Jurnal Politikom Indonesiana:
Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
Komunikasi
Vol. 5, No. 1, Juni 2020
https://journal.unsika.ac.id/index.php/politikomindonesiana
Ideologisasi Partai Islam Masyumi di Indonesia
Gili Argenti
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Singaperbangsa Karawang
Email: gili.argenti@fisip.unsika.ac.id
Abstrak
Kemunculan Masyumi Reborn awal Maret 2020 kembali mengingatkan publik politik
Indonesia mengenai Partai Masyumi. Partai politik Islam yang pernah berjaya pada masa
demokrasi liberal atau parlementer ini diklaim sangat ideologis bila dibandingkan dengan
partai-partai Islam saat ini. Tulisan ini merupakan studi mengenai sejarah, kiprah politik dan
ideologi Partai Masyumi ketika masa pemerintahan Orde Lama. Tulisan ini memfokuskan
perdebatan di Konstituente. Penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif yang
menggunakan literatur untuk mendapatkan data, dan kemudian dianalisis berdasarkan
landasan teori yang digunakan untuk membingkai data yang dianalisis. Landasan teoritik yang
digunakan adalah partai politik Islam, ideologi dan relasi Islam dengan negara. Berdasarkan
hasil penelitian literatur ternyata ditemukan terjadi pergeseran ideologi Masyumi di akhir
masa sidang konstituante, mereka bergeser sedikit ke arah subtansi dari sebelumnya
ideologinya bercorak formalis. Meski mengalami kegagalan di Konstituante pengaruh dari
ideologisasi Masyumi ini masih terasa sampai saat ini, pengaruhnya tidak saja di kelompok
Islam politik di Indonesia, tetapi juga di negara Malaysia.
Kata Kunci: Partai Masyumi, Ideologi, Partai Politik Islam, Konstituante
Abstract
The emergence of Masyumi Reborn in early March 2020 again reminded the Indonesian
political public about the Masyumi Party. This Islamic political party that once triumphed
during a period of liberal or parliamentary democracy is claimed to be very ideological when
compared to current Islamic parties. This paper is a study of the history, political progress and
ideology of the Masyumi Party during the Old Order era. This paper focuses on the debate in
the Constituent Assembly. This research is a type of descriptive research that uses literature
to get data, and then analyzed based on the theoretical basis used to frame the analyzed data.
The theoretical foundation used is the Islamic political parties, ideology and the relationship
between Islam and the state. Bassed on the results of literature research, it was found that
there was a shift in Masyumi's ideology at the end of the constituent assembly, they shifted
slightly towards the substance of the formalist ideology. Despite the failure in the Constituent
Assembly, the influence of Masyumi ideologization is still felt today, its influence not only in
political Islamic groups in Indonesia, but also in Malaysia.
Keywords: Masyumi Party, Ideology, Islamic Political Party, Constituent Assembly
https://journal.unsika.ac.id/index.php/politikomindonesiana
37
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
PENDAHULUAN
Pada tanggal 7 Maret 2020 publik politik Indonesia dikejutkan dengan acara
Silaturahim dan Urun Rembug Keluarga Besar Masyumi yang digelar di Aula Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), Kramat Raya, Jakarta. Menurut panitia penyelenggaran acara ini
selain sebagai ajang silaturahmi nasional, juga mempersiapkan pendirian partai Islam baru
yang diklaim lebih ideologis dari partai Islam yang sudah ada, acara yang dihadiri peserta
sekitar 300 orang ini di media sosial populer dengan sebutan Masyumi Reborn. Fenomena
Masyumi Reborn semakin menarik kalau dihubungkan dengan pernyataan Prof. Din
Syamsuddin dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII pada 27 Februari 2020 di Pangkal
Pinang, Bangka Belitung.
Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), beliau
mendorong umat Islam Indonesia melahirkan satu partai politik Islam tunggal sebagai
kendaraan politik umat Islam dalam memperjuangkan agenda keumatan di negeri ini.
Fenomena Masyumi Reborn tentu menarik untuk diperbincangkan, mengingat pasca Orde
Baru, sudah banyak berdiri partai Islam yang mengklaim diri sebagai reinkarnasi Partai
Masyumi, dari belasan partai Islam tersebut hanya tersisa Partai Bulan Bintang (PBB)
pimpinan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang dinilai sebagai penerus sah cita-cita politik dari
Keluarga Besar Bulan Bintang.
Kemunculan Masyumi Reborn dalam panggung politik nasional mengingatkan kita
pada ideologi populisme yang akhir-akhir ini semakin menguat di beberapa negara di dunia,
karena terdapat kesamaan isu yang diangkat dengan isu-isu populisme, yakni penguatan
kembali pada politik identitas. Wacana yang dibentuk dalam pertemuan Silaturahim dan Urun
Rembug Keluarga Besar Masyumi ini sudah jelas, mereka ingin mendirikan partai baru yang
memiliki warna lebih ideologis dari partai-partai Islam sudah ada. Mengingat partai politik
pasca Orde Baru baik partai nasionalis atau partai Islam dinilai sudah memudar ideologinya.
Ini selaras dengan studi dari Ambardi (2009), bahwa partai politik di Indonesia memiliki
karakteristik politik kartel, yaitu ketika masa kampanye partai-partai ini begitu keras
berkompetisi dengan narasi pertentangan ideologi.
Tetapi setelah kompetisi selesai serta terdapat pemenang, persaingan yang
sebelumnya seolah-olah terdapat dua kutub saling berlawanan yang tidak bisa dipersatukan,
pada akhirnya partai-partai ini ternyata melakukan kerjasama dalam konsesus atau koalisi
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
38
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
politik. Partai-partai yang terlibat politik kartel ini menjadikan asas manfaat sebagai tujuan
utama dalam berpolitik, mereka tidak lagi menjadikan ideologi sebagai ruh gerakan.
Populisme sendiri merupakan konsep untuk menjelaskan fenomena sosial politik
kontemporer yang ditandai dengan menguatnya politik identitas (Arifin, 2019). Populisme
menentang narasi elit yang berkuasa, seperti gerakan kaum termarginalkan dengan
menciptakan dikotomi yang membelah masyarakat antara “kelompok kami” melawan
“kelompok mereka”.
Populisme cenderung mendaku memberikan solusi atas kondisi status quo dengan
menawarkan alternatif solusi secara instan, bahkan populisme dianggap dapat memberikan
jawaban atas situasi sosial, ekonomi dan politik yang mengalami stagnasi (Djani, 2017).
Keunikan dari populisme, ternyata kelompok ini menggunakan fasilitas demokrasi untuk
mencapai tujuan-tujuan politiknya, mengeluarkan slogan-slogan yang memancing aksi
kerumunan dengan mengaduk-aduk sentimen primordial (Hardiman, 2017). Sedang
populisme Islam dipandang sebagai upaya membentuk artikulasi transformatif berbagai
identitas sosial politik Islam ke dalam satu identitas universal, yaitu umat. Populisme dalam
prespektif Islam muncul sebagai sikap ketidakpuasan terhadap elit negara yang dianggap
tidak menjalankan kebijakan sesuai dengan kehendak mayoritas masyarakat muslim (Khakim,
2016).
