Tuanku Imam Bonjol, Jeffrey Hadler
Tuanku Imam Bonjol, Jeffrey Hadler
Tuanku Imam Bonjol, Jeffrey Hadler
JEFFREY HADLER
The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228
1
A Historiography of Violence and the
Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and the Uses of History
JEFFREY HADLER
The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228
2
Sebuah Historiografy Tentang Kekerasan
dan Negara Sekuler di Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol dan Penggunaan Sejarah
JEFFREY HADLER
3
Pada tanggal 6 November 2001, Bank Nasional Indonesia
mengeluarkan uang kertas yang menampilkan gambar Tuanku Imam
Bondjol. Gambar itu terlihat mencolok, dimana seorang pria dengan
wajah garang dan jambang panjang, mengenakan turban, dengan
jubah putih yang terurai di bahu sebelah kirinya. “Tuanku Imam
Bondjol” adalah sebuah gelar resmi yang diberikan kepada seorang
pria bernama Muhamad Sahab. Ketika kecil ia dipanggil Peto Syarif.
Lahir di daerah Minangkabau di Sumatera Barat sekitar tahun 1772 dan
wafat di luar kota Menado, Sulawesi Utara pada tahun 1854. “Tuanku”
adalah gelar yang diberikan kepada ulama tingkat tinggi di Sumatera
Barat yang merupakan kekuasaan yang diakui dalam ilmu-ilmu Islam
seperti tauhid, fikih dan tasauf. Sedangkan kata “Imam” menunjukkan
bahwa beliau adalah seorang pemimpin agama walaupun nama yang
kedua ini biasanya merujuk kepada beberapa karakteristik individual
dari orang orang yang dianggap alim. Paling tidak dari lima puluh
Tuanku yang merupakan generasi berikut dari Tuanku Imam Bondjol,
kita menemukan Tuanku Bujang, Tuanku Kecil, Tuanku Gemuk, Tuanku
Hitam, Tuanku Tua dan lain sebagainya (Sjafnir 1988). Kata “Bondjol”
merupakan ejaan lama dari kota Bondjol, kota dimana Tuanku Imam
Bondjol membangun bentengnya dan juga tempat dimana pada tahun
1833 hingga tahun 1837 beliau memimpin perang melawan
pencaplokan Belanda atas Dataran Tinggi Minangkabau. Pada makalah
ini, saya mengikuti konvensi Bahasa Indonesia dan penggunaan ejaan
lama daro kata Bondjol untuk merujuk kepada beliau dan kepada kota
kecil tersebut.
4
digambarkan sebagai perang jihad pertama Muslim melawan Muslim di
Asia Tenggara. Sejak tahun 2002, para cendekiawan telah secara
konsisten menelusuri jejak sejarah kekerasan berbau Islam di Asia
Tenggara kembali pada perang ini dan kepada Tuanku Imam. Michaell
Laffan menunjukkan bahwa gerakan Padri sebagai contoh yang “paling
mencolok” dari apa yang ia sebut sebagai gerakan aktivis Islam,
kendati ia ragu apakah gerakan ini dapat dianggap sebagai gerakan
Wahabi (Laffan 2003, 399-400). Para cendekiawan yang lainnya tidak
terlalu mempermasalahkan akan Perang Padri tersebut. Pada bulan
September 2004, Merle Ricklefs memberikan kuliah tentang Islam dan
politik di Indonesia yang membuka dengan sebuah rujukan kepada
perayaan dua ratus tahun Perang Padri sebagai perayaan ke 200 tahun
reformis berdarah dan kekerasan Islam di Indonesia. Dan pada tahun
2005, Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta, memberikan perkuliahan
tentang militan Islam, yang mana ia sebutkan:
5
gerakan Padri gagal mendapat dukungan dari
mayoritas orang Islam dan hasilnya gerakan ini
merupakan satu-satunya hal ikhwal dari
radikalisme Muslim di seluruh Asia Tenggara.
6
1950). Imam Bondjol kini merupakan sebuah nama jalan yang lazim di
beberapa kota di Indonesia. Universitas Islam Negeri di Sumatera Barat
dinamai Imam Bondjol. Dan pada bulan November 1973, Tuanku Imam
Bondjol secara resmi dijadikan sebagai pahlawan nasional, satu dari
sedikit yang hidup pada masa ketika konsep nasionalisme Indonesia
muncul.
7
Dihoeloe menggunakan memoir ini dan mewancarai kaum tua untuk
menerbitkan pertama kalinya ringkasan memoir ini dalam bahasa
Melayu. Versi Dihoeloe yang kemudian menjadi sumber kisah tentang
Tuanku Imam Bondjol pada masa-masa berikutnya. Pada tahun 1979,
ahli sejarah Sjafrir Aboe Nain membenahi dan menulis kembali versi
asli dari memoir tersebut, dan menggunakannya dalam tulisannya yang
berjudul “Intellectual History of Islam in Minangkabau”, 1784-1832.
Transliterasi Sjafrir dari tulisan Naskah Tuanku Imam Bondjol, yang
saat itu dianggap sebagai sebuah komponen tambo (sejarah
tradisional) dari Naali Sutan Caniago, anak Tuanku Imam Bondjol,
tersedia hanya dalam 280 lembar kopinya saja. Hanya pada tahun
2004 transliterasi tersebut secara resmi diterbitkan oleh Pusat Studi
Islam dan Minangkabau di Padang.
8
Padri. Hal in telah disintesiskan dalam monograph Christine Dobbin,
yang berjudul Islamic Revitalization in a Changing Peasan Economy:
Central Sumatera, 1784-1847 (1983). Penelitian Dobbin memang luar
biasa dan bukunya dipuji sebagai kajian yang paling lengkap tentang
jihad (Keddie 1994, 472). Perhatian saya terhadap budaya
Minangkabau muncul dari kajian saya sendiri tentang interaksi antara
Islam, budaya matrilineal; dan kolonialisme. (Hadler 2008).
3. Akan tetapi, sosok Tuanku Imam Bondjol tetap menjadi tokoh yang
teguh dalam perlawanan dan otonomi lokal masyarakat
Minangkabau. Menjelang akhir karir militernya, Tuanku Imam
Bondjol menjauhkan dirinya dari aliran Wahabi dan kekerasan antar
sesama anggota, kemudian merubah perang saudara menjadi
perang melawan agresi Belanda. Hidup Tuanku Imam Bondjol dapat
dibaca sebagai sebuah penolakan protonasionalis dari perpecahan
9
agama demi kepentingan kesatuan anti penjajahan. Dari tahun 1930
hingga tahun 1998 (denga jeda dari tahun 1950 sampai tahun
1957), Indonesia mengalami sejumlah rezim represive yang
mengawasi dengan ketat wacana politik dan secara efektif
mengkontrol penulisan sejarah. Tuanku Imam Bondjol muncul pada
tahun 1930an sebagai sebuah tokoh kunci yang bersejarah dalam
fiksi popular Sumatera. Fiksionasisi dari sejarah tidak hanya
mendapat pengawasan ketat tersebut tapi juga memancing debat
keras hhingga tahun 1960an, ketika penerbitan dari : “Tuanku Rao:
Hambali Islamic Teror in the Batak Lands” (1816-1833) memaksa
pemikiran ulang kembali akan kisah mengenai Perang Padri dan
kekerasan Tuanku Imam Bondjol.
Tinjauan
10
patrilineal dan patrilokal, sementara masyarakat Minangkabau terikat
erat dengan rumah rumah adat yang besar yang diwariskan dari
generasi wanita ke generasi yang lainnya, yang ditentukan oleh leluhur
wanita.
11
Minangkabau pada umumnya dianggap sebagai salah satu kelompok
etnis yang religius (Walapun standard-standard untuk mengukur tingkat
religius dan kemampuan aplikasinya pada unit-unit masyarakatnya
diluar individual sulit untuk ditentukan).
12
Syekh Jalaluddin mengingat cerita-cerita ayahnya mengenai
periode sebelum perang saudara pada tahun 1780 dan perubahan-
perubahan keagamaan yang tengah terjadi di minangkabau (Kratz dan
Amir 2002). Jalaluddin menggambarkan situasi-situasi keagamaan di
Minangkabau pada akhir abad kedelapan belas ketika ayahnya
merupakan seorang reformis Islam dan seorang pendidik. Pada tahun
1780, sekolah-sekolah agama yang terpusat menyebar sepanjang
daerah pegunungan. Para reformis berpindah dari sekolah yang berada
dibawah pengaruh Sufi lama di Ulakan, berjarak dekat dengan kota
pesisir Pariaman, dengan menempuh perjalanan melalui Kamang dan
Rao di daerah pegunungan, dengan singgah sebentar di koto Gadang,
dan akhirnya menetap di Batu tebal dimana pada akhirnya mereka
mendapatkan dukungan yang memadai untuk mempertahankan empat
puluh jemaah yang diperlukan untuk menjalankan shalat Jumat.
Merupakan sebuah kesalahan besar dengan menganggap bahwa
pendidikan agama pada periode pra-Padri, para penduduk Minangkabau
sebelum dijajah sepenuhnya ditempatkan dan dipusatkan pada rumah-
rumah ibadah di pedesaan. Para cendekia agama menyebarkan
pengalaman dan koneksi pada pusat-pusat keagamaan di mekah,
madinah, dan bahkan Aceh—dunia pembelajaran Islam pada dasarnya
bersifat kosmopolitan. Para reformis ini mulai menciptakan serangan
kedalam pusat kota. Dan pusat-pusat tarekat yang memegang peranan
penting, khususnya dengan guru-guru yang berkuasa, telah lama
menarik hati para pengikut.
13
agama. Mulai dari Afrika Barat melalui Asia Selatan dan masuk kedalam
dunia Melayu, akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan
belas menghadirkan reformis Muslim lokal dan pergerakan-pergerakan
pembangkitan kembali yang memiliki tujuan yang sama dan retorika
keras yang sama (Hardy 1972, 53; Jones 1994, 18-20; Ahmed 1996, 39;
Vikor 1999).
14
yang sepenuhnya dikembangkan oleh para ulama.
15
terlalu puritan, dengan menunjuk pada buku catatan yang disimpan oleh
orang-orang Bonjol yang berisi tulisan Tuanku mengenai peramal (Dawis
dan marzoeki 1951, 65--75). Sebuah teks yang didapatkan di benteng
Bonjol dan sekarang disimpan di ruang baca manuskrip perpustakaan
Universitas Leiden menunjukkan ilustrasi rumah tangga Nabi
Muhammad dan situs-situs suci di Mekah. Ini bukanlah bahan bacaan
yang tentunya disetujui ajaran Wahabi. Di Indonesia saat ini, Imam
Bondjol disamakan dengan seseorang dengan keyakinan religius
mendalam, protonasionalis dan perlawanan anti-kolonial, dan bahkan
patriot Minangkabau. Opini populer ini juga dinyatakan oleh para
cendekia seperti E. B. Kielstra (1887) dan B. Schrieke (1920), yang
menambahkan bahwa Tuanku Imam Bondjol, dan bahkan pergerakan
Padri secara umum, seharusnya tidak dianggap Wahabi. Kaum Padri
mengizinkan para peziarah (yang menjalankan haji) untuk berziarah ke
makam, tanpa berupaya untuk menetapkan suatu hierarki pada
pemerintahan Minagkabau yang terdesentralisasi secara tradisional, dan
mengizinkan para muslim untuk menghormati kelahiran Nabi
Muhammad melalui perayaan Maulid (Pada pernyataan terakhir ini,
Schrieke merujuk pada Jalaluddin, yang tentunya bukan seorang Padri;
lihat Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984, 35-36).
