Jurnal Review Politik
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
CORAK IDEOLOGIS PARTAI POLITIK ISLAM
A. Bakir Ihsan
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a.bakir.ihsan@uinjkt.ac.id
Abstract
One of the agenda of political parties (based on) Islam in Indonesia is
the coloring legislation with Islamic values, including legislation for
public interest. Islam as a religion with its distinctive teaching device
can be a problem dealing with pluralistic social reality, both religion
and cultural. Therefore, standard formulation is required in formulating Islamic values to be part of the legislation so that it can be
accepted by the public in general. This is where Islamic political
parties are required to have the ability to formulate Islamic values as
the implementation as well as the type of Islam as the principle of
political parties.
Keywords: Islamic ideology, Political Party, Development United
Party, Prosperous Justice Party, Draft Law.
Abstrak
Salah satu agenda partai politik (berasaskan) Islam di Indonesia
adalah mewarnai legislasi dengan nilai-nilai Islam, termasuk legislasi
untuk kepentingan publik. Islam sebagai agama dengan perangkat
ajarannya yang khas bisa menjadi problem berhadapan dengan
realitas sosial yang plural, baik secara agama maupun budaya.
Karenanya diperlukan standard formulasi dalam merumuskan nilainilai Islam untuk menjadi bagian dari perundang-undangan sehingga
bisa diterima oleh publik secara umum. Di sinilah partai politik Islam
dituntut untuk memiliki kemampuan dalam memformulasikan nilainilai Islam sebagai implementasi sekaligus corak dari Islam sebagai
asas partai politik.
Kata kunci: Ideologi Islam, Partai Politik, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Rancangan UndangUndang.
. ISSN: 2088-6241 [Halaman 01 – 25] .
A. Bakir Ihsan
Pendahuluan
Era reformasi menawarkan ruang bagi partai politik dalam
mengekspresikan eksistensinya, termasuk ideologi yang dianutnya. Itulah sebabnya beragam ideologi hadir seiring keran
reformasi di Indonesia dibuka sejak 1998. Keragaman ideologi
partai politik tersebut diasumsikan memiliki peran penting
dalam memengaruhi kebijakan publik sebagai bagian dari
fungsi partai, bahkan mengganti kekuasaan.
Pembentukan ideologi itu sendiri dipengaruhi oleh kebutuhan para pencetusnya dan realitas masanya (Duverger, 2005:
141). Keberadaan partai politik tidak terlepas dari orientasi
dan persepsi para pendiri partai tentang urgensi ideologi
sebagai landasan gerak dan kerja partai. Dalam hal ini, Islam
sebagai agama mayoritas, oleh para elite partai politik Islam
diyakini sebagai magnet yang akan menggugah umat Islam
untuk menjadikannya sebagai kekuatan elektoral dalam setiap
kontestasi. Lebih dari itu, orientasi keagamaan masyarakat
sedikit banyak akan berpengaruh terhadap pilihan politiknya.
Hal ini tidak hanya terjadi di negara yang secara konstitusi
memiliki keterkaitan dengan agama (ketuhanan) seperti Indonesia, di negara yang secara konstitusi memisahkan antara
institusi profan dan sakral (sekuler) seperti Amerika, menunjukkan kecenderungan pengaruh orientasi agama seseorang
terhadap pilihan politiknya (Segal, 1974: 67). Para pemilih
ataupun partisipan memberikan dukungan politiknya terhadap
partai politik ataupun kandidat yang dimunculkan oleh partai
politik tertentu dengan pertimbangan kesamaan agama,
sehingga muncul identifikasi keagamaan dengan partai politik,
seperti Katolik yang identik dengan Partai Demokrat dan
Protestan yang identik dengan Partai Republik.1
1Identifikasi
dukungan terhadap partai politik tidak hanya terkait
dengan agama, tapi juga kelas ekonomi. Di Amerika, misalnya, Partai
Demokrat identik dengan kelas ekonomi menengah ke bawah dan
Partai Republik identik dengan kelas menengah ke atas.
2
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
Menurut Gabriel A. Almond (1956: 406), agama, etnis, profesi, dan pengelompokan sosiologis lainnya bisa menjadi faktor
berdirinya partai politik. Dalam sejarahnya, partai agama
menunjukkan peran koreksi atas nama moral agama terhadap
pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan dan kebangsaan. Pengalaman-pengalaman historis satu atau beberapa kelompok dapat
memperkuat kesadaran politik terbentuknya partai politik
berasaskan agama tersebut. Almond mencontohkan Partai
Reformasi Politik Kalvinis di Nederland sebagai partai yang
berbasis agama yang dengan konservatismenya mengajak
bangsa Belanda kembali pada keimanan Kalvinis.
Begitu juga kehadiran partai politik di Indonesia, faktor
agama menjadi salah satu landasan eksistensinya. Hal tersebut
bisa dilihat dari keberadaan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadikan
Islam sebagai ideologi atau asasnya. Keberadaan kedua partai
tersebut tidak terlepas dari orientasi para elite partai untuk
menjadikan Islam sebagai landasan eksplanasi, diferensiasi,
dan evaluasi atas kerja partai sebagaimana fungsi ideologi
pada umumnya. Menurut Terence Ball dan Richard Dagger
(1991: 8) ideologi memiliki empat fungsi yang saling mengait,
yaitu sebagai penjelas atau eksplanasi, sebagai pijakan pola
sikap atau orientasi, sebagai media evaluasi, dan sebagai
pijakan aktualisasi program atau aksi. Dalam konteks PPP dan
PKS, maka seluruh agenda dan peran yang dijalankannya
harus merujuk atau mencerminkan asas yang dianutnya.
Asas keagamaan partai politik, menurut Larry Diamond
dan Richard Gunther (2001: 9) merupakan tipe proto-hegemonic, yaitu sebuah tipe partai politik yang spesifik dan
terbatas dengan doktrinasi yang kuat. Karena itu, menjadi
sangat penting ditelaah tingkat relasi antara asas Islam
dengan agenda yang dijalankan oleh PPP dan PKS sebagai dua
partai Islam yang paling lama bertahan sejak reformasi. Telaah
dilakukan dengan membedah perdebatan tiga RUU di DPR RI
di era reformasi, yaitu RUU Pornografi, Kesehatan, dan
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
3
A. Bakir Ihsan
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (PDRE) melalui
formulasi keislaman yang diinisiasi dalam pembahasan ketiga
RUU tersebut. Ketiga RUU tersebut menjadi telaah dalam
tulisan ini karena beberapa pertimbangan. Pertama, menjadi
sorotan kuat dari masyarakat luas, khususnya dari civil society.
