Ika Heri Kustanti - 1003000069

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 140

PENGARUH SUBTITUSI PASTA TALAS BELITUNG

(Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott), TEPUNG TEMPE KEDELAI DAN


TEPUNG TAPIOKA TERHADAP NILAI ENERGI, MUTU KIMIA,
MUTU FISIK DAN MUTU ORGANOLEPTIK MI E BASAH
UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS

Karya Tulis Ilmiah ini Disusun sebagai Salah Satu Persyaratan
Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Gizi


Oleh :

IKA HERI KUSTANTI
1003000069















KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA
MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
MALANG
2013

iii


iv

PENGARUH SUBTITUSI PASTA TALAS BELITUNG
(XANTHOSOMA SAGITTIFOLIUM (L.) SCHOTT), TEPUNG TEMPE
KEDELAI DAN TEPUNG TAPIOKA TERHADAP NILAI ENERGI, MUTU
KIMIA, MUTU FISIK DAN MUTU ORGANOLEPTIK MIE BASAH
UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS
Ika Heri Kustanti
1
, Astutik Pudjirahaju
2
, Sulistiastutik
2
,Theresia Puspita
2

Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan KEMENKES Malang, c.jilbab@yahoo.com

Abstract : Prevalence of Diabetes Mellitus (DM) is increasing from year to year. One alternative
of therapy for diabetic is healthy diet to reduce elevated levels of blood glucose and reduce of
clinical symptoms that may increase the risk of complications. One alternative is the use of local
food consumption belitung taro that have a low GI and carbohydrate sources. Wet noodle is one
alternative to increase the added value of taro belitung. In a wet noodle processing can be
substituted soybean cake flour and tapioca flour to increase nutritional value. The purpose of
research analyzing the effect of substitution belitung taro paste, soybean cake flour and tapioca
flour to the value of the energy, chemical quality, physical quality and organoleptic test wet noodle
for diabetic. Types of experimental studies with research designs completely randomized design
(CRD). Level of treatment is the ratio of wheat flour, pasta belitung taro, tapioca flour and soybean
cake flour is P0 = (100: 0: 0: 0), P1 = (50: 30: 15: 5), P2 = (40: 35: 15: 10), P3 = (35: 40: 10: 15).
The results is treatment P3 (35% wheat, 40% belitung taro paste, 10% tapioca flour and 15%
soybean cake flour) is the best standard of treatment because it contains 252 Calories of energy
lower than 30% of the rice, carbohydrate 37.41% and mostly in the form of oligosaccharides so
reducing sugar is low (0.173 mg /dl), the resulting reduction sugar level lower than P
0
. Wet pasta
noodles taro belitung have 3x more fiber than a wet noodle from wheat flour, protein 11.9 g/100 g
fulfill of 15% / 100 g (2000 Calories / day), 6.1% fat in the form of saturated fat and fulfill of
10%/100 g (2000 Calories/day), 1.5% ash content and a water content of 41%. Elasticity wet
noodle treatment P3 level by 20% and power dropped 0.7 N. The panelists prefered the wet
noodle pasta belitung taro treatment P
3
. Other research to determine how many levels of
oligosaccharides wet noodle pasta belitung taro.

Kata kunci : Diabetic , Wet Noodles, Belitung Taro, Tapioca flour, Soybean Cake Flour

Abstrak : Prevalensi penderita Diabetes Melitus (DM) meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu
upaya terapi bagi penderita DM adalah pengaturan pola makan yang sehat untuk menekan
peningkatan kadar glukosa darah dan menekan timbulnya gejala klinik yang dapat meningkatkan
resiko komplikasi. Salah satu alternatif pemanfaatan pangan lokal adalah konsumsi talas belitung
yang memiliki IG rendah dan sumber karbohidrat. Mie basah merupakan salah satu alternatif
untuk meningkatkan nilai tambah talas belitung. Dalam pengolahan mie basah disubtitusi tepung
tempe kedelai dan tepung tapioka untuk meningkatkan nilai gizi. Tujuan penelitian menganalisis
pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe dan tepung tapioka terhadap nilai energi,
mutu kimia, mutu fisik dan mutu organoleptik mie basah bagi penderita DM. Jenis penelitian
eksperimen dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL). Taraf perlakuan adalah
perbandingan tepung terigu, pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe yaitu P0 = (100
: 0 : 0 : 0), P1= (50 : 30 : 15 : 5), P2= (40 : 35 : 15 : 10), P3= (35 : 40 : 10 : 15). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa taraf perlakuan P
3
(35% terigu, 40% pasta talas belitung, 10% tepung tapioka
dan 15% tepung tempe) merupakan taraf perlakuan terbaik karena mengandung energi 252 Kalori
lebih rendah 30% dibandingkan nasi, karbohidrat 37.41% dan sebagian besar berupa oligosakarida
sehingga kadar gula reduksinya sedikit (0.173 mg/dl), Selain itu, kadar gula reduksi yang
dihasilkan lebih rendah dibandingkan taraf perlakuan P
0
. Mie basah pasta talas belitung
mengandung serat 3x lebih besar dibandingkan mie basah dari tepung terigu, protein 11.9 g/100 g
memenuhi kebutuhan 19%/100 g (2100 Kalori/hari), lemak 6.1% memenuhi kebutuhan 11.5%/100
g (2100 Kalori/ hari) dan berupa lemak tidak jenuh, kadar abu 1,5% dan kadar air 41%.
Elastisitas mie basah taraf perlakuan P
3
sebesar 20% dan daya putus 0.7 N. Panelis menyatakan
suka (3) terhadap mie basah taraf perlakuan P
3.
Penelitian lanjutan untuk mengetahui berapa kadar
oligosakarida mie basah pasta talas belitung.

v

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Karya
Tulis Ilmiah yang berjudul : Pengaruh Subtitusi Talas Belitung (Xanthosoma
Sagittifolium (L.) Schott), Tepung Tempe Kedelai dan Tepung Tapioka Terhadap
Nilai Energi, Mutu Kimia, Mutu Fisik dan Mutu Organoleptik Mie Basah Untuk
Penderita Diabetes Melitus. Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah
sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan program pendidikan Diploma III
Gizi.
Sehubungan dengan terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini, penulis ingin
menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.
2. Ketua Jurusan Gizi Malang.
3. Ketua Prodi Diploma III Gizi Malang.
4. Theresia Puspita, S.TP, MP selaku Penguji
5. Ir. Astutik Pudjirahaju, M.Si selaku Dosen Pembimbing Utama
6. Dra. Sulistiastutik, M. Kes selaku Dosen Pembimbing Pendamping
7. Para dosen dan staff karyawan Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Malang
yang telah memberi ilmu yang bermanfaat
8. Staff perpustakaan Poltekkes Kemenkes Malang yang telah membantu
memberikan literatur.
9. Keluarga yang banyak memberikan bantuan moril dan spiritual serta doa bagi
penulis
10. Teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan dukungan moril
maupun spiritual dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini
Penulis menyadari Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak memiliki
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penulis harapkan.
Malang, 29 Juli 2013

Penulis


vi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan disebuah kota dengan julukan
kota Santri, yaitu Kota Jombang. Penulis dengan nama
lengkap Ika Heri Kustanti lahir di Jombang pada tanggal 1
Januari 1992. Penulis merupakan anak pertama dari 2
bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Tohari dan Ibu
Muatin. Penulis menempuh pendidikan di RA.Muslimat
NU Tapen, MI Darul Ulum Tapen, SMPN 1 Kudu
selanjutnya SMAN 3 Jombang dan akhirnya merantau ke Malang untuk
melanjutkan pendidikan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, Jurusan Gizi
tahun 2010 2013. Karya tulis ilmiah ini merupakan karya yang dibuat sebagai
syarat kelulusan di Politeknik tersebut. Sebelumnya, penulis juga kerap menulis
karya tulis ilmiah baik sewaktu di SMA maupun semasa kuliah. Karya tulis ilmiah
yang dibuat sering diikutkan dalam perlombaan karya ilmiah tingkat Nasional dan
masuk dalam kategori finalis. Selain sebagai syarat kelulusan, karya ilmiah
berjudul Mie Basah Pasta Talas Belitung ini telah dipublikasikan di ajang seminar
Nasional PATPI (Perkumpulan Ahli Teknologi Pangan Indonesia). Selama
menempuh pendidikan perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi
mahasiswa seperti BPMJ Gizi tahun 2010/2011, HMJ Gizi 2011/2012 dan KI
(Kelompok Ilmiah) Poltekkes KEMENKES Malang. Motto hidupnya adalah
lakukan yang terbaik untuk hasil terbaik. Man Jaddah Wa Jaddah dan Man
Shabara Zhafira. Lihatlah proses sebelum kita menilai hasil karena kehidupan
berawal dari Proses.









vii




Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?!






































viii

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................... 10
DAFTAR ISI............................. ............................................................................ 10
DAFTAR TABEL ............................................................................................... 11
DAFTAR GAMBAR........ ...................................................................................... 1
DAFTAR LAMPIRAN........ ....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 10
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prevalensi Diabetes Melitus ......................................................... 12
2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Faktor Penyebab .............................. 13
2.3 Dampak Diabetes Melitus ............................................................ 12
2.3.1 Terjadi Komplikasi dengan Penyakit Lain ...................... 12
2.3.2 Biaya Pengobatan dan Perawatan Tinggi ........................ 12
2.4 Pengelolaan Diabetes (Indeks Glikemik) .................................... 13
2.5 Mie Basah .......................................................................................
2.6 Metode Pengolahan Mie .................................................................
2.7 Bahan-bahan Pengelolaan Mie ........................................................
2.7.1 Tepung Terigu .................................................................. 12
2.7.2 Talas Belitung .................................................................. 12
2.7.3 Tepung Tempe ......................................................................
2.7.4 Tepung Tapioka ....................................................................
2.7.5 Telur .....................................................................................
2.7.6 Bahan Tambahan (Food Addictive) dalam
Pengelolaan Mie ...........................................
2.8 Mutu Kimia .....................................................................................
2.8.1 Karbohidrat ....................................................................... 12
2.8.2 Protein .............................................................................. 12
2.8.3 Lemak ...................................................................................
2.8.4 Serat .................................................................................. 12
2.8.5 Kadar Air .......................................................................... 12
2.8.6 Kadar Abu ........................................................ Karbohidrat 12
2.8.7 Gula Reduksi ........................................................................
2.9 Mutu Fisik .......................................................................................
2.9.1 Elastisitas .......................................................................... 12
2.9.2 Daya Putus ........................................................................ 12
2.10 Mutu Organoleptik ..........................................................................



Halaman
iv
v
vi
x
xi


1
5
5
6


7
7
8
8
10
10
13
14
15
15
17
19
20
20
21


22
23
24
25
26
27
27

28
28
29
7727


ix

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 14
3.2 Hipotesis ....................................................................................... 15


BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian .......................................................... 16
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 18
4.3 Variabel Penelitian ......................................................................... 18
4.4 Definisi Operasional Variabel ........................................................ 18
4.5 Alat dan Bahan ............................................................................... 20
4.6 Tahap-tahap Penelitian ................................................................... 23
4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data ...............................................
4.7.1 Nilai Energi dan Mutu Kimia ........................................... 12
4.7.2 Mutu Fisik ........................................................................ 12
4.7.3 Mutu Organoleptik ...............................................................
4.7.4 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
4.7.5 Instrument Analisis Data

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Deskripsi Produk ..............................................................................
5.2 Mutu Kimia .....................................................................................
5.2.1 Kadar Air ......................................................................... 12
5.2.2 Kadar Abu ........................................................................ 12
5.2.3 Kadar Protein .................................................................... 12
5.2.4 Kadar Lemak ................................................................... 12
5.2.5 Kadar Serat ...................................................................... 12
5.2.6 Kadar Gula Reduksi ........................................................ 12
5.2.7 Kadar Karbohidrat ...............................................................
5.3 Nilai Energi
5.4 Mutu Fisik .................................................................................... 18
5.4.1 Elastisitas .............................................................................
5.4.2 Daya Putus ....................................................................... 12
5.5 Mutu Organoleptik ............................................................................
5.5.1 Warna ............................................................................... 12
5.5.2 Aroma .............................................................................. 12
5.5.3 Rasa ................................................................................. 12
5.5.4 Tekstur .................................................................................
5.6 Taraf Perlakuan Terbaik ................................................................. 18

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................



31
32
1


33
34
34
34
36
41
52
52
52
53
54
55

34
56
58
58
59
60
62
63
65
66
68
70
70
72
73
73
75
77
80
82

87
89
94
1


x

DAFTAR TABEL

Nomor

2.1
2.2
2.3
4.1
4.2
4.3

5.1


5.2


5.3


5.4


5.5


5.6


5.7


5.8


5.9


5.10


5.11


Teks

Nilai Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pangan ....................................................... 6
Komposisi Tepung Terigu dalam 100 g bahan
Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung ....................................................................
Rancangan Acak Lengkap ....................................................................................... 9
Proporsi Bahan Penelitian ..................................................................................... 16
Komposisi Tiap Perlakuan dalam Pengolahan Mie Basah.

Rata-rata Kadar Air Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan ..

Rata-rata Kadar Abu Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan

Rata-rata Kadar Protein Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan

Rata-rata Kadar Lemak Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan

Rata-rata Kadar Serat Kasar Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan

Rata-rata Kadar Gula Reduksi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap
Taraf Perlakuan

Rata-rata Kadar Karbohidrat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan

Rata-rata Nilai Energi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan

Modus Tingkat Kesukaan terhadap Warna Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Hidangan .................................................................................... 24

Modus Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Hidangan...
Modus Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Hidangan ........................................................................................

Halaman

100
16
18
33
41
41

58

59

60

62

63

65

67

69

74

76

78
xi


5.12


5.13


5.14

5.15


5.16



1


2


3


4


5


6


7



8


9


10




Modus Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Hidangan

Rata- rata dan Rangking Variabel dalam Penentuan Taraf Perlakuan
Terbaik..

Karakteristik Mie Basah Pada Taraf Perlakuan P
3.
Perbandingan Kandungan Gizi Mie Basah Pasta Talas
Belitung
...

Angka Kecukupan Gizi Per Takaran Saji
.


Lampiran

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Air Mie basah Hasil Substitusi .........................................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Abu Mie Basah Hasil Substitusi ......................................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Kadar Protein Mie Basah Hasil Substitusi .....................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Kadar Lemak Mie Basah Hasil Substitusi .....................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Kadar Serat Mie Basah Hasil Substitusi ........................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Kadar Gula Reduksi Mie Basah Hasil Substitusi ...........................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Kadar Karbohidrat Mie Basah Hasil Substitusi .............................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Nilai Energi Mie Basah Hasil Substitusi ........................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Elastisitas Mie Basah Hasil Substitusi ...........................................

Hasil Uji Statistik Oneway Anova dan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) untuk Daya Putus Mie Basah Hasil Substitusi .........................................



81

83

84
84

86



107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

xii


11


12


13


14










Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Warna
mie basah Hasil Substitusi .......................................................................................

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Aroma
Mie Basah Hasil Substitusi .......................................................................................

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Rasa Mie
Basah Hasil Substitusi ..............................................................................................

Hasil Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Tingkat Penerimaan Tekstur
Mie Basah Hasil Substitusi .......................................................................................