16
1849, xcix), dan pada sejarah Sumatera pertama yang ditulis dalam
bahasa Melayu, yang ditulis dengan suatu bias anti-padri, pengaruh
Abdul Wahab ditegaskan sebagai fakta (Moeda 1903, 55). Pada tahun
1939, salah satu penulis biografi fanatik Tuanku tanpa ragu akan
menyebut pergerakan Padri sebagai “Wahabi” (Dihoeloe 1939, 29-30).
Label “Wahabi” pada awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan,
yang mengindikasikan bahwa ideologi reformis sama sekali tidak asing
dalam konteks Melayu. Saat ini, Wahabisme Padri merupakan masalah
kebanggaan bagi para Muslim reformis Indonesia yang radikal. Tidak
mungkin mengetahui dengan sangat pasti apakah ketiga haji tersebut
secara langsung dipengaruhi oleh Wahabisme ketika tengah berada di
Mekah (Roff 1987, 37-39). Satu hal yang jelas ialah bahwa bagi para
haji yang kembali ini, budaya Minangkabau tradisional tidak dapat
diterima; matrilineal dan rumah gadang matrilokal tidak dapat
dikompromikan dengan ajaran esensial Islam. Salah seorang haji, yang
dikenal sebagai Haji Miskin, bersekutu dengan para reformis yang lebih
tidak sabar dalam lingkungan Tuanku nan Tuo yang telah mendirikan
desa-desa yang dibentengi, menumbuhkan janggut, memakai jubah dan
turban, dan berupaya menciptakan kembali budaya Arab di
pengunungan Sumatera Barat. Kombinasi dari reformis lokal dan
semacam pengaruh yang menyerupai Wahabi inilah yang kemudian
dikenal sebagai pergerakan Padri. Pada sebuah penentangan terbuka
dengan kekerasan terhadap kaum pendukung Materi, ektremis kaum
Padri, Tuanku nan Renceh, membunuh bibi dari pihak ibunya (Steijn
Parvé 1854, 271-72). Kaum Padri mendeklarasikan jihad melawan kaum
elit matrilineal, dengan membakar rumah gadang dan membunuh para
tokoh pemuka tradisional yang menjunjung tinggi adat dihadapan
perintah agama. Perang Padri ini merupakan serangkaian konflik yang
berlarut-larut, dan “negara” Padri, yang dipengaruhi oleh tradisi politik
Minangkabau yang bersifat desentralisasi dan demokratis, kekurangan
hierarki administratif yang jelas. Desentralisasi kekuasaan
17
memungkinkan semacam peperang gerilya yang tidak mendorong
pertempuran yang klimatis atau tragis. Pada tahun 1815, kaum Padri,
dengan menggunakan skenario pembicaraan damai, membantai rumah
bangsawan Pagaruyung yang berjarak dekat dengan Batu Sangkar (H.
1838, 130). Mereka berbalik melawan Tuanku nan Tuo dan Syekh
Jalaluddin, dengan menyebut mereka Rahib Tuo dan Rajo Kafir (Kratz
dan Amir 2002, 41).
18
matrilineal yang mencegah Sumatera berubah menjadi pos Wahabi
yang permanen. Memoar Tuanku Imam Bondjol mengungkap
kebohongan pada cerita ini.
Perang (Kata-kata)
19
luas yang menghubungkan desa-desa pegunungan ke pesisir barat dan
ke sungai-sungai yang mengalir dari timur ke Selat Malaka (Asnan
2002). Pasar harian yang berotasi bergantian diantara berbagai kota,
parameternya ditandai oleh jarak dimana seekor lembu yang bermuatan
penuh barang dapat pulang dan pergi pada satu malam. Pasar ini
merupakan sebuah kesempatan untuk menyebarkan berita, untuk
menceritakan cerita-cerita tradisional, dan untuk mendapatkan relasi di
luar desa. Hal ini merupakan prototipe rantau—sebuah kesempatan bagi
perjaka muda untuk meninggalkan rumah dan mendampingi ibu dan
ayah mereka mengarungi dunia yang lebih luas, meskipun masih
terbatas. Sistem pasar ini merupakan salah satu sarana utama dimana
identitas dan bahasa Minangkabau dipelihara. Dan perampokan yang
merajalela—masalah utama kaum Padri—telah mengacaukan sirkuit
tradisional ini.
20
bergabung dengan surau ayahnya sebagai guru dengan gelar Peto
Syarif.
21
lembah-lembah utama perlahan mulai mencaplok wilayah Padri. Haji
Miskin telah terbunuh (Tuanku Nan Renceh kemudian meninggal
dikarenakan penyakit), dan tempat kekuasaan Padri beralih menuju
utara, ke Bonjol. Kekuatan tuanku Imam menghasilkan keberhasilan
yang besar dalam mengislamkan Batak bagian selatan dan bahkan
mencapai tepi Danau Toba. Ia membuat kontak dengan para pemimpin
Muslim di Aceh dan berdiri tenang memimpin pergerakan penggugah
yang menyebar di seluruh bagian utara Sumatera. Sementara Belanda
muncul di pusat Minangkabau dan mulai secara langsung melawan
kekuatan Bonjol, Tuanku Imam berada dalam posisi militer yang kuat.
Kavalerinya dan pengetahuannya atas dataran dan pegunungan
tidaktertandingi, dan pasukannya terbukti mampu mengalahkan
kekuatan Belanda (Kroef 1962, 151-53; Clarence-Smith 2004, 276).
Kendali atas sawah dan tanah perkebunan, dan juga pertambangan
emas, menjamin makanan dan perbekalan para tentaranya. Namun,
pada memoarnya, tuanku merasa ragu dan merasa perlu untuk
menegaskan kembali fokus perjuangannya. Beliau merenung selama
delapan hari dan kemudian memanggil para penasehatnya untuk
pertimbangan mendalam. “Terdapat banyak hukum Quran yang telah
kita abaikan. Bagaimana menurut kita?” (Adapun hukum kitabullah
banyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?)
Para penasehatnya menegaskan, “Kita telah mengabaikan banyak
hukum Quran” (Banyak lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita) (Imam
Bondjol 2004, 39).
22
haji kembali dengan berita yang tidak diharapkan: Mereka melaporkan
bahwa di Mekah, kaum Wahabi telah jatuh dan hukum-hukum yang
dipelajari oleh Haji Miskin tidaklah benar. Didalam teks naskah, Tuanku
Imam Bondjol sekarang membuat perubahan naratif yang luar biasa.
23
hanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dankembali
hanyolai kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan
sekalian sudah tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi
sembahyang maka beliau Tuanku Imam memulangkan hanyolai
masa itu dan sekalian hakim. “Kepada sekalian basa dan
penghulu dengan segala raja-raja dalam nagari ini. Dan jikalau
ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh
basa dan penghulu saya hendak tinggal dituahnya hanyolai dan
tidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa dan
penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkan
saya buruk dan baik nagari ini”
24
“Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkan
Tuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami
akan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak dan
sempitnya pada kami melainkan tempat mengadu juga dan
pemelihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah permintaan
sekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dan
kemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan
jikalau ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu.
Dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan
berempat. Maka masyurlah tiap-tiap nagari dan lukah dan nagari
rao Tambusai lalu pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar
sampai sekarang kini, lainnya terpakai juga pada tiap-tiap luhak
dan nagari. (Imam Bonjol 2004, 53-55)
Ini merupakan teks yang rumit dan yang bahasanya menyimpang dari
naratif lain yang langsung tanpa basa basi dari naskah Tuanku Imam
Bonjol. Tuanku menulis memoarnya selama berada dalam pengasingan
di ambon dan Manado (lihat gambar 2). Beliau memikirkan pembaca
ganda yaitu pemerintah kolonial Belanda dan generasi Minangkabau,
dengan mengetahui bahwa pihak militer Belanda akan membaca
memoar itu dan anaknya akan membawa memoar tersebut ke Sumatera
Barat. Rapat yang digambarkan di sini merupakan saat transformasi
dalam sejarah Minangkabau. Perang Padri sebagai perang reformasi
Islam ditinggalkan. Tuanku menyerah dalam perjuangannya
memurnikan Islam di Minangkabau dan segera meninggalkan rumahnya
dan mesjidnya di Bonjol. Bahasa yang digunakan beliau juga terlalu
ambigu. Beliau pada saat yang bersamaan disanjung dan dicemoooh
oleh para mantan musuhnya.
25
bahwa ajaran Wahabi tidak dapat dipercaya. Dalam sebuah tindakan
dengan keberanian moral yang besar, Tuanku kepada publik
mengumumkan ideologinya, menciptakan perbaikan, dan meminta maaf
atas penderitaan yang telah disebabkan perang ini. Dalam memoarnya,
para musuh Imam Bondjol merespon secara kaku, memandang beliau
sebagai seorang pelindung. Namun masih terdapat beberapa
ambiguitas dan bahkan kemarahan dalam bahasa yang digunakan.
Mereka menuntut Tuanku Imam menggantikan para tetua mereka,
orang-orang cenderung terbunuh oleh kaum Padri dalam peperangan
mereka melawanan kekuasaan tradisional. Dan tidak jelas apakah
Tuanku Imam menunjuk pengganti atau secara langsung mengambil
nyawa orang-orang yang ia bunuh. Dalam harapannya akan kedamaian,
Tuanku menggunakan istilah dituahnya. Ini merupakan bentuk
pemberkahan dari pihak bangsawan yang umumnya dilakukan oleh
jenis-jenis bangsawan yang ingin dihilangkan oleh kaum Padri. Tuanku
Imam Bonjol mengembalikan status quo sebelum perang saudara,
dengan membatasi kekuasaan agama pada urusan syariah dan
mengizinkan para pemimpin adat untuk membahas maslaah-masalah
sosial. Beliau menyatankan bahwa “adat basandi syarat”—syariah akan
bersifat fundamental, bahkan pada pertanyaan-pertanyaan adat sosial.
Bahkan pegawai pemerintah Belanda melaporkan pada tahun 1837
penerimaan yang meluas atas formula ini, “Adat barsan di Sarak dan
Sarak barisan di adat,” yang menegaskan bahwa baik hukum Islam dan
adat lokal tersusun secara mutual dan interdependen (Francis 1839,
113-14). Imam Bondjol mengklaim semacam kemenangan dalam
akomodasinya dengan para tradisionalis. Padahal kita mengetahui
bahwa beliau telah membubarkan Padri sebagai pergerakan
kebangkitan Muslim dan bahwa beliau akan segera mundur sementara
dari perannya sebagai pemimpin.
