Academia.eduAcademia.edu

Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial

2016

1024x768 Kecemasan sosial adalah tipe gangguan yang banyak terjadi, tetapi diagnosis jarang ditegakkan, sehingga terapi pun jarang diberikan. Individu yang mengalami kecemasan memiliki pemikiran negatif akan evaluasi orang lain, yang akibatnya menimbulkan kecemasan, sensasi fisik seperti gemetar atau keringat dingin dan perilaku menghindar atau perilaku aman. Salah satu terapi yang telah terbukti efektivitasnya untuk mengatasi kecemasan sosial adalah Terapi Kognitif Perilaku. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana Terapi Kognitif Perilaku dalam menurunkan tingkat kecemasan pada gangguan kecemasan sosial. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang memenuhi kriteria kecemasan sosial. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yang lazim digunakan untuk uji efektivitas terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa Terapi Kognitif Perilaku dapat menurunkan tingkat kecemasan pada gangguan kecemasan sosial yang dialami oleh kedua subjek, bahkan meningkatkan kepercayaan dir...

ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 TERAPI KOGNITIF PERILAKU UNTUK MENGATASI GANGGUAN KECEMASAN SOSIAL Adib Asrori Head of Child Development Center, PT. ABDI (Hearing Solution Group) asroriadib@gmail.com Kecemasan sosial adalah tipe gangguan yang banyak terjadi, tetapi diagnosis jarang ditegakkan, sehingga terapi pun jarang diberikan. Individu yang mengalami kecemasan memiliki pemikiran negatif akan evaluasi orang lain, yang akibatnya menimbulkan kecemasan, sensasi fisik seperti gemetar atau keringat dingin dan perilaku menghindar atau perilaku aman. Salah satu terapi yang telah terbukti efektivitasnya untuk mengatasi kecemasan sosial adalah Terapi Kognitif Perilaku. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana Terapi Kognitif Perilaku dalam menurunkan tingkat kecemasan pada gangguan kecemasan sosial. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang memenuhi kriteria kecemasan sosial. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yang lazim digunakan untuk uji efektivitas terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa Terapi Kognitif Perilaku dapat menurunkan tingkat kecemasan pada gangguan kecemasan sosial yang dialami oleh kedua subjek, bahkan meningkatkan kepercayaan diri subjek dalam berinteraksi sosial. Kata kunci: Terapi kognitif perilaku, kecemasan sosial Social Anxiety Disorder is a type of disorder that commonly occurs in society, but rarely diagnosed, so the therapy is almost never to be given. An individual undergoing the type of disorder has a negative interpretation of other’s evaluation on him/her by which causes anxiety, physical sensations such as trembling/shaking or sweating, and does a kind of avoidance or takes a safer behavior. One therapy that has proved its effective treatment to overcome social anxiety disorder is Cognitive Behavior Therapy (CBT). This research investigated how the Cognitive Behavior Therapy worked on diminishing the level of worry in social anxiety disorder. The subject of the study was college students who were appropriately required for the criteria of social anxiety. Research design used case study design which is suitable to examine the effectivity of therapy. The result showed that the Cognitive Behavior Therapy could, indeed, reduced the level of worry in social anxiety disorder underwent by the two subjects of this research, and even it might raise the subjects’ self-confidence/self-esteem in having the interaction with other people in certain social environment. Keywords: Cognitive behavior therapy, social anxiety disorder 89 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Manusia hidup tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi, tidak terkecuali permasalahan yang berpengaruh pada kesehatan psikologisnya. Respon manusia untuk bereaksi ketika menghadapi permasalahan atau situasi yang tidak menyenangkan bermacam-macam, dua yang sering dialami manusia yaitu stress dan cemas. Dua respon ini yang paling banyak dialami dan bisa menganggu kehidupan sehari-hari. Kecemasan banyak jenisnya, ada kecemasan sosial, kecemasan menyeluruh, kecemasan secara umum, phobia, dan sebagainya. Salah satu kecemasan yang sering dijumpai adalah kecemasan sosial. Kecemasan sosial adalah tipe gangguan yang paling banyak terjadi pada penduduk Amerika, menduduki peringkat ke tiga setelah penyalahgunaan zat dan depresi (Kessler et al., dalam Hofmann 2004; Vorcaro, et al., 2004). Meskipun demikian, gangguan kecemasan sosial jarang sekali ditegakkan, sehingga terapi pun jarang diberikan (Weiller et al, dalam Vocaro, 2004). Hasil studi terhadap lebih dari 8000 subjek mengindikasikan bahwa kira-kira 25% dilaporkan mengalami simtom yang dapat dikategorikan gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan sosial paling banyak dilaporkan (13%), diikuti oleh fobia spesifik (11%), dan gangguan kecemasan lainnya 3 sampai 5% (Kesler, et al., dalam Holmes, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Suryaningrum tentang indikasi gangguan kecemasan pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, diketahui bahwa mereka yang mengalami kecemasan sosial mencapai angka 22,27% dan yang menunjukkan indikasi gangguan kecemasan sosial sekitar 20,85%. Dari 22,27% mahasiswa yang mengalami kecemasan sosial ini, sebagian besar membutuhkan bantuan/ terapi. Sejumlah 21,28% mahasiswa menyatakan sangat besar kebutuhannya untuk mendapatkan terapi, dan 21,28% yang lain menyatakan besar kebutuhannya untuk mendapatkan terapi (Suryaningrum, 2006). Data ini cukup mendukung untuk dilakukannya penelitian ini, sebab dari kasus yang ditemukan di lapangan menyatakan besarnya kebutuhan akan terapi. Hasil wawancara pada beberapa dosen di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (2008), juga menyatakan bahwa banyak sekali mahasiswa mereka yang mengalami gangguan kecemasan sosial. Suryaningrum (2005) pernah menguji Terapi Kognitif Perilaku untuk mengatasi kecemasan sosial dan hasilnya terbukti efektif. Meskipun demikian ia merekomendasikan untuk dilakukan penelitian ulang guna menyempurnakan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin melihat bagaimana Terapi Kognitif Perilaku dapat menurunkan tingkat kecemasan pada gangguan kecemasan sosial. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam dunia Psikologi Klinis, khususnya dalam penanganan kasus gangguan kecemasan sosial dengan menggunakan Terapi Kognitif Perilaku. Ansietas atau kecemasan adalah suatu keadaan khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, 2005). Banyak hal yang mungkin menjadi sumber kecemasan seseorang, misalnya relasi sosial, pendidikan, pekerjaan, atau kesehatan. Ketika seseorang merasa sedikit cemas akan hal di atas masih dapat dikatakan normal, bahkan adaptif. Kecemasan bermanfaat jika hal tersebut mendorong seseorang untuk melakukan hal yang lebih baik sebagai antisipasi atas kecemasannya (Antony & Swinson, 2000; Beck, 1979; Durand & Barlow, 2006; Fausiah, 2005; Kaplan & Sadock, 1997; Nevid, 2002). Misalnya kecemasan akan kesehatan mendorong seseorang untuk melakukan pemeriksaan medis berkala, atau cemas jika tidak dapat mengerjakan ujian akan mendorong individu belajar lebih giat beberapa hari sebelum ujian. 