PENUNDAAN PEMBAGIAN WARISAN DALAM KEBIASAAN
MASYARAKAT MELAYU RENGAT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Sebagian
Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
FELA PERYANDJA
NIM.11521105244
PROGRAM S 1
JURUSAN HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
1440 H/2019 M
MOTTO
ليس الفتى من يقول كان أبي ولكن الفتى من يقول ها انا ذا
BUKAN PEMUDA BAGI YANG MENGATAKAN INI ORANG TUA SAYA,
SESUNGUHNYA PEMUDA IALAH YANG MENGATAKAN INI SAYA
KATA PERSEMBAHAN
Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillahirabbil’alamin..
Sujud syukurku ku persembahkan kepadamu tuhan yang maha Agung nan
Maha Tinggi nan Maha Adil nan Maha Bijaksana nan Maha Penyayang, atas
takdirmu telah kau jadikan aku manusia yang senantiasa berfikir berilmu, beriman
dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini. Semoga keberhasilan ini menjadi
satu langkah awal bagiku untuk meraih cita-cita besarku.
Lantunan Al-fatihah beriring, ku angkatkan kedua tangan ini berdoa dan
bersyukur tiada terkira, terima kasihku kupersembahkan sebuah karya kecil ini
untuk Ayahanda dan Ibundaku tercinta, yang tiada pernah hentinya selama ini
memberikan semangat, doa, motivasi serta dorongan nasehat dan kasih sayang
serta pengorbanan yang mengorbankan segalanya hingga tak tergantikan sehingga
aku selalu siap menjalani rintangan yang ada di depan ku.
Untuk seluruh keluarga besarku, sahabat-sahabat terbaikku yang terus
memberikan semangat, yang selalu ada disetiap aku senang maupun susah,
semoga selalu dalam lindungan Allah SWT yang maha segalanya.
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “PENUNDAAN PEMBAGIAN WARISAN
DALAM
KEBIASAAN
MASYARAKAT
MELAYU
RENGAT
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”
Latar belakang dalam penelitian ini terjadi karena di Desa kampung Pulau
selalu menunda pembagian warisan ketika ada salah seorang dari keluarga mereka
yang meninggal dunia dan penundaan pembagian warisan ini minimal satu tahun.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebiasaan
pelaksanaan pembagian harta warisan di Desa Kampung Pulau dan bagaimana
perspektif hukum Islam terhadap kebiasaan penundaan pembagian harta warisan
di Desa Kampung Pulau. Penelitian ini bertempat di Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu.
Penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara dan ditambah
dengan dokumen-dokumen dari buku-buku yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti. Setelah data terkumpul penulis melakukan analisa data
dengan menggunakan metode kualitatif serta menggunakan metode deduktif dan
deskriptif, adapun populasi dalam penelitian ini adalah ahli waris (masyarakat)
yang menunda pembagian warisan di Desa Kampung Pulau. Populasi dari
penelitian imi seluruh masyarakat Desa Kampung Pulau sebanyak 3.432 dan
mengambil sampel sebanyak 10 orang ahli waris dan 2 orang tokoh masyarakat.
Sampel diambil dengan menggunakan Teknik purvosive sampling.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
penundaan pembagian harta warisan di Desa Kampung Pulau diyakini oleh nenek
moyang mereka terdahulu untuk menenangkan keluarga yang sedang bersedih.
Ketika keadaan telah membaik barulah mereka membicarakan masalah harta
warisan. Dari penundaan pembagian harta warisan yang telalu lama hingga
menimbulkan beberapa masalah seperti perselisihan antara keluarga, putusnya
silaturahmi, harta warisan yang terbengkalai. Adapun alasan ahli waris dalam
penundaan pembagian harta warisan disebabkan oleh salah seorang dari orang tua
masih hidup, memiliki pekerjaan atau keadaan ekonomi yang berkecukupan,
belum mendapat persetujuan keluarga, adat istiadat, dan belum mampu dalam
mengelolah harta. Oleh karena itu, dengan melihat akibat yang ditimbulkan, maka
menunda pembagian harta warisan tidak diperbolehkan. Kerena penundaan
pembagian harta warisan bisa menimbulkan dampak buruk baik dari harta warisan
maupun dari segi ahli waris.
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahhirabbil’alamin,
Segala puji dan syukur hanya bagi penguasa alam raya Allah SWT., atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan karunia-Nya sehingga penulis akhirnya mampu
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta Salam tidak lupa pula selalu
senantiasa kehariba’an Syaidul Musthofa baginda Nabi Muhammad SAW.,
Semoga syafaat beliau akan kita rasakan di yaumul akhir nanti, Amin.
Skripsi ini dibuat atas kerja keras penulis untuk menampilkan yang terbaik
dengan format penulisan yang sistematis mungkin dan mengankat sebuah topik
dengan
judul
“PENUNDAAN
PEMBAGIAN
WARISAN
DALAM
KEBIASAAN MASYARAKAT MELAYU RENGAT PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM.”
Harus diakui bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu
penulis mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangan ini semua. Dalam
penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, motivasi serta
petunjuk dari berbagai pihak yang sangat berjasa bagi penulis, sehingga pada saat
ini penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan sangat baik dan tepat pada
waktunya. Dan itu semua juga berkat orang-orang yang berjasa di balik layar, oleh
karena itu dengan kerendahan hati peneliti ingin menyempaikan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada: Yth
ii
1. Kedua orang tua, Ayahanda tercinta Jamhur dan Ibunda tercinta Zuriyati
telah merawat Ananda dari kecil hingga sekarang ini, yang telah
memberikan semua do’a dan kasih sayang tulus setiap detik tanpa henti
yang tidak akan pernah dapat Ananda balas sampai kapanpun.
2. Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, S.Ag sebagai Rektor Universitas Islam
Negri Sultan Syarif Kasim Riau beserta Bapak Drs H. Suryan A. Jamrah,
Ma sebagai Wakil Rektor I, Bapak Dr. H. Kusnedi, M.pd sebagai Wakil
Rektor II, dan Bapak Drs H. Promadi, MA., Ph.d sebagai Wakil Rektor III
Universitas Negri Sultan Syarif Kasim Riau.
3. Bapak Dr. H. Hajar M. Ag sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beserta Bapak Dr. Heri Sunandar, M. CL sebagai Wakil Dekan I, Bapak
Wahidin, M. Ag sebagai Wakil Dekan II, dan Bapak H. Maghfirah, MA
sebagai Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum.
4. Bapak H. Akmal Munir, Lc., MA sebagai ketua Jurusan Hukum Keluarga
beserta Bapak Ade Fariz Fahrullah, M. Ag sebagai Seketaris Jurusan
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum.
5. Bapak Drs. Yusran Sabili, M.Ag sebagai pembimbing skripsi yang telah
berjuang meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya, dengan
ikhlas dan sabar memberikan motivasi dan arahan hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
atas tauladan dan kesabaran Bapak dan Ibu mengajarkan ilmu-ilmu dalam
perkuliahan
7. Kepada seluruh karyawan Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim
Riau dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum
iii
8. Kepada Perpustakaan Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau
dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
9. Kepada Kakak Kandungku Nita Ardiana dan Abang Iparku Herdinata
yang selalu mendukung dari belakang dalam segala hal kebaikan
10. Kepada temanku Surya Aridio, Joshua Suherman, Fadlan Jauhary, Fadli
Syakur, Alwis, Seftari Harahab, Adzim, Mustaghfiri Izzi, Abdul Azis,
Sofyan Pasaribu, Rahma Yudi, Ismail, M. Rusdi, Andre Irvandi,
Muhammad Firdaus, Yusuf Hanif, Faruq Fito, Yoga OP, Algifari, JJ Farid
Aqil, Randy Aditya, dan teman-teman satu lokal, satu jurusan, satu
organisasi yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang selama ini sudah
menjadi lebih dari teman, yaitu seperti saudara sendiri yang
telah
menemani baik senang maupun susah sama-sama dijalani. Terimakasih
atas segala dukungannya.
Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi mendekati
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat
pada umumnya dan dapat memberikan perkembangan bagi ilmu di Fakultas
Syariah dan Hukum Uin Sultasn Syarif Kasim Riau khususnya dan ilmu secara
keseluruhan
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Pekanbaru, 7 Desember 2019
Peneliti,
Fela Peryandja
NIM. 11521105244
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
v
DAFTAR TABEL...........................................................................................
vii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Batasan Masalah .....................................................................
9
C. Rumusan Masalah ..................................................................
10
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................
10
E. Metode Penelitian ...................................................................
10
F. Sistematika Penulisan .............................................................
13
GAMBARAN UMUM TENTANG LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Desa Kampung Pulau ................................................
15
B. Geografis dan Demografis .....................................................
17
C. Ekonomi .................................................................................
19
D. Pendidikan ..............................................................................
21
E. Keagamaan .............................................................................
24
F. Sosial dan Budaya ..................................................................
25
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Warisan .........................................
27
1. Pengertian .........................................................................
27
2. Dasar Hukum ....................................................................
28
3. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam ................................
31
4. Sebab-Sebab Mewarisi .....................................................
39
5. Rukun dan Syarat Kewarisan ...........................................
43
6. Pengolongan Ahli Waris dan Bagiannya .........................
48
7. Hijab .................................................................................
54
8. Faktor Penghalang Waris .................................................
57
v
BAB IV
B. Tinjauan Umum Tentang ‘Urf ................................................
59
1. Pengertian ........................................................................
59
2. Pembagian ‘Urf 5 ..............................................................
9
3. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil syara’ ..............................
63
4. Syarat Penggunaan ‘Urf ...................................................
64
5. Hukum Dapat Berubah Karena Perubahan ‘Urf ...............
65
HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan di Desa Kampung
Pulau .......................................................................................
68
B. Perspektif Hukum Islam Terhadap Penundaan Pembagian
Waris ......................................................................................
BAB V
78
KESIMPULAN
A. Kesimpulan ............................................................................
86
B. Saran ........................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Daftar Nama Kepala Desa ..............................................................
16
Tabel 2
Klasifikasi Penduduk Menurut Jenis Kelamin ...............................
19
Tabel 3
Mata Pencaharian Penduduk Desa Kampung Pulau .......................
20
Tabel 4
Klasifikasi penduduk yang sedang mengikuti pendidikan tahun 2018 22
Tabel 5
Fasilitas Pendidikan di Desa Kampung Pulau ................................
23
Tabel 6
Sarana Ibadah Desa Kampung Pulau ..............................................
24
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata faraid, merupakan bentuk jamak dari kata faridah, yang berasal
dari kata farada yang artinya adalah ketentuan. Dengan demikian kata faraid
atau faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk
ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak
mendapatkannya, dan berapa bagian masing-masing.1
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk
menamakan hukum kewarisan Islam, seperti fiqih mawaris, ilmu faraid, dan
hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan
arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Fiqih menurut bahasa berarti mengetahui, memahami,
mengetahui
sesuatu
atau
memahami
sesuatu
sebagai
hasil
yakni
usaha
mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh.
Daud Ali memberikan pemahaman, bahwa Fiqih adalah memahami
dan mengetahui wahyu dengan menggunakan metode penalaran akal dan
metode tertentu, sehingga di ketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara
rinci. Sebagai mana telah dijelaskan dalam surat at-Taubah 1222
Menurut istilah, fiqih ialah suatu ilmu yang menerangkan segala
hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalil yang
1
A. Khisni, Hukum Waris Islam,(Semarang: UNISSULA PRESS, 2017), Cet.6, h.1.
Moh.Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,
2011), cet.1, h. 5.
2
1
2
jelas. Maka dia melengkapi hukum-hukum yang dipahami mujtahid dengan
jalan ijtihad.3
Kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari
miiraats yang berarti harta peninggalan yang di warisi ke ahli warisnya.
Jadi, fiqih mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang
harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang
berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.4
Aturan tentang warisan ini telah banyak diatur oleh Allah dalam alQuran seperti didalam surat an-Nisa 11-12
3
4
Ibid.,h. 6.
Ibid.,h. 7.