Kedua, waktu pembahasannya yang lama, karena adanya
perdebatan panjang khususnya di internal DPR RI. Ketiga,
sangat terkait dan memiliki tingkat urgensi yang kuat dengan
kebutuhan publik secara umum. Hal ini berbeda dengan RUU
Ketenagakerjaan atau RUU Jaminan Produk Halal yang
cakupannya spesifik, yaitu untuk tenaga kerja dan produk bagi
umat Islam.
Pergeseran dan Penyempitan Ranah
Semarak perjuangan keislaman yang dilakukan oleh partai
politik Islam dapat dipilah pada dua ranah, yaitu pertama,
ranah simbolik kekuasaan dan kedua, ranah substantifkebijakan. Pada ranah simbolik kekuasaan terindikasi pada
adanya upaya memasukkan simbol-simbol keislaman dalam
konteks kekuasaan, termasuk ke dalam kebijakan sebagai
kontrol sekaligus pandu yang harus dijalankan oleh masyarakat luas. Bahkan pada titik ekstrem upaya tersebut
teraktualisasi dalam bentuk formalisasi ajaran Islam ke dalam
seluruh dimensi kehidupan bernegara. Hal ini bisa dilihat pada
format isu maupun upaya penguasaan atas simpul-simpul
kekuasaan melalui simbol-simbol keagamaan (Islam) baik yang
diwacanakan dalam kampanye maupun wacana publik pada
umumnya.
Sementara substantif-kebijakan lebih pada ikhtiar memasukkan nilai-nilai keislaman melalui proses kontekstualisasi ke
dalam kebijakan, sehingga bisa diterima oleh semua publik.
Langkah ini teraktualisasi dalam bentuk universalisasi sekaligus pribumisasi ajaran Islam sebagai acuan untuk memastikan kebijakan tetap berlandaskan pada kerangka kebersamaan
dalam keragaman sebagai warga tanpa kehilangan ruh keislamannya.
4
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
Perjuangan pada ranah simbolik kekuasaan dapat dilihat
pada awal reformasi, tepatnya periode 1999-2004. Perjuangan
ideologis partai politik Islam terlihat dari beberapa agenda dan
langkah serta koalisi yang dibangunnya. Paling tidak hal tersebut terlihat dari tiga fakta: pertama, pencalonan Abdurrahman Wahid sebagai presiden yang dimunculkan oleh partaipartai Islam dengan menamakan diri poros tengah. 2 Kedua,
adanya usulan pembahasan kembali Piagam Jakarta dalam
proses amandemen UUD 1945 pada tahun 2002. Usulan
tersebut digagas oleh tiga fraksi partai politik Islam di MPR,
yaitu Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi Perserikatan Daulatul
Umat dan mendapat dukungan dari partai politik Islam yang
bergabung dengan Fraksi Reformasi, yaitu Partai Keadilan. 3
Ketiga, pembahasan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 khususnya pasal 12
ayat 1a tentang “Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak; a. mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama.”
Pada era berikutnya, periode 2004-2009, perdebatan yang
memperlihatkan corak ideologis (simbolik-kekuasaan) tidak
sekuat sebagaimana periode sebelumnya (1999-2004). Hal ini
2Poros
tengah merupakan terminologi yang menggambarkan posisi
partai-partai Islam yang berusaha memecah kebekuan politik yang
terjadi antara PDIP yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri
sebagai calon presiden dan Partai Golkar yang ingin mempertahankan
BJ Habibie sebagai Presiden. PDIP dan Partai Golkar merupakan dua
partai yang menempati urutan 1 dan 2 dalam perolehan suara pada
Pemilu 1999. Poros tengah muncul sebagai alternatif dari tarik
menarik kedua kekuatan tersebut. Partai yang bergabung dalam poros
tengah ini tidak hanya partai politik yang berasaskan Islam, tapi juga
partai politik yang berbasis Islam, tapi berasaskan Pancasila, seperti
PAN dan PKB (Manning & Diermen, 2000: 401).
3Fraksi Partai Perserikatan Daulatul Umat adalah gabungan dari
partai politik Islam yang memiliki kursi kecil, seperti Partai Nahdlatul
Ummah, Partai Persatuan, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
dan Partai Kebangkitan Umat. Sementara Partai Keadilan bergabung
dengan PAN yang membentuk fraksi reformasi (Kompas, Minggu, 11
Agustus 2002).
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
5
A. Bakir Ihsan
bisa dilihat dari pilihan koalisi yang diambil oleh partai politik
Islam yang cenderung mencair dan melampaui sekat ideologis,
serta pilihan kebijakan yang lebih pada penguatan aspek
substansi. Koalisi yang dibentuk oleh partai politik Islam pada
periode 2004-2009 tidak lagi mempertimbangkan kesamaan
atau kedekatan ideologi, sebagaimana tersimbolkan dalam
koalisi poros tengah (1999-2004), tapi lebih pada insentif yang
lebih memungkinkan didapatkan. Misalnya dalam penentuan
atau dukungan terhadap calon presiden dan wakil presiden,
partai politik Islam, tidak lagi mempertimbangkan status
tingkat keberagamaan calon. Pilihan partai politik Islam tidak
pada siapa sosok yang mendekati kriteria ideologi Islam,
misalnya berasal dari kalangan santri, tapi lebih pada siapa
yang lebih terbuka peluang untuk meraih kemenangan (faktor
elektabilitas) tanpa mempersoalkan identitas sosiologisnya.
Apabila merujuk pada kategorisasi Clifford Geertz (1981)
tentang santri, priyayi, dan abangan, maka partai politik Islam
sejatinya memunculkan atau mendukung calon dari kalangan
santri.
Selain itu, menurunnya tingkat perjuangan ideologis oleh
partai politik Islam terjadi seiring selesainya amandemen UUD
1945 sebagai rujukan seluruh undang-undang yang menutup
ruang bagi aktualisasi warna formal keislaman. Paling tidak
tingkat perdebatan isu-isu keislaman antar partai atau fraksi
tidak sekeras pada peirode sebelumnya. Bahkan Kuskridho
Ambardi (2009: 237) menyebut pemilu 2004 sebagai tonggak
memudarnya oposisi dan munculnya politik kartel. Namun
demikian, fakta tersebut tidak serta merta menunjukkan
matinya ideologi Islam.
Komitmen dan pertimbangan keislaman yang ditunjukkan
oleh partai politik Islam tetap ada dengan intensitas dan
formulasi yang berbeda. Paling tidak, adanya perdebatan
dalam pembahasan RUU di DPR RI yang diinisiasi oleh partai
politik Islam menunjukkan adanya komitmen partai politik
Islam terhadap ideologi yang dianutnya. Pada sisi pemilih,
6
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
eksistensi partai politik Islam menunjukkan adanya harapan
masyarakat terhadap peran yang bisa dimainkan dalam
mewarnai atmosfir perpolitikan di Indonesia. Hal inilah yang
ikut mengantarkan partai politik Islam, PPP dan PKS bisa
terus hadir dalam empat kali Pemilu (1999, 2004, 2009, dan
2014) di era reformasi di Indonesia.