26
kolonial Belanda lama setelah pembubaran VOC), beliau lelah hidup
dalam sebuah negara yang kepemimpinannya terbagi (Imam Bonjol
2004, 43). Segera setelah pertemuan dengan para pemimpin lokal,
beliau menghimpun keluarganya dan meninggalkan Bonjol menuju
Alahan Panjang, menyerahkan bentengnya pada tiga pemimpin adat.
Dalam hitungan hari ketiga panghulu ini setuju untuk menyerahkan
Bonjol pada Belanda dengan catatan bahwa pasukan belanda tidak
akan mengganggu benteng tersebut. Namun, tentara Belanda dan Jawa
segera mengusir penduduk Minangkabau dari Bonjol dan menempati
benteng tersebut, dengan menggunakan rumah Tuanku dan bahkan
mesjid beliau sebagai garnisun. Tuanku Imam mengetahui hal ini dan
mengadakan rapat dengan Komandan Belanda Elout. Dalam
percakapan mereka, Tuanku Imam menawarkan gencatan senjata,
dengan menjelaskan bahwa ia telah berusia enam puluh tahun dan
terlalu letih untuk bertempur. Elout menawarkan pensiun dan menunjuk
Tuanku Mudo, anak didik Tuanku Imam Bondjol, sebagai bupati Alahan
Panjang. Namun perdamaian tidak bertahan lama. Baik kaum Padri dan
tradisionalis murka pada penyalahgunaan benteng dan mesjid oleh
tentara Belanda dan Jawa. Setelah terjadi sebuah insiden penganiyaan
pekerja Minangkabau oleh Belanda dimana seorang pria tertembak,
pekerja Minangkabau tersebut (menurut cerita dalam memoar) lari
mengamuk, membunuh soerang tentara Jawa yang berkemah di dalam
mesjid dan 139 orang Eropa yang bertugas di kota tersebut. Pada 11
Januari, 1833, perang memasuki fase yang baru, yaitu perang
perlawanan bersama rakyat Minangkabau terhadap pendudukan
Belanda.
27
senegaranya. Beliau berupaya mengusir penjajah asing, dan beliau
berusaha bertahan. Memoar yang ditulis menggambarkan sebuah
kehidupan yang berganti dari rumah ke rumah, menulis daftar nama
para ibu dan anak yang terbunuh dalam pertempuran, memimpikan hari-
hari yang damai di Alahan Panjang. Tuanku Imam Bondjol bukan lagi
seorang pria yang diberkahi dengan pengabdian dari para pengikut
setianya. Memoarnya menjadi sebuah teks atas keraguan dan
kegentaran. Tuanku Imam Bondjol lelah hidup di hutan dan takut atas
kesejahteraan keluarganya. Beliau menjadi semakin bersikap
mendamaikan, dengan berpidato pada para elit tradisional dan
memastikan mereka atas posisi esensial mereka dalam masyarakat
Minangkabau, menemui pemerintah Belanda dan berupaya
memenangkan jaminan perlindungan bagi anak-anaknya. Pertempuran
tetap berlangsung sangat mengerikan, namun perlahan, Belanda
memenangkannya dan mengambil alih Bonjol, dengan mengalahkan
perlawanan Minangkabau pada tahun 1837. Residen Francis dan
pegawai pemerintah Belanda lainnya memutuskan bahwa Tuanku Imam
terlalu berbahaya untuk mengizinkannya tetap tinggal di Sumatera
Barat. Sebagaimana beliau minta, beliau diasingkan ke Jawa, kemudian
ke Ambon, dan pada akhirnya ke Manado, dimana setelah lima tahun
yang penuh dengan sakit-sakitan, “pada tahun-tahun terakhirnya, dan
sayangnya” (Imam Bonjol 2004, 190), Tuanku Imam meninggal.
28
yang sesuai. Namun kaum Padri lebih buruk.
29
membunuh orang-orang yang berani, dan membunuh orang yang
cerdik cendekiawan, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut
dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan
menikahkan perempuan yang tidak sekupu dan tidak relanya,
dan menawan orang yang berjual dia, dan bepergundi tawanan,
dan mehinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orang
tuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.
(Kratz dan Amir 2002, 49)
30
bagi para murid Ilmu Indonesia pada abad kedelapan belas
menempatkan orang-orang Melayu pada dasar kultural yang sama
sebagaimana para tetangganya yang lebih Hindu, orang-orang Jawa.
31
Kesedihannya, kegagalannya untuk menemukan kerajaan Hindu-jawa
yang dapat melegitimasi budaya Melayu, akan membuat Islam
Minangkabau dianggap kejam dalam tulisan banyak cendekiwan yang
mengikutinya menjelajahi pegunungan. Dan persinggahannya di
serambi mesjid, sebuah pengungkapan bukti “asli” asal mula Hindu,
dapat berfungsi sebagai sebuah perumpamaan bagi penggalian
syncretic yang kemudian dilakukan oleh para ahli antropologi Indonesia.
Arsip
Kita beralih pada bentuk teks khusus dari Naskah Tuanku imam
Bondjol. Teks ini terdiri atas tiga bagian berbeda. Bagian pertama
berjumlah 190 halaman merupakan memoar Tuanku Imam Imam
Bondjol sendiri, mulai dari masa mudanya sampai kematiannya di
menado, yang dibawa ke Sumatera Barat oleh putra tuanku, Sutan
Saidi, yang menemani beliau dalam pengasingan. Halaman 191-324
merupakan memoar dari putra yang lain, Naali Sutan Caniago, yang
bertempur disisi ayahnya di hutan dan yang diberikan posisi dalam
pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari persyaratan
penyerahan diri Tuanku. Bagian ketiga, halaman 325-332, berisi menit-
menit (proses verbal) dua pertemuan yang diadakan di pegunungan
Minangkabau pada tahun 1865 dan 1875. Banyak kumpulan manuskrip
Melayu berisi bermacam-macam teks dan yang tidak berkaitan
digabungkan dalam satu volume. Mereka tidak dibaca secara
intertekstual. Dalam kasus Naskah Tuanku Imam Bondjol, tepatnya
keterkaitan teks yang memberikan potensi untuk cerita Tuanku.
32
sebagai teks yang berbeda dan terpisah. Dalam sebuah artikel
mengenai “Pembentukkan Kode hukum Kami di Pesisir Pantai Barat
Menurut Notasi dalam sebuah Manuskrip Melayu,” ia mencatat bahwa
tiga penulis yang berbeda telah menulis bagian-bagian individual (1914,
251). Van Ronkel meringkas bagian ketiga dari Naskah, yang
menggambarkan perhimpunan besar para ahli hukum Belanda, para
pemimpin residensi pemerintahan, dan seluruh pekerja pemerintahan
Minangkabau utama yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia
dengan tepat memandang pertemuan-pertemuan ini sebagai titik
perubahan dalam penggabungan Sumatera Barat kedalam Hindia Timur
Belanda. Dan untuk menghargai signifikansi pertemuan-pertemuan ini,
kita perlu mengulas jenis-jenis campur tangan pemerintah kolonial
Belanda yang diberikan pada masyarakat di wilayah Minangkabau di
antara tahun 1820 dan 1875.
33
pihak belanda bermaksud menyisipkan kaum elit anti-Islam di
Minangkabau (Hasselt 1882, 61). Ini merupakan periode ketika
Minangkabau secara sarkastis mulai menyebut diri mereka sendiri “daun
kopi Melayu,” menunjuk pada serpihan semak yang dipanen untuk
mereka jadikan minuman kopi encer (Zed 1983). Ini merupakan periode
yang paling sulit.
34
berhasil melalui tantangan-tantangan ini, dan pemikat-pemikat masa
jabatan mereka sampai sekarang telah membentuk topeng kekuasaan
di Minangkabau.
35
pelanggaran yang dilakukan, dan mereka memberikan kriteria dari
prioritas Belanda.
36
Belanda, perbedaan yang tidak dapat direkonsiliasi membuat sistem
peradilan kolonial menjadi pilihan terakhir sebagai penengah. Sistem
legal baru tentunya berhasil berkat para pengacara pribumi, jaksa, dan
jurusita, jaksa penuntut, dan pembantu kepala sita. Namun orang
Minangkabau kebanyakan juga mulai mempelajari bahasa baru hukum
barat. Buku-buku diterbitkan menjelaskan regulasi-regulasi baru, banyak
sampel “surat-surat resmi” tambahan dan petisi-petisi (Kinderen 1882;
Pamoentjak 1895; Blommenstein 1903). Pihak Belanda berupaya
mengubah Minangkabau menjadi sebuah budaya hukum dan cukup
berhasil—meskipun upaya-upaya untuk mengatur pernikahan ditentang
ketika dimungkinkan. Pertikaian atas tanah telah mengikat properti
selama beberapa generasi, tidak valid bagi siapapun (Colombijn 1994).
Dibawah kekuasaan Belanda, Minangkabau hidup dengan hukum kolnial
dan diawasi oleh CONSTALBURY.
37
dan penghulu yang tidak diketahui jumlahnya. Pada pertemuan di tahun
1865, Der Kinderen mendukung pembentukan birokrasi regional dengan
penguasa Belanda yang mengawasi daerah Minangkabau yang
bertugas mengawasi peraturan. Undang-undang tersebut merupakan
kombinasi dari adat local dan hukum Indies dari pemerintah kolonial,
menggemakan keseimbangan antara adat dan syariah yang merupakan
bagian dari pengesahan Tuanku Imam. Satu decade berikutnya, Der
Kinderen mengumpulkan kembali orang-orang dalam sebuah pertemuan
dan mengevaluasi kesuksesan implementasi birokrasi legal di Sumatera
Barat. Hanya pada poin ini, setelah sepuluh tahun propaganda para
pendukung pengesahan, dia mengumumkan penghilangan perbudakan
secara resmi. Seorang pembaca Naskah akan melihat sebuah nama
yang cukup familiar diantara daftar nama Tuanku Laras- anak lelaki
Tuanku Imam Bonjol, Sutan Caniago, yang mewakili Alahan Panjang
pada saat itu.
38
mereka dapat memilih Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh atau Tuanku
Rao. JIka mereka ingin mengingat sosok reformis yang moderat tanpa
ada kekerasan, maka Tuanku Nan Tuo atau Syekh Jalaludin adalah
sosok yang tepat. Tapi Tuanku Imam Bonjol dikenal – seseorang yang
secara militer telah gagal, yang secara ideologis kecewa, dan bergeser
dari aksi kekerasan ke tulisan yang bersifat perdamaian- kemudian
hanya dihadiahi pengasingan dan nestapa. Bagian kedua dari naskah
sama membingungkannya.
