Dika Pranadwipa K.Rangkuman Kerangka Karangan dalam buku Ilmu Dalam Perpektif.
KAIDAH ILMU YANG MASUK AKAL(SUATU DONGENG TENTANG PASANG)
Dalam suatu cerita bahwa ada seorang pertapa yang tinggal disebuah pantai yangsangat tekun mengamati pasang naik dan pasang surut air laut. Dengan kesabarannya, si pertapa mencatat jangka waktu yang digunakan dua pasang naik dan pasang surut.Kesimpulan yang dapat dia tarik dari pengamatannya adalah jangka waktu yang diperlukandua pasang air laut adalah 12 jam 26 menit. Peristiwa air surut dan air pasang terjadi secara bervariasi dan sistematis dalam waktu 14 hari. Ia ingin mempelajari apakah di bagian bumilain terjadi siklus yang serupa. Maka ia mulai mengembara untuk memulai pencariannya.Pada waktu yang bersamaan, petapa lainnya yang tinggal di sebuah gurun, yang belum pernah melihat laut, sedang melakukan pemikiran mendalam terhadap gaya tarik bumi dan bulan. Ia menyimpulkan bahwa ketika bumi dan bulan melakukan gaya tarik-menarik, maka bulan menghasilkan sistem gaya tarik yang yang mengakibatkan permukaan bumi yang dekat dengan bulan akan naik. Perputaran akan menyebabkankenaikan berlangsung dua kali dalam sehari atau dalam tiap 12 jam 26 menit. Kemudiandia menganalisa bahwa andaikan ada bagian bumi ini terendam oleh air, maka kekuatandeformasi ini akan menyebabkan air tersebut naik turun tiap 12 jam 26 menit denganvariasi tiap 14 hari dan perbedaan yang bergantian tiap 28 hari. Ia pun memulai perjalanan,mencari tempat di bumi yang terendam banyak air.
Pengamatan, Penemuan Dan Deduksi
Di persinggahan, bertemulah pertapa pertama dengan seorang penemu hipotesis,teori dan penjelasan. Lalu pertapa tersebut menceritakan semua pengamatannya tentang
pasang surut air laut dan bertanya kepada sang penemu, “Apakah menurut anda yang
menyebabkan pasang
surut air laut?”. Si penemu menjawab mungkin pasang surut air laut
tersebut terjadi karena bumi bernafas ataupun mungkin lebih lagi disebabkan oleh bulan.Saat perbincangan tersebut berlangsung, datanglah petapa kedua yang belum pernah melihat laut mencoba ikut berdiskusi. Ia kemudian menjelaskan pemikirannyatentang terjadinya naik turun air laut. Pertama-tama bulan menyebabkan pasangdisebabkan oleh daya tariknya. Karena bumi berputar pada porosnya maka tiap titikdipermukaan bumi cenderung untuk naik dua kali dalam sehari. Dan bukan itu saja, pengaruh matahari akan menyebabkan pasang itu menjadi lebih kuat setiap 14 hari dan perbedaan yang bergiliran tiap 28 hari. Mendengar penjelasan tersebut petapa pertama
heran dan berkata “bagaimana bisa seorang yang belum pernah melihat laut, tapi mampumenguraikan hasil pengamatan dan pemikirannya sejauh itu.”
Pengujian
Pada tahap ini hasil dari buah pemikiran ketiga orang dalam dongeng dipersatukanoleh penonton. Penonton tersebut mengatakan bahwa hasil pengamatan dari kedua petapadan teori, hipotesis dan penjelasan dari penemu memiliki hubungan yang sangat erat dansaling berkaitan. Penjelasan yang masuk akal dan tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya dan didukung dengan fakta-fakta yang nyata.Oleh karena itu, untuk memastikan kebenaran dari semua yang diturunkan oleh hipotesistersebut, maka untuk menarik kesimpulan yang mempunyai dasar yang kuat, maka pengujian secara empiris terhadap beberapa pantai, yang mungkin memakan waktu 20sampai 30 tahun.
Empat Kaidah Prosedur Ilmu
Dongeng diatas bukanlah penggambaran empat individu yang terpisah, melainkanmerupakan cerminan tahap-tahap yang dilakukan dalam memperoleh ilmu pengetahuan.Tahap-tahap tersebut adalah pengamatan (pertapa pertama), proses pemikiran (petapakedua), merumuskan hipotesis (penemu) dan penarikan kesimpulan dari hipotesis yangdiajukan. Sikap ketidakberpihakan juga diperlukan, yang ditunjukkan oleh penonton, untukmenentukan hipotesis mana yang yang dapat menjelaskan dengan benar. Empat kaida
moral ini memberikan penjelasan bahwa proses pencarian ilmu didasarkan pada penggunaan rasio (akal) dan pengalaman. Pemikiran semata belum mampu memenuhikesempurnaan kebenaran pengetahuan. Akal harus didukung oleh pengalaman yang berperan dalam menemukan kejadian-kejadian yang empiris di lapangan. Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris akan menghasilkan pengetahuan yang konsisten,sistematis, dapat diandalkan, dan mempunyai dasar yang kuat.Pelajaran moral dalam dongeng pasang surut air laut adalah pertapa yang sebagai pengamat, penemu yang sebagai pemikir, dan penarikan hipotesis yang menggunakankekuatan pengamatan fakta-fakta alam dan kecerdasannya untuk mengajukan berbagaihipotesis yang mungkin untuk menjelaskan fakta-fakta tersebut. Kemudian denganmenggunakan logika dalam berpikir untuk melakukan deduksi (penarikan kesimpulan) darisetiap hipotesis. Karakteristik yang lain adalah pembawaan yang tidak berpihak, untukmenentukan hipotesis mana yang dapat menjelaskan fakta
–
fakta tersebut.
Ketidaksempurnaan Ilmu
Percobaan-percobaan yang dilakukan manusia sebenarnya merupakan
trial
and
error
. Dalam melakukan percobaan-percobaan dan kadang kala peneliti melakukankesalahan. Kesalahan tersebut dapat berupa generalisasi yang kurang akurat karena pengamatan yang masih terbatas, maupun menerima kesimpulan yang belum terujisempurna. Dapat pula kekeliruan terjadi karena keengganan untuk merubah kesimpulanyang telah kita terima sebelumnya.Kesimpulan pengetahuan hasil cipta manusia sifatnya tidak permanen. Banyakkemungkinan-kemungkinan yang dapat menggugurkan hasil temuan tersebut dengantemuan-temuan terbaru. Dari kesalahan-kesalahan ini akan terciptanya berbagai pengalaman-pengalaman sebagai upaya untuk memperbaiki setiap kesalahan yang ada.Dan sebenarnya kesempurnaan itu terdapat pada kemampuan untuk mencapai suatu yang baru dan lebih bermakna dalam rangka menggugurkan suatu pendapat yang sebelumnya
Kita sangat menghargai
Hakekat Berteori
Kita menyadari bahwa banyak sekali fakta-fakta alam yang tak dapat diamatisecara langsung, baik karena gejala itu tak dapat kita tangkap oleh indra atau karenadimensinya sangat kecil, maupun karena hal itu sudah lama terjadi dan takkan berulanglagi. Untuk itu, teori merupakan jawaban untuk menyusun dan menjawab keraguan akan pengetahuan yang akan dicari.Hubungan antara fakta dan teori dan antara teori dan ilmu merupakan kaitan yangerat menurut keteraturan suatu sistem. Penemuan hipotesis bukan saja sesuatu yang tidaklengkap namun juga tanpa jaminan bahwa hipotesis itu benar. Oleh sebab itu, setelah berbagai hipotesis ditemukan, maka langkah selanjutnya menentukan mana dari hipotesis-hipotesis tersebut yang benar dan menyatakan bahwa fakta-fakta yang tidak tertangkapoleh indra tersebut memang benar-benar ada. Hal ini dilaksanakan dalam dongeng tentang pasang, yaitu mendeduksikan secara mental semua konsekuensi logis dari masing-masinghipotesis dan kemudian mencocokannya dengan fakta-fakta yang relevan.
Kepercayaan dalam ilmu
Kepercayaan merupakan faktor yang penting dalam usaha-usaha yang beranimenyelidiki fakta yang tertangkap dalam indra. Dalam bidang bukan ilmu, kepercayaan itu bersifat ganjil, fantasi, tidak bertanggung jawab dan tidak koheren, sedangkan dalam bidang ilmu ia teratur, terkontrol, rasional dan koheren. Dongeng tentang pasangmenyangkut kepercayaan terhadap kekuatan gravitasi yang menyebabkan dua benda bulandan bumi berada dalam situasi tarik menarik. Seandainya kepercayaan tersebut tidak ada pada diri peneliti tersebut, maka tidak akan mungkin terjadi pengkajian dan penalaahanlebih lanjut tentang kebenaran ilmu. Kepercayaan inilah yang akan memperkuat dalil bahwa sesuatu yang kelihatan tidak masuk akal akan dibuktikan menjadi pengetahuan yangluar biasa dan siap dipakai oleh dunia. Medan magnet dan sinyal telepon seluler ataupun jaringan internet nirkabel merupakan contoh hasil pengembangan pengetahuan, yang berdasar pada kepercayaan akan fenomena alam yang tak tertangkap indera.
akekat pembuktian ilmu
Semua sifat-sifat dalam dongeng pasang surut itu mencirikan kegiatan keilmuan.Sifat itu tidak terletak dalam pokok permasalahan yang diselidiki namun terletak dalammetode yang dipakai. Metode-metode itu adalah sifat yang masuk akal, yakni kemampuanuntuk menyelidiki secara bebas, dimana tak terdapat penyataan apapun yang diterima tanpa pengkajian yang saksama, dimana kesimpulan yang ditemukan terus digali dan diobservasiterus menerus. Ilmu dapat digugurkan dengan penemuan-penemuan baru yang lebih masukakal. Oleh karena itu, ilmu memiliki sifat yang tidak berkesudahan dan terus dikajikevalidan secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, J.S. 2001.
