Academia.eduAcademia.edu

Ideologisasi Partai Islam Masyumi di Indonesia

2020, Jurnal Politikom Indonesiana, 1 Juli 2020, Vol 5, No 1 (2020)

Abstrak Kemunculan Masyumi Reborn awal Maret 2020 kembali mengingatkan publik politik Indonesia mengenai Partai Masyumi. Partai politik Islam yang pernah berjaya pada masa demokrasi liberal atau parlementer ini diklaim sangat ideologis bila dibandingkan dengan partai-partai Islam saat ini. Tulisan ini merupakan studi mengenai sejarah, kiprah politik dan ideologi Partai Masyumi ketika masa pemerintahan Orde Lama. Tulisan ini memfokuskan perdebatan di Konstituente. Penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif yang menggunakan literatur untuk mendapatkan data, dan kemudian dianalisis berdasarkan landasan teori yang digunakan untuk membingkai data yang dianalisis. Landasan teoritik yang digunakan adalah partai politik Islam, ideologi dan relasi Islam dengan negara. Berdasarkan hasil penelitian literatur ternyata ditemukan terjadi pergeseran ideologi Masyumi di akhir masa sidang konstituante, mereka bergeser sedikit ke arah subtansi dari sebelumnya ideologinya bercorak formalis. Meski mengalami kegagalan di Konstituante pengaruh dari ideologisasi Masyumi ini masih terasa sampai saat ini, pengaruhnya tidak saja di kelompok Islam politik di Indonesia, tetapi juga di negara Malaysia. Kata Kunci: Partai Masyumi, Ideologi, Partai Politik Islam, Konstituante

Jurnal Politikom Indonesiana: Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi Vol. 5, No. 1, Juni 2020 https://journal.unsika.ac.id/index.php/politikomindonesiana Ideologisasi Partai Islam Masyumi di Indonesia Gili Argenti Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Singaperbangsa Karawang Email: gili.argenti@fisip.unsika.ac.id Abstrak Kemunculan Masyumi Reborn awal Maret 2020 kembali mengingatkan publik politik Indonesia mengenai Partai Masyumi. Partai politik Islam yang pernah berjaya pada masa demokrasi liberal atau parlementer ini diklaim sangat ideologis bila dibandingkan dengan partai-partai Islam saat ini. Tulisan ini merupakan studi mengenai sejarah, kiprah politik dan ideologi Partai Masyumi ketika masa pemerintahan Orde Lama. Tulisan ini memfokuskan perdebatan di Konstituente. Penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif yang menggunakan literatur untuk mendapatkan data, dan kemudian dianalisis berdasarkan landasan teori yang digunakan untuk membingkai data yang dianalisis. Landasan teoritik yang digunakan adalah partai politik Islam, ideologi dan relasi Islam dengan negara. Berdasarkan hasil penelitian literatur ternyata ditemukan terjadi pergeseran ideologi Masyumi di akhir masa sidang konstituante, mereka bergeser sedikit ke arah subtansi dari sebelumnya ideologinya bercorak formalis. Meski mengalami kegagalan di Konstituante pengaruh dari ideologisasi Masyumi ini masih terasa sampai saat ini, pengaruhnya tidak saja di kelompok Islam politik di Indonesia, tetapi juga di negara Malaysia. Kata Kunci: Partai Masyumi, Ideologi, Partai Politik Islam, Konstituante Abstract The emergence of Masyumi Reborn in early March 2020 again reminded the Indonesian political public about the Masyumi Party. This Islamic political party that once triumphed during a period of liberal or parliamentary democracy is claimed to be very ideological when compared to current Islamic parties. This paper is a study of the history, political progress and ideology of the Masyumi Party during the Old Order era. This paper focuses on the debate in the Constituent Assembly. This research is a type of descriptive research that uses literature to get data, and then analyzed based on the theoretical basis used to frame the analyzed data. The theoretical foundation used is the Islamic political parties, ideology and the relationship between Islam and the state. Bassed on the results of literature research, it was found that there was a shift in Masyumi's ideology at the end of the constituent assembly, they shifted slightly towards the substance of the formalist ideology. Despite the failure in the Constituent Assembly, the influence of Masyumi ideologization is still felt today, its influence not only in political Islamic groups in Indonesia, but also in Malaysia. Keywords: Masyumi Party, Ideology, Islamic Political Party, Constituent Assembly https://journal.unsika.ac.id/index.php/politikomindonesiana 37 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti PENDAHULUAN Pada tanggal 7 Maret 2020 publik politik Indonesia dikejutkan dengan acara Silaturahim dan Urun Rembug Keluarga Besar Masyumi yang digelar di Aula Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Kramat Raya, Jakarta. Menurut panitia penyelenggaran acara ini selain sebagai ajang silaturahmi nasional, juga mempersiapkan pendirian partai Islam baru yang diklaim lebih ideologis dari partai Islam yang sudah ada, acara yang dihadiri peserta sekitar 300 orang ini di media sosial populer dengan sebutan Masyumi Reborn. Fenomena Masyumi Reborn semakin menarik kalau dihubungkan dengan pernyataan Prof. Din Syamsuddin dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII pada 27 Februari 2020 di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), beliau mendorong umat Islam Indonesia melahirkan satu partai politik Islam tunggal sebagai kendaraan politik umat Islam dalam memperjuangkan agenda keumatan di negeri ini. Fenomena Masyumi Reborn tentu menarik untuk diperbincangkan, mengingat pasca Orde Baru, sudah banyak berdiri partai Islam yang mengklaim diri sebagai reinkarnasi Partai Masyumi, dari belasan partai Islam tersebut hanya tersisa Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang dinilai sebagai penerus sah cita-cita politik dari Keluarga Besar Bulan Bintang. Kemunculan Masyumi Reborn dalam panggung politik nasional mengingatkan kita pada ideologi populisme yang akhir-akhir ini semakin menguat di beberapa negara di dunia, karena terdapat kesamaan isu yang diangkat dengan isu-isu populisme, yakni penguatan kembali pada politik identitas. Wacana yang dibentuk dalam pertemuan Silaturahim dan Urun Rembug Keluarga Besar Masyumi ini sudah jelas, mereka ingin mendirikan partai baru yang memiliki warna lebih ideologis dari partai-partai Islam sudah ada. Mengingat partai politik pasca Orde Baru baik partai nasionalis atau partai Islam dinilai sudah memudar ideologinya. Ini selaras dengan studi dari Ambardi (2009), bahwa partai politik di Indonesia memiliki karakteristik politik kartel, yaitu ketika masa kampanye partai-partai ini begitu keras berkompetisi dengan narasi pertentangan ideologi. Tetapi setelah kompetisi selesai serta terdapat pemenang, persaingan yang sebelumnya seolah-olah terdapat dua kutub saling berlawanan yang tidak bisa dipersatukan, pada akhirnya partai-partai ini ternyata melakukan kerjasama dalam konsesus atau koalisi Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 38 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti