
radiasi. Cahaya membutuhkan
waktu ratusan ribu tahun untuk
melewati daerah ini. Itu karena
daerah radiasi merupakan daerah dengan kerapatan sangat
tinggi. Keluar dari daerah radiasi, cahaya melewati daerah konveksi. Di sini, cahaya menjalar ke
permukaan dengan proses konveksi atau aliran oleh medium
plasma. Akhirnya, cahaya sampai di fotosfer atau permukaan
Matahari setelah melewati daerah konveksi.
4
Aktivitas Matahari
Hasil pengamatan Matahari memperlihatkan beragam aktivitas pada bagian-bagian Matahari. Beberapa aktivitas Matahari misalnya sunspot, telah
diketahui orang sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagian lainnya baru diketahui sejak satu abad terakhir seiring kemajuan teknologi pengamatan.
Aktivitas Matahari teramati dalam panjang gelombang berbeda
dengan melepaskan energi yang berbeda-beda. CME dan
flare merupakan aktivitas Matahari yang berdampak
besar pada kondisi cuaca antariksa karena besarnya
energi yang dilepaskan oleh peristiwa tersebut.
Sunspot
Sunspot tampak sebagai bintik hitam di permukaan Matahari. Daerah dengan sunspot di Matahari memiliki
medan magnet yang sangat besar mencapai 1000-4000
Gauss. Sunspot memiliki suhu yang relatif lebih rendah
dibandingkan daerah lain di permukaan Matahari sehingga daerah ini terlihat lebih gelap dibandingkan
sekelilingnya. Sunspot diyakini merupakan penampakan fluks magnet yang menembus permukaan Matahari.
Lanjutkan membaca “Siklus Matahari”
di halaman 7
Prominensa
Prominensa
merupakan plasma yang terangkat ke atmosfer Matahari dan biasanya berbentuk
busur karena mengikuti bentuk garis
gaya magnet. Prominensa tampak
terang dan panas meskipun sebenarnya lebih dingin dibandingkan kromosfer dan korona. Jika terlihat dari depan, prominensa akan tampak
seperti garis yang melintang di
Matahari (disebut filamen).
Prominensa atau filamen
dapat bertahan selama
beberapa hari dan
dapat terlepas ke angkasa sebagai lontaran
massa korona (CME).
Bagian tepi sunspot
disebut penumbra.
Suhunya mencapai
5200°C.
5
Bagian tengah
sunspot disebut
umbra. Suhunya
mencapai 4200°C.
Flare
adalah ledakan di Matahari akibat bertemunya dua
garis gaya magnet yang saling berlawanan (disebut rekoneksi). Selain mampu melepaskan partikel berenergi tinggi terutama proton, flare juga
memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik terutama sinar-X dan UV. Radiasi gelombang
EM ini dapat mencapai Bumi hanya dalam waktu
sekitar 8 menit, sedangkan proton berenergi tinggi
umumnya sekitar 1 jam. Flare bersama fenomena
lain di Matahari seperti sunspot, prominensa dan
filamen membentuk daerah aktif (active region) di
mana medan magnetnya memiliki dua kutub.
lubang korona
filamen
Flare
Sunspot
Lubang korona adalah daerah berkerapatan plasma rendah di korona
Matahari yang medan magnetnya
terbuka ke angkasa. Lubang korona
adalah sumber angin surya berkecepatan tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya corotating interaction
region (CIR) di ruang antarplanet.
CIR bisa mempercepat partikel dan
bisa menimbulkan badai geomagnet.
CME
merupakan singkatan dari Coronal Mass Ejection (Lontaran Massa Korona). Saat terjadi CME,
sebagian massa korona Matahari terlontar ke
CME yang terlontar dari
Matahari dapat menyebabkan angkasa. Jika menggunakan kamera satelit, CME
badai geomagnet
teramati seperti letupan yang menyembur dari
Matahari. Energi yang dilepaskan pada peristiwa
ini sangat besar karena mengandung massa yang
besar dengan kecepatan tinggi. Pada saat terjadi
CME, sekitar 2 × 1011 kg hingga 4 × 1013 kg materi
korona terlontar dengan energi sebesar 1022 Joule
hingga 6 × 1024 Joule. Kecepatan materi CME bervaMatahari
riasi dari 20 km/s hingga mencapai 2000 km/s, rata-rata kecepatannya mencapai 350 km/s. CME ini
dapat mencapai Bumi dalam waktu 1-5 hari (ratarata 2-3 hari). Sama halnya flare, CME juga mampu
mempercepat partikel hingga menjadi relativistik.
Cakram koronagraf. Koronagraf adalah
Bedanya, CME bisa mengakibatkan badai geomagalat untuk menciptakan efek gerhana
net setelah tiba di magnetosfer sedang flare tidak.
Matahari sehingga korona Matahari
dapat terlihat
6
Siklus Matahari
Selain berputar mengelilingi pusat galaksi, Matahari juga berputar
pada porosnya sendiri. Perputaran Matahari pada porosnya sendiri
ini disebut rotasi. Periode rotasi Matahari dapat diketahui
Awal siklus
Tidak tampak
berdasarkan pengamatan sunspot. Dengan melihat
adanya flare
pergeseran letak sunspot setiap harinya, maka
periode rotasi Matahari dapat diperkirakan.
SDO (Solar Dynamic Observatory)
Wahana antariksa pengamat Matahari yang terbaru bernama Solar
Dynamic Observatory (SDO) merupakan wahana antariksa yang diluncurkan oleh NASA pada tahun 2010. Wahana ini mempunyai misi sebagai sarana untuk memahami dinamika Matahari yang berpengaruh
terhadap manusia dan sistem teknologi. Pada wahana SDO ditempatkan beberapa instrumen, seperti AIA (Atmospheric Imaging Assembly),
HMI (Helioseismic and Magnetic Imager), dan EVE (Extreme Ultraviolet
Variability Experiment).
7
Jumlah sunspot pada siklus ke-23 dan prediksi siklus ke-24
Siklus Matahari
ke-23
jumlah sunspot
Rotasi diferensial
Jika periode rotasi Bumi sama, baik pada daerah ekuator
maupun kutubnya, tidak demikian dengan Matahari. Ini
karena wujud Matahari berupa gas. Untuk daerah
ekuator satu kali rotasi membutuhkan waktu 25 hari,
sedangkan untuk daerah kutub satu kali rotasi
membutuhkan waktu 36 hari. Perbedaan kecepatan rotasi untuk daerah dengan lintang
yang berbeda di Matahari ini dinamakan sebagai
rotasi diferensial. Adanya rotasi diferensial
diyakini menyebabkan terpuntirnya medan
magnet Matahari sehingga menjadi tidak stabil.
Ketidakstabilan medan magnet di permukaan
Matahari ini lah yang menimbulkan fenomena di
Matahari seperti sunspot, flare, dan CME.
Menjelang akhir siklus
Jumlah daerah aktif jauh
berkurang menunjukkan
minimnya aktivitas Matahari
Siklus aktivitas Matahari
Kemunculan sunspot tidak hanya berguna
dalam menentukan periode rotasi Matahari,
tapi juga untuk menentukan tingkat aktivitas
Matahari. Jika jumlah sunspot di permukaan
Matahari banyak berarti aktivitas Matahari
tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan pengamatan kemunculan sunspot selama
beratus-ratus tahun, para ilmuwan menemukan bahwa kemunculan sunspot memiliki
periode tertentu. Artinya, jumlah kemunculan
sunspot tidaklah bervariasi sembarang terhadap waktu, tetapi teratur seperti sebuah siklus. Inilah yang menjadi indikator bagi siklus
aktivitas Matahari.
Puncak siklus
Ada banyak daerah
aktif menunjukkan
tingginya aktivitas
Matahari
Awal fase menurun
menandakan awal
meningkatnya
jumlah CIR terkait
lubang korona
Lanjutkan membaca
“Dampak Aktivitas Matahari”
di halaman 9
Siklus Matahari dan cuaca antariksa
Periode satu siklus Matahari berkisar antara 9
hingga 13 tahun dengan rata-rata siklus sekitar
11 tahun. Siklus Matahari menunjukkan adanya masa awal, puncak, dan akhir siklus. Aktivitas Matahari saat awal dan akhir siklus cenderung tenang sedang saat di puncak siklus
aktivitas Matahari sangat tinggi. Biasanya, saat
puncak aktivitas Matahari banyak terjadi ledakan besar di Matahari berupa flare dan CME
sehingga keduanya sangat mempengaruhi cuaca antariksa. Namun di masa menurunnya aktivitas Matahari bahkan minimum sekalipun,
cuaca antariksa tetap perlu diwaspadai terkait
dengan CIR dan sinar kosmik yang menjadi
lebih berpengaruh. Saat ini Matahari sedang
mengalami siklus ke-24. Diperkirakan puncak
siklus terjadi pada tahun 2013.
8
Dampak Aktivitas Matahari
Selain memancarkan gelombang elektromagnetik, Matahari juga
melepaskan partikel berenergi tinggi. Aliran partikel berenergi tinggi dari
Matahari tersebar ke seluruh penjuru tata surya seperti hembusan angin
di Bumi. Aliran partikel ini disebut angin surya. Angin surya mengandung
partikel-partikel bermuatan listrik yang dapat mempengaruhi dinamika
cuaca antariksa. Angin surya dapat berhembus dengan kecepatan
yang lebih tinggi dari biasanya setelah terjadi CME atau saat terdapat lubang korona di Matahari.