Ilmu Dalam Perspektif
, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
KAIDAH ILMU YANG MASUK AKAL
(SUATU DONGENG TENTANG PASANG)
OLEH: SRI SUJARWADI
A. PENDAHULUAN
Setiap orang pasti pernah mengamati suatu objek yang membuatnya berpikir mendalam dan kadangkala menunjukkan gejala-gejala yang berada diluar batas akal. Alam memiliki banyak substansi-substansi yang unik. Karena keunikannya ini banyak orang melakukan praduga-praduga yang sesat. Mereka mengkaji tanpa dasar yang jelas dan hanya bisa mengkhayal dan berimajinasi untuk menyimpulkan kebenaran tentang alam. Pengalaman-pengalaman ini memberikan konstelasi bahwa alam memiliki banyak keajaiban dan masih banyak misteri yang belum terungkap oleh manusia.
Ada kalanya manusia menemukan sesuatu yang baru, namun tidak mengetahui bagaimana cara memperolehnya. Mereka hanya mampu menerawang jauh tanpa dasar yang ilmiah. Sehingga menjawab persoalan-persoalan itu hanya dengan indra penglihatan saja. Oleh karena itu, kemungkinan-kemungkinan melakukan kesalahan sangatlah besar bahkan menyesatkan. Untuk itu, kita butuh metode-metode ilmiah untuk menarik kebenaran dari prasangka-prasangka tersebut. Karena harapan kita sebelumnya adalah berusaha agar orang lain menerima atau mengakui bahwa kaidah-kaidah yang kita simpulkan dapat diterima oleh akal sehat.
Di dalam bahasan kaidah ilmu yang masuk akal: suatu dongeng tentang pasang akan di jelaskan secara eksplisit urutan-urutan yang sistematis tentang bagaimana seseorang dapat dikatakan menemukan pengetahuan. Dan apa langkah selanjutnya untuk menjaga eksistensi kebenaran ilmu.
B. SUATU DONGENG TENTANG PASANG
Aris Toteles memberikan identitas kepada manusia sebagai animal rationale. Identitas ini disematkan beranjak dari karakteristik manusia sebagai makhluk yang berpikir. Asal mulanya pengenalan manusia terhadap segala sesuatu disekelilingnya, selanjutnya pemikiran kritis dan kreatif terhadap dirinya sendiri, yaitu hakikatnya sebagai manusia. Kemudian, ia sadar akan perlunya segala pemecahan masalah demi tercapai tujuan hidupnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, masalah merupakan hal yang lumrah dan selalu ada. Fenomena dan kejadian yang dipandang perlu untuk dipecahkan merupakan dorongan tersendiri bagi manusia untuk mengerahkan segenap kemampuan pikiran, tenaga dan waktu untuk menjawab semua keingintahuan tersebut. Seperti pepatah Socrates mengatakan “cogito ergo sum” aku berpikir, karena aku ada. Selama manusia berpikir, maka pengetahuan dibumi akan terus berkembang dan terus dikaji kebenarannya. Proses berpikir ini nantinya yang akan menentukan bagaimana proses pengkajian suatu fenomena hingga sampai kepada perolehan-perolehan pengetahuan.
Dalam subbab ini diceritakan proses pencarian pengetahuan melalui tiga cara, yaitu: pengamatan, penemuan, dan menarik kesimpulan. Chalmers (didalam Soetriono & SRDm Rita Hanafie: 124) mengungkapkan didalam aliran Naive Inductivism atau lebih dikenal dengan aliran induktif bahwa pembangunan ilmu dimulai dari observasi atau pengamatan. Penarikan kesimpulan pengetahuan harus didasarkan pada hasil observasi pada semua situasi dan tempat. Karena hasil observasi yang hanya melihat dari satu situasi saja tidak bisa digunakan untuk membangun pengetahuan ilmiah.
Selain itu pula, pengamatan secara langsung tanpa melalui pemikiran, maka penelitiannya akan dianggap sia-sia. Sedangkan jika dalam penemuannya seseorang tidak menggunakan fakta-fakta dari hasil pengamatan maka penelitiannya akan menjadi hampa. Dalam tahap penarikan kesimpulan seorang peneliti haruslah melakukan serangkaian pengujian, sehingga kesimpulan yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam suatu cerita bahwa ada seorang pertapa yang tinggal disebuah pantai yang sangat tekun mengamati pasang naik dan pasang surut air laut. Dengan Kesabarannya, si pertapa mencatat jangka waktu yang digunakan dua pasang naik. Kesimpulan yang dapat dia tarik dari pengamatannya adalah Jangka waktu yang diperlukan dua pasang air laut adalah 12 jam 26 menit. Peristiwa air surut dan air pasang terjadi secara bervariasi dan sistematis dalam waktu 14 hari.
Pada waktu yang bersamaan, petapa lainnya yang tinggal di sebuah gurun sedang melakukan pemikiran mendalam terhadap gaya tarik bumi dan bulan. Sehingga pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa ketika bumi dan bulan melakukan gaya tarik-menarik, maka bulan menghasilkan sistem deformasi bumi yang berkecenderungan permukaan bumi yang dekat dengan bulan akan naik. Perputaran akan menyebabkan kenaikan tersebut berlangsung dua kali dalam sehari atau dalam tiap 12 jam 26 menit. Kemudian dia menganalisa bahwa andaikan beberapa bagian bumi ini terendam oleh air, maka kekuatan deformasi ini akan menyebabkan air tersebut naik turun tiap 12 jam 26 menit dengan variasi tiap 14 hari dan perbedaan yang bergantian tiap 28 hari. Didorong oleh hasrat membuktikan kesimpulan dari pengamatan mereka, maka kedua petapa ini pun pergi ketempat lain untuk mengamati lebih lanjut objek yang sedang diuji kebenarannya.
Pengamatan, Penemuan Dan Deduksi
Di persinggahan kafilah-kafilah, bertemulah pertapa tersebut dengan seorang penemu hipotesis, teori dan penjelasan. Lalu pertapa tersebut menceritakan semua pengamatannya tentang pasang surut air laut dan bertanya kepada sang penemu, “Apakah menurut anda yang terjadi tentang pasang surut air laut?”. Si penemu menjawab mungkin pasang surut air laut tersebut terjadi karena nafas bumi ataupun mungkin lebih lagi disebabkan oleh bulan. Mendengar perbincangan tersebut datanglah petapa kedua yang konon belum pernah melihat laut mencoba menjelaskan pemikirannya tentang terjadinya naik turun air laut. Pertama-tama bulan menyebabkan pasang disebabkan oleh daya tariknya. Karena bumi berputar pada porosnya maka tiap titik dipermukaan bumi cenderung untuk naik dua kali dalam sehari. Dan bukan itu saja, pengaruh matahari akan menyebabkan pasang itu menjadi lebih kuat setiap 14 hari dan perbedaan yang bergiliran tiap 28 hari. Mendengar penjelasan tersebut petapa pertama heran dan berkata “bagaimana bisa seorang yang belum pernah melihat laut, tapi mampu menguraikan hasil pengamatan dan pemikirannya sejauh itu.”
Pengujian
Pada tahap ini hasil dari buah pemikiran ketiga orang dalam dongeng dipersatukan oleh penonton. Penonton tersebut mengatakan bahwa hasil pengamatan dari kedua petapa dan teori, hipotesis dan penjelasan dari penemu memiliki hubungan yang sangat erat dan saling berkaitan. Penjelasan yang masuk akal dan tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya diikuti dengan verifikasi secara empiris dan didukung dengan fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata maka dia akan dipercaya. Oleh karena itu, untuk memastikan kebenaran dari semua yang diturunkan oleh hipotesis tersebut, maka untuk menarik kesimpulan yang mempunyai dasar yang kuat, maka pengujian secara empiris terhadap beberapa pantai dalam durasi waktu yang lama harus dilakukan.
Empat Kaidah Prosedur Ilmu
Dongeng diatas merupakan tahap-tahap yang dilakukan dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Tahap-tahap tersebut adalah pengamatan, proses pemikiran, merumuskan hipotesis dan penarikan kesimpulan dari hipotesis yang diajukan. Empat kaidah moral ini memberikan penjelasan bahwa proses pencarian ilmu didasarkan pada penggunaan rasio (akal) dan pengalaman. Pemikiran semata belum mampu memenuhi kesempurnaan kebenaran pengetahuan. Akal harus didukung oleh pengalaman yang berperan dalam menemukan kejadian-kejadian yang sahih di lapangan. Gabungan antara pendekatan rasional dan empiris akan menghasilkan pengetahuan yang konsisten, sistematis, dapat diandalkan, dan mempunyai dasar yang kuat.
Pelajaran moral dalam dongeng pasang surut air laut adalah pertapa yang sebagai pengamat, penemu yang sebagai pemikir, dan penarikan hipotesis yang menggunakan kekuatan pengamatan fakta-fakta alam dan kecerdasannya untuk mengajukan berbagai hipotesis yang mungkin untuk menjelaskan fakta-fakta tersebut. Kemudian dengan menggunakan logika dalam berpikir untuk melakukan deduksi (penarikan kesimpulan) dari setiap hipotesis.