3
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana, Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lakilaki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun (Q.S. an-Nisa‟ ayat
11-12).5
5
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya, 2012, 78-79.
4
Kedua ayat di atas merupakan pendahuluan tentang ketentuan memberi
kepada setiap pemilik hak-hak sah mereka, juga menegaskan bahwa ada hak
buat lelaki dan perempuan berupa bagian tertentu dari warisan ibu, bapak, dan
kerabat yang akan diatur oleh Allah. Kedua ayat tersebut kemudian memerinci
ketetapan-ketetapan mengenai ahli waris dan bagianya. 6
Ayat ini termasuk salah satu ayat-ayat yang utama, sebab ilmu faraid
atau ilmu kewarisan mempunyai peran yang besar dalam agama bahkan 1/3
ilmu pengetahuan terdapat padanya, dalam riwayat lain disebutkan separuh
ilmu pengetahuan. Ilmu faraid adalah ilmu yang paling pertama diangkat dan
dilupakan orang. Diriwayatkan oleh ad-Darquthni dari Abu Hurairah bahwa
Nabi SAW., bersabda,
ٗ ٕ٘ اٗهْٚغٝ ئٞرعيَ٘ا اىفشئغ ٗ عيَ٘ٓ اىْبط فئّٔ ّظف اىعيٌ ٗ ٕ٘ اٗه ش
ْٚضع ٍِ أٍزٝ ئٞش
Artinya: Pelajarilah ilmu faraid (waris) dan ajarkanlah kepada orang-orang
SEBAB ia adalah separuh dari ilmu pengetahuan dan ia adalah ilmu
yang pertama dilupakan dan diangkat dari ummatku
Ketahuilah bahwa ilmu waris adalah ilmu yang paling utama dalam
pandangan para sahabat dan juga mereka sangat memperhatikannya. 7
Adapun syarat pembagian warisan serta halangan untuk menerima
warisan adalah sebagai berikut:
6
Habiburahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011),cet.1, h.84.
7
Al Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Quran,Terj,Ahmad Rijali Kadir,(Jakarta: Pustaka
Azzam, 2013), cet.2, Jilid.5, h.142-123.
5
1. Ada tiga syarat untuk mendapatkan warisan, yaitu:
a. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia. Baik meninggal (mati)
hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus
melalui pembuktian, bahwa seorang telah meninggal dunia, maupun
mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan
melalui putusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa
terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (almafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya,
b. Ahli waris benar-benar hidup ketika pewaris meninggal dunia, atau
dengan putusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris
meninggal. Maka, jika dua orang yang saling mempunyai hak waris
satu sama lain meninggal bersama-sama, tetapi tidak dapat diketahui
siapa yang mati lebih dulu, maka di antara mereka tidak terjadi warismewarisi. Misalnya, orang yang meninggal dalam suatu kecelakaan
penerbangan, tenggelam, kebakaran dan sebagainya,
c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris,
atau denga kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris
bersangkutan berhak waris. Syarat ketiga ini disebutkan sebagai suatu
penegasan yang diperlukan, terutama di pengadilan meskipun secara
umum telah disebutkan dalam sebab-sebab kewarisan.8
8
A. Khisni, Hukum Waris Islam, Op. Cit, h. 5.
6
2. Adanya berbagai sebab dan syarat warisan belum cukup menjadi alasan
adanya hak waris, kecuali jika tidak terdapat salah satu penghalang
sebagai berikut:
a. Berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini
adalah hadis Nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak
berhak waris atas harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak waris
harta orang muslim,
b. Pembunuhan. hadis Nabi mengajarkan bahwa pembunuh tidakberhak
mewaris atas peninggalan orang yang dibunuh. Yang dimaksud
dengan membunuh adalah membunuh dengan sengaja yang
mengandung unsur pidana. Sementara pembunuhan yang tidak
menjadi penghalang mewarisi adalah:
Pembunuhan karena khilaf
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum
Pembunuhan yang dilakukan karena tugas
Pembunuhan karena uzur untuk membela diri.9
Adapun hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagi kepada
ahli waris, yaitu:
1. Biaya perawatan jenazah (tajhiz al-janazah)
2. Pelunasan utang (wafa’ al-duyun)
3. Pelaksanaan wasiat (tanfiz al-wasaya)
9
Ibid., h. 6.
7
Adapun dasar hukum bahwa biaya perawatan jenazah hendaknya
dilakukan secara wajar adalah firman Allah dalam QS. al-Furqan: 67,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak berlebihlebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaannya itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”. (QS. al-Furqan: 67).10
Setelah terpenuhi semua urusan, barulah harta waris boleh dibagikan
kepada setiap ahli waris sesuai dengan ketentuan yang telah diatur oleh
Allah. Dalam pembagian harta waris dianjurkan untuk tidak ditunda-tunda
karena didalam harta waris itu ada hak ahli waris. Jika terus ditunda
pembagian harta waris tersebut maka bisa menimbulkan perselisihan di
antara ahli waris, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad
عِ عجذ هللا،ذٝ حذصْب اعبٍخ ثِ ص:ع قبهٞ حذصْب ٗم،ٜ اثْٜ حذع،حذصْب عجذ هللا
ُخزظَبٝ جبء سجالُ ٍِ األّظبس:ع هللا عَْٖب قبىذ. عِ اً عيَخ س،ثِ سافع
فقبه سع٘ه،َْْٖٔٞب ثٞظ ثٞ ى،َْٖب قذ دسعذٞش ثٝ ٍ٘اسًٚ ف. سع٘ه هللا صٚاى
ٔ ٗ اَّب اّب ثشش ٗىعو ثعؼنٌ أىحِ ثحجزٔ اٗ قذ قبه ىحجزٜ
ّ ً إّنٌ رخزظَُ٘ اى.ص
ّ ذ ىٔ حٞ ّح٘ ٍب اعَع فَِ قؼْٚنٌ عيٞ ثٜ اقؼٍِّّٜ ثعغ فئ
ئب فالٞٔ شٞق اخ
ٚبٍخ فجنًٞ٘ اىقٝ ٔ عْقٜ ثٖباعطبٍب فٜأرٝ أخزٓ فبء َّب اقطع ىٔ قطعخ ٍِ اىْبسٝ
فقبه سع٘ه هللا أٍب اراقيزَب فزٕجب فقزغَبٜ األخٚاىشجالُ ٗقبه مو ٗاحذ ٍَْٖب حق
حيو مو ٗاحذ ٍْنَب طبحجٔ (سٗٓ احَذٞب اىحق صٌ اعزَٖب صٌ ىٞصٌ ر٘خ
11
10
)26773/230
Ibid., h.7.
Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal,(Bairut: Dar al-Kutub alIlmiyah,1993), Cet.1, Juz.6, h. 353.
11
8
Artinya: Abdullah menceritakan kepada kami, Ayah saya menceritakan
kepada saya, Waki‟ menceritakan kepada kami ia berkata: Dari
Ummu Salamah ra berkata ia, bahwa pada suatu hari datang ke
rumah Nabi SAW, dua orang laki-laki yang mempertengkarkan
masalah harta warisan yang telah lama tertunda (terbengkalai)
dan tidak mempunyai keterangan yang jelas, Nabi berkata
kepada mereka, sesungguhnya kalian datang mengadukan
perkara kepadaku, sedangkan aku hanya sebagai manusia. Boleh
jadi diantara kalian pandai dan mengerti memberikan keterangan
dari yang lain. Aku memutuskan perkara hanya berdasarkan
keterangan yang kalian berikan, barang siapa diantara kalian
yang licik memberikan keterangan, sehingga aku memberikan
(menghukum) kepada sebagian hak yang lain. Berarti aku telah
memberinya sepotong api neraka, api itu akan diletakkan
dilehernya sebagai alat penggerak di hari kiamat, selesai Nabi
SAW., berkata, kedua laki-laki yang bersengketa itu menangis,
mereka saling mengatakan bahwa segala haknya diberikan
kepada saudaranya. Mendengar keterangan kedua laki-laki itu,
Nabi berkata: pulanglah kalian dan bagilah harta itu secara adil
berdasarkan musyawarah kemudian hendaklah kalian saling
menghalalkan (HR. Ahmad 320/26773)”.
Dari hadis diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa dalam menundanunda pembagian harta bisa menimbulkan perselisihan antara ahli waris, dan
dalam harta itu terdapat hak-hak bagi setiap ahli waris.
Namun dalam kenyataannya masih ada yang menunda-nunda
pembagian waris. Penundaanya ada yang sampai beberapa tahun. Karena
terlalu lama penundaan pembagian waris ada ahli waris yang samapai
meninggal dunia, namun tetap belum dibagikan. Sebenarnya ahli waris yang
meninggal dunia mendapatkan haknya di dunia dan bisa menggunakan
hartanya namun dikarenakan penundaan pembagian ini, ahli waris yang
meninggal tidak bisa lagi menggunakan haknya di dunia. Dalam kebiasaan
menunda pembagian harta waris ini ada beraneka ragam waktu dari yang
berbulan-bulan samapai yang bertahun-tahun.
9
Seperti yang dialami oleh ibuk Roykhatul Jannah, almarhum ayahnya
telah meniggal selama 6 tahun namun harta warisannya belum juga dibagikan
sampai saat ini.12
Begitu pula yang dialami oleh bapak Herman warisan istrinya belum
dibagikan saat ini, yang mana istrinya telah meninggal dunia pada tahun 2015.
Karena harta warisan belum dibagikan hingga saat ini, sehingga salah seorang
ahli waris meninggal dunia.13
Bukan hanya itu, peneliti juga menemukan kasus bahwa harta warisan
belum juga dibagikan selama 14 tahun sehingga ada salah seorang dari ahli
waris yang meninggal.14
Sejalan fenomena diatas, penulis terdorong untuk meneliti tentang
tinjauan hukum Islam dalam penundaan pembagian harta waris di Kecamatan
Rengat desa Kampung Pulau dengan judul:
“PENUNDAAN
PEMBAGIAN
WARISAN
DALAM
KEBIASAAN MASYARAKAT MELAYU RENGAT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM”
B. Batasan Masalah
Untuk memudahkan dan lebih terarahnya pelaksanaan penelitian ini,
maka penulis perlu membatasi masalah dengan batasan: “Penundaan
pembagian warisan yang berada di Desa Kampung Pulau pada tahun 2018
sampai 2019”.
12
Roykhatul Jannah, (Ahli Waris), Wawancara, Desa Kampung Pulau, Tanggal 8
September 2019.
13
Herman KH, (Ahli Waris), Wawancara, Desa Kampung Pulau, Tanggal 20 September
2019
14
Jea Della Puspita, (Ahli Waris), Wawancara, Desa Kampung Pulau, Tanggal 8
September 2019.
10
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pelaksanaan
pembagian
warisan
menurut
kebiasaan
masyarakat desa Kampung Pulau?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap pelaksanaan penundaan
pembagian warisan di Desa Kampung Pulau?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana tradisi masyarakat desa Kampung Pulau
dalam penundaan pembagian warisan.
b. Untuk mengetahui
perspektif
hukum Islam
dalam
kebiasaan
penundaan pembagian warisan di Desa Kampung Pulau
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian studi dan mendapatkan
gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Hukum Keluarga pada Fakultas
Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau.
b. Sebagai bahan kajian untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan
penulis dalam bidang hukum Islam terutama dibidang hukum
kewarisan Islam.
E. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fiel research),
dengan mengambil lokasi penelitian ini di Desa Kampung Pulau
11
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Lokasi ini dijadikan
sebagai tempat peenelitian karena karena kasus penundaan warisan sering
terjadi disana.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah para ahli waris yang menunda
pembagian harta waris di Desa Kampung Pulau, Objek dalam penelitian
ini adalah kebiasaan masyarakat dalam menunda-nunda pembagian harta
waris di Desa Kampung Pulau di tinjau menurut perspektif
Hukum
Islam.