politik. Partai-partai yang terlibat politik kartel ini menjadikan asas manfaat sebagai tujuan utama dalam berpolitik, mereka tidak lagi menjadikan ideologi sebagai ruh gerakan. Populisme sendiri merupakan konsep untuk menjelaskan fenomena sosial politik kontemporer yang ditandai dengan menguatnya politik identitas (Arifin, 2019). Populisme menentang narasi elit yang berkuasa, seperti gerakan kaum termarginalkan dengan menciptakan dikotomi yang membelah masyarakat antara “kelompok kami” melawan “kelompok mereka”. Populisme cenderung mendaku memberikan solusi atas kondisi status quo dengan menawarkan alternatif solusi secara instan, bahkan populisme dianggap dapat memberikan jawaban atas situasi sosial, ekonomi dan politik yang mengalami stagnasi (Djani, 2017). Keunikan dari populisme, ternyata kelompok ini menggunakan fasilitas demokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya, mengeluarkan slogan-slogan yang memancing aksi kerumunan dengan mengaduk-aduk sentimen primordial (Hardiman, 2017). Sedang populisme Islam dipandang sebagai upaya membentuk artikulasi transformatif berbagai identitas sosial politik Islam ke dalam satu identitas universal, yaitu umat. Populisme dalam prespektif Islam muncul sebagai sikap ketidakpuasan terhadap elit negara yang dianggap tidak menjalankan kebijakan sesuai dengan kehendak mayoritas masyarakat muslim (Khakim, 2016). Menariknya dalam studinya Hadiz (2019) menjelaskan Partai Islam Masyumi yang hidup ketika Orde Lama memiliki karakter populis, terlihat dari visi pembangunan yang diusung partai ini mencakup keprihatinan terhadap ketidakadilan sosial yang dipicu oleh hasrat untuk mempromosikan kepentingan bisnis kecil kaum terpinggirkan yang diasosiasikan dengan umat Islam. Studi mengenai Partai Islam Masyumi telah banyak dilakukan para peneliti diantaranya Samsuri (2011), Rahman (2017), serta Sumanto dan Zulkarnain (2016). Dalam studinya Samsuri (2011) menjelaskan mengenai pertarungan ideologi antara Masyumi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), pertarungan ideologi antara Islam dengan komunisme ini terjadi di lembaga parlemen dan di konstituante, pertarungan keduanya disebabkan akar ideologi Masyumi yaitu Islam tidak bersesuaikan dengan ideologi komunisme, selain itu pengaruh perang dingin sangat kuat merekontruksi situasi politik domestik, sehingga rivalitas timur dengan barat dalam panggung politik global ikut mempengaruhi pergolakan politik dibeberapa negara pasca kolonial. Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 39 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti Rahman (2017) menarasikan bahwa Partai Islam Masyumi merupakan partai Islam terbesar di Indonesia ketika Orde Lama, partai ini menjadi pemersatu umat Islam, kiprah mereka dalam sistem parlementer ditunjukan dengan masuknya Masyumi ke dalam beberapa pemerintahan, bahkan kader Masyumi pernah menduduki posisi sebagai Perdana Mentri (PM) diantaranya Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Kiprah politik Masyumi meredup pasca pembubaran partai ini di tahun 1960. Sedangkan dalam studinya Sumanto dan Zulkarnain (2016) menjelaskan mengenai kiprah politik Masyumi pasca Pemilu 1955, partai Islam ini menolak Demokrasi Terpimpinnya Soekarno dengan melakukan penolakan atas masuknya PKI ke dalam kabinet pemerintahan, studi ini menjelaskan berbagai kebijakan Masyumi ketika melakukan penentangan terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Lama yang dianggap dekat dengan kelompok kiri. Ketiga studi diatas menggunakan pendekatan ilmu sejarah, tulisan ini memiliki perbedaan dengan studi sebelumnya, penulis ingin mengelaborasi praksis politik Masyumi berdasarkan ideologi yang mereka miliki dengan pendekatan ilmu politik, serta menjelaskan terjadinya pergeseran ideologi partai ini dari formalis ke subtansi, terkahir melihat pengaruh Masyumi terhadap gerakan Islam politik kontemporer. Partai Islam Masyumi sendiri didirikan melalui Kongres Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah. Kongres tersebut dihadiri para pemimpin Islam dan perwakilan organisasi Islam, para aktifis Islam ini berkumpul untuk menyatukan tekad memperjuangkan aspirasi umat Islam Indonesia dalam satu wadah partai politik (Artawijaya, 2014). Pendirian Masyumi mencerminkan sebuah ikhtiar para pemimpin Islam untuk menghimpun seluruh kekuatan Islam ketika itu, keunikan Masyumi dibandingkan partaipartai lain, partai ini memiliki dua keanggotaan. Keanggotaan biasa mencakup perorangan serta keanggotaan istimewa yang bersifat organisasi, tercatat beberapa ormas Islam menjadi anggota istimewa Masyumi di antaranya Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Pendirian Partai Islam Masyumi di benak para pengagasnya bukan semata-mata kelahiran sebuah eksistensi partai politik yang membawa aliran politik tertentu, tetapi lebih merupakan sebuah pernyataan eksistensi dari sebuah kewajiban agama Islam dalam tataran kebangsaan. Terbukti dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta tersebut, selain mendeklarasikan pendirian partai politik Islam, dalam dokumen-dokumen kongres tercatat mengelurkan resolusi jihad untuk melawan penjajah Belanda, resolusi dikelurkan dengan Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 40 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti maksud menjamin kelangsungan kemerdekaan Indonesia. Dua butir resolusi sebagai berikut: (1) Memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad, (2) Memperkuat barisan pertahanan negara Indonesia dengan berbagai usaha yang diwajibkan oleh agama Islam. Dan uniknya pendirian Partai Islam Masyumi ini menempati urutan ketiga dalam resolusi umat Islam (Madinier, 2013). Terbentuknya Partai Islam Masyumi menjadi harapan besar kelompok Islam politik untuk menjadikan syariat Islam sebagai rujukan hukum tertinggi di Indonesia, sepertinya kegagalan kelompok Islam di awal kemerdekaan dalam menjadikan Islam sebagai dasar negara di Piagam Jakarta, akhirnya membuat kelompok Islam politik harus mempersiapkan partai ini sebagai kendaraan politik baru untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam (Majalah Historia, Nomor 16 Tahun 2013). Masyumi menjadi partai politik yang mempunyai komitmen kuat pada nilai-nilai keIslaman, dalam anggaran dasarnya ditegaskan bahwa tujuan terbentuknya partai ini terlaksananya ajaran serta hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara (Luth, 1999). Sedangkan dalam program perjuangan partai disebutkan bahwa tujuan besar dari pendirian Mayumi adalah menegakan kedaulatan Republik Indonesia serta melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan (Zamjani, 2009). Pada pemilu legislatif pada tanggal 29 September 1955 Partai Masyumi ikut bertarung memperebutkan suara pemilih, dengan memperoleh suara 37 juta atau sebesar 20,9%, sedang pada pemilu untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955, partai ini hanya berhasil meraih sebanyak112 kursi di lembaga yang ditugakan untuk merumuskan serta menetapkan konstitusi baru (Feith, 1999). Keikutsertaan Masyumi dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam melalui saluran demokrasi, menandakan bahwa partai ini menggunakan jalur legal konstitusional, tidak menempuh cara-cara kekerasan.Meskipun begitu pilihan menggunakan sistem demokrasi sebagai alat perjuangan, tidak sepi dari kritikan sebagian kecil umat Islam, mengingat demokrasi merupakan sistem politik yang lahir bukan dari peradaban Islam, tetapi dari peradaban barat yang sekuler. Salah satu alasan Masyumi menerima demokrasi, karena partai ini memegang teguh prinsip kesabaran dalam perjuangan. Kesabaran menurut Masyumi merupakan nafas panjang perjuangan untuk mencurahkan segala kemampuan dalam batasan hukum agama dan hukum positif negara, berkompetisi melalui jalur demokrasi dengan kelompok-kelompok lain merupakan pilihan rasional, dari pada berjuang dengan kekerasaan menggunakan kekuataan militer (Artawijaya, 2014). Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 41 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti Keterlibatan Partai Masyumi dalam sistem demokrasi pada masa pemerintahan Orde Lama tentu sangat menarik untuk dikaji, meskipun partai ini memiliki pandangan Islam formalis, keterlibatan mereka dalam pemerintahan sekuler membuktikan partai berlogo bulan bintang ini memiliki strategi moderasi dalam berpolitik. Bahkan beberapa fakta politik berbicara kepada kita, bahwa partai Islam ini kerap menjalim kerja sama politik dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik dalam membendung pengaruh ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Dari kedua keunikan tersebut, penulis ingin mengangkat Partai Masyumi dalam tulisan ini, penulis tertarik melihat lebih jauh ideologi serta praksis politik Masyumi selama pemerintahan Orde Lama. Terlebih kehadiran Masyumi Reborn beberapa pekan terakhir yang terang-terangan akan mengadaptasi kembali ideologi Masyumi sebagai praksis gerakan di era reformasi, menjadikan tulisan ini tetap menemukan relevansinya sebagai sebuah kajian politik. Partai Masyumi merupakan salah satu partai Islam pernah ada di Indonesia, kiprah politik mereka sangat legendaris, sehingga menjadi rujukan kelompok Islam politik sampai sekarang. METODE PENELITIAN Untuk proses mengolah data yang diperoleh, penulis menggunakan beberapa tahapan. Pertama, tahapan dalam pengumpulan data tertulis yang relevan dengan data yang diperlukan untuk kelengkapan penelitian. Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari literatur dengan cara menelaah isinya melalui buku-buku, catatan, manuskrip dan dokumen-dokumen. Kedua, menguji dan menganalisa data secara kritis, dengan kritik ini diharapkan dapat mendapatkan validitas sumber data (baik sumber primer, sumber sekunder, sumber sejarah dan sumber teoritik) yang digunakan dalam penelitian. Ketiga, menghubungkan peristiwa yang satu dengan peristiwa lain sehingga menjadi satu rangkaian politik yang utuh. Maka untuk mengupas Ideologi serta praksis politik dari Masyumi, penulis menggunakan tiga konsep teori politik, yaitu partai politik Islam, Ideologi politik dan relasi Islam dengan negara. Partai Islam dapat didefinisikan menjadi dua pengertian. Pertama, partai politik yang menjadikan Islam sebagai asas dan program formalnya. Kedua, partai politik yang lebih mementingkan nilai-nilai Islam dari pada simbol-simbol Islam, dengan kata lain definisi partai Islam pertama lebih menekankan pendekatan formal, yang kedua lebih menekankan pendekatan subtansialistik (Romli, 2008). Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 42 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti HASIL PENELITIAN Dalam studinya Muhtadi (2012) menjelaskan partai Islam ialah partai yang secara eksplisit mengklaim Islam sebagai ideologi, atau partai yang memiliki basis dukungan dari organisasi-organisasi Islam. Lebih lanjut Muhtadi, membedakan antara partai Islam dengan gerakan sosial Islam, partai Islam didefinisikan sebagai wahana perjuangan bersifat konvensional melalui mekanisme formal, sedangkan gerakan sosial Islam menurutnya dinilai berjuang dalam bentuk wadah politik non-formal. Partai politik diandaikan sebagai bagian dari inheren politik yang terinstitusionalisasi secara normal, di mana para aktifiasnya melakukan kegiatan-kegiatan seperti menjadi kandidat dalam pemilihan pejabat publik, melakukan agregasi kepentingan melalui aktivitas loby, legislasi dan semacamnya, sebaliknya gerakan sosial representasi bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap represif, dengan memperjuangkan ideologinya di luar sistem formal, bahkan bila perlu menempuh cara-cara kekerasan. Istilah ideologi sendiri mula-mula digunakan oleh Destertt de Tracy pada akhir abad ke 18, serta dikembangkan penuh sebagai konsep selama abad 19 (Bottomore, 1996). De Tracy menggunakan istilah ideologi untuk memberi nama terhadap ilmu baru yang dia rancang mengenai analisis sistematis tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya, kombinasinya dan dampak ditimbulkan. Ia mempunyai pandangan bahwa pengetahuan manusia terhadap benda tidak diperoleh secara langsung dari benda tersebut, tetapi melalui ide-ide yang terbentuk berdasarkan sensasi seseorang terhadap benda-benda tersebut. Dalam pandangannya untuk menganalisis ide dan sensasi dibutuhkan suatu disiplin ilmu pengetahuan ilmiah, ia mengusulkan nama pengetahuan ilmiah itu bernama ideologi atau ilmu tentang ide. De Tracy menggunakan istilah ideologi dengan tujuan memberi nama terhadap ilmu baru yang dia rancang mengenai analisis sistematis tentang ide dan sensasi (Arifin, 2010). Uniknya definisi ideologi sendiri tidak seragam, ia memiliki beragam definisi sehingga tidak memiliki makna tunggal (Eagleton, 1999). Menurut Takwin (2003) dalam konteks politik konsep ideologi dipahami sebagai keyakinan sebuah kelompok atau masyarakat yang seringkali digunakan sebagai dasar dalam usaha pembebasan manusia, artinya sebuah gagasan atau pemikiran yang menjadi panduan bagi kelompok manusia dalam mencapai tujuanya, dengan cara menurunkan gagasan dari ideologi untuk menjadi kerangka aksi atau Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 43 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti tindakan politik. Sedangkan Heywood (2016) ideologi merupakan sistem berpikir yang tertutup karena mengklaim monopoli kebenaran menurut versinya, dengan melakukan penolakan terhadap ide-ide yang berlawanan serta berbagai keyakinan saingannya, ideologi juga memiliki sifat mengabsolutkan pemahaman serta instrumen kontrol sosial, dengan memastikan kepatuhan dan penghambaan. Dengan demikian ideologi dipandang sebagai sistem berpikir yang abstrak, seperangkat ide ditakdirkan untuk menyederhanakan dan mendistrosi realitas sosial yang ada. Intinya bagi Heywood (2016) sebuah ideologi adalah seperangkat ide yang koheren menyediakan basis bagi tindakan politik yang terorganisasikan