Menariknya dalam studinya Hadiz (2019) menjelaskan Partai Islam Masyumi yang
hidup ketika Orde Lama memiliki karakter populis, terlihat dari visi pembangunan yang
diusung partai ini mencakup keprihatinan terhadap ketidakadilan sosial yang dipicu oleh
hasrat untuk mempromosikan kepentingan bisnis kecil kaum terpinggirkan yang diasosiasikan
dengan umat Islam. Studi mengenai Partai Islam Masyumi telah banyak dilakukan para
peneliti diantaranya Samsuri (2011), Rahman (2017), serta Sumanto dan Zulkarnain (2016).
Dalam studinya Samsuri (2011) menjelaskan mengenai pertarungan ideologi antara Masyumi
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), pertarungan ideologi antara Islam dengan komunisme
ini terjadi di lembaga parlemen dan di konstituante, pertarungan keduanya disebabkan akar
ideologi Masyumi yaitu Islam tidak bersesuaikan dengan ideologi komunisme, selain itu
pengaruh perang dingin sangat kuat merekontruksi situasi politik domestik, sehingga rivalitas
timur dengan barat dalam panggung politik global ikut mempengaruhi pergolakan politik
dibeberapa negara pasca kolonial.
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
39
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
Rahman (2017) menarasikan bahwa Partai Islam Masyumi merupakan partai Islam
terbesar di Indonesia ketika Orde Lama, partai ini menjadi pemersatu umat Islam, kiprah
mereka dalam sistem parlementer ditunjukan dengan masuknya Masyumi ke dalam beberapa
pemerintahan, bahkan kader Masyumi pernah menduduki posisi sebagai Perdana Mentri
(PM) diantaranya Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Kiprah politik Masyumi
meredup pasca pembubaran partai ini di tahun 1960. Sedangkan dalam studinya Sumanto
dan Zulkarnain (2016) menjelaskan mengenai kiprah politik Masyumi pasca Pemilu 1955,
partai Islam ini menolak Demokrasi Terpimpinnya Soekarno dengan melakukan penolakan
atas masuknya PKI ke dalam kabinet pemerintahan, studi ini menjelaskan berbagai kebijakan
Masyumi ketika melakukan penentangan terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde
Lama yang dianggap dekat dengan kelompok kiri.
Ketiga studi diatas menggunakan pendekatan ilmu sejarah, tulisan ini memiliki
perbedaan dengan studi sebelumnya, penulis ingin mengelaborasi praksis politik Masyumi
berdasarkan ideologi yang mereka miliki dengan pendekatan ilmu politik, serta menjelaskan
terjadinya pergeseran ideologi partai ini dari formalis ke subtansi, terkahir melihat pengaruh
Masyumi terhadap gerakan Islam politik kontemporer. Partai Islam Masyumi sendiri didirikan
melalui Kongres Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, di Gedung
Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah. Kongres tersebut dihadiri para pemimpin Islam dan
perwakilan organisasi Islam, para aktifis Islam ini berkumpul untuk menyatukan tekad
memperjuangkan aspirasi umat Islam Indonesia dalam satu wadah partai politik (Artawijaya,
2014). Pendirian Masyumi mencerminkan sebuah ikhtiar para pemimpin Islam untuk
menghimpun seluruh kekuatan Islam ketika itu, keunikan Masyumi dibandingkan partaipartai lain, partai ini memiliki dua keanggotaan. Keanggotaan biasa mencakup perorangan
serta keanggotaan istimewa yang bersifat organisasi, tercatat beberapa ormas Islam menjadi
anggota istimewa Masyumi di antaranya Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam dan
Persatuan Umat Islam.
Pendirian Partai Islam Masyumi di benak para pengagasnya bukan semata-mata
kelahiran sebuah eksistensi partai politik yang membawa aliran politik tertentu, tetapi lebih
merupakan sebuah pernyataan eksistensi dari sebuah kewajiban agama Islam dalam tataran
kebangsaan. Terbukti dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta tersebut, selain
mendeklarasikan pendirian partai politik Islam, dalam dokumen-dokumen kongres tercatat
mengelurkan resolusi jihad untuk melawan penjajah Belanda, resolusi dikelurkan dengan
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
40
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
maksud menjamin kelangsungan kemerdekaan Indonesia. Dua butir resolusi sebagai berikut:
(1) Memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad, (2) Memperkuat barisan pertahanan
negara Indonesia dengan berbagai usaha yang diwajibkan oleh agama Islam. Dan uniknya
pendirian Partai Islam Masyumi ini menempati urutan ketiga dalam resolusi umat Islam
(Madinier, 2013).
Terbentuknya Partai Islam Masyumi menjadi harapan besar kelompok Islam politik
untuk menjadikan syariat Islam sebagai rujukan hukum tertinggi di Indonesia, sepertinya
kegagalan kelompok Islam di awal kemerdekaan dalam menjadikan Islam sebagai dasar
negara di Piagam Jakarta, akhirnya membuat kelompok Islam politik harus mempersiapkan
partai ini sebagai kendaraan politik baru untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam
(Majalah Historia, Nomor 16 Tahun 2013). Masyumi menjadi partai politik yang mempunyai
komitmen kuat pada nilai-nilai keIslaman, dalam anggaran dasarnya ditegaskan bahwa tujuan
terbentuknya partai ini terlaksananya ajaran serta hukum Islam di dalam kehidupan individu,
masyarakat dan negara (Luth, 1999). Sedangkan dalam program perjuangan partai disebutkan
bahwa tujuan besar dari pendirian Mayumi adalah menegakan kedaulatan Republik Indonesia
serta melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan (Zamjani, 2009).
Pada pemilu legislatif pada tanggal 29 September 1955 Partai Masyumi ikut bertarung
memperebutkan suara pemilih, dengan memperoleh suara 37 juta atau sebesar 20,9%,
sedang pada pemilu untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955,
partai ini hanya berhasil meraih sebanyak112 kursi di lembaga yang ditugakan untuk
merumuskan serta menetapkan konstitusi baru (Feith, 1999). Keikutsertaan Masyumi dalam
memperjuangkan aspirasi umat Islam melalui saluran demokrasi, menandakan bahwa partai
ini menggunakan jalur legal konstitusional, tidak menempuh cara-cara kekerasan.Meskipun
begitu pilihan menggunakan sistem demokrasi sebagai alat perjuangan, tidak sepi dari kritikan
sebagian kecil umat Islam, mengingat demokrasi merupakan sistem politik yang lahir bukan
dari peradaban Islam, tetapi dari peradaban barat yang sekuler. Salah satu alasan Masyumi
menerima demokrasi, karena partai ini memegang teguh prinsip kesabaran dalam
perjuangan. Kesabaran menurut Masyumi merupakan nafas panjang perjuangan untuk
mencurahkan segala kemampuan dalam batasan hukum agama dan hukum positif negara,
berkompetisi melalui jalur demokrasi dengan kelompok-kelompok lain merupakan pilihan
rasional, dari pada berjuang dengan kekerasaan menggunakan kekuataan militer (Artawijaya,
2014).