3. Populasi dan Sampel
Populasi
adalah
kelompok
subjek
yang
hendak
dikenai
generalisasi hasil penelitian.15 Oleh sebab itu populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh ahli waris keluarga di Desa Kampung Pulau yamg
menunda pembagian harta warisan dan tokoh masyarakat. Populasi dari
penelitian ini sebanyak 3.432 dan mengambil
sampel sebanyak
10
oranng dan tokoh masyarakat sebanyak 2 orang, maka sampel yang
peneliti ambil untuk penelitian ini sebanyak 12 orang, dengan teknik
Porposive Sampling.
15
Saifuddin Azwar, Metode penelitian, (yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) Cet. 3, h.77
12
4. Sumber Data
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden lapangan yaitu hasil wawancara dan observasi dari ahli
waris yang menunda pelaksanaan pembagian harta waris.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari berbagai
pihak atau sumber yang dapat memberikan informasi pendukung
seperti tokoh masyarakat dalam penulisan ini serta buku-buku,
majalah, artikel dan kamus yang ada hubunganya dengan penelitian
ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi, yaitu penulis turun langsung ke lokasi penelitian untuk
mengamati keadaaan yang sebenarnya.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan mengajukan
beberapa pertanyaan dalam bentuk lisan secara langsung kepada ahli
waris yang menunda pembagian harta warisan.
c. Pengumpulan dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Adapun metode analisa data yang penulis pakai dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu setelah data
terkumpul, data tersebut di klasifikasikan kedalam kategori-kategori atas
13
dasar persamaan jenis dari data tersebut, kemudian data tersebut
diuraikan, di hubungkan antara satu dengan yang lain, serta dibandingkan,
sehingga ahirnya akan memperoleh gambaran yang utuh tentang masalah
yang diteliti.
7. Teknik Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan tiga metode, yaitu:
a. Induktif, yaitu metode yang menerangkan gambaran permasalahan
atau data dari yang khusus, kemudian di Tarik kesimpulan secara
umum.
b. Deduktif, yaitu uraian yang diawali dengan menggunakan kaedahkaedah umum, dianalisis kemudian diambil kesimpulan secara khusus.
c. Deskriptif, yaitu mengemukakan dan menggambarkan secara tetap dan
apa adanya terhadap masalah yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan uraian dalam tulisan ini, maka penulis menyusun
sistematika penulis sebagai berikut:
Bab I
: Pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan
Bab II
: Gambaran umum lokasi penelitian, yang terdiri dari: Sejarah Desa
Kampung Pulau, Geografis dan Demografis Desa Kampung Pulau,
Ekonomi, Pendidikan, Keagamaan, Sosial dan Budaya Masyarakat
Desa Kampung Pulau
14
Bab III
: Kerangka Teoritis: A. Tinjauan umum tentang kewarisan:
pengertian, dasar hukum dan asas-asas hukum kewarisan Islam,
sebab-sebab mewarisi, syarat dan rukun waris, penggolongan ahli
waris, hijab, faktor penghalang waris. B. Tinjauan umum tentang
‘Urf: Pengertian, pembagian ‘urf, kedudukan ‘urf sebagai dalil
syara‟, syarat penggunaan ‘urf sebagai, hukum dapat berubah
karena perubahan ‘urf.
Bab IV
: Pelaksanaan pembagian warisan dalam kebiasaan masyarakat desa
Kampung Pulau, serta perspektif hukum Islam terhadap penundaan
pembagian waris
Bab V :
Kesimpulan dan Saran
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Desa Kampung Pulau
Desa Kampung Pulau adalah nama suatu wilayah yang terletak di
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Kalau kita perhatikan sejarah
perkembangan pemerintahan jauh sebelum VOC (Pemerintahan Kolonial
Belanda) datang memerintah di Indonesia kira-kira abad ke 13. Daerah
Indragiri Hulu dan Teluk Kuantan merupakan satu kerajaan.
Kerajaan Indragiri diperintah oleh seorang Raja Sultan yang
berkedudukan di Pekan Tua (lebih kurang 75 Km lewat Jalan Sungai Indra
Giri kota Rengat). Waktu daerah ini dikuasai oleh pemerintah Belanda daerah
ini diberi nama afedeling atau distrik Indragiri yang berkedudukan di Rengat.
Onder afdeling atau disrik dikepalai oleh distrik hoofd atau disebut dengan
amir (Dalam kedudukan wilayah Indragiri).
Berdasarkan sejarah pemerintahan periode sebelum 1945. Penjajahan
kolononial Belanda, pemerintahan Jepang, proklamasi kemerdekaan RI dan
samapai sekarang desa kampung pulau telah dipimpin oleh penghulu atau
kepala desa antara lain.16
16
Tim Desa, Profil Desa Kampung Pulau, 2018
15
16
Tabel 1
Daftar Nama Kepala Desa
No
Nama Pejabat
Tahun Menjabat
1
DERANI
-
2
SAMAD
-
3
TAMAM
-
4
MANSUR
1972-1982
5
M. SALEH
1982-2000
6
R. MIKRUM
2000-2005
7
H. BAKRI
17-05-2005 s/d 17-05-2017
8
ASMARAH
17-05-2017 s/d Sekarang
Sumber data:
Data Monografi dan Demografi Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu 2018
Dapat juga kami informasikan bahwa desa Kampung Pulau pada Zaman
pemerintahan menjadi tempat perlindungan atau persembunyian para
pejuang kemerdekaan RI, hal ini diinformasikan oleh salah satu pejuang
purnawirawan Bapak R. Met Niat (Almarhum).17
Desa Kampung Pulau adalah tempat tinggal para Raja-raja, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa makam raja yang ada di desa ini dan
para keturunannya pun diberi gelar Raja. Pada dua tahun terakhir desa
Kampung Pulau menjadi tempat peristirahatan rombongan tapak tilas
sejarah perjuangan dalam rangka memperingati 5 januari sejarah kota
Rengat dimana salah seorang telah menyampaikan sekilas sejarah desa
17
Ibid.
17
Kampung Pulau dan asal terjadinya sungai Sengkayan dan menembus
sungai Batang Rengat, sungai Rasau, sungai Mangkuang, dan menembus
sungai kecil lainnya. 18
Kalau dilihat dari sejarah ada latar belakang kenapa diberi nama Desa
Kampung Pulau. Awalnya Desa Kampung Pulau belum memiliki nama
maka datuk Bandara memikirkan apa nama untuk desa ini, disaat ia
memikirkan itu ia melihat pulau kecil yang berada di depan rumahnya
maka ia terinspirasi dengan pulau itu dan memberi nama desa ini dengan
Desa Kampung Pulau, namun pulau yang dulunya kecil sekarang sudah
besar yang di kenal pada saat ini dengan nama Pulau Jambu.19
Dahulu batas wilayahnya sampai ke seberang yaitu di sekolah
pesantren pada saat ini dan perbatasan Kampung Dagang di dekat Jalan
Dewaruci. Namun karena keterbatasan sarana antara daerah pemerintahan
dengan masyarakat maka wilayah seberang diberikan kepada Desa
Kampung Besar Kota.20
B. Geografis dan Demografis
1. Geografis
Deasa Kampung Pulau merupakan salah satu nama desa yang ada
di Kecamatan Rengat kabupaten Indragiri Hulu. Jarak antara Desa
Kampung Pulau ke ibu kota kecamatan berjarak 3 KM kalua
18
19
Ibid.
Ali Akbar, (Ahli Waris), Wawancara, Desa Kampung Pulau, Tanggal 20 September
2019.
20
2019.
Ali Akbar, (Ahli Waris), Wawancara, Desa Kampung Pulau, Tanggal 20 September
18
mengunakan kendaraan bermotor itu bisa menghabiskan waktu selama
15menit. Lalu jarak desa Kampung Pulau ke ibu kota Kabupaten
sejauh
18
KM
jika
mengunakan
kendaraan
bermotor
bisa
menghabiskan waktu sampai 45 menit.
Desa yang dipisahkan oleh sungai Indragiri dari kota Rengat ini
memiliki tiga dusun di setiap dusun memiliki 2 RW (Rukun Warga)
dan 4 RT (Rumah Tangga),dengan luas wilayah 2.575,62 Ha, yang
terdiri dari pemukiman warga seluas 15,87 hektar, perkebunan warga
seluas 2.100 hektar, 4 hektar kebun kas desa, sekolah seluas 2,5 hektar,
perkantoran seluas 0,5 hektar, jalan sepanjang 4,5 km dan lapangan
seluas 27,5.
Adapun batas wilayah desa Kampung Pulau ini berdasarkan letak
geografi pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Kabupaten Plalawan
Sebelah Selatan
: Kelurahan Kampung Besar Kota
Sebelah Barat
: Kelurahan Kampung Dagang
Sebelah Timur
:
Kelurahan
Kampung
Besar
Seberang21
2. Demografis
Berdasarkan data statistik pada tahun 2018 , Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.432 jiwa.
Dengan perincian 1.514 Jiwa yang berkelamin laki-laki dan 1.918 jiwa
21
Tim Desa, Op,cit.
19
yang berkelamin perempuan, dan semuanya terhimpun dalam 1.141
kepala keluarga.
Untuk lebih jelasnya perhatikan table berikut:
Tabel 2
Klasifikasi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No
Jenis Kelamin
Jumlah/Jiwa
Persentase
1.
Laki-laki
1.514
44,11%
2.
Perempuan
1.918
55,88%
Jumlah
3.432
100%
Sumber data: Data Monografi dan Demografi Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu 2018
Dari table di atas dapat diketahui penduduk Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu hampir berimbang
antara jenis laki-laki 1.514 jiwa dan perempuan 1.918 jiwa.
Berdasarkan data diatas dapat dikategorikan bahwa laki-laki lebih
sedikit disbanding populasi perempuan. Maka angka populasi
berdasarkan jenis kelamin ini menunjukkan kondisi yang kurang
seimbang antara jumlah laki-laki dan perempuan.22
C. Ekonomi
Sumber mata pencarian merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang ada di Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu memiliki berbagai ragam
22
Ibid.
20
pekerjaan. Ada petani, pegawai negri sipil (PNS), pedagang, dan masih
banyak lagi yang dikerjakan oleh masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat tabel sebagai berikut:
Tabel 3
Mata Pencaharian Penduduk Desa Kampung Pulau
No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
Persentase
1
Petani
114
9,80%
2
Pedagang
135
11,60%
3
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
30
2,57%
4
Tukang
43
3,69%
5
Guru
16
1,37%
6
Bidan / Perawat
6
0,51%
7
Polri / TNI
9
0,77%
8
Pensiunan
17
1,46%
9
Sopir / Angkutan
7
0,60%
10
Buruh
43
3,69%
11
Swasta
743
63,88%
Jumlah
1.163
100%
Sumber data: Data Monografi dan Demografi Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu 2018
Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa mata pencarian Desa Kampung
Pulau pada umumnya bekerja sebagai wiraswasta dari 10 jenis mata
pencaharian yaitu jumlah 420 orang. Sebagai petani 114 orang, sebagai
pedagang 135 orang, sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) 30 orang,
21
sebagai tukang 43 orang, sebagai guru 16 orang, sebagai bidan atau
perawat 6, sebagai polri atau TNI 9 orang, sebagai sopir 7 orang, sebagai
buruh 43 orang dan yang pensiunan 17 orang, dan pekerja swasta
sebanayak 743 orang.23
D. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu yang mempengaruhi masyarakat
dalam memberikan respon ataupun persepsi-persepsi terhadap apa yang
dialaminya. Pendidikan merupakan sesuatu yang esensial dalam kehidupan
perorangan, keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan
juga memiliki makna penting bagi kehidupan manusia, terutama untuk
meningkatkan taraf kehidupan manusia agar menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi maka dengan ilmu manusia bisa memahami agama yang
dianutnya dengan baik.
Masyarakat Desa Kampung Pulau pada umumnya bisa menulis dan
membaca, akan tetapi masyarakat desa Kampung Pualau secara formal ada
yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) dan ada juga yang sampai
Perguruan Tinggi. Untuk melihat keadaan pendidikan masyarakat Desa
Kampung Pulau, kecamatan Rengat kabupaten Indragiri Hulu, perhatikan
tabel berikut:
23
Ibid.