Semburan radio Matahari
Perubahan jumlah dan laju partikel
yang terlontar dari Matahari menyebabkan berubahnya kondisi plasma
di atmosfer Matahari. Gangguan ini
menyebabkan dipancarkannya gelombang elektromagnetik pada rentang
panjang gelombang radio yang disebut semburan radio Matahari (solar
radio burst). Karakteristik sinyal semburan radio Matahari dapat digunakan
untuk menentukan kecepatan partikel
berenergi tinggi yang akan sampai ke
Bumi. Di LAPAN, peneliti menggunakan radiospektrograf untuk menentukan waktu kedatangan partikel berenergi tinggi ke Bumi.
Radiospektrograf
yang dioperasikan
di Tanjungsari, Sumedang.
9
Badai Matahari dan CIR
CME dan flare akan menyebabkan peningkatan intensitas dan kecepatan
angin surya serta radiasi gelombang
elektromagnetik. CME dan flare lazim
disebut badai Matahari. Badai Matahari
bisa langsung berdampak pada wahana
antariksa termasuk yang berada di ruang antarplanet (di luar magnetosfer)
melalui badai partikel (SPE) atau berdampak secara tidak langsung melalui
badai geomagnet jika CME berinteraksi
dengan magnetosfer pada kondisi yang
tepat. CIR juga bisa langsung berdampak
pada wahana antariksa melalui partikel
energetik yang ditimbulkannya dan memicu badai geomagnet. Bukan hanya
teknologi di ruang angkasa, badai geomagnet juga dapat mengganggu bahkan
merusak teknologi di permukaan Bumi.
Astronot dan penumpang pesawat yang
melintasi daerah kutub bisa terganggu
secara langsung akibat radiasi EM dan
partikel. Badai geomagnet dapat diikuti
dengan badai ionosfer.
Waspada badai Matahari
Dengan menggunakan teleskop, peneliti
LAPAN mengamati jumlah dan posisi
sunspot. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui kondisi Matahari. Data jumlah
dan posisi sunspot juga diperlukan untuk memprediksi kapan terjadinya badai
Matahari.
baca di hlm 15
Tumbukan antara partikel bermuatan
dalam angin surya dengan komponen
satelit misalnya panel surya dapat menggagalkan misi satelit tersebut
baca di hlm 28
Radiasi sinar-X dan EUV serta
lontaran partikel bermuatan
dari Matahari dapat meningkatkan kerapatan atmosfer
di orbit satelit yang dapat
menyebabkan penurunan
ketinggiannya
Gangguan sistem dan orbit wahana antariksa
Aktivitas Matahari bisa mengakibatkan anomali satelit.
Sebuah proton relativistik yang ditimbulkan oleh badai
Matahari dapat langsung merusak komponen elektronik satelit melalui mekanisme single event upset (SEU).
Elektron energetik (baik yang relativistik maupun yang
energinya lebih rendah) dapat menimbulkan pemuatan (charging) pada satelit yang jika diikuti dengan
pelepasan muatan (discharging) dapat mengakibatkan
kerusakan fatal. Gangguan cuaca antariksa juga dapat
menyebabkan penurunan ketinggian orbit satelit dan
berkurangnya akurasi prediksi orbit sehingga meningkatkan resiko tubrukan antar benda buatan.
10
Medan Magnet Bumi
Kutub Selatan Magnet Bumi
Kutub Utara Bumi
Bumi merupakan magnet raksasa yang medan magnetnya menjangkau
sampai ke luar angkasa. Magnet Bumi disebut geomagnet. Layaknya
magnet batang, geomagnet mempunyai kutub Utara-Selatan dan
garis-garis gaya magnet. Sifat geomagnet seperti perisai raksasa
bagi Bumi. Ia menahan dan membelokkan partikel-partikel
bermuatan dan angin surya yang dapat membahayakan
manusia dan teknologi yang dikembangkannya.
Konveksi
Garis gaya
magnet
Inti dalam
(padat)
Kuat medan magnet di sekitar
kutub-kutub geomagnet =
60 mikrotesla
Pembentukan geomagnet
Para ahli memperkirakan bahwa
geomagnet berasal dari proses
yang terjadi di dalam inti Bumi
yang tersusun atas besi dan nikel.
Inti Bumi tersusun atas inti dalam
yang bersifat padat dan inti luar
yang bersifat cair. Inti luar bergerak
berputar mengelilingi inti dalam,
Garis-garis gaya magnet
mengikuti gerakan rotasi Bumi. Di
Gerakan
Bumi dapat menjangkau
cairan
inti luar juga terjadi perpindahan
puluhan ribu kilometer.
berputar
panas
secara
konveksi.
Kedua
gerakan
(rotasi)
mengikuti
inilah yang membangkitkan arus listrik
rotasi Bumi
sehingga menghasilkan medan magnet
seperti efek dinamo. Proses ini berlangInti luar (cair)
sung terus-menerus dalam kurun waktu
sangat lama sehingga menghasilkan geomagnet seperti yang teramati sekarang.
Pembalikan Kutub Magnet Bumi
Arah orientasi geomagnet dapat mengalami pembalikan. Prosesnya berlangsung
selama ribuan tahun dengan ditandai terjadinya pelemahan kuat medan magnet.
Saat posisi kutub magnet utara-selatan
baru tercapai, fase pemulihan kuat medan magnet terjadi secara cepat. Peristiwa pembalikan kutub magnet sering
dihubungkan dengan isu ”kiamat” 2012.
Berdasarkan rekaman magnetik pada batuan di Bumi, telah terjadi beberapa kali
pembalikan kutub magnet dengan peri-
11
11,5 °
Kuat medan magnet di sekitar
ekuator geomagnet = 30 mikrotesla
Kutub Selatan Bumi
Kutub Utara Magnet Bumi
Kutub-kutub magnet Bumi tidak tepat berimpitan dengan kutub-kutub geografi Bumi. Kutub-kutub
magnet Bumi berselisih sekitar 11,5° dari kutub geografis dan setiap tahunnya mengalami pergeseran.
Vektor geomagnet
Medan magnet di suatu tempat di
permukaan Bumi dapat digambarkan
sebagai vektor dengan komponenkomponennya. Ada tujuh komponen
geomagnet yang merepresentasikan
arah dan besarnya.
ode sekitar jutaan tahun. Ketika peristiwa
ini terjadi, kemungkinan sistem navigasi
(penentuan posisi dan arah menggunakan kompas) akan terganggu. Pelemahan
kuat medan magnet diperkirakan hanya
sepersepuluh dari kuat medan saat ini.
Oleh karena itu, peristiwa pembalikan kutub magnet Bumi tidak akan terlalu memberikan dampak pada kehidupan di Bumi.
Karena prosesnya berlangsung sangat
lama, manusia akan mampu beradaptasi
dengan peristiwa ini.
X
Z
Keterangan:
F : intensitas total medan magnet
H : komponen horizontal medan
magnet Bumi
Z : komponen vertikal medan
magnet Bumi. Z bernilai positif
jika mengarah ke bawah
X : komponen arah utara-selatan
Bumi
Y : komponen arah timur-barat Bumi
D : sudut deklinasi komponen H dari
utara Bumi
I : sudut inklinasi vektor F terhadap
bidang horizontal. I bernilai
positif jika mengarah ke bawah
Pengukuran geomagnet
Untuk mengukur nilai mutlak dan variasi
geomagnet, kita dapat menggunakan
magnetometer landas-Bumi. Terdapat
dua macam pengukuran geomagnet,
yaitu pengukuran bergerak dan statis.
Pengukuran bergerak yang menggunakan dua magnetometer dilakukan untuk
survei-survei geofisika. Pengukuran statis dilakukan untuk menentukan variasi
medan magnet diurnal (harian) dan nondiurnal, serta menentukan nilai absolut
geomagnet. Di LAPAN, para peneliti geomagnet mengukur variasi medan magnet
diurnal dan nondiurnal. LAPAN memiliki
beberapa stasiun pengamat dirgantara
yang mengoperasikan magnetometer
untuk pengamatan variasi harian geomagnet di beberapa wilayah Indonesia.
12
Magnetosfer
IGRF
(International Geomagnetic
Reference Field)
Medan magnet Bumi menjangkau ribuan
kilometer ke antariksa. Medan magnet
ini membentuk daerah magnetik yang
menyelubungi Bumi. Daerah ini disebut magnetosfer. Bagi Bumi, magnetosfer seperti perisai yang melindunginya dari serangan partikel bermuatan akibat aktivitas Matahari.
Perisai bow shock
Ketika aliran angin surya yang memiliki kecepatan supersonik memasuki
daerah magnetosfer yang memiliki kecepatan subsonik akan terjadi gelombang
kejut berbentuk seperti perisai yang
dinamakan bow shock. Ketebalan bow
shock sekitar 100 km sampai 2 kali jari-jari
Bumi dan berjarak antara 12 hingga 20
kali jari-jari Bumi dari Bumi. Daerah di belakang bow shock yang berisi angin surya
yang sudah diperlambat, dipanaskan, dan
turbulent dinamakan magnetosheath.