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
41
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
Keterlibatan Partai Masyumi dalam sistem demokrasi pada masa pemerintahan Orde
Lama tentu sangat menarik untuk dikaji, meskipun partai ini memiliki pandangan Islam
formalis, keterlibatan mereka dalam pemerintahan sekuler membuktikan partai berlogo
bulan bintang ini memiliki strategi moderasi dalam berpolitik. Bahkan beberapa fakta politik
berbicara kepada kita, bahwa partai Islam ini kerap menjalim kerja sama politik dengan Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik dalam membendung pengaruh ideologi Partai
Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Dari kedua keunikan tersebut, penulis ingin
mengangkat Partai Masyumi dalam tulisan ini, penulis tertarik melihat lebih jauh ideologi
serta praksis politik Masyumi selama pemerintahan Orde Lama. Terlebih kehadiran Masyumi
Reborn beberapa pekan terakhir yang terang-terangan akan mengadaptasi kembali ideologi
Masyumi sebagai praksis gerakan di era reformasi, menjadikan tulisan ini tetap menemukan
relevansinya sebagai sebuah kajian politik. Partai Masyumi merupakan salah satu partai Islam
pernah ada di Indonesia, kiprah politik mereka sangat legendaris, sehingga menjadi rujukan
kelompok Islam politik sampai sekarang.
METODE PENELITIAN
Untuk proses mengolah data yang diperoleh, penulis menggunakan beberapa
tahapan. Pertama, tahapan dalam pengumpulan data tertulis yang relevan dengan data yang
diperlukan untuk kelengkapan penelitian. Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dari literatur
dengan cara menelaah isinya melalui buku-buku, catatan, manuskrip dan dokumen-dokumen.
Kedua, menguji dan menganalisa data secara kritis, dengan kritik ini diharapkan dapat
mendapatkan validitas sumber data (baik sumber primer, sumber sekunder, sumber sejarah
dan sumber teoritik) yang digunakan dalam penelitian. Ketiga, menghubungkan peristiwa
yang satu dengan peristiwa lain sehingga menjadi satu rangkaian politik yang utuh.
Maka untuk mengupas Ideologi serta praksis politik dari Masyumi, penulis
menggunakan tiga konsep teori politik, yaitu partai politik Islam, Ideologi politik dan relasi
Islam dengan negara. Partai Islam dapat didefinisikan menjadi dua pengertian. Pertama,
partai politik yang menjadikan Islam sebagai asas dan program formalnya. Kedua, partai
politik yang lebih mementingkan nilai-nilai Islam dari pada simbol-simbol Islam, dengan kata
lain definisi partai Islam pertama lebih menekankan pendekatan formal, yang kedua lebih
menekankan pendekatan subtansialistik (Romli, 2008).
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
42
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
HASIL PENELITIAN
Dalam studinya Muhtadi (2012) menjelaskan partai Islam ialah partai yang secara
eksplisit mengklaim Islam sebagai ideologi, atau partai yang memiliki basis dukungan dari
organisasi-organisasi Islam. Lebih lanjut Muhtadi, membedakan antara partai Islam dengan
gerakan sosial Islam, partai Islam didefinisikan sebagai wahana perjuangan bersifat
konvensional melalui mekanisme formal, sedangkan gerakan sosial Islam menurutnya dinilai
berjuang dalam bentuk wadah politik non-formal. Partai politik diandaikan sebagai bagian
dari inheren politik yang terinstitusionalisasi secara normal, di mana para aktifiasnya
melakukan kegiatan-kegiatan seperti menjadi kandidat dalam pemilihan pejabat publik,
melakukan agregasi kepentingan melalui aktivitas loby, legislasi dan semacamnya, sebaliknya
gerakan sosial representasi bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap represif,
dengan memperjuangkan ideologinya di luar sistem formal, bahkan bila perlu menempuh
cara-cara kekerasan.
Istilah ideologi sendiri mula-mula digunakan oleh Destertt de Tracy pada akhir abad
ke 18, serta dikembangkan penuh sebagai konsep selama abad 19 (Bottomore, 1996). De
Tracy menggunakan istilah ideologi untuk memberi nama terhadap ilmu baru yang dia
rancang mengenai analisis sistematis tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya,
kombinasinya dan dampak ditimbulkan. Ia mempunyai pandangan bahwa pengetahuan
manusia terhadap benda tidak diperoleh secara langsung dari benda tersebut, tetapi melalui
ide-ide yang terbentuk berdasarkan sensasi seseorang terhadap benda-benda tersebut.
Dalam pandangannya untuk menganalisis ide dan sensasi dibutuhkan suatu disiplin ilmu
pengetahuan ilmiah, ia mengusulkan nama pengetahuan ilmiah itu bernama ideologi atau
ilmu tentang ide. De Tracy menggunakan istilah ideologi dengan tujuan memberi nama
terhadap ilmu baru yang dia rancang mengenai analisis sistematis tentang ide dan sensasi
(Arifin, 2010).
Uniknya definisi ideologi sendiri tidak seragam, ia memiliki beragam definisi sehingga
tidak memiliki makna tunggal (Eagleton, 1999). Menurut Takwin (2003) dalam konteks politik
konsep ideologi dipahami sebagai keyakinan sebuah kelompok atau masyarakat yang
seringkali digunakan sebagai dasar dalam usaha pembebasan manusia, artinya sebuah
gagasan atau pemikiran yang menjadi panduan bagi kelompok manusia dalam mencapai
tujuanya, dengan cara menurunkan gagasan dari ideologi untuk menjadi kerangka aksi atau
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
43
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
tindakan politik. Sedangkan Heywood (2016) ideologi merupakan sistem berpikir yang
tertutup karena mengklaim monopoli kebenaran menurut versinya, dengan melakukan
penolakan terhadap ide-ide yang berlawanan serta berbagai keyakinan saingannya, ideologi
juga memiliki sifat mengabsolutkan pemahaman serta instrumen kontrol sosial, dengan
memastikan kepatuhan dan penghambaan.
Dengan demikian ideologi dipandang sebagai sistem berpikir yang abstrak,
seperangkat ide ditakdirkan untuk menyederhanakan dan mendistrosi realitas sosial yang
ada. Intinya bagi Heywood (2016) sebuah ideologi adalah seperangkat ide yang koheren
menyediakan basis bagi tindakan politik yang terorganisasikan dimaksudkan untuk
mempertahankan, memodifikasi atau menggantikan sistem kuasa yang ada, menurutnya
ideologi memiliki tiga ciri penting, yaitu:
a) Menawarkan pemahaman tentang tatanan yang ada biasanya berbentuk
pandangan dunia.
b) Mengembangkan model tentang masa depan yang diinginkan, sebuah visi
mengenai masyarakat terbaik.
c) Menjelaskan bagaimana perubahan politik dapat dan sebaiknya dilakukanbagaimana dapat melangkah dari (a) menuju (b).