90 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Beberapa teori psikologi menjelaskan terjadinya gangguan kecemasan sosial, juga terapinya. Masing-masing perspektif teoritis berbeda satu sama lain dalam teknik-teknik dan tujuannya, akan tetapi ada satu hal yang sama, yakni mendorong klien untuk menghadapi sumber-sumber kecemasannya bukan menghindar. Beberapa perspektif teoritis tersebut antara lain perspektif Biologis, Psikoanalisa, Humanistik, Kognitif dan perspektif Belajar. Salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan kecemasan sosial dan sering dipakai sebagai landasan memberikan terapi kepada klien adalah teori kognitif perilaku. Dengan teori ini kecemasan klien bersumber pada pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan irrasionalnya. Beberapa keyakinan irrasional akan membentuk keyakinan negative dan berkembang sehingga klien memaknai situasi secara salah. Hal ini yang berpengaruh pada reaksi emosional dan perilaku klien. Beberapa penelitian membuktikan efektivitas Terapi Kognitif Perilaku untuk mengatasi gangguan kecemasan seperti gangguan obsesif kompulsif (Abramowitz, Taylor, & McKay, 2005; Whittal & O’Neill, 2003), hipokondriasis (Greeven, Balkom, Visser, Merkelbach, Rood, Dyck, et al., 2007), somatisasi (Allen, Woolfok, Escobar, Gara, & Hamer, 2006), serangan panik (McClanahan & Antonuccio, 2002), gangguan kecemasan menyeluruh (Anderson, 2004), bahkan untuk remaja dengan gangguan diabetes dan depresi (Rosello & Chavey, 2006). Juga terapi untuk mengatasi gangguan stres pasca trauma (Sijbrandi, Olff, Reitsma, Carlier, Devries, & Gersons, 2007). Terapi Kognitif Perilaku digunakan karena dari berbagai temuan yang ada terbukti adanya komponen kognitif yang kuat dalam fobia sosial. Umumnya, individu yang menderita fobia sosial mempersepsikan ketidakmampuan diri mereka secara lebih negatif daripada orang lain (Beidel, Turner, & Dancu; Hartman; Rapee, dalam Feeney, 2004). Dari sisi behavioral, keberadaan situasi yang ditakuti menjadi suatu reinforcement negatif pada fobia sosial. Beberapa teknik terapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah restrukturisasi kognitif, relaksasi, dan exposure. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Antony dan Swinson (2000) yang menyatakan bahwa strategi utama dalam pemberian Terapi Kognitif Perilaku adalah mengubah pemikiran dan keyakinan irrasionalnya dengan pemikiran dan keyakinan rasional yang lebih sehat dan positif. Selanjutnya dihadapkan langsung ada situasi yang membuatnya tidak nyaman (exposure), dan terakhir menambahkan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial. Berdasarkan uraian latar belakang diatas tersebut, maka peneliti tertarik untuk menerapkan Terapi Kognitif Perilaku pada subjek yang mengalami kecemasan sosial. Terapi Kognitif Perilaku digunakan karena dari berbagai temuan yang ada terbukti adanya komponen kognitif yang kuat dalam fobia sosial. peneliti menyusun modul Terapi Kognitif Perilaku, yang digunakan sebagai acuan terapis dalam menerapkan teknik-teknik terapinya terhadap klien dalam penelitian ini. Peneliti meminta terapis yang berpengalaman untuk melakukan Terapi Kognitif Perilaku terhadap subjek dengan kecemasan sosial. Penelitian ini ingin melihat bagaimana Terapi Kognitif Perilaku berpengaruh pada penurunkan tingkat kecemasan untuk gangguan kecemasan sosial. Kecemasan Sosial Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila datang tanpa 91 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 ada penyebabnya. Kecemasan melibatkan perasaan, perilaku, dan respon-respon fisiologis (Antony & Swinson, 2000; Durand & Barlow, 2006). Kecemasan akan menjadi sesuatu hal yang tidak normal jika kadarnya berlebihan, menimbulkan sebuah ketidaknyamanan, mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari, menimbulkan distres, atau menghindari situasi sosial yang menimbulkan stres bagi individu tersebut (DSM IV, 2000). Menghadapi kecemasan yang luar biasa saat akan menghadapi ujian, presentasi, atau ketika bertemu dangan orang baru, jika menimbulkan distres bagi individu, mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari dan adanya perilaku aman atau menghindar, maka dapat dikategorikan sebagai gangguan kecemasan, secara lebih spesifik disebut sebagai gangguan kecemasan sosial (social anxiety) atau biasa disebut dengan fobia sosial (DSM IV, 2000; Nevid, 2005; Rector, Kocovski & Ryder, 2002; Suryaningrum, 2005). Guna memudahkan dalam penyebutan, mulai paragraf ini akan digunakan istilah kecemasan sosial yang mempunyai makna sama dengan fobia sosial. Orang dengan kecemasan sosial ini berfikir bahwa setiap hal yang mereka lakukan akan memalukan atau terlihat tolol (Butler, 1999; Antony & Swinson, 2000). Individu dengan kecemasan sosial, berusaha keras untuk sedapat mungkin tidak menghadapi situasi sosial yang menakutkannya, atau jika terpaksa mereka harus menghadapi situasi itu tentunya dengan distres yang sangat besar (Nevid, 2005). Hal yang paling mendasar dari kecemasan sosial adalah ketakutan terhadap evaluasi negatif orang lain (Antony & Swinson, 2000; Butler, 1999; Nevid, 2005; Rector, et al., 2002). Gangguan kecemasan sosial dapat ditegakkan jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu (DSM IV, 2000): (1) Ketakutan yang menetap pada satu atau lebih situasi sosial, ketika seseorang harus bertemu dengan orang baru atau tidak dikenal dan orang-orang tersebut akan mencermatinya, (2) Menghadapi ketakutan terhadap situasi sosial yang selalu memicu timbulnya kecemasan, (3) Individu tersebut mengakui jika ketakutannya berlebihan atau tidak masuk akal, (4) Situasi sosial yang ditakutkan itu dihindari jika tidak akan menimbulkan kecemasan yang menetap atau distres, (5) Adanya perilaku menghindar, (6) Adanya upaya antisipasi, (7) Kondisi distres ini secara signifikan berpengaruh terhadap rutinitas normal seperti sekolah, pekerjaan, atau hubungan dengan orang lain, atau dirinya mengalami distres yang menetap karena fobia yang dialaminya. Prevalensi gangguan kecemasan sosial lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki (Davison, Neale, & Kring, 2006; DSM IV, 2000; Durand & Barlow, 2006; Nevid, 2003). Perempuan lebih banyak mengalami gangguan ini lebih dikarenakan adanya tekanan sosial yang diletakkan di pundak mereka untuk lebih menyenangkan orang lain, dan hal ini mendapatkan persetujuan mereka (Nevid, 2003). Pada laki-laki lebih sedikit karena laki-laki lebih sering mencari bantuan, mengingat gangguan ini berkaitan dengan karier mereka (Durand & Barlow, 2006). Onset gangguan kecemasan sosial adalah masa remaja saat kesadaran sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting pada usia ini (Davison, Neale, & Kring, 2006; DSM IV, 2000; Durand & Barlow, 2006; Nevid, 2003) dan cenderung lebih menonjol pada pertengahan usia 18-29 tahun (Durand & Barlow, 2006) yang berdasarkan usia perkembangan masuk pada masa dewasa (Hurlock, 1991). Meskipun Nevid (2003) menjelaskan kemungkinan onset gangguan ini pada masa anak-anak, tetapi hal ini mungkin masih dapat dikategorikan sebagai rasa malu secara umum yang dapat hilang seiring bertambahnya usia mereka (Davison, Neale, & Kring, 2006). 