Pada tahun 1865, pada saat dua legal symposium yang pertama,
Naali Sutan Caniago tertangkap sebagai birokrat yang kecewa di dalam
administrasi kolonial. Janjinya sebagai Tuanku Laras sepertinya
merupakan hasil Belanda yang menguasai 30 tahun janji pada ayahnya
(Imam Bonjol 2004, 234). Cerita tentang Sutan Caniago bukan hanya
perang saja, tapi seperti ayahnya juga, yaitu kekecewaan dan
penghinaan. Selama beberapa tahun pengabdian, Sutan Caniago
berbeda pendapat dengan sesama pejabat Minangkabau da penguasa
Belanda. Cerita tersebut menyimpulkan sebuah dialog panjang antara
Sutan Caniago dan pemerintah Belanda, termasuk Tuan Besar
(penduduknya). Selama masa keterpurukan, Sutan Caniago protes dan
mengklaim bahwa dia tidak mendakwa atau bahkan berbicara melainkan
hanya berpetualang mengawasi para buruh (Imam Bonjol, 2004, 257).
Dia telah menjadi lawan yang menentang Tuanku yang tradisional.
Tuanku yang religius dilokalisasi dan dikunjungi oleh para pelajar yang
mencari ilmu pengetahuan. Dia akan berbicara dan tidak bergerak:
suaranya merupakan daerah kekuasaannya. Sutan Caniago tidak
banyak bersuara, bergerak tanpa tujuan, sejenis petualang yang lemah
yang merupakan figure tragis dalam sastra Minangkabau (Hadler 1998,
141). Dia mengkomplain orang-orang yang mandago mandagi (sebuah
istilah kuno yang menyatakan kedurhakaan). Tuan Besar memintanya
untuk menjelaskan istilah tersebut dan Sutan Caniago merespon bahwa
mandago artinya ‘membuat kekacauan di sebuah negeri yang dapat
39
mengacaukan kehidupan manusia…. Dan mandagi adalah membuat
perselisihan yang dapat mempengaruhi aliran uang’. Pada poin ini,
seorang datuk yang simpati, pemimpin adat berusaha untuk
memperlihatkan rasa hormatnya pada Sutan Caniago dan ditegur oleh
jaksa, ahli hukum di Minangkabau yang dipengaruhi Belanda.
40
bagian kedua Naskah Tuanku Imam Bonjol. Suaranya didengar. Dan
sementara kita menyangka bahwa Sutan Caniago tidak akan pernah
dihilangkan atau berhenti dari posisinya sebagai Tuan Laras setelah
konfrontasi yang terjadi pada tahun 1868, kita tahu dari bagian ketiga
dari Naskah bahwa dia menghadiri pertemuan-pertemuan pada tahun
1865 dan 1875. Naskah Tuanku Imam Bonjol adalah sejarah mengenai
Perang Padri namun juga merupakan sebuah alegori transisi dari
budaya prakolonial dan cikal bakal gerakan radikalisme kaum Islam
militant bagi Negara dan hukum kolonial Belanda. Hal ini bukan hanya
tentang kontrol pemerintah Belanda namun merupakan sebuah jalan
kembali pada sebuah era raja yang lemah dan dewan adapt kosultatif
yang dikenal sebagai sebuah periode yang stabil secara politis sebelum
reformasi Islam pada abad 18 sesudahnya. Naskah Tuanku Imam Bonjol
menggoda idiom deliberatif adapt Minangkabau, kepada demokrasi
tradisional Padang Panjang dan sebuah visi tradisi politik lokal yang
merupakan orang-orang egaliter dan anti kekerasan. Setelah kekacauan
Perang Padri, pemerintah kolonial Belanda telah membangkitkan
kekuatan diskursif yang disebut Jane Drakard (1999) sebagai ‘Kerajaan
Kata’ pada abad 17, dimana kekuatan teks melebihi kekuatan militer dan
Minangkabau didefinisikan bukan oleh kekuatan militer namun oleh
keberanian retoris di pengadilan.
PRAJURIT
41
terjun ala Swis. Buku-buku petunjuk mempromosikan keindahan alam
daerah tersebut namun juga menggambarkan daerah perang Padri,
tempat peperangan yang ditandai oleh beberapa monument besar
(Westeneuk 1913: lihat gambar 3). Bahder Djohan, seorang cendikiawan
Minangkabau yang merupakan doctor di Batavia, menulis monument-
monumen ini dalam jurnal jong Sumatra. Pengembara yang pemikir, dia
katakan, akan melihat menara-menara yang didedikasikan bagi Michiels
dan Raaff dan akan penasaran mengenai peristiwa-peristiwa yang
mereka peringati.
Namun jika Djohan begitu kritis pada Belanda, dia sama kecewanya
dengan kaum Padri:
42
kejayaannya, sebuah kejayaan yang masih menyilaukan hati
orang-orang Sumatera bagian tengah, meskipun pada saat itu
bintang Minangkabau tenggelam ke benua sejarah dan sampai
sekarang dikenang sebagai surga yang hilang.
43
persaudaraan di antara penduduk Minangkabau telah pergi untuk
menyepuh dendam di antar sanak saudara dan orang-orang
sekaum sekeluarga?
44
sementara turbannya memperlihatkan sebuah wajah yang tidak
lagi bersinar, dua bola mata yang memandang jauh sejauh
mereka melihat seolah-olah sedang mencari keberuntungan yang
tidak akan ditemukan kembali.
45
komposisinya terdiri dari dari sebuah mushala kecil. Dua dekade
intervensi sosial dan birokratik telah merubah nagari, dan pada tahun
1914 peraturan nagari mengatur ulang kekuasaan lokal secara resmi.
Ketua yang berasal dari orang Belanda yang telah disepakati, penghulu,
mengatur pajak melalui sebuah dewan nagar yang baru. Persetujuan
yang meredakan kepada tradisi dan restorasi tidak membodohi siapapun
(Oki 1977, 82-91). Secara kurang dilihat, perselisihan dogmatis mulai
memecah belah keluarga. Para paman, keponakan, bapak dan anak
dipola untuk saling melawan satu sama lainnya dalam keetiaan mereka
pada kelompok-kelompok ideologis tertentu- tradisionalis, reformis, dan
seterusnya. Dengan dua kekuasaan keagamaan yang terbagi dan
pemimpin tradisional yang jahat, pilar-pilar suci masyarakat
Minangkabau mulai pudar. Ketidakjelasan sosial ini membuat figure
Tuanku Imam Bonjol yang hidupnya merupakan sebuah cerita tentang
kesalahan langkah, kekalahan, dan kekecewaan, menarik dan familiar.
46
tahun 1930 para ulama bersatu dalam sebuah oposisi yang sukses
melawan colonial belanda yang tergabung dalam “Ordinasi Guru”. Hal ini
merupakan revisi dari hukum yang telah diterapkan di Pulau Jawa dan
Madura sejak tahun 1905, mengisyaratkan calon-calon guru agama
Islam untuk mendapatkan izin dari seorang kepala distrik sebelum
berbicara di hadapan umum (Abdullah 1971, 110-13). Nyatanya, gejolak
aktivitas politik terakhir di Minangkabau pada awal tahun ke 1930an.
Beberapa partai meluncurkan kampanye demonstrasi agresif; dalam
bentuk kesadaran para nasionalis, para tokoh politik lokal
mempromosikan orang-orang Minangkabau, cap Minangkabau. Tapi
pada tahun 1933, larangan bepergian di sekitar Minangkabau mulai
ditekankan secara tegas. Sebuah jaringan informan polisi membentuk
kecurigaan dan meruntuhkan moral dalam pergerakan. Dan mengikuti
ketentuan suksesnya, menaikan adat local sebagai element di
masyarakat Minangkabau (Abdullah 1971, 176-205; Kahin 1984). Pada
bulan Agustus 1933, pemerintah colonial Belanda menangkap banyak
activis Minangkabau, memadamkan api semangat mereka dalam
melakukan pergerakan di Minangkabau. Sebagaimana Taufik Abdullah
menulis:
47
Minangkabau. Mengikuti pemberontakan tersebut, pergerakan
menghubungkan camp pengungsian Boven Digul dan sumpah para
pemuda yang disebut “Sumpah Pemuda” yang kemudian menjadi
penentuan masa depan Indonesia. Sekolah dan pergerakan telah
mengalami transformasi, menyiapkan mereka ke arah nasionalisme.
Dalam kurun tahun 1920an, sekolah Islam dan Thawalib di Padang
Panjang dan Bukit TInggi telah bisa membiayai dirinya sendiri,
mendapatkan uang melalui penjualan buku yang dterbitkan oleh
penerbit Syekh Muhammad Djamil Djambek, Tsamaratul Ichwan dan
jaringan penjual batik Minangkabau serta distribusinya ke seluruh
daerah Indonesia (Noer 1973, 35-37; Daya 1995, 245-300). Soetan
Mangkoeto, lulusan dari sekolah para reformis ini, berjanji untuk
memberikan donasi sebanyak 10 persen keuntungan bukunya untuk
membantu membangun sekolah di Padang Panjang. Buku ini, Obor
Para Pendakwah Islam Indonesia merupakan sebuah serangan pada
Ordinansi Guru. Di akhir tahun 1920an, kita dapat membaca dominasi
‘Indonesia’ pada sumpah pemuda dan nasionalisme pada tulisan-tulisan
lokal:
48
keretakan aktivis sebelumnya mengubah energi mereka ke publikasi
yang tidak akan membuat Kantor Departemen Dalam Negeri gerah.
Industri penerbitan ini terpusat di Sumatera Barat, di Padang dan Bukit
Tinggi, dan di Medan di Sumatera Utara. Mayoritas penulisnya adalah
orang Minangkabau atau Mandailing. (masyarakat Batak yang
merupakan target kampanye Tuanku Imam Bonjol di bagian utara).
Buku-buku yang diterbitkan adalah majalah-majalah berharga murah
yang dinamakan roman pitjisan, yang dicetak bagi para pelanggannya
dalam jumlah yang banyak (biasanya sekitar 3000 kopi) habis terjual.
Booklet ini menemukan jalannya ke banyak perpustakaan yang berada
di nusantara. Dibandingka dengan publikasi yang terbaru, para
pembacanya cukup luas (Oshikawa, 1990, Siegel 1997, Maier 2004).
49
Imam Bonjol meninggalkan aliran Wahabi dan berusaha untuk
merekonsili Islam dan adapt Minangkabau, yang di sini digambarkan
dalam bahasa Belanda sebagai ‘pertemuan propaganda’ (Dihoeloe
1939, 12). Bagi para penulis ini, Tuanku Imam Bonjol dianggap sebagai
tokoh nenek moyang alegoriakan kalahnya pertahanan anti colonial,
seseorang yang nasibnya berteman dengan pengasingan dan penjara di
Boven Digoel.
50
dengan ketentraman yang relative (Feith dan Lev 1969; Kahin dan Kahin
1995).