dimaksudkan untuk mempertahankan, memodifikasi atau menggantikan sistem kuasa yang ada, menurutnya ideologi memiliki tiga ciri penting, yaitu: a) Menawarkan pemahaman tentang tatanan yang ada biasanya berbentuk pandangan dunia. b) Mengembangkan model tentang masa depan yang diinginkan, sebuah visi mengenai masyarakat terbaik. c) Menjelaskan bagaimana perubahan politik dapat dan sebaiknya dilakukanbagaimana dapat melangkah dari (a) menuju (b). Menurut Suseno (dalam Chalik, 2017) terdapat dua macam ideologi yang berkembang di dunia. Pertama, Ideologi tertutup, tidak diambil dari masyarakat melainkan pemikiran kaum elit yang dipropagandakan serta disebarluaskan kepada masyarakat. Ciri khas dari ideologi tertutup mengklaim selain memiliki nilai serta prinsip mendasar juga bersifat kongkrit operasional. Ideologi tertutup bersifat dogmatis, intoleran dan totaliter. Kedua, Ideologi terbuka, cita-cita politik dari ideologi terbuka adalah menjamin kehidupan masyarakat untuk menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan politik. Ideologi terbuka bersifat inklusif serta menerima semua pandangan yang berasal dari masyarakat selagi bertujuan untuk membela hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi. Diskursus tentang Islam dan politik di Indonesia sampai saat ini masih menjadi topik hangat, para pengkaji Islam politik telah mendapatkan kesimpulan, bahwa sekurangkurangnya terdapat tiga mazhab pemikiran yang menjelaskan relasi Islam dengan politik kenegaraan. Ketiga mazhab tersebut, yaitu formalisme Islam (penyatuan Islam dan politik), subtansialisme Islam (etika Islam dalam politik) dan sekuler (pemisahan Islam dan politik Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 44 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti secara tegas). Di antara ketiga mazhab itu satu sama lainnya sama-sama berpengaruh serta memiliki tokoh sekaligus pengikut di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Pertama, Islam formalis, pandangan ini menghendaki adanya dasar negara Islam di Indonesia, dalam makna yang lebih tegas Indonesia harus menjadi negara Islam, menurut penganut aliran Islam politik ini, ideologi Pancasila tidak sesuai dengan ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan, oleh karena itu harus diubah supaya Indonesia mendapat keberkahan dan manfaat untuk semua manusia. Pancasila adalah buatan manusia, sementara Islam ciptaan Tuhan yang tidak mungkin salah, mempertahankan paham negara Pancasila sama dengan mempertahankan kesyirikan dan kekafiran. Kedua, Islam liberal, pandangan aliran kedua ini secara tegas memisahkan antara Islam dengan masalah-masalah kenegaraan, Islam dipahami sebatas mengurusi soal ketuhanan, sedang negara mengurus masalah-masalah sosial kemasyarakat seperti pendidikan, kebudayaan dan kemiskinan, negara tidak ikut terlibat mengurus soal ibadah atau keimanan seseorang yang menjadi urusan privat individu warga negara. Islam liberal sangat percaya semakin sedikit negara campur tangan dalam urusan masyarakat, menjadikan negara tersebut semakin baik, karena telah menjalankan fungsinya secara benar. Selain itu penganut Islam liberal memiliki keyakinan negara tidak memiliki hak untuk menentukan agama tertentu menjadi ideologi negara, bahkan mengajurkan negara tidak mengeluarkan peraturan yang membatasi atau menentukan bagaimana seorang individu menjalankan keyakinan agama mereka, misalnya peraturan perkawinan, peradilan dan kerukunan agama. Ketiga, Islam subtansi, pandangan politik ketiga ini menganggap negara tidak perlu secara resmi menjadi negara agama, tetapi etika Islam dapat memberikan sumbangan peran-peran kenegaraan, formalisme Islam dalam sebuah negara hanya akan mengkerdilkan Islam itu sendiri, sehingga Islam semakin sempit, padahal Islam itu untuk semua, keragaman dalam Islam menunjukan Islam itu aspiratif, akomodatif dan santun. Kaum Islam subtansi mengakui Islam bisa memberikan seperangkat prinsip-prinsip sosial politik, meskipun demikian aliran ini memandang Islam bukan sebuah ideologi. Islam hanya memberikan prinsip-prinsip kunci tentang masyarakat, seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran, tanggungjawab dan musyawarah. Islam subtansi menerima konsep negara Pancasila, karena ideologi negara ini dinilai tidak bertentangan dengan Islam, bahkan semua silanya sesuai dengan doktrin Islam. Selain menerima Pancasila, Islam subtansi memiliki pandangan yang anti terhadap sekulerisme, karena sekulerisme secara fundamental Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 45 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti bertentangan dengan semua agama, jalan pemikiran manusia sekuler cenderung mengabaikan nilai-nilai religiusitas yang transenden (Qodir, 2012). PEMBAHASAN Kelahiran Partai Islam Masyumi diawali dari penyelenggaraan Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, salah satu hasil terpenting keputusan kongres umat Islam tersebut, meneguhkan Masyumi menjadi partai politik yang menjadi satusatunya saluran politik umat Islam Indonesia (Zamjani, 2009). Masyumi pada periode pembentukannya benar-benar memiliki basis massa rill dan konkret, terlebih alasan terbentuknya Masyumi sebagai satu-satunya alat menyalurkan aspirasi politik umat Islam yang memiliki potensi sangat besar ketika itu. Perdirian Masyumi ini sebagai partai politik memperoleh dukungan luar biasa dari para ulama, kelompok Islam modernis dan Islam tradisionalis. Ini terbukti dari masuknya ormas-ormas Islam dalam keanggotaan istimewa Masyumi, ketika partai politik Islam ini dideklarasikan (Maarif, 2017). Masyumi menjadi partai politik yang mempunyai komitmen kuat pada nilai-nilai keIslaman, dalam anggaran dasarnya ditegaskan bahwa tujuan terbentuknya partai ini terlaksananya ajaran serta hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara (Luth, 1999). Sedangkan dalam program perjuangan partai disebutkan, bahwa tujuan besar dari pendirian Mayumi adalah menegakan kedaulatan Republik Indonesia serta melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, tujuan ini dijabarkan lebih jelas dalam tafsiran anggaran dasar tentang gambaran suatu negara yang berdasarkan Islam (Zamjani, 2009). “Kita menuju kepada bakdatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara yang berkebajikan dan diliputi ampunan Ilahi, di mana negara melakukan kekuasaanya atas musyawarah dengan perantara wakil-wakil rakyat yang dipilih, di mana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan, keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam, terlaksana sepenuhnya, di mana kaum muslimin mendepat kesempatan untuk mengatur kehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan ajaran serta hukum-hukum yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Synnah, di mana golongan keagamaan lainnya memilih kemerdekaan untuk mengamalkan agamanya serta mengembangkan kebudayaanya, di mana seluruh penduduk dari segenap lapisan dapat hidup atas dasar keragaman, terjamin