117

122

123

124




























xiii

DAFTAR GAMBAR


Nomor Teks

4.1 Nomor urut, Bilangan Random, dan Ranking ................................. 17

4.2 Lay Out Penelitian dengan Desain RAL .......................................... 17

4.3 Diagram Alir Pengolahan Tepung Tempe Kedelai ........................... 24

4.4 Diagram Alir Pengolahan Pasta Talas Belitung ............................... 25

4.5 Diagram Alir Pengolahan Mie Basah .............................................. 25

4.6 Diagram Alir Analisis Kadar Protein ................................................ 27

4.7 Diagram Alir Analisis Kadar Lemak ................................................ 28

4.8 Diagram Alir Analisis Kadar Serat ................................................... 29

5.7 Diagram Alir Analisis Kadar Air ..........................................................

4.10 Diagram Alir Analisis Kadar Abu ........................................................

4.11 Diagram Alir Analisis Kadar Gula Reduksi ..................................... 29

4.12 Diagram Alir Analisis Mutu Fisik ........................................................

5.1 Visualisasi Warna Mie Basah ...............................................................

5.2 Elastisitas Mie Basah tiap Taraf Perlakuan ...................................... 29

5.3 Daya Putus Mie Basah tiap Taraf Perlakuan .................................... 29

5.4 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Warna Mie basah..

5.5 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Aroma Mie
basah.

5.8 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Rasa Mie
basah.

5.7 Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Tekstur Mie basah
Halaman

33

33

42

42

43

44

45

46

47

48

49

50

57

71

73

74

76

78

80




xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Teks
SNI Mie Basah ................................................................................................. .. 42
Gambar Randomisasi dan Penentuan Desain Lay Out ....................................... 43
Formulis Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test) .......................................... 43
Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik ...................................................................
Daftar Indeks Glikemik Bahan Pangan ..............................................................
Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik ..........................................................
Data Organoleptik Mie Basah Tanpa Bumbu ....................................................
Data Organoleptik Mie Basah Dengan Bumbu ..................................................
Hasil Analisis Mutu Kimia dan Fisik Mie Basah Pasta Talas
Belitung ..............................................................................................................



Halaman
94
97
98
99
100
101
104
105
106











BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit Diabetes Melitus (DM) saat ini menjadi masalah paling umum di
dunia, baik di negara maju maupun berkembang (PERKENI, 2006). Pada tahun
2000 terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap DM
(Soegondo, 2006). WHO memperkirakan pada tahun 2025, Indonesia akan
menempati peringkat lima di dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 12,4
juta jiwa (Suyono, 2006).
Persatuan Diabetes Indonesia (2011) melaporkan bahwa jumlah penderita
DM di Jawa Timur sebesar 6% dari total jumlah penduduk sebanyak 37.476.757
orang (Sensus Penduduk, 2010). Kondisi tersebut terlihat pada salah satu
Kabupaten di Jawa Timur yaitu Kabupaten Jombang dimana terjadi peningkatan
prevalensi penderita DM sebesar 20% dari tahun 2010 sampai 2011 (Dinas
Kesehatan Kabupaten Jombang).
PERKENI (2006) menyebutkan bahwa penyakit DM ditandai dengan
kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl dan gejala DM berupa poliuria (buang
air kecil yang berlebihan, > 2,5 liter per hari pada orang dewasa), polidipsia (rasa
haus yang berlebihan), dan polifagia (rasa lapar yang berlebihan). Terapi bagi
penderita DM dilakukan dengan tujuan memelihara dan menjaga kesehatan secara
optimal agar dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Terapi ini meliputi
penyuluhan/pendidikan bagi penderita, pemberian insulin, olah raga, serta
pengaturan pola makan untuk menekan timbulnya gejala klinik yang dapat
meningkatkan resiko komplikasi. Mahalnya biaya terapi dengan insulin
berimplikasi pada tingginya angka kematian akibat tidak tertanganinya pasien
dengan tingkat ekonomi rendah.
Waspadji (2002) menjelaskan bahawa alternatif lain yang kemudian
menjadi pilihan adalah pengaturan pola makan yang sehat untuk menekan
peningkatan kadar glukosa darah. Penderita DM tidak dianjurkan mengkonsumsi
pangan dengan indeks glikemik (IG) tinggi karena akan memicu kenaikan kadar
glukosa darah yang cukup signifikan. Penatalaksanaan diet bagi penderita DM
2

sampai saat ini masih mementingkan komposisi mutu kimia dengan komposisi 55
- 70% karbohidrat, 15 - 20% protein, dan 20 - 30% lemak dari total energi. Bahan
makanan memiliki pengaruh terhadap peningkatan kadar glukosa darah yang
berbeda-beda, karena sifat bahan makanan itu sendiri maupun cara memasak.
Adanya perbedaan ini, penting untuk diperhatikan dalam pengaturan diet bagi
penderita DM, agar didapatkan pengendalian diet seoptimal mungkin dan
akhirnya mengarah kepada pengendalian DM dengan komplikasinya.
Pengenalan jenis dan pemilihan jumlah karbohidrat yang tepat dapat
memberikan sumbangan penting bagi kualitas hidup manusia. IG berguna untuk
menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Konsep IG merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih
pangan yang baik, khususnya pangan sumber karbohidrat. Konsep ini berguna
untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, memilih pangan untuk
berolahraga, dan mengurangi resiko menderita penyakit degeneratif (Waspadji,
2002). Lebih lanjut Rimbawan dan Siagian (2004) mengatakan bahwa konsep IG
menekankan pada pentingnya mengenal pangan sumber karbohidrat berdasarkan
kecepatannya meningkatkan kadar glukosa darah. Pangan yang memiliki IG
tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat, demikian pula
sebaliknya.
Pengetahuan tentang IG pangan membuat penderita DM secara mandiri
dengan mudah dapat memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat
meningkatkan kadar glukosa darah. Memilih makanan dengan IG rendah, secara
tidak langsung menunjukkan konsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh
karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga
mendukung upaya penganekaragaman makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pada umumnya penderita DM melakukan diet non nasi dan mengganti dengan
kentang. Hal tersebut memang memiliki dampak positif karena dapat mengurangi
jumlah konsumsi beras. Saat ini, Indonesia telah melakukan import bahan pangan
hampir 70% untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, dimana beras di
import sebanyak 2 juta ton/tahun (Winarno, 2012). Selain itu, beras yang
dikonsumsi di Indonesia telah mengalami penyosohan lanjut sehingga rendah
serat dan umumnya memiliki IG tinggi. Namun, peralihan konsumsi pangan yang
3

dilakukan penderita DM dari beras menjadi kentang tidak banyak memberi
kontribusi penyembuhan yang signifikan. Rimbawan dan Siagian (2004)
menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena IG kentang termasuk sedang
(41 - 59). Sehingga perlu upaya pemanfaatan bahan pangan lain yang memiliki
IG rendah sebagai upaya promotif dan preventif penyakit DM.
Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu adanya modifikasi produk makanan
yang berbahan baku dengan IG rendah dimana makanan tersebut tetap mampu
memberikan kontribusi kecukupan mutu kimia bagi penderita DM. Produk
makanan tersebut merupakan produk makanan yang lazim dan banyak dikonsumsi
masyarakat, antara lain adalah mie basah. Kecenderungan dan pola hidup
masyarakat modern yang menuntut makanan siap saji akibat aktivitas yang padat,
menjadikan mie basah sebagai salah satu pangan pengganti nasi karena
kandungan dalam mie meliputi protein, karbohidrat, vitamin dengan dominasi
pada karbohidrat (Rustandi, 2011). Hal ini sangat menguntungkan ditinjau dari
sudut pandang penganekaragaman konsumsi pangan agar masyarakat tidak terlalu
bergantung kepada beras sebagai makanan pokok. Selain itu, mie banyak disukai
masyarakat Indonesia dalam hal tekstur, rasa dan kenampakan. Keunggulan lain
dari mie adalah harganya terjangkau dan cara penyajian yang mudah.
Mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan
atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang diijinkan,
berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Anonymous, 1992). Tepung terigu
merupakan bahan pangan yang memiliki IG rendah (42) namun Indonesia tidak
mampu memproduksi sendiri sehingga tepung terigu masih harus diimpor.
Menurut BPS (2007), pada tahun 2003 impor tepung terigu mencapai 343.144,9
ton sedangkan tahun 2006 meningkat 19% mencapai 536.961,6 ton. Adanya
kebijakan baru tentang regulasi gandum sebagai bahan tepung terigu dimana
pembelian gandum dan penjualan tepung terigu tidak dibatasi dan dilakukan oleh
importir gandum atau tepung terigu yang ada Indonesia (press release APTINDO,
2005 dalam Findi, 2008), memicu defisit perdagangan Indonesia pada tahun 2010
sebesar 24 triliun rupiah dengan total import 6,47 juta ton. Akibatnya gandum
menjadi penyumbang defisit terbesar di subsektor pangan (BPS, 2012). Sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk mencari bahan pengganti tepung terigu tersebut.
4

Salah satu bahan pangan lokal yang dapat digunakan sebagai pengganti
terigu dan memiliki IG rendah adalah talas belitung dengan IG (29 45) lebih
rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi jalar ungu (54 - 68), (Rimbawan dan
Siagian, 2004). Talas belitung (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) adalah
salah satu jenis umbi-umbian sumber karbohidrat yang belum dimanfaatkan
secara optimal dan pada umumnya dibudidayakan sebagai tanaman sela di antara
palawija lain. Talas belitung dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi penduduk
asli Kepulauan Mentawai dan Papua, Daerah Sumatera Barat juga memiliki
potensi talas terutama di Kabupaten Mentawai, Pesisir Selatan, dan Padang
Pariaman, namun belum terdata dengan jelas (Jusuf dan Marzempi, 1993). Saat
ini, talas belitung biasanya diolah secara sederhana dengan cara dikukus, direbus
atau dengan sedikit variasi dibuat berbagai produk olahan, antara lain getuk,
keripik, dan perkedel (Marinih 2005).
Talas yang sudah umum dikembangkan masyarakat menjadi beberapa
produk adalah jenis (Colocasia esculenta (L) Schott). Talas Colocasia telah
dikembangkan menjadi produk es krim (Syahbania, 2012), mie basah
(Permatasari, 2009) dan alternatif sumber pati di Indonesia (Rahmawati dkk,
2012). Sedangkan jenis talas Belitung telah dikembangkan menjadi produk
cookies (Indrasti, 2004). Namun talas (Colocasia esculenta (L) Schott) dan talas
belitung (Xanthosoma sagittifolium) memiliki perbedaan IG masing- masing
sebesar 44 - 68 dan 29 45 (Rimbawan dan Siagian, 2004). Dengan demikian,
talas belitung lebih cocok dikembangkan menjadi produk makanan berbasis
pangan lokal yang memiliki IG rendah.
Talas belitung merupakan sumber karbohidrat yang murah dan memiliki
IG rendah namun memiliki kandungan protein dan vitamin yang rendah.
Alternatif peningkatan nilai gizi talas belitung dengan penambahan tepung tempe.
Tempe mengandung asam amino esensial dan non esensial yang lengkap, kadar
lemak jenuh rendah, isoflavon tinggi, serat tinggi, IG rendah (glycemic index
<55), dan mudah dicerna (Muchtadi, 2010). Kandungan tempe kedelai yang dapat
menurunkan kadar glukosa darah adalah protein, isoflavon, serat, serta IG rendah
(Villegas dkk, 2008). Lebih lanjut Bhathena (2002), menjelaskan bahwa tempe
tinggi kandungan arginin dan glisin, yang terkait dengan sekresi insulin dan
5

glukagon dari pankreas. Kandungan isoflavon berupa genistein dapat
menghambat -glukosidase yang berperan pada beberapa kelainan metabolik
seperti DM (Ghozali dkk, 2010). Serat dapat mempengaruhi kadar glukosa darah
karena memperlambat absorbsi glukosa sehingga mempengaruhi penurunan
glukosa (Waspadji, 2003). Dengan demikian, IG tempe yang rendah menjadikan
respon glukosa darah tubuh rendah sehingga peningkatan kadar glukosa darah
relatif kecil.
Pengolahan mie basah menggunakan talas belitung dan tepung tempe
kurang optimal tanpa adanya senyawa pengikat yang lain. Tepung tapioka
merupakan bahan pengikat yang mengandung 17% amilosa dan 73% amilopektin
(Belitz dan Grosch, 1999). Kandungan amilopektin yang tinggi dapat
memperlambat penyerapan karbohidrat dalam tubuh sehingga berpotensi untuk
mengendalikan kadar glukosa darah. Berat molekul amilopektin lebih besar
dibandingkan amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin
memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa
(Lehninger, 1982). Semakin besar ukuran partikel bahan pangan, semakin sulit
pati terdegradasi oleh enzim sehingga semakin lambat pencernaan karbohidrat
yang menyebabkan IG pangan tersebut semakin rendah (Rimbawan dan Siagian,
2004).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fakta- fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka
diperlukan kajian penelitian dengan rumusan masalah :
Bagaimana pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan
tepung tapioka terhadap nilai energi, mutu kimia, mutu fisik dan mutu
organoleptik mie basah untuk penderita Diabetes Melitus ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe
kedelai dan tepung tapioka terhadap nilai energi, mutu kimia, mutu fisik dan mutu
organoleptik pada mie basah untuk penderita Diabetes Melitus.
6

1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menganalisis nilai energi mie basah hasil substitusi pasta talas belitung, tepung
tempe kedelai dan tepung tapioka
b. Menganalisis mutu kimia (karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, abu, gula
reduksi dan air) mie basah hasil substitusi pasta talas belitung, tepung tempe
kedelai dan tepung tapioka
c. Menganalisis mutu fisik (elastisitas dan daya putus) mie basah hasil substitusi
pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung tapioka
d. Menganalisis mutu organoleptik (warna, tekstur, aroma dan rasa) mie basah
hasil substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung tapioka

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi kepada masyarakat
untuk pengembangan makanan sehat bagi penderita DM berupa mie basah hasil
substitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai guna
meningkatkan derajat kesehatan. Diharapkan produk mie basah tersebut mampu
mengurangi prevalensi masalah gizi khususnya mencegah komplikasi maupun
keparahan penyakit penderita DM.
1.4.2 Manfaat Keilmuan
Dapat memberi informasi secara ilmiah tentang penganekaragaman pangan
(diversifikasi pangan) berupa mie basah hasil substitusi pasta talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai serta dapat mengkonsumsi makanan
berupa mie basah yang enak dengan energi dan protein cukup terutama bagi
penderita DM.







7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prevalensi Diabetes Melitus
Prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia pada tahun 1980 berkisar
1,5 - 2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Beberapa daerah
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi DM yang cukup signifikan.
Penelitian di Jakarta, di daerah urban pada tahun 1982, didapatkan prevalensi
1,7% dan pada tahun 1993 prevalensinya meningkat menjadi 5,7% serta pada
tahun 2001 di daerah Depok prevalensi ini meningkat menjadi 12,8%. Penelitian
di Ujung Pandang menunjukkan peningkatan prevalensi walaupun tidak setinggi
di Jakarta yaitu 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998. Pada
tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 20 tahun sebesar
125 juta. Dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% maka jumlah pengidap
DM sebesar 5,6 juta (PERKENI, 2002).
Penyakit Diabetes Melitus (DM) saat ini menjadi masalah paling umum di
dunia, baik di negara maju maupun berkembang (PERKENI, 2006). DM
termasuk salah satu problem kesehatan utama dunia. Hasil survei WHO
menunjukkan Indonesia menempati urutan ke-4 dengan penderita DM terbanyak
di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat (Widowati, 2007).