Ketidaksempurnaan Ilmu
Percobaan-percobaan yang dilakukan manusia sebenarnya merupakan trial and error. Melakukan percobaan-percobaan dan kadang kala melakukan kesalahan. Dari kesalahan-kesalahan ini akan terciptanya berbagai pengalaman-pengalaman sebagai upaya untuk memperbaiki setiap kesalahan yang ada. Buah pemikiran yang tercipta nantinya bukan pula suatu pengetahuan yang kebenarannya hakiki. Karena kesimpulan pengetahuan hasil cipta manusia sifatnya tidak permanen. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat menggugurkan hasil temuan tersebut dengan temuan-temuan terbaru.
Dari pengalaman inilah kita bisa berupaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada karena kita tahu bahwa ilmu pasti tidak lepas dari ketidaksempurnaan. Dan sebenarnya kesempurnaan itu terdapat pada kemampuan untuk mencapai suatu yang baru dan lebih bermakna dalam rangka menggugurkan suatu pendapat yang sebelumnya sangat kita hargai.
Hakekat Berteori
Kita menyadari bahwa banyak sekali fakta-fakta alam yang tak dapat diamati secara langsung, baik karena gejala itu tak dapat kita tangkap oleh indra atau karena dimensinya sangat kecil, maupun karena hal itu sudah lama terjadi dan takkan berulang lagi. Untuk itu, teori merupakan kerangka jawaban untuk menyusun dan menjawab semua keraguan akan luputnya pengetahuan yang akan dicari. Teori itu sendiri adalah seperangkat konsep, definisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis dan bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena (Soetriono & SRDm Rita Hanafie: 142). Teori mempunyai peranan dalam pengembangan ilmu, yaitu:
1. Teori sebagai orientasi
Memberikan suatu orientasi kepada para ilmuan sehingga dengan teori tersebut dapat mempersempit cakupan yang akan ditelaah sedemikian rupa sehingga dapat menentukan fakta-fakta mana yang diperlukan.
2. Teori sebagai konseptual dan klasifikasi
Dapat memberikan petunjuk tentang kejelasan hubungan antara konsep-konsep dan fenomena atas dasar klasifikasi tertentu.
3. Teori sebagai generalisasi (summarizing)
Memberikan rangkuman terhadap generalisasi-generalisasi empirik dan antar hubungan dari berbagai proposisi (teorema: kesimpulan umum yang didasar pada asumsi-asumsi tertentu, baik yang akan diuji maupun yang telah diterima).
4. Teori sebagai peramal fakta
Teori membuat prediksi-prediksi tentang adanya fakta dengan membaut ekstrapolasi dari yang sudah diketahui kepada yang belum diketahui
5. Theory points to gaps in our knowledge
Teori menunjukkan adanya kesenjangan dalam pengetahuan kita. Sepandai-pandainya teori tentu tidak dapat secara lengkap menyusun teori yang telah menjadi pengetahuan itu yang dengan demikian memberi kesempatan kepada kita untuk menutup kesenjangan tadi dengan melengkapi, menjelaskan dan mempertajamnya (Soetriono & SRDm Rita Hanafie: 143).
Dari keterangan-keterangan tersebut ternyata jalinan antara fakta dan teori dan antara teori dan ilmu merupakan jalinan yang erat menurut keteraturan suatu sistem. Oleh sebab itu, penemuan hipotesis bukan saja sesuatu yang tidak lengkap namun juga tanpa jaminan bahwa hipotesis itu benar. Oleh sebab itu, setelah berbagai hipotesis ditemukan, maka langkah selanjutnya menentukan mana dari hipotesis-hipotesis tersebut yang benar dan menyatakan bahwa fakta-fakta yang tidak tertangkap oleh indra tersebut memang benar-benar ada. Hal ini dilaksanakan dalam dongeng tentang pasang, yaitu mendeduksikan secara mental semua konsekuensi logis dari masing-masing hipotesis dan kemudian mencocokannya dengan fakta-fakta yang relevan.
Kepercayaan dalam ilmu
Kepercayaan merupakan faktor yang penting dalam usaha-usaha yang berani menyelidiki fakta yang tertangkap dalam indra. Dalam bidang bukan ilmu, kepercayaan itu adalah ganjil, fantasi, tidak bertanggung jawab dan tidak koheren, sedangkan dalam bidang ilmu ia teratur, terkontrol, rasional dan koheren. Pemecahan masalah pasang menyangkut kepercayaan terhadap kekuatan gravitasi yang menyebabkan dua benda bulan dan bumi berada dalam situasi tarik menarik. Seandainya kepercayaan tersebut tidak ada pada diri peneliti tersebut, maka tidak akan mungkin terjadi pengkajian dan penalaahan lebih lanjut tentang kebenaran ilmu. Kepercayaan inilah yang akan memperkuat dalil bahwa sesuatu yang kelihatan tidak masuk akal akan dibuktikan menjadi pengetahuan yang luar biasa dan siap dipakai oleh dunia.
Hakekat pembuktian ilmu
Sebenarnya dari semua hal diatas, apa hubungannya dengan pasang surut? semua sifat-sifat itu adalah jelas mencirikan kegiatan keilmuan, begitupun yang terjadi dalam dongeng pasang surut air laut. Hal tersebut disebabkan oleh masalah yang diselidiki, sifat itu tidak terletak dalam pokok permasalahan yang diselidiki namun terletak dalam metode yang dipakai. Metode-metode itu adalah sifat yang masuk akal, yakni semangat untuk menyelidiki secara bebas, dimana tak terdapat penyataan apapun yang diterima tanpa pengkajian yang saksama, dimana kesimpulan yang ditemukan terus digali dan diobservasi terus menerus. Ilmu dapat digugurkan dengan penemuan-penemuan baru yang lebih masuk akal. Oleh karena itu, ilmu memiliki sifat yang tidak berkesudahan dan terus dikaji kevalidan secara berkelanjutan.
Hakikat Metode Ilmiah
Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya metode ilmiah pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah terjawab, seperti menjawab seberapa jauh, mengapa begitu, apakah benar, dan sebagainya.
Metode ilmiah adalah salah satu bentuk pemecahan masalah secara realistis atau nyata. Oleh sebab itu untuk menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemecahan suatu masalah adalah sebagai berikut :
1) Perumusan masalah
2) Penyusunan kerangka berpikir
3) Perumusan hipotesis
4) Melakukan pengujian dengan percobaan
5) Pengumpulan data
6) Analisis data
7) Menarik kesimpulan
C. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan kaidah-kaidah yang diperoleh dari usaha-usaha yang sistematis dan proses ilmiah sehingga mendapat pengakuan kebenarannya oleh banyak orang. Ilmu pengetahuan sampai pada penarikan kesimpulan berpijak dari proses-proses yang panjang dan berkelanjutan. Karena sifat ilmu yang kebenarannya dapat di gugurkan oleh kebenaran baru yang lebih masuk akal dan lebih bermakna, maka ilmu dari hasil olah pikir dan pengalaman-pengalaman manusia ini sifatnya tidak hakiki alias tidak selamanya bertahan.
Prosedur pencarian ilmu pengetahuan dapat kita lihat dari dongeng tentang pasang. Pada awalnya karena rasa kekaguman dan keheranan, timbul di dalam diri untuk melihat secara seksama gejala-gejala yang muncul. Usaha ini yang di namakan dengan tahap observasi. Dan selanjutnya karena rasa penasaran dari hasil pemikiran yang mendalam, maka muncul keinginan untuk menguji kebenaran dari hipotesis yang telah dirumuskan tersebut. Untuk menguji hipotesis-hipotesis tersebut, kita harus mengintegrasikannya dengan teori-teori yang ada agar pengkajian yang dilakukan tidak mengambang dan menerawang jauh karena prasangka-prasangka yang tidak berdasar. Kemudian dilakukanlah uji hipotesis secara empiris dengan meneliti secara langsung terhadap objek yang berbeda dan dalam waktu yang lama. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang valid dan reliabel bahwa laut memiliki gejala-gejala yang telah digambarkan sebelumnya.
Namun, proses pencarian ilmu yang sesungguhnya adalah berusaha untuk menggugurkan setiap kebenaran ilmu yang telah diungkapkan sebelumnya, meskipun akan memunculkan berbagai tekanan (pressure) maupun rasa sakit akibat digugurkan, tetapi ini yang membuat ilmu itu menarik untuk dikaji.
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (PT Gramedia: Jakarta, 1981)
………………………….., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 2009)
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogja: Yogyakarta, 2007)
Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (ANDI Yogyakarta: Yogyakarta, 2007)
http://hatetepes.blogspot.com/2009/02/serpihan-buku.html
http://ryanzhi.blogspot.com/
METODE KEILMUAN BARAT DAN ISLAM
METODE KEILMUAN BARAT DAN ISLAM
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafat
A. Pendahuluan
Pengetahuan merupakan produk kegiatan berpikir yang berangkat dari pertanyaan sederhana, yaitu: apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? Dalam perkembangannya, pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan Ilmu.
Memahami hakekat ilmu berarti memberikan apresiasi terhadap ilmu secara utuh, kekurangan dan kelebihannya. Ilmu memang telah memberikan kebenaran namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran. Seyogyanya kita jangan sampai mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya kebenaran atau malah berpaling muka darinya karena takut akan ekses negatif dari ilmu.