92 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Teori Kecemasan Perspektif Biologis menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan sosial dapat dikarenakan mewarisi kerentanan biologis menyeluruh untuk mengembangkan kecemasan dan kecenderungan biologis untuk menjadi sangat terhambat secara sosial (Durand & Barlow, 2006). Secara fisik, individu yang mengalami kecemasan mengaktifkan sistem saraf simpatetis yang termanifestasi dalam simtom fisik seperti meningkatnya denyut jantung, dada berdebar-debar, berkeringat, otot menegang, tangan gemetar, atau telapak tangan dan kaki menjadi dingin (Prawitasari, 1988). Pendekatan biologis berfokus pada penggunaan obat-obatan anti cemas untuk mengatasi kecemasannya. Psikoanalisa menjelaskan gangguan ini sebagai akibat terlalu banyaknya seseorang melakukan represi sebagai mekanisme pertahanan dirinya, sehingga upaya yang tepat untuk mengatasi gangguan ini adalah dengan mengungkap ke kesadaran konflik-konflik alam bawah sadarnya. Hampir sama dengan Psikoanalisa, para teoritikus Humanistik melihat gangguan kecemasan ini terjadi karena adanya represi sosial. Kecemasan terjadi bila terjadi ketidakselarasan antara inner self seseorang yang sesungguhnya dan tuntutan sosial yang seharusnya ia jalani. Seseorang tersebut merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi tidak mampu mengatakan apa itu karena bagian diri yang tidak diakui secara langsung tetapi direpresi ke alam bawah sadarnya. Oleh karena itu, terapisterapis Humanistik bertujuan membantu individu untuk memahami dan mengekspresikan bakat-bakat serta perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya. Akibatnya, klien menjadi bebas untuk menemukan dan menerima diri mereka yang sesungguhnya dan tidak bereaksi dengan kecemasan bila perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya dan kebutuhan-kebutuhan mereka mulai muncul ke permukaan (Nevid, 2005). Menurut perspektif Kognitif terdapat dua tipe keyakinan (beliefs) yang menimbulkan kecemasan sosial (Holmes, 1997; Suryaningrum, 2002). Pertama adalah keyakinan akan situasi, seperti “rasanya tidak nyaman dan gugup ketika saya berada di kelas itu”. Ke dua adalah keyakinan akan kemampuan untuk melakukan koping ketika menghadapi situasi di atas. Misalnya, “saya akan panik jika berada di kelas itu”. Kecemasan sosial dibedakan dengan gangguan kecemasan lainnya karena adanya tampilan kognitif yang difokuskan pada perasaan takut merasa malu dan takut dievaluasi negatif oleh orang lain (Rector, Kocovsky, & Ryder, 2006). Menurut perspektif Belajar, kecemasan diperoleh melalui proses belajar, terutama melalui conditioning dan belajar observasional (Nevid, 2005). Semua pesan yang diterima seseorang selama proses tumbuh kembang, idealnya penuh dengan bantuan untuk membuat mereka merasa diterima dan mendapatkan kasih sayang. Anak dibantu tentang bagaimana cara menjalin relasi dengan orang lain yang sesuai dengan harapannya, sehingga beberapa ketidaksesuaian atau masalah sosial yang nantinya akan timbul, tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika seseorang mendapatkan suatu hal yang tidak positif dan tidak membantu, tinggal dalam sebuah lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian, yang menyebabkan ketidak yakinan akan kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain, tidak yakin tentang penerimaan atau cinta dari orang lain, atau bagaimana orang akan bereaksi terhadap dirinya, tentu saja membuat kecemasan menjadi berkembang (Butler, 1999). 93 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Terapi Kognitif Perilaku Selain untuk mengatasi gangguan di atas, penelitian lain juga menunjukkan efektivitas Terapi Kognitif Perilaku untuk mengatasi gangguan kecemasan sosial (Antony & Swinson, 2000; Butler, 1999; Feeney, 2004; Hofmann, 2004; Karp & Dugas, 2003; Rector et al., 2006; Suryaningrum, 2005). Terapi Kognitif Perilaku digunakan karena dari berbagai temuan yang ada terbukti adanya komponen kognitif yang kuat dalam fobia sosial. Umumnya, individu yang menderita fobia sosial mempersepsikan ketidakmampuan diri mereka secara lebih negatif daripada orang lain (Beidel, Turner, & Dancu; Hartman; Rapee, dalam Feeney, 2004). Dari sisi behavioral, keberadaan situasi yang ditakuti menjadi suatu reinforcement negatif pada fobia sosial. Secara umum, Antony dan Swinson (2000) menyimpulkan bahwa Terapi Kognitif Perilaku untuk mengatasi kecemasan sosial terdiri dari tiga strategi utama, yakni memasukkan di dalamnya terapi kognitif, exposure atau menghadapi langsung situasi yang menakutkannya, dan ditambahkan dengan pelatihan keterampilan sosial. Butler (1999) menyatakan bahwa untuk mengatasi kecemasan sosial ini dilakukan dengan cara mematahkan “lingkaran setan” atau jika tidak, maka permasalahan tetap akan berkelanjutan. Ada empat metode utama yang diterapkan oleh Butler (1999), yakni: 1. Mengubah Pola Pikir 2. Melakukan Sesuatu yang Berbeda 3. Mereduksi Self-Conciousness 4. Membangun Kepercayaan Diri. Berdasarkan beberapa penelitian di muka, dapat disimpulkan bahwa komponen Terapi Kognitif Perilaku yang digunakan untuk mengatasi kecemasan sosial adalah : 1. Psikoedukasi (Halford, Doolan, & Eadie, 2002; Karp & Dugas, 2003; Westra & Phoenix, 2003). 2. Restrukturisasi Kognitif (Book, & Randall, 2002; Feeney, 2004; Halford, Doolan, & Eadie, 2002; Rector, Kocovski, & Ryder, 2002; Suryaningrum, 2005). 3. Relaksasi (Book, & Randall, 2002; Feeney, 2004; Halford, Doolan, & Eadie, 2002; Suryaningrum, 2005; Westra & Phoenix, 2003), Role Play (Karp & Dugas, 2003; Suryaningrum, 2005). 4. Exposure (Book & Randall, 2002; Feeney, 2004; Halford, Doolan, & Eadie, 2002; National Institute of Mental Health, 2002; Rector, Kocovski, & Ryder, 2002; Suryaningrum, 2005; Westra & Phoenix, 2003). 5. Tugas rumah dan self monitoring (Feeney, 2004). Beberapa teknik terapi di atas merupakan serangkaian Terapi Kognitif Perilaku yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi kecemasan sosial. Meskipun demikian, terapi kognitif perilaku tidaklah selalu sempurna. Beberapa penelitian dalam Westra dan Phoenix (2003) menyebutkan kegagalan subjek dalam merespon teknik terapi ini. Oleh karenanya, Westra dan Phoenix (2003) menggunakan Motivational Enhancement Therapy untuk mengatasi hal tersebut. Motivationa Enhancement Therapy dilakukan dengan menerapkan tiga teknik terapi, yakni mengubah tujuan, bermain peran dan menuliskan surat. Teknik Motivational Enhancement Therapy yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah menulis surat, sebab klien masih dapat merespon Terapi Kognitif Perilaku yang diberikan kepadanya dan hanya sebagai teknik tembahan untuk lebih memotivasi subjek dalam menyelesaikan seluruh sesi terapi. 