2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Faktor Penyebab
Diabetes Melitus (DM) atau biasa disebut diabetes adalah penyakit kronis
yang ditandai dengan suatu manifestasi umum yaitu hiperglikemia atau kadar
glukosa darah yang terlalu tinggi diatas batas normal. Badan kesehatan dunia
(WHO) membagi diabetes menjadi dua kelompok utama yaitu insulindependent
DM (IDDM) dan non-insulin-dependent DM (NIDDM). Kemudian klasifikasi
baru dari Expert Committee on the Diagnosis on Classification of DM
(ECDCDM) membagi DM menjadi DM tipe 1 yang sama dengan IDDM, DM tipe
2 yang sama dengan (NIDDM) dan gestational diabetes (Rimbawan dan Siagian,
2004).
8

Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel pankreas penghasil insulin
akibat infeksi virus atau kasus autoimun yang biasanya bersifat genetis sehingga
penderitanya mengalami defisiensi insulin absolut. Injeksi insulin dan kontrol
yang ketat terhadap konsumsi karbohidrat sangat penting untuk memelihara kadar
glukosa darah penderita pada kisaran normal. IDDM umumnya berkembang pada
masa kanak-kanak sehingga disebut sebagai juvenile-onset diabetes.
Diabetes tipe 2 (NIDDM) merupakan kasus berupa penurunan sensitifitas
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel (resistensi terhadap insulin) dan
gangguan sekresi insulin oleh sel pankreas. Resistensi reseptor insulin ini
mengakibatkan glukosa darah yang diperoleh dari diet tidak dapat masuk ke
dalam sel sehingga kadar gula darah tetap tinggi. NIDDM terjadi secara gradual
dan berkembang pada kisaran usia paruh baya sehingga disebut sebagai maturity-
onset diabetes (Bender dalam Wiyono, 2004). DM tipe 2 ini yang paling lazim
terjadi selain oleh faktor riwayat diabetes keluarga, juga karena usia lanjut,
obesitas, pola hidup yang tidak sehat. Penderitanya tidak begitu tergantung
kepada injeksi insulin karena kondisi hiperglikemia yang terjadi dapat dikontrol
dengan pengaturan diet, akivitas fisik, atau dengan obat hipoglikemik (Sardesai
dalam Wiyono, 2003). ADA (American Diabetic Association) menetapkan batas
kadar glukosa darah untuk dapat dijadikan diagnosis kejadian DM yaitu > 200
mg/dl saat tidak puasa, dan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl
(Wijayakusuma dalam Wiyono, 2006).

2.3 Dampak Diabetes Melitus
2.3.1 Terjadi Komplikasi dengan Penyakit Lain
Penderita DM kronis yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami
komplikasi berbagai penyakit seperti jantung koroner, cerebrovaskuler yang
mengakibatkan stroke, gagal ginjal dan retino pati diabetik yang dapat
mengakibatkan kebutaan. Individu yang berisiko tinggi terkena penyakit ini
adalah mereka yang mempunyai berat badan berlebih (obesitas), umur di atas 40
tahun, perokok, pola makan tidak benar, dan gaya hidup santai (kurang olah raga
atau aktivitas fisik). Kadar gula darah penderita DM dapat dikendalikan dengan
melakukan pengelolaan dan pemilihan jenis pangan yang benar (Widowati, 2007).
9

Pencegahan DM dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier. Pencegahan tersier adalah usaha untuk mencegah terjadinya
komplikasi pada DM. Komplikasi akut meliputi hipoglikemia, koma ketoasidosis
diabetika, koma/keadaan hiperosmoler non ketotik dan terjadinya infeksi.
Komplikasi kronis merupakan akibat mikroangiopati maupun makroangiopati.
Komplikasi kronis akibat mikroangiopati meliputi retinopati, nefropati dan
neuropati, sedang komplikasi akibat makrongiopati berupa aterosklerosis dengan
akibat dapat terjadinya stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh
darah tepi terutama pada kaki. Pencegahan tersier terhadap komplikasi kronis
berupa pencegahan terhadap timbulnya komplikasi, pencegahan terhadap
progresivitas komplikasi dan pencegahan terhadap terjadinya cacat atau
ketidakmampuan akibat kegagalan fungsi organ (Wiyono, 2004).
Usaha terhadap timbulnya komplikasi ini antara lain pengendalian yang
ketat dari kelainan metabolik pada DM (glukosa darah, lipid) dan faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap kerusakan pembuluh darah misalnya tekanan
darah, merokok dan sebagainya. Pengendalian glukosa darah yang ketat telah
dibuktikan pada penelitian Diabetes Control and Complication Trial (DCCT
dalam Wiyono, 2004) pada DM tipe 1 dimana pengendalian ketat tersebut dapat
menurunkan risiko retinopati sebesar 35 74%, mikroalbuminuria sebesar 35%
dan neuropati sebesar 60%. Penelitian United Kingdom Prospective Diabetes
Study (UKPDS 1998 dalam Wiyono, 2004) pada DM tipe 2 juga membuktikan
penurunan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko komplikasi mikrovaskuler 25%.
Intervensi diet bertujuan untuk mengoreksi obesitas, mengoptimalkan
pengendalian glukosa darah, mengendalikan dislipidemia, mengendalikan
hipertensi dengan mengurangi garam, dan mengendalikan nefropati dengan
mengurangi protein. Secara umum, hal itu berarti mengendalikan masukan
energi, membatasi masukan lemak sampai 30% dari total kalori (lemak jenuh
kurang dari 10%, meningkatkan masukan mono/poly unsaturated fatty acid),
mengurangi kolesterol < 300 mg/hari, mengurangi gula murni, meningkatkan
masukan karbohidrat yang tidak terlalu diproses (unrefined), meningkatkan
masukan serat yang larut (soluble) dan mengurangi konsumsi alkohol (WHO,
1994). Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kolesterol HDL (high
10

density lipoprotein) yang bersifat protektif, membantu mengurangi obesitas dan
tekanan darah dan meningkatkan sensitivitas insulin.

2.3.2 Biaya Pengobatan dan Perawatan Tinggi
Pencegahan terhadap suatu penyakit sebaiknya memenuhi beberapa alasan
(American Diabetes Association National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Disesases, 2004). Pertama, penyakit tersebut merupakan masalah
kesehatan yang penting dan merupakan beban bagi masyarakat. DM adalah
penyakit seumur hidup dengan biaya yang besar terlebih jika sudah terjadi
komplikasi kronis. Kedua, perkembangan awal dan perjalanan penyakitnya harus
diketahui. DM tipe 2 biasanya selalu diawali dengan terjadinya tes toleransi
glukosa terganggu (IGT) atau glukosa puasa yang terganggu (IFG). Walaupun
faktor risiko yang lain berperan seperti riwayat DM dalam keluarga, obesitas,
hipertensi dan dislipidemia tetapi predictor yang paling kuat adalah IGT dan IFG
tersebut. Ketiga, adanya tes untuk IGT dan IFG yang sederhana, aman, mudah
dikerjakan dan prediktif. Keempat, adanya metode yang aman, efektif dan
reliable untuk dapat melakukan pencegahan tersebut. Penelitian Diabetes
Prevention Programme (Knowler, 2002) dan di Finlandia (Tuomehlito, dkk.
2001) menunjukkan hasil yang memenuhi hal tersebut. Kelima, biaya untuk
menemukan individu berisiko tinggi dan biaya intervensi bukan merupakan beban
dan sebaiknya cost-effective.
Pemerintah dan badan-badan asuransi kesehatan perlu memikirkan alokasi
dana yang cukup untuk program pencegahan DM. Jika pencegahan berjalan baik
komplikasi kronis yang memerlukan biaya sangat besar (90% dari total biaya)
dapat dicegah atau dihambat. Dengan demikian, biaya untuk komplikasi yang
sangat besar itu dapat diturunkan, sehingga biaya pengelolaan DM secara
keseluruhan diharapkan akan turun (Wiyono, 2004)

2.4 Penatalaksanaan Diet Berdasarkan Indeks Glikemik
Tujuan pengelolaan diabetes dapat dibagi atas tujuan jangka pendek dan
jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya keluhan/gejala diabetes
sehingga penderita dapat menikmati kehidupan yang sehat dan nyaman. Tujuan
11

jangka panjang adalah mencegah berbagai komplikasi baik pada pembuluh darah
(mikroangiopati dan makroangiopati) maupun pada susunan saraf (neuropati)
sehingga dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas. Tujuan pengelolaan
DM tersebut dapat dicapai dengan senantiasa mempertahankan kontrol metabolik
yang baik seperti dicerminkan oleh normalnya kadar glukosa darah dan lemak
darah.
Secara umum, pengelolaan diabetes dimulai dengan perencanaan makan
dan latihan jasmani yang dipertahankan sampai 4 - 8 minggu. Apabila setelah
kadar glukosa darah masih belum terkendali baik, perlu ditambahkan obat
hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam
dekompensasi metabolik misalnya ketoasidosis, stress berat, penurunan berat
badan dengan cepat, perlu segera diberikan insulin. Menurut Waspadji, (2006)
pengelolaan diabetes dikenal 4 pilar utama pengelolaan yaitu penyuluhan
(edukasi), perencanaan makan (diet), latihan jasmani, dan obat hipoglikemik.
Diet adalah penatalaksanaan yang terpenting dari penyakit DM, makanan yang
masuk harus dibagi merata sepanjang hari, ini harus konsisten dari hari ke hari.
Diet DM adalah tata laksana diet yang diberikan kepada diabetes oleh dokter yang
merawatnya dan seharusnya mengikuti 3 J, yaitu tepat jadwal, jumlah dan jenis
(Tjokroprawiro, 2004).
Pemilihan makanan dengan indeks glikemik (IG) rendah secara tidak
langsung berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Hal ini akan
meningkatkan zat secara keseluruhan makanan yang dikonsumsi. Hasil penelitian
sejak tahun 80an bahwa kecepatan pencernaan karbohidrat dalam saluran
pencernaan berpengaruh penting pada peran karbohidrat pada kesehatan. Dengan
mengenal karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar gula darah dan respon
insulin, yaitu karbohidrat menurut indeks glikemik maka akan lebih mudah
memilih jumlah dan jenis bahan makanan yang tepat untuk meningkatkan dan
menjaga kesehatan (Rimbawan dan Siagian , 2004).
Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar gula darah
dan respons insulin dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan
jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga
kesehatan. Informasi IG bermanfaat bagi semua individu. Pangan IG rendah
12

akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap dan perlahan-lahan,
sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah, berarti fluktuasi peningkatan
kadar gula relatif pendek. Hal ini sangat penting bagi penderita diabetes dalam
mengendalikan kadar gula darah. Informasi IG pangan dapat membantu penderita
DM dalam memilih makanan yang tidak meningkatkan kadar gula darah secara
drastis, sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.
Pangan IG rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera
makan, dan kadar gula darah (Widowati, 2007).
Kategori indeks glikemik pangan dibedakan menjadi:
a. IG rendah, rentang IG <55.
b. IG sedang, rentang IG 55 70.
c. IG tinggi, rentang IG > 70 (Rimbawan dan Siagian, 2004)
Daftar bahan makanan berdasarkan indeks glikemik disajikan pada Lampiran 5.
Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan, antara lain :
1. Proses pengolahan dewasa ini menggunakan teknik pengolahan pangan yang
menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa lebih enak. Proses
penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan
tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan diserap
menaikan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan penggilingan biji-
bijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah menyerap air. Makin
kecil ukuran partikel maka indeks glikemik pangan makin tinggi. Butiran utuh
serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah.
Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa dan insulin
mengalami peningkatan yang bermakna (Rimbawan dan Siagian, 2004).
2. Perbandingan kadar amilosa dan amilopektin bahan makanan. Berdasarkan
mekanisme kerja enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu
enzim saja yaitu -amilase. Sedangkan amilopektin memerlukan dua jenis
enzim yakni -amilase dan -(1-6) glukosidase karena mempunyai rantai
cabang. Selain itu berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa
sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan waktu
lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982).
Semakin besar ukuran partikel bahan pangan, semakin sulit pati terdegradasi
13

oleh enzim sehingga semakin lambat pencernaan karbohidrat yang
menyebabkan IG pangan tersebut semakin rendah (Rimbawan dan Siagian,
2004).
3. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan. Pengaruh gula secara alami terdapat
didalam pangan dalam berbagai porsi dan respon gula darah sangat sulit
diprediksi. Setiap makanan yang mengandung karbohidrat akan dicerna dan
diserap dengan kecepatannya masing-masing. Kecepatan penyerapan ini
dipengaruhi oleh bentuk makanan, kandungan serat dan jenis karbohidrat yang
terkandung. Kadar gula dalam bahan makanan yang tinggi akan mempercepat
peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh (Rimbawan dan Siagian, 2004).
4. Kadar Serat Pangan. Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan tergantung
pada jenis seratnya. Bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat
fisik pada pencernaan. Akibatnya indeks glikemik cenderung lebih rendah.
Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam
saluran pencernaan. Hal ini memperlambatnya lewatnya makanan pada saluran
pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses
pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon glukosa darah menjadi lebih
rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pemberian diet bagi penderita DM dapat dilakukan dalam bentuk makanan
mie basah. Mie dapat dijadikan menu pengganti nasi karena kandungan energi di
dalamnya. Mie basah subtitusi pasta talas belitung karena talas belitung
merupakan bahan pangan lokal sumber karbohidrat dengan IG rendah, sumber
serat, dan harga ekonomis. Mie basah pasta talas belitung disubtitusi dengan
tepung tempe kedelai karena tempe mampu menurunkan kadar kolesterol, tinggi
protein dan serat. Selain itu, mie juga disubtitusi tepung tapioka untuk membantu
pembentukan tekstur mie. Tepung tapioka juga termasuk bahan pangan yang
memiliki IG rendah.

2.5 Mie Basah
Mie adalah bahan pangan bentuk pipih dengan diameter 0,07 0,125
inchi, dibuat dari tepung terigu dengan penambahan air, telur, dan air abu melalui
proses ekstrusi basah. Mie basah adalah mie yang berkadar air 25 35%
14

(Badrudin, 1994, dalam Yustiareni, 2000). Anonymous (1992) mendefinisikan
bahwa mie basah adalah produk makanan yang terbuat dari terigu baik dengan
atau tanpa penambahan bahan baku lain, dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan, serta mempunyai kadar air
maksimal 35%. Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI 0128971992 disajikan
pada Lampiran 1.
Mie basah atau disebut mie kuning adalah mie yang mengalami proses
perebusan/ pengukusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan dengan
kadar air yang relatif tinggi sebesar 52% (Rustandi, 2011).