51
konversi Batak Mandailing kepada Islam. Parlindungan, seorang muslim
Mandailing merekapitulasi kekerasan Tuanku Imam Bonjol dari
perspektif target jihadnya di bagian utara. Jatuhnya soekarno dan
kehancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) demi saudara-saudara dari
Minangkabau untuk menjawab tantangan Parlindungan. ‘Sejarah
Mingangkabau’ yang pertama diterbitkan pada tahun 1970 dan terdiri
dari ucapan selamat pada diri sendiri oleh Parlindungan (Mansoer et.al,
1970). Dengan tanggal-tanggal yang dikuatkan dan sebuah bibliographi
yang substansial, para penulisnya menguraikan sejarah etno mitos
MInangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat. Tokoh intelek Islam
yang populis, Hamka, menantang Parlindungan dalm bukunya pada
tahun 1974 “Tuanku Rao” Antara Fakta dan Fantasi (Hamka 1974).
Hamka telah membaca buku tersebut selama dia di penjara pada masa
demokrasi terpimpin Soekarno, dan pada awal tahun 1970an terlibat
dalam sebuah polemik dengan Parlindungan di dalam sebuah Koran
haluan (Padang). Ini adalah debat yang pada akhirnya memperbolehkan
ahli sejarah Minangkabau untuk melepaskan keabsahan roman pitjisan
dan mulai memisahkan sejarah dari fiksi.
52
pada pemerintah pusat di Jakarta yang meminta bahwa produksi
tersebut dibatalkan karena kekhawatiran adanya kegelisahan dan
kerusuhan. Pertunjukan tersebut diblokir dan drama tersebut dilarang
(Sahrul, 2005). Pemerintahan baru Soeharto merupakan gema bagi
polisi Belanda pada tahun 1930an ditemukan sebagai catatan sejarah
(Anderson 1983). Mitologi Soeharto sendiri merupakan untung
kebohongan sejarah yang tidak mampu memiliki penampilan provinsi
pada ancamannya.
53
Sekarang ada sebuah penerbitan renaisans di Sumatera Barat
dan sebuah dorongan perdebatan sejarah geografis.Pada tahun 2004,
Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan di Padang dan drama karya
Wisran Hadi difilmkan di televisi. Kedua teks tersebut menyatakan
peranan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Pada tahun
2001 , interview dengan perwakilan dari International Crisi Group , Salafi
Muslin di Jakarta diadakan untuk mengenang sejarah perang Padri,
mengenali Haji Miskin dan Imam Bonjol sebagai pelopor aliran Salaf di
Indonesia. Akan sering dilihat bahwa setelah periode Soeharto banyak
orang akan membaca sejarah Tuanku Imam Bonjol. Namun jelas bahwa
catatan yang dia ambil dari tokoh nasionalis convensional menyatakan
keraguannya.
The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228
The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 971–1010.
© 2008 The Association for Asian Studies, Inc.
doi:10.1017/S0021911808001228
55
A Historiography of Violence and the Secular State in
Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History
JEFFREY HADLER
56
a man with a stern face and long beard, wearing a turban, with a white
robe thrown back over his left shoulder (see figure 1). “Tuanku Imam
Bondjol” was a formal title given to this man, named Muhamad Sahab
and as a young adult called Peto Syarif, who was born in the
Minangkabau region of West Sumatra around 1772 and died outside the
city of Manado in North Sulawesi in 1854.2 “Tuanku” was a title given to
high-ranking ulama in West Sumatra who were recognized authorities in
the Islamic sciences of tauhid, fikh, and tasauuf. “Imam” signifies that he
was a religious leader, although this second name would usually refer to
some individual characteristic of the alim. Of the (at least) fifty Tuanku
who were contemporaries of Tuanku Imam Bondjol, we find Bachelor
Tuanku, Little Tuanku, Fat Tuanku, Black Tuanku, Old Tuanku, and so
forth (Sjafnir 1988). “Bondjol” is the old spelling of the town of Bonjol,
where the Tuanku Imam established his fortress and from 1833 to 1837
led the fight against Dutch annexation of the Minangkabau highlands. In
3
this paper, I follow Indonesian convention and use the old spelling of
Bondjol for the man and Bonjol for the village.
2 His biographies usually claim that he died in 1864 (Dihoeloe 1939, 8–9).
The revision of the year of his death to 1854 has been argued for by
Sjafnir Aboe Nain (1988, 139 n. 69) and is given as fact by both E. B.
Kielstra (1890, 177) and Dja Endar Moeda (1903, 47).
3 Jeffrey Hadler (hadler@berkeley.edu) is Assistant Professor in the
Department of South and Southeast Asian Studies at the University of
California, Berkeley.
4 On the war as jihad, see Azyumardi Azra (2004, 146–47). In the Malay
world, a jihad was more often referred to as a “holy war,” a Perang
Sabili’llah (Kratz and Amir 2002, transliteration 18, 20). The name “Padri”
has been the cause of much speculation. It is most likely that “Padri” was
a modification of the word “Padre” and referred (usually) disdainfully to
priestly zealots of all faiths (Kathirithamby-Wells 1986, 3–9).
57
striking” example of what he cautiously terms Islamic “activism,”
although he is doubtful that the movement can be considered strictly
Wahhabi (Laffan 2003, 399–400). Other scholars are less sober in their
deployment of the Padris. In September 2004, Merle Ricklefs gave a
public lecture on Islam and politics in Indonesia that opened with a
reference to the two-hundredth anniversary of the Padri War as the
bicentenary of violent and bloody Islamic reformism in Indonesia. And in
2005, Azyumardi Azra, head of the State Islamic University in Jakarta,
gave a series of public lectures on Islamic militancy in which he stated,
58
some slag in the crucible of terror. The portrait of Tuanku Imam Bondjol
is jarring to observers accustomed to the shadow of puppets and the
tintinnabulation of gong orchestras, echoing little more than modern
thug gangs such as Laskar Jihad and Front Pembela Islam.
59
creation of a collective Sukarno’s immediate inspiration for his idea of
the three heroes was perhaps not from Hatta but from a 1940 book by
the Minangkabau writer Tamar Djaja (1946). Djaja’s first three heroes are
Bondjol, Diponegoro, and Oemar, and the book features an introduction
by Muhammad Yamin himself.
I will briefly review the history of the Padri War and describe
Minangkabau society. In addition to the footnoted sources, my
understanding of the war is based first on the memoir of Tuanku Imam
Bondjol himself. This manuscript, one of the most important sources for
the study of nineteenth-century Indonesia, has itself had an eventful
history. A translated gloss of this memoir, dated 1839, appeared initially
as appendix B in the Dutch resident’s account of the war.8 In the 1910s,
a full Minangkabau-language Arabic script version was circulating in
West Sumatra and was described by Ph. van Ronkel in an article in the
Indische Gids (1915). In 1939 L. Dt. R. Dihoeloe used the memoir and
interviews with elders to publish the first Malay-language summary of the
60
text. Dihoeloe’s version, uncited and often indirectly, became the source
for most subsequent Indonesian accounts of Tuanku Imam Bondjol’s life.
In 1979 the historian Sjafnir Aboe Nain recuperated and transliterated
the original full memoir, using it in his Intellectual History of Islam in
Minangkabau, 1784–1832.9 Sjafnir’s transliteration of the text of the
Naskah Tuanku Imam Bondjol, then considered a component of the
tambo (traditional history) of Naali Sutan Caniago, the Tuanku’s son, had
been available only as a 280-page photocopy of a degraded typescript
(Caniago 1979a). Only in 2004 was the transliteration formally published
by the Center for the Study of Islam and Minangkabau in Padang (Imam
Bonjol 2004).10 The other major Minangkabau source for the history of
the Padri War is the autobiographical note penned by the moderate alim
Syekh Jalaluddin, written at the request the colonial administration in
the late 1820s (Djilâl-Eddîn and De Hollander 1857; Kratz and Amir
2002). Jalaluddin was persecuted by the Padri, and his text provides a
history of Islamic reform in the late eighteenth century as well as a
critique of the Padri from within the reformist movement. Along with this
“clarification” by Syekh Jalaluddin, Imam Bondjol’s memoir stands as
9 The manuscript was borrowed from Ali Usman, the Tuanku’s descendant
and guardian of the family heirlooms in the village of Bonjol, in May 1966
for study and exhibition at the new Adityawarman Museum in Padang. It
was never returned. The manuscript apparently changed hands numerous
times, appearing at the opening of the Imam Bonjol Museum in the late
1970s, exhibitions in Jakarta and Padang, and making a final appearance
at the first Istiqlal Festival in Jakarta in 1991 (interview with Ali Usman
Datuak Buruak, July 2006; see also Haluan 1983). After this final
exhibition, the Naskah was allegedly returned to West Sumatra and has
not been seen since. Rusydi Ramli, a professor at the State Institute of
Islamic Studies in Padang, who was a member of the Istiqlal planning
committee, photocopied the manuscript, and I was able to obtain from
him a degraded copy of what is possibly the last remaining example of
the Naskah Tuanku Imam Bondjol, now deposited in the library at the
University of California, Berkeley. Efforts to locate the original manuscript
are recounted in Suryadi (2006).
10 The typescript, which differs slightly from the 2004 publication, can be
found at the Adityawarman Museum in Padang and the Imam Bonjol
Museum in Bonjol. I have checked the 2004 transliteration against the
photocopy of the original Arabic-script manuscript. Page numbers refer to
the manuscript; this pagination is also reproduced in the margins of the
published transliteration.
61
what might be the first modern Malay autobiography.11 It is a text that
exhibits a clear sense of personal interiority and an emotional resonance
that comes perhaps from being written simultaneously for a Dutch
contemporary audience and for Minangkabau posterity, from the
perspective of a villager, not a courtier, and a Muslim reformist
concerned especially with family structure and everyday life. The scores
of essays and books written by Dutch colonial administrators and
soldiers provide an additional source of information about the war. These
have been synthesized in Christine Dobbin’s monograph, Islamic
Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–
1847 (1983). Dobbin’s research is impeccable, and the book has been
praised as the most thorough study of a jihad (Keddie 1994, 472). My
gloss of Minangkabau culture is drawn from my own study of the
historical interactions of Islam, matrifocal customs, and colonialism
(Hadler 2008).
62
3. Nevertheless, the figure of Tuanku Imam Bondjol remained a
potent trope of resistance and local autonomy for the
Minangkabau people. Toward the end of his military career,
Tuanku Imam Bondjol distanced himself from Wahhabism and
internecine violence, turning a civil war into a war against Dutch
aggression. The Tuanku Imam’s life can be read as a
protonationalist rejection of religious divisiveness for the sake of
anticolonial unity. From the 1930s through 1998 (with a break
from 1950 to 1957), Indonesia experienced a series of repressive
regimes that censored political discourse and effectively
controlled the production of history. Tuanku Imam Bondjol
appears in the 1930s as a key novelized historical figure in
Sumatran popular fiction. The fictionalization of history
circumvented censorship but also stifled rigorous
historiographical debate until the 1960s, when the publication of
the eccentric Tuanku Rao: Hambali Islamic Terror in the Batak
Lands (1816–1833) forced a reconsideration of the Padri War
and Tuanku Imam Bondjol’s violence.
