Jurnal Promosi Kesehatan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No.

2 / Agustus 2007

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran Video


Tentang Pemberantasan DBD Terhadap Peningkatan Pengetahuan Dan
Sikap Anak SD Di Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati
Cahya Wibawa *)
*)
Puskesmas Widarijaksa Pati

ABSTRACT

Background : This researches aim to compare difference of effectiveness between demonstration


method and video twiddling method on DHF prevention in iencreasing knowledge and attitude
of Elementary School student in District of Wedarijaksa, Sub-Province Pati.
Method : This research type was Quasi Experiment with Non equivalent control group design.
Research sampel were 60 students. Sampling technique was simple allocation assignment
random. Sampel for demonstration method were 30 students from SD Negeri Pagerharjo,
and sampel for video twidding method were 30 students from SD Negeri Tluwuk. Data analysis
method was two paired test.
Result : Research results indicated proven that there are differences between demonstration
method and video twiddling method in improving knowledge of DHF pandemic of Elementary
school students, that is shown increasing of knowledge 58,97% higher at group treatment of
demonstration compared with video twiddling treatment which is increasing on 24,19%..
Proven that there are significant differences between demonstration method and video
twiddling method in improving DHF pandemic attitude of Elementary school students,which
is shown by Elementary school students attitude of DHF pandemic at demonstration method
group is higher than Elementary schoolchild attitude of DHF pandemic at video twiddling
method group, (29,68% compared to 19,71%). The research result indicated there were
differences of retention between knowledge of demonstration method group and video
twiddling method group, which was shown by smaller knowledge retention at group treatment
of demonstration compared to group treatment of video twiddling, (4,25% compared to 7,05%).
The research result also shown that there were differences of retention between attitude of
demonstrate method group and video twiddling method group, that is shown by smaller attitude
retention at group treatment of demonstration compared to group treatment of video twiddling,
(4,42% compared to 8,63%).The conclusion of this research are demonstration is more effective
than video twiddling to increase child attitude and knowledge of Elementary School in District
Of Wedarijaksa, Sub-Province Pati about preventing of DHF.
Keywords: Effectiveness, Knowledge, Attitude, DHF, Demonstration, Video Twiddling

115

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


PENDAHULUAN
Virus dengue telah ada di Indonesia sejak
abad ke 18, dan dikenal sebagai penyakit demam
lima hari (vijfdaagse koorts) atau demam sendi
(knokell koorts). Pada saat itu demam dengue
dianggap sebagai penyakit ringan yang tidak
pernah menimbulkan kematian, tetapi sejak tahun
1952, demam dengue dilaporkan menimbulkan
manifestasi klinis berat pada penduduk di negara
tetangga Filipina, dan pada tahun 1968 demam
dengue menimbulkan banyak kematian pada
penduduk kota Surabaya dan Jakarta. Infeksi
virus dengue dengan manifestasi klinis berat
tersebut dikenal sebagai Demam Berdarah Dengue (DBD). (Pusat Informasi Penyakit Infeksi
khususnya HIV/AIDS, 2006)
Ditjen P2M dan PLP mencatat dalam kurun
waktu 30 tahun, sejak ditemukannya virus dengue di Surabaya dan Jakarta, DBD meningkat
pesat baik daerah penyebaran maupun jumlah
penderitanya. Sampai saat ini Kejadian Luar
Biasa terjadi di 200 kota (27 Propinsi), daerah
endemis DBD pada umumnya didaerah
perkotaan seperti, Jakarta (DKI), Surabaya
(Jawa Timur), Palembang (Sumatera Selatan),
Semarang (Jawa Tengah), Pontianak (Kalimantan
Barat), Menado (Sulawesi Utara), dan Medan
(Sumatra Utara). Incidence Rate meningkat dari
0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968
menjadi berkisar antara 6-27 per 100.000
penduduk pada tahun 1999.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Pati (2005), Pati masih merupakan
daerah endemis DBD. Situasi lima tahun terakhir
insidensinya masih berfluktuasi, Incidence Rate
(IR) DBD per 10.000 penduduk di Kabupaten
Pati adalah 1,9 dan Case Fatality Rate (CFR)
2,6 % tahun 2001, IR 1,8 dan CFR 0,9 % tahun
2002, IR 6,6 dan CFR 1 % tahun 2003, IR 5,2
dan CFR 1,4 % tahun 2004, IR 2,2 dan CFR
3,6 % tahun 2005.
Kemudian di Kecamatan Wedarijaksa, Incidence Rate (IR) DBD Per 1.000 penduduk
adalah 0,1 ( tahun 2001). IR 0,3 ( tahun 2002),
116

IR 0,2 ( tahun 2003), IR 0,4 (tahun 2004) dan


IR 0,4 (tahun 2005).
Secara keseluruhan kasus DBD tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian lebih banyak ditemukan pada jenis
kelamin perempuan dari pada laki-laki,
sedangkan distribusi umur memperlihatkan
bahwa penderita DBD terbanyak terdapat pada
kisaran umur antara 1-5 tahun. Berkenaan
dengan usia, kasus DBD yang pada umumnya
adalah usia sekolah, maka pemberantasan
nyamuk di sekolah mendapat prioritas utama,
selanjutnya di rumah sakit dan pemukiman.
(Soedarmo, 1995)
Penyakit demam berdarah dengue (DBD)
telah menjadi penyakit endemik di kota-kota
besar diIndonesia. Letak geografis Indonesia, laju
pertambahan penduduk, perubahan iklim, tingkat
kepedulian dan pengetahuan masyarakat yang
rendah menyebabkan kasus DBD terus ada
bahkan cenderung meningkat. Ramalan Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) tahun 1996 melalui simulasi
menyebutkan, insidens DBD di Indonesia
diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dari
sekarang pada tahun 2070, jika keadaan
lingkungan dan masyarakat tidak
berubah.(Sintorini, 2006)
Upaya pencegahan dan pemberantasan
Vektor Aedes Aigepty yang telah dilakukan oleh
Dinas Kabupaten Pati antara lain fogging,
abatesasi, Gerakan Bulan Bakti 3M, serta Program Pemantapan dan Peningkatan Pergerakan
DBD. Sasaran Program ini adalah masyarakat
di daerah endemis. Objek program adalah
masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan
kebersihan lingkungan serta penyuluhan berupa
ceramah di sekolah-sekolah dasar.
Pemberantasan nyamuk di sekolah melalui
peran serta anak-anak sekolah memerlukan
metodologi, pelaksanaan dan pelaporan yang
sederhana, namun secara ilmiah harus tetap dapat
dipertanggungjawabkan. Salah satu cara untuk
memasyarakatkan program pemberantasan