2.6 Metode Pengolahan Mie
Astawan (2008) menyatakan bahwa tahap-tahap pengolahan mie mentah
meliputi :
1. Pencampuran
Pengolahan mie diawali dengan proses percampuran tepung terigu dengan
air. Adonan yang baik dapat dibuat dengan memperhatikan jumlah air yang
ditambahkan, lama pengadukan, dan suhu adonan. Air yang ditambahkan
umumnya berjumlah 28 - 38% dari berat tepung. Jika penambahan air lebih
dari 38%, adonan akan menjadi basah dan lengket. Bila penambahan air
kurang dari 28% menyebabkan adonan menjadi keras, rapuh dan sulit untuk
dibentuk menjadi lembaran.
2. Pengadukan
Tepung terigu, tepung tapioka dan bahan tambahan lainnya dicampur dan
diaduk dalam mixer berkapasitas 125 kg selama 2 menit. Selanjutnya,
ditambahkan larutan pengembang dan larutan telur untuk jenis mie kering
tertentu. Adonan ini dicampur hingga matang yang dicirikan dengan struktur
kompak, penampakan mengkilat, halus, elastis, tidak lengket, dan tidak mudah
terberai, lunak serta lembut.
3. Pengepresan
Adonan yang telah tercampur dijatuhkan dari bak penampungan (feeder)
masuk kedalam mesin roll press yang akan mengubah adonan menjadi
lempengan-lempengan. Saat pengepresan, gluten ditarik keatu arah sehingga
15

seratnya menjadi sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan
dan elastisitas mie. Tujuan tersebut dicapai dengan jalan melewatkan adonan
berulang-ulang diantara dua rol logam. Jarak antara rol dapat diatur untuk
mendapatkan ketebalan lembaran yang diinginkan.
4. Penyisiran (Slitting)
Lembaran tipis selanjutnya masuk ke mesin pencetak mie (Stiller) yang
berfungsi mengubah lembaran mie menjadi untaian mie yang bergelombang.
Kerapatan gelombang ini dapat ditentukan dengan mengatur kecepatan net
stiller atau net steam.
5. Pengukusan (Steaming)
Proses selanjutnya setelah pencetakan adalah pemasakan mie dengan
pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati dan koagulasi
gluten. Proses gelatinisasi ini dapat menyebabkan :
- Pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi
penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mie
- Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie

2.7 Bahan-bahan Pengolahan Mie
2.7.1 Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu
diperoleh dari gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu
diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan
mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan
dan pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar
air 14%, kadar protein 8 - 12%, kadar abu 0,025 - 0,60% dan glutein basah 24 -
36% (Astawan, 2008). Komposisi tepung terigu disajikan pada Tabel 2. 2.
Tepung terigu merupakan produk serealia dari gandum yang mengandung
protein. Protein merupakan komponen yang tertinggi bila dibandingkan dengan
komponen yang lain pada gandum. Gandum keras yang ditanam di musim dingin
mengandung 14% protein (Kent, 1975). Bila ingin mendapatkan mutu mie yang
lebih baik dapat menggunakan terigu jenis hard flour dengan kadar gluten yang
lebih tinggi. Namun, harga mie yang dihasilkan akan mejadi lebih mahal
16

(Widyaningsih dan Murtini, 2006). Lebih lanjut, Astawan (2008) menjelaskan
bahwa berdasarkan kandungan glutein (protein), tepung terigu yang beredar
dipasaran dapat dibedakan atas 3 macam yaitu:
Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12 -
13%. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie
berkualitas tinggi. Contohnya, terigu dengan merk dagang Cakra Kembar.
Medium hard flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 9,5 - 11%.
Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie dan macam-macam
kue, serta biskuit. Contohnya terigu dengan merk dagang segitiga biru.
Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7 - 8,5%. Penggunaannya
cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biscuit. Contohnya terigu dengan
merk dagang kunci biru.
Tabel 2. 2 Komposisi Tepung Terigu/100 g Bahan
Komposisi Jumlah
Energi (Kalori)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
333
9
1
77,3
0,3

Sumber: Mahmud (2004)
Jenis tepung terigu yang umumnya digunakan dalam pengolahan mie
terdiri dari campuran dua jenis terigu hard flour dan medium hard flour.
Pencampuran kedua jenis tepung tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan
konsentrasi protein yang dikehendaki sehingga akan menghasilkan tekstur,
konsistensi dan rasa yang khas dari produk yang bersangkutan (Astawan, 2008).
Tingginya nilai impor tepung terigu dimana terigu merupakan bahan
utama dalam pembuatan mie, diperlukan penelitian untuk mencari bahan
pengganti tepung terigu tersebut. Salah satu alternatif adalah pembuatan mie
basah adalah dengan pemanfaatan bahan pangan lokal tinggi karbohidrat yaitu
subtitusi talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung tapioka Selain untuk
mengurangi pengeluaran negara juga dapat digunakan sebagai menu diet penderita
DM sehingga mengurangi biaya pengobatan dan menurunkan angka kematian
akibat komplikasi.

17

2.7.2 Talas Belitung
Talas Belitung (Xanthosoma sagitifolium) adalah nama yang diberikan
masyarakat Bogor pada umbi kimpul. Nama lain tanaman ini berbeda untuk
masing-masing daerah. Misal mbothe atau kimpul di Jawa Tengah dan Jawa
Timur sedangkan di Banyumas umbi ini dikenal dengan nama busil. Diluar jawa
talas belitung disebut tannia, yautia, new cocoyam, taro dan lain- lain. Orang
sering mencampur adukkan kimpul (Xanthosoma sp.) dengan talas (Colocasia
esulenta), yang keduanya dalam bahasa Sunda disebut taleus. Xanthosoma sp.
dapat dibedakan dengan C. esulenta dari bentuk umbi, bentuk daun dan letak
tangkai daunnya.
Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami Solok, di
Sumatera Barat terdapat 60 varietas lokal talas yang banyak tersebar di beberapa
daerah dengan nama yang berbeda-beda. Jenis talas yang banyak ditemui di pasar
tradisional Sumatera Barat adalah talas kimpul atau bondang dengan nama ilmiah
(Xanthosoma sagittifolium) atau disebut juga talas belitung, busil, bote
(Anonimous, 2010), disamping itu juga ada talas batang ungu dan talas batang
hijau.
Umbi talas belitung seringkali menimbulkan gatal terutama pada umbi
induknya. Gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit tersebut disebabkan
adanya kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun dari kalsium oksalat
yang disebut raphides. Metode fisik yang paling umum dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat
adalah dengan pemanasan. Kalsium oksalat bersifat labil terhadap panas.
Pemanasan dilakukan melalui perebusan dan pengukusan (Muchtadi dan
Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).
Perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat kimiawi kalsium oksalat
juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan kristal kalsium oksalat dalam
talas belitung. Perlakuan tersebut adalah dengan melarutkan kalsium oksalat
dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat
(Schumm, 1978 dalam Ridal, 2003). Asam kuat yang digunakan dalam perlakuan
adalah asam cuka sehingga sebelum pengolahan, talas belitung direndam dengan
asam cuka sebanyak 1 sendok makan/ liter air selama 30 menit. Komposisi kimia
18

umbi talas belitung bergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah dan umur
panen. Komposisi kimia umbi talas belitung disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung/100 g Bahan
Komposisi Kimia Talas Belitung Kukus
Air (%) 63.1
Protein (%) 1.2
Lemak (%) 0.4
Karbohidrat (%) 34.2
Serat (%) 1.0
Abu (%) 1.1
Vitamin C ( mg) 1.0
Kalsium (mg) 21
Fe (mg) 0.9
Sumber : Mahmud (2004)

2.7.2.1 Bahan Tambahan Pengolahan Pasta Talas Belitung
Sodium Tripoliphosfat (STPP)
Sodium Tripoliphosfat (Na
4
P
3
O
10
) digunakan sebagai bahan pengikat air,
agar air dalam adonan tidak menguap, sehingga adonan tidak mengalami
pengerasan atau kekeringan di permukaan sebelum proses pembentukan adonan.
Sodium Tripoliphosfat merupakan bentuk polimer rantai lurus panjang. Beberapa
fungsi umum dari bentuk fosfat dalam makanan adalah bereaksi kimia secara
langsung dengan bahan makanan, penstabil PH, pendispersi bahan makanan,
penstabil emulsi, meningkatkan daya ikatan air dan hidrasi, menurunkan PH,
pencegahan pengerasan dan pengawetan makanan (Ellinger, 1972 dalam Harahap,
2009). Penggunaan STTP dalam pengolahan pasta talas belitung bertujuan untuk
membentuk tekstur pasta yang liat tidak terlalu lembek. Pemberian STTP sebesar
0.02% dari berat talas belitung kukus menghasilkan tekstur pasta yang lebih liat
(sebagai bahan pengisi).

2.7.3 Tepung Tempe Kedelai
Mie basah disubtitusi dengan tepung tempe karena dalam rangka mencapai
standart SNI mie basah tentang kandungan protein. Mie basah pasta talas belitung
akan memiliki kadar protein yang lebih rendah akibat penurunan proporsi tepung
terigu sehingga untuk menanggulangi hal tersebut disubtitusi tepung tempe
19

kedelai. Kandungan gizi tempe yang cukup tinggi diharapkan mampu
meningkatkan nilai gizi mie basah pasta talas belitung sebagaimana disajikan pada
Tabel 2.4. Tempe mengandung beberapa jenis kapang yang bermanfaat bagi
tubuh. Sebagaimana dijelaskan Koswara (1995) bahwa jenis kapang yang terlibat
dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun (toxin), namun sebaliknya
mampu melindungi tempe terhadap racun aflatoksin dari kapang yang
memproduksinya. Lebih lanjut, Syarief (1998) menambahkan proses fermentasi
tempe mampu meningkatkan aktifitas dan jumlah enzim superoksida dismutase,
salah satu enzim antioksidan yang dipergunakan untuk menjaga tubuh dari
serangan radikal oksigen bebas yang tidak terkendali yaitu penyakit kanker.
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Tepung Tempe Kedelai/100 g Bahan
Komposisi Kimia Tepung Tempe Kedelai
Protein (%) 48
Karbohidrat (%) 13.5
Lemak (%) 24.7
Abu (%) 2.3
Sumber : Mardiah (1994)
Tempe juga mengandung vitamin B12 yang sangat tinggi dan diperlukan
oleh mereka yang menu sehari-harinya terdiri dari bahan makanan nabati
(Koswara, 1998). Vitamin B12 diperlukan dalam pembentukan butir-butir darah
merah dan bila dikonsumsi sebanyak 100 g/hari jumlahnya lebih dari cukup sesuai
yang dianjurkan oleh FAO (3 mcg/orang dewasa), sehingga dapat mencegah
penyakit anemia. Tempe kedelai memiliki serat kasar yang merupakan
karbohidrat atau polisakarida sebanyak 7,2 g/100 g bahan yang tidak dapat
dicerna oleh tubuh. Walaupun serat kasar tidak memberi nilai gizi yang tidak
berarti bagi tubuh tetapi berperan sangat penting bagi kesehatan pencernaan.
(Sarwono, 2003).
Tempe mempunyai daya hipokolesterolemik yaitu kemampuan untuk
menurunkan kadar kolesterol sehingga dapat mencegah penyakit degeneratif
seperti jantung koroner, stroke dan kanker (Suprapti, 2003). Menurut Syarief
(1999), efek hipokolesterolemik tempe atau potensi tempe dalam menurunkan
kadar kolesterol telah teruji baik yaitu dengan mengkonsumsi tempe sebanyak 200
gram setiap hari dapat mencegah peningkatan kadar kolesterol. Namun tempe
yang dikonsumsi tersebut tidak diolah dengan digoreng karena kolesterol dalam
20

makanan juga dapat disintesa didalam tubuh dari asam lemak jenuh yang terdapat
pada makanan yang digoreng. Pemanfaatan tempe secara optimal dan agar tempe
semakin digemari oleh masyarakat adalah dengan diversifikasi produk tempe yang
memiliki variasi pada warna, bentuk, aroma dan rasa. Diversifikasi tempe dalam
bentuk tepung tempe menjadikan tempe lebih fleksibel dalam penggunaannya dan
lebih lama masa simpannya. Salah satu fleksibilitas tepung tempe yaitu dapat
digunakan sebagai bahan kering dalam pembuatan mie basah.

2.7.4 Tepung Tapioka
Penggunaan tapioka sebagai bahan substitusi tepung terigu digunakan
sebagai salah satu alternatif penganekaragaman pangan dan usaha untuk menekan
ongkos produksi. Tepung tapioka memiliki sifat sebagai bahan pengikat sehingga
digunakan sebagai bahan subtitusi mie basah. Tapioka mengandung 17% amilosa
dan 73 % amilopektin (Belitz dan Grosch, 1999). Perbandingan amilosa dan
amilopektin yang terdapat pada tepung dapat mempengaruhi sifat tepung.
Semakin rendah kadar amilosa maka semakin tinggi kadar amilopektin. Jika
kadar amilosa rendah maka pati akan semakin kental dan lekat demikian
sebaliknya (Winarno, 2004). Berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan
amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan
waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982).
Semakin besar ukuran partikel bahan pangan, semakin sulit pati terdegradasi oleh
enzim sehingga semakin lambat pencernaan karbohidrat yang menyebabkan IG
pangan tersebut semakin rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstrak ubi kayu melalui
proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan.
Pati terdiri dari dua komponen yang dapat dipisahkan yaitu amilosa dan
amilopketin. Kedua jenis pati ini mudah dibedakan berdasarkan reaksinya
terhadap iodium, yaitu amilosa berwarna biru dan amilopektin berwarna
kemerahan. Kadar pati pada ubi kayu yaitu 65,5-74,1% (Astawan, 2008).



21

2.7.5 Telur
Penambahan telur pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan mutu
protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak muda terputus-
putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan mie waktu pemasakan.
Penggunaan putih telur harus secukupnya saja karena pemakaian yang berlebihan
akan menurunkan kemampuan menyerap air (daya dehidrasi) waktu direbus.
Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur mengandung
lesitin. Selain sebagai pengemulsi, lesitin juga dapat mempercepat hidrasi air
pada tepung dan untuk mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga
akan memberikan warna yang seragam (Astawan, 2008).
Penambahan telur pada pengolahan mie basah akan menghasilkan produk
akhir mie dengan tekstur elastisitas maksimal dan warna kuning seragam namun
penggunaan air harus dikurangi karena kadar air telur cukup tinggi sebesar 74%
(Mahmud, 2004). Pengurangan penggunaan air bertujuan untuk menghasilkan
adonan yang kalis dan tidak lembek sehingga dapat dicetak (Wirdayanti, 2012 ).

2.7.6 Bahan Tambahan (Food Addictive) dalam Pengolahan Mie
Garam
Garam dapur selain untuk memberi rasa, juga memperkuat tekstur mie,
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie, serta untuk mengikat air. Garam
dapur akan menghambat aktivitas enzim amylase sehingga mie tidak bersifat
lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2008). Selain itu,
garam berfungsi untuk meningkatkan temperatur gelatinisasi pati. Garam
berpengaruh pada aktivitas air (aw) selama gelatinisasi yaitu menurunkan aw
untuk gelatinisasi. Garam digunakan untuk memberi rasa gurih dan meningkatkan
pengikatan gluten dimana sebagai bahan pemadat (pengeras) sehingga
meningkatkan elastisitas. Apabila adonan tidak memakai garam, adonan tersebut
akan menjadi agak basah. Garam memperbaiki butiran dan susunan pati menjadi
lebih kuat serta secara tidak langsung membantu pembentukan warna (Rustandi,
2011). Penggunaan garam 1 - 2% akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan
dan mengurangi kelengketan. Pengolahan mie di Jepang pada umumnya
menambahkan garam sebesar 2 - 3% ke dalam adonan. Jumlah ini merupakan
22

kontrol terhadap -amilase jika aktivitas rendah (Widyaningsih dan Murtini,
2006).

Air
Air berfungsi sebagai media rekasi antara gluten dengan karbohidrat,
larutan garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya
memiliki pH 6 - 9. Makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah
patah karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air
yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan sebagai air minum,
diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2008).
Kegunaan air pada pengolahan mie adalah untuk media reaksi antara
glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal dari
glutein (Soenaryo, 1985). Jumlah air yang ditambahkan pada pengolahan mie
basah sebesar 28 - 38% dari berat tepung terigu. Jika lebih dari 38% adonan akan
menjadi sangat lengket dan jika kurang 28% adonan akan menjadi sangat rapuh
sehingga sulit dicetak (Rustandi, 2011).