REVIEW
63
Dutch word matriarchaat—and claims that in its gender egalitarianism,
the society is a true matriarchy. Certainly the seeming contradiction of
Islam and matriliny has shaped the past two hundred years of
Minangkabau history. The society has struggled with a conflict: Islamic
inheritance, child custody, and residence laws are patrilineal and
patrilocal, yet the Minangkabau are affiliated with large clan houses that
are passed down from one generation of women to the next, defined by
a common female ancestor.
64
their conversion to Islam and even their foundation to the appearance of
Minangkabau travelers. And despite their matrilineal social structure, the
Minangkabau are universally recognized as one of the more pious of
Indonesia’s ethnic groups (though the standards for measurement of
piety, and its applicability to units of society beyond the individual, are
difficult to establish).
65
and the religious changes already under way in Minangkabau (Kratz and
Amir
the highlands. The reformists moved from the old Sufi-influenced school
at
66
even Aceh—the world of Islamic learning was inherently cosmopolitan.
Reformists
Through the early 1700s, Islam and the ulama had been primarily
concerned
with states and with kingship. These new reformist Islamic movements
were
issues of family life, sex, and appropriate conduct. From West Africa
through
South Asia and into the Malay world, the late eighteenth and early
nineteenth
common objectives and similar violent rhetoric (Hardy 1972, 53; Jones
1994,
But while the Padris had many contemporaries, they were more
67
profoundly
to the family and to daily life in the late eighteenth and nineteenth
centuries
around concerns that the colonial state did not share (although the Dutch
and,
to a lesser extent, the British did attempt to control the private lives of
their subjects).
Muslims were kept out of politics—in the Dutch East Indies, hajji were
his homeland (Huda 2003). His students and readers became the core
of the
68
early twentieth-century reformist movement. When in the 1910s the
colonial
expected a long tutelary process. For the ulama, no learning curve was
needed
for civil behavior, and to the horror of the government, they plunged into
the
gambling and drinking, and a cessation of the brigandry and slaving that
came
with increased trade. That trade also brought new wealth, and more
people
had the means to undertake the hajj pilgrimage. The Hijaz and Mecca
were
69
the city
and demand adherence to a way of life that follows the Qur’an and the
2002, 20).
returned from Mecca, where, according to every written history, they had
70
authors have claimed that he was never so puritanical, pointing to
notebooks preserved
(Dawis and Marzoeki 1951, 65–75). A text captured at the Bonjol fort and
now
polity, and allowed Muslims to honor the birth of the Prophet Muhammad
through the celebration of mawlid (on this final point, Schrieke refers to
Jalaluddin,
71
who was certainly not a Padri; see Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984,
35–36).
participant in the war, did not hesitate to indicate that the movement was
Marsden, Thomas Raffles claimed that the Padris “seem to resemble the
Wahabees
the Wahhabi connection (Stuers 1849, xcix), and in the first Malay-
language
Wahab is stated as fact (Moeda 1903, 55). By 1939 one of the Tuanku’s
hagiographers
10I thank Michael Laffan for bringing this text, Cod. Or. 1751, to my
attention. Tuanku Imam Bon-
72
the separation of soul and
is impossible to know with any certainly whether the three hajji were
directly
teachings of Islam. One of the hajji, known as Haji Miskin, allied with
more impatient
73
beards, wore robes and turbans, and attempted to recreate an Arabian
culture in
Renceh, murdered his maternal aunt (Steijn Parvé 1854, 271–72). The
Padri
did not encourage climactic or pyrrhic battles. In 1815 the Padris, using a
ruse
74
(H. 1838, 130). They turned against the moderate reformists Tuanku nan
Tuo
and Syekh Jalaluddin, calling the men Rahib Tuo (old Christian monk)
and
of Belgium in 1830) and lured by rumors of gold and the power of the
Minangkabau
Padang, signed a treaty with the traditionalists, and sent an army into the
hills. It
is at this point that the extensive Dutch archive takes control of the
historiography
struck by the costume of the people, which is now any thing but Malay,
the whole being clad according
75
to the custom of the Orang Putis, or Padris, that is to say, in white or
blue, with turbans, and
but a sorry appearance in their new costume. The women, who are also
clad in white or blue cloth,
do not appear to the best advantage in this new costume; many of them
conceal their heads under a
(1830, 349–50).
But in 1830, the Dutch were able to reinvigorate their army with Dutch
and Javanese
troops fresh from victories over Diponegoro, and by 1832, the Dutch had
76
ensued, and
by 1838, the Minangkabau were defeated, their leaders killed or, like
Tuanku
the Dutch entry into the conflict on the side of the matrilineal adat
traditionalists
outpost. The memoir of Tuanku Imam Bondjol gives the lie to this
narrative.
While the reformists were defeated militarily, their arguments for a strict
77
neo-Wahhabism that preserved matriliny in Minangkabau; in Kerala in
southern
more insidious attack from the colonial state and early twentieth-century
purveyors
wealth, and local Islamic centers and tarekat were already in place,
building a
footpaths connected highland villages to the west coast and to the rivers
that
flowed east to the Straits of Malacca (Asnan 2002). The rotational daily
market
shuttled between the various towns, its parameters marked out by the
distance
78
to be made beyond the village. It was a proto-rantau—a chance for
young men to leave home and accompany their mothers and fathers
through a
wider, though still circumscribed, world. This market system was one of
the principal
were Arabs or even Moroccans (Djaja 1946, 5). Depending on the writer,
this narrative
79
northern reaches of the Minangkabau highlands. Alahan Panjang is a
poor and
their fortunes. The young Tuanku Imam Bondjol traveled the network of
He was, above all, a student of his own father, Khatib Bayanudin, and
eventually joined his father’s surau as a teacher with the title Peto Syarif.
As a young alim in the late 1790s, the Tuanku accompanied his patron,
the
Tuo. The Tuanku and Datuk were part of the reformist movement there
when
the three hajji returned, and the Tuanku was deeply inspired by their
joined the Padri, but he was not considered to be one of the most violent
and
80
Tuanku and perhaps his leader. In the early 1800s, the two men set up a
Padri
them, and Datuk Bandaharo was poisoned and died. It was at this point
that
the Tuanku relocated his stronghold to the base of Mount Tajadi in the
village
The Padri War, up through the Dutch intervention, was a bitter civil war.
Tuanku Imam Bondjol looked to the Eight Tigers, and particularly Haji
Miskin
and Tuanku nan Renceh, following their example and making his fort the
northern
base of the jihad. From his memoir we know that Tuanku Imam Bondjol
and Tuanku Rao to take the jihad farther north into the Batak lands.
Bonjol,
horses, mines, and slaves during his campaigns. At this point in the
Tuanku’s
career, the Dutch joined the fight and, in the central valleys, slowly
began annexing
81
Padri territory. Haji Miskin had been killed (Tuanku nan Renceh later dies
of
illness), and the locus of Padri authority shifted north to Bonjol. The
forces of the
even reached the shores of Lake Toba. He was in contact with Muslim
leaders
and began to directly engage the forces of Bonjol, the Tuanku Imam was
in a
and mountains were unmatched, and his troops had proven themselves
capable
82
Control of rice fields and croplands, as well as gold mines, guaranteed
his soldiers
food and supplies. However, in his memoir the Tuanku is doubtful and
needs to
reaffirm the focus of his struggle. He contemplates for eight days and
then calls
his advisors to him for deliberation. “There are yet many laws of the
Qur’an that
banyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?).
His
advisors affirm, “We have overlooked many of the laws of the Qur’an”
(Banyak
lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita)(Imam Bonjol 2004, 39).
With his spoils, the Tuanku funds four of his followers, including Tuanku
war aggressively, burning enemy villages, killing the nobility, and building
mosques. But the hajji return with unanticipated news: They report that
in
83
Mecca, the Wahhabi have fallen and the laws as studied by Haji Miskin
are
invalid. In the text of the Naskah, Tuanku Imam Bondjol now makes an
extraordinary
narrative shift.
the spoils of war and calls a great meeting of all the Tuanku and hakim
(judges),
remains unsettled, the people agree to follow the law of adat basandi
syarak—
And they accepted the law of the Qur’an and they followed the Qur’an.
So all the plunder and spoils were returned to their owners. And Friday,
when everyone had arrived at the mosque, and they had yet to start their
prayers then the Tuanku Imam, before all the judges, restored things to
as they had been. “Ispeak to all the adat leaders and all the nobles in
this
state. And although more enemies may come from all directions rather
than fighting them you adat leaders and I will live in mutual respect
84
and peace and no longer will I meddle in the lives of the adat leaders
in the state of Alahan Panjang. And so I restore all that is bad and
kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan sekalian sudah
tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi sembahyang maka beliau
de Stuers, 1850).
nagari ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan
melainkan
lawan oleh basa dan penghulu dan saya hendak tinggal dituahnya
hanyolai dan tidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa
“Now you speak this way to us, Tuanku, and so it is upon you that our
hopes rest. You will replace our elders, and if oppressed or constrained
85
we will complain but to you and you will be our protector.” This was
the request of all the adat leaders to the Tuanku Imam. And so they
applied the law according to the teachings of the Qur’an. And the adat
leaders used the law of adat basandi syarak—shariah as the basis for
the adat leaders. And if there was a problem with Islamic law it would be
nagari and luhak from the nagari of Tuanku Rao and Tuanku Tambusai
[the Mandailing front] to Agam and Tanah Datar, to 50Koto and Lintau.
juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami akan ganti ninik
mamak oleh kami dan kalau sasak dan sempitnya pada kami melainkan
tempat mengadu juga dan pemilihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah
ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu. Dan jikalau
86
ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan berempat. Maka
mashyurlah tiap-tiap nagari dan luhak dan nagari Rao Tambusai lalu
pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar sampai ke Luhak Limo
kini, lainyo terpakai juga pada tiap-tiap luhak dan nagari. (Imam
was writing his memoirs while in exile in Ambon and Manado (see figure
2). He
had in mind the twin audiences of the Dutch colonial state and
Minangkabau
posterity, knowing that the Dutch military would read the memoir and that
his
87
mosque in Bonjol. The language, too, is ambiguous: He is
simultaneously
In his memoir, the Tuanku Imam’s will to fight his fellow Minangkabau
crumbles
great moral bravery, the Tuanku publicly renounces his ideology, makes
reparations,
and apologizes for the suffering that his war has caused. In his memoir,
They demand that the Tuanku Imam replace their elders, people likely
killed
of the people he is responsible for killing. In his wish for peace, the
Tuanku uses
sorts of nobles whom the Padri had hoped to eliminate. The Tuanku
88
Imam
Adat,” which asserts that both Islamic law and local custom are mutually
constituted
The voice of the memoir is now exhausted; the Tuanku Imam wishes for
peace with the “Company” (the common term for the Dutch colonial
government
89
long after the dissolution of the VOC), he is tired of living in a state
where the leadership is divided (Imam Bonjol 2004, 43). Soon after the
meeting with the local leaders, he gathers his family and leaves Bonjol
for
Alahan Panjang, turning the fort over to three customary chiefs. Within
days
that the Dutch troops will not disturb the fort. However, the Dutch and
Javanese
soldiers soon evict the Minangkabau from Bonjol and occupy the fort,
using the
Tuanku’s house and even the mosque as a garrison. The Tuanku Imam
learns of
this and calls for a meeting with the Dutch commander Elout. In their
conversation,
the Tuanku Imam offers a truce, explaining that he is sixty years old and
too
last. Both the Padris and the traditionalists are furious at the Dutch and
Javanese
90
Minangkabau workers in which a man is shot, the Minangkabau (in the
words
the mosque and 139 Europeans stationed in the town. On January 11,
1833,
Tuanku Imam Bondjol again becomes a military leader, and the memoir
memoir describes a life shuttling from house to house, listing the names
of
91
Imam Bondjol is tired of living in the forest and fears for the welfare of his
family.
fighting remains horrific, but slowly, the Dutch gain ground and retake
Bonjol,
decide that the Tuanku Imam is too subversive a presence to allow him
to
pain, “at the end of his years, and out of luck” (Imam Bonjol 2004, 190),
the
92
teaching and then a second life that combined warfare with conciliatory
discourse.