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


nyamuk vektor DBD di sekolah adalah
pemanfaatan program Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS), yang telah dicanangkan hampir di seluruh
Sekolah Dasar di Indonesia. Program ini adalah
suatu wahana untuk meningkatkan derajat
kesehatan bagi anak sekolah. Melalui UKS,
anak-anak sekolah dengan dokter kecilnya
dididik, dibina, dan dipacu, untuk berperan serta
dalam penanggulangan DBD sejak dini, baik
untuk melindungi dirinya sendiri dari DBD,
maupun pengendalian vektor DBD di lingkungan
sekolah dan rumahnya.
Metode penyampaian program
pemberantasan DBD melalui UKS kepada anak
sekolah pada umumnya adalah metode ceramah.
Hasil penelitian Utomo (1989) di Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Sleman menunjukkan
bahwa penyuluhan kesehatan dengan metode
ceramah mampu meningkatkan dan memacu
dokter kecil dalam pemberantasan sarang
nyamuk. Namun cara penyuluhan dengan metode
ceramah tersebut mempunyai kelemahan, yaitu
siswa pasif dalam bertindak, daya serap berkisar
antara 20% 40% dan indera pendengaran yang
paling aktif bekerja. Penggunaan metode ini akan
lebih efektif apabila dipakai secara kombinasi
dengan metode lainnya yang mendukung.
Rangkaian Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) dikenal metode mengajar demonstrasi.
Metode ini digunakan bila ingin memperlihatkan
bagaimana sesuatu harus terjadi dengan cara yang
paling baik. Metode demonstrasi juga
merupakan cara mengajar dimana sesorang
struktur / tim menunjukkan, memperlihatkan
sesuatu proses sehingga audience dapat melihat,
mengamati, mendengar, mungkin merasakan
proses yang dipertunjukkan. Hal yang perlu
diketahui dimana metode demonstrasi ini
digunakan bila ingin memperlihatkan bagaimana
sesuatu harus terjadi dengan cara lebih baik.
Metode penyajian pembelajaran lain yang
efektif untuk meningkatkan kreativitas dan daya
imaginasi anak adalah penggunaan film atau
video. Cara ini mempunyai pengaruh visual yang

kuat. Film atau video dapat menyajikan suatu


kesan kehidupan diluar kelas yang mungkin sulit
atau tidak mungkin dibawa kedalam kelas.
Misalnya yang menggambarkan tempat
perindukan nyamuk vektor DBD, penderita
DBD, proses penularan DBD, tindakan
pengendalian vektor dan lain sebagainya. Program film atau video yang dibuat secara
profesional susunannya mungkin lebih baik dari
pada yang disampaikan melalui ceramah.
Mengingat pentingnya peningkatan
pengetahuan dan perbaikan sikap anak sekolah
dasar dalam pengendalian vektor DBD, maka
perlu ditentukan metode pembelajaran yang
berdaya guna dan tepat guna bagi pendidik / guru,
dan penyuluh kesehatan untuk memasyarakatkan
program pemberantasan DBD.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian Quasi Experiment (eksperimen
semu), disebut demikian karena eksperimen ini
belum memenuhi persyaratan seperti cara
eksperimen sesungguhnya. (Notoatmodjo,
1993)
Rancangan penelitian yang dipergunakan
adalah rancangan Non equivalent control group
design, rancangan ini sangat baik untuk evaluasi
pendidikan kesehatan dan pelatihan lainnya.
(Tjahjowati, 1997) Pengelompokan anggota
sampel pada kelompok eksperimen tidak
dilakukan secara random atau acak, karena
rancangan ini disebut non randomized control
group pre-test-postes design.
Untuk mengetahui peningkatan pengetahuan
dan perbaikan sikap dilakukan melalui kegiatan
pre-test dan post-test. Dalam penelitian ini
kelompok eksperimen dibagi 2 (dua) kelompok,
satu kelompok diberi pendidikan dengan metode
demonstrasi, sedangkan satu kelompok lainnya
dengan metode pemutaran video.
Populasi penelitian ini adalah semua siswa
kelas V SD Pagerharjo, dan SD Tluwuk,
Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati.
117

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


Pembagian kelompok perlakuan dilakukan secara
simple random assignment allocation, yaitu
dari kedua sekolah dasar tersebut diundi dengan
cara lotere. Sampel yang terambil pada proses
pengundian pertama merupakan kelompok
sampel perlakukan I (metode demonstrasi), dan
yang kedua kelompok sampel perlakukan II
(metode pemutaran video), untuk dijadikan
sampel penelitian. Pada penelitian ini Sekolah
Dasar yang digunakan adalah SD Pagerharjo
jumlah siswa kelas V adalah 30 anak sebagai
kelompok sampel perlakukan I (selanjutnya
disebut sebagai kelompok sampel perlakuan I),
yaitu dengan promosi kesehatan pemberantasan
DBD menggunakan metode demonstrasi, SD
Tluwuk jumlah siswa kelas V adalah 30 anak
sebagai kelompok sampel perlakuan II
(selanjutnya disebut sebagai kelompok sampel
perlakuan II), yaitu dengan promosi kesehatan
pemberantasan DBD dengan metode
penayangan video.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
ini adalah soal tes untuk pengukuran pengetahun
anak Sekolah Dasar tentang penyakit DBD, serta
pernyataan sikap anak Sekolah Dasar (dalam
bentuk angket yang diisi sendiri oleh responden)
tentang penyakit DBD.
HASIL PENELITIAN
Analisis dilakukan untuk mengetahui
perbandingan efektivitas metode demonstrasi
dengan metode pemutaran video terhadap
peningkatan pengetahuan dan perbaikan sikap
tentang penyakit DBD pada anak Sekolah Dasar.
1. Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test
dengan Metode Demonstrasi.
Lihat Tabel 1.
Dari tabel 1 perbandingan antara hasil pretest pengetahuan dengan hasil post-test
pengetahuan pada kelompok dengan perlakuan
metode demonstrasi di atas, bahwa hasil uji t
= -8,798 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas
0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada
perbedaan yang bermakna antara pengetahuan
118