Arus cincin
13
Bow shock
1
Terjadi CME. Milyaran ton plasma (gas
superpanas) berisi partikel bermuatan
dilontarkan ke antariksa
merupakan model magnetosfer
yang digunakan untuk menghitung vektor medan magnet di
permukaan Bumi hingga ketinggian tertentu. Model IGRF direvisi setiap 5 tahun sekali oleh IAGA
(International Association of
Geomagnetism and Aeronomy).
CME
2
3
Sebaran partikel-partikel ini
dapat menyebabkan gangguan
pada magnet Bumi
Dampaknya di Bumi:
1. Gangguan pada satelit
2. Gangguan pada kelistrikan
3. Gangguan pada gelombang radio
--Saat terjadi badai Matahari, magnetosfer berperan sebagai perisai Bumi--
Arus cincin (ring current)
Arus cincin yang mengelilingi Bumi pada
daerah ekuator terjadi akibat aliran partikel bermuatan dengan arah timur-barat.
Jika terjadi rekoneksi pada bagian siang
Bumi dalam waktu yang singkat, maka
arus cincin hanya akan terbentuk pada
daerah yang mengalami rekoneksi tersebut. Jika peristiwa itu berlangsung lama
maka arus cincin akan terbentuk sempurna. Akibatnya, rekoneksi arus cincin mengalami pertambahan partikel bermuatan sehingga menyebabkan penambahan
arus listrik yang akan mempengaruhi
komponen H medan magnet. Karena Dst
(disturbance storm time) dihitung berdasarkan variasi komponen H sehingga
jika terjadi perubahan komponen H yang
besar akan terlihat dari nilai Dst-nya. Penurunan nilai Dst ini mengindikasikan terjadinya badai geomagnetik.
Bagaimana bentuk magnetosfer?
Karena adanya tekanan angin surya, magnetosfer berbentuk menyerupai komet. Di bagian yang menghadap Matahari (sisi siang), magnetosfer terkompresi. Garis-garis gaya
magnetnya sekitar 10 kali jari-jari Bumi. Pada sisi malam Bumi, magnetosfer membentang hingga 100 kali jari-jari Bumi sehingga bentuknya seperti ekor komet (dinamakan
magnetotail). Magnetosfer laksana perisai Bumi yang mampu meredam terjangan radiasi berbahaya dari partikel-partikel yang dipancarkan Matahari seperti partikel alfa,
beta, dan elektron serta ion berenergi tinggi.
Sabuk radiasi Van Allen
Sabuk Van Allen terdiri atas dua buah sabuk radiasi berbentuk donat yang berisi partikel bermuatan. Proton menempati sabuk dalam sedang
elektron menempati sabuk dalam dan luar. Partikel dalam sabuk radiasi ini terperangkap mengitari garis-garis magnet Bumi di ketinggian sekitar
1000-60.000 km di atas permukaan Bumi. Sebagian sabuk dalam terletak lebih dekat dengan permukaan Bumi yang daerahnya disebut South Atlantic Anomaly (SAA). Satelit di orbit rendah yang
melintasi SAA (saat ini pusatnya di atas Samudera
Atlantik di sebelah timur Brasil), dapat mengalami
gangguan.
elektron terperangkap
dalam sabuk radiasi
bagian luar.
elektron dan proton terperangkap dalam sabuk
radiasi bagian dalam.
14
Badai Geomagnetik
Tidak semua plasma dalam angin surya mampu ditahan oleh magnetosfer. IMF yang mengarah ke selatan dapat menyatu dengan medan magnet
Bumi yang mengarah ke utara (mengalami rekoneksi) dan membuka jalan
bagi masuknya plasma dalam angin surya ke magnetosfer. Jika terjadi
dengan cukup kuat, peristiwa ini mampu melemahkan magnet Bumi
sehingga disebut badai geomagnetik. Badai geomagnetik menguatkan
terjadinya aurora dan dapat menyebabkan gangguan pada teknologi di
luar angkasa maupun di permukaan Bumi. Badai geomagnet bisa dipicu
oleh CME dan CIR namun tidak oleh flare.
Rekoneksi antara IMF (mengarah ke selatan) dan
medan magnet Bumi (mengarah ke utara)
di sisi siang memicu terjadinya badai geomagnet
Rekoneksi antara sesama medan
magnet Bumi di sisi malam memicu
terjadinya ekspansi substorm.
Geomagnetically Induced Current (GIC)
Fenomena GIC merupakan salah satu
efek dari badai geomagnetik. Ketika
terjadi badai geomagnetik besar, akan
timbul medan listrik di Bumi yang kemudian menghasilkan medan magnet
sekunder yang cukup besar sehingga
menghasilkan arus listrik induksi di
permukaan Bumi. Arus listrik induksi
inilah yang kemudian dikenal sebagai
fenomena GIC. Adanya GIC dapat berdampak negatif pada jaringan listrik,
telekomunikasi, dan jaringan pipa
bawah tanah. Trafo tegangan tinggi
pada jaringan listrik menerima beban
berlebih dari GIC yang mengakibatkan kerusakan dan gangguan pada
keseluruhan jaringan listrik. Selain
mengganggu jaringan listrik, GIC juga
menyebabkan korosi jaringan pipa
bawah tanah secara elektrokimia,
serta mempengaruhi jaringan telekomunikasi. Kejadian ini banyak diamati
di daerah-daerah lintang tinggi. Kejadian GIC pernah terjadi saat badai
geomagnetik sangat kuat pada tahun
1989, yaitu rusaknya pembangkit
tenaga listrik Quebec, Kanada.
Mungkinkah GIC terjadi di Indonesia?
Selama ini fenomena GIC baru diamati di daerah-daerah lintang tinggi
dan lintang menengah. Hal itu terjadi
karena efek dari badai magnetik lebih
mempengaruhi lintang-lintang tersebut. Akan tetapi, fenomena badai
merupakan kejadian global yang
efeknya dirasakan pada semua lintang
meskipun dengan intensitas yang berbeda. Karena itu, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya fenomena
GIC di Indonesia maka LAPAN melakukan penelitian tentang fenomena GIC
di Indonesia dengan monitoring indeks Dst.
15
Substorm
merupakan fenomena yang mencakup pengumpulan energi (hasil interaksi magnetosfer dengan angin surya) di magnetotail dan
pelepasannya di zona aurora ionosfer (yang
tampak sebagai aurora). Substorm terdiri
atas 3 fase, yaitu fase pertumbuhan, ekspansi, dan pemulihan. Pada fase pertumbuhan,
IMF yang mengarah ke selatan mengakibatkan rekoneksi dengan magnetosfer sisi siang.
Peristiwa ini menimbulkan penimbunan
energi di magnetotail sehingga akhirnya
terjadi rekoneksi di sisi malam akibat bertemunya garis-garis medan magnet yang berlawanan arah. Dari lokasi rekoneksi partikel
energetik disemburkan ke arah Bumi dan ke
arah yang berlawanan. Semburan ini adalah
tanda berlangsungnya fase ekspansi. Setelah energi substorm dilepaskan, fase pemulihan terjadi, yaitu magnetosfer kembali
ke kondisi semula secara perlahan.
Substorm fase ekspansi
16
Indeks AE
Indeks AE digunakan untuk mengukur variasi
arus di ionosfer yang ditimbulkan oleh substorm
(dinamakan elektrojet aurora) dan sebagai salah
satu cara untuk melacak tingkat aktivitas geomagnetik pada skala global. Indeks AE merupakan jumlah absolut indeks AU dan AL.
Indeks AU mengindikasikan arus elektrojet maksimum pada arah timur, sedangkan indeks AL mengindikasikan
arus elektrojet maksimum pada arah
barat.
Aurora: pertunjukan cahaya di langit
Aurora terjadi karena interaksi partikel bermuatan dari magnetosfer
dengan atom dan molekul di daerah kutub menghasilkan pendaran cahaya dalam beberapa warna di langit.
Umumnya aurora hanya terlihat di sekitar kutub. Aurora yang terjadi di sekitar
kutub utara disebut Aurora Borealis sedangkan di kutub selatan disebut Aurora
Australis. Dari Bumi, aurora hanya terlihat di malam hari dan biasanya di sekitar
bulan September-Oktober dan MaretApril setiap tahun. Dari luar angkasa, aurora bisa terlihat setiap saat. Saat badai
geomagnetik, transfer energi dari angin
surya ke magnetosfer bertambah besar.
Akibatnya, efek substorm juga meningkat
sehingga aurora bisa terlihat lebih menawan.
Aurora Borealis yang terjadi di Alaska, 9 Oktober 2007
17
Indeks Kp dan K
Keadaan geomagnet dapat diindikasikan oleh indeks Kp dan K. Indeks K
mengindikasikan aktifitas magnetosfer dalam lingkup lokal, sedangkan indeks
Kp mengindikasikan aktifitas magnetosfer global. Indeks Kp merupakan
nilai rata-rata dari indeks K pada seluruh observatorium di lintang menengah. Data indeks Kp dihitung dalam interval waktu setiap 3 jam. Kedua
indeks ini dinyatakan dalam skala 0-9. Skala 0 untuk kondisi tenang,
sedangkan skala 9 untuk kondisi magnetosfer sangat terganggu. Data
indeks K untuk lokal Indonesia dapat diakses melalui situs LAPAN di
www.dirgantara-lapan.or.id.