94 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah jenis studi kasus yang lazim dipakai untuk menguji efektivitas sebuah terapi (Kazdin, 1998). Case study (studi kasus) sebagai salah satu alternatif desain penelitian, menurut Kazdin (1998) mempunyai kedudukan yang sama dengan penelitian eksperimen dan kuasi eksperimen. Desain eksperimen tidak dapat dilakukan, sebab dalam penelitian klinis atau terapi tidak dapat sepenuhnya dilakukan manipulasi eksperimental, misalnya penarikan atau penghentian tritmen dalam waktuwaktu tertentu, yang tidak selalu mungkin dalam situasi klinis. Oleh karena itu beberapa ahli mengatakan bahwa desain eksperimental tidak dapat diterapkan secara luas sebagaimana mestinya (Barlow, dalam Kazdin, 1998), dan sering tidak dapat diterapkan karena pertimbangan etis, metodologis, dan hambatan-hambatan praktis yang ada/ melekat pada seting klinis (Kazdin & Wilson, dalam Kazdin, 1998). Dasar-dasar untuk menilai tingkat efektivitas terapi tersebut digunakan dalam penelitian ini dengan menanyakannya kepada subjek selama proses terapi, saat evaluasi akhir dan masa follow-up. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan self report, wawancara, dan kuisioner pasca terapi. Kepada kedua subjek ditanyakan mengenai hal-hal yang subjek rasakan bermanfaat, sesi terapi atau teknik terapi yang paling membantunya atau paling menyulitkannya, atau hal-hal lain yang klien rasakan selama proses terapi, bahkan perubahan negatif jika mungkin ada. Kedua subjek mengaku jika mereka mengalami banyak perubahan, menurunnya tingkat kecemasannya, juga merasa sangat terbantu dengan teknik-teknik terapi yang telah diajarkan. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang memenuhi kriteria subjek penelitian, sejumlah 2 orang. Kriteria yang ditetapkan dalam penentuan subjek ini adalah mahasiswa yang mengalami gangguan kecemasan sosial, tingkat kecemasan di atas angka 60, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti terapi. Masing-masing subjek akan mendapatkan Terapi Kognitif Perilaku secara individual. Variabel dan Instrumen Penelitian Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang akan dikaji yaitu variabel bebasnya terapi kognitif perilaku dan variabel terikat berupa kecemasan sosial. Terapi kognitif perilaku adalah terapi yang menggabungkan antara terapi kognitif dan perilaku yang dimulai dari tahap mengubah pola pikir, melakukan sesuatu yang berbeda, mereduksi kecemasan, dan membangun kepercayaan diri. Sedangkan kecemasan sosial adalah suatu bentuk respon yang tepat terhadap suatu ancaman, dimana responnya menjadi suatu hal yang berlebihan dan menganggu fungsi kehidupan sehingga penderita akan menghindari situasi-situasi sosial. Metode pengumpulan data penelitian ini adalah: 1. Self Report Penelitian ini menggunakan self report dalam bentuk wawancara untuk mendapatkan data etiologi gangguan subjek, bagaimana kadar permasalahannya hingga saat ini, dan upaya saja yang pernah dilakukannya, sehingga apabila terjadi perubahan setelah 95 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 terapi dapat dievaluasi apakah hal ini benar-benar merupakan dampak dari tritmen ataukan bukan. Selain wawancara, model skala bertingkat juga digunakan untuk menilai tingkat kecemasan subjek yang masuk dalam hirarki tingkat kecemasan. Skala bertingkat dimulai dari angka 0 yang berarti tidak ada kecemasan sama sekali, hingga angka 100 yang berarti tingkat kecemasan tertinggi menurut penilaian subjek. Hirarki tingkat kecemasan dari 0-100 ini lazim disebut SUD (Subjective Unit Disturbance) yang biasa dipakai dalam tritmen perilaku seperti desensitisasi sistematik untuk mengatasi fobia spesifik (Martin & Pear, 2003). Subjective Unit Disturbance merupakan angka penilaian subjektif yang subjek tetapkan untuk menilai tingkat kecemasannya, sehingga berbeda antara subjek yang satu dengan yang lainnya. Skala ini juga lazim untuk mengukur tingkat kecemasan pada penerapan teknik relaksasi (Goldfried & Davison, 1976). Oleh karena itu, dalam penelitian ini menggunakan angka SUD sebagaimana yang dilakukan oleh Martin dan Pear (2003), Hawton, dkk (1993), juga Westra dan Phoenix (2003). 2. Rating by others Selain bertanya kepada orang yang bersangkutan secara langsung, peneliti juga dapat menanyakan informasi melalui orang lain yang mengenal subjek, misalkan seorang teman dekatnya, anggota keluarga atau terapisnya. Inilah yang disebut dengan metode penggunaan “informan”. Cara ini juga penting untuk dilakukan ketika responden tidak dapat memberi informasi yang dapat diandalkan. Sebagai contoh, dalam penelitian yang melibatkan anak-anak kecil, sangatlah perlu peneliti meminta pendapat dan pandangan dari orang tua si anak dan para guru yang mengetahui perilaku yang relevan dengan yang ingin diketahui (Barker, Pistrang & Elliot, 1996). 3. Observasi Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapat data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checking atau pembuktian terhadap informasi/ keterangan yang diperoleh sebelumnya (Ardani & Rahayu, 2004). Observasi dilakukan dalam penelitian ini sebagai data tambahan untuk memastikan bahwa yang disampaikan subjek perihal perubahan sebagai dampak terapi benar-benar terjadi dan nampak dalam perilakunya. Perilaku yang diamati berkaitan dengan relasi sosial kedua subjek selama terapi (khususnya perilaku negatif dan perilaku aman) dan pada saat subjek menghadapi situasi sosial yang sesungguhnya. Terapis yang melakukan pengamatan terhadap kedua subjek, tentunya tanpa sepengetahuan subjek agar tidak terjadi faking good. Prosedur dan Analisa Data Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Mencari data mahasiswa yang memiliki kriteria gangguan kecemasan sosial, dari UPT Bimbingan Konseling Universitas Muhammadiyah Malang, juga diumumkan pada mahasiswa Fakultas Psikologi UMM mengenai penelitian ini. 2. Berdasarkan data yang didapat, kemudian kepada mahasiswa yang mendaftar diseleksi sesuai dengan kriteria penelitian, yakni dapat ditegakkan sebagai Gangguan Kecemasan Sosial, hierarki tingkat kecemasan di atas angka 60, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk mengikuti terapi. Nilai 60 ditetapkan dengan asumsi bahwa kriteria kecemasan dari angka 0 (paling tidak mencemaskan) hingga angka 100 (paling mencemaskan), nilai tengah adalah angka 50, sehingga 10 tingkat di atas nilai tengah kecemasan adalah 60. 96 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 3. Mahasiswa yang memenuhi kriteria penelitian selanjutnya disebut sebagai subjek dan kepadanya dijelaskan prosedur penelitian, hal-hal apa yang akan dilakukannya, juga keuntungan dan risiko bagi subjek. Kemudian subjek diminta untuk menanda tangani informed consent. 4. Subjek yang telah bersedia menjalani beberapa sesi terapi kemudian dipertemukan dengan terapis untuk memulai sesi terapi. Sesi ini diawali dengan perkenalan antara subjek dengan terapis, kemudian dilakukan wawancara untuk melakukan asesmen, juga memahami permasalahan subjek lebih mendalam. Teknik relaksasi juga mulai diajarkan pada awal sesi dengan pertimbangan agar subjek lebih terampil. 