responden pada waktu sebelum menerima


perlakuan menggunakan metode demonstrasi
dengan pengetahuan responden setelah menerima
perlakuan menggunakan metode demonstrasi.
Selanjutnya, perbandingan antara hasil pretest sikap dengan hasil post-test sikap pada
kelompok dengan perlakuan metode demonstrasi
di atas, bahwa hasil uji t = -14,984 (db = 29,
5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05,
sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang
bermakna antara sikap responden pada waktu
sebelum menerima perlakuan menggunakan
metode demonstrasi dengan sikap responden
setelah menerima perlakuan menggunakan
metode demonstrasi.
Perbandingan antara pengetahuan
responden didapatkan nilai rerata sebelum
perlakuan demonstrasi sebesar 14,30 dan
sesudah perlakuan demonstrasi nilai rerata
22,73, sehingga dapat dikatakan terjadi
peningkatan pengetahuan responden tentang
penyakit DBD sebesar 58,97%. Sedangkan
perbandingan antara sikap responden
didapatkan nilai rerata sebelum perlakuan
demonstrasi sebesar 13,37 dan sesudah
perlakuan demonstrasi nilai rerata 17,33,
sehingga dapat dikatakan terjadi peningkatan
pengetahuan responden tentang penyakit DBD
sebesar 29,68% Lihat Tabel 2.
Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test
dengan Metode Video. Lihat Tabel 3.
Dari tabel 3 diketahui perbandingan antara
hasil pre-test pengetahuan responden dengan
hasil post-test pengetahuan pada kelompok
dengan perlakuan metode pemutaran video di
atas, bahwa hasil uji t = -3,698 (db = 29, 5%)
dengan nilai probabilitas 0,001 < 0,05, sehingga
dapat dikatakan ada perbedaan yang
bermakna antara pengetahuan responden pada
waktu sebelum menerima perlakuan
menggunakan metode pemutaran video dengan
pengetahuan responden setelah menerima
perlakuan menggunakan metode pemutaran
video.

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


Selanjutnya, perbandingan antara hasil pretest sikap dengan hasil post-test sikap pada
kelompok dengan perlakuan metode pemutaran
video di atas, bahwa hasil uji t = -9,645 (db =
29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05,
sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang
bermakna antara sikap responden pada waktu
sebelum menerima perlakuan menggunakan
metode pemutaran video dengan sikap
responden setelah menerima perlakuan
menggunakan metode pemutaran video. Lihat
Tabel 4.

Perbandingan antara pengetahuan


responden didapatkan nilai rerata sebelum
perlakuan demonstrasi sebesar 14,47 dan
sesudah perlakuan pemutaran video nilai rerata
17,97, sehingga dapat dikatakan terjadi
peningkatan pengetahuan responden tentang
penyakit DBD sebesar 24,19 %. Sedangkan
perbandingan antara sikap responden
didapatkan nilai rerata sebelum perlakuan
pemutaran video sebesar 13,87 dan sesudah
perlakuan demonstrasi nilai rerata 16,60,
sehingga dapat dikatakan terjadi peningkatan

Tabel 1 : Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test Metode Demonstrasi

Tabel 2 : Perbandingan Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Kelompok Demonstrasi

Tabel 3. Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test M etode Video

Tabel 4. Perbandingan Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Kelompok Video

119

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


pengetahuan responden tentang penyakit DBD
sebesar 19,71%
Perbandingan Retensi Post-test 1 dan Posttest 2 Hasil Angket Kelompok Metode
Demonstrasi dengan Metode Pemutaran Video.
Analisis yang dimaksudkan pada sub bab
ini adalah analisis mengenai perbandingan
perbedaan pengetahuan dan sikap tentang
penyakit DBD pada anak Sekolah Dasar dalam
retensi pelaksanaan metode demonstrasi dengan
metode pemutaran video, setelah pelaksanaan

post-test pertama dengan lama waktu retensi 1


(satu) bulan.
Perbandingan Hasil Post-test 1 dan Posttest 2 dengan Metode Demonstrasi. Lihat
Tabel 5.
Tabel 5 menerangkan bahwa perbandingan
antara hasil post-test 1 pengetahuan dengan hasil
post-test 2 pengetahuan pada kelompok dengan
perlakuan metode demonstrasi, bahwa hasil uji
t = 4,075 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas
0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada

Tabel 5. Perbandingan Hasil Post-test 1 dan Post-test 2 Metode Demonstrasi

Tabel 6. Perbandingan Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Kelompok Demonstrasi

Tabel 7. Perbandingan Hasil Post-test 1 dan Post-test 2 Metode Video

Tabel 8. Perbandingan Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Kelompok Pemutaran Video

120

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


perbedaan yang bermakna dalam retensi
pengetahuan responden pada waktu post-test 1
menggunakan metode demonstrasi dengan
pengetahuan responden setelah post-test 2
menggunakan metode demonstrasi. Hal ini
artinya adanya perubahan pada retensi
pengetahuan yang dialami oleh pada saat
menerima post-test 1 dengan pada saat
melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu
signifikan (bermakna).
Selanjutnya, perbandingan antara hasil posttest 1 sikap dengan hasil post-test 2 sikap pada
kelompok dengan perlakuan metode
demonstrasi di atas, bahwa hasil uji t = 5,139
(db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 <
0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan
yang bermakna dalam retensi sikap responden
pada waktu post-test 1 menggunakan metode
demonstrasi dengan sikap responden setelah
post-test 2 menggunakan metode demonstrasi.
Hal ini menunjukkan adanya perubahan pada
sikap yang dialami oleh pada saat menerima posttest 1 dengan pada saat melaksanakan post-test
2, dan perubahan itu signifikan (bermakna). Lihat
Tabel 6.
Perbandingan antara pengetahuan
responden didapatkan nilai rerata setelah
pelaksanaan post-test 1 perlakuan demonstrasi
sebesar 22,73 dan sesudah pelaksanaan post-