B. Sumber dan metode keilmuan Barat
Ilmu membatasi obyeknya hanya pada kejadian yang bersifat empiris, yaitu segala aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Tujuan pembatasan ini adalah untuk memperoleh hakekat obyek empiris dan mendapatkankan inti sarinya yang berupa pengetahuan mengenai obyek tertentu.
Untuk mendapatkan pengetahuan, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini berfungsi sebagai penunjuk arah dan landasan bagi kegiatan pengkajian. Dan pengetahuan baru dapat dianggap benar jika asumsi yang dikemukakan dapat diterima. Ilmu menganggap bahwa obyek-obyek empiris yang menjadi kajiannya memiliki keragaman dan sifat berulang, semuanya berjalan secara teratur, bukan hanya kebetulan.
Berdasarkan pola berpikir manusia, cara memperoleh pengetahuan terbagi dua, yaitu rasionalisme dan dan empirisme. Menurut golongan rasionalisme, ide tentang kebenaran sudah dalam pikiran manusia dan untuk memperolehnya melalui berpikir secara rasional, tidak perlu mempelajarinya melalui pengalaman. Sedangkan menurut golongan empirisme, pengetahuan tidak ada secara apriori di benak manusia, melainkan harus diperoleh melalui pengalaman. Kedua metode ini – secara terpisah – sama-sama berujung pada kebuntuan. Rasionalisme tidak mampu menemukan sumber pengetahuan yang masih tercerai berai. Di sisi lain, empirisme tidak dapat memformulasikn secara utuh dari hasil temuannya. Akhirnya, terjadilah perkawinan antar keduanya menjadi sebuah metode untuk mendapatkn pengetahuan yang benar. Pada perkembangan selanjutnya, gabungan metode ini disebut metode keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme menyediakan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Dengan demikian, suatu pengetahuan baru dapat dinyatakan benar jika sudah mendapatkan dukungan dari keduanya.
C. Proses Kegiatan Keilmuan Barat
Manusia berpikir kalau sedang menghadapi masalah. Dalam kegiatan keilmuan, masalah dikenal dalam dua bentuk. Pertama, masalah yang belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga jawaban atas masalah tersebut merupakan pengetahuan baru. Penelitian dalam memcahkan masalah ini dinamakan penelitian murni. Kedua, masalah sebagai konsekwensi praktis dari pengetahuan yang telah diteliti sebelumnya. Penelitian dalam memecahkan masalah yang kedua ini disebut penelitian terapan. Ilmu yang berhubungan dengan masalah pertama dikenal sebagai ilmu murni, sedangkan ilmu yang berhubungan dengan masalah kedua disebut ilmu terapan.
Masalah pada hakekatnya adalah pertanyaan yang mengundang jawaban. Sebuah pertanyaan berpeluang dapat dijawab dengan tepat jika dirumuskan dengan baik. Pertanyaan yang baik mencakup pernyataan tentang faktor-faktor yang telibat dalam masalah tersebut dan hubungan logis yang ingin ditemukan antar keduanya dan pertanyaan ini sudah merupakan setengah jawabannya. Oleh karena itu, Perumusan masalah yang baik adalah langkah pertama dalam kegiatan keilmuan. langkah selanjutnya adalah penyusunan hipotesis, yaitu dugaan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah.
Hipotesis ini dianggap benar secara keilmuan jika didukung oleh fakta. Fakta adalah segala sesutu yang ada. Fakta-fakta itu dapat diturunkan dari deduksi hipotesis yang kemudian menghasilkan konsekwensi logis dari pernyataan yang diajukan. Di sini, terjadi proses penyusunan teori sebagai kerangka pemikiran yang menjelaskan struktur hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah. Teori ini kemudian diuji secara empiris dengan cara mendeduksikan kosekwensi dari hipotesis. Secara rinci, proses kegiatan keilmuan dibagi dalam empat langkah, yakni permusan masalah, penyusunan hipotesis, deduksi dari hipotesis, dan pengujian.
Dalam menemukan fakta-fakta, kepercayaan adalah faktor penting yang tidak dapat dinafikan. Tapi konteks kepercayaan yang dimaksud adalah tidak seperti kepercayaan dalam bidang non ilmu, kepercayaan yang ganjil, fantastis, dan tidak rasional. Kepercayaan dalam konteks keilmuan adalah sesuatu yang terkontrol, teratur, dan rasional. Kepercayaan yang berkorelasi dengan fakta disebut kebenaran. Dan kepercayaan inilah yang menjadi subkelas dari pengetahuan.
Sebuah kepercayaan dapat menjadi pengetahuan manakala ia didukung oleh bukti yang terdiri dari fakta yang tidak diragukan lagi, pada satu sisi, dan prinsip-prinsip tertentu yang menjelaskan proses penarikan kesimpulan dari sebuah fakta. Secara tradisi, fakta adalah apa yang diberikan persepsi dan ingatan, sementara prinsip-prinsip penarikan kesimpulan adalah logika deduksi dan logika induksi.
D. Sumber dan Metode keilmuan Islam
Secara umum, terdapat dua aliran untuk memperoleh pengetahuan. Pertama, idealisme-rasionalismse yang menakankan pada peranan “akal, idea, kategori dan form” sebagai sumber pengetahuan. Aliran yang kedua adalah realisme-empirisme yang mementingkan peran indra sebagai sumber pengetahuan. Dan penggabuangan dua aliran sumber pengetahuan ini dikenal sebagai metode keilmuan. Sebenarnya masih terdapat sumber pengetahuan yang lain, yaitu Intuisi. Namun sumber yang terakhir ini tidak banyak digunakan di dunia Barat.
Dalam tradisi Islam, terdapat sumber lain yang ditengarai memiliki validitas paling tinggi diantara sumber-sumber lainnya, yaitu teks. Bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa teks adalah satu-satunya sumber pengetahuan, sedangkan sumber-sumber lainnya hanya berfungsi sebagai validitas teks.
Dalam perkembangan tradisi Islam, terdapat tiga model epistimologi, yaitu bayani, irfani, dan burhani. klasifikasi model epistimologi disesuiakan dengan unsur treatment yang berbeda dalam memperlalakukan sumber-sumber pengetahuan Islam (teks, akal dan intuisi).
1. Model Epistimologi Bayani
Kata bayani berasal dari Bahasa Arab yang berarti penjelasan. Secara terminologis, digunakan dalam dua arti (1) aturan-aturan penafsiran wacana. (2) syarat-syarat memproduksi wacana. Dalam memperoleh pengetahuan, epistimologi bayani menggunakan dua cara (1) berdasarkan redaksi teks yang dikaji secara lingustik, nahwu-Sharaf sebagai alat analisis. (2) metode qiyas atau analogi, dengan melihat hubungan antar tiga aspek, yakni ashl, far, dan illat.
2. Model Epitimologi Irfani
Irfani bersal dari kata dasar Bahasa Arab arafa, yang semakna dengan ma’rifat-pengetahuan. Secara terminologis, digunakan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya setelah adanya olah rohani (mujahadah) yang dilakukan atas dasar cinta. Pengetahuan irfani bersumber dari realitas kesadaran diri (kasyf) dan objeknya bersifat immaterial dan esensial.
Menurut suharawardi yang dikutip oleh Khudori, secara metodologis terdapat tiga fase untuk memperoleh pengetahuan irfani. Yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, seseorang harus menjalani kehidupan spritual seperti, seperti taubah, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridla. Dalam fase penerimaan, seseorang yang mencapai tingkat tertentu akan mendapatkan pengetahuan langsung dari Allah secara ilumintif. Sedangkan tahap terakhir adalah pengungkapan pengalaman yang telah diperoleh melalui pengetahuan irfani.
3. Model Epistimologi Burhani
Untuk memperoleh pengetahuan, nalar burhani menyandarkan pada kekuatan rasio dengan menggunakan dalil-dalil logika. Sementara dalil agama akan diterima selama tidak bertentangan dengan logika rasional.
Secara sederhana, burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran preposisi melalui pendekatan induktif (istidraj) dengan mengaitkan preposisi yang satu dengan preposisi lainnya yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
Dalam ketiga model epistimologi tersebut, tampaknya empirisme tidak memiliki tempat dalam tradisi Islam. Secra implisit , ketiga model epistimologi itu hanya menaruh perhatian pada teks, intuisi dan rasio.
E. Kritik terhadap metode keilmuan Islam
Teks Al-Qur’an memiliki status yang paling tinggi dalam dinamika perkembangan Islam. Dan faktor eksistensial Al-Qur’an lah yang menentukan distingsi antara metode keilmuan Barat dan Islam baik dari segi sumber maupun metodenya.
Dalam khazanah Islam, terdapat tiga model epistimologi yang dikenal secara umum. Yaitu bayani, Irfani dan burhani. Ketiga epistimologi ini – dalam sejarahnya – telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin ilmu hukum (Fiqh) dan teologi (kalam), nalar Irfani menghasilkan teori dalam sufisme, dan nalar burhani mengantarkan Filsafat Islam dalam puncak kejayaan.
Kendati demikian, tidak berarti bahwa ketiga model epistimolegi itu terbebas dari sorotan kritik. Diantara kritik tersebut adalah hegemoni dan dominasi nalar bayani yang kemudian melahirkan indoktrinasi yang tumbuh subur dalam khazanah Ilmu keislaman, dengan kata lain telah mensyakralkan pemikiran keagamaan dalam Islam. Al-Qur’an yang semula bersifat terbuka, polyinterpretable, historis-spritual, dan elastis, kini berubah sifat menjadi tertutup, final, ahistoris, dan kaku.
