PEMBEREDELAN PERS DI INDONESIA
Edward C. Smith
BAB IV: Setelah Pengakuan Kedaulatan
Pendahuluan
Menurut KBBI, (be·re·del / berédel [v]/ mem·be·re·del [v]) adalah menghentikan penerbitan dan peredaran (surat kabar, majalah, dan sebagainya) secara paksa; memberangus. Breidel adalah istilah dari bahasa Belanda yang berarti pemberangusan, pelarangan, atau pembatasan terhadap media massa atau produk pers, yang biasanya mengacu pada barang cetakan, seperti surat kabar dan buku. Tindakan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah atau organisasi tertentu. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers. Contoh pembredelan yang umum dilakukan adalah penyensoran.
Periode 1949-1953
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian mengalami masa perang revolusi 1945-1949, dan mendapatkan pengakuan kedaulatan dari kerajaan Belanda pada Desember 1949, surat kabar mulai banyak berkembang. Surat kabar pada masa kolonial seperti Java Bode terbit kembali, begitu juga dengan surat kabar yang diterbitkan oleh orang Tionghoa seperti Sin Po, Keng Po, dan lain sebagainya. Berita Indonesia yang diterbitkan oleh B.M. Diah pada awal pecahnya revolusi terbit kembali dengan sirkulasi dengan waktu singkat mencapai 10.000 eksemplar. Sementara surat kabar milik B.M. Diah lainnya yaitu Merdeka yang berhaluan revolusioner, dalam artian terkadang kritis namun tetap hati-hati terhadap pemerintah selalu mendapatkan izin terbit dari presiden Soekarno. Bahkan harian Merdeka telah mencapai sirkulasi sebanyak 20.000 eksemplar. Pada perkembangan berikutnya, muncul surat kabar seperti Pedoman oleh Rosihan Anwar (1948), Indonesia Raya oleh Mochtar Lubis (1949), Abadi yang berafiliasi dengan Masyumi (1950), Harian Rakyat yang berafiliasi dengan PKI (1951), Suluh Indonesia yang berafiliasi dengan PNI (1953), dan masih banyak lagi.
Periode tahun 1949 hingga tahun 1953-an, kemunculan pers yang berada pada masa demokrasi liberal bukan berarti kebebasan pers, namun liberal dalam artian penekanan pada politiknya. Kebebasan pers banyak digunakan untuk mencaci maki dan bahkan memfitnah lawan politiknya. Pada masa tersebut, empat partai besar telah memiliki surat kabar sendiri, bahkan surat kabar yang mengaku independen tidak terlepas juga dengan kedekatan hubungan dengan salah satu partai. Menjelang pemilu 1955, PNI merupakan pemilik Suluh Indonesia, Masjumi pemilik harian Abadi, NU pemilik Duta Masjarakat, dan PKI memiliki Harian Rakjat. Sementara Indonesia Raya dan Pedoman dianggap memiliki kedekatan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Sementara pembredelan yang terjadi dalam kurun waktu 1949-1953 belum banyak terjadi. Hal ini dikarenakan masih berlakunya asal-pasal dalam hukum pidana (KUHP) mengenai tindak pidana pers dan Persbreidel Ordonnantie tahun 1931 yang intinya adalah memuat aturan-aturan yang memberi kekuasaan kepada Badan Eksekutif (Gouverneur-Generaal) untuk melarang dicetak, dikeluarkan, dan disebarkan, surat kabar serta majalah, jikalau surat kabar dan majalah itu dianggapnya mengganggu ketertiban dan keamanan umum. Dalam hal ini kepada mereka yang berkepentingan pencetak, redaksi dan sebagainya tidak diberi kesempatan untuk membela diri dan tidak diadakan kemungkinan untuk minta putusan yang lebih tinggi. Kalaupun tahu alasannya, tidak bisa semudah menuntut pemerintah karena dengan aturan ini, maka sebetulnya hidup matinya surat kabar tergantung daripada pendapat yang memegang kuasa ini, yaitu pemerintah.