test 2 nilai rerata 21,77, sehingga dapat


dikatakan terjadi penurunan pengetahuan
responden tentang penyakit DBD sebesar
4,25%. Sedangkan perbandingan antara sikap
responden didapatkan nilai rerata setelah posttest 1 perlakuan demonstrasi sebesar 17,33 dan
sesudah perlakuan demonstrasi nilai rerata
16,57, sehingga dapat dikatakan terjadi
penurunan sikap responden tentang penyakit
DBD sebesar 4,42%.
Perbandingan Hasil Post-test 1 dan Posttest 2 dengan Metode Pemutaran Video. Lihat
Tabel 7.
Dari tabel hasil pengolahan data
perbandingan antara hasil post-test 1
pengetahuan responden dengan hasil post-test
2 pengetahuan pada kelompok dengan perlakuan
metode pemutaran video di atas, bahwa hasil uji
t = 3,597 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas
0,001 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada
perbedaan yang bermakna dalam retensi
pengetahuan responden pada waktu post-test 1
perlakuan menggunakan metode pemutaran video
dengan pengetahuan responden setelah post-test
2 menggunakan metode pemutaran video. Hasil
ini menunjukkan adanya perubahan pada retensi
pengetahuan yang dialami oleh pada saat
menerima post-test 1 dengan pada saat
melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu

Tabel 9. Rekapitulasi Pre-test, Post-test 1, Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap pada Kedua
Kelompok Perlakuan

121

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


signifikan (bermakna) pada responden dengan
metode pemutaran video. Lihat Tabel 9.
Selanjutnya, perbandingan antara hasil posttest 1 sikap dengan hasil post-test 2 sikap pada
kelompok dengan perlakuan metode pemutaran
video di atas, bahwa hasil uji t = 7,319 (db =
29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05,
sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang
bermakna dalam retensi sikap responden pada
waktu post-test 1 menggunakan metode
pemutaran video dengan sikap responden setelah
post-test 2 menggunakan metode pemutaran
video. Hasil ini menunjukkan adanya perubahan
pada retensi sikap yang dialami oleh pada saat
menerima post-test 1 dengan pada saat
melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu
signifikan (bermakna) pada responden dengan
metode pemutaran video. Lihat Tabel 8.
Perbandingan antara pengetahuan
responden didapatkan nilai rerata setelah
pelaksanaan post-test 1 perlakuan pemutaran
video sebesar 17,97 dan sesudah pelaksanaan
post-test 2 nilai rerata 16,70, sehingga dapat
dikatakan terjadi penurunan pengetahuan
responden tentang penyakit DBD sebesar
7,05%. Sedangkan perbandingan antara sikap
responden didapatkan nilai rerata setelah posttest 1 perlakuan pemutaran video sebesar 16,60
dan sesudah perlakuan demonstrasi nilai rerata
15,17, sehingga dapat dikatakan terjadi
penurunan sikap responden tentang penyakit
DBD sebesar 8,63%.
Rekapitulasi Hasil Pre-test, Post-test 1,
Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap pada Kedua
Kelompok Perlakuan.
Dari hasil pengolahan data di atas, maka
dapat dikatakan bahwa peningkatan pengetahuan
dan perbaikan sikap terhadap penyakit DBD
yang paling baik, didapatkan responden setelah
mendapatkan perlakuan dengan melaksanakan
demonstrasi, yang dibuktikan dengan persentase
peningkatan yang lebih besar yaitu 58,97% dan
29,68, dibandingkan dengan peningkatan
pengetahuan dan perbaikan sikap dengan
122

menggunakan metode pemutaran video yang


hanya 24,19% dan 19,71. Selain itu, dengan
menggunakan metode demonstrasi penurunan
retensi lebih kecil yaitu 4,25% untuk pengetahuan
dan 4,42% untuk sikap, dibandingkan dengan
menggunakan metode pemutaran video yang
mengalami penurunan retensi lebih besar yaitu
7,05% untuk pengetahuan dan 8,63% untuk
sikap. Pemberian pengetahuan dan sikap
mengenai penyakit DBD yang diberikan dengan
metode demonstrasi dapat lebih tahan lama di
memori responden, dibandingkan dengan
menggunakan metode pemutaran video.
Dengan demikian hasil dari penelitian ini
berarti bahwa, ada perbedaan efektifitas yang
bermakna antara metode demonstrasi dengan
metode pemutaran video terhadap peningkatan
pengetahuan dan perbaikan sikap tentang
pemberantasan penyakit DBD pada anak
Sekolah Dasar di Kecamatan Wedarijaksa,
Kabupaten Pati, dimana metode demonstrasi
lebih efektif daripada metode pemutaran video,
terlihat dari hasil pengukuran tingkat pengetahuan
dan sikap masing-masing responden beberapa
saat setelah diberikan perlakuan, bahkan tingkat
pengetahuan dan sikap responden (retensi)
setelah rentang waktu 1 (satu) bulan sesudah
pemberian perlakuan.
PEMBAHASAN
Karateristik Responden
Menurut Green (2000), karakteristik
merupakan salah satu faktor predisposing yang
mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia
responden antara 10 13 tahun, sehingga bisa
dikatakan bahwa responden merupakan sosok
anak-anak yang tentunya belum banyak
pengalamannya. Metode pembelajaran yang
lebih sesuai adalah cara belajar anak-anak yaitu
proses belajar yang terjadi hanya satu arah saja
(paedagogik).
Syah (2005) mengungkapkan bahwa usia
7 15 anak dalam tahap membina sikap