Selain itu, menurut Amin Abdullah, masing-masing model Epistimologi tersebut ternyata memiliki kelemahan jika digunakan secara independen. Nalar bayani cenderung bermental dogmatik defensif, dan apologetik ketika berhadapan dengan perbedaan, yang disebabkan oleh kuatnya otoritas teks dan menjadikan rasio hanya sebagai fungsi sebagai pengawal teks. Kelemahan nalar irfani terletak dalam pembakuan term seperti ilham dan kasyf dalam tarekat dan wirid-wirid tertentu, tentunya hal ini menjadikan nalar irfani bersifat eksklusif dan sulit dijangkau. Sedangkan nalar burhani sementara ini masih meletakkan rasionalitas dengan model induktif-deduktif. Sehingga tidak mampu mengimbangi dinamika pemikiran kontemporer.
Dari deskripsi kelamahan tersebut melahirkan inisiatif untuk menggabung ketiganya. Dalam istilah Amin Abdullah, penggabungan dalam bentuk “hubungan sirkuler”, yakni membangun hubungan kerjasama yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, besar harapan model epistimologi Islam mempu bersinergi dengan perkembangan pemikiran kontemporer.
Problem lain yang juga menjadi sorotan dalam model epistimologi Islam adalah tidak adanya pengembangan teori empirisme-indrawi laiknya yang terjadi di Barat. Padahal dalam metode keilmuan, peranan empirimse memiliki urgensitas yang sangat tinggi. Mengingat bahwa metode keilmuan adalah perkawinan antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme memberikan penekanan pada penjelasan yang koheren dengan pengetahuan sebelumnya, atau penyusunan teori dengan deduksi. Sedangkan empirisme berada dalam wilayah pengujian teori yang didasarkan pada fakta-fakta.
Dengan demikian, penghilangan sense of empirisme sama halnya dengan peniadaan aspek pengujian secara ilmiah. Dan tanpa pengujian ilmiah, sebuah teori tidak akan mendapatkan legitimasi kebenaran yang syah secara keilmuan.
F. Kesimpulan
Dari tulisan di atas, dapat ditari garis besar bahwa signifikansi perbedaan metode keilmuan barat dan Islam terletak pada obyek dan sumber untuk memperoleh pengetahuan. Dalam metode keilmuan Barat, obyek pengetahuan hanya dibatasi pada obyek empiris dan sumber pengetahuan diperoleh melalui maksimalisai akal (rasionalisme) dan pengamatan indrawi (empirisme). Penggabungan dari keduanya dikenal dengan metode keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme menyediakan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran.
Sementara dalam metode keilmuan Islam, sumber primer pengetahuan adalah teks ilahiah, akal dan indra berfungsi sebagai penyokong kebenran teks. Sehingga dalam perkembangannya, dikenal tiga aliran utama dalam metode keilmuan Islam, yakni bayani, burhani, dan irfani. Nalar bayani telah membesarkan disiplin ilmu hukum dan teologi, Irfani menghasilkan teori sufisme, dan burhani mengantarkan Filsafat Islam dalam puncak kejayaan. Namun ironisnya, ketiga epistemologi itu tidak memberikan ruang pada aspek empirisme yang berada dalam wilayah pengujian teori padahal peniadaan aspek pengujian sama halnya dengan menghilangkan legitimasi kebenaran ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, “Aspek Epistemologis Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed), Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: Lesfi, 1992.
Bertrand Russerl, “Fakta, Kepercayaan dan Pengetahuan” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Shaleh, A. Khudori Shaleh. Wacana Baru filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sibawaihi. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Islamika, 2004.
Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
W. M. Davis, “Kaidah-Kaidah Ilmu yang Masuk Akal: Suatu Dongeng Tentang Pasang” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Kaidah Memahami Hadits
31/12/2010 & KOMENTAR
Judul eBook: Agar Tidak Keliru Memahami Hadits Shahih
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, MA خفظه الله
Pengantar:
Telah kami posting sebelumnya e-book Kaidah Emas Mengenal Hadits Shahih dan Dhaif, selanjutnya setelah diketahui status hadits akan keshahihannya maka selanjutnya adalah memahami hal-hal yang terkandung dalam hadits tersebut, penulis menyebutkan dengan padat 8 kaidah [aturan] memahami sebuah hadits agar tidak keliru memahaminya.
Kaidah ini sangat perlu diketahui sehingga jangan lagi seseorang berhujjah dengan sebuah hadits padahal hadits tersebut telah dinasakh, atau memakai sebuah hadits dan membuang hadits lain padahal keduanya shahih, memahami sebuah hadits dengan akalnya padahal maksud hadits telah disebutkan oleh para sahabat dan kekeliruan-kekeliruan lainnya.
Kami menyarankan kita semua membaca eBook ini sehingga kita tidak tergesa pada sesuatu yang mana ilmu kita didalamnya sangatlah sedikit, selamat menyimak dan kami berharap eBook ini bermanfaat bagi kita semua…
Download eBook:
Kaidah Memahami Hadits atau zip file
Tulisan Terkait:
Kaidah Mengenal Hadits Shahih dan Dhaif
Silsilah Hadits Shahih
Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’
Hadits Dhaif Dalam Buah Karya Ulama
Dongeng dan Bencana
Dongeng dan Bencana
Wahyudi Kaha ; Aktif di Sukabaca Institut Yogyakarta
TEMPO.CO, 10 Maret 2014
Dongeng bukan sekadar hiburan. Dongeng juga mengandung misi-misi kemanusiaan. Ratusan pendongeng dari berbagai pelosok negeri yang tergabung dalam Gerakan Para Pendongeng untuk Kemanusiaan (GePPuK) hadir sebagai bukti nyata. Aksi mendongeng massal pertama di Indonesia itu dilakukan demi memberi penyembuhan trauma kepada anak-anak pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung, Sumatera Utara.
Menurut Danandjaja (1991), dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi ajaran moral, bahkan mengandung sindiran. Maka, mendongeng semestinya dipicu oleh cita-cita mulia.
Dongeng adalah penawar bagi nasib yang nestapa. Dongeng ada di balik tanda tanya: haruskah nasib buruk selalu diratapi dengan air mata? Meski, tentu saja, dongeng seperti halnya air mata yang tidak bisa mencegat datangnya bencana. Tapi, yang pasti, dongeng senantiasa menyediakan gairah baru bagi manusia. Bahwa kepahitan hidup bukan untuk melulu disesalkan, melainkan harus diperjuangkan. Bukankah berdiam diri dalam keterpurukan sama dengan menggali lubang bagi kematian?
Kita tentu masih ingat film Arabian Nights. Dari sana kita tahu kedudukan dongeng yang istimewa. Ketika memutuskan menikah dengan Sultan Scahriar yang gila, Scheherazade yakin setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Padahal semua orang tahu siapa Sultan Scahriar. Seorang gila paling buruk di dunia. Kegilaan itulah yang lantas memantik keinginannya untuk menikah pada malam hari, lalu istrinya akan dibunuh sebelum datangnya pagi. Scheherazade pun mengetahui rencana calon suaminya.
Dengan apakah Scheherazade menghadapi kegilaan suaminya? Karena kecerdikan dan kepekaannyalah Scheherazade mampu membuat suaminya (yang sebelumnya tidak suka dongeng) terpikat oleh dongengnya. Scheherazade tahu, dongeng dapat mengaduk sekaligus menata emosi penikmatnya. Setiap malam Scheherazade mendongeng untuk suaminya, sambil tak lupa mengakhiri dongengnya dengan akhir yang menggantung dan menegangkan. Walhasil, selama seribu satu malam Sultan menangguhkan rencana pembunuhan atas Scheherazade. Itu artinya, dongeng juga mampu memelihara hidup dan masa depan seseorang.
Lantas apa hubungan dongeng dan bencana? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), bencana diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan, dan marabahaya. Dalam hidup, manusia pasti dihadapkan dengan bencana, baik dalam skala besar maupun kecil. Walau demikian, berbeda-beda penyikapan manusia atas bencana tersebut. Tokoh sufi seperti Ibn 'Arabi memandang bencana sebagai wujud rahmat Allah karena rahmat Allah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Bencana tak ubahnya obat pahit yang dapat menyembuhkan penyakit (jiwa).
Harus diakui, tidak semua dari kita semulia Ibn 'Arabi memandang bencana. Maka, tidak berlebihan kalau kita sebut para pendongeng yang kini mendampingi korban Gunung Sinabung di Sumatera Utara sebagai pasukan Scheherazade untuk Indonesia. Melalui dongeng mereka berupaya agar bangsa kita selamat dari penyakit lemah dan cengeng. Semoga. ●
Nama : Elfa Verda Puspita
NPM : 1327021005
Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu
BERPIKIR
A. Definisi Berpikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang (Suriasumantri, 2009). Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. “Berpikir” mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir saat memutuskan barang apa yang akan kita beli di toko. Kita berpikir saat mencoba memecahkan ujian yang diberikan di kelas. Kita berpikir saat menulis artikel, menulis makalah, menulis surat, membaca buku, membaca koran, atau merencanakan liburan.
Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek tersebut. Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117). Menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah, 2006:117) mengatakan berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi. Biasanya kegiatan berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan.