Walaupun PPP dan PKS mempunyai ideologi yang sama,
yaitu Islam, namun dilihat dari konteks historis, keduanya
hadir melalui background yang berbeda. PPP selain sebagai
partai Islam yang memiliki sejarah panjang, aspek lain yang
membedakannya dengan partai politik Islam lainnya, dan
karenanya menjadi nilai tambah untuk diteliti, adalah adanya
aliran-aliran di dalam PPP sebagai konsekuensi dari fusi yang
terbangun sejak awal berdirinya yang dapat menambah beban
kendala dalam merumuskan kebijakan PPP. Hal ini berbeda
dengan partai Islam lainnya, seperti PKS yang dibentuk oleh
sekelompok muslim yang berlatar belakang gerakan yang
sama, yaitu kelompok (halaqah) tarbiyah (Machmudi, 2008:
51). Keanggotaan PKS lebih homogen karena berangkat dari
gerakan yang sama dengan paham keislaman yang sama.
Sementara di dalam PPP ada unsur NU yang dikategorikan
sebagai muslim tradisionalis, juga ada unsur Muslimin
Indonesia yang dikategorikan sebagai muslim modernis.
Adanya beberapa perbedaan antara PPP dengan PKS baik
secara historis maupun sosiologis, sejatinya menunjukkan
kekhasan pada kedua partai Islam tersebut. Kekhasan tersebut
menjadi problem ketika dihadapkan pada realitas publik yang
majemuk baik dalam konteks antar agama maupun internal
umat Islam sendiri. Karena satu sisi, sebagaimana dinyatakan
oleh John B. Thompson (1984: 126) ideologi merupakan
serangkaian ide komprehensif yang menjadi landasan utama
aktivitas. Misalnya dalam pembahasan tiga RUU yang menjadi
fokus tulisan ini, RUU Pornografi, Kesehatan, dan PDRE,
merupakan RUU yang diperuntukkan bagi publik yang majemuk. Tiga RUU ini menjadi perdebatan dan mendapatkan
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
7
A. Bakir Ihsan
perhatian serius dari PPP dan PKS serta fraksi lain di DPR,
bahkan dari kalangan civil society, sehingga membutuhkan
waktu panjang dalam pembahasannya. Pada titik ini, PPP dan
PKS sebagai partai berasaskan Islam dihadapkan pada keharusan memperjuangkan nilai-nilai Islam sebagai konsekuensi
logis dari ideologi Islam dengan segala ketentuan ajarannya
(pembatasannya) di tengah masyarakat yang majemuk secara
agama dan alirannya.
Di sisi lain, PPP dan PKS dihadapkan pada keharusan
merangkul sebanyak-banyaknya suara untuk kepentingan
eksistensinya. Apa pun bentuk ideologinya, partai politik akan
eksis apabila mendapatkan dukungan suara yang banyak,
minimal memenuhi standar electoral treshold (ET) yang
ditetapkan oleh undang-undang Pemilu. Karena itu, PPP dan
PKS dengan ideologinya yang “terbatas” (agama Islam)
dihadapkan pada keharusan untuk merangkul suara secara
“tak terbatas” (semua agama), terlebih di tengah kecenderungan partai politik bergeser ke garis tengah dengan beragam
konvergensinya menjadi sejenis partai yang oleh Otto
Kircheimer disebut catch-all party (Amal, 2012: 51-53). Partai
politik dituntut untuk mendapatkan banyak dukungan dari
masyarakat lintas sektoral (plural) dengan mencairkan ideologinya. “They need to appeal to wide cross-sections of community meant that parties had to dilute their ideological appeal”
(Maor, 1997: 114). Untuk menjaga eksistensinya sebagai partai
Islam, PPP dan PKS tidak cukup dengan ideologi Islam sebagai
landasan operasionalnya, tapi juga harus mampu menerjemahkan dan mengagregasi aspirasi publik yang beragam dalam ruh
keislaman melalui kebijakan yang diambilnya.
Corak Ideologisasi Islam
Setiap partai politik memiliki mekanisme dalam
menafsirkan ideologi partainya ke dalam agenda-agenda yang
harus dijalankan dengan cara menformulasikan dan mengkontekstualisasikannya dengan realitas yang ada. Ideologi sebagai
konsepsi ide yang disistematisasikan, menjadi urgen sebagai
8
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
tolok ukur (indikator) konsistensi partai. Dalam konteks partai
politik Islam, maka perwujudan keislaman yang dielaborasi
oleh partai politik dalam beragam coraknya menjadi indikator
relasi ideologi dengan aksi partai.
Dalam teori ideologi yang diajukan oleh Roy C. Macridis
(1983: 13) ideologi tidak sekadar doktrin, kepercayaan, norma,
atau simbol, tetapi sebagai penggerak perilaku dan tindakan
yang khas yang dilaksanakan secara konsisten. Pada sisi lain,
Maurice Duverger (2005: 141) melihat eksistensi ideologi tergantung pada tingkat penerimaan dan kebutuhan masanya.
Bahkan menurut Maswadi Rauf (2000: 47) ideologi merupakan
jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang pada hakikatnya sama tetapi dengan istilah yang berbeda. Misalnya
ideologi liberalisme dan komunisme pada dasarnya mempunyai
tujuan yang sama, yaitu terciptanya masyarakat yang makmur, tetapi melalui cara yang berbeda, yaitu melalui kebebasan
berusaha atau kontrol negara. Dalam konteks PPP dan PKS,
maka Islam sebagai ideologi ditempatkan sebagai sebuah norma, doktrin, dan kepercayaan yang bersumber utama pada
sumber yang sama, yaitu Alquran dan Hadis dan bertujuan
untuk terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur,
sejahtera lahir batin, bermartabat, dan demokratis, serta
diridhai Allah dalam keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia (AD/ART PPP dan PKS).
Ideologi menjadi efektif apabila didukung oleh sistem
kepartaian yang representatif dan proporsional. Dalam teori
sistem kepartaian yang digagas oleh Moshe Maor (1997: 96)
menempatkan partai politik sebagai organisasi yang tidak
sekadar memiliki dan ditentukan oleh ideologi, tapi juga memiliki struktur dan sistem dengan mekanisme dan fungsi internalnya maupun kemampuan eksternalnya berhadapan (kompromi atau konflik) dengan partai lain (eksternal). Karena itu,
menurut Scott Mainwaring (2005: 4-5) partai politik memiliki
kaitan yang tidak bisa dipisahkan antara ideologi dengan
mekanisme internal maupun eksternalnya. Dalam hal ini, par-
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
9
A. Bakir Ihsan
tai Islam seperti PPP dan PKS memiliki struktur dan
mekanisme yang berbeda (khas) dari partai sekuler, dan juga
adanya faksi-faksi yang memungkinkan terjadinya dinamika di
internal partai maupun saat berhadapan dengan partai lain,
khususnya dalam konteks pembahasan undang-undang di
legislatif.