But as the Dutch reports attest, his career was otherwise marked by
from haram, and willing to sell their mothers and siblings for the right
offer.
There are good aspects of the Tuanku Padri, they organized prayers and
hajj as they were able, and repaired mosques and bathing places, and
and commerce. And there are wicked aspects of the Tuanku Padri who
in the villages, and murdered without cause, that is they murdered all the
calling them traitors, and pillaged and looted, and took women who
93
consent, and captured people and sold them into slavery, and made
concubines
naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian,
dan memunuh orang dangan tidak hak, yaitu memunuh segala ulama,
dan memunuh orang yang berani2, dan memunuh orang yang cerdik
cendaki, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan
yang tidak sekupu dangan tidak relanya, dan menawan orang dan
94
The reaction of the Europeans to this Padri violence would have far-
reaching
Marsden was convinced that the Minangkabau kingdom was the cultural
heart of
by Arabic (Marsden 1807, 218, 223). Thisidea that Minangkabau was the
“ancestral
95
Minangkabau
as the Indic contact point for the Malay world. The palace ofPagaruyung,
When Raffles made his famous expedition into the Padang highlands in
1818,
Raffles conjured up the kingdom from rubble and scrub. The “once
extensive
city” had been thrice burned, and the ongoing Padri Wars had left the
great
Suruaso, Raffles and his entourage were escorted to the “best dwelling
which
the place now afforded—to the palace, a small planked house about
thirty feet
96
long, beautifully situated on the banks of the Golden River(Soongy
Amas).
the country.” These ruins (or fantasy of ruins) were proof of the great and
noble
history of the Malays, a civilization that once rivaled the Javanese and
was now
the Brata Yudha, Raffles could still see the palace in a stand of
sugarcane, the
13Kratz argues that the manuscript was produced before 1829, and
therefore before 1833 and the
97
Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 989
penetration into the hills of West Sumatra. His sadness, his failure to find
the
“real” proof of Hindu origins, can serve as a parable for the syncretic
excavations
ARCHIVE
We turn to the peculiar form of the text of the Naskah Tuanku Imam
Bondjol.
The text comprises three distinct sections. The first 190 pages are the
memoir of
Tuanku Imam Bondjol himself, from his youth to his death in Manado,
brought
into exile. Pages 191–324 are the memoir of another son, Naali Sutan
Caniago,
98
who fought alongside his father in the jungle and who was granted a
position
single volumes. They are not read intertextually. In the case of the
Naskah
The Dutch scholar Ph. S. van Ronkel, who was given access to the
manuscript
99
written the individual sections (1914, 251). Van Ronkel summarizes the
third
working for the Dutch colonial state. He correctly views the meetings as
a turning
sorts of intrusions the Dutch colonial state imposed upon civil society in
the Minangkabau
The year 1847 brought the cultuurstelsel, a system for the forced
cultivation
of coffee, to the highlands of western Sumatra. With this, the Dutch set
up a
of kepala nagari and tuanku laras, which were first introduced in 1823
(Ambler 1988, 49–51). The Dutch understood that calling their regional
administrators
“Tuanku” would undermine the potency of the traditional and, until this
100
990 Jeffrey Hadler
point, exclusively Islamic title of Tuanku. Initially, the kepala nagari was
responsible
for enforcing the collection and delivery of coffee, receiving a bonus for
both coffee collection and the fulfillment of corvée duties (Abdullah 1967,
36–37). In 1875 hajjis were formally banned from work with the
Binnenlandsch
would brew a weak beverage (Zed 1983). It was for most a difficult time.
Elizabeth Graves cites a report from the late 1860s that discusses the
abuse of
101
government buildings, but also,
Each larashoofd [Tuanku Laras] demanded his own residence and office
in the territorial center for when he had to confer with Dutch officials. To
make matters worse, local officials, both Dutch and Minangkabau, often
performing corvée duty anda horned-roof house, one of only thirteen that
the
led directly to the near uprising of 1897 and the Anti-Tax Rebellion in
1908
(Young 1994, 49–83). Yet they survived these challenges, and the
trappings of
their offices have until the present defined the guise of authority in
Minangkabau.
102
Debt bondage and slavery were common throughout the Malay world,
and
was only in 1875 that T. H. der Kinderen, the colonial law reformer, came
to Minangkabau
(luhak), and proclaimed all the slaves to be free (Kinderen 1875, 1882;
former slaves. The “free” families lived in longhouses at the center of the
village,
103
in places reserved for the “original settlers.” Slave families were
segregated,
1894). The laws set fines not only for unauthorized movement and
residence
but also for what was deemed to be inappropriate behavior within the
longhouse.
The fines were tiered according to the offense, and they provide a telling
gauge of
Dutch priorities.
fifteen rupiah. Awoman facedthe same fines ifshe slept witha man other
than her
husbandor slept away from her house (roemah tangganja)for more than
104
one night
prohibitions occurs ifa woman engages in various acts witha man, but
does not
also garnered fines ofone to fifteen rupiah(Toorn 1894, 1–9, notes p. 30).
largest fines, twenty-six to sixty rupiah, were reserved for people who
wrongfully
105
lustfulcrimes were far more difficult to prove and would have requiredthe
weighingoftestimonyandallegation.
the Dutch, Minangkabau lived with colonial law and were watched by a
native
14While the Civil Registry (Kantor Catatan Sipil) in Padang lists around
fifteen native women
106
none of these women
colonial legal system was an intrusion that began during the Padri War
but was
14, 1875. Both meetings were chaired byDer Kinderen, who was
evidently not prepared
toinvest in ritual buffalo slaughter without first being assured ofa kind
reception
107
untold numbers of clan heads and panghulu. At the 1865 meeting, Der
Kinderen
adat and shariah that was part of the Tuanku Imam’s legacy. A decade
later, Der
108
intertextual
the Naskah is a single, polyvalent text. The first section, the narrative of
both the local traditional elite and the Dutch military. Nor is the Tuanku
Imam a martyr. He relents in the Padri War and is defeated in the war
against
the Dutch, but he is not executed. Instead, his request to remain in his
homeland
history for unrepentant neo-Wahhabis, then they could choose from Haji
and moderate reformists, then Tuanku nan Tuo or Syekh Jalaluddin are
109
who was ultimately a military failure, who was ideologically disillusioned,
and
with exile and misery. Section two of the Naskah is equally perplexing.
In 1865, in time for the first ofthe two legal symposia, NaaliSutan
Caniago was
is not one of warfare, but, like his father’s, it, too, is one of
disappointment and
110
that he does not proselytize (mendakwa)or even speak
butmerelywanders the
Do not, now, show respect to Tuanku Sutan in any manner. Why do you
111
pointlessly oppose the Dutch, and don’t start begging for mercy. Now
Jangan, nou, disembah jua Tuanku Sutan pakai apa di no tu. Menagapa
awak sio-sio melawan anak Kompeni, jangan minta ampun jua lai. Tidak
shoes to the tufts of your hair if you permit me to make my request part
of the
written record.” The text then seems to trail off, unresolved: “And so it
was
from this day forth I was allowed to remain outside of the[true] custom
and
the corvée bear witness to Lord Allah and Muhammad so concludes this
matter
in the year 1868 in the village of Kampung Koto in the house of Tuanku
Laras
112
There is no recorded response to Sutan Caniago’s plea andno narrative
resolution
in the second section of the Naskah. But, of course, the text itself is the
second section of the Naskah Tuanku Imam Bondjol. His voice is heard.
And
while we might suspect that Sutan Caniago would have been removed
or quit
his post as Tuanku Laras after the confrontation in 1868, we know from
the
third section of the Naskah that he attended both law meetings in 1865
and
1875. The Naskah Tuanku Imam Bondjol is the historyofthe Padri War,
but it
113
militant Islamic radicalism to a state of discourse and colonial law. This is
not
that was relatively egalitarian and nonviolent. After the turmoil of the
Padri
Wars, the colonial state might have evoked the discursive power of what
Jane
TROPE
114
had been pacified and trumpeted by the colonial administration as a
tourist destination,
the natural beauty of the region but also made a point of describing the
sites
Michiels and Raaff and will be curious about what events they
commemorate.
Cast your gaze to the highlands of the Padang-Darat, red with spilled
blood that flowed from the hearts of brothers and sisters. Your ears
will hear again the dejected cries of lost souls, scattered in a civil war.
from abroad, equipped with the tools of civilization and struggle, set foot
in the highlands where the victory banners of the Padri fluttered in the
control (that has been only occasionally shaken by the rebellions of the
115
local states). Up until today this European control has sunk its roots
At that time too the world witnessed the destruction of the kingdom of
Sumatra, though at that time the Minangkabau star sank into the ocean
Bahder Djohan was, in the eyes of the colonial state, an ideal subject, a
man
among sensitive native and Dutch intellectuals. His essay on the Padri
era
reformism:
116
We are writing about the beginning of the nineteenth century. The sun
had almost set. His vanishing rays gilded the edges of the western sky.
scholar sat up in a prayer house. Tuanku Koto Tuo was observing the
sky as it clouded over. What was it that was appearing in his face?
What had he felt, that the sun now sinking would bring prosperity and
peace to his land? What did he feel, that the gold in the clouds reflected
flames that would soon ignite all groups and show them a way of
thinking
then teaching in the nagari Kamang? Had he felt that the conduct of his
Tuanku Koto Tuo’s tears flowed, and his sobs cut into the stillness of
calm
the venomous Wahhabi ideology of the Padri. Haji Miskin and Tuanku
nan
117
Renceh are to him traitors and murderers, and unredeemable. But
Bahder
Djohan concludes,
And unlike those who merely follow their passions, there was one who
would inscribe his name in the hearts of the people he loved. So the
Bonjol,
Wrapped in his white robe, in his left hand the string of prayer beads,
while his great turban shaded a face that was no longer shining, two
eyes staring out as far as they could see as though searching for some
The 1910s, when Bahder Djohan was writing, marked the start of the
pergera-
118
was not yet the obvious goal of anticolonial struggle (Shiraishi 1990).