Charles S. Pierce mengemukakan bahwa bahwa dalam berpikir ada dinamika gerak dari adanya gangguan suatu keraguan (irritation of doubt) atas kepercayaan atau keyakinan yang selama ini dipegang, lalu terangsang untuk melakukan penyelidikan (inquiry) kemudian diakhiri dengan pencapaian suatu keyakinan baru. Kegiatan berpikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dengan apa yang terjadi atau dialami. Dengan demikian, kegiatan berpikir manusia selalu tersituasikan dalam kondisi konkret subyek yang bersangkutan. Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh stuktur bahasa yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan historis tempat kegiatan berpikir dilakukan (Sudarminta, 2000). Sebagai contoh pertama, yaitu obyek yang ingin diketahui sudah tertentu. Yang harus disadari adalah obyek tersebut tidak pernah sederhana. Biasanya, obyek itu sangat rumit. Mungkin mempunyai beratus-ratus segi, aspek, karakteristik, dan sebagainya. Pikiran kita tidak mungkin untuk mencakup semuanya dalam suatu ketika. Dalam upaya untuk mengenal benar-benar obyek semacam itu, seseorang harus dengan rajin memperhatikan semua seginya, menganalisis obyek tersebut dari berbagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir (Suriasumantri, 2009).
Perbedaan dalam cara berpikir dan memecahkan masalah merupakan hal nyata dan penting. Perbedaan itu mungkin sebagian disebabkan oleh faktor pembawaan sejak lahir dan sebagian lagi berhubungan dengan taraf kecerdasan seseorang. Namun, jelas bahwa proses keseluruhan dari pendidikan formal dan pendidikan informal sangat mempengaruhi gaya berpikir seseorang di kemudian hari, disamping mempengaruhi pula mutu pemikirannya (Leavitt, 1978). Plato beranggapan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati. Sehubungan dengan pendapat Plato ini, ada yang berpendapat bahwa berpikir adalah aktivitas ideasional (Woodworth dan Marquis, dalam Suryabrata, 1995:54). Pada pendapat ini dikemukakan dua kenyataan, yakni:
1. Berpikir adalah aktivitas; jadi subyek yang berpikir aktif.
2. Aktivitas bersifat ideasional; jadi bukan sensoris dan bukan motoris, walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu; berpikir menggunakan abstraksi-abstraksi atau “ideas”.
Integrasi keilmuan dapat ditinjau berdasarkan proses berpikir dengan asumsi bahwa pengetahuan, baik knowledge maupun sains merupakan hasil dari proses berpikir. Al-Quran mengajari manusia untuk berpikir. Berpikir identik dengan menggunakan akal. Berbeda dengan otak, akal bukanlah organ dari tubuh manusia. Akal identik dengan kemampuan dan proses berpikir. Berpikir dalam arti berusaha untuk memahami realitas untuk sampai pada kesimpulan tertentu.
Berpikir memiliki karakteristik tersendiri. Berpikir lebih bersifat empiris-faktual. Karena itu, berpikir akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan dalam bentuk teori yang bersifat empiris, memiliki implikasi bagi pemecahan permasalahan umat manusia, serta mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Melakukan kajian terhadap sesuatu yang tidak bersifat empiris tidak termasuk proses berpikir. Hoodbhoy mengkritik para ilmuan Pakistan pada zaman Presiden Zia ul-Haq yang mengembangkan sains Islam yang tidak bersifat empiris, seperti analisis tentang struktur kimia-fisika jin, derajat kemunafikan, dan rembetan panas api neraka.
Dengan menjadikan realitas sebagai obyek berpikir, Taqyuddin an-Nabhani membagi metode berpikir menjadi dua bagian: metode berpikir rasional (at-thariqah al-‘aqliyyah) dan metode berpikir sains (at-thariqah al-‘ilmiyyah). Kedua metode berpikir tersebut sebenarnya tidak berbeda. Berpikir sains bersifat rasional, sistematis dan terorganisasi. Hanya saja, berpikir rasional cenderung mengandung perspektif tertentu sebagai pengaruh dari informasi yang dimiliki, baik berasal dari lingkungan sosial budaya, ideologi, kepercayaan, keyakinan atau agama. Berpikir rasional mengandung unsur subyektivitas; sedangkan berpikir sains lebih bersifat netral, obyektif dan bersifat eksperimental-laboratoris. Al-Quran mengajarkan metode berpikir rasional yang bertolak dari fakta. Metode berpikir rasional ialah metode al-Quran, metode Islam. Karena itu, berpikir rasional dapat menjadi acuan dalam merumuskan perspektif berpikir untuk mewujudkan integrasi keilmuan. Berpikir itu sendiri merupakan sesuatu yang paling berharga bagi manusia, paling mahal harganya dalam kehidupan, sekaligus menjadi tempat bergantungnya jalan kehidupan. Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh untuk memperhatikan aktivitas berpikir ini.
B. Karakteristik dan Proses Berpikir
Macam – macam Berpikir
Berikut ini akan dijelaskan macam-macam berpikir, yaitu :
1. Berpikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya, misal; penalaran tentang panasnya api yang dapat membakar jika dikenakan kayu pasti kayu tersebut akan terbakar.
2. Berpikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat, misal; dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan.
3. Berpikir autistik: contoh berpikir autistik antara lain adalah mengkhayal, fantasi atau wishful thinking. Dengan berpikir autistik seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis.
4. Berpikir realistik: berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata, biasanya disebut dengan nalar (reasoning).
Floyd L. Ruch (1967) menyebutkan ada tiga macam berpikir realistik, antara lain :
a. Berpikir Deduktif
Deduktif merupakan sifat deduksi. Kata deduksi berasal dari kata Latin deducere (de berarti ‘dari’, dan kata ducere berarti ‘mengantar’, ‘memimpin’). Dengan demikian, kata deduksi yang diturunkan dari kata itu berarti ‘mengantar dari satu hal ke hal lain’. Sebagai suatu istilah dalam penalaran, deduksi merupakan proses berpikir (penalaran) yang bertolak dari proposisi yang sudah ada, menuju proposisi baru yang berbentuk kesimpulan (Keraf, 1994:57).
b. Berpikir Induktif
Induktif artinya bersifat induksi. Induksi adalah proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena-fenomena yang ada. Karena semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran induktif, proses penalaran itu juga disebut sebagai corak berpikir ilmiah. Namun, induksi tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti oleh proses berpikir deduksi. Berpikir induktif ialah menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian (data) yang ada di sekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses berpikirnya adalah sintesis. Tingkatan berpikirnya adalah induktif. Jadi jelas, pemikiran semacam ini mendekatkan manusia pada ilmu pengetahuan. Tepat atau tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil secara induktif ini terutama bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil, yang mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil, makin representatif dan makin besar taraf validitas dari kesimpulan itu, demikian juga sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki (Purwanto, 1998:47-48).
c. Berpikir Evaluatif
Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut
kriteria tertentu (Rakhmat, 1994).
Perlu diingat bahwa jalannya berpikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam faktor. Suatu masalah yang sama mungkin menimbulkan pemecahan yang berbeda-beda pula. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya berpikir itu antara lain, yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tersebut, situasi yang tengah dialami seseorang dan situasi luar yang
dihadapi, pengalaman-pengalaman orang tersebut, serta bagaimana intelegensi orang itu.
Selain jenis-jenis berpikir yang telah disebutkan di atas, masih ada pendapat lain dari beberapa ahli.
a. Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah, 2006: 118) membagi dua jenis berpikir, yaitu;
► Berpikir autistik (autistic thinking) yaitu proses berpikir yang sangat pribadi menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi.
►Berpikir langsung (directed thinking) yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.
b. Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir, yaitu :
► Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat tertentu.
► Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasannya.
► Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir menganai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu.
►Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar kemiripannya
► Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
► Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan seringkali tidak logis.
c. Menurut De Bono (1989 dalam Khodijah, 2006:119) mengemukakan dua tipe berpikir, sebagai berikut:
► Berpikir vertikal, (berpikir konvergen) yaitu tipe berpikir tradisional dan generatif yang bersifat logis dan matematis dengan mengumpulkan dan menggunakan hanya informasi yang relevan.
► Berpikir lateral (berpikir divergen) yaitu tipe berpikir selektif dan kreatif yang menggunakan informasi bukan hanya untuk kepentingan berpikir tetapi juga untuk hasil dan dapat menggunakan informasi yang tidak relevan atau boleh salah dalam beberapa tahapan untuk mencapai pemecahan yang tepat.
Proses Berpikir
Proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada empat langkah, yaitu :
a. Pembentukan Pengertian
Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
► Menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya satu demi satu. Kita ambil manusia dari berbagai bangsa lalu kita analisa ciri-ciri, misalnya, manusia Indonesia, ciri - cirinya: makhluk hidup, berbudi, berkulit sawo matang, berambut hitam, dan untuk manusia Eropa, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit putih, berambut pirang atau putih, bermata biru terbuka.
► Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri – ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan mana yang tidak selalu ada mana yang hakiki dan mana yang tidak hakiki.
► Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap ciri-ciri yang hakiki. Contoh ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup yang berbudi.
b. Pembentukan Pendapat, yaitu menggabungkan atau memisah beberapa pengertian menjadi suatu tanda yang khas dari masalah itu.