Dalam struktur organisasi partai politik Islam, seperti PPP
dan PKS, ada posisi majelis atau dewan syariah yang memiliki
fungsi untuk memberikan masukan dan menawarkan konsepsi
kajian nasional dalam perspektif syariah. Secara formal, baik
PPP maupun PKS memiliki lembaga yang berbeda dengan
partai politik sekuler yang secara khusus memberikan kepastian adanya kesesuaian antara sikap dan perilaku partai politik
dengan syariah (ajaran Islam). Partai politik (PPP dan PKS)
sebagai produk politik modern yang hadir di negara yang tidak
berideologikan agama (Islam), maka mau tidak mau kedua
partai tersebut harus bisa melakukan formulasi terhadap
syariah yang menjadi rujukan dalam perjalanan partai,
sehingga bisa kontekstual dan diterima oleh masyarakat yang
plural.
Secara umum, ada dua bentuk formulasi nilai-nilai Islam
(tathbiqus syari’ah) yang diperjuangkan dan dijadikan landasan oleh partai politik Islam (PPP dan PKS) dalam merespons
ketiga RUU; Pornografi, Kesehatan, dan PDRE. Pertama, nilainilai Islam universal yang diyakini kebenarannya tidak hanya
oleh umat Islam, tapi juga umat manusia secara keseluruhan,
seperti keadilan, kejujuran, kebersamaan, persatuan, kesetaraan di depan hukum, dan HAM. Nilai-nilai ini lebih bersifat
substantif. Kedua, nilai-nilai yang hanya diyakini oleh seluruh
umat Islam, seperti larangan memamerkan aurat di ranah
publik, larangan perzinahan, haramnya minuman keras, dan
lainnya. Nilai-nilai ini lebih bersifat simbolik dengan mengacu
pada standar verbal di dalam Alquran, hadis, maupun ijma’
(kesepakatan) para ulama. Kedua formulasi tersebut dapat
10
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
dilihat dalam dua ranah teoretis, yaitu teori ideologi dan teori
sistem kepartaian.
Kedua formulasi nilai-nilai Islam tersebut tercermin dalam
anggaran dasar PPP dan PKS dengan memasukkan unsurunsur yang sifatnya spesifik Islam, seperti pencantuman asas
Islam, tapi juga unsur-unsur kepartaian yang berlaku umum
namun tetap sesuai dengan prinsip Islam, seperti musyawarah.
Formulasi nilai-nilai seperti inilah yang kemudian dieksplorasi
sebagai landasan dan rujukan dalam rapat pleno fraksi terkait
pembahasan ketiga RUU. Berdasarkan landasan formulasi
nilai-nilai Islam tersebut, maka perdebatan di internal fraksi
lebih pada upaya penyamaan persepsi terkait pasal-pasal
dalam tiga RUU tersebut yang perlu diperkuat, direvisi, atau
diubah bila dinilai bertentangan atau berpotensi melahirkan
tafsir yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam hal ini,
sistem kepartaian sebagaimana digagas oleh Moshe Maor
merupakan bagian penting dalam menentukan arah dan langkah partai sebagai penentu (independent variable) atau
ditentukan (dependent variable).
Formulasi Tiga RUU
Prinsip dasar yang dijalankan oleh PPP dan PKS dalam
menyikapi setiap pembahasan rancangan undang-undang
(RUU) adalah dengan melihat secara keseluruhan draft RUU
tersebut untuk memastikan relevansi dan urgensi, serta
korelasi dengan ajaran Islam baik secara substantif maupun
simbolik. Simbolisasi ditekankan pada RUU yang terkait
dengan kebutuhan umat Islam, seperti RUU Haji, Wakaf,
maupun sejenisnya. Sementara terhadap RUU yang bersifat
umum, lebih ditekankan pada aspek substansi, tanpa
mengabaikan kemungkinan inisiasi pada aspek yang bersifat
simbolik apabila diperlukan dan dimungkinkan. Karena itu,
dalam pembahasan RUU bersama fraksi lainnya, baik PPP
maupun PKS tidak secara khusus menyoroti satu persatu dari
pasal-pasal yang ada, tetapi lebih fokus pada pasal yang
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
11
A. Bakir Ihsan
dianggap menyimpang atau berpotensi melahirkan beragam
tafsir deviatif dan distortif.
Dalam pembahasan RUU Pornografi, PPP dan PKS menyoroti beberapa pasal yang dinilai perlu dipertahankan, diperkuat, dan diperjelas karena dianggap berpotensi melahirkan
tafsir distorsif atau efek yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pada dasarnya RUU Pornografi merupakan ikhtiar
untuk kepentingan publik. Namun dalam perkembangannya,
RUU ini diidentikkan dengan ajaran Islam semata, padahal
apabila ditelaah dalam naskah akademik RUU Pornografi ini
terlihat adanya pertimbangan moral keagamaan secara
universal yang didasarkan pada ajaran semua agama, bukan
hanya Islam, juga terhadap tradisi yang berkembang di
masyarakat (Risalah Rapat RUU Pornografi).
Di antara pasal-pasal dalam RUU Pornografi yang menjadi
sorotan PPP dan PKS adalah pasal 1 tentang definisi
pornografi sebagai,
“Materi seksualitas dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk-bentuk pesan
komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di depan umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan
dalam masyarakat” (Kumpulan Risalah Rapat Pembahasan
RUU Pornografi, 2008).
Bagi PPP dan PKS pornografi juga mencakup pornoaksi,
karena itu ia tidak hanya terbatas pada gambar (grafis) atau
sketsa, tapi juga terkait gerak tubuh (pornoaksi). PPP dan PKS
mendukung dan mempertahankan definisi pornografi yang di
dalamnya tercakup pornoaksi tersebut untuk memperluas
cakupan pornografi dari sekadar gambar. PPP mengusulkan
revisi agar kalimat “membangkitkan hasrat seksual” tidak
perlu ada, karena hal tersebut tidak signifikan untuk memastikan pornografi maupun pornoaksi. Sementara PKS mengusulkan revisi definisi pornografi dengan membuang kata “di
12
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
depan umum” karena pornografi dan pornoaksi tetap berlaku
walaupun dilakukan sendiri. Namun demikian, baik PPP
maupun PKS tidak memperkuat dukungannya tersebut melalui
dalil-dalil simbolik keislaman. Penekanannya lebih pada moral
dan etika publik sebagai penguat dukungannya terhadap
definisi pornografi.