2.8 Mutu Kimia
2.8.1 Karbohidrat
Karbohidrat memegang peran penting dalam kehidupan, karena
merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang mempunyai harga
relatif lebih murah (Kartasapoetra, 2005). Sumber karbohidrat adalah serealia,
umbi-umbian, kacang-kacangan kering dan gula (Almatsier, 2004). Karbohidrat
yang terdapat dalam makanan pada umumnya hanya tiga jenis yaitu
monosakarida, disakarida, dan polisakarida (Sediaoetama, 1985). Untuk
memelihara kesehatan, WHO (1990) menganjurkan agar 55 - 75% konsumsi
energi total berasal dari karbohidrat kompleks dan paling banyak hanya 10%
berasal dari gula sederhana (Almatsier, 2004).
Karbohidrat mempunyai banyak fungsi bagi tubuh. Adapun fungsi utama
karbohidrat menurut Winarno (2004) yaitu sumber energi dimana satu gram
karbohidrat setara dengan 4 Kalori. Paradigma baru tentang indeks glikemik
bahan makanan membuat masyarakat harus memilih mana makanan yang mampu
23

meningkatkan indeks glikemik secara cepat maupun makanan dengan jenis
karbohidrat yang lambat diserap oleh usus. Pengenalan karbohidrat berdasarkan
efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna
sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat
yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan mengetahui IG
pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak meningkatkan kadar
gula darah secara drastis sehingga kadar gula darah dapat dikontrol pada tingkat
yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk
mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar gula darah (Rimbawan dan
Siagian, 2004). Mie basah subtitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai merupakan produk makanan sumber karbohidrat yang berbahan
pangan lokal dengan IG rendah sehingga mampu mengendalikan kadar glukosa
darah khususnya bagi penderita DM.

2.8.2 Protein
Protein dalam tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan bertindak
sebagai bahan membran sel. Disamping itu protein dapat bekerja sebagai enzim,
bertindak sebagai plasma (albumin), dan bertindak sebagai membran sel yang
bergerak (protein otot) (Winarno, 2004). Menurut Soediatama (1985), protein
mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh mutu kimia lain, yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh, selain itu
protein mempunyai fungsi yang penting bagi tubuh kita antara lain pertumbuhan
dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, dan
mengangkut zat- zat sumber energi.
Kekurangan protein dalam waktu lama dapat mengganggu berbagai proses
dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit (Kartasapoetra,
2005). Berdasarkan SNI 0128971992 tentang syarat mutu kadar protein dalam
mie basah adalah min 8% b/b dimana protein tersebut dihitung atas dasar bahan
kering. Bahan baku dalam pembuatan mie pada umumnya menggunakan tepung
terigu dengan protein tinggi (11- 13%) sehingga kadar proteinnya juga tinggi.
Tepung terigu banyak mengandung gluten yang terdiri atas gliadin dan glutenin.
24

Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein tepung terigu sehingga
mempengaruhi kadar protein dan elastisitas pada mie basah (Astawan, 2008).
Pengolahan mie basah menggunakan subtitusi tepung tempe kedelai selain
untuk meningkatkan kadar protein dalam mie basah juga sebagai penganeka
ragaman menu bagi penderita DM. Bhathena (2002), menjelaskan bahwa protein
pada tempe kedelai tinggi kandungan arginin dan glisin, yang terkait sekresi
insulin dan glukagon dari pankreas. Pemberian asam amino arginin dan glisin
saat terjadi peningkatan kadar glukosa darah, menyebabkan sekresi insulin yang
diinduksi oleh glukosa meningkat 2 kali lipat sehingga memperkuat rangsangan
glukosa terhadap sekresi insulin, kemudian insulin akan meningkatkan transpor
glukosa ke dalam hati, otot, dan sel-sel lain sehingga kadar glukosa darah kembali
normal. Sedangkan peran arginin pada sekresi glukagon yaitu glukagon memacu
konversi cepat asam amino menjadi glukosa sehingga banyak glukosa yang
tersedia di jaringan. Namun, respon glukagon dan insulin tidak bertentangan satu
sama lain. Protein kedelai mempunyai efek positif bagi tubuh. Selain itu, protein
kedelai juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada DM tipe 2 (Anderson,
2006 dalam Rahadiyanti, 2011).

2.8.3 Lemak
Lemak merupakan mutu kimia yang penting untuk menjaga kesehatan
tubuh manusia (Kartasapoetra, 2005). Lemak berfungsi sebagai penyedia energi
kedua setelah karbohidrat, oksidasi lemak akan berlangsung jika ketersediaan
karbohidrat telah menipis akibat konsumsi karbohidrat yang rendah (Almatsier,
2004). Walaupun energi yang dihasilkan dari oksidasi satu molekul lemak lebih
tinggi (9 Kalori) dari energi hasil oksidasi karbohidrat, lemak disebut sebagai
sumber energi kedua setelah karbohidrat.
Lemak juga berfungsi sebagai pembentuk struktur tubuh karena
menunjang letak organ tubuh. Organ penting seperti jantung, hati, paru-paru, dan
ginjal diselubungi oleh lapisan lemak agar tertahan di tempatnya dan terlindungi
dari bahaya benturan (Winarno, 2004). Lemak dalam pangan memberi kepuasan
cita rasa, menimbulkan rasa dan keharuman pada makanan, sebagai agen
pengemulsi, seperti lesitin, selain itu lemak pangan merupakan sumber penyedia
25

asam lemak esensial yang penting bagi tubuh, yaitu asam linoleat dan asam
linolenat (Soediatama, 1985).
Penyakit diabetes mellitus dapat menyebabkan peningkatan lipid plasma.
Widyastuti (2001) mengatakan bahwa peningkatan lipid pada penderita diabetes
disebabkan karena defisiensi insulin. Insulin meningkatkan aktivitas lipoprotein
lipase di permukaan sel endotel dalam mengkatalisa perombakan trigliserida dari
kilomikron dan defisiensi insulin akan menurunkan enzim ini. Lipid plasma
terdiri atas kolesterol, phosfolipid dan free fatty acid. Dzulkarnaen (1999)
menambahkan, bahwa 2 komponen penting dari kolesterol adalah LDL (Low
Density Lipoprotein) yang disebut pula kolesterol jahat dan HDL (Hight Density
Lipoprotein) yang disebut kolesterol baik.
Kadar lemak yang berasal dari bahan subtitusi tempe memberikan manfaat
bagi tubuh. Asam linoleat merupakan asam lemak utama pada tempe, secara
spesifik bersifat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Jika konsumsi energi
dari SAFA diganti oleh asam linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan
kolesterol darah sehingga tidak terjadi hiperlipidemia akibat heperglikemik
(Mann, 2007). Selain itu, Lemak akan meningkatkan nilai energi dan cita rasa
pada mie basah. Menurut (Sunoko, 2008 dalam Hermianti, 2011), semakin tinggi
kadar lemak pada mie akan meningkatkan jumlah air dan akan mempercepat
proses oksidasi serta tumbuhnya mikroorganisme sehingga umur produk menjadi
pendek. Maksimal jumlah lemak dalam mie berkisar 15- 20%.

2.8.4 Serat
Serat didefinisikan sebagai bagian dari komponen bahan pangan nabati
yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia (Winarno, 2004). Serat
dalam makanan digolongkan menjadi dua golongan yaitu :
1. Serat yang larut atau SDF (Soluble Dietary Fiber) adalah serat makanan yang
dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendap oleh air yang telah
dicampur dengan empat bagian etanol seperti gum, pektin, dan sebagian
hemiselulosa larut yang terdapat dalam dinding sel tanaman merupakan sumber
serat makanan.
26

2. Serat yang tidak larut atau IDF (Insoluble Dietary Fiber) adalah serat makanan
yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. Sumber IDF yaitu selulosa,
lignin dan sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin, lilin yang
terdapat hampir di semua jenis bahan pangan nabati khususnya buah dan
sayuran.
Serat yang tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa baik untuk
kesehatan usus, memperlancar keluarnya feses, mencegah wasir, dan mengontrol
berat badan. Sedangkan serat larut seperti pektin, gum, dan agar-agar baik untuk
menurunkan kadar kolesterol dan gula darah sehingga lebih tepat untuk kesehatan
jantung dan mengurangi resiko diabetes (Kartasapoetra, 2005). Makanan berserat
merupakan makanan yang liat, sukar dicerna dan memberikan isi sehingga untuk
mencerna perlu waktu lebih lama karena makanan berserat tinggal lebih lama di
dalam lambung. Selain itu, serat banyak terdapat pada kacang- kacangan seperti
kacang kedelai beserta produk olahannya seperti tempe memiliki pengaruh yang
besar terhadap penyerapan karbohidrat. Dalam penanganan diabetes mellitus,
serat kasar memiliki sifat memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga
mampu mengontrol peningkatan kadar glukosa darah (E. Mary. 1993). Serat larut
memiliki kemampuan memperlambat penyerapan glukosa sehingga menunda dan
mengurangi kenaikan kadar glukosa darah sedangkan serat tidak larut mengurangi
proses glukoneogenesis yang berpengaruh terhadap peningkatan sekresi insulin
sehingga dapat mengurangi kenaikan kadar glukosa (Meyes, 2003).

2.8.5 Kadar Air
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan
fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Kadar air mie basah
dapat mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada
suhu kamar, mie basah hanya bertahan 10 12 jam karena mie akan berbau asam
dan berlendir/ basi (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Salah satu upaya untuk
menjaga keawetan mie tersebut, biasanya ditambahkan bahan pengawet (kalsium
propinat) untuk mencegah mie berlendir dan jamuran (Koswara, 2005). Air
merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat
mempengaruhi kenampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Winarno,1991).
27

Prinsip penentuan kadar air dengan metode thermogravimetri adalah
dengan menguapkan air menggunakan oven sebagai media pemanasnya, sehingga
panas yang dihasilkan dari oven dapat menguapkan air dalam bahan dan bahan
menjadi kering. Inglett (1974) dalam Lestari (2008) menyatakan bahwa tepung
terigu mengandung gluten yang tinggi sehingga membentuk adonan yang kompak
dengan bahan lain dan dapat mengikat air lebih banyak dan sebaliknya. Oleh
karena itu, dengan berkurangnya penggunaan tepung terigu dan semakin
banyaknya bahan subtitusi lain, maka air yang diikat oleh gluten akan semakin
sedikit sehingga akan menurunkan kadar air mie basah yang dihasilkan.
Berdasarkan persyaratan SNI 0128971992 tentang kadar air mie basah harus
memenuhi 20 35% b/b.

2.8.6 Kadar Abu
Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan
menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Faridah et al.,
2008). Kadar abu pada produk pangan menunjukkan tingkat kebersihan produk yang
dapat berasal dari bahan baku, proses pembuatan, pengemasan maupun
penyimpanan. Kadar abu berasal dari unsur mineral dan komposisi kimia yang
tidak teruapkan selama proses pengabuan. Kadar abu menunjukkan jumlah
mineral yang terkandung dalam bahan, biasanya ditentukan dengan cara
pengabuan atau pembakaran (Pangloli dan Royaningsih, 1998). Kadar abu produk
mie basah harus memenuhi persyaratan SNI 0128971992 yaitu mengandung
maksimal 3% b/b.

2.8.7 Gula Reduksi
Glukosa dalam tubuh berfungsi sebagai sumber energi. Glukosa dalam
darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang mengandung zat tepung/
karbohidrat seperti nasi, ubi, jagung, kentang dan lain- lain. Kadar glukosa dalam
darah dapat melonjak atau berlebihan/ hiperglikemik. Keadaan ini akan memicu
munculnya DM yang merupakan suatu kelainan yang terjadi karena tubuh
kekurangan atau kerusakan hormon insulin sehingga glukosa tetap beredar dalam
28

darah dan sukar menembus dinding sel (Sunita, 2004). Metode pemeriksaan
kadar glukosa darah seperti metode kimia/ gula reduksi adalah proses kondensasi
dengan akromatik amin dan asam asetat glacial pada suasana panas sehingga
terbentuk senyawa berwarna hijau yang kemudian diukur secara fotometris.
Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi
karena mengandung gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang termasuk
gula reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan galaktosa.
Gula reduksi digunakan sebagai indikator seberapa besar gula sederhana dalam
bahan pangan yang mampu diserap oleh tubuh (E. Mary, 1993).

2.9 Mutu Fisik
2.9.1 Elastisitas
Elastisitas adalah persentase dari perpanjangan dibandingkan dengan
panjang semula. Elastisitas dipengaruhi oleh bahan penyusun mie yaitu gluten.
Gluten membuat adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena mampu
mengikat udara (Rustandi, 2011). Keistimewaan terigu diantara serelia lainnya
adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie
yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan
(Astawan, 2008).
2.9.2 Daya Putus
Daya putus merupakan besarnya gaya tiap satuan luas penampang bahan
yang dibutuhkan untuk memutuskan suatu produk (Yuwono 1998 dalam Rustandi,
2011). Bentuk khas mie yaitu pilinan panjang yang dapat mengembang sampai
batas tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang.
Semua ini termasuk sifat fisik mie yang menentukan penerimaan konsumen
(Setianingrum dan Marsono, 1999). Parameter daya putus sangat penting dalam
beberapa produk setengah basah seperti dodol, leather, mie basah dan lain- lain
(Yowono dan Tri, 2001)




29

2.10 Mutu organoleptik
Penilaian kualitas makanan secara organoleptik atau sensoris zat makanan
dengan menggunakan panca indra yang dimaksudkan adalah indra penglihatan,
penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran. Keadaan makanan yang dinilai dari
segi efek rangsangan makanan terhadap panca indra dapat terbentuk warna,
aroma, rasa, dan tekstur (Soekarto, 1985). Mutu organoleptik mie basah yaitu :
1. Warna adalah salah satu parameter mutu organoleptik yang menunjukkan
terjadinya perubahan/degradasi mutu kimia dengan cara penglihatan yang
terdapat pada mie basah. Warna produk pangan sangat menentukan
penerimaan atau penolakan konsumen terhadap produk tersebut. Menurut
Winarno (2004), penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat
bergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna, tekstur, dan nilai
gizinya. Setianingrum dan Marsono (1999), menjelaskan bahwa mie yang
disukai masyarakat Indonesia adalah mie dengan warna kuning, bentuk khas
mie yaitu berupa pilinan panjang yang dapat mengembang sampai batas
tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang.
Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat menentukan terhadap
penerimaan konsumen. Di Cina, mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak
dan ditambahkan Kan-sui. Kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh
garam natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk
menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini
membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan mie yang kuat dengan
warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen
flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali (Hoseney, 1994 dalam
Wiyono, 2004).
2. Aroma adalah salah satu parameter mutu organoleptik yang dapat diukur
dengan cara subyektif yaitu dengan penciuman yang terdapat pada mie basah.
Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh
syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung ketika makanan
masuk kedalam mulut (Winarno, 2004). Mie basah berdasarkan SNI
0128971992 tentang syarat mutu aroma mie basah adalah normal. Aroma
30

mie yang tidak disukai adalah berbau tepung mentah atau berbau apek
(Rustandi, 2011).
3. Rasa adalah salah satu parameter mutu organoleptik yang dapat diukur dengan
cara subyektif yaitu dengan merasakan produk mie basah. rasa merupakan
faktor yang penting dalam memutuskan bagi konsumen untuk menerima atau
menolak suatu makanan. Meskipun parameter lain nilainya baik, jika rasa
tidak enak atau tidak disukai, maka produk akan ditolak Soekarto (1985). Mie
basah berdasarkan SNI 0128971992 tentang syarat mutu rasa mie basah
adalah normal. Rasa yang tidak disukai adalah berasa adonan mentah, tepung
dan berasa alkali/ bersabun (Rustandi, 2011).
4. Tekstur adalah salah satu standar zat mie basah yang dinilai selain warna,
aroma dan rasa. Menurut Astawan (2008), tepung terigu memiliki kemampuan
untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis
gluten pada adonan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses
pencetakan dan pemasakan mie. Anonim (2006) menjelaskan bahwa subtitusi/
campuran tepung lain pada produk mie yang semakin tinggi menyebabkan mie
akan mudah patah karena kandungan gluten menurun. Tekstur mie yang
disukai adalah kenyal dan sedikit keras tetapi mempunyai gigitan yang empuk
serta permukaan yang halus (Rustandi, 2011).