Menurut Suseno (dalam Chalik, 2017) terdapat dua macam ideologi yang berkembang
di dunia. Pertama, Ideologi tertutup, tidak diambil dari masyarakat melainkan pemikiran
kaum elit yang dipropagandakan serta disebarluaskan kepada masyarakat. Ciri khas dari
ideologi tertutup mengklaim selain memiliki nilai serta prinsip mendasar juga bersifat kongkrit
operasional. Ideologi tertutup bersifat dogmatis, intoleran dan totaliter. Kedua, Ideologi
terbuka, cita-cita politik dari ideologi terbuka adalah menjamin kehidupan masyarakat untuk
menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan politik. Ideologi
terbuka bersifat inklusif serta menerima semua pandangan yang berasal dari masyarakat
selagi bertujuan untuk membela hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi.
Diskursus tentang Islam dan politik di Indonesia sampai saat ini masih menjadi topik
hangat, para pengkaji Islam politik telah mendapatkan kesimpulan, bahwa sekurangkurangnya terdapat tiga mazhab pemikiran yang menjelaskan relasi Islam dengan politik
kenegaraan. Ketiga mazhab tersebut, yaitu formalisme Islam (penyatuan Islam dan politik),
subtansialisme Islam (etika Islam dalam politik) dan sekuler (pemisahan Islam dan politik
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
44
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
secara tegas). Di antara ketiga mazhab itu satu sama lainnya sama-sama berpengaruh serta
memiliki tokoh sekaligus pengikut di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia.
Pertama, Islam formalis, pandangan ini menghendaki adanya dasar negara Islam di
Indonesia, dalam makna yang lebih tegas Indonesia harus menjadi negara Islam, menurut
penganut aliran Islam politik ini, ideologi Pancasila tidak sesuai dengan ajaran kebenaran yang
datang dari Tuhan, oleh karena itu harus diubah supaya Indonesia mendapat keberkahan dan
manfaat untuk semua manusia. Pancasila adalah buatan manusia, sementara Islam ciptaan
Tuhan yang tidak mungkin salah, mempertahankan paham negara Pancasila sama dengan
mempertahankan kesyirikan dan kekafiran. Kedua, Islam liberal, pandangan aliran kedua ini
secara tegas memisahkan antara Islam dengan masalah-masalah kenegaraan, Islam dipahami
sebatas mengurusi soal ketuhanan, sedang negara mengurus masalah-masalah sosial
kemasyarakat seperti pendidikan, kebudayaan dan kemiskinan, negara tidak ikut terlibat
mengurus soal ibadah atau keimanan seseorang yang menjadi urusan privat individu warga
negara.
Islam liberal sangat percaya semakin sedikit negara campur tangan dalam urusan
masyarakat, menjadikan negara tersebut semakin baik, karena telah menjalankan fungsinya
secara benar. Selain itu penganut Islam liberal memiliki keyakinan negara tidak memiliki hak
untuk menentukan agama tertentu menjadi ideologi negara, bahkan mengajurkan negara
tidak mengeluarkan peraturan yang membatasi atau menentukan bagaimana seorang
individu menjalankan keyakinan agama mereka, misalnya peraturan perkawinan, peradilan
dan kerukunan agama. Ketiga, Islam subtansi, pandangan politik ketiga ini menganggap
negara tidak perlu secara resmi menjadi negara agama, tetapi etika Islam dapat memberikan
sumbangan peran-peran kenegaraan, formalisme Islam dalam sebuah negara hanya akan
mengkerdilkan Islam itu sendiri, sehingga Islam semakin sempit, padahal Islam itu untuk
semua, keragaman dalam Islam menunjukan Islam itu aspiratif, akomodatif dan santun.
Kaum Islam subtansi mengakui Islam bisa memberikan seperangkat prinsip-prinsip
sosial politik, meskipun demikian aliran ini memandang Islam bukan sebuah ideologi. Islam
hanya memberikan prinsip-prinsip kunci tentang masyarakat, seperti keadilan, keterbukaan,
kejujuran, tanggungjawab dan musyawarah. Islam subtansi menerima konsep negara
Pancasila, karena ideologi negara ini dinilai tidak bertentangan dengan Islam, bahkan semua
silanya sesuai dengan doktrin Islam. Selain menerima Pancasila, Islam subtansi memiliki
pandangan yang anti terhadap sekulerisme, karena sekulerisme secara fundamental
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
45
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
bertentangan dengan semua agama, jalan pemikiran manusia sekuler cenderung
mengabaikan nilai-nilai religiusitas yang transenden (Qodir, 2012).
PEMBAHASAN
Kelahiran Partai Islam Masyumi diawali dari penyelenggaraan Muktamar Umat Islam
di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, salah satu hasil terpenting keputusan
kongres umat Islam tersebut, meneguhkan Masyumi menjadi partai politik yang menjadi satusatunya saluran politik umat Islam Indonesia (Zamjani, 2009). Masyumi pada periode
pembentukannya benar-benar memiliki basis massa rill dan konkret, terlebih alasan
terbentuknya Masyumi sebagai satu-satunya alat menyalurkan aspirasi politik umat Islam
yang memiliki potensi sangat besar ketika itu. Perdirian Masyumi ini sebagai partai politik
memperoleh dukungan luar biasa dari para ulama, kelompok Islam modernis dan Islam
tradisionalis. Ini terbukti dari masuknya ormas-ormas Islam dalam keanggotaan istimewa
Masyumi, ketika partai politik Islam ini dideklarasikan (Maarif, 2017).
Masyumi menjadi partai politik yang mempunyai komitmen kuat pada nilai-nilai
keIslaman, dalam anggaran dasarnya ditegaskan bahwa tujuan terbentuknya partai ini
terlaksananya ajaran serta hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara
(Luth, 1999). Sedangkan dalam program perjuangan partai disebutkan, bahwa tujuan besar
dari pendirian Mayumi adalah menegakan kedaulatan Republik Indonesia serta
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, tujuan ini dijabarkan lebih jelas
dalam tafsiran anggaran dasar tentang gambaran suatu negara yang berdasarkan Islam
(Zamjani, 2009).
“Kita menuju kepada bakdatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara yang berkebajikan dan
diliputi ampunan Ilahi, di mana negara melakukan kekuasaanya atas musyawarah dengan
perantara wakil-wakil rakyat yang dipilih, di mana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat,
kemerdekaan, persamaan, keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam, terlaksana
sepenuhnya, di mana kaum muslimin mendepat kesempatan untuk mengatur kehidupan
pribadi dan masyarakat sesuai dengan ajaran serta hukum-hukum yang tercantum di dalam
Al-Qur’an dan As-Synnah, di mana golongan keagamaan lainnya memilih kemerdekaan
untuk mengamalkan agamanya serta mengembangkan kebudayaanya, di mana seluruh
penduduk dari segenap lapisan dapat hidup atas dasar keragaman, terjamin baginya hak-hak
asasi manusia yang termasuk di dalamnya keadilan di lapangan sosial, ekonomi dan politik”
(Luth, 1999).
