SURAT SUARA MENGGUNAKAN HURUF BRAILLE BAGI TUNANETRA
Di susun oleh :
Aprilia Arta Magdalena / 201411005
Chintya Cahyani Arisandi / 201411007
Thomas Pama Lein / 201411033
S1 KEPERAWATAN JALUR A KELAS A
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS
JAKARTA, 2014
Kata Pengantar
Puji Syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatnya kami diberi kelancaran dalam menyelesaikan makalah tentang fasilitas penyandang orang cacat.
Segala yang tertulis dalam makalah ini merupakan buah pemikiran atau pendapat kami, artikel, jurnal, dan buku buku serta melihat berbagai fenomena yang terjadi didalam masyarakat. Selain itu merupakan pandangan kami selaku calon perawat untuk tentunya harus memiliki pola pikir dan sikap tertentu ketika menghadapi permasalahan-permasalahan terutama dalam bentuk pelayanan kesehatan yang harus kami lakukan terkait dengan profesi yang kami akan emban.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Asnet Leo Bunga, S.Kp., M.Kes selaku Kepala Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sint Carolus, Ns. Elizabeth Isti Daryati, S.Kep. MSN, Ibu Kristina Lisum, S.Kp., MSN, Ns. Sondang Ratnauli Sianturi, S.Kep.MSN selaku dosen pembimbing, para staff pengajar dan teman-teman dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan makalah tentang fasilitas terhadap orang cacat ini merupakan tugas praktik presentasi yang harus kami selesaikan.
Kami sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini belum sempurna.Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca kami butuhkan untuk perbaikan selajutnya.
Jakarta, 11 September 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………..………ii
DAFTAR ISI…………………………………………………...…….iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………...……………….………...4
Rumusan Masalah……………………………………………………..6
Manfaat…………………………………………….....…………….…6
Tujuan……………………………..…….…………………………….6
Sistematika Penulisan……………………………………..……...…...7
Metode Penulisan………………………………………………..…….7
BAB II PEMBAHASAN
Definisi……………………………………………...……………….....8
Klasifikasi……………………………..….………….…………………9
Analisis………………………..…………………….....…………….....9
Referensi Hukum….…..……………………………...………………..11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan………………………………...…………………………..13
Saran……………………...………………………………………...….13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….14
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui tidak semua manusia memiliki fisik yang sempurna. Tuhan menciptakan kita berbeda satu sama lain supaya kita dapat belajar saling membantu dan melengkapi. Mungkin sebagian besar dari kerabat kita memiliki cacat fisik.Salah satunya adalah penyandang tunanetra.Penyandang tunanetra adalah orang yang memiliki hambatan penglihatan atau tidak berfungsinya indra penglihatan, sehingga aktifitas mereka menjadi kurang maksimal..Di dunia ini banyak sekali terdapat penyandang tunanetra yang tersebar di berbagai negara, salah satunya adalah Indonesia. Namun sebagian dari mereka menggunakkan kelemahannya menjadi kelebihan yaitu dengan tetap berusaha semampu mereka menggunakan anggota tubuh lain untuk melanjutkan karyanya, tetapi ada juga yang menggunakan kelemahannya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang sekitarnya.
Berdasarkan hasil riset World Health Orgnization (WHO) pada tahun 1990 terdapat 38juta penderita kebutaan, sedangkan pada tahun 1996 meningkat menjadi 45juta penderita kebutaan di dunia, di mana sepertiganya berada di Asia Tenggara. Di perkirakan dua belas orang menjadi buta tiap menit di dunia, dan empat orang di antaranya berasal dari Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia di perkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar tunanetra di Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi lemah. Berdasarkan data statistik Kementrian Sosial Republik Indonesia tahun 2009, total penyandang tunanetra berjumlah 245.632 orang, dengan penduduk miskin terdiri dari 46.146 orang, sangat miskin 82.242 orang miskin, 78.699 orang hampir miskin, sehingga totalnnya 207.087 orang jumlah penyandang tunanetra berdasar rumah tangga miskin.