31

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep






















Keterangan :
: Variabel yang Diteliti
: Variabel yang Tidak Diteliti
Faktor
Genetik
Pengaturan pola makan antara lain konsumsi
bahan pangan dengan indeks glikemik
rendah
Angka perawatan dan
pengobatan meningkat
Masalah fisik ( timbulnya
komplikasi) dan tingginya angka
kematian
Prevalensi penderita Diabetes
mellitus meningkat 20%
(Dinas Kesehatan Kabupaten
Jombang, 2011)
Penyediaan bahan pangan lokal berupa talas
belitung dalam bentuk mie basah
Mutu Kimia
Subtitusi tepung tempe kedelai dan tepung
tapioka
Nilai Energi
Warna
Rasa
Aroma
Tekstur
Karbohidrat
Protein
Lemak
Serat kasar
Kadar air
Kadar abu
Gula reduksi



Organoleptik
Pola Makan
yang salah

Mutu Mie Basah
Mutu Fisik
Elastisitas
Daya Putus


32

3.2 Hipotesis Penelitian
a. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung
tapioka terhadap nilai energi mie basah.
b. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung
tapioka terhadap mutu kimia mie basah.
c. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung
tapioka terhadap mutu fisik mie basah.
d. Ada pengaruh substitusi pasta talas belitung, tepung tempe kedelai dan tepung
tapioka terhadap mutu organoleptik mie basah.
















33

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen laboratorium
dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 4 taraf
perlakuan, yaitu proporsi tepung terigu : pasta talas belitung : tepung tempe
kedelai : tepung tapioka dengan kadar protein mie basah berdasarkan SNI 01-
2897-1992 (Lampiran 1) sebagai penetapan proporsi yaitu minimal 8 gram per
100 gram. Membandingkan kadar serat kasar mie basah sebagai perlakuan
dengan mie basah sebagai kontrol. Masing-masing taraf perlakuan dilakukan 3
kali pengulangan (Yitnosumarto, 1993). Rancangan Penelitian disajikan pada
Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rancangan Acak Lengkap
Taraf Perlakuan
Proporsi (%)
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung
Tempe Kedelai : Tepung Tapioka)
Pengulangan
1 2 3
P
0
(100 : 0 : 0 : 0) X
01
X
02
X
03

P
1
(50 : 30 :15 : 5) X
11
X
12
X
13

P
2
(40 : 35 : 15 : 10) X
21
X
22
X
23

P
3
(35 : 40 : 10 : 15) X
31
X
32
X
33

Keterangan :
X
01 :
unit penelitian pada taraf perlakuan P
0
replikasi 1

X
11 :
unit penelitian pada taraf perlakuan P
1
replikasi 1

.
X
33 :
unit penelitian pada taraf perlakuan P
3
replikasi 3
Penempatan unit penelitian digunakan randomisasi atau pengacakan
dengan langkah- langkah yang terdapat pada Lampiran 2. Selanjutnya lay out
penelitian disajikan pada Gambar 4.2.
1
X
01

2
X
03

3
X
21

4
X
13

5
X
32

6
X
33

7
X
11

8
X
22

9
X
02

10
X
31

11
X
12

12
X
23

Keterangan:
1 - 12 : Nomor Urut (Penempatan Unit Penelitian setelah Randomisasi)
X
01
- X
33
: Unit Penelitian
Gambar 4.2 Lay Out Penelitian dengan Desain RAL
34

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari 2013 hingga Februari 2013,
bertempat di :
1) Laboratorium Ilmu Bahan Makanan Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan
Kemenkes Malang untuk proses pengolahan mie basah
2) Laboratorium Kimia Universitas Brawijaya Malang untuk analisis serat
kasar mie basah
3) Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang
untuk analisis mutu fisik mie basah
4) Laboratorium Kimia Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang
untuk analisis mutu kimia mie basah
5) Laboratorium Organoleptik Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang untuk uji mutu organoleptik mie basah

4.3 Variabel Penelitian
Variabel bebas : Subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai
Variable terikat:
1. Nilai energi
2. Mutu kimia (Karbohidrat, Protein, Lemak, Serat, Air, Gula Reduksi
dan Abu)
3. Mutu Fisik (Elastisitas dan Daya Putus)
4. Mutu organoleptik (Warna, Tekstur, Aroma dan Rasa)

4.4 Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur
Skala
Data
Proporsi talas
belitung, tepung
tapioka dan
tepung tempe
kedelai

Perbandingan subtitusi
talas belitung, tepung
tapioka dan tepung
tempe kedelai dalam
pembuatan mie basah
yang dinyatakan dalam
persen (%)

P0 =100:0:0:0
P1= 50 :30 :15 :5
P2= 40 :35 :15 :10
P3= 35 :40 :10 :15

Rasio
35

Kandungan
mutu kimia :



1. Kadar
Karbohidrat





2. Kadar Protein







3. Kadar Lemak







4. Kadar serat
kasar







5. Kadar Air







6. Kadar Abu


Karakteristik mie basah
berdasarkan kadar
karbohidrat, protein,
lemak, air, abu, gula
reduksi dan serat
Jumlah karbohidrat mie
basah dari talas
belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe
kedelai menggunakan
by difference

Jumlah protein mie
basah dari talas
belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe
kedelai dianalisis
dengan semi mikro
kjeldahl

Jumlah lemak mie
basah dari talas
belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe
kedelai dianalisis
dengan soxhlet
extraction

Jumlah serat mie basah
dari talas belitung,
tepung tapioka dan
tepung tempe kedelai
dianalisis dengan
metode Kromatografi
Kolom Alumina


Jumlah air mie basah
dari talas belitung,
tepung tapioka dan
tepung tempe kedelai
dianalisis dengan
metode
thermogravimetri

Jumlah abu mie basah
dari talas belitung,
tepung tapioka dan





Dinyatakan dalam
satuan gram/ 100 g





Dinyatakan dalam
satuan gram/ 100 g






Dinyatakan dalam
satuan gram/ 100 g






Dinyatakan dalam
satuan gram/ 100 g







Dinyatakan dalam
satuan gram/ 100 g






Dinyatakan dalam
satuan gram/ 100 g






Rasio






Rasio







Rasio







Rasio








Rasio







Rasio


36






7. Gula Reduksi
tepung tempe kedelai
dianalisis dengan
metode gravimetric


Jumlah gula sederhana
mie basah dari talas
belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe
kedelai dianalisis
dengan metode
spektofotometri





Dinyatakan dalam
mg/dl





Rasio
Mutu Fisik
1. Daya Putus





2. Elastisitas

Besarnya gaya tiap
satuan luas penampang
bahan yang dibutuhkan
untuk memutuskan suatu
produk

Perbandingan panjang
akhir dan awal

Dinyatakan dalam
g/cm
3




Dinyatakan dalam
%
Rasio



Rasio
Mutu
organoleptik




Tingkat kesukaan panelis
yang ditentukan dengan
uji kesukaan meliputi
warna, tekstur, aroma,
rasa terhadap
karakteristik mie basah
dari talas belitung,
tepung tapioka dan
tepung tempe kedelai
Dinyatakan dalam
skala ordinal :
1 = sangat suka
1 = suka
2 = tidak suka
3 = sangat tidak
suka



Ordinal

4.5 Alat dan Bahan
4.5.1 Alat
A. Alat Pengolahan
Alat untuk pengolahan tepung tempe kedelai adalah baskom, loyang, sendok,
blender, ayakan dan piring. Alat yang digunakan untuk pengolahan mie basah
adalah mangkuk, sendok teh, alat pencetak mie, dandang, pisau, gelas ukur,
sendok, triple beam, garpu, baskom, piring plastik dan kompor.




37

B. Analisis Nilai Energi
Analisis energi menggunakan faktor Atwater, yaitu 1 gram karbohidrat,
protein, dan lemak berturut- turut menghasilkan 4, 4, dan 9 kalori. (Almatsier,
2004).
C. Analisis Mutu Kimia
a. Kadar Karbohidrat
Analisis karbohidrat menggunakan metode By Difference. Kadar karbohidrat
merupakan selisih 100% dengan % kadar total (protein + lemak + air + abu +
serat kasar) (Sulaeman dkk, 1995).
b. Peralatan untuk analisis kadar protein adalah timbangan analitik, labu kjeldahl,
labu destilasi, spatula, statif, pipet ukur 25 ml, pipet ukur 5 ml, hotplate, buret,
kondensor, erlenmeyer 100 ml, beaker glass, magnetik stirrer.
c. Peralatan untuk analisis kadar lemak adalah labu lemak, soxhlet apparatus,
penjepit cawan, spatula, desikator, oven, hot plate, timbangan analitik,
erlenmeyer.
d. Peralatan untuk analisis kadar serat kasar adalah kondensator, soxhlet, cawan,
erlenmeyer, kertas saring.
e. Peralatan untuk analisis kadar air adalah oven, cawan porselen, desikator,
timbangan analitik dan penjepit cawan.
f. Peralatan untuk analisis kadar abu adalah oven, cawan porselen, desikator,
timbangan analitik, penjepit cawan, pembakar bunsen dan tanur.
g. Peralatan untuk analisis gula reduksi adalah timbangan, buret, labu takar,
Erlenmeyer.
D. Analisis Mutu Fisik
Peralatan untuk analisis mutu fisik (elastisitas dan daya putus) adalah beban/
massa, penjepit, penggantung beban.
E. Analisis Mutu organoleptik
Peralatan yuntuk analisis mutu organoleptik adalah Formulir Kuisioner
(Lampiran 3), alat tulis (bolpoint), piring kecil, sendok, gelas, nampan kecil.
F. Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
Form kuisioner (Lampiran 4)


38

4.5.2 Bahan
Bahan dan Resep Standart Mie Basah
Bahan Baku Resep 1/ 100 g * Resep 2 ** Resep Modifikasi
Tepung terigu 100 g 700 g 100
Garam NaCl 4 g sdt 2 g
Garam Alkali 0,1 % sdt -
Telur Opsional 6 butir butir
Minyak Opsional - -
Pewarna Opsional - -
Air (%) 30 Secukupnya 28 (berat terigu)

Ket. * = Rustandi (2011)
** = Alamsyah (2010)
1. Pengolahan Mie Basah
a. Jumlah bahan mie basah yang dibutuhkan tanpa bumbu :
Bahan Bahan Masing-masing Taraf
Perlakuan beserta replikasi (g)
Total Bahan
(g)
P
0
P
1
P
2
P
3

Talas Belitung 0 270 315 360 945
Tepung terigu 900 450 360 315 2025
Tepung tapioka 0 135 135 90 360
Tepung tempe kedelai 0 45 90 90 225
Telur ayam 315 315 315 315 1260
Garam 18 18 18 18 72
STPP 1.8 1.8 1.8 1.8 7.2
Asam cuka 15 15 15 15 60

b. Jumlah bahan mie basah yang dibutuhkan dengan bumbu

Bahan Bahan Masing-masing Taraf
Perlakuan beserta replikasi (g)
Total Bahan
(g)
P
0
P
1
P
2
P
3

Talas Belitung 0 180 210 240 630
Tepung terigu 600 300 240 210 1350
Tepung tapioka 0 90 90 60 240
Tepung tempe kedelai 0 30 60 90 180
Telur ayam 210 210 210 210 840
Garam 17 17 17 17 68
STPP 1.8 1.8 1.8 1.8 7.2
Asam cuka 15 15 15 15 60
Bawang merah 50 50 50 50 200
Bawang Putih 50 50 50 50 200
Gula 5 5 5 5 20
Kecap 20 20 20 20 40

39

c. Bahan untuk pengolahan tepung tempe kedelai:
Bahan Spesifikasi
Tempe kedelai
Tempe yang dibeli sentra industri tempe kawasan Sanan,
Jln. Tumenggung Suryo, Kec. Blimbing, Malang. Setelah
melalui proses fermentasi selama 24 jam, warna putih dan
miselium masih baru tumbuh. Tempe yang digunakan
murni dari kedelai tanpa bahan campuran yang lain.

d. Bahan yang digunakan untuk pengolahan mie basah :

Bahan
Spesifikasi
Talas Belitung

Talas belitung di beli di daerah Gadang, Malang (Pasar
Gadang) dengan bentuk bulat lonjong, kulit berwarna
coklat kegelapan dan daging umbi berwarna putih
dengan umur 4-5 bulan. Persentase bagian umbi yang
dapat dimakan (BDD) sekitar 85 % sisanya berupa
kulit umbi.
Tepung tempe kedelai
Tepung tempe kedelai dibuat sesuai dengan langkah-
langkah pengolahan tepung yang baik dengan
rendemen 60-70%.
Tepung tapioka
Tepung tapioka dibeli di toko bahan makanan sesuai
dengan syarat mutu (SNI) tepung tapioka (tidak ada
kotoran/kutu, tidak berbau apek), merk Naga Mas
dengan berat 500 gram
Tepung terigu
Tepung terigu dengan kadar protein tinggi (11 - 13%),
dibeli di toko bahan makanan sesuai dengan syarat mutu
(SNI) tepung terigu (tidak ada kotoran/kutu, tidak berbau
apek), merk Cakra dengan berat 1000 gram.
Telur ayam
Telur ayam ras dibeli di ibu Jianto, Ds. Kambingan, Kec.
Tumpang, Kab. Malang. sesuai dengan syarat mutu telur
yang baik (tidak retak, tidak busuk, permukaan kulit halus)
dengan berat 55- 60 gram/ butir. Telur dihasilkan pada
umur/ hari yang sama.
Garam
Garam dengan kadar KIO3 > 30-80 ppm sesuai dengan
syarat mutu (SNI), merk cap Kapal dengan berat 250 gram
STPP
Bahan kimia berbentuk serbuk dan / atau butir-butir
halus berwarna putih yang terdiri dari Na
5
P
3
O dibeli di
toko Dunia Kimia dengan berat 100 gram


2. Analisis Mutu kimia
Bahan analisis kadar protein
Bahan yang digunakan untuk analisis kadar protein adalah 12 potong mie
basah masing-masing 20 gram, CUSO
4
asam laktat 10%, KMnO
4
(1:9),
40

NaOH-thio 60%, Asam borat 3%, HCl standar , H
2
SO
4
pekat, Indikator metil
merah, Selenium mix
Bahan untuk analisis kadar lemak
Bahan yang digunakan untuk analisis kadar lemak adalah 12 potong mie basah
masing-masing 20 gram, pelarut kloroform, kertas saring.
Bahan untuk analisis kadar serat kasar
Bahan yang digunakan untuk analisis kadar serat kasar adalah 12 potong mie
basah masing-masing 20 gram, alkohol 95%.
Bahan untuk analisis kadar air
Bahan yang digunakan untuk analisis kadar air adalah 12 potong mie basah
masing-masing 20 gram.
Bahan untuk analisis kadar abu
Bahan yang digunakan untuk analisis kadar abu adalah 12 potong mie basah
masing-masing 20 gram.
Bahan untuk analisis gula reduksi
Bahan yang digunakan untuk analisis kadar gula reduksi adalah 12 potong mie
basah masing- masing 20 gram, aquadest, natruim pospat- kalium oksalat,
fehling A, fehling B.
3. Analisis Mutu Fisik
Bahan untuk analisis daya putus
Bahan yang digunakan untuk analisis daya putus adalah sampel mie basah yang
dipotong ukuran 20 cm x1 cm x1.4 mm.
Bahan untuk analisis elastisitas
Bahan yang digunakan untuk analisis elastisitas adalah sampel mie basah yang
dipotong ukuran 20 cm x1 cm x1.4 mm
4. Analisis Mutu organoleptik
Bahan yang digunakan untuk pengujian mutu organoleptik :
- 10 gram mie basah dari masing-masing taraf perlakuan setiap panelis
- 200 cc air mineral setiap panelis.