Indeks Dst
Indeks Dst (disturbance storm time) merupakan suatu indeks geomagnetik yang menggambarkan kuat vektor geomagnet komponen
H (arah utara-selatan geomagnet). Saat terjadi badai geomagnetik,
indikasinya adalah penurunan atau pelemahan kuat medan magnet
yang mengarah ke utara. Oleh karena itu, indeks Dst mengalami penurunan saat badai geomagnetik. Badai geomagnet kuat (Dst < -100)
dan sangat kuat (Dst < -300 nT) biasanya disebabkan oleh CME. CIR
biasanya hanya menghasilkan badai geomagnetik sedang dan lemah
(Dst > -100 nT) . Kadang didapati pula badai geomagnetik yang dipicu
oleh CME yang disertai CIR. Beda dengan CME yang waktu badai geomagnetnya iregular, badai yang dipicu CIR sifatnya periodik dengan
periode sekitar 27 hari.
Aurora dilihat dari luar angkasa
Indeks Dst ini menunjukkan bahwa selama bulan
Nopember 2012 terjadi
badai sedang pada tanggal 1 dan kuat pada tanggal 14.
Pulsa geomagnetik
Kemunculan pulsa geomagnetik berkorelasi dengan IMF, angin surya, substorm,
serta aktifitas geomagnet lainnya. Menurut IAGA, pulsa geomagnetik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu continuous pulsations (Pc) dan irregular pulsations (Pi).
Pulsa geomagnetik Pc dan Pi ini dibagi
kembali menjadi tujuh sub tipe berdasarkan rentang periodenya. Klasifikasi pulsa
geomagnetik ini dapat dilihat pada tabel
di samping.
Klasifikasi
Perioda (detik)
Pc
Pc1
Pc2
Pc3
Pc4
Pc5
0.2 – 5
5 – 10
10 – 45
45 – 150
150 – 600
Pi
Pi1
Pi2
1 – 40
40 – 150
18
Mengamati Ionosfer
Ketinggian satelit
di atas 300 km
Ionosfer
Pengamatan lapisan ionosfer selalu
berkembang. Dahulu pengamatan dilakukan dengan roket namun kini yang
umum adalah pemancaran gelombang
radio. Misalnya, penggunaan radar
ionosfer atau ionosonda. Ionosonda
memancarkan frekuensi 3 – 30 MHz
ke ionosfer. Oleh ionosfer, frekuensi
tertentu akan dipantulkan kembali ke
ionosonda. Oleh ionosonda, frekuensi
balik akan direkam.
Selain cahaya tampak, Matahari juga memancarkan sinar
ultraviolet (UV) yang semakin banyak dengan kejadian flare.
Radiasi UV inilah yang memunculkan proses fotoionisasi
(ionisasi oleh cahaya) di bagian atas atmosfer. Sinar UV akan
mengionisasi molekul-molekul di sana sehingga terbentuklah bagian atmosfer yang berisi ion-ion positif dan elektron.
Bagian atmosfer inilah yang disebut ionosfer.
Variasi harian dan lapisan ionosfer
Dalam kondisi harian, ionosfer
terpengaruh oleh rotasi Bumi.
Pada siang hari, saat pancaran
radiasi Matahari maksimum,
terbentuk empat bagian lapisan
ionosfer, yaitu lapisan F2, F1,
E, dan D yang masing-masing
berurutan dalam ketinggian.
Pada malam hari, rekombinasi,
kebalikan proses ionisasi, lebih
terjadi di lapisan bawah ionosfer (lapisan E dan D) serta
lapisan F1 bergabung dengan
F2 sehingga hanya ada satu lapisan ionosfer, yaitu lapisan F.
Variasi musiman dan variasi terhadap siklus Matahari
Tidak hanya rotasi Bumi, ionosfer
juga dipengaruhi oleh pola musiman dan siklus Matahari. Untuk
pola musiman, lapisan D, E, dan
F1 mencapai kerapatan elektron
tertinggi pada musim panas, sedangkan lapisan F2 mencapai
kerapatan elektron
tertinggi
pada musim dingin. Saat puncak
aktivitas Matahari, kerapatan
elektron semua lapisan ionosfer
meningkat. Sebaliknya, saat aktivitas Matahari menurun, kerapatan elektron semua lapisan
ionosfer menurun.
F2
F1
Aurora
Lapisan F ionosfer
(>120 atau 140 km),
pemantul gelombang
radio HF
Ionosonda
Termosfer
Lapisan E ionosfer
(90-120 atau 140 km)
Aurora
E
D
Lapisan D ionosfer
(50-90 km)
Meteor terbakar
di mesosfer
Cahaya malam
Pada malam hari, dengan tidak adanya
cahaya Matahari, ion-ion di lapisan ionosfer bagian bawah cenderung kembali
membentuk molekul netral. Elektronelektron akan menumbuk ion-ion
positif yang kemudian membentuk
molekul atau atom netral tak stabil.
Proses ini disebut rekombinasi. Sebagian energi hasil reaksi rekombinasi
dalam bentuk cahaya tampak yang
lemah (merah atau hijau). Cahaya ini
disebut airglow yang warnanya menunjukkan molekul penyusun suatu lapisan ionosfer dan ketinggiannya.
Mesosfer
Ionosfer
Lapisan D
menghilang
19
Lapisan F
saat malam
Lapisan F
bergabung
Lapisan E
hampir menghilang
Lapisan ozon
di stratosfer
Statosfer
Troposfer
Pendaran cahaya hijau
airglow menunjukkan hasil
rekombinasi atom oksigen
di lapisan D ionosfer
20
Sejarah Penelitian
Ionosfer
Ionosfer terdiri atas beberapa lapisan
Adanya lapisan pemantul gelombang radio
di atmosfer membuat para ilmuwan semakin
penasaran ingin mengetahui lebih jauh lapisan tersebut. Di antaranya adalah Edward
Appleton yang pertama kali mengembangkan ionosonda pada tahun 1924. Dari saat
itulah, diketahui adanya ionosfer. Setahun
setelah pengembangan ionosonda, Appleton
menemukan adanya lapisan pemantul yang
lain, yaitu lapisan F ionosfer.
Kendati ionosfer memang dihasilkan dari atmosfer
atas yang berinteraksi dengan sinar UV, namun penelitian adanya ionosfer bukan berawal dari penelitian tentang ionisasi molekul atmosfer oleh sinar
UV. Penelitian ionosfer diawali dengan ditemukannya teori dan perilaku gelombang elektromagnetik, serta komunikasi nirkabel dengan
gelombang radio.
Model 3-D ionosfer
secara global
Hans Christian Oersted
Atas jasanya, Marconi dianugerahi
Nobel pada tahun 1909
21
Penemuan gelombang radio
Pada tahun 1820, Hans Christian
Oersted, seorang ilmuwan Denmark,
memperlihatkan jika seutas kawat dialiri
arus listrik akan dapat menimbulkan medan
magnet. Eksperimen Oersted membuktikan medan listrik menyebabkan medan magnet. Tahun 1864, James Clerk Maxwell secara
matematis mengemukakan teori radiasi elektromagnetik dan adanya gelombang radio. 23 tahun
kemudian, fisikawan Jerman, Heinrich Hertz, membuktikan teori Maxwell. Hertz dapat mengaplikasikan
teori Maxwell bagaimana menghasilkan dan menerima
gelombang radio serta perilakunya.
Komunikasi jarak jauh
Temuan Hertz tentang gelombang radio kemudian dimanfaatkan oleh Guglielmo Marconi, seorang Italia
yang lahir 25 April 1874, untuk komunikasi tanpa kabel/
nirkabel (wireless). 12 Desember 1901, Marconi berhasil
memancarkan sinyal gelombang radio melintasi lautan
Atlantik dari Cornwall (Inggris) ke St. John’s, Newfoundland (Kanada) yang berjarak 3380 km. Dari keberhasilannya itu, Marconi membuktikan bahwa sinyal gelombang
radio mengalami pemantulan melalui atmosfer terlebih
dahulu sebelum diterima oleh penerima gelombang.
Atas jasanya, Appleton
dianugerahi Nobel pada
tahun 1947
Penemuan lapisan pemantul
Tertarik dengan apa yang dilakukan
Marconi, Oliver Heaveside dan Arthur
Kennelly melakukan penelitian lebih
lanjut tentang adanya lapisan pemantul gelombang radio di atmosfer. Tahun
1902, mereka membuktikannya. Atas
jasa mereka, lapisan ini dinamakan
lapisan Kennely-Heaviside yang dikemudian hari dikenal sebagai lapisan E
ionosfer.
Ionosfer hari ini
Penelitian tentang ionosfer saat ini sangat
penting karena lapisan ini merupakan media
perambatan bagi sinyal-sinyal komunikasi
satelit dan radio. Tidak hanya ionosonda, radar, roket, dan satelit sekarang digunakan
untuk mendukung penelitian ionosfer. Ini karena kondisinya selalu berubah atau dinamis.
Radar ionosfer seperti riometer dan incoherent scatter radar berguna mengamati absorpsi, kerapatan, suhu, dan komposisi ionosfer.
Satelit digunakan untuk mengetahui struktur
dan dinamika ionosfer. Saat ini, ionosfer pun
sudah dimodelkan dalam 3-D.