22
Tabel 4
Klasifikasi penduduk yang sedang mengikuti pendidikan tahun 2018
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
1
PAUD / TK
32
3,12%
2
SD
717
70,01%
3
SMP
78
7,61%
4
SMA
130
12.69%
5
Perguruan Tinggi
67
6,54%
1024
100%
Jumlah
Sumber data: Data Monografi dan Demografi Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu 2018
Dari data tersebut, menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dalam
pendidikan di desa Kampung Pulau sangat bagus, hal ini dapat dilihat
dengan
tingginya
minat
masyarakat
terutama
orang
tua
yang
menyekolahkan anaknya dimulai dari PAUD dan TK, walau hanya
berjumlah 32 murid. Namun di SD sebanayak 717 dan di SMP berjumlah
78 siswa, sementara di SMA berjumlah 130 siswa dan yang melanjutkan
ke peguruan tinggi atau akademik mencapai 67 mahasiswa.
Data diatas adalah data masyarakat yang sedang menyekolahkan anakanak mereka. Pendidikan sebagai prioritas utama dari pembangunan
berkembang baik di Desa Kampung Pulau. Oleh karena itu tinggi
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sangat dipengaruhi oleh
tersedianya sarana dan prasarana pendidikan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan tabel sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa
Kampung Pulau berikut:
23
Tabel 5
Fasilitas Pendidikan di Desa Kampung Pulau
No
Jenis Sarana Pendidikan
Jumlah
1
TK
1
2
MDA
2
3
SD
1
4
SMP
1
5
SMA
-
Jumlah
5
Sumber data: Data Monografi dan Demografi Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu 2018
Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 5 unit sarana dan
prasarana pendidikan di Desa Kampung Pulau Kabupaten Indragiri Hulu,
yaitu Taman Kanak-kanak (TK) berjumlah 1 instansi, Sekolah Dasar (SD)
berjumlah 1 instansi, MDA berjumlah 2 Sekolah Menegah Pertama (SMP)
berjumlah 1 instansi. Mesekipun SMA tidak tersedia di Desa Kampung Pulau,
masih banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di SMA yang terdapat
di Kota Rengat. Begitu pula dengan perguruan tinggi anak-anak di Desa
Kampung Pulau di kirim ke luar kota atau masih di Kota Rengat untuk
melanjutkan perkuliahan.
Dari data diatas, mengenai sarana dan prasarana pendidikan
merupakan perkembangan yang diperoleh oleh Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Dengan adanya sarana
prasarana pendidikan di atas diharapkan dapat membantu dalam membentuk
masyarakat yang mampu menghadapi perkembangan masyarakat yang
berkualitas.24
24
Ibid.
24
E. Keagamaan
Masyarakat
Desa
Kampung
Pulau
Kabupaten
Indragiri
Hulu
keseluruhan memeluk agama Islam. Dalam menciptakan masyarakat yang
beragama, maka sangat diperlukan sarana dan prasarana ibadah.
Dengan adanya sarana dan prasarana ibadah yang memadai maka akan
memacu semangat masyarakat dalam beribadah dan menciptakan
kehidupan suasana beragama ditengah-tengah masyarakat. Di Desa
Kampung Pulau Kabupaten Indragiri Hulu terdapat sarana ibadah terdiri
dari Masjid dan Mushalla. Untuk lebih jelasnya maka dapat dapat di lihat
dari data berikut:
Tabel 6
Sarana Ibadah Desa Kampung Pulau
No
Jenis Sarana Ibadah
Jumlah
1
Masjid
2
2
Mushalla
8
Jumlah
10
Sumber data: Data Monografi dan Demografi Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu 2018
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa di Desa Kampung Pulau
Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu memiliki sarana dan
prasarana yang memadai, yakni terdapat 2 masjid dan 8 mushala yang
semuanya permanen.25
25
Ibid
25
F. Sosial dan Budaya
Adat merupakan ciri khas yang ada di dalam kehidupan masyarakat
dimanapun masyarakat itu berada. Tidak dipungkiri adat akan selalu
melekat pada kehidupan masyarakat, baik dulu sekarang atau yang akan
datang. Bahkan di zaman modern yang saaat sekarang ini adat tetap ada di
dalam kehidupan masyarakat, karena memang adat sudah mendarah
daging di masyarakat.
Kata “adat” sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti
kebiasaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari
bahasa sangsekerta “a” (berarti “bukan”) dan “dato” (yang artinya “sifat
kebendaan”). Dengan demikian, maka adat sebenarnya berarti sifat
immaterial: yang artinya, adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
sistem kepercayaan.26
Masyarakat Desa Kampung Pulau dahulunya secara keseluruhan adalah
masyarakat suku melayu. Hal ini dapat dilihat dari wilayah desa kampung
pulau dulunya termasuk kedalam kerajaan Idragiri. karena mudahnya
sarana menuju desa ini sekarang maka suku-suku lainpun mulai
berdatangan dan mulailah terjadi pernikahan antara masyarakat sekitar.27
Percampuran budaya ini tidak bisa dipungkiri, karena ada beberapa
masyarakat pendatang dengan suku yang berbeda yang tinggal di Desa
Kampung Pulau. Karena hal ini budaya melayu mulai bercampur seperti
26
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002),
27
Ali Akbar, (Ahli Waris), Wawancara, Desa Kampung Pulau, Tanggal 20 September
h.70.
2019.
26
adanya kuda lumping yang asalnya dari suku jawa, tari randai yang berasal
dari minang dan lain-lain. Walau berbeda akan suku dan budaya, namun
mereka masih bisa berbaur satu dengan yang lainnya, hal ini dapat
dibuktikan dari terjadinya pernikahan atara mereka. Dengan perbedaan itu
juga dapat di jadikan sebagai wadah persatuan dan kesatuan dalam
masyarakat ini, hal ini terlihat dari segi kegiatan kesosialan masyarakat
Desa Kampung Pulau seperti kegotong royongan.
Walau telah bercampur dengan suku-suku lain adat istiadat masyarakat
melayu masih kental, hal ini dapat dibuktikan dari bahasa masyarakat
sekitar yang masih menggunakan bahasa melayu.
Setiap malam jumat, tepatnya setelah salat magrib masyarakat Desa
Kampung Pulau selalu mengadakan wirid yasin baik itu di masjid maupun
di mushalah.
BAB III
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Warisan
1. Pengertian
Waris adalah isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa
waristsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu
berasal dari kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau
harta pusaka. Sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang
mempelajari tentang proses perpindahan harta pusaka pada ahli
warisnya.28
Dalam defenisi lain ialah:
ٍعش فخ را ىل ٍٗعشٚا ىفقٔ ا ىَزعيق ثب ل سس ٍٗعش فخ ا ىحغب ة ا ىَ٘ طو اى
حقٙفخ قذس ا ى٘ا جت ٍِ ا ىزش مخ ىنو ر
Artinya: Hukum
yang berhubungan dengan pembagian harta,
pengetahuan tentang cara perhitungan terhadap harta, dan
bagian-bagian yang wajib bagi masing-masing ahli waris29
Hukum waris dalam ajaran Islam disebut juga dengan istilah
“Faraid”. Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal
dari kata fardu yang berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan
pemberian (sedekah).30
28
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. 2,
29
Syarbaini Khatib, Al-Mughni al-Muhtaj,Kairo: Musthafa al-Babi al-Halbi,1958),Juz.3,
30
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Rajawali pers,2012), h.49.
h.1.
h.3.
27
28
Para ulama fikih memberikan definisi faraid sebagai berikut:
a. Sayyid sabiq dalam fikih sunnahnya mengatakan bahwa faraid ini
adalah penentuan bagian bagi ahli waris
b. Taqiyyuddin dalam kitab kifayah al-akhyar mengatakan ketentuan
bagian warisan yang ditetapkan oleh syariat Islam
c. Assyarbaini dalam kitab Mugni al-Muhtaj mengatakan bahwa faraid
adalah ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta
mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib dimiliki
oleh orang yang berhak.31
2. Dasar Hukum
Sumber utama hukum waris terdiri dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi,
diantaranya :
a. Ayat-ayat al-Qur‟an
1) Al-Qur‟an surat ke-4 (an-Nisa‟) ayat 7.
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.32
31
32
Ibid.,h.50.
Depag RI, Op. Cit.78.
29
2) Al-Qur‟an surat ke-4 (an-Nisa‟) ayat 11
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia d iwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S. anNisa‟ ayat 11 )33
33
Ibid,.h.78.
30
b. Sunnah Nabi
1) Hadis dari Ibnu Abbas menurut riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
Nomor Hadis 6732. yang berbunyi sebagai berikut:
ٔ ٗ عيٌ قبٞ ا لل عيٚ طيٜ ا لل عَْٖب عِ ا ىْجٜعِ ثِ عجب ط سػ
34
س جو رمشٚ فٖ٘ لءٗىٜ ا ىحق٘ا اىفشا ئغ ثب ء ٕيٖب فَب ثق: ه
Artinya : Dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi saw,berkata ia:
Berikanlah Faraidh (bagian yang telah ditentukan
dalam al-Qur‟an) kepada yang berhak dan sisanya
berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat.
2) Hadis dari Abu Nu‟aim yang diriwayatkan oleh sunan Darimi
3062 yang berbunyi sebagai berikut:
ُ عِ اىقبعٌ قبه قبه عجذهللا رعيَ٘ا اىقشاٌٛ حذصْب اىَغع٘دٞحذصْب أث٘ ّع
ً٘ قٚ فٚجقٝ ٗعئَ أٝ ُ عيٌ مبٚفزقش اىشجو إىٝ ُ٘شل أٝ ّٔٗاىفشائغ فئ
35
َُ٘عيٝ ل
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu‟aim telah
menceritakan kepada kamial-Mas‟ud dari al-Qasim ia
berkata; Abdullah berkata; pelajarilah al-Quran dan ilmu
faraid, karena seseorang akan membutuhkan ilmu yang
telah ia pelajari, atau ia berada di suatu kaum yang tidak
mengetahui
c. Ijtihad Para Ulama
Meskipun al-Quran dan hadis sudah memberikan ketentuan
yang terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam
beberapa hal masih dibutuhkan beberapa ijtihad, yaitu terhadap halhal yang tidak ditentukan di dalam al-Quran maupun dalam hadis.
Misalnya bagian warisan waria, diberikan kepada siapa harta
34
Al-Bukhari, Shahih Bukhari,(Bairut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah,1992),Juz 8, h. 150.
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman al-Darami, Musnad Al-Jami’, (Bairut:
Darul Basya‟ril Islami, 1983), h.683
35
31
warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya
Bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya.
Contoh lain seperti status saudara-saudara yang mewarisi
bersama-sama dengan kakek. Di dalam al-Quran hal ini tidak
dijelakan. Yang dijelaskan hanya status saudara-saudara bersamasama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang
dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa
lantaran terhijab, kecuali dalam masalah kalalah maka mereka
mendapat bagian.36
d. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum
sesuatu yang lain yang terdapat didalam nash (al-Quran dan asSunnah) karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid
yang menyamakan hukumnya contoh dari qiyas dalam ilmu waris
seperti: menyamakan cicit perempuan dengan cucu perempuan dan
cucu perempuan dengan anak perempuan.37
3. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Menurut al-Raghib, asas berasal dari kata al-usul kemudian
berubah mejadi al-asasu atau al-asas yang bermakna asal, dasar atau
pangkal suatu bangunan. Selanjutnya, kata asasa berubah menjadi asas
yang mengandung makna kaidah-kaidah yang harus dipertahankan
karena ia berpangkal dari hati atau dasar. Kemudian kata tersebut
36
37
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. h.22.
Syuhada‟ syarkun, Menguasai Ilmu Faraid, (Jakarta: Pustaka Syarkun, 2012),h.6.
32
menjadi Bahasa Idonesia yang baku dan menjadi tumpuan berfikir
atau berpendapat.