41

4.5 Tahap- Tahap Penelitian
4.6.1 Penelitian Pendahuluan
1. Menentukan nilai energi optimal pada mie basah hasil substitusi talas
belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai yang disajikan pada
Tabel 4.2.
Tabel 4. 2 Proporsi Tepung Terigu, Talas Belitung, Tepung Tapioka dan
Tepung Tempe Kedelai per 100 Gram.

Proporsi (%)
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung :
Tepung Tapioka : Tepung Tempe Kedelai)
Nilai Energi
(Kalori)

Kadar
Protein
(gram)

Kadar
Serat
(gram)
P
0
(100 : 0 : 0 : 0) 387 13 0,30
P
1
(50 : 30 :15 : 5) 340 11 0.80
P
2
(40 : 35 : 15 : 10) 322 13 1,24
P
3
(35 : 40 : 10 : 15) 302 15 1.33

2. Melakukan pengolahan tepung tempe kedelai sesuai dengan Gambar 3.
agar didapatkan tepung tempe kedelai sesuai dengan spesifikasi yang
ditentukan.

4.6.2 Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan pengolahan mie basah, analisis mutu
kimia (karbohidrat, protein, lemak, serat, abu dan air), dan mutu organoleptik
mie basah.
1. Pengolahan Mie Basah
Bahan yang digunakan dalam pengolahan mie basah disajikan pada Tabel 4.3
dan diagram alir proses pengolahan mie basah disajikan pada Gambar 4.4.
Tabel 4. 3 Komposisi Tiap Perlakuan dalam Pengolahan Mie Basah
Bahan Bahan Setiap Unit Penelitian pada Masing-
masing Taraf Perlakuan (g)
P
0
P
1
P
2
P
3

Talas Belitung 0 90 105 120
Tepung terigu 300 150 120 105
Tepung tapioka 0 45 45 30
Tepung tempe kedelai 0 15 30 45
Telur ayam 105 105 105 105


42

a. Pengolahan Tepung Tempe Kedelai

Tempe segar

Mengukus 15 menit

Mengiris tipis ukuran 5 x 5 x 0.5 cm

Mengeringkan suhu 50
0
C, 10 jam

Menggiling dan mengayak dengan ayakan tepung 50 mesh

Tepung tempe kedelai

Rendemen Tepung Tempe Kedelai = 60%
Gambar 4.3 Diagram Alir Pengolahan Tepung Tempe Kedelai (Paulu dalam
Kurniawati dan Fitriyono. 2012) dengan modifikasi.




b. Pengolahan Pasta Talas Belitung

Talas

Mengupas dan mencuci umbi talas

Memotong umbi talas dengan ukuran dadu ( 2 x 2 x1 cm)

Merendam umbi dalam larutan cuka 1 sendok makan/ 1 liter air selama 45 menit

Mencuci umbi talas

Mengukus selama 15 menit

Menghancurkan talas kukus dan menambahkan STTP 0,2% dari berat talas kukus


Pasta talas belitung

Rendemen Pasta Talas Belitung = 113%
Gambar 4.4 Diagram Alir Pengolahan Pasta Talas Belitung (Wirdayanti, 2012)
dengan Modifikasi





43

c. Pengolahan Mie Basah Pasta Talas Belitung

Membentuk adonan mie dari pasta talas

Mencampur tepung terigu, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai (sesuai
perlakuan)

Menambahkan kuning telur butir dan putih telur 2 sendok makan

Menambahkan air 28% dan garam 2%

Menguleni adonan sampai kalis

Mendiamkan adonan selama 10 menit

Menggiling adonan dengan ketebalan no. 4 (1.8 mm)

Memotong adonan

Mengukus mie basah 15 menit

Mencampur minyak (3 g) ke mie basah setelah dikukus

Mie basah talas belitung

Gambar 4.5 Diagram Alir Pengolahan Mie Talas (Hermianti dan Silfia. 2011)
dengan Modifikasi.


2. Menganalisis Nilai Energi Mie basah (Sulaeman, A dkk, 1995)
Nilai energi per 100 gram :
(9 x % lemak + 4 x % protein + 4 x % karbohidrat) Kalori.

3. Menganalisis Mutu kimia Mie Basah
a. Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat per 100 gram :
100 - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein + kadar serat
kasar) gram.




44

b. Kadar Protein

Memasukkan 10 g sampel ke dalam labu kjedhal
Menambahkan 3 g selenium mix atau mencampurkan 5 g CUSO
4
dan KMnO
4
dan
25 ml H
2
SO
4
pekat
Memanaskan mula-mula dengan api kecil, kemudian dibesarkan sampai terjadi
larutan yang berwarna jernih kehijauan dan uap SO
2
hilang
Memindahkan kedalam labu ukur 100 ml dan diencerkan sampai terjadi
perubahan warna

Memasukkan 10 ml kedalam labu destilasi dan menambahkan 10 ml NaOH 10%,
kemudian disuling

Menampung destilat dalam 20 ml larutan asam borat 3%, Menghentikan destilasi
bila destilat sudah bersifat basa

Melakukan titrasi dengan HCl standar dengan menggunakan indikator metil
merah

Menghitung N total dengan menggunakan rumus:
% Nitrogen Total = (A-B) x N HCl x 14.008 x 100%
Mg sampel
Keterangan :
A = Vol HCl untuk titrasi blanko
B = Vol HCl untuk titrasi sampel
N = Normalitas standar untuk HCl (0.02)
14,008 = berat atom nitrogen. Kadar protein di ukur dengan mengkalikan N total
dengan faktor konversi bahan makanan yaitu 6,25

Gambar 4.6 Diagram Alir Analisis Kadar Protein (Sulaeman, A dkk, 1995).












45

c. Kadar Lemak

Menimbang erlenmeyer yang sudah di oven, dikeringkan dan dibersihkan yang
akan digunakan untuk menampung minyak hasil ekstraksi.

Menimbang 5 gram bahan pada kertas saring

Membungkus kertas saring dengan rapi sehingga bahan yang telah ditimbang
tidak bocor keluar kertas saring.

Memasukkan dalam soxhlet bagian ekstraktor.

Menambahkan pelarut chlorofom secukupnya (1,5 x vol ekstraktor).

Mengekstraksi selama 4 jam (5 x ekstraksi).

Menguapkan chlorofom dari minyak hasil ekstraksi.

Melanjutkan penguapan chlorofom (30 menit).

Mendinginkan kemudian timbang dan catat beratnya

Kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus:

% Lemak = Berat lemak x 100%
Berat sampel

Gambar 4.7 Diagram Alir Analisis Kadar Lemak (Sulaeman, A dkk, 1995).







46

d. Kadar Serat Kasar

Menimbang mie basah sebanyak 2 gram dan ekstraksi lemaknya dengan soxhlet
Dan pindahkan kedalam erlenmeyer 500 ml

Menambahkan 200 ml larutan asam sulfat mendidih dan tutup dengan pendingin
balik

Mendidihkan selama 30 menit dan sewaktu-waktu digoyang-goyangkan

Menyaring suspensi dengan kertas saring

Memindahkan residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer 500 ml dengan
spatula

Mencuci sisa residu dengan larutan NaOH 1,25% sebanyak 200 ml sampai semua
residu masuk ke dalam erlenmeyer, mendidihkan selama 30 menit

Menyaring dengan kertas saring sambil dicuci dengan larutan kalium sulfat 10%,
mencuci lagi dengan aquades mendidih kemudian dengan 15 ml alkohol 95%

Mengeringkan kertas saring dan isinya pada suhu 110C sampai berat konstan
(1 jam)

Mendinginkan dalam desikator dan menimbang kertas saring dan isinya

Adapun rumus penentuan serat kasar sebagai berikut:
% Serat Kasar = Berat (ks + residu) berat ks berat abu x 100%
Berat bahan

Keterangan:
ks : kertas saring
Gambar 4.8 Diagram Alir Analisis Kadar Serat (Sulaeman, A dkk, 1995).





47

e. Kadar Air

Mengeringkan cawan kosong dan tutupnya dalam oven pada suhu 100
0
c selama
30 menit. Mendinginkan dalam desikator dan menimbang cawan

Menimbang dengan teliti 2 gram sampel dalam cawan tersebut dan tutup dengan
tepat


Meletakkan cawan tersebut dalam oven dan melonggarkan tutupnya

Memanaskan oven sampai suhu 100
0
c dengan vakum dipertahankan sekitar 25
mmHg

Melakukan pengeringan sampai didapatkan berat konstan ( 5 jam)

Memasukkan udara kering ke dalam oven sampai tekanan atmosfir

Segera menutup cawan dengan penutupnya, memasukkan ke dalam desikator dan
segera menimbang setelah dingin (suhu kamar)

Kadar air dihitung dengan mengggunakan perhitungan
% kadar air = B1 B2 X 100 %
B
% total padatan = B- (B1 B2) 100 %
B%
Keterangan :
Berat sampel = B
Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan = B1
Berat (sampel+ cawan ) setelah dikeringkan = B2

Gambar 4.9 Diagram Alir Analisis Kadar Air (Sulaeman, A dkk, 1995).





48

f. Kadar Abu

Menyiapkan cawan porselin, kemudian memanaskan dalam oven

Mendinginkan dalam desikator dan menimbang berat awal (x)

Menimbang 5 gram mie basah dan memasukkan ke dalam cawan porselin
kemudian bakar diatas api bunsen

Setelah berasap, memasukkan mie basah tersebut ke dalam tanur pengabuan
sampai didapat berat sampel tetap. Pengabuan dilakukan 2 tahap : tahap pertama
suhu 450
0
C dan kedua pada suhu 550
0
C. Lama pengabuan sekitar 3 jam

Sesudah abu sampel berwarna putih, mengangkat abu dan mendinginkan dalam
desikator selama setengah jam menggunakan penjepit cawan

Menimbang abu (z)

Perhitungan kadar abu menggunakan rumus sebagai berikut :
% Kadar Abu = (z x ) X 100%
berat sampel

Kadar bahan organik dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut :
Bahan organik (BO) = (Bahan Kering (BK) Abu) %

Gambar 4.10 Diagram Alir Analisis Kadar Abu (A. Sulaeman dkk, 1995)










49

g. Gula Reduksi

Melarutkan 5 gram sampel dalam aquades sampai terbentuk campuran yang
homogen, supaya ekstrak gula reduksi dalam sampel maksimal melakukan
pengadukan dengan magnetic stirer selama 30 menit.

Apabila larutan keruh, melakukan penjernihan dengan menggunakan Pb asetat.

Mengambil larutan sampel yang telah jernih sebanyak 1 ml

Memasukkan dalam tabung reaksi, ditambah reagen Nelson sebanyak 1 ml

Memanaskan selama 20 menit dalam air sampai mendidih.

Setelah memanaskan segera didinginkan dalam gelas piala yang berisi air dingin
hingga suhunya mencapai 25
o
C.

Setelah dingin menambahkan semua tabung dengan reagen Arsenomolybdat
sebanyak 1 ml

mencampur sampai endapan yang terbentuk larut.

Menambahkan semua tabung dengan aquades sebanyak 7 ml, mencampur kembali
sampai homogen.

Selanjutnya melakukan peneraan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm
menggunakan spektrofotometer.

Apabila dalam peneraan absorbansi terlalu pekat (nilai diatas 0,8) maka
melakukan pengenceran pada larutan sampelnya.

Gula reduksi dalam sampel dihitung menggunakan persamaan larutan baku
(standar).

Gambar 4.11 Diagram Alir Analisis Gula Reduksi (Sudarmadji et.al., 1997).




50

4.6.3 Menganalisis Mutu Fisik
a. Analisis Daya Putus dan Elastisitas Mie Basah
Pengujian daya putus dan elastisitas menggunakan alat Tensile Strength.
Memotong sampel ukuran 20 cm x 1 cm x 1.4 mm

Menghidupkan mesin tensile strength kurang lebih 15 menit untuk pemanasan
(sambil setting aksesoris alat sesuai dengan sampel yang akan dianalisa memakai
tekanan untuk mengetahui daya putus dan tarikan untuk mengetahui elastisitas)

Menghidupkan komputer masuk program software untuk mesin tensile strength
(Filenya ZP Recorder). Setelah antara mesin tensile strength dan computer
terjadi hubungan maka pada layar akan tampil program tersebut


Menempatkan kursor di ZERO dan meng- ON kan supaya antara alat tensile
strength dan monitor computer menunjukkan angka 0.0 pada waktu pengujian

Meletakkan sample dibawah aksesoris penekan atau penjepit sampel dengan
aksesoris penarik

Kursor diletakkan pada tanda [ ], dan meng- ON kan sehingga komputer secara
otomatis akan mencatat GAYA (N) dan jarak yang ditempuh oleh tekanan atau
tarikan terhadap sampel (perpanjangan)


Menekan tombol [] untuk penekanan (Compressio) dan tombol [] untuk
tarikan (Tension), yang ada pada alat tensile strength

Setelah pengujian selesai, menekan tombol [] untuk berhenti dan menyimpan
data

Mencatat hasil pengukuran berupa grafik

Mematikan computer dan alat tensile strength serta membersihkan alat dari sisa
sampel yang menempel

Penentuan daya putus :
Berat beban = (g/ cm
2
)
Luas penampang sampel
Penentuan Elastisitas :

Perpanjangan sampel X 100 = %
Panjang awal

Gambar 4.12 Diagram Alir Analisis Daya Putus dan Elastisitas
51

4.6.4 Menganalisis Mutu organoleptik Mie Basah
Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode Hedonic Scale
Test. Atribut organoleptik yang digunakan adalah rasa, aroma, warna, dan tekstur
(Soekarto, 1985). Uji organoleptik dilakukan dalam 2 bentuk makanan yaitu mie
basah dan mie goreng. Hal tersebut dilakukan untuk melihat tingkat penerimaan
panelis terhadap mie basah pasta talas belitung yang masih mentah dengan mie
basah pasta talas belitung yang telah mengalami proses pengolahan lebih lanjut
(mie goreng). Panelis yang digunakan untuk uji organoleptik adalah panelis agak
terlatih yaitu 20 orang dari mahasiswa gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang dengan kriteria :
- Bersedia menjadi panelis.
- Dalam keadaan sehat.
- Tidak mempunyai pantangan terhadap produk yang dinilai.
- Sebelum pelaksanaan tidak dalam keadaan lapar atau kenyang.
Panelis diharapkan untuk menilai sampel dan diminta mengisi form penilaian
mutu organoleptik yang terlampir pada Lampiran 3.

4.6.5 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
Penentuan taraf perlakuan terbaik menggunakan metode indeks efektifitas.
Metode tersebut dilakukan dengan cara mengukur beberapa variabel yang
mempengaruhi mutu mie basah yang dihasilkan seperti nilai energi, mutu kimia
dan mutu organoleptik. Responden yang digunakan adalah dosen gizi Politeknik
Kesehatan Kemenkes Malang yang kemudian diminta untuk memberikan
pendapat yaitu variabel mana yang menurutnya mempengaruhi mutu dan
memberikan nilai pada variabel tersebut. Responden dapat memberikan nilai
yang sama pada variabel yang dianggap memberikan pengaruh yang sama
pentingnya terhadap mutu mie basah. Responden diharapkan untuk mengisi form
penilaian perlakuan terbaik, sebagaimana disajikan pada Lampiran 4.