Gelombang frekuensi sangat tinggi keluar dari atmosfer
Sebelum dipantulkan
kembali, gelombang
frekuensi tinggi
melewati ionosfer
Gelombang frekuensi
rendah dipantulkan
kembali
“lo
Ionosfer
mp
ata
n”
22
Penelitian Ionosfer di Indonesia
Ionospheric Scintillation Monitor (ISM)
ISM adalah peralatan pengamatan untuk penelitian sintilasi ionosfer. Pengamatan dan penelitian efek sintilasi
ionosfer menggunakan ISM sangat bermanfaat dalam studi geodinamik, survei, pemetaan dan lain-lain.
Penelitian ionosfer dimulai LAPAN sejak tahun 1975 yang pada saat
itu masih berupa kajian. Selanjutnya, penelitian berkembang dengan
pengadaan alat pemantau ionosfer yang disebut ionosonda. Stasiun
pertama didirikan di Pameungpeuk yang mengoperasikan ionosonda
vertikal dan ionosonda drift. Selain di Pameungpeuk, saat ini ionosonda
vertikal juga telah dioperasikan di Biak, Pontianak, Menado, dan
Kototabang.
Ionosonda
Terdapat tiga jenis ionosonda yang dimiliki oleh LAPAN, yaitu IPS-51, IPS-71, dan
CADI. IPS-51 dan IPS-71 adalah ionosonda
buatan Australia, sedangkan CADI (Canadian Advanced Digital Ionosonde) buatan
Kanada. Ketiga ionosonda beroperasi selama 24 jam dengan memancarkan gelombang HF (1–22,6 MHz) setiap 15 menit.
Jangkauan pancaran gelombang kedua
ionosonda ini hingga ketinggian 90-600
km.
Radar MF (Medium Frequency)
Peralatan MF-Radar bekerja pada frekuensi 1,98 MHz ini digunakan untuk penelitian
pola aliran udara atau angin netral pada
lapisan mesosfer dan termosfer di ketinggian 60–100 Km (lapisan D dan E ionosfer)
di atas ekuator. Radar ini digunakan untuk
studi dinamika atmosfer atas.
23
CADI dioperasikan
di Pontianak (-0.03°, 109.33°)
CADI dioperasikan
di Menado (1.48°, 124.85°)
Airglow Imager
Peralatan airglow imager yang kini dioperasikan di Kototabang merupakan
hasil kerjasama LAPAN dengan University of Kyoto, Jepang untuk mengamati perilaku atmosfer atas. Alat ini
termasuk alat pengamat atmosfer atas
secara optik. Hasil dari alat ini adalah
data gelombang gravitasi yang menunjukkan adanya transfer energi di daerah atmosfer atas. Selain itu, alat ini
mengamati komposisi molekul-molekul
di ionosfer bawah dengan menangkap
cahaya-cahaya dari lapisan tersebut.
CADI dioperasikan
di Biak (-1.0°,136.0°)
ekuator
Airglow imager
dioperasikan di Kototabang (-0.3°, 100.35°)
IPS-71 dioperasikan
di Sumedang (-6.91°, 107.83°)
Radar VHF
Radar VHF LAPAN termasuk jenis
radar MST (mesosfer-stratosfertermosfer). Radar ini dapat dipakai
untuk penelitian iregularitas atau
ketidakteraturan ionosfer pada lapisan E dan F seperti fenomena Es (E
Sporadis) dan ESF (Equatorial Spread
F), serta penelitian VHF-TEP (Very
High Frequency-Trans Equatorial Propagation) di daerah ekuator.
IPS-51 dioperasikan
di Pameungpeuk (-7.65°, 107.96°)
Saat ini, peralatan pengamatan ionosfer dioperasikan di
berbagai stasiun pengamatan milik LAPAN
Sistem komunikasi radio HF
Sistem komunikasi radio HF digunakan
untuk menguji keberhasilan perambatan gelombang radio melalui ionosfer.
Ada dua hal penting yang ingin dicapai
dengan sistem komunikasi radio HF
ini, yaitu untuk menguji hasil prediksi
frekuensi dan digunakan sebagai sarana pengiriman data hasil pengamatan
peralatan yang terdapat di stasiun-stasiun LAPAN ke Pussainsa, Bandung.
TEC Meter
Total Electron Content (TEC) meter
dioperasikan untuk mengetahui karekteristik ionosfer memanfaatkan
teknologi GPS yang relatif lebih handal
daripada radiosonda atau balon. Penelitian TEC terkini sudah diaplikasikan
ke dunia penerbangan, geodesi, dan
navigasi khususnya informasi koreksi
posisi pengguna GPS.
24
Sinyal GPS
Satelit GPS yang berguna untuk
navigasi oleh peneliti ionosfer
dapat dijadikan perangkat untuk memahami ionosfer. Sinyal
gelombang radio satelit GPS akan
me-ngalami pembiasan dan perubahan intensitas ketika melewati ionosfer sebelum akhirnya
diterima oleh penerima sinyal GPS
di Bumi. Perubahan yang terjadi
pada sinyal GPS inilah yang digunakan oleh peneliti ionosfer untuk
mempelajari kondisi ionosfer.
Total Electron Content (TEC)
Perubahan yang terjadi pada sinyal GPS ketika melewati ionosfer mengandung informasi
kondisi ionosfer. Informasi tersebut adalah jumlah atau kandungan elektron yang ada di ionosfer. Kandungan elektron di ionosfer disebut
total electron content (TEC). Sinyal GPS akan
mengalami delay time dan perubahan fase saat
melalui ionosfer. Kedua hal ini dapat diketahui
dengan menggunakan TEC. Secara kuantitatif,
TEC berarti jumlah elektron dalam kolom vertikal berbentuk silinder dengan penampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal dalam lapisan
ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km. 1 TEC
Unit (TECU) sama dengan 1016 elektron/m2. Pada
umumnya TEC berkisar antara 1 sampai 200
TECU.
Luas penampang
silinder = 1 m2
satelit
1000 km
Lapisan ionosfer
profil
kerapatan
elektron
50 km
titik tembus di
lapisan ionosfer
25
Pengamat
Pengukuran elektron menggunakan TEC
Ketinggian semu lapisan ionosfer (km)
Elektron-elektron di masing-masing lapisan ionosfer memilki frekuensi
osilasi tertentu yang bergantung pada kerapatan elektronnya. Gelombang
radio yang frekuensinya sama dengan frekuensi osilasi elektron di suatu
lapisan ionosfer akan dipantulkan oleh elektron-elektron di lapisan
tersebut, sedangkan gelombang radio yang frekuensinya lebih rendah
akan diserap dan gelombang radio yang frekuensinya lebih tinggi akan
diteruskan. Sifat lapisan ionosfer inilah yang kemudian digunakan oleh
peneliti ionosfer untuk memahami karakteristiknya.
Ionogram
Ionosonda merupakan radar
ionosfer yang menggunakan
gelombang radio HF, yaitu
2–20 MHZ. Ionosonda memancarkan gelombang dengan
frekuensi pada range tersebut
secara vertikal ke atas menuju
ionosfer. Gelombang yang frekuensinya sama dengan frekuensi osilasi di suatu lapisan
ionosfer akan dipantulkan balik
ke Bumi. Oleh ionosonda, frekuensi yang terpantul dari ionosfer akan direkam menjadi jejak
frekuensi osilasi dan ketinggian
ionosfer. Jejak frekuensi osilasi dan ketinggian ionosfer ini
disebut ionogram. Dari ionogram, peneliti akan memperoleh gambaran kondisi lapisan
ionosfer.
Jejak frekuensi lapisan ionosfer di atas
ketinggian 400 km. Lapisan ini berarti
lapisan F2 ionosfer.
Jejak frekuensi lapisan ionosfer di
ketinggian 200-350 km. Lapisan ini
berarti lapisan F1 ionosfer.
Jejak frekuensi lapisan ionosfer di
ketinggian 100 km. Lapisan ini berarti
lapisan E ionosfer.
Frekuensi (MHz)
Ionogram pada siang hari
Ketinggian semu lapisan ionosfer (km)
Mengamati Ionosfer
Frekuensi tertinggi yang masih dapat dipantulkan
lapisan F2. Frekuensi ini disebut frekuensi kritis
lapisan F2 (foF2). Frekuensi gelombang radio di
atas foF2 akan diteruskan.
Memodelkan ionosfer
Berdasarkan data frekuensi tertinggi yang masih dapat dipantulkan di lapisan F2 (foF2) dan
TEC di Indonesia dan seluruh
stasiun ionosonda di dunia,
peneliti ionosfer LAPAN memodelkan ionosfer di atas Indonesia dan sekitarnya. Model ionosfer yang dikembangkan ini
berupa model nilai foF2 near-real time untuk setiap jam. Selain itu, peneliti ionosfer
LAPAN juga mengembangkan model prediksi frekuensi radio HF antara Jakarta dan ibukota seluruh provinsi di Indonesia. Model
nilai TEC Indonesia juga dikembangkan di
LAPAN. Sama dengan model foF2, model
TEC merupakan model near-real time tiap
jam. Semua model ini dapat dilihat di situs
http://www.dirgantara-lapan.or.id.
Jejak frekuensi lapisan ionosfer di atas
ketinggian 200 km. Lapisan ini berarti
lapisan F.
Frekuensi (MHz)
Ionogram pada malam hari
Lanjutkan membaca “Efek Ionosfer”
di halaman 27
26
Dampak Ketidakteraturan
Lapisan Ionosfer
Flare dan CME dengan intensitas besar jika mengarah ke Bumi
akan berdampak pada kondisi magnetosfer dan ionosfer.