Pendapat dibedakan menjadi tiga macam:
a. Pendapat Afirmatif (positif), yaitu pendapat yang secara tegas menyatakan sesuatu, misalnya si Ani itu rajin, si Totok itu pandai, dsb.
b. Pendapat Negatif, yaitu pendapat yang secara tegas menerangkan tidak adanya sesuatu sifat pada sesuatu hal, misalnya si Ani tidak marah, si Totok tidak bodoh, dsb.
c. Pendapat Modalitas (kebarangkalian), yaitu pendapat yang menerangkan kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada suatu hal, misalnya hari ini mungkin hujan, si Ali mungkin tidak datang, dsb.
c. Pembentukan Keputusan, yaitu menggabung-gabungkan pendapat tersebut. Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada.
Ada tiga macam keputusan, yaitu:
1. Keputusan dari pengalaman-pengalaman, misalnya: kemarin paman duduk dikursi yang panjang, masjid dikota kami disebelah alun-alun, dsb.
2. Keputusan dari tanggapan-tanggapan, misalnya: anjing kami menggigit seorang kusir, sepeda saya sudah tua, dsb.
3. Keputusan dari pengertian-pengertian, misalnya: berdusta adalah tidak baik, bunga itu indah, dsb.
d. Pembentukan Kesimpulan, yaitu menarik keputusan dari keputusan-keputusan yang lain.
Hakikat dan Unsur-Unsur Berpikir
Berpikir pada hakikatnya merupakan usaha untuk memahami fakta (realitas empiris). Karena itu, salah satu unsur berpikir yang penting ialah fakta. Berusaha untuk memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan indera (tidak empiris) bukan termasuk kegiatan berpikir. Berpikir harus menyimpulkan sesuatu yang berkaitan dengan realitas. Karena itu, berpikir memiliki implikasi yang sangat produktif bagi perumusan teori yang bersifat empiris, bagi pemecahan persoalan umat manusia dan bagi pengembangan masyarakat. Penemuan ilmiah hanya bisa dilakukan jika seseorang melakukan pengamatan terhadap realitas. Hoodbhoy (1996) mengkritik para ilmuan Pakistan yang berusaha melakukan islamisasi sains dengan menjadikan obyek kajian hal-hal yang tidak empiris seperti struktur kimia dan fisika jin, derajat kemunafikan, rambatan panas api neraka, dan lain sebagainya yang tidak bersifat empiris. Berpikir tentang realitas memerlukan fakta yang terindera. Karena itu, unsur berpikir yang kedua ialah indera. Yang dimaksud dengan fakta yang terindera ialah fakta yang dapat diindera, baik langsung ataupun tidak langsung. Peralatan sebenarnya merupakan perpanjangan indera manusia, seperti kaca pembesar atau instrumen lainnya.
Kesimpulan tentang fakta sebagai hasil dari proses berpikir disimpan dalam benak. Karena itu, benak/otak manusia merupakan salah satu unsur penting dalam proses berpikir.
Unsur lain yang paling penting dalam berpikir ialah adaya informasi yang sudah dimiliki. Informasi dapat berasal dari lingkungan sosial, budaya, keyakinan, kepercayaan, ideologi, agama, termasuk keyakinan tentang tidak adanya Tuhan (ateis).
Berpikir atau sebut saja berpikir rasional atau metode ‘aqliyyah, merupakan proses pengkajian untuk mengetahui realitas sebagai obyek kajian dengan cara mentransfer fakta ke otak melalui indera, disertai dengan adanya sejumlah informasi pendahulu yang sudah dimiliki yang akan digunakan untuk menafsirkan/menilai fakta yang ada. Penilaian ini, menurut Taqyuddin an-Nabhani, pada hakikatnya merupakan pemikiran atau kesadaran rasional. Karena itu, berpikir merupakan proses yang melibatkan: (1) fakta/realitas; (2) indera; (3) otak; dan (4) informasi yang dimiliki. Dengan proses berpikir ini akan terbentuklah sebuah kesadaran. Apa yang disebut ‘teori ilmiah’ pada hakikatnya merupakan kesadaran seseorang terhadap realitas. Dengan sendirinya ‘teori’ itu sarat nilai, baik nilai yang berasal dari agama (wahyu), ideologi maupun lingkungan sosial-budaya tertentu.
Pendapat Ismail (1958) tampak memperkuat pandangan Taqyuddin an-Nabhani. Ismail menyatakan: Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indera yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indera menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindera maupun yang abstrak yang berkaitan dengan pemikiran.
Hampir disepakati oleh para ilmuwan, bahwa teori-teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya sering merupakan refleksi seseorang terhadap realitas; atau dibangun berdasarkan interpretasi atas realitas. Teori-teori sosial dan ekonomi Marxisme, misalnya, merupakan hasil refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan sosial akibat laju industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad ke-19. Ketika membangun sebuah teori, tentu ada nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk bersikap terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, teori-teori ilmu sosial tidak bebas nilai. Michael Kunczik (1986) mengingatkan bahwa teori-teori perubahan sosial dan pembangunan sering sarat dengan etnosentrisme. Kesadaran budaya sering menjadi standar penilaian terhadap budaya lain. Karena itu, rumusan-rumusan teori tidak lepas dari kesadaran budaya. Mengacu pada Edward B. Taylor (1873), Kunzcik menyebutkan budaya meliputi: pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dari sebuah sistem sosial.
Berbagai rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini, sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan awal yang sudah dimiliki seseorang. Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal-usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. Ismail yang sejalan dengan Taqyuddin an-Nabhani menegaskan, berpikir rasional pada intinya merupakan proses interaksi yang melibatkan: fakta empiris, otak, indera dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional (metode ‘aqliyyah) merupakan proses transformasi fakta empiris ke otak, dilanjutkan dengan interpretasi/penilaian atas fakta tersebut berdasarkan informasi yang ada, yang akhirnya melahirkan sikap terhadap fakta tersebut.
Dari sini sesungguhnya berpikir berarti penyerapan fakta yang terindera ke dalam benak berdasarkan informasi yang sudah dimiliki. Dengan kata lain, berpikir pada intinya merupakan rekonstruksi terhadap realitas berdasarkan perspektif tertentu yang terkait dengan informasi yang dimiliki. Kesimpulan tentang realitas dengan sendirinya berada dalam sudut pandang tertentu. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi Islam secara normatif, tetapi bersifat umum bagai setiap proses berpikir. Setiap teori yang merupakan hasil pemikiran dengan sendirinya mengandung unsur-unsur keyakinan perumusnya, baik pemikiran Islam, atheis, atau keyakinan lainnya.
Informasi yang dimiliki merupakan faktor bagi keragaman mode berpikir dan ini merupakan sudut pandang dalam memahami realitas. Manusia dapat merekonstruksi realitas berdasarkan sudut pandang tersebut. Realitas yang sama dapat dipahami secara berbeda, bergantung pada sudut pandang tersebut. Mengacu pada pandangan Thomas Kuhn, berdasarkan informasi yang dimiliki, manusia memiliki mode of thought atau mode of inquiry. Menurut Kuhn, seseorang merekonstruksi realitas sosial berdasarkan mode of thought atau mode inquiry sehingga menghasilkan mode of knowing. Terkait dengan pembahasan sebelumnya, cara berpikir merupakan paradigma untuk menghasilkan pengetahuan (knowledge). Realitas yang sama bisa menghasilkan kesimpulan dan teori yang berbeda hanya karena perbedaaan paradigma saat memahaminya.
Cakupan dan Hasil Proses Berpikir
Apakah seseorang harus langsung memahami realitas sebagai persyaratan agar ia bisa dikatakan berpikir? Secara faktual seseorang tidak mudah memahami realitas. Bahkan terdapat kecenderungan, pemahaman seseorang terhadap realitas sering didasarkan pada pemahaman orang lain atau melalui media tertentu. Bahkan dalam ilmu komunikasi, realitas terbagi menjadi dua bagian: realitas media dan realitas yang sesungguhnya. Realitas media ialah realitas yang disajikan oleh media massa melalui proses pemilihan yang tidak lepas dari perspektif tertentu. Pemahaman terhadap realitas menurut media massa masih masuk kategori berpikir, walaupun seseorang yang berusaha memahaminya perlu mengkritisi setiap fakta yang disajikan media. Pemahaman terhadap realitas menurut pemahaman orang lain, atau mengikuti proses berpikir yang dilakukan orang lain, masih termasuk kategori berpikir rasional, walaupun tentu saja kualitas berpikirnya masih rendah. Mengutip penyataan Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah seminar, para pemikir di Indonesia cenderung hanya sebagai “pemamah biak”. Artinya, mereka hanya berpikir mengikuti cara orang lain berpikir, belum menghasilkan pemikiran orisinal. Mereka cenderung memahamai atau mengambil kesimpulan tentang realitas berdasarkan pemahaman dan kesimpulan orang lain.
Lalu apa saja cakupan dan lingkup berpikir? Berpikir berada dalam tatanan filosofis, mendasar dan menyeluruh. Berpikir tidak mengenal adanya spesialisasi. Berpikir akan mengantarkan seseorang pada penemuan berbagai teori. Dalam konteks ini, ilutrasi Will Durant dapat menjadi acuan. Berpikir bagaikan pasukan marinir yang berusaha merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ialah pengetahuan, baik pada tataran knowledge maupun sains. Artinya, berfikir merupakan proses untuk menghasilkan berbagai teori ilmiah yang berimplikasi bagi pemecahan persoalan umat manusia.