Dari tafsiran anggaran dasar tentang suatu negara yang berdasarkan Islam tersebut,
maka selanjutnya disusunlah usaha-usaha untuk mencapai tujuan mewujudkan negara
berdasar ideologi Islam, usaha-usaha ini termuat di dalam pasal III Anggaran Dasar yang
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
46
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
meliputi : (1) Menginsafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan umat Islam
Indonesia dalam perjuangan politik, (2) Menyusun serta memperkokoh barisan umat Islam
untuk berjuang dan mempertahankan agama dan kedaulatan negara, (3) Melaksanakan
kehidupan rakyat berdasarkan iman dan takwa, perikemanusiaan, sosial, persaudaraan dan
persamaan hak menurut ajaran Islam dan (4) Bekerja sama dengan golongan lain dalam
lapangan perjuangan untuk menegakan kedaulatan negara (Luth, 1999).
Visi Partai Masyumi adalah mensejahterakan rakyat serta membangun sebuah
pemerintahaan yang dibingkai dengan cara pandang Islam, kejelasan identitas keislaman ini
ditegaskan secara gamblang sebagai wujud rasa percaya diri untuk menawarkan gagasangagasan ideologis kepada masyarakat, serta siap untuk beradu konsep dengan pemikiran
politik lain dalam menawarkan gagasan politiknya. Tetapi menurut Artawijaya, keyakinan
ideologis Partai Masyumi ini tidak bersifat tertutup atau anti toleransi, partai ini membangun
sebuah toleransi dalam batas-batasan yang jelas, di mana masing-masing umat beragama bisa
saling menghargai tanpa saling mengorbankan akidahnya. Bagi Masyumi toleransi harus
dibatasi dengan identitas masing-masing, sikap keterbukaan tidak berarti harus menyakini
kebenaran agama lain, sebagaimana ajaran pluralisme agama saat ini. Sikap toleran ini
disampaikan oleh Prawoto Mangkusasmito, salah satu Ketua Partai Masyumi (Artawijaya,
Keteladanan Partai Masyumi: Harian Republika, Tanggal 20 Maret 2014).
“Kepada penganut agama-agama lain di luar Islam, kami menyatakan bahwa kami tidak
menaruh keberatan sedikitpun jika saudara-saudara di dalam rumusan UUD menginginkan
pula dijaminnya untuk menunaikan syariat agama golongan saudara. Tujuan perjuangan
umat Islam ialah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat, tidak jarang berkisar alat
menjadi tujuan, alat yang cuma berguna selain digunakan menurut fitrahnya, sebaliknya
menjadi azab jika keliru memakainya, berubah menjadi tujuan yang dipujanya dan
dipertahankan mati-matian, kadang kala dengan jalan di mana batas halal dan haram
kurang diperhatikan” (Artawijaya, Keteladanan Partai Masyumi (Harian Republika,
Tanggal 20 Maret 2014).
Pilihan menjadikan Islam sebagai ideologi Masyumi sejalan dengan pembentukan
Masyumi sendiri, cita-cita Islam sebagai Ideologi Masyumi tampak dari rumusan tujuan
pertama kali yang diputuskan Kongres Umat Islam di Yogyakarta, yaitu menegakan
kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam dalam urusan kenegaraan. Berikut ini
merupakan lima tujuan pendirian Masyumi
a) Menginsafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan umat Islam Indonesia
dalam perjuangan politik.
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
47
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
b) Menyusun dan memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang mempertahankan
agama dan kedaulatan negara.
c) Melaksanakan
kehidupan
sosial
rakyat
berdasarkan
Iman
dan
Taqwa,
perikemanusiaan sosial, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam.
d) Bekerja bersama-sama dengan lain golongan dalam lapangan perjuangan
menegakan kedaulatan negara (Samsuri, 2004)
Dalam kepengurusannya Masyumi mencakup berbagai golongan umat Islam, hal ini
terlihat dalam susunan Majelis Syuro dan Pengurus Besar, dalam Majelis Syuro, ketua adalah
Hasyim As’ari (NU) dan Wakilnya Wahid Hasyim (NU), Agus Salim (PSII), Syekh Djamil Djambek
(Pembaharu dari Sumatra Barat), sedang pengurus Besar terdiri dari para politisi karier,
seperti Soekiman, Abikusno, Natsir dan M.Roem. Keutuhan Masyumi sebagai satu-satunya
wadah aspirasi dan perjuangan umat Islam Indonesia dalam perkembangannya kemudian
ternyata tidak dapat dipertahankan. Satu per satu unsur pendukung Masyumi mulai
meninggalkan serta mendirikan partai politik sendiri. Pada bulan Juli 1947, PSII meninggalkan
Masyumi serta menyatakan diri kembali sebagai partai politik independen, keluarnya PSII dari
Masyumi didasarkan faktor kekuasaan, saat itu ada kesempataan untuk menduduki posisi
politik dalam kabinet Amir Syarifuddin, dengan keluarnya PSII ini menandai fenomena mulai
rapuhnya ikatan politik dalam tubuh Masyumi (Romli, 2008).
Jejak PSII kemudian diikuti oleh NU, tahun 1952 NU menyatakan keluar dari Masyumi
dengan memproklamirkan diri sebagai partai politik yang berdiri sendiri. Peristiwa keluarnya
NU ini tentu saja sangat menggoncangkan Masyumi, karena NU merupakan organisasi Islam
yang mempunyai pengikut cukup besar, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, keluarnya
NU dari Masyumi kerap dihubungkan dengan masalah-masalah kekuasaan. NU keluar dari
Masyumi karena kursi Mentri Agama yang biasa menjadi jatah dari NU diberikan kepada
Muhammadiyah, selain itu mulai terkikisnya dominasi ulama NU dalam Majelis Syuro
semenjak M. Natsir menjadi ketua umum Masyumi, terkikisnya peran ulama ini disebabkan
sebelum dipimpin Natsir, Masyumi dipegang oleh kalangan politisi yang tidak memiliki latar
belakang keagamaan yang kuat, sehingga peran ulama sangat dibutuhkan untuk menentukan
arah kebijakan partai, baru setelah M. Natsir yang memiliki latar belakang intelektual-ulama
(Persis) menjadi pemimpin partai, peran ulama di Majelis Syuro menjadi berkurang sedikit
demi sedikit. Keluarnya PSII dan NU harus dibayar mahal oleh Masyumi, dengan perolehan
suara di pemilu 1955 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perolehan suara partai yang
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
48
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
menggunakan gambar bulan bintang ini harus puas di posisi kedua di bawah suara kalangan
nasionalis sekuler PNI baik di parlemen dan konstituante (Romli, 2008).
Konstituante merupakan lembaga negara yang ditugaskan untuk menyusun Konstitusi
atau Undang-Undang Dasar baru (UUD), di lembaga ini terpolarisasi ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu para pendukung sosial ekonomi, pendukung Pancasila sebagai dasar negara dan
pendukung Islam sebagai dasar negara. Dengan komposisi pendukung Pancasila sebagai dasar
negara terdiri dari PNI (116 anggota), PKI dan faksi Republik Proklamari (80 anggota), Parkindo
(16 anggota), Partai Katolik (10 anggota), Partai Sosialis Indonesia (10 anggota), Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (8 anggota) dan beberapa partai kecil. Total keseluruhan
berjumlah 273 anggota. Sedangkan, kelompok pendukung Islam sebagai dasar negara terdiri
dari Partai Masyumi (112 anggota), NU (91 anggota), PSII (16 anggota), Perti (7 anggota) dan
dua partai Islam kecil lain, jadi jumlah keseluruhan berjumlah 230 anggota. Terakhir kekuatan
sosial-ekonomi hanya berjumlah 9 anggota terdiri dari Partai Murba dan Partai Buruh (Ismail,
2017).
