Academia.eduAcademia.edu

Korupsi Politik

Oleh : HENDRA KASIM, S.H. Direktur Lab. Konstitusi (LaKon) FH -UMMU Kita akan bersepakat jika praktek korup di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang "nomena" melainkan "fenomena". Fakta praktek korup yang tiap harinya dipertontonkan media massa membuktikan adanya upaya menjarah uang rakyat secara massif. Korupsi yang awalnya hanya didefenisikan sebagai penggunaan kas negara (baca uang rakyat) yang tidak sesuai untuk peruntukannya (untuk kepentingan pribadi dan kelompok), kini dipahami beragam. Praktek suap, pencucian uang, hingga gratifikasi sex, juga didefenisikan sebagai praktek korup.

Korupsi Politik Oleh : HENDRA KASIM, S.H. Direktur Lab. Konstitusi (LaKon) FH – UMMU Kita akan bersepakat jika praktek korup di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang ‘nomena’ melainkan ‘fenomena’. Fakta praktek korup yang tiap harinya dipertontonkan media massa membuktikan adanya upaya menjarah uang rakyat secara massif. Korupsi yang awalnya hanya didefenisikan sebagai penggunaan kas negara (baca uang rakyat) yang tidak sesuai untuk peruntukannya (untuk kepentingan pribadi dan kelompok), kini dipahami beragam. Praktek suap, pencucian uang, hingga gratifikasi sex, juga didefenisikan sebagai praktek korup. Membuka kembali lembaran sejarah, praktek korup sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 1600-an sebelum masehi, praktek ini sesungguhnya telah ada. Pada massa itu, Raja Hammurabi di Babylonia telah mengkodifikasikan ketentuan hukum yang melarang suap atau bribery, termasuk bribery yang menyangkut dishosnest building contractor. (West, Willis Mason, Ancient Worls : 1913) Memperhatikan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh Raja Hammurabi itu, dengan menggunakan teori hukum alam dapatlah kita pahami jika telah ada praktek korup sejak saat itu. Dalam aturan hukum tersebut, terdapat semangat yang bertujuan untuk mempertahankan dan membangun masyarakat yang adil dan berperadaban. Larangan menerima suap yang dikodifikasi Raja Babylonia itu menunjukkan secara tegas wajah hukum yang menolak praktek korup yang merugikan negara dan dimensi sosial. Menarik sejarah keatas dataran kepulauan Nusantara, dapatlah kita menemukan praktek korup sejak Massa Majapahit. Yang pada saat itu, kebiasaan memberikan ‘upeti’ kepada Raja merupakan bentuk suap yang mengakar hingga saat ini. Akibatnya, lahirlah kerajaan Mataram yang kini menjadi Hadiningrat Ngayogyakarto, Solo dan kerajaan-kerajaan lainnya akibat dari runtuhnya Majapahit. Dizaman modern ini, praktek korup telah mengalami inovasi yang sangat luar biasa dan ‘patut mendapatkan apresiasi’. Korupsi tidak hanya dilakukan secara langsung kepada materi (baca uang) yang akan dikorup, tetapi ada juga model korupsi baru yakni korupsi politik. Tentang korupsi politik, Encyclopedia Americana menjelaskan “political corruption concern the ilegas pusuit or missuse of publice office. Electoral corruption includes purchase of votes with money, promises of office or special favors, caertion, intimidation and interference with freedom of election”. Artidjo Alkostar dalam desertasinya menjelaskan maksud dari Encyclopedia Americana tersebut adalah konsep ini menerangkan adanya pemisahan antara korupsi politik dan korupsi electoral. Dimana korupsi politik memberi perhatian kepada pencaharian yang tidak sah atau penyalahgunaan jabatan pemerintahan, sedangkan electoral korupsi atau korupsi pemilihan umum (pemilu) meliputi pembelian suara pemilh dengan uang, menjanjikan jabatan atau kemudahan fasilitas, hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur tangan pada pemilihan umum yang bebas. Kendatipun ada nuansa perbedaan antara korupsi politik dan korupsi pemilihan umum, namun ada dampak yang sama dari akibat yang ditimbulkannya yaitu dampak politis. Leadaan politik yang bermasalah inilah yang merupakan salah satu elemen dari korupsi politik. Lebih dati itu, jabatan pemerintah terutama pada tingkat tinggi (Presiden dan Menteri) maupun pemilihan umum terkait dengan instrument dalam suatu negara modern. Dalam negara modern yang memiliki fasilitas politik berupa pemilihan umum dalam proses pemilihan wakil rakyat dan/atau pemilihan kepala pemerintahan. (Artijo Alkotsar : 2008). Selain korupsi politik, menurut penulis ada juga korupsi ideologi. Yang dimaksud