Begitu juga larangan dan pembatasan pornografi untuk
kepentingan pribadi (pasal 6). Menurut PPP dan PKS pornografi walaupun untuk kepentingan pribadi, tetap tidak boleh
dilakukan. Selain dikhawatirkan tersebar ke wilayah publik,
juga secara moral melihat gambar anggota tubuh tertentu
dilarang dalam agama. Pada aspek ini, PPP mengintrodusir
pertimbangan agama (ajaran Islam) untuk memperkuat argumennya terkait kepentingan pribadi.
Aspek lain yang menjadi sorotan PPP dan PKS dalam RUU
Pornografi adalah peran serta masyarakat dalam mencegah
peredaran pornografi (pasal 21) yang, oleh PDIP dan PDS,
dinilai bisa memberi ruang bagi terjadinya pengadilan sepihak
oleh masyarakat. Masyarakat bisa bertindak sewenang-wenang
untuk mengadili pelaku yang dianggap melakukan pornografi
atau pornoaksi karena mendapatkan pembenaran (legitimasi)
dari pasal tentang peran serta masyarakat tersebut. Bagi PPP
dan PKS peran serta masyarakat sangat penting sebagai bagian dari partisipasi warga dalam mengawal undang-undang
sekaligus implementasi dari ajaran Islam amar ma’ruf nahi
munkar (memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran).
Walaupun PPP dan PKS tidak memasukkan ajaran Islam
secara simbolik ke semua (44) pasal dalam RUU Pornografi,
hanya sekadar pertimbangan argumentatif berdasarkan ajaran
Islam, namun dengan melihat latar belakang dari diusulkannya RUU Pornografi, termasuk dari kajian (naskah) akademiknya, serta substansi yang terkandung di dalam semua pasal
sangat terlihat jelas adanya korelasi substantif dengan ajaran
Islam, juga ajaran agama lainnya. Namun demikian, nilai-nilai
substantif tersebut tidak mendapatkan penekanan secara
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
13
A. Bakir Ihsan
khusus dan terperinci baik oleh PPP maupun oleh PKS dalam
pembahasan pasal per pasal, sehingga upaya simbolik islamisasi RUU sebagaimana dituduhkan sebagian kalangan tidak
terlihat.
Sikap PPP dan PKS terhadap RUU Pornografi berbeda
dengan partai yang memiliki basis pemilih muslim, seperti
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) maupun Partai Amanat
Nasional (PAN), bahkan dengan Partai Bintang Reformasi
(PBR) yang merupakan pecahan dari PPP. Khususnya dalam
hal ranah privat, ketiga partai tersebut mengusulkan revisi,
karena pornografi dan pornoaksi tidak berlaku pada ranah
privat.
Sikap PPP dan PKS terhadap RUU Pornografi berbeda
dengan sikapnya terhadap RUU Kesehatan yang dalam beberapa pasal mengaitkannya dengan ajaran Islam secara simbolik. PPP memberikan beberapa catatan terhadap RUU Kesehatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
ajaran Islam, terlebih karena RUU Kesehatan memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga memberikan ruang penafsiran
yang relatif luas pula dan mendapatkan dukungan dari PKS.
Dalam hal jumlah pasal, RUU Kesehatan ini terdiri dari 205
pasal, jauh lebih banyak dibandingkan UU Kesehatan sebelumnya (UU Nomor 23 Tahun 1992) yang memiliki 90 pasal dan
lebih mencakup pada aspek medis. Sama seperti pada RUU
Pornografi, PPP dan PKS tidak memberikan catatan pada
setiap pasal, namun dipilih pasal yang berpotensi multitafsir
dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam pembahasan RUU Kesehatan terkait dengan nilainilai Islam, terjadi perdebatan bahkan antar sesama partai
Islam. Upaya PPP dan PKS memasukkan nilai-nilai Islam khususnya terkait masalah aborsi, mendapatkan tanggapan dari
FPBR yang notabenenya berasal dari rumah ideologi yang
sama, yaitu Islam. Menurut FPBR, aborsi bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan. FPBR menolak aborsi bagi korban
pemerkosaan atau perzinahan dengan alasan apapun. Semen-
14
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
tara FPDS menolak aborsi karena pasti akan melahirkan
penyesalan yang lebih berat dibandingkan dengan alasan
aborsi itu sendiri. Secara umum, perdebatan antar fraksi dapat
dipilah antara fraksi yang mendukung dan fraksi yang menolak atau keberatan atas usulan seperti yang diperjuangkan
PPP dan PKS. Kelompok pertama adalah FPG, FPD, FPKB,
FBPD, dan FPAN, dan kelompok kedua adalah FPDIP, FPBR,
dan FPDS.
Secara umum, ada tiga masalah yang menjadi sorotan
serius PPP dan PKS dalam pembahasan RUU Kesehatan yang
terkait langsung dengan hukum Islam dan diterima menjadi
bagian dari UU Kesehatan karena mendapatkan dukungan
dari partai lain, termasuk dari PKS terkait beberapa pasal.
Pertama, masalah aborsi. Masalah aborsi di dalam Islam pada
dasarnya dilarang (haram) karena sama dengan membunuh
kehidupan. Namun juga terdapat klausul dibolehkannya aborsi
karena adanya pertimbangan yang dibenarkan oleh syariat.
Karena itu, PPP memberikan persyaratan yang ketat dalam
masalah aborsi. Selain pertimbangan (keselamatan) janin atau
ibunya, PPP juga mengharuskan adanya pertimbangan agama
dalam memutuskan bisa tidaknya tindakan aborsi tersebut
dilakukan (Pasal 77 UU Kesehatan). Pertimbangan agama
yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan untuk memastikan
pertimbangan aborsi sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Misalnya aborsi bagi orang yang apabila tidak dilakukan
akan berdampak pada kematian atau dampak mudarat
lainnya.
Kedua, bedah mayat. Secara medis, orang meninggal sepenuhnya berada dalam kontrol dan standar kedokteran, termasuk dalam masalah bedah mayat. Secara kedokteran orang
meninggal layaknya barang bekas yang bisa diambil bagianbagian yang masih bisa digunakan untuk kepentingan dunia
kedokteran. Namun bagi PPP maupun PKS dengan merujuk
pada ajaran Islam, orang mati harus tetap dimuliakan dan
diperlakukan sebagaimana makhluk yang masih hidup, seperti
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
15
A. Bakir Ihsan
tidak boleh dilukai atau diperlakukan kasar. Pandangan dan
pertimbangan yang dirujukkan pada Islam secara simbolik
tersebut terakomodasi dalam penjelasan pasal dalam UU
Kesehatan 2009.