Dari ketiga komposisi kekuatan di Majelis Konstituante secara hitungan matematis
tidak ada kekuatan yang bisa mencapai dua pertiga atau 321 suara ketika akan menggoalkan
kepentingan politiknya, maka tidak heran ketika pembahasan mengenai dasar negara selama
hampir empat tahun bersidang tidak tercapai kesepakatan, setiap kali voting dilakukan tidak
ada kelompok yang bisa memenangkan pertarungan ideologi tersebut. Menurut penulis yang
menarik dari pergulatan ideologi di dalam Konstituante ialah melihat posisi ideologi Partai
Masyumi ketika bertarung melawan ideologi kelompok sosial-ekonomi dan pendukung
Pancasila sebagai dasar negara. Pertarungan itu bisa dilihat dari argumentasi-argumentasi
yang disampaikan ketika proses sidang Konstituante berlangsung.
Dalam pidatonya di Konstituante Kasman Singodimedjo (dalam Orsan, 2017) salah
satu tokoh Masyumi ini berupaya memasukkan semangat Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD
yang baru serta berusaha menggoalkan Islam sebagai dasar negara. Menurutnya Islam
merupakan agama yang memuat nilai universal, di dalam kitab suci Al-Qur’an banyak ayat
menerangkan keragaman umat manusia, dari keragaman itu Islam mengajarkan untuk saling
mengenal dan saling menghargai satu sama lain. Bagi Kasman Singodimedjo teranglah bahwa
Islam meletakan dasar hidup antara bangsa dengan negara, antar suku bangsa dengan suku
bangsa lain atas dasar saling menghargai, memberi dan menerima. Dengan begitu
menurutnya Islam sangat menjamin hak-hak asasi manusia (human rights) dengan
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
49
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan menghargai perbedaan dengan penuh
tanggungjawab.
Tokoh Masyumi lainnya Isa Anshari (dalam Orsan, 2017) dalam pidatonya di
Konstituante berjudul “Menuju Republik Indonesia Berdasakan Islam” menjelaskan bahwa
kemerdekaan Indonesia yang diraih berkat jasa para pahlawan nasional. Para pahlawan
seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Cik Di Tiro, Cut Mutia, Teuku Umar, Cut
Nyak Dien, Hasanuddin dan Sultan Baabulah. Mereka mengangkat senjata melawan Belanda
di dorong inpirasi iman serta tauhid, kalimat tahuid yang bergema serta berkumandang di
seluruh Indonesia menjadi bukti para pahlawan ini memiliki suatu cita-cita besar
menempatkan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta membuktikan
bahwa Islam sebagai keyakinan tidak terpisah dari semangat revolusi kemerdekaan Indonesia
1945.
Sedangkan pidato Hamka (2001) berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara” menguraikan
bahwa di negara Islam kelompok-kelompok non-muslim tidak perlu khawatir, bahwa
kelompok non-muslim ini tidak akan memiliki kebebasan, di Mesir contohnya ketika Sa’ad
Zaghlul (1857-1927) berkuasa ia memiliki pejabat beragama Kristen Koptik bernama Makram
Ubayd. Dengan memberikan contoh di Mesir, politisi Masyumi ini berusaha menyakinkan
saudara sebangsanya yang non-muslim agar tidak takut dimarginalkan oleh umat Islam. Di
akhir pidatonya Hamka mengajak kelompok non-muslim untuk menerima Islam sebagai dasar
negara.
Tokoh sentral Partai Islam Masyumi M. Natsir (dalam Suhelmi, 2012) menilai Islam
sebagai agama yang mencakup semua dimensi kehidupan manusia, yang tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan sesama
manusia. Bagi Natsir, Islam merupakan sebuah ideologi yang mampu membimbing manusia
dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam kehidupan
duniawi, sosial kemasyarakatan bahkan politik, umat Islam membutuhkan suatu pandangan
ideologi yang komprehensif, Islam menyediakan pandangan holistik tersebut, dengan
demikian tidak mungkin seorang muslim menurut Natsir melepaskan keterlibatan politik
tanpa melibatkan Islam di dalamnya.
Berdasarkan pemikiran ideologinya itu, Natsir menolak segala bentuk pemikiran
sekuler, sebab pemikiran sekuler mengabaikan nilai-nilai trasendensi Islam. Dalam salah satu
pidatonya tanggal 21 November 1957 di Majelis Konstituante mengenai hubungan Islam dan
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
50
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
dasar negara, Natsir menegaskan bahwa paham sekulerisme merupakan suatu pandangan
hidup serta tujuan-tujuan yang hanya dibatasi spirit keduniawian, sehingga tolak ukur
kebenaran serta kebahagiaan ditentukan oleh materi (benda), menurut Natsir, tidaklah aneh
apabila di negara-negara sekuler masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lainnya
semata-mata dilandasi kepentingan material, bukan nilai-nilai spiritual ketuhanan. Sedangkan
negara menurut Natsir, merupakan alat untuk merealisasikan hukum-hukum Tuhan, maka
bentuk negara yang dikehendaki tokoh Masyumi ini adalah sebuah negara pada prinsipnya
diatur oleh syariat Islam, bukan bentuk negara sekuler.
Perseteruan ideologis antara kalangan Islam politik dengan nasionalis sekuler sudah
terjadi cukup lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka, mereka sudah berselisih tentang
relasi antara agama dengan negara. Golongan nasionalis sekuler memiliki prinsip, bahwa
dalam kehidupan politik kenegaraan harus ada pemisahan secara tegas antara agama dan
politik, pada umumnya golongan ini menyakini agama hanyalah merupakan ajaran-ajaran
yang menyangkut masalah akhirat dan urusan pribadi, sedangkan politik kenegaraan
merupakan masalah duniawi serta menyangkut kepentingan banyak orang. Sedangkan
golongan Islam politik berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat terpisah dari
urusan politik (kenegaraan), kalangan ini memiliki keyakinan serta komitmen yang kuat pada
pandangan negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama, yang dalam arti
luas bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan
sesama manusia di dunia (Suhelmi, 2012).
Perbedaan konsep relasi Islam dan negara antara kelompok nasionalis dengan Islam
politik yang menghiasi perdebatan dasar negara di dalam Majelis Konstituante terjadi
berlarut-larut, sehingga Majelis Konsituante menghadapi jalan buntu untuk mencapai
kesepakatan merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainnya titik temu (konsensus)
antara dua kutub politik, antara kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara,
serta kelompok yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap voting dilakukan,
suara mayoritas yang diperlukan tidak tercapai, bahkan hal tersebut terjadi berulang-ulang,
mengakibatkan terjadinya kejenuhan di dalam sidang, berakibat semakin banyak anggota
Majelis Konstituante tidak bersedia menghadiri sidang di lembaga tersebut. Peristiwa ini
menjadikan situasi politik nasional tidak menentu, maka berdasarkan kepentingan stabilitas
dan keamanan nasional, atas dukungan serta desakan militer khususnya dari Angkatan Darat,
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
51
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan pembubaran
Majelis Konstituante dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara (Gaffar, 2006).