Apabila kata tersebut dihubungkan dengan kata hukum ke warisan
Islam, maka dapat dirumuskan bahwa asas adalah alasan pendapat
yang menjadi acuan dalam mencapai kebenaran hukum. 38
Sumber hukum waris Islam yang berasal dari wahyu mengandung
berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula pada hukum
waris yang berdasarkan hasil ijtihad manusia. Oleh karena itu
bersumber dari wahyu maka asas-asas dalam hukum kewarisan Islam
memperlihatkan bentuk karakteristik hukum kewarisan itu sendiri.
Ada lima asas hukum Islam,39 yaitu:
a. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang meninggal
kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa
usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan
menerima. Cara peralihan seperti ini disebut secara ijbari.
Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan, yaitu
melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hukum
keawarisan Islam kata Ijbari memiliki arti bahwa peralihan harta
dari seorang yang telah meninggal kepada ahli waris berlaku
dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung
kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya.
40
38
Ali Parman, Keawarisan dalam al-Quran, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), h.71.
Hajar M, Polemik Hukum waris, (Riau: Suska Pers, 2014), h.30.
40
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Kencana, 2012), h.19-20.
39
33
Asas ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu peralihan harta,
jumlah harta yang berpindah, dan orang-orang yang akan menerima
harta. Aspek peralihan harta dapat diperhatikan al-Quran surat ke 4
ayat ke 7. Ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan ada
bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat. Oleh sebab itu
harta yang ditinggalkan pewaris disadari atau tidak terdapat hak
ahli waris.
Aspek jumlah harta yang berpindah sudah jelas ditentukan.
Pewaris atau ahli waris tidak berhak menambah atau mengurangi.
Oleh karena itu ahli waris wajib menirima bagian yang telah
ditetapkan tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Aspek yang menerima peralihan harta, berarti bahwa orangorang yang berhak atas harta warisan sudah ditetapkan secara pasti.
Manusia tidak memiliki otoritas sedikitpun untuk mengubah atau
menukarnya.41
Apabila dilihat dari KUH Perdata, tampak perbedaanya, bahwa
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada
ahli warisnya bergantung pada kehendak dan kerelaan ahli waris
yang bersangkutan. Dalam KUH Perdata ahli waris dimungkinkan
untuk menolak warisan. Dimungkinkan penolakan warisan ini
karena jika ahli waris menerima warisan, ia harus menerima segala
konsekuensinya. Salah satunya adalah melunasi utang pewaris. 42
41
42
Hajar M. Op.Cit. h.32.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. 23-24.
34
b. Asas Bilateral
Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang kemana arah
peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam
kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada
atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak
kerabat dari garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat dari garis
keturunan perempuan.43
Dalam al-Quran surat ke 4 (an-Nisa‟) ayat 12 menjelaskan
bahwa bila pewaris seorang laki-laki, saudaranya yang laki-laki dan
perempuan berhak menerima warisan. Demikian pula jika pewaris
seorang perempuan, saudaranya yang laki-laki dan perempuan
berhak mewarisi. Sedangkan pada ayat 176 dinyatakan pula bahwa
seseorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sementara ia
mempunyai saudara perempuan, saudaranya itu berhak mewarisi.
Demikian pula bila seorang perempuan yang tidak mempunyai
keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki, saudaranya
laki-laki itu juga berhak mendapatkan warisan. Asas bilateral
dalam hukum waris Islam berlaku pada semua garis hukum. 44
c. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan Islam secara
individual, dalam arti harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing43
44
Amir Syarifuddin. Op. Cit. h. 22.
Hajar M, Op.Cit. h.34.
35
masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
pelaksanaannya masing-masing ahli waris menerima bagiannya
tersendiri tanpa terikat bagian yang lain. Keseluruhan harta warisan
dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dalam jumllah
tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menerimanya menurut kadarnya masing-masing.
Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturanaturan al-Quran yang menyangkut pembagian harta warisan itu
sendiri, misalnya yang terdapat dalam surat an-Nisa‟ ayat 7:
Artinya: Apabila anak yatim mendapat peninggalan harta dari
kedua orang tuanya atau kerabatnya yang lain mereka
sama mempunyai hak dan bagian. Masing-masing mereka
akan mendapat bagian yang telah ditentukan oleh Allah.
Tak seorang pun dapat mengambil atau mengurangi hak
merekan. (Q.S. an-Nisa‟ ayat 7)45
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah bagian
untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya
harta yang ditinggalkan. Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk
kepada ketentuan yang berlaku.46
Dalam referensi lain makdsud dari ayat di atas bahwa semuanya
sama dalam hukum Allah SWT., Mereka sama-sama mendapatkan
45
46
Depag RI, Op. Cit.78.
Amir Syarifuddin, Op. Cit. h.24.
36
hak waris‟ meskipun mereka berbeda seperti yang Allah SWT.,
Tentukan masing-masing dari mereka, sesuai dengan kedekatannya
kepada simayat, baik dari sisi kekerabatan, hubungan suami istri,
maupun hubungan wala’; karena sesungguhnya hubungan wala’ itu
merupakan daging yang kedudukannya sama dengan daging yang
senasab.47
Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap ahli waris memiliki hak
untuk menerima warisan yang telah ditinggalkan, namun setelah
terlaksananya hak-hak si mayat.
d. Asas keadilan berimbang
kata adil secara etimologi al-adl berarti tidak berat sebelah,
tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain.
Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan
yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga
sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama
lain. Adil juga berpihak atau berpegang kepada kebenaran.
Keadilan juga dititik beratkan kepada meletakkan sesuatu pada
tempatnya.48
Dalam referensi lain kata adil merupakan kata Bahasa Idonesia
yang berasal dari bahasa Arab dari kata al-adlu. Hubungannya
dengan
47
masalah
kewarisan,
kata
tersebut
dapat
diartikan
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Ibnu Katsir,Terj.Suharlan dan Suratman,(Jakarta:
Darus Sunnah Pers 2016),Cet. 3, Jilid 2, h. 27.
48
Rahman Ritonga, Abd Rahman Dahlan, Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve 1996) Jilid.1, h.25.
37
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaan.49
Bila dilihat dari bagian yang diterima dalam warisan mungkin
terdapat ketidak samaan, karena keadilan tidak hanya ditentukan
pada jumlah penerimaan hak, tetapi dikaitkan dengan kebutuhan.
Secara umum seorang laki-laki membutuhkan materi yang
lebihbanyak dari perempuan, karena laki-laki memikul kewajiban
menafkahi,
baik
dirinya,
istrinya,
anak-anaknya,
maupun
keluarganya, seperti ayah, ibu dan kerabat lainya. Aturan ini
ditegaskan dalam al-Quran, misalnya surat ke 4 ayat 34. Bila
dikaitkan antara pendapatan dengan kewajiban, akan terlihat bahwa
laki-laki merasakan manfaat dari harta yang diterimanya, sama
dengan manfaat yang dirasakan oleh perempuan.
Pada posisi yang sama, usia tidak menjadi faktor pembeda
diantara ahli waris. Dilihat dari segi kebutuhan sementara memang
terkesan tidak adil, karena orang dewasa dan anak-anak menerima
hak yang sama. Akan tetapi peninjauannya tidak sementara atau
ketika menerima hak saja, karena anak kecil mempunyai kebutuhan
material yang lebih lama dibandingkan dengan orang dewasa. Bila
dihubungkan besarnya keperluan anak kecil, hasilnya bahwa
keduanya sama-sama merasakan manfaat dari harta waris yang
mereka terima. Inilah keadilan hakiki menurut konsep hukum
Islam.50
49
50
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit, h.29.
Hajar M, Op,Cit. h.39-40.
38
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum warisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah
kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal
dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yang
mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk
peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung
maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk kedalam istilah
kewarisan menurut hukum Islam.51
Asas kematian ini mempunyai kaitan yang erat dengan asas
ijbari. Apabila seseorang telah memenuhi syarat sebagai subyek
hukum, maka dapat bertindak atas hartanya yang menyangkut
dengan kemauan atau kehendaknya selama ia hidup. Namun
demikian ia tidak mempunyai kebebasan untuk mengatur hartanya
itu untuk penggunaan sesudah matinya. Kebebasan untuk bertindak
dengan maksimal sepertiga harta maka tindakannya tidak dapat
disebut kewarisan.52
Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari
penggunaan kata-kata waratsa yang banyak terdapat dalam alQuran. Kata waratsa ditemukan beberapa kali digunakan dalam
ayat-ayat kewarisan. Dari keseluruhan pemakaian kata itu terlihat
51
52
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. h.29-30.
Hajar M, Op. Cit. h. 41.
39
bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta itu
meninggal dunia. Makna terakhir ini akan lebih jelas bila semua
kata waratsa yang terdapat dalam ayat-ayat kewarisan dianalisis
dan dihubungkan dengan kata waratsa yang terdapat diluar ayatayat kewarisan kata ini cukup banyak digunakan dalam al-Quran
baik dalam pengertian sebenarnya atau tidak.
4. Sebab-Sebab Mewarisi
Seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena 3 (tiga) hal,
yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan dan
wala’
(pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum Islam lainnya
disebutkan ada (empat) sebab hubungan seseorang dapat menerima
harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia yaitu
hubungan sesama Islam53.
a. Hubungan Kekerabatan (Nasab)
Salah satu sebab beralihnya harta, seseorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya
hubungan silaturahim atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu
hubungan nasab yang dikarenakan oleh kelahiran.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga
golongan, yaitu sebagai berikut:
53
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,Op.cit, h. 72.
40
1) Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati
2) Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asli) yang menyebabkan
adanya si mati
3) Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal
dunia melalui garis menyamping, seperti saudara, panam, bibi
dan anak turunnya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki
atau perempuan54.
Islam
tidak membedakan status hukum seseorang dalam
pewarisan dari segi kekuatan fisiknya, tetapi semata-mata karena
pertalian darah atau kekerabatan. Maka meskipun ahli waris masih
berada dalam kandungan, jika dapat dinyatakan sebagai ahli waris,
ia berhak menerima bagian setelah ia lahir. Demikian juga karena
adanya sebab perkawinan atau memerdekakan hamba sahaya 55.
b. Hubungan Perkawinan (al-Mushaharah)
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum
saling mewarisi antara suami dan istri. Perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi, baik menurut
ketentuan hukum agama maupun ketentuan administrasi negara
sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan sangat diperlukan untuk membuktikan
secara yuridis formal, bahwa dua orang telah melakukan
perkawinan. Sehingga dengan pencatatan tersebut, bisa diketahui
54
55
Faturrahman, Op.cit, h.116.
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Rajawali pers,1998), cet.3, h. 43.
41
apakah hubungan perkawinan itu masih berlaku, apabila salah satu
ada yang meninggal dunia. Demikian juga untuk membuktikan
kekerabatan anak-anak dari perkawinan itu. Sebab apabila tidak
ada bukti-bukti tertulis, bisa saja ahli waris yang jauh menyangkal
bahwa perkawinan itu tidak pernah ada, karena ada maksud untuk
menguasai harta warisan si mati. Tentu hal ini sangat merugikan
pihak-pihak yang sebenarnya lebih berhak untuk mendapatkan
warisan.
Termasuk didalam status perkawinan adalah istri-istri di cerai
raj’i, yaitu cerai yang dalam hal ini suami lebih berhak untuk
merujuknya ketimbang orang lain, yaitu cerai pertama dan kedua,
selama dalam masa tunggu (Iddah). Misalnya ada seorang laki-laki
meninggal dunia, meninggalkan istri yang baru seminggu
diceraikan sementara menstruasinya normal. Apabila ia dicerai
pertama atau kedua (raj’i), maka ia berhak menerima warisan,
selama dalam masa tuggunya. Argumentasinya adalah bahwa istri
yang dicerai raj’i selama dalam masa-masa tunggunya, sekiranya
suaminya
masih
hidup,
suaminyalah
yang
paling
berhak
merujuknya56.
c. Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak (Al-Wala’)
Hubungan sebab al-Wala’ adalah hubungan waris-mewarisi
karena
56
kekerabatan
Ahmad Rofiq, Op.Cit,h.44.
menurut
hukum
yang
timbul
karena
42
membebaskan budak, sekalipun diantara mereka tidak ada
hubungan darah57. Rasulullah memberikan hak wala’ kepada yang
memersdekakan itu sesuai dengan hadits beliau yang berbunyi :
)ٔٞا َّب ا ى٘ ل ء ىَِ أ عزق ( ٍزفق عي
Artinya: Hak wala‟ itu hanya diberikan kepada orang yang telah
membebaskan budak(nya) (HR.Bukhari dan Muslim,
Nomor Hadits 6752)58.