5. Tahap selanjutnya adalah dimulainya sesi terapi dengan menjelaskan hubungan antara perilaku dan pikiran (psikoedukasi), juga dilatihkan lagi teknik relaksasi agar subjek lebih terampil. 6. Beberapa teknik terapi yang lain diberikan sesuai dengan tahapan terapi yang dijelaskan lebih lanjut dalam Modul Terapi Kognitif Perilaku untuk Mengatasi Kecemasan Sosial. 7. Evaluasi diberikan setiap akhir sesi, dan juga di akhir terapi secara keseluruhan untuk melihat efektivitas terapi. HASIL PENELITIAN Terapi Kognitif Perilaku untuk Gangguan Kecemasan Sosial pada awalnya diberikan pada subjek penelitian sejumlah tiga orang. Tiga subjek semestinya mendapatkan terapi, namun hanya dua subjek yang berhasil menyelesaian keseluruhan sesi terapi. Subjek pertama tidak berhasil menyelesaikan seluruh sesi terapi sebab setelah evaluasi exposure pertama dan ia ditugaskan untuk melakukan exposure ke dua, subjek tidak kembali untuk melanjutkan sesi terapi. Subjek pertama dianggap mengundurkan diri dari penelitian, sehingga subjek dalam penelitian ini yang semula tiga orang menjadi dua orang. Subjek ke dua, untuk selanjutnya akan disebut sebagai subjek pertama, dan subjek ke tiga disebut sebagai subjek ke dua. . Terapi Kognitif Perilaku yang diberikan terhadap kedua subjek terbukti efektif menurunkan tingkat kecemasannya. Dikatakan efektif sebab memenuhi kriteria yang disyaratkan dalam penelitian ini yakni menurunnya tingkat kecemasan, berkurang atau bahkan hilangnya pemikiran dan perilaku negatif, subjek lebih dapat berfikir positif dan rasional, hingga masa tindak lanjut. 1. Menurunnya tingkat kecemasan. Tingkat kecemasan yang subjek tuliskan dalam bentuk skala bertingkat pada hirarki tingkat kecemasan merupakan indikasi yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan terjadi pada subjek. 2. Berkurangnya pemikiran negatif. Pemikiran negatif bahwa seseorang tidak mampu menghadapi situasi sosial, mendapatkan penolakan, malu, tidak percaya diri, rendah diri, atau dinilia negatif oleh orang lain merupakan hal yang sangat khas dari sebuah gangguan kecemasan sosial Pemikiran ini yang selalu muncul dalam benak kedua subjek dan benar-benar mereka percayai. Setelah mendapatkan Terapi Kognitif Perilaku pada beberapa sesi, perlahan pemikiran negatif mereka mulai berkurang bahkan hilang sama sekali. Hasil perubahan pemikiran negative subjek dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. 97 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Tabel 1. Pemikiran Negatif Subjek Pertama Sesi ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemikiran Negatif - Bagaimana nanti jika di depan dosen tiba-tiba terjadi sesuatu hal yang tidak terduga. - Terpikir apakah tulisan saya salah, atau terkadang malah blank. - Bisa apa tidak saya besok menyampaikan hasil pemikiran saya ini, karena saya kurang dapat mengungkapkan apa yang ada dalam pemikiran saya. - Jangan-jangan nanti dosen berpikir bener gak yang saya kerjakan, kok bisa kamu ngerjakan penelitian kayak begini, kuliah selama 4 tahun masak cuman bisa mengerjakan segini. (tidak muncul pemikiran negatif karena belum menghadapi situasi) Tingk Perilaku Negatif Kepercayaan 75 % - Tangan tidak dapat diam, mamainkan bolfoin atau benda apa saja yang dipegang. - Menundukkan kepala. - Kaki goyang-goyang. - Diam, diajak berbicara teman tidak konsentrasi. - Banyak-banyak berdo’a, tidak bisa tidur. - Tidak berani bertanya, atau berpendapat, hanya menerima. - 80 % - Tangan tidak dapat diam, memainkan benda. - Menundukkan kepala. - Tangan tidak dapat diam, memainkan benda. - Menundukkan kepala. Memainkan tangan. 50 % Menundukkan kepala 20 % 14 % 12 % - (tidak ada perilaku negatif) Menundukkan kepala (tidak ada perilaku negatif) (tidak ada perilaku negatif) - (sesi restrukturisasi kognitif, merubah pemikiran negatif menjadi lebih positif) - Tuh khan ada yang salah - Takut gak bisa jawab - Takut ada yang salah Revisiannya salah dan tidak seperti yang diharapkan dosen. Revisiannya salah. Takut salah Takut salah (pemikiran negatif sudah tidak muncul lagi) Tabel 2. Pemikiran Negatif Subjek Ke Dua Sesi ke2 Pemikiran Negatif - Merasa tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar. - Saran saya tidak benar. - Takut ditertawakan atau dipermalukan teman. - Pertanyaan saya tidak berbobot. Tingk Perilaku Negatif Kepercayaan 80 % - Menghindar - Jalan menunduk dan cepat, ingin semuanya segera berlalu. - Diam - Main HP/ baca buku - Tiba-tiba pulang di tengah rapat ketika tidak kuat menahan kecemasan. - 98 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 3 4 5 6 7 8 9 10 (tidak muncul pemikiran negatif karena belum menghadapi situasi) - Kenapa sih mbak ini, ada saya kok melihat ke jendela terus. Ada apa yang dengan saya. - Mbak ini kenapa kok gitu-gitu amat, khan aku belum nanya. - Apa penampilanku ini kayak orang jahat yang mau iseng. - Kok ibu ini jutex sih. Kenapa sih ibu ini, ditanya gitu aja kok jutex. - Jangan-jangan nanti saya dikira sok akrab Sok akrab, sok kenal, pede amat. Jangan-jangan saya nanti akan mengganggu orang ini. Jangan-jangan nanti saya dikira orang jahat. - - 68 % - Diam, lalu pura-pura tidur meski sebenarnya subjek tidak tidaur dan ia tidak dapat tidur. - Diam, lalu mendengarkan music. Main HP dan bukabuka internet, meski sebenarnya ia tidak ingin. - Pura-pura beli minuman, meski sebenarnya tidak haus. Memainkan botol minuman. (tidak ada perilaku negatif) Mondar-mandir kesana kemari. 38 % 25 % 20 % (pemikiran negatif sudah tidak muncul lagi) (pemikiran negatif sudah tidak muncul lagi) (pemikiran negatif sudah tidak muncul lagi) - Hampir membaca novel, tetapi berhasil ia sadari jika ini perilaku aman, maka ia tidak melakukannya. (tidak ada perilaku negatif) - (tidak ada perilaku negatif) - (tidak ada perilaku negatif) 3. Lebih dapat berpikir positif dan rasional. Teknik retrukturisasi kognitif mampu membantu subjek merubah pemikiran-pemikiran negatifnya menjadi alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional. Dalam pelaksanaannya, ternyata subjek merasa kesulitan menerapkan alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional jika dalam keadaan tegang dan cemas, oleh karenanya teknik relaksasi diterapkan guna mencapai keadaan yang rileks. Hasilnya, subjek merasa lebih nyaman dan alternatif pemikiran positif behasil ia terapkan dalam berbagai situasi sosial. Berikut hasilnya pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Pemikiran Positif Subjek Pertama Sesi ke1 Pemikiran Positif Perilaku Positif (tidak ada alternatif pemikiran positif yang muncul) 2 (tidak ada alternatif pemikiran positif yang muncul) 3 - Kamu udah maksimal ngerjain semuanya, besok sampaikan ke dosen kalo ini sudah hasil maksimalmu. - Jika ada yang disalahkan, wajar karena aku dan dosen adalah dua orang yang mempunyai pemikiran berbeda, pasti ada kekurangan dan kelebihannya. - Kemarahan dosen adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, tetapi hal itu merupakan dinamika dalam bimbingan skripsi dan juga sebagai latihan mental. - Namanya aja dosen pembimbing, wajar kalo salah di (belum berhasil berperilaku positif) (belum berhasil berperilaku positif) Lebih optimis Lebih berusaha Lebih realistis Tidak takut bimbingan Tidak menunda-nunda waktu bimbingan. Cepat lulus. 