Dampaknya di magnetosfer adalah badai magnetik yang diantaranya dapat merusak jaringan listrik. Di ionosfer, dampaknya
adalah perubahan atau dinamika kelistrikan dan kerapatan
elektron di sana. Akibat dari dinamika ionosfer ini adalah
gangguan sistem teknologi komunikasi dan navigasi. Fenomena inilah yang disebut efek ionosfer pada aplikasi gelombang radio.
Komunikasi radio HF
Komunikasi radio high frequency/HF
(3–30MHZ) memanfaatkan ionosfer sebagai media pemantul dalam propagasi
(perambatan) gelombangnya. Meskipun
komunikasi ini terlihat sederhana, komunikasi radio HF harus selalu ada dalam
sistem komunikasi suatu negara. Ini karena komunikasi radio HF dapat berperan dalam keadaan darurat. Komunikasi
ini tidak membutuhkan infrastruktur
27
Sinar-X dan
aliran proton
dari flare
Satelit komunikasi
dan broadcasting
Cahaya tampak hingga
ke permukaan Bumi
CME
Satelit GPS
Lapisan F
Lapisan Es
Absorbsi
gelombang HF
menyebabkan
SWF
Sintilasi
Lapisan E
Lapisan D
Delay
propagation
Interferesi
gelombang VHF
BUMI
yang mahal. Hanya perangkat radio HF,
antena, dan catu daya yang dibutuhkan
dalam komunikasi ini.
Fenomena ini disebut blackout communication atau shortwave fadeout
(SWF).
Komunikasi blackout
Saat flare super besar mengarah ke
Bumi, Matahari akan memancarkan sinar-X berintensitas sangat tinggi. Dalam
waktu sekitar 8 menit, sinar-X ini sudah
mencapai ke lapisan D ionosfer. Di lapisan ini sinar-X akan mengionisasi molekul-molekul di sana sehingga kerapatan
elektronnya meningkat dengan drastis.
Ini akan menyebabkan penyerapan (absorpsi) energi gelombang radio HF, terutama frekuensi rendah, sehingga terjadi pelemahan sinyal (fading). Bahkan,
peningkatan kerapatan elektron yang
sangat besar di lapisan D ionosfer dapat
menyerap semua rentang gelombang
radio HF. Kondisi ini akan menyebabkan terputusnya komunikasi radio HF.
Kemunculan lapisan E sporadis (Es)
Kemunculan lapisan E dapat terjadi pada malam hari, yaitu saat terjadinya hujan meteor dan perubahan
transportasi elektron. Fenomena ini
disebut E sporadis (Es). ES mempunyai kerapatan elektron yang sangat
tinggi sehingga dapat memantulkan
gelombang VHF. Oleh karena itu, kemunculan Es dapat menyebabkan
interferensi gelombang VHF untuk siaran televisi.
Badai ionosfer
Saat terjadi badai geomagnetik, partikel dan energi elektromagnetik dari
CME dan flare akan masuk ke lapisan
ionosfer Bumi tanpa terhalangi oleh
magnetosfer. Saat partikel dan energi
itu masuk ke ionosfer, akan terjadi perubahan dalam skala yang luas pada distribusi kerapatan elektron, kelistrikan,
dan TEC di lapisan F ionosfer. Fenomena ini disebut badai ionosfer. Dampak
badai ionosfer ada dua, yaitu penurunan
(badai ionosfer negatif) dan peningkatan
(badai ionosfer positif) kerapatan elektron di lapisan F2. Saat terjadi badai ionosfer negatif, terjadi kerapatan elektron
lapisan F2 turun drastis sehingga nilai
frekuensi kritis F2 (foF2) juga turun drastis. Efeknya adalah komunikasi radio HF
jarak jauh tidak dapat berjalan karena
komunikasi tersebut menggunakan frekuensi tinggi. Sebaliknya, badai ionosfer
positif bermanfaat bagi komunikasi radio frekuensi tinggi karena meningkatkan kerapatan elektron di ionosfer.
28
Error atau kesalahan GPS
Error atau kesalahan GPS Satelit GPS digunakan untuk menentukan posisi (navigasi) dan ketinggian suatu objek di Bumi
(penerima sinyal GPS). Penentuan posisi
didasari pengukuran waktu penjalaran
sinyal gelombang radio dari satelit GPS
hingga ke penerima sinyal GPS. Untuk
mengukur waktu penjalaran tersebut,
diperlukan penentu waktu yang akurat
pada penerima sinyal GPS. Selain itu, posisi dan ketinggian orbit satelit juga harus
diketahui. Kemudian, hal yang tidak
Ionosfer menyebabkan sintilasi
dan delay propagation
kalah penting adalah menentukan waktu
tunda sinyal ketika menjalar melalui atmosfer, yaitu melewati lapisan ionosfer
(mengandung partikel bermuatan) dan
lapisan troposfer (mengandung uap air).
Pemantulan beberapa kali gelombang radio saat dipermukaan Bumi (multipath)
juga menjadi faktor kesalahan saat menentukan posisi menggunakan GPS. Dari
semua faktor yang menyebabkan kesalahan navigasi GPS, ionosfer adalah yang
terbesar.
Sintilasi
Cahaya bintang tampak berkelap-kelip
disebabkan karena adanya pergerakan dan perubahan kerapatan molekul-molekul di atmosfer Bumi. Sama
halnya dengan cahaya bintang, gelombang radio satelit akan mengalami perubahan kuat sinyal dengan cepat ketika melewati ionosfer. Perubahan kuat
sinyal ini ditandai dengan perubahan amplitudo dan fase gelombang radio yang
dinamakan sintilasi. Sintilasi disebabkan oleh ketidakhomogenan kerapatan
elektron di lapisan F atau yang disebut
spread F. Untuk daerah kutub, penyebab
utama sintilasi adalah auroral particle
precipitation yang terkait dengan substorm. Sedang untuk daerah ekuator,
sintilasi dapat disebabkan oleh plasma bubble yaitu daerah berkerapatan
elektron rendah di lapisan F. Seperti
halnya substorm, plasma bubble juga
dipengaruhi oleh cuaca antariksa
sehingga ditemukan lebih banyak
plasma bubble saat puncak aktivitas
Matahari. Sintilasi yang dapat dialami oleh satelit GPS maupun satelit
telekomunikasi juga dapat diindikasikan oleh TEC.
Grafik yang menunjukkan adanya penurunan
kerapatan elektron
karena plasma bubble
Posisi dan
ketinggian orbit
satelit GPS
Troposfer membiaskan
gelombang radio GPS
Gelombang radio GPS mengalami beberapa kali pemantulan,
sebelum akhirnya diterima oleh penerima sinyal
29
--Faktor-faktor kesalahan navigasi GPS--
Sintilasi pada sinyal salah satu
satelit telekomunikasi Indonesia
di orbit geostasioner yang tampak
pada spectrum analyzer. Frekuensi
sinyal sekitar 4 GHz.
Pengamatan plasma bubble
di atas Kototabang dengan
kamera CCD airglow
Saat melewati ionosfer, gelombang radio mengalami
sintilasi yang disebabkan oleh plasma bubble
30
Cuaca Antariksa Ekstrem
Telah
Isu
mengenai
kita ketahui
kiamat
bahwa
di tahun
cuaca2012
antariksa
menjadi
berpotensi
hangat dibicarakan
merusak teknologi
saat ini.
Sebagian
dan
kesehatan
orangbahkan
menghubungkannya
keselamatan manusia.
dengan ramalan
Masalahnya
suku adalah
Maya sedan kehancuran
makin
hari kita semakin
dunia dibergantung
tahun tersebut.
padaJika
teknologi
ditinjau
yang
darikita
siklus
ciptakan
Matahari,
sendiri
sehingga
tahun gangguan
2012 memang
sekecil
merupakan
apapun pada
tahun
teknologi
mening-tersebut bisa
katnya aktivitaskecemasan.
menimbulkan
matahari. Seperti
Tapi, perlukah
pada siklus
kita sebelumnya,
cemas secara berlebihan?
pada saat tersebut akan banyak terjadi aktivitas
Belajar
dari
sejarah
matahari
yang
dapat mengganggu magnetosfer dan
Dinamika cuaca antariksa mengakibatkan efeknya senantiasa bervariasi. Umumnya
ionosfer
di Bumi.
Namun,
benarkah
itu semua
kita yang tinggal
di lintang
rendah
tidak merasakan
efek yang ditimbulkan oleh cuadapat
menyebabkan
terjadinya
kiamat?
ca
antariksa
tersebut bahkan
sejak kita
lahir. Mereka yang tinggal di lintang tinggi
Mungkinkah badai matahari
seperti di Amerika Utara dan Eropa lebih sering merasakan efek itu dalam wujud
banyak terjadi pada tahun 2012?
indahnya
Aurora
Borealis. Memang terkadang dampaknya fenomenal seperti yang
Puncak Siklus
Matahari
terjadi
pada Maret
1989 ketika
arus induksi
yang berasal dari badai geomagnet
Berdasarkan
penomoran
siklus matahari
yang
merusak
pembangkit
tenaga
listrik di
Kanada,
Amerika, dan Inggris.
berlaku saat
ini, sekarang
Matahari
sedang
berada
pada awal siklus ke-24. Menurut perhitungan, puncak
Jika
dilihat
dari indeks
badaipada
Maretsekitar
siklus
matahari
ke-24 Dst-nya,
akan terjadi
tahun
Tabel
25 badai geomagnet terbesar ber1989
adalah
yang
terbesar
sejak
1932
2012-2013. Pada saat puncak siklus matahari dasarkan
seperti itu,indeks Dst sejak 1932 hingga
dengan
nilai Dst
mencapai
-548atau
nT. flare
Namun,
kemungkinan
terjadinya
CME
sangat besar. Hanya
2002.
ternyata
badai
tersebut
bukanlah
yang
saja, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini belum
terbesar
dalam sejarah,
badai yang
terjadi
bisa memprakirakan
persisnya
kapan
terjadi CME atau flare. Hal
pada
1859hanyalah
diyakini jauh
lebih
yang September
dapat dilakukan
mengantisipasi
kemungkinan banbesar
(ada
yang
memperkirakan
Dst-nya
yaknya aktivitas matahari dalam rentang waktu yang panjang, sepmencapai
Untungnya
erti antara-1760
tahunnT).