Oleh karena itu, Rasulullah menganggap wala’ sebagai
hubungan kerabat yang berdasarkan nasab secara hukum (nasab
hukmy), beliau bersabda :
)ٌا ى٘ ل ء ىحَخ ميحَخ ا ىْغت ل رجب ع ٗل ر٘ ٕت ( سٗآ ا ىحب م
Artinya: Wala’ itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab
yang tidak boleh dijual dan dihibahkan (HR.Al-Hakim,
Nomor Hadits 7990)59.
Dengan
demikian,
orang
yang
mempunyai
hak
wala’
mempunyai hak mewarisi harta peninggalan budaknya apabila
budak tersebut meninggal dunia.
d. Hubungan Sesama Islam
Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang
yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta
warisnya itu diserahkan kepada perbendaharaan umum atau yang
disebut Baitul Maal, yang akan digunakan oleh umat Islam.
57
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.Cit, h. 74
Al-Bukhari, Op.Cit, Juz 8, h.154.
59
Abu Abdullah Al-Hakim, Mustadrak’ala Shahihain, (Bairut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1411 H), Juz 4, h.379.
58
43
Dengan demikian, harta orang Islam yang tidak mempunyai ahli
waris itu diwarisi oleh umat Islam60.
5. Rukun dan Syarat Kewarisan
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam
memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan
orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh
karena itu, waris mewarisi memiliki rukun sebagai berikut:
a. Muwaris, artinya orang yang diwarisi harta peninggalanya atau
orang yang mewariskan hartanya, yaitu orang yang meninggal
secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui keputusan
hakim. Seperti orang hilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar
berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksian atau tenggang
waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia meninggal dunia. 61
b. Al-Warits atau ahli waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan
mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah,
hubungan
sebab
perkawinan
(semenda),
atau
karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya, pada saat meninggalnya
al-muwarrits, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup.
Termasuk dalam pengertian ini adalah, bayi yang masih dalam
kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat
dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya,
maka bagi si janin tersebut berhak mendapatkan warisan. Untuk itu
60
61
Moh.Muhibbin, Op.Cit, h.83.
Ahmad Rofiq, Op.Cit ,h.3-4.
44
perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit
(batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan.
Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut
akan dinasabkan.
c. Al- maurust juga bisa disebut tirkah, yang dimaksud dengan tirkah
yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal
dunia. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencangkup
kepada:
1) Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, lalu jika
ada hutang maka ahli waris harus melunasi hutang itu telebih
dahulu.
2) Hak-hak kebendaan, seperti hak irigasi pertanian.
3) Hak-hak yang bukan kebedaan, seperti hak khiyar.
4) Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti
benda-benda yang digadaikan oleh muwaris.62
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih
dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta
yang meninggal.
62
Fatctur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: ALMA‟RIFAH, 1975),cet. 4, h.36-37.
45
1) Biaya pemeliharaan mayat
Adapun yang dimaksud dengan biaya pemeliharaan si
mayit adalah biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan
jenazah, seperti kafan dan penguburan.63
Dalam mengeluarkan belanja-belanja itu, harus dituruti apa
yang dipandang baik oleh agama, yakni tanpa berlebi-lebihan
dan tanpa menyedikitkan (menurut ukuran yang wajar).
Kewajiban membelanjakan harta benda dianjurkan oleh Allah
dalam al-Quran dalam surat al-Furqan ayat 67:
ِ َٰرىل ق٘ ٗاٍبٞۡ ۡقزشٗا ٗمبُ ثٝ ٌۡ ۡغشف٘ا ٗىٝ ٌِۡ إر ٓا أّفق٘ا ىٝٗٱىز
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yang demikian. (Q.S. al-Furqan ayat
67)64
2) Pelunasan utang
Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang
yang meninggal, apabila si mayit mempunyai utang atau
tanggungan
yang
belum
dibayar
ketika
masih
hidup
didunianya, baik yang berkaitan dengan sesama manusia
maupun kepada Allah.
63
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), Cet.4, h.51.
64
Depag RI, Op. Cit, h.365.
46
Para fuqaha (ahli hukum Islam) memperselisihkan bentukbentuk utang yang harus didahulukan pelunasanya, yakni
sebagai berikut.
Pertama, pendapat ibnu Hazm, bahwa dainullah itu harus
didahulukan daripada dainul ‘ibad. Beliau beralasan bahwa
perkataan utang dalam surah an-Nisa‟ ayat 11, yaitu:
....ِٝۡ ثٖبٓ أ ۡٗ دٜ٘طٝ ٖخٞ ٍ ِۢ ث ۡعذ ٗط...
Artinya: ...sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya...(Q.S. al-Araf ayat 11)65
Kedua, pendapat ahli hukum Islam aliran Hanafiyah
dainullah
akibat kematian. Maka dainullah diakhirkan
daripaada
dainul ‘ibad. Ada beberapa urutan utang yang
harus dilunasi: utang yang berpautan dengan wujud harta
peninggalan, utang yang dilakukan waktu sehat, utang yang
diakui pada waktu sakit, utang untuk maksud baik.
Ketiga, pendapat aliran Malikiyah, dalam pelunasan utang
yang harus didahulukan ialah dainul ‘ibad baru dainulllah
sebab manusia sangat memerlukan untuk dilunasi piutangnya.
Ada beberapa urutan utang yang harus dilunasi: utang yang
berpautan dengan wujud harta peninggalan, utang yang
dilakukan waktu sehat, utang yang diakui pada waktu sakit,
utang kepada Allah yang ada saksinya.
65
Depag RI, Op. Cit.78.
47
Keempat, pendapat aliran ulama Syafi‟iyah mendahulukan
dainullah kemudian dainul ‘ainiyah dan yang terakhir dainul
muthlaqah.
Kelima, pendapat aliran Hanabilah, memandang sama
antara dainullah dengan dainul ‘ibad dalam melunasinya,
karena istilah dainu dalam surah an-Nisa ayat 11 dapat
mencangkup kedua-duanya.66
3) Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak
kebendaanya kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang
menyerahkan itu meninggal dunia, semasa hidupnya berwasiat
atas sebagian harta kekayaan kepada suatu lembaga atau orang
lain, wajib di tunaikan sebelum dibagikan kepada ahli
warisnya. Hal ini telah di sampaikan Allah dalam al-Quran
surat al-Nisa ayat 11:
....ِٝۡ ثٖبٓ أ ۡٗ دٜ٘طٝ ٖخٞ ٍ ِۢ ث ۡعذ ٗط...
Artinya: ...sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya...(Q.S. al-Araf ayat 11)67
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah mewajibkan
hamba-Nya untuk mewariskan sebagai harta peninggalannya
pada ahli warisnya, dan mewajibkan wasiat didahulukan
66
67
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. h.52-55
Depag RI, Op. Cit.78.
48
daripada pelunasan utang, pelunasan utang didahulukan
daripada pembagian harta warisan.68
Sedangkan syarat waris mewaris sebagai berikut:
a. Meninggalnya pewaris baik dengan nyata maupun dinyatakan oleh
hukum meninggal. Seperti orang hilang.
b. Hidupnya ahli waris baik dengan nyata maupun oleh hukum
dinyatakan hidup semenjak meninggalnya mayat, walaupun hanya
sebentar. Seperti anak yang masih dalam kandungan.
c. Dapat diketahui status atau kedudukan dalam pembagian harta
peninggalan. Seperti status bapak, ibu, maupun saudara terhadap
orang yang meninggal. 69
6. Pengolongan Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris ialah orang yang berhak mendapat bagian dari harta
peninggalan. Ada tiga golongan ahli waris dalam ajaran Islam, yaitu:
ashabul Furudh, asabah dan dzawil arham.
a. Ashabul Furudh
Ashabul furudh adalah ahli waris yang telah ditetapkan oleh
syara‟ memperoleh bagian teretentu dalam pembagian harta waris,
adapun pembagian ashabul furudh sebagai berikut70:
1) Suami menjadi ½ jika tidak mewarisi dengan anak, jika
mewarisi dengan anak maka menjadi ¼.
68
Ahmad Rofiq, Op, Cit, h. 42-43.
Syuhada‟ syarkun, Op.Cit. h. 8.
70
Amin Husein Nasution, Op,Cit. h. 101
69
49
2) Istri menjadi ¼ jika tidak mewarisi dengan anak, jika mewarisi
dengan anak maka menjadi 1/8.
3) Anak perempuan akan mendapatkan ½ jika mewarrisi seorang
diri, jika mewarisi bersamaan dengan saudari perempuan maka
menjadi 2/3.
4) Cucu perempuan bisa terhalang mendapat warisan jika ada
anak laki-laki dan 2 anak perempuan atau lebih. lalu akan
mendapat ½ jika mewarisi seorang diri, jika mewarisi
bersamaan dengan saudari perempuan maka menjadi 2/3, dan
1/6 jika mewarisi dengan seorang anak perempuan.
5) Bapak mendapat 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki,
dan mendapat 1/6+S jika mewarisi bersama anak perempuan
atau cucu perempuan dari garis laki-laki.
6) Ibu mendapat 1/6 jika ada anak atau cucu atau 2 orang saudara
atau lebih, mendapat 1/3 bila pewaris tidak mempunyai anak
atau cucu atau 2 orang saudara atau lebih, kemungkinan ketiga
ibu bisa mendapatkan 1/3 + S dalam masalah garrawain yaitu
apabila ahli terdiri dari suami atau istri lalu antara ibu dan
bapak.
7) Kakek bisa terhalang mendapat warisan jika ada bapak, jika
tidak ada maka kakek mendapat 1/6 jika bersama anak lakilaki atau cucu laki-laki, dan 1/6+S jika bersama anak atau cucu
perempuan tanpa ada anak laki-laki.
50
8) Nenek baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah akan
terhalang jika si pewaris masih ada ibu, dan jika diantara ahli
waris hanya ada bapak maka nenek sebelah bapak yang akan
terhalang mendapat warisan. Jika pewaris meninggalkan satu
orang nenek maka mendapatkan 1/6, jika neneknya lebih dari
satu orang maka mendapat 1/6 dibagi sama rata, .
9) Saudara perempuan kandung bisa terhalang jika ada bapak,
anak laki-laki atau cucu laki-laki. Jika tidak ada mereka maka
akan mendapat ½ jika seorang diri, lalu mendapat 2/3 jika
mewarisi lebih dari 1 saudara sekandung.
10) Saudara perempuan seayah bisa terhalang mendapat warisan
jika diantara ahli waris ada anak laki-laki, cucu laki-laki,
bapak, saudara laki-laki kandung, atau ada 2 saudara
perempuan kandung atau lebih. Jika tidak ada ahli waris yang
diatas maka saudara perempuan seayah mendapatkan ½ jika
seorang diri, jika lebih dari 1 maka mendapat 2/3, dan 1/6 jika
mewarisi bersama seorang saudara perempuan sekandung.
11) Saudara perempuan seibu bisa terhalang mendapat warisan jika
ada anak, cucu, ayah, dan kakek. Jika tidak ada mereka maka
saudara perempuan seibu mendapat 1/3 jika seorang saja,
namaun jika lebih dari satu maka mendapat 1/6.71
71
Syuhada‟ syarkun, Op. Cit. h.19.