Menariknya dalam perdebatan di dalam Majelis Konstituante, pada sidang-sidang itu
sebenarnya lembaga Konstituante telah menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk
menentukan HAM (Hak Asasi Manusia), bentuk pemerintahan dan prinsip-prinsip kebijakan
negara. Sayangnya perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung lancar, perdebatan
panas ini berujung dengan keputusan reses sejak 2 Juni 1959, dalam reses itu sesungguhnya
telah terjadi kesepakatan melalui lobi-lobi politik untuk tetap menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara. Prawoto (Wakil Ketua Majelis Konsituante dari Masyumi) sendiri menuturkan,
kelompok mereka sedang bersiap-siap bersidang kembali dengan maksud menerima
Pancasila, sebagai langkah politik kompromi dan realistis dari kalangan Islam politik, namun
belum sempat mereka bersidang kembali, koalisi militer dan Soekarno mengeluarkan
pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden (Kamil, 2013)
Langkah kompromi Masyumi untuk menerima Pancasila dalam masa reses tersebut,
didasari pemikiran bahwa tidak ada gunanya memaksakan dasar negara Islam, ketika suara
untuk mencapai dua pertiga tidak tercapai di dalam Konstituante, bahkan menurut Natsir
perjuangan Masyumi mendirikan negara Islam melalui saluran demokrasi, harus siap dengan
segala konsekuensinya yang berdasarkan “kesepakatan” logika suara mayoritas, maka kalau
suara mayoritas rakyat tidak menghendaki negara Islam, Masyumi akan mengalah untuk tidak
terus-menerus memperjuangkan kepentingan sektoralnya, saat itu kelompok Islam politik
sudah sampai kepada kesadaran, bahwa dasar negara Islam tidak dapat dipaksakan menjadi
dasar negara Indonesia (Wawancara Adnan Buyung Nasution, dalam Seri Buku Tempo: Tokoh
Islam Di Awal Kemerdekaan, Natsir Politik Santun Di Antara Dua Rezim (Jakarta: KPG, 2011).
Menurut penulis terjadi pergeseran orientasi ideologi Partai Islam Masyumi dari
sebelumnya formalis sedikit bergeser ke arah subtansi, pergeseran ini merupakan pilihan
pragmatis ketika praksis demokrasi tidak bisa mengakomodir keinginan politik Masyumi.
Politisi Masyumi tidak bisa menyakinkan kelompok nasionalis sekuler untuk menerima Islam
sebagai dasar negara, maka menerima Pancasila menjadi pilihan rasional untuk menghindari
kebuntuan di Konstituante. Langkah mengalah elit-elit Masyumi ini mengingatkan kita pada
pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta di awal kemerdekaan, ketika itu para tokoh Islam
dengan berbesar hati mengakomodir aspirasi masyarakat Indonesia timur yang keberatan
pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
52
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 salah satu poinnya membubarkan Konstituante,
menandakan Indonesia memasuki periode demokrasi terpimpin. Partai Masyumi
menegaskan demokrasi terpimpin tidak mencerminkan semangat demokrasi yang
sesungguhnya, justru dalam prakteknya demokrasi terpimpin digunakan Soekarno untuk
memperkuat kekuasaanya, pihak-pihak yang bersebrangan dengan garis politiknya
disingkirkan. Selain Masyumi terdapat Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik
mengkritisi demokrasi terpimpin. Sikap keras yang ditunjukan Masyumi dan PSI kepada
Soekarno, mengakibatkan kedua partai ini dibubarkan oleh Soekarno di tahun 1960, selain
kritis juga dianggap terlibat aktif mensponsori perlawanan militer beberapa daerah di
Indonesia.
Pasca Orde Lama pemerintahan Presiden Soeharto atau Orde Baru awalnya
diharapkan mengakomodir Islam politik, teryata keinginan ini berbanding terbalik,
pemerintah Orde Baru menolak merehabilitasi kembali Partai Masyumi, dengan
menyarankan mendirikan partai baru sebagai wadah aspirasi kalangan Islam khususnya
kelompok modernis-mengingat ketika itu Partai NU masih berdiri-kemudian terbentuklah
Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi, tetapi ketika Mohammad Roem (tokoh Masyumi)
terpilih sebagai Ketua Umum Parmusi, Presiden Soeharto melakukan penolakan, bahkan
menginstruksikan para tokoh Masyumi di larang menjadi pengurus partai baru tersebut (AM.
Fatwa, Pergulatan Anatara Islam dan Kekuasaan : Kasus Tanjung Priok Berdarah. Harian
Republika, tanggal 10 Desember 1998).
Pelarangan berpolitik kepada para tokoh Masyumi membuat sebagian tokohnya
memilih beraktifitas pada bidang lain, salah satunya M. Natsir, mantan Ketua Umum Partai
Masyumi ini bersama para koleganya mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII)
sebagai bentuk ijtihad atas ketidakberhasilan merehabilitasi kembali Partai Masyumi diawal
pemerintahan Orde Baru, DDII merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikkan
dan dakwah, lembaga ini banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa untuk
melanjutkan studi Islam ke Timur Tengah.
Pendirian DDII selaras dengan pemikiran M. Natsir, bahwa dakwah Islam tidak bisa
tegak tanpa jamaah (masyarakat) dan tidak bisa membangun masyarakat tanpa dakwah. DDII
merupakan sarana para mantan anggota Masyumi melakukan aktifitas dakwah, karena
dakwah merupakan kewajiban bagi tiap-tiap umat Islam, sebagai penyeru serta penyampai
Islam kepada masyarakat. Melalui DDII ini M. Natsir bersama koleganya tetap berhidmat di
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
53
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
bidang kemasyarakatan, selepas tidak aktif lagi dalam dunia politik (Husaini dan Setiawan,
2020).
Kiprah DDII meski terlepas dari praksis politik, ternyata aktifitas pendidikan mereka
mampu melahirkan generasi baru Islam yang kemudian memberi warna berbeda terhadap
arah Islam politik di Indonesia setelah kejatuhan Orde Baru. Lembaga yang didirikan M. Natsir
ini kemudian berperan penting dalam inisiator dakwah kampus atau Jamaah Tarbiyah,
dengan memberikan pendampingan dan pelatihan kepada para mahasiswa Islam, termasuk
mendorong pemerintah Orde Baru mendirikan Masjid di seluruh perguruan tinggi di
Indonesia, tercatat dari usaha pendekatan tokoh-tokoh DDII ini kepada pemerintah Orde Baru
terbangunlah 15 Masjid di dalam kampus atau berdekatan dengan kampus. Di masa
selanjutnya Masjid-Masjid kampus ini menjadi pelopor berdirinya beberapa Lembaga Dakwah
Kampus (LDK), di Bandung misalnya terdapat Masjid Salman di kampus ITB, yang merupakan
embrio dari munculnya LDK Gamais, begitu juga di Masjid Kampus UGM menjadi persemaian
berdirinya LDK Jam’aah Salahudin, yang kemudian hari dari dua kampus ini melahirkan kaderkader dakwah yang bergerak di ranah politik (siyasih). Para aktifis dakwah kampus inilah di
awal reformasi mendirikan partai politik Islam fenomenal, yakni Partai Keadilan kemudian
berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (Rahmat, 2009).