99 - ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 4 5 awal daripada salah di akhir. - Kamu pasti bisa, buktinya saat terapi bisa dan berani ketemu bu N. - Sejauh ini yang kamu kerjakan sudah benar. - Wajar salah, namanya juga belajar. - Dosen itu gak marah, tapi membenar-kan. - Sudah berusaha, dijalani saja. - Kesalahan itu wajar. 6 - 7 - - Terlihat mulai tenang pada beberapa sesi. - Sebelum bimbingan bisa bersosialisasi dengan teman kost. - Tangan tidak main HP. - Bisa ngobrol dengan teman saat antri bimbingan. - Berani bertanya ke dosen dan berdiskusi. Sudah diperbaiki. - Lebih tenang Gak papa salah di awal. - Lebih realistis Karakter dosen memang seperti itu, jadi wajar saja. - Dapat bersosialisasi/ Segala yang terjadi merupakan dinamika skripsi, jadikan melakukan aktivitas lain sebagai pengalaman. Kesalahan hal yang wajar - Lebih tenang Dosen hanya membenarkan bukan menyalahkan - Tidak takut bimbingan Tidak ada dosen yang akan menghambat kelulusan - Lebih santai mahasiswanya - Lebih realistis Karakter tiap dosen berbeda, jadi memang harus dipahami. Tabel 4. Pemikiran Positif Subjek Ke Dua Sesi ke2 3 4 5 6 Pemikiran Positif Perilaku Positif (tidak ada alternatif pemikiran positif yang muncul) (belum berhasil berperilaku positif) Lebih sering berpendapat, bertanya, atau menanggapi pertanyaan. Akan sering datang jika diundang untuk rapat. Berani mengangkat kepala. Tidak main HP. Jalan cepat lebih karena antusias, bukan karena ingin semuanya segera berlalu. - Ah masak temen-temen berfikir sejauh itu, menganggap pertanyaan saya tidak berbobot, mempermalukan atau mentertawakan saya, kita khan sama-sama belajar. - Salah itu khan hal yang wajar, namanya juga belajar. - Saya sebenarnya mampu,meskipun belum berani menyampaikan ide. - Ternyata jawaban teman lain tidak sebagus jawaban yang tidak saya ungkapkan, jadi sebenarnya saya bisa. - Ah mungkin mbaknya lagi banyak pikiran, atau (belum berhasil berperilaku mungkin mbaknya pengen cepet-cepet sampai. positif) - Mungkin ibunya capek atau ngantuk, jadi nggak pengen ngobrol. - Enak juga kalo bisa ngobrol panjang lebar seperti ini. - Kita sama-sama menunggu, sebelumnya juga - Bertanya ke teman, berani sudah pernah ketemu di counter. mengawali pembicaraan. - Tidak ada salahnya untuk mencoba. - Berani mencoba berbicara 100 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 7 8 - 9 - 10 dengan orang baru. - Menyadari akan munculnya perilaku aman, maka subjek segera menghentikannya. Tidak ada salahnya untuk mencoba. - Lebih spontan dalam (subjek segera bereaksi spontan dan tidak bertindak. - Berani bertanya. membiarkan pemikiran negatifnya segera berkembang) - Dapat membantu orang baru dan memberikan informasi secara jelas. Menghadapi situasi sosial ini nanti pasti akan - Lebih aktif dalam situasi jadi pengalaman baru yang menyenangkan. sosial, Jika terjadi sesuatu yang negatif wajar, aku harus - Lebih aktif mencari situasi berani menghadapinya. sosial untuk berlatih. Kurang materi pembicaraan, ya aku harus - Lebih spontan dalam banyak membaca untuk menambah wawasan. bertindak. Menghadapi situasi sosial ini nanti pasti akan - Lebih aktif dalam situasi jadi pengalaman baru yang menyenangkan. sosial, Jika terjadi sesuatu yang negatif wajar, aku harus - Lebih aktif mencari situasi berani menghadapinya. sosial untuk berlatih. Kurang materi pembicaraan, ya aku harus - Lebih spontan dalam banyak membaca untuk menambah wawasan. bertindak. Terus mencoba dan mencoba hingga terbiasa dan - Lebih santai dalam lebih nyaman. menghadapi situasi sosial. (tidak berhasil menerapkan pemikiran positif karena kurang persiapan) - DISKUSI Perubahan yang terjadi pada kedua subjek merupakan hasil dari Terapi Kognitif Perilaku yang telah diberikan. Teknik-teknik Terapi Kognitif Perilaku secara umum bertujuan untuk merubah pemikiran-pemikiran negatif subjek yang irasional, menjadi alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional, agar menghasilkan perilaku yang positif dan konsekuensi yang positif. Proses perubahan yang terjadi pada kedua subjek dilihat tidak hanya berdasar pada pengakuan subjek saja, melainkan dari pengamatan peneliti dan terapis, juga berdasarkan evaluasi terapis selama proses terapi berlangsung hingga masa tindak lanjut. 1. Subjek Pertama Subjek memiliki kecemasan ketika ia berada pada keramaiaan dan ketika ia akan menghadapi dosen pembimbing skripsinya. Ia selalu berfikiran negatif, gemetar, keluar keringat dingin, memainkan benda apa saja yang ia pegang, atau ia terkadang lebih memilih untuk menghindari berbagai situasi yang mencemaskannya. Subjek mengetahui jika sumber kecemasannya berasal dari pemikiran-pemikiran negatifnya, namun ia tidak mengetahui cara bagaimana ia dapat mengatasi kecemasannya. Subjek terkadang menjadi sangat cemas atau panik, sehingga ia tidak mampu berfikir yang positif atau rasional. Di awal sesi terapi, subjek diajarkan teknik relaksasi yang bertujuan membuatnya lebih rileks sehingga dapat berfikir positif dan rasional (Goldfried & Davison, 1976). Subjek mengaku setelah berlatih relaksasi tubuhnya menjadi lebih nyaman, rileks, dan tidak mengalami sesak nafas lagi jika ia terlalu cemas. Identifikasi akan pemikiran negatif dilakukan untuk membuat subjek menyadari berbagai pemikiran negatifnya, dan selanjutnya subjek diajak untuk mencari alternatif pemikiran yang lebih positif dan 101 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 rasional (restrukturisasi kognitif). Tugas rumah yang terapis berikan pada sesi restrukturisasi kognitif, memudahkan subjek untuk berlatih mengembangkan alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional. Meskipun telah mampu berfikir positif dan rasional saat diberikan tugas rumah, namun dalam kondisi yang sangat mencemaskan, subjek mengaku sulit berfikir positif dan rasional. Subjek ternyata tidak berlatih relaksasi sebelumnya. Saat subjek telah mampu berfikir positif, dan ia telah terampil melakukan relaksasi, maka ia berlatih menghadapi exposure. Role play dilakukan untuk menyipakna subjek menghadapi exposure, dan hasilnya ia dapat mengevaluasi keberhasilan dan kegagalannya sehingga ia lebih siap ketika melakukan exposure. Kondisi subjek yang rileks membuatnya mampu menerapkan alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional, sehingga membuatnya lebih termotivasi dalam menyelesaikan skripsinya. Subjek tidak lagi menghindari situasi yang selama ini ia cemaskan atau melakukan perilaku-perilaku aman seperti bermain benda, HP, atau ketika diajak teman berbicara ia tidak konsentrasi. Kondisi yang rileks, pemikiran positif dan rasional, membuat subjek berani menghadapi situasi sosial saat exposure. Keberhasilan subjek dalam exposure membuatnya lebih berani dan percaya diri ketika menghadapi situasi sosial yang sesungguhnya. 