2012
dan 2013.ketika itu
manusia belum bergantung pada teknologi
Aktivitas
seperti sekarang sehingga dampaknya
ha-Matahari Ekstrem
Catatan
kejadian mengenai aktivitas Manya merusak jaringan telegraf yang sedang
tahari menunjukkan bahwa pada beberaberkembang saat itu.
pa tahun yang lalu telah terjadi aktivitas
Matahari
Badai super seperti badai Sept 1859
yang yang sangat ekstrem. Salah satunya
terkenal dengan nama Carrington
eventadalah kejadian flare pada bulan
Oktober
sangat jarang terjadi. Sayangnya catatan hingga November 2003 yang
menghasilkan
flare terbesar dalam sejasejarah mengenai badai geomagnet
yang
rah sulit
pengamatan Matahari modern. Perikita miliki sangat terbatas sehingga
stiwa Oleh
ini diketahui berpengaruh langsung
memperkirakan periode kejadiannya.
terhadap
karena itu, tidak ada alasan untuk
kece- kondisi ionosfer, magnetosfer,
dan
beberapa teknologi landas bumi dan
masan yang berlebihan. Yang diperlukan
luartenangkasa. Namun, peristiwa flare beadalah pemahaman yang lebih baik
sarmampu
ini belum diketahui menyebabkan ketang cuaca antariksa sehingga kita
hancuran
mengantisipasi dampak negatifnya
denganplanet seperti yang dinyatakan
yang terjadi pada bulan
oleh ramalan mengenai tahun 2012.
lebihFlare
baik.
31
Oktober 2003
Lanjutkan membaca “Antisipasi
Cuaca Antariksa Ekstrem”
di halaman 33
32
Antisipasi Cuaca Antariksa Ekstrem
Untuk mengantisipasi dampak negatif cuaca antariksa,
LAPAN, khususnya Pussainsa, membangun sistem peringatan
dini bahaya cuaca antariksa ekstrem. Upaya pertama adalah pembangunan sistem pengiriman data dari setiap stasiun pengamatan
dirgantara ke peneliti-peneliti di Pussainsa secara online. Upaya
berikutnya pembangunan ruang monitoring cuaca antariksa untuk
menampilkan kondisi Matahari, ruang antarplanet, magnetosfer, dan ionosfer secara real-time. Selanjutnya, LAPAN
menyebarkan informasi kondisi cuaca antariksa ke pihak-pihak
yang membutuhkan informasi ini.
Waspada badai Matahari
Melalui pengoperasian instrumen optik seperti teleskop,
LAPAN memantau secara kontinu aktivitas Matahari. LAPAN
juga mengoperasikan pengamatan antariksa secara radio
seperti spektrograf tipe SN4000
untuk memantau perubahan
spektrum yang dihasilkan oleh
aktivitas Matahari. Perubahan
spektrum ini bermanfaat untuk
mengetahui ledakan-ledakan
yang terjadi di Matahari melalui gelombang radio yang dipancarkan mengarah ke Bumi.
Dengan demikian, semua peristiwa di Matahari yang berpotensi memberikan dampak
negatif pada aktivitas manusia
dapat segera diketahui.
33
Waspada badai geomagnetik
Secara real-time, data geomagnet dari setiap stasiun pengamataan dikirim ke Pussainsa
di Bandung. Selanjutnya, data
tersebut diolah menjadi data variasi harian geomagnet, indeks
K, pulsa geomagnetik (Pc3, Pc4,
dan Pc5), dan polarisasi. Hasil
pe-ngolahan indeks K, Pc3, dan
Pc5 dijadikan informasi untuk
mengetahui aktivitas geomagnet lokal dan global akibat cuaca
antariksa. Pemantauan indeks Dst
secara real-time juga dilakukan
oleh LAPAN. Selain itu, peneliti
geomagnet LAPAN mengembangkan sistem Deteksi Otomatis SC
Badai Geomagnetik untuk mendeteksi badai geomagnetik.
Pemantauan satelit
Saat ini, Indonesia memiliki satelit orbit rendah yang digunakan untuk pemantauan wilayah dan satelit orbit
tinggi untuk komunikasi. Semua satelit
ini memiliki potensi mengalami kerusakan pada saat terjadi cuaca antariksa
ekstrem. Mengantisipasi hal itu, LAPAN
mengembangkan alat pemantau lintasan satelit dan perangkat lunak
untuk menganalisis cuaca antariksa
yang berdampak mengganggu sistem
teknologi satelit.
Monitor
kondisi awan
Pengamatan ionosfer secara real-time
Ionosfer yang sangat berpengaruh pada
penjalaran gelombang radio juga tidak
luput dari pengamatan secara online
oleh LAPAN. Ionogram merekam keadaan ionosfer setiap 15 menit dan
hasilnya dikirim secara real-time dari
setiap stasiun pengamatan ke Pussainsa Bandung untuk mengetahui kondisi
ionosfer setiap saat. Peneliti ionosfer
LAPAN juga mengembangkan model
ionosfer berupa peta TEC dan foF2 secara near real-time.
Monitor
kondisi ionosfer
Monitor
kondisi geomagnet
Monitor
kondisi Matahari
dan orbit satelit
Ruang monitoring cuaca antariksa Pussainsa LAPAN
34
Layanan evaluasi kanal real-time
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Pussainsa telah menyiapkan paket program pelayanan yang dapat digunakan
untuk melakukan evaluasi kanal real
time (EKRT) untuk komunikasi radio.
Perangkat ini akan terus dikembangkan, sejalan dengan perkembangan
hasil penelitian di bidang.
35
EKRT dapat digunakan sebagai panduan dalam berkomunikasi radio berbasiskan informasi dari data terintegrasi meliputi kondisi matahari, model
prediksi, model regional, dan sistem
Automatic Link Establishment (ALE).
36
Jaringan Pengamatan Dirgantara
Pussainsa
Pusat
SainsLAPAN
Antariksa
Pusat Sains Antariksa LAPAN, mempunyai lebih dari 30 instrumentasi
Pusat Sains Antariksa LAPAN, mempunyai lebih dari 30 instrumentasi
penelitian di 8 lokasi pengamatan di Indonesia. Meliputi instrumentasi
penelitian di 8 lokasi pengamatan di Indonesia. Meliputi instrumentasi
untuk Bidang Matahari dan Antariksa seperti radio spectrograph dan
untuk Bidang Matahari dan Antariksa seperti radio spectrograph dan
teleskop optik di Tanjungsari dan Watukosek, instrumentasi untuk
teleskop optik di Tanjungsari dan Watukosek, instrumentasi untuk
37
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi seperti GPS – GISTM di semua
lokasi pengamatan dan Ionosonda di 7 lokasi, dan instrumentasi untuk Bidang Geomagnet Antariksa seperti magnetometer yang terpasang di 6 lokasi pengamatan.
38
Jaringan Transfer Data Pengamatan
Pusat Sains Antariksa
Setiap lokasi pengamatan dilengkapi dengan jaringan VPN (Virtual Private Network) berbasis komunikasi via satelit yang bekerjasama dengan PT. Lintasarta. Jaringan transfer data ini menghubungkan tiap instrument yang tersebar di daerah
ke pusat data di Bandung. Secara berkala VPN Client mengirimkan data pengamatan dari instrumentasi ke Server di Bandung. Data hasil pengamatan kemudian
ditampung dan dikelola dalam Database Server (dapat diakses melalui alamat web
http://foss.dirgantara-lapan.or.id). WEB Server kemudian menyebarkan informasi
39
hasil litbang Pusat Sains Antariksa ke internet melalui dua layanan portal yang
dapat diakses pada http://www.dirgantara-lapan.or.id dan http://swm.dirgantara-lapan.or.id. Alamat yang terakhir merupakan layanan monitoring cuaca
antariksa yang dibangun dan dikelola untuk memberikan informasi terkini cuaca
antariksa yang berguna bagi masyarakat dalam mengantisipasi dampak gangguan cuaca antariksa.