Ketiga, hak dan kesehatan reproduksi. Dalam RUU Kesehatan, perempuan mendapatkan haknya untuk menentukan
proses sebelum, ketika, dan setelah kehamilan. Walaupun ada
penjelasan bahwa hak-hak reproduksi tetap dalam koridor
aturan yang diambil dari berbagai sumber nilai, termasuk dari
agama, namun PPP menekankan masalah masa menyusui
tidak dipatok pada batas ASI eksklusif yang dalam dunia medis
dianjurkan selama 6 bulan. PPP mengajukan perlunya ruang
kemungkinan menyusui sampai dua tahun sebagaimana
dianjurkan dalam Alquran. Hal ini didukung oleh PKS yang
menekankan aspek kesesuaian antara undang-undang dengan
kaidah yang ada di dalam Islam. Masalah menyusui sampai 2
tahun diakomodir dalam Penjelasan UU Kesehatan Pasal 128
Ayat (1); “Yang dimaksud dengan “pemberian air susu itu
eksklusif” dalam ketentuan ini adalah pemberian hanya air
susu ibu selama 6 bulan, dan dapat terus dilanjutkan sampai
dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai
dengan kebutuhan bayi.” Hal tersebut diperkuat oleh peraturan
bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan No.
48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian
Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja (“Peraturan
Bersama”). Dalam Peraturan Bersama tersebut disebutkan
bahwa tujuan pemberian ASI selama waktu kerja di tempat
kerja adalah agar pemberian ASI eksklusif 6 (enam) bulan dan
dilanjutkan pemberian ASI sampai anak berumur 2 (dua)
tahun bisa tercapai.
Dalam pembahasan RUU Kesehatan, PPP dan PKS cenderung menawarkan nilai-nilai Islam secara simbolik. Bahkan
16
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
kalau dikalkulasi dari aspek konten pembahasan, PPP lebih
menonjol dalam hal memasukkan aspek simbolik ajaran Islam
ke dalam RUU Kesehatan daripada PKS. Munculnya perdebatan pada aspek simbolik keagamaan dalam pembahasan
RUU Kesehatan tidak terlepas dari adanya ruang yang
memungkinkan hal tersebut. Munculnya perdebatan aspek
agama dalam pembahasan RUU Kesehatan sangat dimungkinkan karena asas dan tujuan dari pembangunan kesehatan
yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 36 Tahun 2009
ini memasukkan norma-norma agama sebagai bagian dari asas
dan tujuannya. Pada Bab II, Pasal 2, disebutkan asas dan tujuan pembangunan kesehatan adalah,
“Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
non diskriminatif dan norma-norma agama.” (Kumpulan Risalah Rapat Pembahasan RUU Kesehatan, 2009)
Berdasarkan asas dan tujuan tersebut, maka aspek norma
atau ajaran agama menjadi pertimbangan tersendiri dalam
pembahasan RUU Kesehatan dalam rangka penyelenggaraan
kesehatan masyarakat yang diatur secara eksplisit dalam
undang-undang. Bahkan kesehatan dalam UU ini didefinisikan
sebagai “keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial”. Aspek spiritual menjadi bagian penting dalam
RUU ini karena menjadi tujuan dari program kesehatan yang
juga memperhatikan aspek agama. Adanya aspek agama dan
spiritual dalam RUU Kesehatan ini, yang tidak ada pada UU
Kesehatan sebelumnya4, memberi ruang bagi munculnya
4Dalam
UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, kesehatan didefinisikan
sebagai; “keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.
Sementara asas dan tujuan dalam UU Kesehatan tersebut disebutkan;
“Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha
bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam
keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan
sendiri.”
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
17
A. Bakir Ihsan
perdebatan masalah agama dalam pembahasannya. Inilah
yang mendorong PPP dan PKS mengindusir ajaran Islam
secara simbolik ke dalam RUU Kesehatan yang mendapat
dukungan dari partai lain, sehingga berhasil diakomodasi ke
dalam RUU yang kemudian disahkan menjadi UU Kesehatan.
Dalam hal pembahasan RUU PDRE penekanan nilai-nilai
Islam oleh PPP dan PKS lebih pada landasan dasar dari RUU
tersebut, yaitu pentingnya toleransi dalam masyarakat yang
majemuk sebagai bagian dari sunnatullah. Baik PPP maupun
PKS sama-sama melandaskan pandangannya terhadap RUU
PDRE pada Alquran QS Al-Hujurat (49): 13. Menurut PPP
(Kumpulan Risalah Rapat RUU PDRE, 2008) masyarakat
Indonesia yang majemuk merupakan perwujudan paling presisi
dan gambaran paling sempurna dari ayat tersebut, karenanya
PPP sangat berkepentingan untuk mengatur dan mengelola
kemajemukan tersebut secara produktif, sehingga keragaman
bisa melahirkan kebersamaan dengan menempatkan semua
warga negara setara kehadirannya di muka konstitusi. Menurut PPP, ungkapan Bhinneka Tunggal Ika yang dirumuskan
oleh para founding fathers negeri ini merupakan simbolisasi
dari keragaman warga yang direkatkan oleh kehendak untuk
bersama mencapai satu tujuan. Karena itu, PPP dan PKS
memperjuangkan agar RUU tersebut tidak dibatasi pada
diskriminasi ras dan etnis, tetapi seluruh potensi yang memungkinan seseorang atau kelompok terdiskriminasi, termasuk dalam hal agama.
PKS mendukung RUU PDRE dengan dilandaskan pada
beberapa alasan. Pertama, secara teologis, manusia diciptakan
secara berkelompok, bersuku-suku, dan majemuk, sebagaimana
diterangkan dalam Alquran surat Al-Hujurat: 13. Kedua,
semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai komitmen kebangsaan atas kemanunggalan dalam keragaman yang harus terus
dirawat melalui pengelolaan yang berlandaskan hukum.
Ketiga, UUD 1945 yang menempatkan semua warga sama di
depan hukum harus diimplementasikan melalui pengaturan
18
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
yang lebih spesifik terkait relasi sosial yang majemuk. Menurut
PKS (Kumpulan Risalah Rapat RUU PDRE, 2008), walaupun
sudah ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak
asasi manusia, namun belum memberikan penjelasan secara
rinci terkait beragam persoalan konflik akibat diskriminasi ras
dan etnis, karena itu diperlukan undang-undang yang secara
khusus mengatur tentang upaya penghapusan diskriminasi ras
dan etnis (RUU PDRE).