51
b. Asabah
Asabah, artinya menghabisi harta. Menurut pengertian faraid,
ialah orang yang boleh mengabil harta warisan seluruhnya bila ia
hanya sendirian saja, dan yang boleh mengambil kelebihan atau
sisa harta warisan, bila orang-orang yang dzawil furd telah
mengambil bagianya, dan jika harta warisannya tidak tersisa maka
mereka tidak akan dapat.72
Asabah terbagi pula kepada 3 bagian yaitu:
1) Asabah bi nafsi (dengan sendirinya)
Artinya asabahnya tidak ditarik karena ahli waris yang lain,
tetapi asalnya memang sudah menjadi ahli waris asabah73. Ahli
waris asabah bin nafsi dapat dilihat sebagai berikut:
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki
c) Bapak
d) Kakek
e) Saudara laki-laki kandung
f) Saudara laki-laki seayah
g) Anak laki-laki dari sudara laki-laki kandung (keponakan)
h) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (keponakan)
i) Paman kandung
j) Paman sebapak
72
73
Moh. Anwar, Faraid hukum waris dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h.74.
Ibid,. h.74.
52
k) Anak laki-laki paman sekandung
l) Anak laki-laki paman sebapak
2) Asabah bil ghair (bersama orang lain)
Ahli waris asabah ini adalah ahli waris yang asabahnya itu
karena tertarik oleh ahli waris lain misalnya asabahnya anak
perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan, mereka
menjadi asabah karena tertarik oleh anak laki-laki, cucu laki-laki,
dan saudara laki-laki yang sebenarnya mereka termasuk ke
golongan dzawil furud.74
3) Asabah ma’al ghair(karena orang lain)
Yaitu waris asabah, yang asabahnya itu karena bersama-sama
dengan waris dzawil furud yang lain misalnya saudara perempuan
kandung dapat menjadi asabah karena bersama-sama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan.75
c. Dzawil arham
Dzawil arham yaitu setiap kerabat yang bukan termasuk ke dalam
dzawil furud dan bukan pula termasuk ke dalam asabah. Mereka
dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya, yaitu sebagai
berikut:
1) Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
2) Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan
3) Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
74
75
Ibid,. h.75.
Ibid,. h.75.
53
4) Nenek dari pihak kakek (ibu kakek)
5) Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung, sebapak
, maupun seibu)
6) Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu
7) Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung,
sebapak atau seibu)
8) Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari
kakek
9) Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu
dengan kakeksaudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu
10) Anak perempuan dari paman
11) Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu)
Dalam al-Quran tidak ada keterangan yang tegas tentang
kedudukan dzawil arham sebagai ahli waris. Oleh karena itu ada
sebagian fuqaha yang tidak menjadikan dzawil arham sebagai ahli
waris, meskipun dalam keadaan tidak ada orang lain yang mewarisi
harta peninggalan si mayit. Sebagian ulama yang lain menyatakan
bahwa dzawil arham juga ahli waris yang berhak menerima bagian
harta warisan sekalipun ada dzawil furud atau asabah. 76
Para fuqaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat mengenai
pewarisan dzawil arham. Imam Malik, Imam Sayfi‟i, Ibnu Hazm,
Zaid bin Tsabit, Umar, Utsman, dan ahli Dhohir berpendapat bahwa
76
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. h.67.
54
mereka tidak mendapatkan warisan. Walau yang meninggal dunia
tidak memiliki ashabul furud dan asabah, mereka tidak akan
mendapatkan warisan, dan harta itu diserahkan kepada baitul mal.
Berbeda dengan pendapat diatas, Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mereka mendapat warisan
apabila tidak ada dzawil furud atau asabah. Mereka bersandar dari
pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas‟ud. 77
7. Hijab
Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam
fiqih mawaris, istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris
yang lebih jauh hubungan kekerabatanya yang kadang terhalang oleh
ahli waris yang lebih dekat.78
Pada prinsipnya setiap ahli waris yang telah mempunyai sebabsebab mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, adanya
pertalian nasab dan ikatan perwalian dalam pembebasan budak dan
yang telah memenuhi syarat-syarat mempusakai, seperti hidupnya ahli
waris saat pewaris telah meninggal, serta tidak ada penghalang untuk
menerima warisan.
77
78
Ibid,. h.67-68.
Ahmad Rofiq, Op.Cit, h.72.
55
Hijab ini terbagi menjadi dua bagian:
a. Hijab Hirman
Hijab hirman, yaitu terhalangnya seseorang mendapat harta
warisan karena ada penghalang yang menyebabkan seseorang
tersebut tidak mendapat harta warisan sama sekali.79
Ada 4 ahli waris yang tidak bisa terhalang oleh siapapun yaitu;
suami atau istri, anak baik itu laki-laki maupun perempuan, ayah,
dan ibu. 80
Agar lebih jelas, ahli waris yang menjadi terhalang karena
adanya hijab hirman, yaitu sebagai berikut:
1) Cucu baik laki-laki maupun perempuan tertutup oleh anak lakilaki.
2) Kakek ditutup oleh ayah.
3) Nenek ditutup oleh ibu dan ayah.
4) Saudara kandung ditutup oleh anak atau cucu laki-laki.
5) Saudara seayah ditutup oleh saudara kandung laki-laki dan oleh
ahli waris yang menutup saudara kandung.
6) Saudara seibu ditutup oleh anak, cucu, ayah dan kakek.
7) Anak saudara kandung ditutup oleh saudara laki-laki seayah dan
oleh ahli waris yang menutup saudara laki-laki seayah.
79
80
Amin Husein Nasution, Op.Cit, h. 86.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. h.81.
56
8) Anak saudara seayah ditutup oleh anak laki-laki saudara
kandung dan oleh ahli waris yang menutup anak saudara
kandung.
9) Paman kandung ditutup oleh anak laki-laki saudara seayah dan
oleh ahli waris yang menutup anak laki-laki saudara seayah.
10) Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan ahli waris yang
menutup paman kandung.
11) Anak laki-laki paman kandung ditutup oleh paman seayah dan
ahli waris yang menutup paman seayah.
12) Anak laki-laki paman seayah ditutup oleh anak laki-laki paman
kandung dan oleh ahli waris yang menutup anak laki-laki paman
kandung.81
b. Hijab Nuqsan
Hijab nuqsan, yaitu terhalangnya seseorang mendapat bagian
warisan maksimal, karena ada penghalang yang menyebabkan
berkurangnya bagian ahli waris tersebut.
1) Suami jika istri meninggal dunia dengan meninggalkan anak,
baik anak itu dari perkawinan dengan suami sekarang maupun
suami sebelumnya. Dalam hal ini hak suami bergeser dari ½
menjadi ¼ harta warisan.
2) Istri, jika suami meninggal dunia dengan meninggalkan anak,
baik anak itu dari perkawinan istri sekarang maupun istri yang
81
Hajar M. Op.Cit. h.56-57.
57
lain. Dalam hal ini istri bergeser dari ¼ menjadi 1/8 bagian harta
warisan.
3) Ibu jika suami meninggalkan seorang anak atau dua orang
saudara, atau lebih, haknya bergeser dari 1/3 menjadi 1/6 bagian
harta warisan.
4) Cucu perempuan, jika yang meninggal dunia meninggalkan
seorang anak perempuan bergeser haknya dari ½ menjadi 1/6,
yaitu untuk melengkapi hak anak perempuan menjadi 2/3, tetapi
jika ada 2 orang anak perempuan atau ada anak laki-laki maka
hak cucu perempuan hilang.
5) Saudara perempuan seayah, jika ada seorang saudara perempuan
kandung, bergeser haknya dari ½ menjadi 1/6, yaitu untuk
melenkapi 2/3, tetapi jika saudara perempuan kandung ada 2
orang atau lebih atau ada saudara laki-laki kandung maka hak
saudara perempuan seayah hilang seluruhnya. 82
8. Faktor Penghalang Waris
Ahli waris yang telah ditetapkan haknya oleh al-Quran baik itu
laki-laki maupun perempuan bisa terhalang mendapatkan warisan jika
terdapat salah satu dari tiga sebab berikut:
82
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op. Cit. h.80-81.
58
a. Perbedaan Agama
Orang Islam tidak dapat waris dari orang yang tidak beragama
Islam, demikian sebaliknya. 83 Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW., :
سس اىٍعيً اىمبٝ ل: ٔ ٗعىٌ قبهّٝ هللا عيّٚ طيٜد أُ اىّّثٝعُ أ عبٍخ اثُ ص
)ً(سٗآ اىٍعي. ًسس اىمب فس اىٍعيٝ فس ٗل
Artinya: Dari Usamah bin Zaid ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda:
seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, dan
seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim
(diriwayatkan MuslimNomor Hadits 1614).84
b. Pembunuh
Orang yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan.
Sebagaimana sabda Nabi SAW., :
سسٝ اىقب ره ل: ً قبه. هللا عّٔ عُ سعٗ ه هللا صٚسح سػٝ ٕشٚعُ اث
(ٔ)سٗآ اثٗدٗد ٗ اثُ ٍبج
85
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw berkata:
Pembunuh tidak berhak sebagai ahli waris(diriwayatkan
Abu Daud dan Ibnu Majjah, Nomor Hadits 2645).
c. Orang Yang Menjadi Budak
Seorang budak tidak dapat warisan dari orang yang merdeka.
Sebagaimana firman Allah SWT., dalam al-Quran:
ٗ ػشة ٱلل ٍض اال ع ۡج ٗذا ٍَۡ ي
)57 : (اىْحو... ٖءٜۡ شَٰٚ ۡقذس عيٝ ٘مب ل
Artinya: Allah telah adakan perumpamaan yaitu seorang hamba
yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu…(Q.S.
an-Nahl, ayat 75)86
Moh.Rifa‟I, Fiqih Islam Lengkap,(Semarang: Toha Putra, 1978),h.516.
Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:Dar Ihya‟ at-Turast al„Arabiy), Juz.3, h.1233.
85
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, ( Dar- Arrisalah al-„Alamiyah,2009), Juz 3 h. 662.
83
84
59
B. Tinjauan Umum Tentang „Urf
1. Pengertian
„Urf artinya menurut bahasa adalah “adat”. “kebiasaan”, “satu
kebiasaan yang terus menerus.
„Urf yang dimaksudkan dalam ilmu ushul fiqih adalah:
ّفغٌٖ ٍِ الء ٍ٘ سٜغزقش فٝٗ ٌٖ ٍعب ٍالرٍٜب اعزبدٓ اىْبط اٗفئخ ٌٍْٖ ف
اىَنشسح اىَقج٘ ىخ عْذ
َخٞؽجع اىغي
Artinya: Sesuatu yang telah terbiasa (di kalangan) manusia atau pada
sebagian mereka dalam hal muammalat dan telah melihat
dalam diri-diri mereka dalam beberapa hal secara terus
menerus yang diterima oleh akal yang sehat.87
Sedangkan dalam referensi lain „urf adalah suatu yang telah
dikenal orang banyak yang telah menjadi tradisi mereka baik berupa
perkataan,
perbuatan,
atau
keadaan
meninggalkan
(tradisi/kebiasaan/adat). 88
2. Pembagian ‘Urf
Ditinjau dari jangkauannya, ‘urf dapat dibagi dua, yaitu: al-‘urf alamm dan al-urf al-khas
a. Al-Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yag bersifat umum dan berlaku bagi sebagian
besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya,
membayar ongkos kendaraan dengan harga tertentu, tanpa
perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya
86
Depag RI, Op. Cit. 275.
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), h.165.
88
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016),
h.107-108.
87
60
dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar
sewa menggunakan tempat pemandian umum dengan harga tiket
masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang
digunakan. Kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi
waktunya saja.89
b. Al-‘Urf al-Khas
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu
masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya,
kebiasaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk
tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 x 10 meter.
Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan
kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah meskipun tanpa
disertai dengan dua orang saksi.90
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-urf dapat pula
dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Al-‘Urf ash-Shahih (‘Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak
bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain,
„urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal,
atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram.
Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah
(hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan,
89
90
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010),Cet.3, h. 210.
Ibid,. h.210.