40
Layanan Portal
Pusat Sains Antariksa
Pussainsa memiliki tiga buah portal untuk layanan penelitian. http://www.dirgantara-lapan.or.id merupakan portal layanan informasi yang memuat layanan informasi aktifitas Matahari dan kemagnetan Bumi serta prediksi frekuensi komunikasi. http://swm.dirgantara-lapan.or.id merupakan layanan portal yang memuat
informasi monitoring cuaca antariksa yang selalu menampilkan info terkini ten-
tang keadaan cuaca antariksa dan prediksi gangguan yang mungkin akan timbul.
http://foss.dirgantara-lapan.or.id merupakan portal yang berisi akses kepada
data hasil pengamatan yang sifatnya terbatas dan ditujukan sebagai layanan kepada para peneliti untuk mendapatkan dan bertukar data penelitian.
http://www.dirgantara-lapan.or.id
http://swm.dirgantara-lapan.or.id
41
http://foss.dirgantara-lapan.or.id
42
Penutup
Fenomena cuaca antariksa sangat menarik dan penting untuk dipahami.
Alam sejak awal telah menghadirkan berbagai fenomena yang menantang
manusia untuk mengembangkan kapasitasnya lebih jauh lagi. Tiga fenomena yakni aurora, sunspot (bintik Matahari), dan pergeseran jarum kompas awalnya tidak diketahui keterkaitannya satu sama lain. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan pengetahuan dan teknologi, akhirnya kita mengetahui bahwa aurora dan pergeseran jarum kompas sama-sama terkait
dengan badai geomagnet yang terjadi karena adanya semburan plasma
dari Matahari yang berinteraksi dengan magnetosfer Bumi. Bintik Matahari
sendiri adalah indikator aktivitas Matahari. Semakin banyak dan kompleks
bintik Matahari-nya maka semakin kuat semburan plasma yang mampu
dilontarkan Matahari. Semakin kuat pula penampakan aurora dan pergeseran jarum kompas yang mungkin terjadi.
Manusia telah lama bergaul dengan alam dan mengenal sedikit banyak tabiatnya. Pada dasarnya kita tinggal di Bumi yang nyaman. Jauh lebih sering kita
mendapati Bumi dalam keadaannya yang menyenangkan dibanding dalam
keadaan “murka” dengan gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan sebagainya. Dan, ketika manusia dengan teknologi ruang angkasanya “menjauh”
dari Bumi (dengan berbagai alasan), kita pun semakin mengenal alam ini.
Semburan plasma (yang berisi partikel energetik) dan radiasi elektromagnetik mengisi ruang antarplanet dan dapat membahayakan misi luar angkasa dan astronotnya. Selain itu, semburan plasma yang kita kenal dengan
CME (dan CIR) bisa juga mengakibatkan badai geomagnet yang bukan hanya
dapat merusak teknologi di luar angkasa tapi juga di permukaan Bumi. Selanjutnya, badai geomagnet bisa mengakibatkan badai ionosfer yang mengganggu sinyal telekomunikasi.
Badai Matahari laksana bencana alam lainnya yang kadang kita temui di
Bumi. Kebanyakan diantaranya berukuran kecil sehingga umumnya tidak
berdampak apa-apa. Frekuensi bencana alam yang super besar sangat kecil. Beda cuaca antariksa dengan bencana alam lainnya adalah pengaruh
langsung cuaca antariksa lebih ke teknologi. Badai Matahari, yang kita kenal, yang paling dahsyat sekalipun (seperti Carrington event) tidak mengaki43
batkan rumah-rumah dan gedung-gedung hancur, mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana tapi yang dipengaruhinya adalah teknologi modern
yang mungkin kita gunakan sehari-hari. Jaringan listrik dan telekomunikasi
(via telepon maupun internet) adalah dua contoh teknologi yang banyak
digunakan secara langsung oleh masyarakat dan rawan gangguan cuaca
antariksa (selain itu teknologi navigasi berbasis satelit juga semakin populer). Masalahnya adalah semakin hari kita semakin bergantung pada
teknologi-teknologi tersebut sehingga kerusakannya sedikit banyak akan
berdampak secara ekonomi dan sosial.
Potensi bencana akibat cuaca antariksa tidak perlu menghadirkan kecemasan yang berlebihan. Pertama, badai Matahari atau ledakan Matahari
tidak menghancurkan seluruh Matahari karena hanya berupa ledakan di
lokasi tertentu yang relatif kecil di Matahari. Kedua, tidak seorang pun tahu
kapan badai Matahari super besar akan terjadi sehingga tidak ada alasan
untuk mengkhawatirkan tanggal atau periode waktu tertentu. Yang dibutuhkan adalah pemahaman yang lebih baik tentang cuaca antariksa dengan memantaunya secara rutin dan mempersiapkan teknologi cadangan
(khususnya terkait komunikasi yang sangat penting dalam keadaan darurat) yang tidak bergantung pada satelit dan ketersediaan listrik. Bagi yang
tinggal di lintang rendah, resiko akibat cuaca antarika memang lebih kecil
dibanding bagi mereka di lintang tinggi namun masalah yang timbul di lintang tinggi akan mengimbas ke lintang rendah karena faktor globalisasi.
Pemantauan cuaca antariksa perlu dilakukan sepanjang waktu sebab resiko
bukan hanya di puncak aktivitas Matahari. Lubang korona dan sinar kosmik
yang turut mempengaruhi cuaca antariksa cenderung lebih kuat setelah
puncak dan di masa minimum aktivitas Matahari.
Alam pada dasarnya diciptakan untuk manusia. Di alam itu manusia hidup
dan beraktivitas dan dengan memahami berbagai fenomena alam termasuk cuaca antariksa manusia telah belajar banyak hal sehingga mampu
meningkatkan kemaslahatan hidupnya. Sungguh beruntung seseorang
yang dengan pemahamannya tentang alam menjadikan dia lebih bijak dan
semakin mengenal penciptanya.
44
Daftar Pustaka
Berman, L. & J.C. Evans. 1983. Exploring the Cosmos. USA: Little Brown and Company.
Davies, Ken. 1965. Ionospheric Radio Propagation. Washington DC: US Government Printing
Office.
Goodman, J. M. 2005. Space Weather and Telecommunications. New York: Springer
Science+Business Media, Inc..
IPS Radio and Space Services Australia. Introduction to HF Radio Propagation. http://www.ips.
gov.au, download 25 Feburari 2003.
Jacobs, J. A. ,et al. 1964. Classification of Geomagnetic Micropulsations. J. Geophys. Res. 69,
180–181.
Kennel, C.F. 1995. Convection and Substorm. New York: Oxford University Press.
Maltsev, Y. P. 2003. The Point of Controversy in Magnetic Storm Study (Review). Physics of Auroral
Phenomena. Proc. XXVI Annual Seminar, Apatity, pp. 33-40.
Menvielle, M. 1998. Derivation and Dissemination of Geomagnetic Indices. Revista Geofisica, 48,
51-66.
Muslim, B., dkk. 2007. Model Sederhana Ionosfer Lintang Rendah Indonesia untuk Parameter foF2
(MSILRI versi 2002). Publikasi Ilmiah LAPAN tentang Pengembangan Model Ionosfer Regional
Indonesia. Jakarta: LAPAN.
Suhartini, S. 2007. Lapisan Ionosfer dan Perambatan Gelombang Radio HF. Publikasi Ilmiah LAPAN tentang Lapisan Ionosfer, Manajemen Frekuensi, dan Teknis Komunikasi Radio. Jakarta:
LAPAN.
Viljanen, A., A. Pilkkinen & R. Pirjola. 2002. General Mechanism of Geomagnetically Induced Currents in Power Systems and Pipelines. Proceedings GA02, p0427, URSI.
Yumoto, K. 2006. Studies on Geomagnetic Field and the Relationship with The Sun, Solar Physics
Seminar 2006, Natl.Obs. Malaysia: National Space Agency.
Sumber gambar:
Cuaca Antariksa: www.clfloyddesign.com, hesperia.gsfc.nasa.gov, science.nasa.gov
Karakteristik Matahari: www.adlerplanetarium.org, www.ias.u-psud.fr, crab0.astr.nthu.edu.tw
Aktivitas Matahari: www.astronomycast.com, 1.bp.blogspot.com, blog.nj.com, folk.uio.no,
astronomy.neatherd.org, www.space.com
Siklus Matahari: apod.nasa.gov, www.sflorg.com, www.nascom.nasa.gov, soho.nascom.nasa.
gov/gallery
Dampak Aktivitas Matahari: www.dii.unisti.it, govcentral.monster.com, Bidang Matsa Pusfatsainsa LAPAN
Medan Magnet Bumi: focus.aps.org, http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/03/
dynamo, http://anshsmagnetism.files.wordpress.com/2009/01/earth-magfield
Magnetosfer: www.dmi.dk, www.ngdc.noaa.gov, mm04.nasaimages.org
Badai Geomagnetik: nasa-mm04.us.archive.org, www.astrosurf.com, http://svs.gsfc.nasa.gov/
vis/a010000/a010100/a010104/Substorms3_web, www.kva-engineering.com, www.latrobe.
edu.au, images.astronet.ru
Ionosfer: www.rish.kyoto-u.ac.jp, www.windows.ucar.edu, www.iihr.uiowa.edu
Penelitian Ionosfer: woodenspears.com, homepages.tesco.net, phys.bspu.unibel.by, www.
gearthblog.com, radiojove.gsfc.nasa.gov
Penelitian atmosfer di Indonesia: mediaphotobucket.com
Mengamati Ionosfer: www.gisdevelopment.net
Efek Ionosfer: www.dnva.no, www.astrosurf.com, people.bath.ac.uk
Antisipasi Cuaca Antariksa Ekstrem: govcentral.monster.com, Pussainsa LAPAN
45