Bahder
Djohan was part of a small native elite who were receiving a higher
education
was noble and tragic, a person for whom the violence that seemed to
come so
In the 1910s and 1920s, colonial West Sumatra was a world turned
upside
119
down. For Minangkabau it was not unreasonable to believe that the
dayof reckoning,
fooled nobody (Oki 1977, 82–91). Less visibly, dogmatic disputes began
to
cleave families. Uncles, nephews, fathers, and sons were set against
one another
120
and so forth. With both religious authority divided and the traditional
leaders
This social uncertainty made the figure of Tuanku Imam Bondjol, whose
life was
West Sumatra was unusual in that the most factious debates took place
in
small villages, many of them with local printing presses. Politics and
“modernity”
did not originate in the provincial capital. As villages fractured, so, too,
were the
civil servants in Silungkang allied with Ombilin coal mine workers, and in
the final hours of 1926, a communist uprising broke out in the nearby
industrial
121
Dutch surveillance and repression to West Sumatra. The dynamic years
of movement
as they were in the rest of the Indies. In 1930 the ulama were united
was a revision of a law that had been in place in Java and Madura since
1905,
On the religious schisms, see Zaim Rais (2001). Literature on the period
has been dominated by
122
(bertapian), meeting hall(berbalai), mosque (bermesjid), and field or
square (bergelenggang)
And following their century-old and successful policy, the Dutch boosted
arrested many of the Minangkabau activists, snuffing out the last spark
123
vigorously
rust en orde [peace and security]. Minangkabau became the test case
for
through the prison camp Boven Digul and nationalist youth oath
“Sumpah
During the 1920s, the Thawalib and Islamic schools in Padang Panjang
and Bukittinggi
124
distribution
the proceeds of his book to help build schools in Padang Panjang. This
book,
the late 1920s, we can already read the dominance of “Indonesia,” of the
much they might shout about saving their nation and homeland
(Greater Indonesia), they will never attain it. (Mangkoeto 1929, 43)17
akan tertjapai.”
125
would
never return.
that the former activists redirected their energy into publications that
would not raise eyebrows in the Office for Native Affairs. This publishing
industry
(the Batak society that was the target of Tuanku Imam Bondjol’s northern
campaign).
penny dreadfuls, and were printed for subscribers in large print runs
(three thousand
copies was usual) that were always sold out. These booklets found their
way
126
Only a very limited number of the roman pitjisan survive in the archive.
paper, and a single copy was often circulated among a large group of
readers. Surviving
the libraries in Indonesia, the Netherlands, and the United States has
uncovered
a few hundred extant roman pitjisan, and of these, there are eight texts
from the
1930s and 1940s that feature Tuanku Imam Bondjol (Sou’ib 1938;
Dihoeloe
1939; Darmansjah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Sou’yb 1948–49). All
texts
portray the Tuanku Imam as a noble and tragic figure, and all freely
blend
known history and fiction. Like most roman pitjisan, there is a very thinly
Notes of His Son the Late Sutan Caniago, tries to hew most closely to
historical
127
narrative conventions. Yet in this text, the critical moment, the gathering
of the
(Dihoeloe 1939, 12). For these authors, Tuanku Imam Bondjol is clearly
established
fate their friends, exiled to the prison camp at Boven Digoel, now shared.
The roman pitjisan are delights for literary historians. The language in
them
by writers from West Sumatra. The novelists who created the roman
pitjisan lived
in a time when secular novelistic and religious lives were not exclusive.
Authors
128
1000 Jeffrey Hadler
such as Hamka and Jusuf Sou’yb had careers that saw adat and Islam
decompartmentalized.
They were free to write novels or religious tracts, but they could not
Japanese occupation, the revolution, and into the national period. The
postrevolutionary
129
Lev 1969; Kahin and Kahin 1995).
Sumatra for Jakarta and Medan, never to return. This was a time of
rantau
(yang Minang) have all left, what remains are the water buffalo
(Ka[r]bau).”
fitted themselves into lives far from ancestral highlands and unhappy
memories.
130
The Brothers from Minang are severely handicapped due to their belief
in ahistorical myths. The myth of Alexander the Great’s dynasty, the myth
and the like have been swallowed whole by the Brothers from
They have not made the slightest effort to seek out accurate dates and
The book presented a bitter history of the Padri War and the conversion
131
of the
the violence of Tuanku Imam Bondjol from the perspective of the targets
of his northern jihad. It took the fall of Sukarno and the destruction of the
Indonesian
Fantasy (Hamka 1974). Hamka had read the book while in prison during
Sukar-
132
pitjisan
Imam Bondjol was staged at the Dewan Kesenian Jakarta (Hadi 2002).
The
leader, rejecting the title Tuanku Imam and asserting that “my name is
Peto
Syarif!” The play was controversial and stimulated debate in 1980 but
was not
part of the West Sumatran celebration of the second Istiqlal Festival and
the fiftieth
for fear of inciting unrest. The performance was blocked and the play
was
133
effectively banned (Sahrul 2005). The New Order government of
Soeharto, itself
an echo of the Dutch police state of the 1930s, was invested in the
stifling of historiographical
skein of historical lies that could not afford to have even a provincial
performance
a victim of his own ideals” (N. 1931). The most profound rhetorical use of
Imam Bondjol was subtle and can be found in the philosophical writings
of the
134
Madilog:
end of the book, he describes a future polity that he calls the socialist
Rudolf Mrázek notes that Tan Malaka’s use of the village of Bonjol
reflects his
against the Dutch (1972, 34). However, the word sumbu,or “axis,” can
also be
Bondjol was published in Padang, and Wisran Hadi’s play was filmed for
television.
135
Both texts complicate the role of the Tuanku Imam as a national hero.
a leading Salafi Muslim in Jakarta held forth on the the history of the
Padri
will read the history of Tuanku Imam Bondjol.20 It is clear, however, that,
Acknowledgments
was presented at the IAIN Imam Bondjol in Padang on July 10, 2006.
Taufik Abdullah,
Yasrul Huda, Rusydi Ramli, and Mestika Zed all read the essay and
offered a productive
136
Yusmarni Djalius and
Maier, Amin Sweeney, and Sylvia Tiwon helped me make sense of some
ofthe stickier
Bondjol-Malaka.”
19
20
In 2007, two important books reopened the debate about the Padri War
and Tuanku Imam Bond-
have been anti-Padri screeds and rebuttals in the national press and an
apparently ineffectual
137
revoked. As this article
List of References
——. 1971. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra (1927–
International.
138
AMAN,SITTI DJANEWAR BUSTAMI. 2001. Nostalgia Liau Andeh [The
nostalgia of Liau
20–43.
139
Sumatra in the
Pustaka Pelajar.
509–26.
140
di dalam segala negri jang menoeroet pemerentahan: Pasisir Barat
Poelou
Pertja [Regulations regarding all judicial matters and laws as used in all
districts
141
Northern Sumatra.” Indonesia and the Malay World 32 (93): 271–84.
Kintamani.
Djakarta: Djambatan.
142
Thawalib [The intellectual Islamic revivalist movement: The case of the
Sumatera
the notes of his son the late Sutan Caniago]. Medan: Boekhandel
Islamijah.
Penjiaran Ilmoe.
143
wars on Sumatra, by Syekh Jalaluddin]. Leiden: Brill.
Curzon.
144
Grondgebied Ter Westkust
University.
145
Colonialism. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
HALUAN. 1983. “Pemda Sumbar akan Bentuk Team Khusus untuk Teliti
Keabsahan
special team to study the historical validity of Imam Bonjol]. April 28.
Komunitas Bambu.
146
[Voyage
Indonesia.
Library, DS646.15.S76.I43.
147
KAHIN,AUDREY R. 1984. “Repression and Regroupment: Religious and
Nationalist
463–87.
148
Nederlandsch
Indië 36:499–559.
——. 1888. “Het Contract Met Bondjol Van Januari 1824” [The treaty
with Bondjol of
263–348.
Pertjetakan Gouwernemen.
149
De Landraden en Rapats, benevens De Uitoefening der Policie [Applied
form-book
Batavia: Landsdrukkerij.
31–37.
8 (2): 148–63.
150
chabar perempoean di Alam Minang Kabau, January 26, 1–2.
KITLV.
Bhratara.
151
Nederlands-Indië, 1906–1942 [From gentle wink to firm hand: Press
freedom and
Indonesia 14:1–48.
152
1900–1942. Singapore:
National University.
work in accordance with the rules mentioned in the laws]. Padang: Otto
Bäuer.
153
[Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Hambali Islamic
terror in the
Press.
Westview Press.
Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512–1515, and The
Book of
and Maps, Written and Drawn in the East before 1515. Ed. Armando
Cortesão.
154
RAFFLES,THOMASSTAMFORD. Memoir of the Life and Public Services
of Sir Thomas Stamford
——. 1835. Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas
Stamford Raffles, F.R.S.
Ahmad Koto Tuo: Suatu Studi “Sejarah Pemikiran Islam” Dari Teks
Tokoh Gerakan
Padri Awal Abad XIX [The story of Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku
Samiang Syekh
155
the Past in Southeast Asia, ed. Anthony Reid and David Marr, 281–98.
Singapore:
Heinemann.
156
to’s Coup d’État in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press.
157
Ter Sumatra’s Westkust” [A contribution to the bibliography of the
contemporary
Press.
Padang: Esa.
158
in Bondjol town]. Doenia Pengalaman 1.3, December. Ed. A. M.
Pamoentjak,
Bintang.
Ter Westkust Van Sumatra [The establishment and spread of the Dutch
on the west
159
——. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks “Otobiografi” Seorang Ulama
Minangkabau
Abad ke-19 [Syair Sunur: The text and context of the “Autobiography” of
a Minangkabau
manuscript Tuanku Imam Bonjol?], part 1. Sriwijaya Post, July 30, 21.
http://www.ranah-minang.com/tulisan/328.html.
Bataafsche Leeuw.
Malajoe. [Police laws: Translated into Malay]. 2nd ed. Batawi: Partjitakan
Gouvernement.
160
wreckage of Bondjol
town]. Ed. Tamar Djaja, Aziz Thaib, and Martha. Fort de Kock: Penjiaran
Imoe.
Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts, ed. Leif Manger, 80–
101. Richmond:
Routledge/Curzon.
Tourist Bureau.
161
Indonesia [History of the Diponegoro war: Hero of Indonesian
independence].
YOUNG,KEN. 1994. Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax
Rebellion in West
Sumatra. New Haven, Conn.: Yale Center for International and Area
Studies.
162
Zurbuchen,
163