Keterbatasan yang mereka miliki tidak menghentikan mereka untuk belajar, sehingga mulai dikembangkan sistem tulisan bagi penyandang tuna netra. Banyak media yang digunakan untuk mengembangkan sistem huruf tersebut, mulai dari tali, paku, dan lain lain. Namun pada akhirnya Louis Braille mengembangkan huruf Braille yang berupa titik dan garis pada kertas yang dibaca dengan cara diraba, cara ini dianggap paling mudah digunakan bagi masyarakat penyandang tuna netra, sehingga penggunaan huruf Braille semakin meluas di kalangan tunanetra dan menjadi suatu media pembelajaran bagi penyandang tunanetra.
Di negara kita ini, peraturan tentang penyandang cacat masih kurang diperhatikan, sehingga banyak dari mereka yang masih terabaikan akan hak yang mereka miliki, salah satunya mengenai fasilitas penyandang tunanetra. Namun ada beberapa fasilitas yang disediakan bagi penyandang tuna netra oleh pemerintah, salah satu fasilitas di bidang pemerintahan bagi tunanetra dalam kegiatan pemilu adalah surat suara menggunakan huruf Braille. Pemerintah menyediakan fasilitas ini atas dasar Undang-Undang nomor 8 tahun 2012, sehingga setiap warga negara termasuk yang kekurangan dalam hal fisik pun bisa memiliki hak yang sama untuk menyumbangkan suara mereka.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah fasilitas sistem Braille pada pemilu yang disediakan pemerintah telah memadai?
Bagaimana hukum di Indonesia bagi penyandang cacat salah satunya tunanetra?
1.3 Manfaat
Untuk mengetahui fasilitas sistem Braille yang digunakan pada pemilu di Indonesia.
Untuk memahami hukum di Indonesia bagi penyandang cacat salah satunya tunanetra.
1.4 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana penggunaan sistem Braille pada pemilu di Indonesia
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Manfaat
Tujuan
Sistematika Penulisan
Metode Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
Definisi
Klasifikasi Tunanetra
Analisis
Hukum bagi Penyandang Cacat
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Saran
1.6 Metode Penulisan
Menggunakan artikel, buku-buku, dan jurnal-jurnal sebagai sumber referensi penulisan makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tunanetra adalah dimana ketajaman penglihatan tetap didalam batas normal namun bidang penglihatan telah mengalami pengurangan sebagai akibat kelainan yang serius. (Smith,1998)
Tunanetra adalah kondisi luka atau rusaknya mata, sehingga mengakibatkan kurang atau tiada memiliki kemampuan persepsi penglihatan. Seseorang dikatakan tunanetra jika ia memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu, atau setelah dikoreksi secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh siswa normal. (Efendi,2006)
Tunanetra adalah orang yang kedua penglihatannya mengalami kelainan sedemikian rupa dan setelah dikoreksi mengalami kesukaran dalam menggunakan matanya sebagai saluran utama dalam menerima informasi dari lingkungannya. (Irham Hoesni, 1998:2)
2.2 Klasifikasi Tunanetra
Penyandang tunanetra yang mampu membaca cetakan standar.
Penyandang tunanetra yang mampu membaca cetakan standar dengan alat pembesar.
Penyandang tunanetra yang mampu membaca cetakan besar.
Penyandang tunanetra yang mampu membaca kombinasi antara cetakan besar/regular print.
Penyandang tunanetra yang mampu membaca cetakan besar dengan menggunakan alat pembesar.
Penyandang tunanetra yang mampu menggunakan huruf Braille tapi masih bisa melihat cahaya.
Penyandang tunanetra yang mampu menggunakan huruf Braille tetapi tidak mampu melihat cahaya.