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


terhadap diri sendiri, kelompok, atau masyarakat, belajar memainkan peran serta kesadaran
atas kemampuan diri, sehingga pengetahuan dan
sikap akan mudah diubah dengan memberi
perlakuan yang sesuai kebutuhan mereka.
Piaget seperti dikutip Syah (2005), belajar
tahap ini cukup representatif mempengaruhi bagi
usia-usia selanjutnya. Jadi perlakuan yang
mampu meningkatkan pengetahuan dan
pembentukan sikap yang benar terhadap
penyakit DBD pada fase umur tersebut, akan
memberi pengaruh bagi responden terhadap
perilaku pemberantasan DBD.
Notoatmodjo (2005) juga menyatakan
bahwa anak usia sekolah merupakan kelompok
yang sangat peka untuk menerima perubahan
atau pembaruan, karena kelompok ini sedang
berada dalam taraf pertumbuhan dan
perkembangan, sehingga setiap stimulus seperti
bimbingan, pengarahan dan penanaman
kebiasaan-kebiasaan akan diterima dengan lebih
baik.
Dikatakan Winkel (1999), dengan
memperhatikan sikap, maka dapat dikatakan kita
memperoleh kecenderungan untuk memilih,
menerima atau menolak suatu obyek,
berdasarkan penilaian terhadap suatu obyek
sebagai hal yang berguna (positif) atau tidak
berguna (negatif). Sikap merupakan suatu
kemampuan internal yang berperanan sebelum
seseorang mengambil suatu tindakan (action).
Meskipun demikian, pemahaman dan
pengetahuan mengenai suatu obyek yang
terhadapnya akan diambil sikap, tetap memegang
peranan. Dalam hal ini, sikap responden untuk
mengubah perilakunya dalam upaya
pemberantasan DBD juga membutuhkan
pengetahuan yang cukup mengenai DBD.
Demonstasi dan pemutaran video merupakan
salah satu upaya pedagogik, karena konsep
pendidikan kesehatan adalah juga konsep
pendidikan yang diaplikasi pada bidang
kesehatan. (Dale, 1969)

Pengetahuan Responden tentang Penyakit


DBD
Hasil pengolahan data tahap pre-test
pengetahuan, baik kelompok demonstrasi
maupun pemutaran video menunjukkan bahwa
seluruh responden tidak dapat menjawab seluruh
pertanyaan mengenai pengetahuan dan sikap
dengan benar, hal ini dapat dipahami karena
memang seluruh responden tersebut belum
mendapatkan pendidikan / penyuluhan mengenai
pemberantasan penyakit DBD.
Namun responden juga ternyata mampu
menjawab beberapa pertanyaan, yang dibuktikan
dengan rata-rata jawaban yang cukup. Hal ini
membuktikan bahwa sebelum diberi perlakuan
pun responden telah / pernah mendapatkan
informasi mengenai DBD baik dari guru, media
massa atau sumber lainnya. Sesuai dengan hal
tersebut WHO (1992) menyatakan bahwa
pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman,
guru, orang tua, buku, atau media masa.
Hasil analisa terhadap rerata pre-test kedua
kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan
yang bermakna diantaranya, hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan / pengetahuan yang dimiliki
responden relatif sama, atau dengan kata lain
dalam penelitian ini semua responden yang akan
digunakan berangkat dari pengetahuan yang
sama tentang penyakit DBD.
Selanjutnya, hasil analisa rerata pre-test dan
post-test dari kedua kelompok menunjukkan
ada perbedaan yang bermakna diantaranya, hal
ini menunjukkan bahwa ada kenaikan
kemampuan / pengetahuan yang dimiliki
responden setelah mendapatkan perlakuan,
sehingga dapat dikatakan kedua metode yang
digunakan dapat digunakan untuk meningkatkan
pengatahuan responden.
Hasil ini sesuai dengan pendapat
Notoatmodjo (1990) yang menyatakan bahwa
dengan media promosi kesehatan, yaitu semua
sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau
informasi yang ingin disampaikan oleh
komunikator, baik itu melalui media cetak,
123

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


elektronika, maupun media luar ruang, dapat
meningkatkan pengetahuan yang akhirnya
diharapkan dapat berubah perilakunya kearah
positif terhadap kesehatan.
Analisa terhadap perbedaan rerata pre-test
dan post-test antara kelompok demonstrasi
dengan pemutaran video menunjukkan
perbedaan yang bermakna, dimana kenaikan
kelompok demonstrasi lebih tinggi dibandingkan
dengan persentase kenaikan 58,97% dengan
kelompok dengan pemutaran video yang hanya
24,19%, sehingga dapat dikatakan metode
demonstrasi lebih efektif dalam meningkatkan
pengetahuan responden tentang penyakit DBD.
Hasil tersebut dapat dipahami karena
dibandingkan dengan kelompok pemutaran video
dalam proses perlakuan, kelompok demonstrasi
mendapat pengalaman langsung atau pengalaman
konkret dan menuju pada pengalaman yang lebih
abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu
dengan alat peraga daripada bila siswa belajar
tanpa bantu dengan alat peraga.
Hasil pengukuran retensi (penyimpanan)
pengetahuan responden terhadap penyakit DBD
setelah 1 (satu) bulan didapati mengalami
penurunan yang bermakna, baik pada kelompok
demonstrasi maupun kelompok pemutaran
video. Hasil ini senada dengan teori pendapat
Winkel bahwa pada umumnya orang setelah
belajar pertama kali, lupa dengan cepat, tetapi
kemudian tidak begitu cepat. Gejala ini berkaitan
dengan apa yang dikenal sebagai Kurva Lupa
Ebbinghaus, yaitu pada permulaan, retensi
berkurang dengan cepat, tetapi kemudian
pengurangan itu beransur-angsur mengecil.
(Winkel, 1999)
Tetapi penurunan retensi kelompok
demonstrasi lebih kecil yaitu 4,25%,
dibandingkan dengan penurunan retensi
kelompok dengan metode pemutaran video yaitu
7,05%, sehingga dapat dikatakan dengan metode
demonstrasi pengetahuan responden tentang
penyakit DBD lebih bertahan lama.
Kenyataan bahwa pengetahuan kelompok
124