Beberapa bagian yang menjadi sorotan PPP dalam RUU
PDRE adalah definisi etnis yang memasukkan agama sebagai
bagian di dalamnya. Definisi etnis dalam RUU PDRE disebutkan sebagai “penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan,
nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah,
geografis, dan hubungan kekerabatan.” (Kumpulan Risalah
Rapat RUU PDRE, 2008). PPP menganggap agama tidak perlu
dimasukkan dalam definisi etnis karena tiga hal. Pertama,
dapat mengaburkan faktor terjadinya tindakan diskriminatif
yang menjadi fokus RUU PDRE. Kedua, agama menjadi identik
dengan etnis, padahal satu etnis bisa beda agama. Ketiga,
agama yang universal menjadi terkungkung oleh etnisitas,
padahal agama melampaui batasan-batasan etnisitas. Pemisahan agama dalam definisi etnis ini juga untuk melepaskan
stigmatisasi yang cenderung menjadi penentu perlakuan
terhadap etnis tertentu. Misalnya etnis Arab dan Tionghoa
yang diperlakukan beda karena Arab identik dengan Islam dan
Tionghoa non-muslim. Karena itu, FPPP mengusulkan masalah
agama masuk dalam definisi tindakan diskriminasi, bukan
pada definisi etnis, sebagaimana terdapat pada; Pasal 1 (8)
RUU PDRE; “Tindakan diskriminasi berdasarkan ras dan/atau
etnis adalah tindakan yang mempunyai tujuan menghilangkan
atau merusak pengakuan, kebanggaan dan kesetaraan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang
agama, politik, sipil, ekonomi, sosial budaya, pendidikan atau
bidang lain dari kehidupan masyarakat.” Juga dalam Pasal 2
ayat (2); “Asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal sebagaimana dimaksud pada ayat
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
19
A. Bakir Ihsan
(1) diselenggarakan dengan tetap memerhatikan nilai-nilai
agama, sosial, budaya, dan hukum yang berlaku di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Aspek lain yang menjadi sorotan PPP adalah masalah
persamaan dalam kemajemukan. Aspek krusial dalam kemajemukan atau keragaman adalah adanya perbedaan yang bila
ditarik pada jarak ekstrem, maka akan terjadi pertentangan
dan bisa menyulut konflik. Apalagi kemajemukan suku dan
etnis di Indonesia termasuk yang paling banyak di antara negara-negara lainnya, sehingga kerentanan konflik dan kemungkinan terjadinya diskriminasi lebih terbuka. Karena itu, PPP
menekankan pentingnya penekanan aspek persamaan dalam
keragaman sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) RUU
PDRE; “Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan
berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilainilai kemanusiaan universal.” Aspek persamaan sebagai kodrat
setiap manusia yang hadir di muka bumi dapat meredam
potensi perbedaan yang mengarah pada konflik dan pertentangan.
Karena urgensi peran agama dalam penyelesaian masalah
diskriminasi, maka PPP mengusulkan perbaikan terkait dua
pasal dalam RUU PDRE, yaitu pertama, Pasal 1 ayat (8) yang
menyatakan,
“Tindakan diskriminasi berdasarkan ras dan/atau etnis adalah
tindakan yang mempunyai tujuan menghilangkan atau merusak pengakuan, kebanggaan dan kesetaraan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, sipil,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan atau bidang lain dari kehidupan masyarakat” (Kumpulan Risalah Rapat RUU PDRE,
2008).
PPP memandang isi pasal ini belum menempatkan agama
sebagai bagian dari kebebasan dan hak asasi manusia yang
tidak kalah pentingnya dibandingkan ekonomi, politik, dan
sebagainya. Karena itu, PPP mengusulkan agar “agama” dimasukkan menjadi bagian dalam definisi tindakan diskriminasi
20
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
ras dan etnis. Kedua, pada butir (d) dalam penjelasan Pasal 10
tentang hak-hak sipil disebutkan; “hak untuk memilih pasangan hidup dalam perkawinan;”. PPP dan PKS mengusulkan
agar butir (d) tersebut disesuaikan dengan isi dan maksud
Pasal 28B ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan;
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.” Menurut PPP penyelarasan ini penting untuk mencegah terjadinya perkawinan
beda agama, apalagi sesama jenis kelamin. Karena itu, PPP
mengusulkan perubahan untuk butir (d) dalam penjelasan
Pasal 10 RUU PDRE menjadi, “hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah,”
Dari beberapa usul perbaikan dan masukan PPP dan PKS
dalam RUU PDRE tersebut, terlihat adanya upaya memasukkan nilai-nilai universal agama, seperti masalah pasangan
hidup dan peran agama dalam penyelesaian diskriminasi atau
meminimalisasi potensi-potensi konflik dan diskriminasi baik
atas nama ras maupun etnis. Hal ini tidak terlepas dari peran
dan posisi agama yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat.
Langkah PPP dan PKS dalam memasukkan nilai-nilai
Islam baik yang substantif maupun simbolik melalui penguatan, perbaikan, dan pengubahan pasal-pasal agar sesuai dengan
nilai-nilai Islam dalam tiga RUU tidak terlepas dari perdebatan dan lobi-lobi antar fraksi di DPR RI. Dinamika
perdebatan antar fraksi di DPR RI dapat dipilah dalam dua
kelompok; yaitu fraksi yang menolak dan fraksi yang mendukung. Pembelahan fraksi-fraksi di DPR dalam pembahasan
tiga RUU di atas berlangsung dinamis dan tidak sepenuhnya
biner. Pada satu RUU mendukung, tapi pada RUU lainnya bisa
kontra atau berbeda pandangan dengan PPP maupun dengan
PKS. Sementara pembelahan sikap antara PPP dan PKS dalam
merespons ketiga RUU tersebut lebih pada perbedaan dalam
penekanan urgensi simbolisasi atau substansinya. PPP cende-
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
21
A. Bakir Ihsan
rung berusaha menguatkan aspek simbolisasi keislaman
daripada PKS, walaupun pada aspek substansinya saling
menguatkan.
Penutup
Ikhtiar PPP dan PKS dalam memasukkan nilai-nilai Islam
ke dalam tiga RUU; Pornografi, Kesehatan, dan PDRE, merupakan tindakan ideologis sebagaimana didefinisikan Roy C.
Macridis (1983: 13) sebagai tindakan yang dilakukan karena
dorongan untuk memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung
dalam ideologi yang dianutnya. Nilai-nilai ideologis tersebut
terlihat dari formulasi nilai-nilai Islam yang diperjuangkan
oleh PPP dan PKS dalam pembahasan tiga RUU tersebut.
Perbedaan penekanan dan intensitas perjuangan nilai-nilai
Islam antara yang simbolik (ajaran formal) dan substantif
(ajaran universal) tergantung pada konteks kemungkinan
terjadinya distorsi dan deviasi RUU dari nilai-nilai Islam.