Lihat penjelasan UU No 23 Tahun 1954 tentang pencabutan Ordonnantie 7 September 1931 Bahkan dalam laporan Times of Indonesia dan IPI Report tentang tindakan dan tuduhan terhadap pers antara Mei hingga Desember 1952 belum terjadi bentuk tindakan pembredelan pers yang bisa dikatakan besar. Sanksi pemenjaraan hanya terjadi pada pers milik orang Tionghoa, meskipun ada penahanan untuk pers milik Indonesia. Tuduhan yang dilakukan pihak pemerintah berupa pelanggaran KUHP, pemuatan berita yang tidak benar, penghinaan terhadap pemerintah, dan lain sebagiannya.
Pembentukan Dewan Pers tahun 1950 tidak berpengaruh besar dalam perkembangannya, meskipun nantinya pada tahun 1954, UU kolonial tentang pembredelan pers dihapus sesuai dengan tuntutan yang tertuang dalam Dewan Pers tersebut. Dalam UUDS yang berlaku setelah UUD RIS tahun 1950 dibatalkan, terdapat satu pasal yang menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat" (tertuang dalam Pasal 19). Namun, pasal-pasal dalam hukum pidana (KUHP) mengenai tindak pidana pers dan Persbreidel Ordonnantie tahun 1931 buatan Belanda masih tetap berlaku. Baru pada tahun 1954 Persbreidel Ordonnantie 1931 dicabut dengan keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1954, mengingat peraturan Belanda tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 19 UUDS 1950. Begitu juga pembredelan pers dan penangkapan wartawan terjadi atas dasar pasal-pasal dalam Reglemen Staat van Oorlog en Beleg (SOB) peninggalan pemerintah kolonial Belanda (Serikat Penerbit Suratkabar, 1971).
Periode 1953-1957
Pada periode 1953-1957, kebebasan pers tidak mengalami perubahan yang signifikan. Meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pers semakin menderita di masa ini. Ketika Kabinet Ali terbentuk, pers semisal Mimbar Indonesia dan Abadi memperlihatkan ketidaksukaan mereka. Dalam perkembangannya, perdana menteri mengajukan gugatan bahwa harian Pemandangan telah membuat laporan “sangat rahasia” pemerintah Indonesia. Asa Bafagih sebagai pihak yang bertanggung jawab menolak untuk menyebutkan sumbernya. Di Banjarmasin, redaksi dua surat kabar ditangkap karena dianggap menghina para pejabat setempat. Pemerintha menahan berita yang akan dikirim ke luar negeri dengan mengutip Harian Rakyat, seolah-olah telah dilakukan usaha menculik Soekarno di Sumatera Utara.
Pada masa 1953, pers hidup dalam ketakutan akibat undang-undang kolonial tahun 1848 yang memungkinkan para pejabat mengambil tindakan pencegahan apabila merasa akan terjadi pelanggaran atau terganggu ketertiban umum. Seorang pemimpin redaksi di Jakarta menamakannya undang-undang “karet”. Pada tahun 1953, “pelanggaran KUHP” dan “penghinaan pemerintah atau pejabat” merupakan tuduhan yang umum pada pers.
Tahun 1954 menjadi tahun kampanye untuk pemilihan umum tahun 1955. Inflasi melaju pesat; penyelundupan meningkat. Meskipun pers tidak mendukung presiden, tindakan terhadap pers berkurang. Seorang koresponden harian Cina Keng Po diancam dengan hukuman karena artikelnya yang memuat turunnya cadangan di Bank Indonesia dianggap “mengganggu serta membahayakan” negara. Selain itu, E. Evenhuis, redaktur harian berbahasa Belanda, Vrije Pers, diusir dari Indonesia akibat menulis tentang pemerintah daerah Surabaya yang menjalankan kebijakan permusuhan unsur Belanda.
Mochtar Lubis, pimpinan Indonesia Raya, menyiratkan bahwa jika pemerintah menangkap seorang redaktur berdasarkan berita yang tidak disukai pemerintah, maka para penerbit Indonesia mungkin akan mendapat giliran berikutnya. Waspada di Medan serta Trompet Masyarakat di Surabaya tidak menyadari bahaya yang mereka hadapi ketika setuju diadakan undang-undang pers nasional yang melarang surat-surat kabar asing di Indonesia.