Meski Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berasas Islam, selama berkiprah di panggung
politik nasional sejak tahun 1999, partai ini tidak pernah melontarkan isu mengenai
formalisasi syari’at Islam atau pengembalian tujuh kata Piagam Jakarta. Isu politik yang
mereka usung bersifat subtansi, bahkan terkadang pragmatis, meskipun begitu komitmen
para kader PKS dalam menjalankan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hati tidak perlu
diragukan lagi. Terlebih partai ini mengklaim diri sebagai partai dakwah yang berbasis
pengkaderan sangat ketat, sehingga simbol Islam terasa lebih dominan dari partai Islam lain.
Pengaruh ideologisasi Masyumi ternyata tidak hanya menjadi rujukan Islam politik di
tanah air, studi dari Warjio (2018) menjelaskan Partai Islam Masyumi menjadi model
pembentukan partai politik Islam di Tanah Melayu. Melalui tangan Ustadz Ahmad Maliki
sebelumnya anggota UMNO Daerah Seberang Perai, ketika ia membentuk kepanitiaan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Islam Se-Malaya, Ustadz Ahmad
Maliki ini memberikan pandangan kepada aktifis Islam Malaysia, bahwa peran para ulama
harus lebih mampu berperan dan sedapat-dapatnya mempengaruhi serta memposisikan
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
54
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
dirinya lebih bebas yang kemudian membentuk satu partai politik Islam seperti halnya Partai
Islam Masyumi di Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ideologi Partai Islam Masyumi selama ini ditempatkan dalam varian Islam formalis,
yaitu menghendaki berdirinya negara Islam di Indonesia, tetapi berdasarkan penelitian
kepustakaan ditemukan di akhir berakhirnya sistem pemerintahan parlementer terjadi
konsensus di antara partai-partai politik Islam, termasuk Masyumi di dalamnya, bahwa
mereka menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Para tokoh Masyumi tidak dalam posisi
memaksakan Islam sebagai dasar negara.
Saran
Perlu ada penelitian lanjutan untuk membedah pengaruh Ideologi Masyumi kepada
gerakan Islam politik di negara Malaysia, mengingat masih minimnya referensi mengenai hal
tersebut. Bila penelitian ini teralisasi akan menjadi kebangaan bagi Islam politik di Indonesia,
bahwa pemikiran mereka menjadi salah satu referensi kelompok Islam politik di negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S. (2019). Populisme, Demokratisasi, Multikulturalisme: Artikulasi Baru Islam di
Indonesia Dalam Nalar Agama Publik. Malang: Intrans Publishing.
Arifin, S. (2010). Ideologi Dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis Pengalaman Hizb
Al-Tahrir Indonesia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Artawijaya. (2014). Belajar Dari Partai Masyumi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Artawijaya, Keteladanan Partai Masyumi. Harian Republika, Tanggal 20 Maret 2014.
Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan
Lingkar Survei Indonesia.
Bottomore, T. (1996). Konsep Ideologi. Yogyakarta: Penerbit LKPSM.
Chalik, A. (2017). Islam, Negara Dan Masa Depan Ideologi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djani, L. (2017). Persenyawaan Politik Identitas Dan Populisme: Tawaran Kerangka Analisis.
Prisma Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi: Edisi Volume 36.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An introduction. London: Thetford Press, Ltd.
Fatwa, AM., Pergulatan Anatara Islam dan Kekuasaan: Kasus Tanjung Priok Berdarah. Harian
Republika, tanggal 10 Desember 1998.
Feith, H. (1999). Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
55
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
Hamka. (2001). Islam Sebagai Dasar Negara dalam Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila
Konstituante 1957. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hardiman, B. (2017). Kebangkitan Populisme Kanan Dalam Negara Hukum Demokratis.
Prisma Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi: Edisi Volume 36.
Hadiz, VR. (2019). Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Heywood, A. (2016). Ideologi Politik Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Husaini, A & Bambang, GS. (2020). Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir dan Hamka dalam
Pendidikan. Depok: Gema Insani.
Suhelmi, A. (2012). Polemik Negara Islam Soekarno vs Natsir. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Ismail, F. (2017). Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia Sebuah Studi Komprehensif.
Yogyakarta: Penerbit Ircisod.
Khakim, M. (2016). Gerakan Islam Populis Dalam Menjembatani Politik Islam dan Negara.
Jurnal Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Volume 12, No. 1-Juni.
Kamil, S. (2013). Islam Politik Di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI,
Anti Korupsi, Demokrasi, NII, M I dan Perda Syariah. Jakarta: PSIA UIN Jakarta.
Luth, T. (1999). M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press.
Maarif, A. (2017). Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan
Dalam Konstituante. Bandung: Mizan.
Madinier, R. (2013). Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Intergral. Bandung:
Mizan.
Muhtadi, B. (2012). Dilema PKS: Suara Dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Orsan, M (penyunting). (2017). Debat Tentang Dasar Negara Republik Indonesia di Majelis
Konstituante 1957-1959. Bandung: Penerbit Sega Arsy.
Qodir, Z. (2012). Sosiologi Politik Islam: Kontestasi Islam Politik dan Demokrasi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, A. 2017. Masyumi Dalam Kontestasi Politik Orde Lama. Proceedings of National
Seminar,
Universitas
Negeri
Makasar.
https://ojs.unm.ac.id/semnaslemlit/article/view/3998
Rahmat, M. (2009). Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus Ke Gedung Parlemen.
Yogyakarta: Lkis.
Romli, L. (2008). Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam Di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Takwin, B. (2003). Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi Dari Plato Hingga
Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Zamjani, I. (2009). Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia Dalam Periode Formatif.
Jakarta: Dian Rakyat.
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
56
JPI: Jurnal Politikom Indonesiana. Vol. 5, No. 1, Juni 2020
Gili Argenti
Seri Buku Tempo: Tokoh Islam Di Awal Kemerdekaan, Natsir Politik Santun Di Antara Dua
Rezim. Jakarta: KPG, 2011.
Samsuri. (2004). Politik Islam Anti Komunis: Pergulatan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi
Liberal. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Samsuri. (2011). Komunisme Dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi. Jurnal Millah,
Vol.1, No.1 https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/5645
Sumanto, A & Zulkarnain. 2016. Perkembangan Politik Partai Masyumi Pasca Pemilu 1955.
Jurnal Risalah Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, Vol 1, No 3.
http://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/ilmu-sejarah/article/view/2427
Warjio. (2018). Gagalnya Partai Politik Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Copyright © 2020, JPI: Jurnal Politikom
Komunikasi), ISSN: 2528-2069 (online)
Indonesiana (Kajian Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik dan Ilmu
57