61
tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan
dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan
adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada
wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya
kepada pihak laki-laki yang meminang. Demikian juga, dalam jual
beli dengan cara pemesanan inden, pihak pihak pemesan memberi
uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya. 91
b. Al-‘Urf al-Fasid (‘Urf yang rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan
ketentuan dalil-dalil syara‟. Sebaliknya al-‘Urf ash-shahihah, maka
adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang
haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan
berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam
acara pertemuan-pertemuan pesta. Demikian juga, adat masyarakat
yang mengharamkan perkawinan antara lak-laki dan wanita yang
bukan mahram, hanya keduanya berasal dari satu komunitas yang
sama (pada masyarakat adat Riau tertentu), atau hanya karena
keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara).
Sejalan dengan perkembangan zaman dan semakin membaiknya
pemahaman terhadap hukum Islam pada komunitas masyarakat
tersebut, secara berangsur-angsur adat kebiasaan tersebut telah
mereka tinggalkan.
91
Ibid,. h.210
62
Para ulama sepakat, bahwa al-‘urf al-fasid tidak dapat menjadi
landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum. Oleh
karena itu, dalam rangka meningkatkan pemasyarakatan dan
pengalaman hukum Islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan
dengan cara yang ma‟ruf diupayakan mengubah adat kebiasaan
yang bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam tersebut, dan
menggantikannya dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan
syari‟at Islam. Karena al-‘urf al-fasid bertentangan dengan ajaran
Islam, maka uraian selanjutnya hanya berkaitan dengan al-‘urf alfasid.92
Ditinjau dari segi materi yang bisa dilakukan ‘urf dapat dibagi dua,
yaitu: ‘urf qauli dan „urf fi’li
a. ‘Urf qauli
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam pengunaan kata-kata atau
ucapan. Contohnya kata waladun secara etimologi artinya anak
yang digunakan untuk anak laki-laki atau anak perempuan.
Berlakunya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda
perempuan 93
b. „Urf fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Contohnya
kebiasaan jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang
bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya
92
93
Ibid,. h.211.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet.7, h. 413.
63
menunjukkan barang dan uang tanpa mengucapkan transaksi (akad)
apa-apa.94
3. Kedudukan „Urf sebagai dalil syara’
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ashsahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka
terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya
sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah, dan Malikiyyah adalah
yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan
dengan ulama Syafi‟iyyah dan Hanabillah. Adapun kehujjahan ‘urf
sebagai dalil syara’, didasarkan atas argumen-argumen di dalam surah
al-Araf ayat 199:
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh (Q.S. al-Araf ayat 199).95
Melalui ayat diatas Allah SWT., memerintahkan kaum muslimin
untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut ma’ruf itu
sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan,
dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum
ajaran Islam.96
94
Ibid,. 415.
Depag RI, Op. Cit.176.
96
Ibid, h.212.
95
64
Secara umum „urf atau ‘adat itu diamalkan oleh semua ulama fikih
terutama dikalangan ulama madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama
Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu
bentuk istihsan itu adalah istihsan al-‘urf (istihsan yang menyandarkan
pada ‘urf). Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradsi yang hidup di
kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan
mendahulukannya dari hadis ahad. Kemudian ulama Syafi‟iyah banyak
menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan
batasannya dalam syara‟ maupun dalam penggunaan bahasa.97
4. Syarat Penggunaan ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf
yang bisa dijadikan landasan hukum yaitu:
a. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak
bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah.
Misalnya, kebiasaan di satu negri bahwa sah mengembalikan harta
amanah kepada isteri atau anak dari pihak pemberi atau pemilik
amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan jika terjadi
tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
b. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk negri itu.
c. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
akan dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang
97
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 399.
65
mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, sedangkan yang
disebut ulama waktu itu hanyalah orang yang mempunyai
pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah, maka kata
ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan
pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan karena pengertian
ulama yang menjadi populer kemudian setelah ikrar wakaf terjadi
misalnya harus punya ijazah.
d. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan
dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang
berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang
berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu bukan
„urf. Misalnya, adat yang berlaku disuatu masyarakat, istri belum
boleh dibawa oleh suaminya pindah dari rumah orang tuanya
sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah
pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh
suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dahulu melunasi
maharnya.
Dalam
masalah
ini,
dianggap
berlaku
adalah
kesepakatan itu, bukan adat yang berlaku98
5. Hukum Dapat Berubah Karena Perubahan ‘Urf
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa sebagai adat kebiasaan, ‘urf
dapat berubah karena adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai
konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti
98
Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h.156-157.
66
perubahan
urf
tersebut.
Dalam
konteks
ini, berlaku
kaidah
menyebutkan:
ُّش األصٍْخ ٗاألٍنْخ ٗاألح٘اه ٗاألشخب صٞش ثزغٞزغٝ ٌاىحن
أدٞٗاىج
Artinya: Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya
perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan
lingkungan
Kaidah ini sangat penting dipahami oleh setiap pegiat hukum
Islam, untuk mengkukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama
Islam tetap relevan untuk semua waktu dan tempat. Menentang kaidah
ini sama saja dengan menjadikan Islam ketinggalan zaman, kakud,
jumud, dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan hukum masyarakat.
Akibatnya, umat Islam akan hidup dalam kehidupan serba gamang dan
canggung menghadapi perubahan kemajuan ilmu pengetahuan serta
teknologi yang terus bergerak maju.
Untuk lebih jelas, akan diberi contoh tentang terjadinya perubahan
hukum karena sejalan dengan perubahan tempat dan waktu atau tempat
keadaan terjadinya perubahan pada ‘urf dan adat kebiasaan masyarakat.
Pertama, ulama salaf berpendapat, seseorang tidak boleh menerima
upah sebagai guru yang mengajarkan al-Qur‟an dan sahalat,puasa dan
haji. Demikian juga tidak boleh menerima honor sebagai imam masjid
dan muadzin. Sebab kesejahteraan mereka sudah ditanggung oleh bait
al-amal. Akan tetapi, karena perubahan zaman, dimana bait al-amal
67
tidak lagi mampu menjalankan fungsi tersebut, ulama kontemporer
membolehkan menerima honor atas pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Kedua, Rasulullah SAW tidak melarang para pemudi turut
melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Demikian juga pada masamasa sesudah beliau, karena para pemudi menjaga dirinya dari fitnah,
dan akhlak masyarakat juga sangat baik. Akan tetapi belakangan,
sejalan dengan merosotnya akhlak masyarakat, ulama memfatwakan
larangan bagi para pemudi untuk shalat berjamaah di masjid.99
99
Abd. Rahman Dahlan ,Op. cit, h. 215-216.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab sebelumnya, peneliti
menarik kesimpulan sebagai berikut;
1. Penundaan pembagian warisan dalam tradisi masyarakat Desa
Kampung seakan-akan menjadi suatu keharusan yang mana jika
seseorang meninggal dan orang tersebut meninggalkan harta maka
pembagianya selalu ditunda. Penundaan pembagian warisannya
tidak pasti berapa lamanya tergantung dari kesepakatan pihak
keluarga, namun tidak dalam masa berduka.
Adapun beberapa mudarat yang saya temukan dalam penundaan
pembagian warisan di Desa Kampung Pulau:
a. Perselisihan antara keluarga
b. Putusnya silaturahmi
c. Harta warisan terbengkalai (tidak bisa dimanfaatkan)
Adapun alasan masyarakat dalam menunda pembagian warisan
sebagai berikut:
a. Salah seorang dari orang tua masih hidup
b. Memiliki pekerjaan (kodisi ekonomi yang berkecukupan)
c. Tidak mendapat persetujuan keluarga
d. Adat istiadat
e. Belum mampu dalam mengelolah harta
86
87
2. Secara persfektif Hukum Islam kebiasaan penundaan pembagian
warisan termasuk dalam ‘urf al-Fasid yaitu suatu kebiasaan yang
telah lama berlaku, akan tetapi kebiasaan tersebut tidak sesuai
dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Islam. Adat tentang
penundaan pembagian warisan adalah kebiasaan yang rusak
dikarenakan tidak ada tidak ada dalil-dalil al-Qur‟an maupun
Sunnah yang menjelaskan tentang kebiasaan tersebut. Lalu
penundaan pembagian warisan juga bertentangan dengan Hukum
Islam, karena yang ditemukan
di lapangan lebih banyak
menimbulkan mafsadat dari pada maslahat.
B. Saran
1. Kepada tokoh masyarakat serta yang dituakan di Desa Kampung
Pulau agar sekiranya dapat menelusuri kembali terhadap Tradisi
penundaan pembagian warisan, yang telah lama melekat pada
masyarakat Desa Kampung Pulau, agar tidak menimbulkan dampak
buruk bagi ahli waris.
2. Kepada masyarakat Desa Kampung Pulau agar sekiranya dapat
menanamkan dasar-dasar Agama Islam lebih dalam lagi agar generasigenerasi penerus dapat mengkeritisi dan tidak hanya mengikut saja
tentang tradisi yang ada di masyarakat Desa Kampung Pulau.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana, 2007
A.Khisni, Hukum Waris Islam,Semarang: UNISSULA PRESS, 2017
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010
Abu Abdullah Al-Hakim, Mustadrak’ala Shahihain, Bairut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1411 H, Juz 4
Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, Bairut: Daru al-Kitab
A’lamiyah, 1993, Jilid 6
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: Rajawali pers,1998
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Bairut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah,1992,Juz 8
Ali Parman, Keawarisan dalam al-Quran, Jakarta: Raja Grafindo, 1995
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, Jakarta: Rajawali pers,2012
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:Kencana, 2012
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, Jakarta: Kencana, 2014
Al Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Quran,Terj,Ahmad Rijali Kadir, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2013, Jilid.5
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2010
Fatctur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: ALMA’RIFAH, 1975
Habiburahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2011
Hajar M, Polemik Hukum waris, Riau: Suska Pers, 2014
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Dar- ar-Risalah al-‘Alamiyah,2009, Juz.3
Kementrian Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, 2007
Moh. Anwar, Faraid hukum waris dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1981
Moh.Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2011
Moh.Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fikhiyyah, Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada 1999 Cet.3
Muslin bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut:Dar Ihya’ at-Turast al‘Arabiy, Juz.3
Musta’in dan Miftahurrohim, Menguasai Ilmu Faraid, Jakarta: Pustaka Syarkun,
2012
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh , Jakarta, Logos Wacana Ilmu. 2001
Rahman Ritonga, Abd Rahman Dahlan, Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve 1996, Jilid.1
Saifuddin Azwar, Metode penelitian, yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo Setting, 2013
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, Cet.4.
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Ibnu Katsir,Terj.Suharlan dan Suratman,Jakarta:
Darus Sunnah Pers 2016,Cet. 3, Jilid 2
Syarbaini Khatib, Al-Mughni al-Muhtaj,
Jilid.3
Kairo: Musthafa al-Babi al-Halbi,1958
Syuhada’ syarkun, Menguasai Ilmu Faraid, Jakarta: Pustaka Syarkun, 2012
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Fela Peryandja, anak kedua dari pasangan suami
istri Jamhur dan Zuriyati, penulis dilahirkan di Rengat
Kabupaten Indragiri Hulu 19 Juli 1997. Pada tahun 20032009 penulis menyelesaikan jenjang Pendidikan Dasar di
SDN 009 Kampung Pulau, kemudian pada tahun 2009-2012
penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Menengah Pertama di MTS PP
Modern Diniyah Pasia. Selanjutnya pada tahun 2012-2015 penulis menyelesaikan
jenjang pendidikan Menengah Atas di MA PP Modern Diniyah Pasia, dan pada
tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau tepatnya di Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum
Keluarga. Setelah menjalani proses perkuliahan maka pada bulan Juli s/d Agustus
2018 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kelurahan Sialang
Sakti, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak Provinsi Riau.
Sebagai tugas akhir perkuliahan penulis mengadakan penelitian dengan
judul “Penundaan Pembagian Warisan Dalam Kebiasaan Masyarakat
Melayu Rengat Perspektif Hukum Islam”. Alhamdulillah pada hari selasa
tanggal 26 Desember 2019 pukul 08:00 WIB berdasarkan hasil ujian Munaqasyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum penulis dinyatakan “LULUS” dan berhak
menyandang gelar Sarjana Hukum (S.H).
Wassalamu’alaikum Wr.Wb