Pada Juni 1954, pemerintah mencabut Ordonansi Pembreidelan Pers (Persbreidel Ordonnantie) yang disahkan Belanda pada 1931 dan 1932. Kedua ordonansi ini memberikan kuasa kepada gubernur jenderal untuk menutup penerbitan, tanpa hak naik banding, yang dianggap mengancam keamanan daerah-daerah jajahan. Tetapi masalahnya tidak banyak berbeda; kini peraturan-peraturan yang baru disusun, dan pemerintah tetap akan mempunyai cukup rasionalisasi untuk menekan pers.
Pemimpin redaksi Harian Rakjat dijatuhi hukuman 7 hari akibat tulisannya yang menyerang Presiden Amerika Serikat Eisenhower. Pers saat itu menyerang Soekarno akibat pernikahannya dengan Hartini (poligami) dan pidatonya yang menuduh tokoh-tokoh nasional. Namun hanya terdapat delapan tindakan anti pers pada tahun 1954. Hal ini bisa didasarkan pada pernyataan Pedoman bahwa Soekarno tidak lagi dipandang penuh keseganan.
Pada tahun 1955, Indonesia Raya mengungkapkan kisah tentang suatu “Hospitality Committee” pada Konferensi Asia Afrika. Times yang dipimpin oleh Tambu menyajikan cerita tersebut dengan disertai dokumentasi foto-foto. Berikutnya, Times pada 29 Juni menulis tentang “Peristiwa 27 Juni” yang melibatkan Kolonel Zulkifli Lubis berupa kritik kecerobohan pemerintah.
Akhir Juli, Jaksa Agung menyerukan kepada pers agar menghindari cara-cara pemberitaan yang dapat memperuncing ketegangan yang sudah ada. Pimpinan redaksi mingguan Djakarta Raya diadili atas tuduhan memfitnah bekas menteri kehakiman tentang suap 200.000 straits dollar. Dinas Pengawas Keamanan Negara memanggil pemimpina redaksi Pedoman karena memuat “surat kepada redaksi” yang ditafsirkan sebagai penghinaan kepada presiden. Pada Oktober 1955, redaksi harian Berita Indonesia pimpinan Diah didenda karena menodai nama baik pimpinan partai Masyumi dengan menulis bahwa beliau telah menyelundupkan devisa. Redaksi Bintang Timur dituduh dengan sengaha merusak nama baik seorang bekas pejabat pemerintah. Pada tahun 1955, terdapat tiga belas tindakan anti pers. “Menyebarkan berita bohong” banyak digunakan sebagai tuduhan.
Pada Juni 1956, Mochtar Lubis menjadi tahanan rumah akibat tuduhan terlibat dalam perkelahian. Harian Indonesia Raya kemudian mengungkap penyalahgunaan dana pemerintah ynag melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Pada 14 September, Angkatan Darat melarang pemberitaan pers yang bersifat provokatif. Pada 25 Oktober, Mochtar Lubis dibawa ke sidang pengadilan. Setelah percobaan kudeta di Padang 20 Desember dimuat dalam Indonesia Raya, Mochtar Lubis dijebloskan dalam penjara. Tahun 1956 terjadi lompatan dalam tindakan-tindakan anti pers (32 kasus). Namun, sebagian besar dari kejadian itu berupa peringatan, rasionalisasi (tuduhan) mengumpul dalam kategori macam-macam. Mochtar Lubis pada awalnya ditahan akibat pekerjaannya sebagai wartawan namun lama kelamaan Mochtar Lubis didakwa terlibat usaha kudeta yang dilakukan oleh Kolonel Zulkifli Lubis.
Berbagai tajuk rencana pada tahun 1957 menyerang habis Soekarno. Tidak heran, terdapat 125 kali tindakan anti pers oleh pemerintah. Akibat pemberontakan yang banyak terjadi di daerah, kepala staf angkatan daerah dengan persetujuan presien mengumumkkan keadaan darurat perang. Pers dan para politisi dibuat lari terbirit-birit ke mana-mana.
TUGAS KELOMPOK
SEJARAH MEDIA MASSA
Disusun Oleh :
Anggi Dwiky Darmawan
Nobi Asshofa Zen
Wahyu Budi Arianto
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2013