2. Subjek Ke Dua Subjek sangat mencemaskan ketika ia menghadapi situasi berorganisasi juga situasi sosial secara umum. Subjek lebih memilih untuk tidak menghadiri situasi organisasi, atau jika terpaksa datang ia akan mengalami sensasi fisik seperti keringat dingin, detak jantung lebih cepat, dan badan terasa panas. Subjek selalu berfikiran jika ia nanti akan salah bicara, dianggap sok tahu, atau pertanyaannya akan menjatuhkan temannya. Subjek juga selalu ragu-ragu ketika akan memulai pembicaraan dengan orang baru, padahal ia sangat ingin sekali dapat memulai pembicaraan atau berbincang dengan mereka. Subjek juga selalu berfikir jika nanti orang lain akan menganggapnya sok kenal atau mengganggu mereka. Subjek merasa tidak nyaman dan ingin mengatasi masalahnya, tetapi ia juga masih ragu-ragu ketika harus mencoba menjalani serangkaian proses Terapi Kognitif Perilaku. Oleh karenanya, teknik Motivational Enhancement diberikan di awal sesi guna lebih meyakinkan subjek perihal keputusan menjalani serangkain terapi guna mengatasi permasalahannya. Hasilnya, subjek dapat menyelesaikan seluruh sesi terapi, hingga masa tindak lanjut. Subyek selama ini sangat terganggu dengan kecemasannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya dan tidak mengetahui mengapa ia dapat sangat cemas ketika menghadapi berbagai situasi sosial. Sesi psikoedukasi bertujuan untuk menjelaskan kepada subjek hubungan antara apa yang ada dalam pemikirannya, berpengaruh pada perasaan dan perilakunya guna mereduksi kecemasannya (Karp & Dugas, 2003). Setelah mengidentifikasi pemikiran-pemikiran negatif yang selama ini muncul, subjek mencoba merestrukturisasi kognisinya dengan mencari alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional. Tingkat kecemasan subjek pun perlahan mulai menurun, dan ia menyatakan siap menghadapi situasi sosial saat exposure tentunya setelah lebih terampil melakukan relaksasi. Subjek ke dua tidak perlu melakukan role play terlebih dahulu, sebab ia sangat ingin segera mengatasi kecemasannya, sehingga ia langsung mencoba untuk melakukan 102 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 exposure. Hasilnya, menunjukkan penurunan tingkat kecemasan dan membuatnya lebih percaya diri untuk mencoba lagi beberapa exposure. Subjek mengalami peningkatan kembali kecemasannya ketika ia melakukan exposure tanpa persiapan terlebih dahulu seperti berlatih relaksasi, akibatnya ia kesulitan menerapkan pemikiran positif dan berdampak pada kecemasannya. Subjek mengakui jika penting untuk melakukan persiapan dan berlatih relaksasi, sehingga kegagalan ini subjek jadikan pelajaran untuk membenahi beberapa exposure selanjutnya. Subjek mengalami penurunan tingkat kecemasan, bahkan hingga masa tindak lanjut. Kondisi subjek yang rileks, membuatnya mampu berfikir positif dan rasional, sehingga tidak lagi melakukan perilaku aman atau menghindari situasi sosial yang dicemaskannya. Subjek mengaku lebih percaya diri dan tertantang untuk menghadapi situasi sosial yang sesungguhnya. Terapi Kognitif Perilaku yang telah diberikan kepada subjek memiliki perbedaan durasi antara keduanya. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi perbedaan sesi terapi adalah kadar permasalahan, dan besarnya motivasi subjek untuk berubah (Suryaningrum, 2002). Kadar permasalahan yang dimaksudkan adalah telah berapa lama permasalahan tersebut subjek alami dan tingkat pemikiran negatif subjek. Subjek ke dua lebih meyakini betul pemikiran-pemikiran negatifnya, dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dari subjek pertama. Subjek ke dua lebih mengakar pemikiran negatif dan rasa ketidakmampuannya daripada subjek pertama, sehingga jumlah sesi dan penurunan tingkat kecemasannya pun lebih lama dibanding subjek pertama. Faktor ke dua adalah motivasi dari dalam diri subjek untuk melakukan perubahan bagi dirinya. Subjek yang mengundurkan diri terlihat kesungguhannya di awal, namun pada pertemuan ke dua dan selanjutnya ia selalu terlambat dan selalu menunda waktu pelaksanaan exposure hingga akhirnya ia tidak kembali melanjutkan sesi terapi setelah semua teknik ia kuasai. Subjek pertama dan ke dua memiliki motivasi yang tinggi untuk berubah, sehingga terlihat dari kesungguhannya dalam melakukan beberapa teknik terapi dan tugas rumah, sehingga evaluasi pun dapat dilakukan secara efektif. Fokus terapi sepertinya juga menjadi suatu hal yang berpengaruh terhadap penyelesain sesi terapi. Subjek pertama lebih pendek sesinya karena situasi sosial yang menjadi fokus terapinya adalah situasi bimbingan skripsi yang dianggap sangat penting baginya dan saat itu yang menjadi tujuan utama subjek adalah menyelesaikan skripsinya yang telah lama tertunda, sedangkan subjek ke dua fokus terapinya pada situasi sosial yang lain dan ia juga harus membagi waktunya untuk menyelesaikan skripsinya. Hal ini yang menjadi sedikit penghambat bagi subjek ke dua. Terlihat juga pada salah satu exposure tingkat kecemasan subjek ke dua meningkat lagi, sebab saat itu ia sedang sibuk dengan skripsinya dan ia memaksakan diri melakukan exposure tanpa persiapan. Penggunaan alat ukur yang objektif untuk melihat sejauh mana penurunan tingkat kecemasan terhadap kedua subjek sabagaimana yang dianjurkan Kazdin (1998) seperti BDI untuk melihat tingkat depresi seseorang tidak dilakukan dalam penelitian ini. Tingkat kecemasan subjek hanya diukur berdasarkan SUD sebagaimana yang digunakan Martin dan Pear (2003), Hawton, dkk (1993), juga Westra dan Phoenix (2003). Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini baru sebatas mahasiswa Fakultas Psikologi karena menindaklanjuti hasil penelitian sebelumnya tentang tingginya angka gangguan kecemasan sosial pada mahasiswa Fakultas Psikologi di sebuah Universitas di Indonesia (Suryaningrum, 2006). 103 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 SIMPULAN DAN IMPLIKASI Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Terapi Kognitif Perilaku berhasil menurunkan tingkat kecemasan kedua subjek dengan mengubah pemikiran negatif menjadi alternatif pemikiran yang lebih positif dan rasional. Pemikiran positif dan rasional dapat membuat subjek merasa lebih nyaman dan tidak cemas, akibatnya tidak lagi melakukan perilaku negatif atau perilaku aman. Subjek menjadi lebih berani dan percaya diri ketika menghadapi berbagai situasi sosial yang selama ini mereka cemaskan. Beberapa teknik terapi yang telah diterapkan seperti restrukturisasi kogntif, exposure dan relaksasi, dirasakan subjek sebagai hal yang sangat membantu mereka mengatasi kecemasannya. Relaksasi sebagai teknik yang kurang diminati, namun dapat membantu subjek dalam mengurangi sensasi fisik yang dirasakan. Restrukturisasi kognitif dan exposure merupakan hal yang dirasa subjek sangat membantu mereka berpikir positif agar tidak muncul kecemasannya dan berani menghadapi situasi sosial yang sesungguhnya. Implikasi dari penelitian ini adalah bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan terapi kognitif perilaku dapat dilakukan dengan setting kelompok. Selanjutnya untuk pengukuran perubahan tingkat kecemasan yang berkaitan dengan