demonstrasi lebih bertahan lama karena dalam


proses perlakuan, kelompok demonstrasi
melibatkan indra responden yang lebih lengkap
yaitu melihat, mendengar dan melakukan,
dibandingkan dengan kelompok pemutaran video
yang hanya melihat dan mendengarkan saja.
Sejalan dengan kenyataan tersebut, Dale
(1969) menyatakan bahwa semakin banyak
indera yang digunakan untuk menerima sesuatu,
maka semakin banyak dan semakin jelas pula
pengertian / pengetahuan yang diperoleh. Usman
(2005) mengatakan penggunaan alat peraga yang
relevan dengan tujuan pengajaran dapat
meningkatkan hasil belajar sehingga lebih
bermakna dan tahan lama.
Dari hasil di atas juga memberikan implikasi
terhadap kemampuan siswa (responden) dalam
usaha pemberantasan DBD terutama oleh
responden yang adalah siswa Sekolah Dasar.
Dengan memperhatikan bahwa ternyata metode
demonstrasi lebih efektif untuk meningkatkan
pengetahuan siswa tentang pemberantasan DBD
ini sehingga dalam kelanjutannya, metode ini
dapat dikembangkan dan diimplementasikan
dalam program pemberantasan penyakit DBD.
Sikap Responden tentang Penyakit DBD
Hasil pengolahan data tahap pre-test sikap,
baik kelompok demonstrasi maupun pemutaran
video menunjukkan nlai yang hampir sama, hal
ini dapat dipahami karena memang seluruh
responden tersebut belum mendapatkan
pendidikan / penyuluhan mengenai
pemberantasan penyakit DBD.
Namun responden juga mampu menjawab
beberapa pertanyaan, yang dibuktikan dengan
rata-rata jawaban yang cukup. Hal ini
membuktikan bahwa sebelum diperi perlakuan
pun responden telah / pernah mendapatkan
informasi mengenai DBD baik dari guru, media
massa atau sumber lainnya.
Hasil analisa terhadap rerata pre-test kedua
kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan
yang bermakna diantaranya, hal ini menunjukkan

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


bahwa sikap yang dimiliki responden relatif sama,
atau dengan kata lain dalam penelitian ini semua
responden yang akan digunakan berangkat dari
sikap yang sama tentang penyakit DBD.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap obyek dengan cara tertentu, bentuk dan
reaksinya dapat positif atau negatif. Untuk itu
dalam proses pelatihan untuk mengubah sikap,
kondisi belajar harus diperhatikan.(Purwanto,
2004) Sejalan dengan hasil yang didapat, bahwa
hasil analisa rerata pre-test dan post-test dari
kedua kelompok menunjukkan ada perbedaan
yang bermakna, hal ini menunjukkan bahwa ada
perbaikan sikap yang dimiliki responden setelah
mendapatkan perlakuan, sehingga dapat
dikatakan kedua metode yang digunakan dapat
digunakan untuk memperbaiki sikap responden.
Hasil ini sesuai dengan Notoatmodjo (1990)
yang menyatakan bahwa dengan media promosi
kesehatan, yaitu semua sarana atau upaya untuk
menampilkan pesan atau informasi yang ingin
disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui
media cetak, elektronika, maupun media luar
ruang, dapat meningkatkan pengetahuan yang
akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya
kearah positif terhadap kesehatan.
Analisa terhadap perbedaan rerata pre-test
dan post-test antara kelompok demonstrasi
dengan pemutaran video menunjukkan
perbedaan yang bermakna, dimana perbaikan
sikap kelompok demonstrasi lebih tinggi yaitu
29,68% dibandingkan dengan kelompok dengan
pemutaran video yang hanya 19,71%, sehingga
dapat dikatakan metode demonstrasi lebih efektif
dalam mengembangkan sikap responden tentang
penyakit DBD.
Hasil tersebut dapat dipahami karena
dibandingkan dengan kelompok pemutaran video
dalam proses perlakuan, kelompok demonstrasi
mendapat pengalaman langsung atau pengalaman
konkret dan menuju pada pengalaman yang lebih
abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu
dengan alat peraga daripada bila siswa belajar
tanpa bantu dengan alat peraga. Sejalan dengan

hasil yang didapat, Gredler (1986) mengatakan


bahwa proses perubahan sikap dan tingkah laku
itu pada dasarnya berlangsung pada suatu
lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat
sedikit sekali bergantung pada situasi alami
(kenyataan). Melengkapi hal tersebut Prabandari
mengatakan bahwa dengan kondisi belajar yang
tepat dimana 1) pelatih membantu peserta untuk
mengenal dan menyadari sikap lama sebelum
mengikuti pelatihan; 2) peserta diberi kesempatan
untuk mengevaluasi sikap baru. 3) peserta diberi
kesempatan untuk mencoba melakukan sikap
baru mereka, sikap dan keyakinan responden
dapat diketahui dengan cara menanyakan
kepada orangnya dengan menggunakan
pertanyaan atau skala. (Prabandari, 1994)
Hasil pengukuran retensi (penyimpanan)
pengetahuan responden terhadap penyakit DBD
setelah 1 (satu) bulan didapati mengalami
penurunan yang bermakna, baik pada kelompok
demonstrasi maupun kelompok pemutaran
video. Hasil ini senada dengan teori pendapat
Winkel (1999) bahwa pada umumnya orang
setelah belajar pertama kali, lupa dengan cepat,
tetapi kemudian tidak begitu cepat. Gejala ini
berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai
Kurva Lupa Ebbinghaus, yaitu pada
permulaan, retensi berkurang dengan cepat, tetapi
kemudian pengurangan itu beransur-angsur
mengecil.
Meskipun sama-sama menunjukkan
penurunan retensi yang bermakna, namun
penurunan retensi sikap kelompok demonstrasi
lebih kecil yaitu 4,42%, dibandingkan dengan
penurunan retensi sikap kelompok dengan
metode pemutaran video yaitu 8,63%, sehingga
dapat dikatakan dengan metode demonstrasi
sikap responden tentang penyakit DBD lebih
bertahan lama.
Gredler (1986) menegaskan bahwa proses
perubahan sikap dan tingkah laku itu pada
dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan
buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali
bergantung pada situasi alami (kenyataan).
125