dengan model korupsi ini adalah upaya sistematis kelompok ideologi untuk mendapatkan apa yang ingin dicapai. Misalnya, bagaimana langkah partai politik (parpol) sebagai komunitas ideologis dalam mencapai kepentingan materi dengan model pemberian dukungan kepada kandidat kepala pemerintahan yang tidak berlandaskan pada kesamaan visi misi dengan platform partai melainkan dengan alasan popularitas ataupun iming-iming pembagian jata kekuasaan. Atau juga bagaimana parpol mengusung para calon anggota legislatif (caleg) dengan tidak mempertimbangkan kualitas melainkan pertimbangan popularitas ataupun kekuatan materi. Baik korupsi electoral, korupsi ideologi dan korupsi politik terjadi sejak penyelenggaran pemilu. Pemilu yang memberikan ruang kepada parpol sebagai salah satu syarat untuk berpartisipasi dalam agenda demokrasi itu (terdapat juga jalur independent untuk kepala daerah), menempatkan parpol pada posisi yang sangat strategis. Disinilah, kemudian parpol mulai memainkan peran pragmatis dengan mereka yang berkeinginan terlibat langsung sebagai peserta dalam kontes demokrasi. Pada tahap ini, parpol membangun bargaining posisi dengan gaya-gaya kaum borjuis yang haus akan gemilangan materi. Setelah penyelenggaraan pemilu sampai pada tahap sosialiasi kandidat (baca kampanye), korupsi electoral dapat dipastikan akan dilakukan. Akhirnya, korupsi politik dapat dipastikan akan dipraktekkan saat penyelenggaraan pemerintahan. Biaya politik yang besar, menyebabkan tidak sedikit para penguasa membangun hubungan dengan pengusaha. Penguasa dengan kekuasaanya, baik secara legal maupun illegal akan mengeluarkan kebijaksaan yang korup. Selain itu, untuk mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan, penguasa menjalankan pemerintahan dengan logika cost ratio. Kondisi ini sering kali menyebabkan penguasa bertindak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan material dan politis. Dapat bersifat ilegal maupun tidak maupun terjadi karena adanya kekuasaan untuk mengeluarkan kebijaksanaan. Misalnya, menerima uang dari kontraktor yang baru saja memenangkan tender proyek pemerintah. Kebiasaan memberikan upeti kepada penguasa oleh para kontraktor tentunya berdampak pada proses pembangunan yang tidak berjalan baik. Kontraktor sebagai pengusaha tentunya menginginkan keuntungan dalam setiap usahanya. Akhirnya, proyek berjalan asal-asalan, selain itu sering kali terjadi penyalahgunaan anggaran proyek. Bahaya laten korupsi politik jauh lebih mematikan daripada bentuk korupsi yang lain. Hal tersebut diakibatkan karena korupsi politik merusak sistem. Disamping itu, sistem adalah jantung dari penyelenggaraan birokrasi. Jika birokrasi mengidap penyakit jantung, tentunya birokrasi tersebut akan berjalan pincang, bahkan terancam kematian setiap saat. Korupsi politik telah, sedang dan akan terjadi dalam negara yang berada dalam kekuasaan dictator maupun negara yang berpredikat demokrasi. Setidaknya, kesaksian sejarah menunjukkan betapa akibat dari penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi politik itu mempunyai akibat dahsyat bagi rakyat banyak dalam berbagai aspes kehidupannya. Dalam dimensi ekonomi misalnya, para pengusaha kecil akan sulit bersaing dengan pengusaha yang memiliki modal besar serta mendapat dukungan dari pemerintah akibat perselingkuhan yang dibangun. Dengan mudah, para pengusaha dengan modal besar dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi yang diamini oleh pemerintah dengan membuat produk hukum yang ortodoks. Praktek-praktek seperti demikian berimplikasi pada kredibilitas pemerintah yang menurun baik secara regional, nasional maupun internasional yang merugikan kehidupan dan penghidupan rakyat. Kehidupan rakyat menjadi terkurangi energinya untuk tumbuh menjadi lebih baik, karena biaya politik meningkat. Juga karena korupsi menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan investtasi penanaman modal terkendala, maka rakyat menderita karena hak kolektif untuk meningkatkan taraf hidup terhambat. Olehnya itu, dalam penyelenggaraan pemilu rakyat harus berhati-hati dengan gejala calon kepala pemerintahan ataupun calon anggota legislatif yang cara sosialisasinya mengandung unsur-unsur korupsi electoral dan korupsi ideologis, karena kedua bentuk korupsi ini memicu terjadi korupsi politik saat pemerintahan berlangsung. Wallahualam…-