baginya hak-hak asasi manusia yang termasuk di dalamnya keadilan di lapangan sosial, ekonomi dan politik” (Luth, 1999). Dari tafsiran anggaran dasar tentang suatu negara yang berdasarkan Islam tersebut, maka selanjutnya disusunlah usaha-usaha untuk mencapai tujuan mewujudkan negara berdasar ideologi Islam, usaha-usaha ini termuat di dalam pasal III Anggaran Dasar yang Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 46 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti meliputi : (1) Menginsafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik, (2) Menyusun serta memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang dan mempertahankan agama dan kedaulatan negara, (3) Melaksanakan kehidupan rakyat berdasarkan iman dan takwa, perikemanusiaan, sosial, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam dan (4) Bekerja sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan untuk menegakan kedaulatan negara (Luth, 1999). Visi Partai Masyumi adalah mensejahterakan rakyat serta membangun sebuah pemerintahaan yang dibingkai dengan cara pandang Islam, kejelasan identitas keislaman ini ditegaskan secara gamblang sebagai wujud rasa percaya diri untuk menawarkan gagasangagasan ideologis kepada masyarakat, serta siap untuk beradu konsep dengan pemikiran politik lain dalam menawarkan gagasan politiknya. Tetapi menurut Artawijaya, keyakinan ideologis Partai Masyumi ini tidak bersifat tertutup atau anti toleransi, partai ini membangun sebuah toleransi dalam batas-batasan yang jelas, di mana masing-masing umat beragama bisa saling menghargai tanpa saling mengorbankan akidahnya. Bagi Masyumi toleransi harus dibatasi dengan identitas masing-masing, sikap keterbukaan tidak berarti harus menyakini kebenaran agama lain, sebagaimana ajaran pluralisme agama saat ini. Sikap toleran ini disampaikan oleh Prawoto Mangkusasmito, salah satu Ketua Partai Masyumi (Artawijaya, Keteladanan Partai Masyumi: Harian Republika, Tanggal 20 Maret 2014). “Kepada penganut agama-agama lain di luar Islam, kami menyatakan bahwa kami tidak menaruh keberatan sedikitpun jika saudara-saudara di dalam rumusan UUD menginginkan pula dijaminnya untuk menunaikan syariat agama golongan saudara. Tujuan perjuangan umat Islam ialah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat, tidak jarang berkisar alat menjadi tujuan, alat yang cuma berguna selain digunakan menurut fitrahnya, sebaliknya menjadi azab jika keliru memakainya, berubah menjadi tujuan yang dipujanya dan dipertahankan mati-matian, kadang kala dengan jalan di mana batas halal dan haram kurang diperhatikan” (Artawijaya, Keteladanan Partai Masyumi (Harian Republika, Tanggal 20 Maret 2014). Pilihan menjadikan Islam sebagai ideologi Masyumi sejalan dengan pembentukan Masyumi sendiri, cita-cita Islam sebagai Ideologi Masyumi tampak dari rumusan tujuan pertama kali yang diputuskan Kongres Umat Islam di Yogyakarta, yaitu menegakan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam dalam urusan kenegaraan. Berikut ini merupakan lima tujuan pendirian Masyumi a) Menginsafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 47 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti b) Menyusun dan memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang mempertahankan agama dan kedaulatan negara. c) Melaksanakan kehidupan sosial rakyat berdasarkan Iman dan Taqwa, perikemanusiaan sosial, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam. d) Bekerja bersama-sama dengan lain golongan dalam lapangan perjuangan menegakan kedaulatan negara (Samsuri, 2004) Dalam kepengurusannya Masyumi mencakup berbagai golongan umat Islam, hal ini terlihat dalam susunan Majelis Syuro dan Pengurus Besar, dalam Majelis Syuro, ketua adalah Hasyim As’ari (NU) dan Wakilnya Wahid Hasyim (NU), Agus Salim (PSII), Syekh Djamil Djambek (Pembaharu dari Sumatra Barat), sedang pengurus Besar terdiri dari para politisi karier, seperti Soekiman, Abikusno, Natsir dan M.Roem. Keutuhan Masyumi sebagai satu-satunya wadah aspirasi dan perjuangan umat Islam Indonesia dalam perkembangannya kemudian ternyata tidak dapat dipertahankan. Satu per satu unsur pendukung Masyumi mulai meninggalkan serta mendirikan partai politik sendiri. Pada bulan Juli 1947, PSII meninggalkan Masyumi serta menyatakan diri kembali sebagai partai politik independen, keluarnya PSII dari Masyumi didasarkan faktor kekuasaan, saat itu ada kesempataan untuk menduduki posisi politik dalam kabinet Amir Syarifuddin, dengan keluarnya PSII ini menandai fenomena mulai rapuhnya ikatan politik dalam tubuh Masyumi (Romli, 2008). Jejak PSII kemudian diikuti oleh NU, tahun 1952 NU menyatakan keluar dari Masyumi dengan memproklamirkan diri sebagai partai politik yang berdiri sendiri. Peristiwa keluarnya NU ini tentu saja sangat menggoncangkan Masyumi, karena NU merupakan organisasi Islam yang mempunyai pengikut cukup besar, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, keluarnya NU dari Masyumi kerap dihubungkan dengan masalah-masalah kekuasaan. NU keluar dari Masyumi karena kursi Mentri Agama yang biasa menjadi jatah dari NU diberikan kepada Muhammadiyah, selain itu mulai terkikisnya dominasi ulama NU dalam Majelis Syuro semenjak M. Natsir menjadi ketua umum Masyumi, terkikisnya peran ulama ini disebabkan sebelum dipimpin Natsir, Masyumi dipegang oleh kalangan politisi yang tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, sehingga peran ulama sangat dibutuhkan untuk menentukan arah kebijakan partai, baru setelah M. Natsir yang memiliki latar belakang intelektual-ulama (Persis) menjadi pemimpin partai, peran ulama di Majelis Syuro menjadi berkurang sedikit demi sedikit. Keluarnya PSII dan NU harus dibayar mahal oleh Masyumi, dengan perolehan suara di pemilu 1955 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perolehan suara partai yang Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 48 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti menggunakan gambar bulan bintang ini harus puas di posisi kedua di bawah suara kalangan nasionalis sekuler PNI baik di parlemen dan konstituante (Romli, 2008). Konstituante merupakan lembaga negara yang ditugaskan untuk menyusun Konstitusi atau Undang-Undang Dasar baru (UUD), di lembaga ini terpolarisasi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu para pendukung sosial ekonomi, pendukung Pancasila sebagai dasar negara dan pendukung Islam sebagai dasar negara. Dengan komposisi pendukung Pancasila sebagai dasar negara terdiri dari PNI (116 anggota), PKI dan faksi Republik Proklamari (80 anggota), Parkindo (16 anggota), Partai Katolik (10 anggota), Partai Sosialis Indonesia (10 anggota), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (8 anggota) dan beberapa partai kecil. Total keseluruhan berjumlah 273 anggota. Sedangkan, kelompok pendukung Islam sebagai dasar negara terdiri dari Partai Masyumi (112 anggota), NU (91 anggota), PSII (16 anggota), Perti (7 anggota) dan dua partai