2.3 Analisis
Belum lama ini, di Indonesia diadakan pemilu, dan penyandang tuna netra pun dapat menyuarakan suaranya melalui fasilitas pencetakan kertas suara dengan huruf Braille. Sayangnya penggunaan surat suara dengan huruf Braille ini hanya terdapat pada pemilu DPD dan Pilpres, dan tidak digunakan dalam pemilu legislatif. KPU menyatakan bahwa kertas suara tidak mencukupi jika harus mencetak kertas suara pemilu legislatif dengan huruf Braille yang dianggap membuat ruang besar dalam kertas suara, pasalnya dalam pemilu legislatif jumlah calon yang harus dipilih sangat banyak, sedangkan pada pemilu DPD dan Presiden jumlah calonnya sedikit. Sehingga KPU menyediakan fasilitas pendampingan surat suara pada pemilu legislatif bagi penyandang tuna netra. Namun menurut kami, alasan KPU dalam hal pencetakan surat suara dengan huruf braille pada pemilu legislatif ini terlalu sepele. Hal ini sangat disayangkan, karena seharusnya penyandang disabilitas juga mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat umum. Bisa dikatakan bahwa dalam pemilu legislatif ini, KPU telah melaggar undang undang diatas.Dari hasil pemikiran kami terhadap kasus ini, kami tidak menyetujui adanya pendamping saat Pemilihan Umum dengan menggunakan sistem Braille untuk tunanetra saat menggunakan hak suaranya dalam Pemilihan Umum atau Pemiihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, karena dengan menyediakan pendampingan surat suara, KPU telah melanggar salah satu asas pemilu yaitu asas RAHASIA. Selain itu KPU juga memberikan peluang bagi para pendamping tunanetra dapat berbuat kecurangan atau mempengaruhi penyandang tunanetra dalam menggunakan hak suaranya, karena pendamping menganggap bahwa tunanetra adalah kaum yang lemah dan mudah di pengaruhi. Menurut kami, seharusnya pemerintah yang menaungi seluruh golongan masyarakat dalam memberikan fasilitas penuh terhadap kalangan tunanetra dengan menjunjung tinggi hak kesamaan setiap warga negara.
2.4 Hukum bagi Penyandang Cacat
Undang-undang nomor 8b tahun 2012 bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasal 27 ayat 2 dimana tertulis bahwa hak setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, perlu menetapkan peraturan menteri pendidikan nasional tentang standar proses pendidikan khusus tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras. Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, mengenai:
Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban dan peran yang sama.
Bahwa penyandang cacat secara kuatintas cenderung meningkat dan oleh karena itu perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan social bagi penyandang cacat.
Bahwa dalam rangka terwujudnya kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran sebagai mana tersebut diatas, dipandang perlu memberikan landasan hukum bagi upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat disegala aspek kehidupan dan penghidupan suatu undang-undang.
Undang Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden dalam pasal 51 ayat 2 disebutkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandnag cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia. Akomodasi hak-hak politik penyandang cacat dalam kedua paket Undang-undang tersebut, secara normatif sudah cukup memadai, hanya saja dalam konteks praktis implemtasinya masih jauh dari realita yang diharapkan, sebab masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam pemilu antara lain:
Hak untuk di daftar guna memberikan suara.
Hak atas akses ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hak atas pemberian suara yang rahasia.
Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif.
Hak atas infomasi termasuk informasi tentang Pemilu.
Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Seharusnya pemerintah memberikan kesempatan bagi penyandang tunanetra untuk memberikan hak suara dengan mengadakan huruf Braille khusus penyandang tunanetra karena setiap orang memiliki hak suara yang sama dalam pemilihan umum DPRD ataupun legislatif. Hal tersebut dilakukan supaya penyandang tunanetra memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang memiliki fisik yang normal, sehingga terjadi penyetaraan dan penyandang tunanetra merasa dihargai.
3.2 Saran
Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan hak kesamaan setiap warga negara termasuk penyandang tunanetra karena setiap orang memiliki hak suara yang sama untuk memilih siapa calon pemimpin negara.
Dalam setiap jurnal tidak dilengkapi dengan undang-undang sehingga kita harus mencari jurnal yang hanya berisi tentang undang-undang yang bersangkutan.
Pemerintah harus mengambil keputusan untuk lebih tegas dalam penegakkan hukum sehingga fasilitas orang cacat dapat terpenuhi dan lebih memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Abiyoso. (1998). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Sosial Penyandang Cacat. Bandung: Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI).
Abiyoso. (2005). Panduan Pelaksanaan Keterampilan Kehidupan Sehari-hari Penyandang Cacat Tuna Netra (ADL) di terbitkan dalam bentuk braille. Bandung: Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI).
http://tekno.kompas.com/read/2014/02/24/1707350/kpu.tunanetra.akan.didampingi.saat.memilih.anggota.dpr.dan.dprd diakses pada tanggal 7 September 2014, pukul 18:06 WIB
Kasim, Eva Rahmi., et al. (2010). Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2013). Undang-undang penyandang cacat. Jakarta: KPAI.
Universitas Sumatera Utara. (2012). Respository. Medan: USU.
Tardidi, Didi. (2008). Sejarah Perkembangan Sistem Tulisan bagi Tunanetra.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
4