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


Penurunan tingkat retensi yang lebih rendah
diperoleh karena dalam proses perlakuan,
kelompok demonstrasi melibatkan indra
responden yang lebih lengkap yaitu melihat,
mendengar dan melakukan, dibandingkan dengan
kelompok pemutaran video yang hanya melihat
dan mendengarkan saja. Hal ini senada dengan
Dale (1969) yang menyatakan bahwa semakin
banyak indera yang digunakan untuk menerima
sesuatu, maka semakin banyak dan semakin jelas
pula pengertian / pengetahuan yang diperoleh.
Senada dengan itu Usman (2005) mengatakan
penggunaan alat peraga yang relevan dengan
tujuan pengajaran dapat meningkatkan hasil
belajar sehingga lebih bermakna dan tahan lama.
Hasil ini juga memberikan implikasi terhadap
perkembangan sikap siswa (responden) dalam
pandangan, reaksi dan tindakan antisipatif pada
penanganan penyakit DBD, terutama dalam
proses pemberantasan DBD ini. Metode
demonstrasi juga sedapatnya dikembangkan dan
diimplementasikan pada setiap program
pemberantasan penyakit DBD, karena memang
terbukti efektif dalam menumbuhkan sikap yang
lebih baik, khususnya pada siswa-siswa Sekolah
Dasar di Kecamatan Wedarijaksa.
Perbandingan Peningkatan Pengetahuan dan
Perbaikan Sikap Responden dengan Metode
Demonstrasi dan Pemutaran Video
Usman (2005) menyebutkan bahwa
keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh
strategi dan metode serta alat bantu pembelajaran
yang digunakan dalam proses pendidikan, untuk
itu perlu didesain secara efektif.
Yang dimaksud dengan efektifitas metode
pelatihan yaitu tingkat keberhasilan yang dapat
dicapai dari tujuan suatu program pelatihan
dengan menggunakan sarana seefisien mungkin.
(Lookwood, 1994) Indikator efektifitas dari suatu
metode pelatihan adalah dapat mencapai hasil
yang maksimal dengan menggunakan sarana yang
minimal. Efisien diartikan dalam hubungan
perbandingan antara input dan output dari suatu
kegiatan.
126

Hasil penelitian ini mendapati bahwa


penggunaan metode demonstrasi berhasil
memberikan sumbangan yang lebih besar bagi
peningkatan pengetahuan dan perbaikan sikap
yang positif responden terhadap penyakit DBD
yaitu 58,97% dan 29,68%, dibandingkan dengan
metode pemutaran video yang hanya 24,19%
dan 19,71%.
Sesuai dengan pendapat Usman yang
mengatakan bahwa belajar yang efektif harus
mulai dengan pengalaman langsung atau
pengalaman konkret dan menuju pada
pengalaman yang lebih abstrak, metode
demonstrasi yang diberikan oleh penulis,
memberikan kesempatan kepada responden
kesempatan mempraktekkan cara-cara
pencegahan dan pemberantasan nyamuk Aedes
Aegypti sebagai sumber DBD.
Dari hasil analisis juga didapati bahwa
ternyata penurunan tingkat retensi pengetahuan
dan sikap terhadap penyakit DBD lebih kecil
pada responden yang menggunakan metode
demostrasi yaitu 4,25% dan 4,42; dibandingkan
penurunan tingkat retensi yang lebih cepat apabila
menggunakan metode pemutaran video yaitu 7,05
dan 8,63. Hal ini terjadi karena memang
penggunaan metode demonstrasi memberikan
pengalaman langsung kepada responden
bagaimana proses pencegahan dan
pemberantasan penyakit DBD.
Hasil di atas diperoleh karena memang
metode dalam penyuluhan dengan menyajikan ide
/ pengertian yang telah dipersiapkan dengan teliti
untuk memperlihatkan bagaimana cara
melaksanakan suatu adegan atau tindakan melalui
prosedur yang benar, dengan menggunakan alat
bantu yang tetap yang telah dipersiapkan yaitu
demonstrasi, dimana cara / metode mengajar ini
dengan menunjukkan, memperlihatkan suatu
proses, sehingga siswa dapat melihat, mengamati,
mendengar, meraba dan merasakan proses yang
dipertunjukkan oleh pendidik tersebut. Dengan
metode ini proses penerimaan siswa terhadap
pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam,

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


sehingga membentuk pengertian dengan baik dan
sempurna.
Senada dengan itu Winkel (1999)
mengatakan bahwa semakin baik pengolahan
materi (encoding), makin baik pula
penyimpanannya (storage) sehingga makin baik
pola proses penggalian dari ingatan. Ditegaskan
oleh Usman (2005) bahwa penggunaan alat
peraga multimedia yang relevan dengan tujuan
pengajaran dapat meningkatkan hasil belajar
sehingga lebih bermakna dan tahan lama.
Green (2000) mengatakan banyak bukti
bahwa kelanggengan perubahan kognitif
(pengetahuan) dan perilaku bersifat proporsional
terhadap tingkat partisipasi aktif daripada tingkat
partisipasi pasif dari mereka yang belajar.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat
dikatakan bahwa perbedaan utama metode
demonstrasi dengan pemutaran video adalah
bahwa partisipasi siswa yang terjun langsung
dalam kegiatan PSN menjadikan pengetahuan
mereka meningkat dan perbaikan sikap siswa
terhadap proses pemberantasan DBD dengan
retensi yang lebih tahan lama, dibandingkan
pemutaran video.
Mempertegas hasil yang didapatkan,
dikatakan Bloom (1988) dalam defenisi
belajarnya yaitu perubahan tingkah laku yang
relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.
Secara praktis dan diasosiasikan sebagai proses
memperoleh informasi, menurut Kupferman
belajar adalah proses dimana manusia dan
binatang menyesuaikan tingkah lakunya sebagai
hasil dari pengalaman. (Dale, 1969)
SIMPULAN DAN SARAN
Metode demonstrasi lebih efektif dari pada
metode pemutaran video dalam meningkatkan
pengetahuan dan perbaikan sikap anak SD di
Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati tentang
pemberantasan DBD, dibuktikan dimana
pengetahuan dan sikap sebagai kesan pertama
yang diserap / diterima (fiksasi) atas apa yang
dipelajari / didapatkan lebih baik dengan metode