Berdasarkan respons PPP dan PKS terhadap tiga
eksemplar RUU yang menjadi kajian tulisan ini terbaca tiga
model corak (tindakan) ideologis. Pertama, penguatan nilainilai keislaman melalui dalil-dalil argumentatif untuk melihat
korelasi Islam dengan RUU yang dibahas, tanpa memasukkannya ke dalam RUU. Hal ini terlihat dalam kasus RUU
Pornografi. Baik PPP maupun PKS tidak berpretensi untuk
memasukkan nilai-nilai keislaman secara langsung, namun
lebih pada penguatan argumentasi berdasarkan dalil-dalil
keislaman. Kedua, penguatan keislaman melalui simbolisasi
ajaran Islam ke dalam RUU. Hal ini terlihat dalam pembahasan RUU Kesehatan yang memasukkan ajaran Islam secara
langsung ke dalam undang-undang. Hal ini dilakukan karena
adanya peluang yang memungkinkan ajaran keagamaan menjadi bagian tak terpisahkan dari RUU tersebut. Ketiga,
penguatan pada kerangka dasar RUU berdasarkan nilai-nilai
universal keagamaan. Hal ini terlihat dalam pembahasan RUU
PDRE dengan menempatkan urgensi peran agama, termasuk
Islam, sebagai landasan bagi upaya minimalisasi konflik dan
22
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
diskriminasi. Landasan keislaman yang diungkapkan PPP
maupun PKS dalam RUU PDRE bersifat umum dan menjadi
concern kemanusiaan secara universal.
Aktualisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam yang
dilakukan PPP dan PKS dalam merespons RUU sebagai
tindakan ideologisnya merupakan konsekuensi logis dari apa
yang oleh Maurice Duverger (2005: 145) sebut sebagai
kebutuhan dan relevansi konteks. Di sinilah sifat ideologi yang
terbatas dan rigid menjadi terbuka dan melampaui keragaman
paham (aliran) khususnya dalam masyarakat muslim sebagai
konstituennya, bahkan sekat keagamaan, tanpa kehilangan
ruh keislaman yang diperjuangkan. Implementasi ideologi
Islam PPP dan PKS memberi ruang yang begitu luas bagi nilainilai universal yang bersenyawa dengan ajaran Islam (rahmatan lil alamin). Karenanya, ideologi Islam kedua partai Islam
tersebut selalu bisa diaktualisasikan di atas keragaman
paham-paham dalam Islam secara inklusif dan karenanya pula
ia tetap hadir dalam keragaman paham Islam dan pluralitas
publik. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor, pertama,
adanya aparatus ideologi dengan kapabilitas yang memadai.
Upaya kontekstualisasi ajaran Islam dengan RUU untuk
kepentingan publik yang majemuk, memerlukan kader-kader
yang memiliki kemampuan khazanah keislaman yang kuat,
sehingga bisa mengintrodusir argumentasi yang tepat dalam
perdebatan legislasi dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Kedua, mekanisme sistem kepartaian yang profesional. Dalam
struktur organisasi partai Islam, seperti PPP dan PKS
memiliki struktur yang menunjang bagi pengembangan dan
penguatan nilai-nilai Islam, seperti dewan atau majelis
syariah, baik untuk kepentingan internal maupun eksternal
partai termasuk dalam merespons RUU yang dibahas di DPR
RI. Kemampuan merespons secara cepat dan tepat beragam
isu, termasuk pembahasan RUU menjadi salah satu kunci bagi
efektivitas perjuangan nilai-nilai Islam baik pada ranah
legislasi maupun publik yang majemuk. Ketiga, kehandalan
dalam membangun interaksi dengan partai lainnya (power
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
23
A. Bakir Ihsan
interplay) di DPR. Keberhasilan memasukkan nilai-nilai Islam
ke dalam legislasi tidak terlepas dari dukungan partai politik
lain. Hal ini diperlukan karena secara kuantitatif, jumlah kursi
partai politik Islam belum memadai untuk “memaksakan”
aspirasi yang diperjuangkan. Melalui power interplay dengan
partai politik yang memiliki kursi banyak, memberikan
peluang lebih besar bagi akomodasi nilai-nilai Islam ke dalam
legislasi. Itulah yang menyebabkan PPP dan PKS berhasil
mengintrodusir nilai-nilai Islam ke dalam legislasi yang
mendapatkan perhatian dan mengundang perdebatan baik dari
internal DPR RI maupun di ranah publik sebagai tindak
ideologis.
Tindakan ideologis PPP dan PKS dalam memasukkan nilainilai Islam ke dalam legislasi merupakan salah satu upaya
pelembagaan ideologi sekaligus penegasan diferensiasi
berhadapan dengan partai politik lain. Aspek lain yang tidak
kalah pentingnya bagi institusionalisasi partai adalah penguatan fungsi kontrol terhadap eksekutif dan akomodasi terhadap
aspirasi publik. Keberhasilan “Islamisasi” RUU hanya menjadi
dokumen legislasi formal, sebagaimana legislasi lainnya, apabila tidak berkelindan secara sinergis antara nilai-nilai Islam
sebagai kerangka ideal dengan kerja-kerja aktual sebagai
pijakan operasional partai.
Daftar Rujukan
Almond, Gabriel A. Agustus 1956. “Comparative Political
Systems”, The Journal of Politics, Vol. 18, No. 3. 391-409
Amal, Ichlasul. 2012. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel, Studi
tentang Sistem Kepartaian di Indonesia di Era Reformasi,
Jakarta, KPG-LSI.
Ball, Terence, & Richard Dagger. 1991. Political Ideologies and
the Democratic Ideal, New York: HarperCollins Publisher
Inc.
24
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
Corak Ideologis Partai Politik Islam
Diamond, Larry, dan Richard Gunther (ed). 2001. Political
Parties and Democracy, Baltimore: The Johns Hopkins
University Press.
Duverger, Maurice. 2005. Sosiologi Politik, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi
Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
dalam
Machmudi, Yon. 2008. Islamising Indonesia: The Rise of
Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party
(PKS), Canberra, Australia, ANU E Press.
Macridis, Roy C. 1983. Contemporary Political Ideologies,
Movements and Regimes, Canada: Little, Brown &
Company.
Mainwaring, Scott, dan Mariano Torcal. 2005. Party System
Institutionalization and Party System Theory After the
Third Wave of Democratization, Working Paper for
Kellogg Institute.
Manning, Chris, & Peter van Diermen. 2000. Indonesia di
Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi dan
Krisis, Yogyakarta: LKiS.
Maor, Moshe. 1997. Political Parties & Party System, London:
Routledge.
Mas’oed, Mohtar, & Colin MacAndrews. 1990. Perbandingan
Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus Politik, Sebuah Penjajagan
Teoritis, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
Segal, David R. 1974. Society and Politics,Uniformity and
Diversity in Modern Democracy, Illinois: Scott, Foresman
and Company.
Thompson, John B. 1984. Studies in the Theory of Ideology,
Berkeley: University of California Press.
Jurnal Review Politik
Volume 07, No 01, Juni 2017
25