Demikian pula, tidak ada batasan obyek berpikir. Seseorang dapat berpikir tentang fenomena alam, fenomena sosial, fenomena ekonomi, dan lain sebagainya. Yang penting, berpikir harus dilakukan terhadap fakta yang bersifat empiris. Isac Newton (1642-1627) mengamati berbagai fenomena alam, yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul, Philoshpopiae Naturalis Principia Mathematica (1686). Belakangan orang mengenal Newton sebagai ahli fisika, bahkan sebagai peletak dasar teori-teori fisika. Adam Smith (1723-1790) melakukan pengamatan terhadap masalah-masalah etika, ekonomi dan sosial. Ia menuliskan hasil pengamatannya dalam buku The Welth of Nation (1776). Belakangan orang mengenal Adam Smith sebagai peletak dasar teori-teori ekonomi kapitalis, padahal ia sebagai guru besar filsafat moral.
Demikianlah, proses berpikir telah menghasilkan pengetahuan (knowledge). Dengan sendirinya pengetahuan merupakan hasil proses interaksi antara fakta empiris, pengalaman, kepercayaan, ideologi dan/atau budaya tertentu. Manusia memperoleh pengetahuan, berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Di samping itu, manusia memperoleh pengetahuan melalui intuisi dan wahyu (Suriasumantri, 2009).
Anonim (2005) menyebutkan, antara pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief) memiliki hubungan yang sangat erat, walaupun pengetahuan berbeda dengan kepercayaan dan opini. Dalam pengetahuan terdapat unsur kebenaran dan kepercayaan bahwa hal itu benar. “Knowledge is both true and believed to be true,” (Pengetahuan adalah kebenaran dan kepercayaan bahwa itu benar). Menurut pandangan Edwards pengetahuan adalah kepercayaan yang benar. Sementara itu, menurut Sidi Gazalba, pengetahuan ialah semua milik atau isi pikiran. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang berinteraksi dengan kepercayaan dan opini.
Sejalan dengan beberapa pernyataan tersebut, seseorang memperoleh pengetahuan - menurut Charles Peirce seperti dikutip Kerlinger– sering dengan cara keteguhan/kegigihan (method of tenacity). Artinya, seseorang menganggap pengetahuan itu benar karena ia sudah lama menganggap bahwa hal itu benar, dan ia memegang teguh kebenaran tersebut. Anggapan masyarakat bahwa hal itu benar semakin meningkatkan ‘validitas’ kebenaran tersebut. Bahkan dengan sangat ekstrem, Peirce mengemukakan, orang sering bersandar pada kepercayaannya dalam menghadapi fakta yang jelas-jelas berlawanan; dan mungkin seseorang menyimpulkan pengetahuan baru berdasarkan proposisi yang keliru.
Peirce mengakui bahwa ‘metode keteguhan’ cenderung ditinggalkan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih obyektif. Namun, ia mengakui bahwa adanya unsur keyakinan dalam pengetahuan tidak terhindarkan. Selain itu, lanjut Peirce, pengetahuan tidak terlepas dari otoritas dan kewenangan. Orang akan lebih percaya pada pernyataan-pernyataan teoretis yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Dalam kenyataan, kehidupan tidak akan dapat berjalan tanpa cara kewenangan dalam mengukuhkan pengetahuan yang dianggap benar.
Peirce selanjutnya mengemukakan cara lain untuk memperoleh pengetahuan, yakni: intuisi. Seseorang memperoleh pengetahuan melalui nalar atau proses berpikir, dan tidak harus selaras dengan pengalaman. Melalui pergaulan dan komunikasi, orang dapat mencapai kebenaran karena ia memiliki kecenderungan alami ke arah kebenaran. Karena itu, Kerlinger yang mengutip Peirce menegaskan, tidak menutup kemungkinan adanya pengetahuan teoretis yang berbeda sebagai hasil dari perbedaan penalaran yang dilakukan oleh orang yang berbeda.
Proses berpikir berusaha untuk mencapai kesimpulan dalam bentuk knowledge. Menurut MM Ismail (1958) kesimpulan dari proses berpikir sering terkait dengan ada atau tidak adanya sesuatu, dan hal ini bersifat pasti; tidak mungkin mengandung faktor kesalahan. Alat indera manusia tidak mungkin salah dalam menentukan eksistensi (keberadaan) sesuatu yang bersifat nyata. Kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses berpikir hanyalah dalam menentukan esensi (hakikat) sesuatu akibat ‘kesalahan’ penginderaan. Misal: fatamorgana sering disangka air; benda lurus dalam wadah berair tampak bengkok. Namun, ‘kesalahan’ dalam mengindera esensi fakta-fakta ini tidak menafikan kebenaran tentang eksistensi-nya. Fatamorgana tersebut tetaplah bisa dipastikan keberadaannya. Demikian pula benda lurus yang dimasukkan ke dalam wadah berair. Dengan demikian, kesimpulan tentang eksistensi sesuatu pada dasarnya bersifat pasti.
Siapapun yang mengamati realitas yang ada akan sampai pada kesimpulan tentang eksistensi (keberadaan) sang Pencipta, Allah SWT. Ini bersifat pasti. Memahami Allah SWT dengan menggunakan metode ‘aqliyyah akan menghasilkan kesimpulan yang pasti tentang keberadaan-Nya; keberadaan-Nya tidak mungkin salah.
Apabila kesimpulan dari proses berpikir, lanjut Ismail, berkaitan dengan esensi (hakikat), fenomena atau sifat sesuatu, maka kesimpulan tersebut tidak bersifat pasti dan mengandung kemungkinan terjadinya kesalahan. Sebab, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan informasi yang diperoleh atau interpretasi terhadap fakta yang terindera melalui informasi yang telah ada, namun informasi tersebut mungkin mengandung unsur kesalahan. Hanya saja, hasil pemikiran tersebut dianggap benar sampai terbukti kesalahannya. Jika terbukti salah, maka sejak saat itu kesimpulan dianggap salah, peneliti menggunakan kesimpulan baru yang lebih sahih.
Dengan demikian, knowledge sebagai kesimpulan dari proses berpikir bersifat relatif, memungkinkan di dalamnya terjadi kesalahan. Relativitas yang dimaksud bersifat kontinum, yakni suatu garis yang tidak memiliki batasan yang tegas.
Demikilanlah pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang sarat dengan nilai. Pengetahuan merupakan produk dari konteksnya. Mulyanto menjelaskan bahwa ilmu merupakan produk dari konteks sosio-kultural dan kepercayaan. Jika lingkungan atau keyakinan umum bersifat ateis, maka pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang dihasilkan bersifat materialis. Jika ilmu dihasilkan dari proses berpikir yang sarat dengan nuansa akidah, maka ilmu (knowledge) akan sarat dengan nilai-nilai keimanan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berpikir. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Alqur’an yang menyuruh manusia untuk berpikir. Contohnya QS. Ali Imron : 190-191.( Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: “Ya Tuhan kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami dari siksa neraka”).
C. Problem Solving
Problem Solving atau Pemecahan Masalah adalah kemampuan berpikir yang utama karena hal itu meliputi cara berpikir yang lainnya: berpikir kreatif dan analitis untuk pembuatan keputusan.
1. Berpikir Kreatif, adalah berpikir yang memberikan perspektif baru atau menangkap peluang baru sehingga memunculkan ide-ide baru yang belum pernah ada. Kreatif tidak hanya demikian tetapi kreatif juga sebuah kombinasi baru yaitu kumpulan gagasan baru hasil dari gagasan-gagasan lama, menggabungkan beberapa gagasan menjadi sebuah ide baru yang lebih baik.
2. Berpikir Analitis, adalah berpikir yang menggunakan sebuah tahapan atau langkah-langkah logis. Langkah berpikir analitis ialah dengan menguji sebuah pernyataan atau bukti dengan standar objektif, melihat bawah permukaan sampai akar-akar permasalahan, menimbang atau memutuskan
atas dasar logika. Kedua cara ini tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi sesuai
konteksnya. Sebagai contoh Anda perlu berpikir kreatif dalam memecahkan sebuah persoalan, namun anda juga perlu berpikir Analitis untuk memutuskan mana yang terbaik diantara kemungkinan kreatif anda.
Proses Pemecahan Masalah
1. Penafsiran Masalah : Disebut juga dengan mendefinisikan masalah ~ dengan cara berpikir kreatif
2. Strategi Pemecahan Masalah : Membuat seleksi terhadap strategi pemecahan masalah yang terbaik
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Khaidirsyafrudin.blogspot.com/2013/02/filsafat-islam-dan metode-cara-berpikir.html
www.erfan.ir/58808.html. Alqur’an menyeru manusia untuk berfikir.
http://psikologi.or.id. Berpikir (thinking).
http://fahmichanifansyah.blogspot.com/
http://syiena.wordpress.com/2008/03/21/filsafat-ilmu-pengetahuan/
Maman, Kh. 2012. Apa itu Berfikir ?. Pusbangsitek UIN Jakarta.
Pervez Hoodbhoy, Islam and Science, Religious Ortodoxy and The Beattle for Rationality, edisi Indonesia terjemahan Saria Meutia (Bandung: Mizan, 1996) hal. 38-39
Taqyuddin An-Nabhani, At-Tafkir, 1973. hal. 27-39
MM Ismail, Al-Fikru al-Islamy (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958) hal. 88
Anonim, “Epistemology,” Wikipedia, the Free Encyiclopedia dalam http:// en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, dikunjungi tanggal 2 September 2005.
Kunczik, Michael, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986) hal. 59
Jujun S. Suriasumantri, “Mencari Alternatif Pengetahuan Baru”, dalam A.M. Saefuddin et.al., Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991) hal. 14.
Mulyanto. 2000. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Cidesindo. hal. 18-19
26