Islam kecil lain, jadi jumlah keseluruhan berjumlah 230 anggota. Terakhir kekuatan sosial-ekonomi hanya berjumlah 9 anggota terdiri dari Partai Murba dan Partai Buruh (Ismail, 2017). Dari ketiga komposisi kekuatan di Majelis Konstituante secara hitungan matematis tidak ada kekuatan yang bisa mencapai dua pertiga atau 321 suara ketika akan menggoalkan kepentingan politiknya, maka tidak heran ketika pembahasan mengenai dasar negara selama hampir empat tahun bersidang tidak tercapai kesepakatan, setiap kali voting dilakukan tidak ada kelompok yang bisa memenangkan pertarungan ideologi tersebut. Menurut penulis yang menarik dari pergulatan ideologi di dalam Konstituante ialah melihat posisi ideologi Partai Masyumi ketika bertarung melawan ideologi kelompok sosial-ekonomi dan pendukung Pancasila sebagai dasar negara. Pertarungan itu bisa dilihat dari argumentasi-argumentasi yang disampaikan ketika proses sidang Konstituante berlangsung. Dalam pidatonya di Konstituante Kasman Singodimedjo (dalam Orsan, 2017) salah satu tokoh Masyumi ini berupaya memasukkan semangat Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD yang baru serta berusaha menggoalkan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya Islam merupakan agama yang memuat nilai universal, di dalam kitab suci Al-Qur’an banyak ayat menerangkan keragaman umat manusia, dari keragaman itu Islam mengajarkan untuk saling mengenal dan saling menghargai satu sama lain. Bagi Kasman Singodimedjo teranglah bahwa Islam meletakan dasar hidup antara bangsa dengan negara, antar suku bangsa dengan suku bangsa lain atas dasar saling menghargai, memberi dan menerima. Dengan begitu menurutnya Islam sangat menjamin hak-hak asasi manusia (human rights) dengan Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 49 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan menghargai perbedaan dengan penuh tanggungjawab. Tokoh Masyumi lainnya Isa Anshari (dalam Orsan, 2017) dalam pidatonya di Konstituante berjudul “Menuju Republik Indonesia Berdasakan Islam” menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia yang diraih berkat jasa para pahlawan nasional. Para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Cik Di Tiro, Cut Mutia, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hasanuddin dan Sultan Baabulah. Mereka mengangkat senjata melawan Belanda di dorong inpirasi iman serta tauhid, kalimat tahuid yang bergema serta berkumandang di seluruh Indonesia menjadi bukti para pahlawan ini memiliki suatu cita-cita besar menempatkan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta membuktikan bahwa Islam sebagai keyakinan tidak terpisah dari semangat revolusi kemerdekaan Indonesia 1945. Sedangkan pidato Hamka (2001) berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara” menguraikan bahwa di negara Islam kelompok-kelompok non-muslim tidak perlu khawatir, bahwa kelompok non-muslim ini tidak akan memiliki kebebasan, di Mesir contohnya ketika Sa’ad Zaghlul (1857-1927) berkuasa ia memiliki pejabat beragama Kristen Koptik bernama Makram Ubayd. Dengan memberikan contoh di Mesir, politisi Masyumi ini berusaha menyakinkan saudara sebangsanya yang non-muslim agar tidak takut dimarginalkan oleh umat Islam. Di akhir pidatonya Hamka mengajak kelompok non-muslim untuk menerima Islam sebagai dasar negara. Tokoh sentral Partai Islam Masyumi M. Natsir (dalam Suhelmi, 2012) menilai Islam sebagai agama yang mencakup semua dimensi kehidupan manusia, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan sesama manusia. Bagi Natsir, Islam merupakan sebuah ideologi yang mampu membimbing manusia dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam kehidupan duniawi, sosial kemasyarakatan bahkan politik, umat Islam membutuhkan suatu pandangan ideologi yang komprehensif, Islam menyediakan pandangan holistik tersebut, dengan demikian tidak mungkin seorang muslim menurut Natsir melepaskan keterlibatan politik tanpa melibatkan Islam di dalamnya. Berdasarkan pemikiran ideologinya itu, Natsir menolak segala bentuk pemikiran sekuler, sebab pemikiran sekuler mengabaikan nilai-nilai trasendensi Islam. Dalam salah satu pidatonya tanggal 21 November 1957 di Majelis Konstituante mengenai hubungan Islam dan Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 50 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti dasar negara, Natsir menegaskan bahwa paham sekulerisme merupakan suatu pandangan hidup serta tujuan-tujuan yang hanya dibatasi spirit keduniawian, sehingga tolak ukur kebenaran serta kebahagiaan ditentukan oleh materi (benda), menurut Natsir, tidaklah aneh apabila di negara-negara sekuler masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lainnya semata-mata dilandasi kepentingan material, bukan nilai-nilai spiritual ketuhanan. Sedangkan negara menurut Natsir, merupakan alat untuk merealisasikan hukum-hukum Tuhan, maka bentuk negara yang dikehendaki tokoh Masyumi ini adalah sebuah negara pada prinsipnya diatur oleh syariat Islam, bukan bentuk negara sekuler. Perseteruan ideologis antara kalangan Islam politik dengan nasionalis sekuler sudah terjadi cukup lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka, mereka sudah berselisih tentang relasi antara agama dengan negara. Golongan nasionalis sekuler memiliki prinsip, bahwa dalam kehidupan politik kenegaraan harus ada pemisahan secara tegas antara agama dan politik, pada umumnya golongan ini menyakini agama hanyalah merupakan ajaran-ajaran yang menyangkut masalah akhirat dan urusan pribadi, sedangkan politik kenegaraan merupakan masalah duniawi serta menyangkut kepentingan banyak orang. Sedangkan golongan Islam politik berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat terpisah dari urusan politik (kenegaraan), kalangan ini memiliki keyakinan serta komitmen yang kuat pada pandangan negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama, yang dalam arti luas bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan sesama manusia di dunia (Suhelmi, 2012). Perbedaan konsep relasi Islam dan negara antara kelompok nasionalis dengan Islam politik yang menghiasi perdebatan dasar negara di dalam Majelis Konstituante terjadi berlarut-larut, sehingga Majelis Konsituante menghadapi jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainnya titik temu (konsensus) antara dua kutub politik, antara kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, serta kelompok yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap voting dilakukan, suara mayoritas yang diperlukan tidak tercapai, bahkan hal tersebut terjadi berulang-ulang, mengakibatkan terjadinya kejenuhan di dalam sidang, berakibat semakin banyak anggota Majelis Konstituante tidak bersedia menghadiri sidang di lembaga tersebut. Peristiwa ini menjadikan situasi politik nasional tidak menentu, maka berdasarkan kepentingan stabilitas dan keamanan nasional, atas dukungan serta desakan militer khususnya dari Angkatan Darat, Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 