efek terapi bisa digunakan instrument terstandar, misalnya BDI atau BAI. REFERENSI Abramowits, J. S., Taylor, S., & McKay, D. (2005). Potential and limitation of cognitive treatments for obsesive-compulsive disorder. Journal of Cognitive Behavior Therapy, 34, (3), 140-147. Taylor & Francis ISSN. Abramowits, J. S., & Zoellner, L. A. (2008). Cognitive behavior therapy as an adjunct to medication for obsesive-compulsive disorder. The International Institute for the Advanced Studies Applied Mental Health. Allen, L. A., Woolfolk, R. L., Escobar, J. I., Gara, M. A., & Hamer, R. M. (2006). Cognitive behavior therapy for somatization disorder. Journal of American Medical Association, 166, 1512-1518. Anderson, K. G. (2004). Cognitive behavioral therapy for generalized anxiety in a 6Year-Old. Journal of Clinical Case Studies, 3, (3), 216-233. Antony, M. M., & Swinson, R. P. (2000). Shynes & social anxiety workbook. Canada New Harbinger Publication, Inc. Barker, C., Pistrang, H., & Elliot, R. (1996). Research methods in clinical and counselling psychology. England: John Wiley & Sons, Ltd. Beck, A. T. (1979). Cognitive therapy and the emotional disorder. Boston : Meridian, Penguin Books, Ltd. Book, S. W., & Randall, C. L. (2002). Social anxiety disorder and alcohol use. Journal of Alcohol Research and Health, 26, (2). 104 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Butler, G. (1999). Overcoming social anxiety and shyness. London: Constable & Robinson, Ltd. Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fourth Edition (2000). Washington, DC : American Psychiatric Association. Duran, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Psikologi abnormal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Emery, R. E., & Oltmanns, T. F. (2000). Essential of abnormal psychology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Erickson, D. H., Janeck, A. S., Tallman, K. (2007). A cognitive-behavioral group for patients with various anxiety disorders. Psychiatric Sercices, 58, (9), 1205-1211. Fausiah, F., & Widuri, J. (2005). Psikologi abnormal klinis dewasa. Jakarta : UI Press. Feeney, S. L. (2004). The cognitive behavioral treatment of social phobia. Journal of Clinical Case Studies, 3, (2), 124-146. Ferriter, M., Kaltenthaler, E., Parry, G., & Beverley, C. (2008). Computerised cognitive behaviour therapy for phobias and panic disorder: a systematic review. Mental Health Review Journal, 13. Pavilion Journals, Broghton. Goldfried, M. R., & Davison, G. C. (1976). Clinical behavior therapy. New York: Holt, Rinehart and Winston. Greeven, A., Balkom, A. J. L. M., Visser, S., Merkelbach, J. W., Rood, Y. R., Dyck, R., et al. (2007). Cognitive-behavior therapy and paroxetine in the treatment of hypochondriasis: a randomized controlled trial. American Journal Psychiatry : 164, 91-99. Halford, W.K., Doolan, S. B., & Eadie, K. (2002). Schemata as moderators of clinical effectivenes of comprehensive cognitive behavioral program for patients with depression or anxiety disorder. Journal of Behavior Modivication, 26, (5), 571593. Hawton, K., Salkovskis, P. M., Kirk, J., & Clark, D. M. (1993). Cognitive behaviour therapy for psychiatric problems. New York: Oxford University Press. Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan (Terjemahan). Jakarta: Erlangga. Holmes, D. S. (1997). Abnormal psychology. Third Edition. New York: Addison Wesley Educational Publisher Inc. 105 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Karp, J., & Dugas, M. J. (2003). Stuck behind a wall of fear (how cognitive behavior therapy helped women with social phobia). Journal of Clinical Case Studies, 2, (3), 171-187. Kazdin, A. E. (1998). Metodological issues & strategies in clinical research. Washington DC: American Psychological Association. Lind, N. A., & Cigrang, J. A. (2004). Biofeedback-assisted relaxation, exposure, and cognitive-behavioral treatment of gastric bypass surgery related anxiety. Journal of Clinical Case Studies, 3, (2), 171-187. Martin, G., & Pear, J. (2003). Behavior modification what it is and how to do it. Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. McClanahan, T.M., & Antonuccio, D.O. Cognitive-behavioral treatment of panic attacks. Journal of Clinical Case Studies, 1, (3), 211-223. National Institute of Mental Health (2002). Anxiety disorder. Maryland : NIH Publication. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Green, E. B. (2005). Psikologi abnormal (Terjemahan). Jakarta: Erlangga. Prawitasari, J. E. (1988). Pengaruh relaksasi terhadap keluhan fisik: Suatu studi eksperimental. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Rahayu, T.I & Ardani, T.A. (2004). Observasi & wawancara. Malang: Banyumedia Publishing. Rector, N. A., Kocovsky, N. L., & Ryder, A. G. (2006). Social anxiety and the fear of causing discomfort to others. Journal of Social and Clinical Psychology, 25, (8), 906-918. Rosello, J. M., & Chavey, M. I. J. (2006). Cognitive behavioral group therapy for depression in adolescent with diabets:a pilot study. Interamerican Journal of Psychology, 4, (2), 219-226. Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2007). Metodologi penelitian psikologi (Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sijbrandij, M., Olff, M., Reitsma, J. B., Carlier, I. V. E., Vries, M. H., & Gersons, B. P. R. (2007). Treatment of acute posttraumatic stress disorder with brief cognitive behavioral therapy: a randomized controlled trial. American Journal Psychiatry : 164, 82-90. Sundberg, N. D., Winebarger, A. A., & Taplin, J. R. (2007). Psikologi klinis (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 106 ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015 Suryaningrum, C. (2005). Terapi kognitif-tingkah laku untuk mengatasi kecemasan sosial. Tesis. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Suryaningrum, C. (2006). Indikasi gangguan kecemasan pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Laporan Penelitian. Malang : Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang. Vickers, B. (2002). Cognitive behaviour therapy for adolescents with psychological disorders : a group treatment programme. Journal of Clinical Child Psychology and Psychiatry, 7, (2), 249-262. Vorcaro, C. M. R., Rocha, F. L., Uchoa, E., & Costa, M. F. L. (2004). The burden of social phobia in a brazilian comunity and its relationship with socioeconomic circumstances, health status and use of health services: the bambui study. International Journal of Social Psychiatry, 50, (3), 216-226. Westra, H. A., & Phoenix, E. (2003). Motivational enhancement therapy in two case of anxiety disorder. Journal of Clinical Case Studies, 2, (4), 306-322. Whittal, M. L., & O’Neill, M. L. (2003). Cognitive and behavioral methods for obsesive compulsive disorder. Journal of Brief Treatmen and Crisis Intervention 3: 201215. Wilson, J. J., & Steiner, H. (2002). Conduct problems, substances use and social anxiety: a developmental study of recovery and adaptation. Journal of Clinical Child Psychology and Psychiatry, 7, (2), 235-247. 107