demonstrasi sehingga penurunan retensi pada


metode demonstrasi lebih rendah daripada
penurunan retensi pada metode pemutaran
video.
Walaupun terbukti bahwa metode
demonstrasi lebih efektif dibandingkan metode
pemutaran video, namun pada jawaban
beberapa item pernyataan ternyata mengalami
penurunan pada post-test II seperti dalam
pernyataan pengetahuan mengenai tujuan PSN,
warna nyamuk aedes aegypti, mayoritas
penderita DBD, gejala dan tanda penderita DBD.
Pada pernyataan sikap juga mengalami
penurunan pada pernyataan mengenai
pencegahan DBD, tempat penampungan air yang
dapat menjadi perkembangbiakan nyamuk aedes
aegypti, kegiatan PSN yang mengganggu
kegiatan belajar, kamar kecil / WC dikuras jika
kelihatan kotor saja dan penyakit DBD dapat
diobati sendiri tanpa dibawa ke dokter.
Dengan melihat hasil jawaban responden
pada metode demonstrasi, masih terjadi
penurunan pada beberapa item pernyataan,
seperti disampaikan pada kesimpulan, perlu
mendapatkan perhatian dan penyempurnaan,
sehingga pada proses penelitian atau pelaksanaan
promosi kesehatan khususnya mengenai
penyakit DBD dan PSN, perbaikan dapat
dilakukan dengan materi demonstrasi atau
memberikan penegasan / tekanan tambahan pada
pernyataan-pernyataan tersebut.
Saran bagi Institusi yang berkepentingan
dengan penyakit DBD dapat menggunakan
metode demonstrasi sebagai alternatif yang lebih
baik untuk meningkatkan pengetahuan dan
perbaikan sikap objek penelitian, dibandingkan
dengan metode pemutaran video.
Bagi para pelaksana promosi kesehatan,
khususnya mengenai pencegahan penyakit DBD,
dapat memanfaatkan metode demonstrasi dalam
memberikan penyuluhan, pendidikan, informasi
kepada siswa SD yang secara statistik telah
terbukti lebih efektif dalam meningkatkan
pengetahuan dan perbaikan sikap objek.
127

Perbedaan Efektifitas Metode Demonstrasi Dengan Pemutaran ... (Cahya Wibawa)


Penelitian ini hanya dipakai dalam usaha
pencegahan penyakit DBD, sehingga ada
baiknya apabila ada peneliti lain yang
menggunakannya bagi usaha peningkatan
pengetahuan dan perbaikan sikap dalam masalah
berbeda, atau karakteristik responden yang
berbeda atau membandingkannya dengan
metode-metode lain.
KEPUSTAKAAN
Arikunto, S. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. 1990.
Azwar, S. Sikap Manusia. Teori dan
Pengukurannya. Edisi II. Liberty.
Yogyakarta. 1995.
Azwar, S. Sikap Manusia. Teori dan
Pengukurannya. Edisi Revisi. Pustaka
Pelajar. 1997.
Bloom F.E. Brain, Mind And Behaviour. 2nd
ed. New York : W.H. Freeman. 1988 : 240269.
Dale, Cone. Education Media. New York:
Charles Merrill. 1969.
Depkes R.I. Petunjuk Teknis Pemberantasan
Penyakit DBD, Departemen Kesehatan, R
I, Jakarta. 1995 (a).
Depkes R.I. Petunjuk Teknis Pemberantasan
Penyakit DBD, Departemen Kesehatan, R
I, Jakarta. 1995 (b).
Depkes R.I. Tatalaksana Demam Dengue /
Demam Berdarah Dengue, Departemen
Kesehatan R I. Jakarta. 1999.
Dinas Kesehatan Kabupaten Pati. Data Kasus
DBD per Desa Tahun 2001 2005. 2005.
Green L W. Health Education Promotion
Planning. Copyright by Mayfield Publishing Company. 2000.
Lookwood. D. Desain Pelatihan Efektif Bagi
Supervisor dan Managemen Madya,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994.
Notoatmodjo. S. Promosi Kesehatan Teori
dan Aplikasi. Rineka Cipta, Jakarta. 2005.
128

Notoatmodjo.S. Ilmu Kesehatan Masyarakat


(Prinsip-Prinsip Dasar), Rineke Cipta.
Jakarta. 2003.
Notoatmodjo.S. Pengantar Pendidikan
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Penerbit Andi Offset. Yogyakarta. 1993.
Notoatmodjo.S. Pengantar Perilaku
Kesehatan. Jurusan PKIP. FKM UI.
Jakarta. 1990.
Prabandari, S.Y. Pndidikan Melalui Seminar
dan Diskusi sebagai Alternatif
Penanggulangan Perilaku Merokok
pada Remaja Pelajar SMTA di Kodya
Yogyakarta. (Tesis). 1994.
Pramono, D. Pendidikan Kesehatan Gigi
dalam Kurikulum Sekolah dengan
Metode Diskusi dan Sistem Modul.
(Tesis). 1986.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan.
PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004.
Pusat Data Dan Informasi Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Glosarium
Data & Informasi Kesehatan. 2005.
Pusat Informasi Penyakit Infeksi khususnya
Khususnya HIV/AIDS, Protein Dengue
Perangsang Antibodi, www.infeksi.com.
download 9 Desember 2006.
Santoso, Singgih. SPSS (Mengolah Data Statistic Secara Professional). Elexmedia
Komputindo. Gramedia. Jakarta. 1999.
Sintorini, MM. Dinamika Penularan Demam
Berdarah Dengue dalam Kaitan dengan
Pola Variabilitas Iklim (Studi Kasus DBD
di DKI Jakarta), Fakultas Arsitektur
Lansekap dan Teknik Lingkungan Universitas Trisakti Jakarta, Jurnal Teknik
Lingkungan Edisi Khusus, Agustus 2006.
Soedarmo, S.P. Demam Berdarah pada Anak.
Universitas Indonesia Press. Jakarta. 1995.
Soediatmo. Tehnik Penyajian Materi. Jakarta.
1980.

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 2 / Agustus 2007


Sugiyono, Statistika untuk Penelitian.
Alfabeta. Bandung. 1997.
Sutomo, S. Pemberantasan Penyakit Demam
Berdarah melalui Pengawasan Kualitas
Lingkungan. Medika No. 7. Tahun 17. p.
529 540.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2005.
Tjahjowati,S. Perbandingan pengaruh Metode
Pendidikan Kader antara metode
Memontum dan Metode Belajar
Berdasarkan Masalah. Tesis. 1997.
Usman, Moh, Uzer. Menjadi Guru
Profesional. Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2005.
Utomo, M. Peranan Dokter Kecil dalam
Pembersihan Sarang Nyamuk Aedes di
Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo.
Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.
1989.
WHO, Fact Sheet : Dengue and Dengue
haemorrhagic fever, Revised April 2002,
www.searo.who.int. download 9
Desember 2006.
WHO, Fact Sheet : Epidemic and Pandemic
Alert and Response (EPR), Revised April
2002, www.searo.who.int. Download 9
Desember 2006.
WHO. Pendidikan Kesehatan (Terjemahan Ida
Bagus Tjitarsa). Penerbit ITB dan Universitas Udayana Bandung. 1992.
Winkel, W.S. Psikologi Pengajaran. Grasindo.
Jakarta. 1999.

129

You might also like