51 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan pembubaran Majelis Konstituante dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara (Gaffar, 2006). Menariknya dalam perdebatan di dalam Majelis Konstituante, pada sidang-sidang itu sebenarnya lembaga Konstituante telah menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk menentukan HAM (Hak Asasi Manusia), bentuk pemerintahan dan prinsip-prinsip kebijakan negara. Sayangnya perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung lancar, perdebatan panas ini berujung dengan keputusan reses sejak 2 Juni 1959, dalam reses itu sesungguhnya telah terjadi kesepakatan melalui lobi-lobi politik untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Prawoto (Wakil Ketua Majelis Konsituante dari Masyumi) sendiri menuturkan, kelompok mereka sedang bersiap-siap bersidang kembali dengan maksud menerima Pancasila, sebagai langkah politik kompromi dan realistis dari kalangan Islam politik, namun belum sempat mereka bersidang kembali, koalisi militer dan Soekarno mengeluarkan pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden (Kamil, 2013) Langkah kompromi Masyumi untuk menerima Pancasila dalam masa reses tersebut, didasari pemikiran bahwa tidak ada gunanya memaksakan dasar negara Islam, ketika suara untuk mencapai dua pertiga tidak tercapai di dalam Konstituante, bahkan menurut Natsir perjuangan Masyumi mendirikan negara Islam melalui saluran demokrasi, harus siap dengan segala konsekuensinya yang berdasarkan “kesepakatan” logika suara mayoritas, maka kalau suara mayoritas rakyat tidak menghendaki negara Islam, Masyumi akan mengalah untuk tidak terus-menerus memperjuangkan kepentingan sektoralnya, saat itu kelompok Islam politik sudah sampai kepada kesadaran, bahwa dasar negara Islam tidak dapat dipaksakan menjadi dasar negara Indonesia (Wawancara Adnan Buyung Nasution, dalam Seri Buku Tempo: Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan, Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim (Jakarta: KPG, 2011). Menurut penulis terjadi pergeseran orientasi ideologi Partai Islam Masyumi dari sebelumnya formalis sedikit bergeser ke arah subtansi, pergeseran ini merupakan pilihan pragmatis ketika praksis demokrasi tidak bisa mengakomodir keinginan politik Masyumi. Politisi Masyumi tidak bisa menyakinkan kelompok nasionalis sekuler untuk menerima Islam sebagai dasar negara, maka menerima Pancasila menjadi pilihan rasional untuk menghindari kebuntuan di Konstituante. Langkah mengalah elit-elit Masyumi ini mengingatkan kita pada pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta di awal kemerdekaan, ketika itu para tokoh Islam dengan berbesar hati mengakomodir aspirasi masyarakat Indonesia timur yang keberatan pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 52 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 salah satu poinnya membubarkan Konstituante, menandakan Indonesia memasuki periode demokrasi terpimpin. Partai Masyumi menegaskan demokrasi terpimpin tidak mencerminkan semangat demokrasi yang sesungguhnya, justru dalam prakteknya demokrasi terpimpin digunakan Soekarno untuk memperkuat kekuasaanya, pihak-pihak yang bersebrangan dengan garis politiknya disingkirkan. Selain Masyumi terdapat Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik mengkritisi demokrasi terpimpin. Sikap keras yang ditunjukan Masyumi dan PSI kepada Soekarno, mengakibatkan kedua partai ini dibubarkan oleh Soekarno di tahun 1960, selain kritis juga dianggap terlibat aktif mensponsori perlawanan militer beberapa daerah di Indonesia. Pasca Orde Lama pemerintahan Presiden Soeharto atau Orde Baru awalnya diharapkan mengakomodir Islam politik, teryata keinginan ini berbanding terbalik, pemerintah Orde Baru menolak merehabilitasi kembali Partai Masyumi, dengan menyarankan mendirikan partai baru sebagai wadah aspirasi kalangan Islam khususnya kelompok modernis-mengingat ketika itu Partai NU masih berdiri-kemudian terbentuklah Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi, tetapi ketika Mohammad Roem (tokoh Masyumi) terpilih sebagai Ketua Umum Parmusi, Presiden Soeharto melakukan penolakan, bahkan menginstruksikan para tokoh Masyumi di larang menjadi pengurus partai baru tersebut (AM. Fatwa, Pergulatan Anatara Islam dan Kekuasaan : Kasus Tanjung Priok Berdarah. Harian Republika, tanggal 10 Desember 1998). Pelarangan berpolitik kepada para tokoh Masyumi membuat sebagian tokohnya memilih beraktifitas pada bidang lain, salah satunya M. Natsir, mantan Ketua Umum Partai Masyumi ini bersama para koleganya mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) sebagai bentuk ijtihad atas ketidakberhasilan merehabilitasi kembali Partai Masyumi diawal pemerintahan Orde Baru, DDII merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikkan dan dakwah, lembaga ini banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa untuk melanjutkan studi Islam ke Timur Tengah. Pendirian DDII selaras dengan pemikiran M. Natsir, bahwa dakwah Islam tidak bisa tegak tanpa jamaah (masyarakat) dan tidak bisa membangun masyarakat tanpa dakwah. DDII merupakan sarana para mantan anggota Masyumi melakukan aktifitas dakwah, karena dakwah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap umat Islam, sebagai penyeru serta penyampai Islam kepada masyarakat. Melalui DDII ini M. Natsir bersama koleganya tetap berhidmat di Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 53 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti bidang kemasyarakatan, selepas tidak aktif lagi dalam dunia politik (Husaini dan Setiawan, 2020). Kiprah DDII meski terlepas dari praksis politik, ternyata aktifitas pendidikan mereka mampu melahirkan generasi baru Islam yang kemudian memberi warna berbeda terhadap arah Islam politik di Indonesia setelah kejatuhan Orde Baru. Lembaga yang didirikan M. Natsir ini kemudian berperan penting dalam inisiator dakwah kampus atau Jamaah Tarbiyah, dengan memberikan pendampingan dan pelatihan kepada para mahasiswa Islam, termasuk mendorong pemerintah Orde Baru mendirikan Masjid di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, tercatat dari usaha pendekatan tokoh-tokoh DDII ini kepada pemerintah Orde Baru terbangunlah 15 Masjid di dalam kampus atau berdekatan dengan kampus. Di masa selanjutnya Masjid-Masjid kampus ini menjadi pelopor berdirinya beberapa Lembaga Dakwah Kampus (LDK), di Bandung misalnya terdapat Masjid Salman di kampus ITB, yang merupakan embrio dari munculnya LDK Gamais, begitu juga di Masjid Kampus UGM menjadi persemaian berdirinya LDK Jam’aah Salahudin, yang kemudian hari dari dua kampus ini melahirkan kaderkader dakwah yang bergerak di ranah politik (siyasih). Para aktifis dakwah kampus inilah di awal reformasi mendirikan partai politik Islam fenomenal, yakni Partai Keadilan kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (Rahmat, 2009). Meski Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berasas Islam, selama berkiprah di panggung politik nasional sejak tahun 1999, partai ini tidak pernah melontarkan isu mengenai formalisasi syari’at Islam atau pengembalian tujuh kata Piagam Jakarta. Isu politik yang mereka usung bersifat subtansi, bahkan terkadang pragmatis, meskipun begitu komitmen para kader PKS dalam menjalankan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hati tidak perlu diragukan lagi. Terlebih partai ini mengklaim diri sebagai partai dakwah yang berbasis pengkaderan sangat ketat, sehingga simbol Islam terasa lebih dominan dari partai Islam lain. Pengaruh ideologisasi Masyumi ternyata tidak hanya menjadi rujukan Islam politik di tanah air, studi dari Warjio (2018) menjelaskan Partai Islam Masyumi menjadi model pembentukan partai politik Islam di Tanah Melayu. Melalui tangan Ustadz Ahmad Maliki sebelumnya anggota UMNO Daerah Seberang Perai, ketika ia membentuk kepanitiaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Islam Se-Malaya, Ustadz Ahmad Maliki ini memberikan pandangan kepada aktifis Islam Malaysia, bahwa peran para ulama harus lebih mampu berperan dan sedapat-dapatnya mempengaruhi serta memposisikan Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 54 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti dirinya lebih bebas yang kemudian membentuk satu partai politik Islam seperti halnya Partai Islam Masyumi di Indonesia. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ideologi Partai Islam Masyumi selama ini ditempatkan dalam varian Islam formalis, yaitu menghendaki berdirinya negara Islam di Indonesia, tetapi berdasarkan penelitian kepustakaan ditemukan di akhir berakhirnya sistem pemerintahan parlementer terjadi konsensus di antara partai-partai politik Islam, termasuk Masyumi di dalamnya, bahwa mereka menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Para tokoh Masyumi tidak dalam posisi memaksakan Islam sebagai dasar negara. Saran Perlu ada penelitian lanjutan untuk membedah pengaruh Ideologi Masyumi kepada gerakan Islam politik di negara Malaysia, mengingat masih minimnya referensi mengenai hal tersebut. Bila penelitian ini teralisasi akan menjadi kebangaan bagi Islam politik di Indonesia, bahwa pemikiran mereka menjadi salah satu referensi kelompok Islam politik di negara lain. DAFTAR PUSTAKA Arifin, S. (2019). Populisme, Demokratisasi, Multikulturalisme: Artikulasi Baru Islam di Indonesia Dalam Nalar Agama Publik. Malang: Intrans Publishing. Arifin, S. (2010). Ideologi Dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis Pengalaman Hizb Al-Tahrir Indonesia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Artawijaya. (2014). Belajar Dari Partai Masyumi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Artawijaya, Keteladanan Partai Masyumi. Harian Republika, Tanggal 20 Maret 2014. Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Lingkar Survei Indonesia. Bottomore, T. (1996). Konsep Ideologi. Yogyakarta: Penerbit LKPSM. Chalik, A. (2017). Islam, Negara Dan Masa Depan Ideologi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Djani, L. (2017). Persenyawaan Politik Identitas Dan Populisme: Tawaran Kerangka Analisis. Prisma Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi: Edisi Volume 36. Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction. London: Thetford Press, Ltd. Fatwa, AM., Pergulatan Anatara Islam dan Kekuasaan: Kasus Tanjung Priok Berdarah. Harian Republika, tanggal 10 Desember 1998. Feith, H. (1999). Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 55 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti Hamka. (2001). Islam Sebagai Dasar Negara dalam Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hardiman, B. (2017). Kebangkitan Populisme Kanan Dalam Negara Hukum Demokratis. Prisma Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi: Edisi Volume 36. Hadiz, VR. (2019). Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Jakarta: Penerbit LP3ES. Heywood, A. (2016). Ideologi Politik Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Husaini, A & Bambang, GS. (2020). Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir dan Hamka dalam Pendidikan. Depok: Gema Insani. Suhelmi, A. (2012). Polemik Negara Islam Soekarno vs Natsir. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Ismail, F. (2017). Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia Sebuah Studi Komprehensif. Yogyakarta: Penerbit Ircisod. Khakim, M. (2016). Gerakan Islam Populis Dalam Menjembatani Politik Islam dan Negara. Jurnal Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Volume 12, No. 1-Juni. Kamil, S. (2013). Islam Politik Di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Anti Korupsi, Demokrasi, NII, M I dan Perda Syariah. Jakarta: PSIA UIN Jakarta. Luth, T. (1999). M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press. Maarif, A. (2017). Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante. Bandung: Mizan. Madinier, R. (2013). Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Intergral. Bandung: Mizan. Muhtadi, B. (2012). Dilema PKS: Suara Dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Orsan, M (penyunting). (2017). Debat Tentang Dasar Negara Republik Indonesia di Majelis Konstituante 1957-1959. Bandung: Penerbit Sega Arsy. Qodir, Z. (2012). Sosiologi Politik Islam: Kontestasi Islam Politik dan Demokrasi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahman, A. 2017. Masyumi Dalam Kontestasi Politik Orde Lama. Proceedings of National Seminar, Universitas Negeri Makasar. https://ojs.unm.ac.id/semnaslemlit/article/view/3998 Rahmat, M. (2009). Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus Ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: Lkis. Romli, L. (2008). Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Takwin, B. (2003). Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi Dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. Zamjani, I. (2009). Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia Dalam Periode Formatif. Jakarta: Dian Rakyat. Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 56 JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020 Gili Argenti Seri Buku Tempo: Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan, Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim. Jakarta: KPG, 2011. Samsuri. (2004). Politik Islam Anti Komunis: Pergulatan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Samsuri. (2011). Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi. Jurnal Millah, Vol.1, No.1 https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/5645 Sumanto, A & Zulkarnain. 2016. Perkembangan Politik Partai Masyumi Pasca Pemilu 1955. Jurnal Risalah Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, Vol 1, No 3. http://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/ilmu-sejarah/article/view/2427 Warjio. (2018). Gagalnya Partai Politik Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online) Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu 57