52

4.6 Metode Pengolahan dan Analisa Data
4.6.1 Nilai Energi, Mutu kimia (Karbohidrat, Protein, Lemak, Serat Kasar,
Abu, Air, Gula Reduksi) dan Mutu Fisik (Daya Putus dan Elastisitas)
Pengolahan data pengaruh substitusi talas Belitung, tepung tapioka dan
tepung tempe kedelai terhadap nilai energi dan mutu kimia (karbohidrat, protein,
lemak, air, abu, gula reduksi dan serat) mie basah dianalisis secara statistik.
Anlisis statistik One way Anova (anlisis variance) pada tingkat kepercayaan
95% digunakan untuk variabel terikat (dependent variable) yang berskala data
interval atau rasio yaitu nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik mie basah dengan
model sebagai berikut (Yitnosumarto,S, 1993) :
Y
ij
= +
i
+
ij

i : P
0
, P
1
, P
2
, P
3

j : 1, 2, 3
Keterangan :
Y ij = nilai pengamatan dependent variable (nilai energi dan mutu kimia dan
mutu fisik pada taraf perlakuan ke-i replikasi ke-j
= nilai tengah umum

i
= pengaruh taraf perlakuan ke-i

ij
= kesalahan (galat) percobaan pada taraf perlakuan ke-i replikasi ke-j
p = banyaknya taraf perlakuan
n = banyaknya replikasi pada taraf perlakuan ke-i


Hipotesis Statistik:
Ho : Tidak ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik pada mie
basah.
H
a
: Ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe
kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik pada mie basah.
Penarikan kesimpulan :
Ho ditolak apabila Sig. < 0.05 berarti ada pengaruh substitusi talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan
mutu fisik pada mie basah.
Ha diterima apabila Sig > 0,05 berarti tidak ada pengaruh substitusi talas
belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu
kimia dan mutu fisik pada mie basah.
53

Langkah- langkah pengujian One Way Anova :
Penggunaan One Way Anova dalam hal ini menggunakan data penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtitusi talas belitung, tepung tempe
kedelai dan tepung tapioka. Penelitian menggunakan desain RAL sebagai
perlakuan adalah tepung terigu : talas belitung : tepung tapioka : tepung tempe
kedelai. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali.
Langkah selanjutnya untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda nyata,
digunakan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Selanjutnya data
rata-rata nilai energi dan mutu kimia disajikan secara deskriptif. Statistik Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95% dengan model
sebagai berikut :
JNT (, d, v) = JND (, d, v) x KTG/u
Penarikan Kesimpulan :
Perbedaan signifikan jika nilai perbedaan mean dalam satu pasang taraf
perlakuan terdapat pada kolom subset yang berbeda.

4.6.2 Mutu organoleptik (Warna, Tekstur, Aroma dan Rasa)
Pengolahan data pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan
tepung tempe kedelai pada mie basah terhadap mutu organoleptik pada tingkat
kepercayaan 95% yaitu digunakan dengan analisis statistik Kruskal Walis. Rumus
yang digunakan yaitu sebagai berikut :
KW = [ 12 / N (N + 1) nj R
-2 j
] 3 (N + 1)
Keterangan :
KW = banyaknya taraf perlakuan
Nj = banyaknya replikasi pada taraf perlakuan ke -j
N = nj
Rj = rata-rata dari rangking skor taraf perlakuan ke -j

Hipotesis statistik :
Ho : Tidak ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah.
H
a
: Ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe
kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah.

54

Penarikan kesimpulan :
Ho ditolak apabila Sig. < 0,05 berarti ada pengaruh substitusi talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah
Ha diterima apabila Sig > 0,05 berarti tidak ada pengaruh substitusi talas
belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap mutu organoleptik
mie basah.
Jika Ho ditolak, maka dilanjutkan uji statistik perbandingan ganda Mann
Whitney untuk menentukan pasangan perlakuan mana yang berbeda signifikan.
Analisis ini dilakukan dengan cara menguji taraf perlakuan ke u dengan taraf
perlakuan ke v sebagai berikut:

[Ru Rv] Z / {k(k-1)} {N (N-1)/12} {1/nu + 1/nv}
Keterangan :
Z / [k (k 1)] = nilai normal baku
K (k 1) = banyaknya pasangan taraf perlakuan

Maka dinyatakan bahwa median taraf perlakuan ke-u dan median taraf
perlakuan ke-v adalah sama. Perbandingan ini akan ada sebanyak k (k-1)
pasangan, karena perlakuan yang dibandingkan ada sebanyak k.
Penarikan Kesimpulan :
Taraf perlakuan satu dengan taraf perlakuan yang lain yang menghasilkan
perbedaan signifikan ditunjukkan oleh angka Sig. < 0,05.

4.6.6 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
a. Hasil penentuan taraf perlakuan terbaik dari masing-masing responden
ditabulasi sehingga diperoleh jumlah nilai masing-masing variabel dan rata-
ratanya.
b. Ranking variabel ditentukan berdasarkan nilai rata-rata masing-masing variabel
dimana variabel yang memiliki rata-rata terbesar diberi ranking ke-1 dan
variabel dengan rata-rata terendah diberi ranking ke-9.
c. Bobot variabel ditentukan dengan membagi nilai rata-rata tiap variabel dengan
rata-rata tertinggi. Variabel dengan nilai rata-rata semakin besar, maka rata-
rata terendah sebagai nilai terjelek dan rata-rata tertinggi sebagai nilai terbaik.

Bobot Variabel = Rata-rata variabel
Rata-rata tertinggi
55

d. Bobot normal masing-masing variabel didapat dari variabel dibagi bobot total
variabel.

e. Setiap variabel kemudian dihitung nilai efektifitasnya (Ne) dengan rumus :

f. Nilai yang digunakan untuk menentukan taraf perlakuan terbaik adalah jumlah
nilai hasil (Nh) dimana nilai ini dapat dihitung dengan cara mengalikan bobot
normal masing-masing variabel dengan Ne dan selanjutnya dijumlahkan.

g. Taraf perlakuan terbaik adalah taraf perlakuan yang memiliki nilai hasil
tertinggi.

4.6.4 Instrument Analisis Data
Instrument untuk analisis data antara lain kalkulator scientific, computer
dengan program Microsoft word, Microsoft excel, dan SPSS 16.0 serta alat tulis.















Bobot Normal = Bobot Variabel
Bobot Total Variabel
Ne = Nilai perlakuan Nilai terjelek
Nilai terbaik Nilai terjelek
Nh = Bobot Normal x Ne
56

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5. 1 Deskripsi Produk
Mie basah pasta talas belitung merupakan produk yang ditujukan kepada
penderita DM dalam rangka menghasilkan alternatif makanan penukar sumber
energi untuk penatalaksaan diet. Mi basah pasta talas belitung bertujuan untuk
diversifikasi pangan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang secara
empiris mengandung zat gizi yang sesuai bagi penderita DM (IG rendah) dan
belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu talas belitung. Dilakukan subtitusi
tepung tempe kedelai dalam rangka meningkatkan mutu dan mencapai SNI
0128971992 tentang syarat mutu mie basah akibat penurunan penggunaan
tepung terigu. Selain itu, mie basah pasta talas belitung disubtitusi tepung tapioka
agar mampu mempertahankan elastisitas dan daya putus mie. Elastisitas dan daya
putus tersebut akan mempengaruhi tekstur mie sebelum dan setelah menjadi mie
goreng.
Mie basah pasta talas belitung berbentuk lebar dan memanjang
menyerupai spaghetti dengan warna kuning gelap. Warna kuning gelap tersebut
merupakan hasil penambahan telur pada pengolahan mie basah pasta talas
belitung. Sebagaimana dijelaskan Rustandi (2011) bahwa penambahan kuning
telur akan memberikan keseragaman warna kuning pada mie sehingga dapat
meningkatkan kualitas mie. Warna kuning gelap juga berasal dari warna coklat
tepung tempe kedelai yang merupakan salah satu bahan penyusun mie basah pasta
talas belitung. Warna coklat tersebut berasal dari proses penepungan pada suhu
70
0
selama 10 jam. Visualisasi warna mie basah disajikan pada Gambar 5.1.
Mie basah pasta talas belitung tidak beraroma langu. Aroma mie basah
pasta belitung normal dan hampir tidak beraroma apapun sebelum dan setelah
menjadi mie goreng. Berdasarkan SNI 0128971992 tentang syarat mutu aroma
mie basah adalah normal. Rustandi (2011) menambahkan bahwa aroma mie yang
tidak disukai konsumen adalah berbau tepung mentah atau berbau apek. Aroma
mie yang berbau apek, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yaitu
tepung yang digunakan. Apabila bahan baku yang digunakan beraroma apek
57

maka produk akhir yang dihasilkan juga beraroma apek. Sedangkan aroma tepung
mentah dipengaruhi oleh proses pengolahan yang kurang optimal seperti sebagian
adonan pada saat proses pengadukan tidak menyerap air dengan baik (tidak rata)
sehingga tidak terbentuk adonan yang kalis/tercampur rata.







P
0
P
1






P
2
P
3

Keterangan :
P
0
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0
P
1
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5
P
2
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10
P
3
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15
Gambar 5. 1 Visualisasi Warna Mie Basah
Rasa mie basah pasta talas belitung adalah normal (tidak berasa). Bahan-
bahan subtitusi tidak mempengaruhi rasa mie basah yang dihasilkan. Berdasarkan
SNI 0128971992 tentang syarat mutu rasa mie basah adalah normal. Lebih
lanjut Rustandi (2011) menjelaskan bahwa rasa mie basah yang tidak disukai oleh
konsumen adalah berasa adonan mentah, tepung dan berasa alkali/bersabun.
58

Tekstur mie basah pasta talas belitung agak lunak dan elastis. Semakin
rendah subtitusi tepung terigu, elastisitas mie basah pasta talas belitung cenderung
menurun. Hal tersebut disebabkan karena bahan-bahan penyusun mie basah pasta
talas belitung rendah gluten. Gluten terdapat di dalam tepung terigu dan berfungi
membentuk tekstur mie basah menjadi elastis. Sehingga apabila terjadi penurunan
subtitusi tepung terigu akan mempengaruhi elastisitas mie basah yang dihasilkan.
Sebagaimana dijelaskan Astawan (2008) bahwa tepung terigu memiliki
kemampuan untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat
elastis gluten pada adonan mie berfungsi agar tidak mudah putus pada proses
pencetakan dan pemasakan mie.

5. 2 Mutu Kimia
5.2.1 Kadar Air
Hasil penelitian menunjukkan kadar air mie basah pasta talas belitung
berkisar 31.95 41.20 g/100 g bahan dengan rata-rata 37.72 4.0 g/100 g.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, kadar air mie basah pasta talas
belitung cenderung meningkat sebagaimana disajikan pada Tabel 5.1. Hasil
analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.037) terhadap kadar air mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 1).
Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa
subtitusi pasta talas belitung 30% (P
1
) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar
air yang signifikan dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung memberikan
pengaruh peningkatan kadar air yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Peningkatan kadar air tersebut dipengaruhi oleh peningkatan subtitusi
pasta talas belitung karena kadar air talas belitung yang cukup tinggi.
Sebagaimana dijelaskan Mahmud (2004) bahwa kadar air pasta talas belitung
lebih tinggi dibanding tepung terigu masing-masing 63% dan 11.8%. Kadar air
mie basah pasta talas belitung yang relatif tinggi juga dipengaruhi penambahan air
pada proses pengolahan. Air dalam pengolahan mie basah berfungsi untuk
mengikat dan mencampurkan bahan-bahan subtitusi sehingga terbentuk adonan
yang kalis dan dapat dicetak. Sebagaimana dijelaskan Soenaryo (1985) bahwa
59

kegunaan air pada pengolahan mie adalah untuk media reaksi antara glutein
dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal dari glutein.
Tabel 5. 1 Kadar Air Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata- rata Kadar
Air (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
32
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
38
b

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
39
b

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
41
b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kadar mie basah pasta talas belitung dimana masih diatas 35%
menunjukkan bahwa kurang memenuhi standart SNI 0128971992 tentang syarat
mutu kadar air mie basah yaitu 20 35% b/b. Namun Widyaningsih dan Murtini
(2006) menjelaskan bahwa kadar air mie basah dapat mencapai 52% sehingga
daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar, mie basah hanya
bertahan 10 12 jam karena mie akan berbau asam dan berlendir/ basi. Sehingga
mie basah pasta talas belitung masih sesuai dengan kriteria mie basah namun daya
simpannya perlu diperhatikan karena relatif tidak tahan lama.

5.2.2 Kadar Abu
Hasil penelitian menunjukkan kadar abu mie basah pasta talas belitung
berkisar 1.07 2.18 g/100 g bahan dengan rata- rata 1.51 0.23 g/100 g.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung
tempe kedelai menunjukkan bahwa kadar abu mie basah pasta talas belitung
cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2. Namun demikian,
hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang tidak signifikan
(p = 0.420) terhadap kadar abu mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 2).
Peningkatan kadar abu dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing bahan
subtitusi. Bahan yang berkontribusi mengandung kadar abu tinggi adalah tepung
tempe kedelai karena kadar abu talas belitung rendah. Komponen terbesar talas
belitung adalah air yaitu 63% (Mahmud, 2004).

60

Tabel 5. 2 Kadar Abu Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata- rata Kadar
Abu (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
1.1
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
1.0
a

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
1.4
a

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
1.5
a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kadar abu berasal dari unsur mineral dan komposisi kimia yang tidak
teruapkan selama proses pengabuan. Kadar abu menunjukkan jumlah mineral
yang terkandung dalam bahan, biasanya ditentukan dengan cara pengabuan atau
pembakaran (Pangloli dan Royaningsih, 1998). Sebagaimana dijelaskan Santoso
(1995) bahwa tepung tempe kedelai mengandung nilai gizi cukup tinggi sebagai
sumber karbohidrat, vitamin dan mineral. Lebih lanjut Sudarmaji (2006)
menjelaskan bahwa kandungan mineral total dalam bahan pangan diperkirakan
sebagai kandungan abu yang merupakan residu an-organik yang tersisa setelah
bahan-bahan organik terbakar habis. Kadar abu pada produk pangan menunjukkan
tingkat kebersihan produk yang dapat berasal dari bahan baku, proses pembuatan,
pengemasan maupun penyimpanan. Kadar abu produk mie basah harus memenuhi
persyaratan SNI 0128971992 yaitu mengandung maksimal 3% b/b. Berdasarkan
hal tersebut, mie basah subtitusi pasta talas belitung tiap taraf perlakuan telah
memenuhi standart SNI yang ditentukan.

5.2.3 Protein
Hasil penelitian menunjukkan kadar protein mie basah pasta talas belitung
berkisar 9.76 11.91 g/100 g bahan dengan rata-rata 10.96 0.93 g/100 g.
Kadar protein tersebut telah memenuhi syarat kadar protein pada SNI
0128971992 yaitu mengandung minimal 8% b/b. Semakin tinggi subtitusi pasta
talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai maka kadar protein
mie basah pasta talas belitung cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada
Tabel 5.3. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe
kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.001) terhadap kadar protein mie
basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 10). Lebih lanjut, analisis Duncan
61

Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%,
tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah memberikan pengaruh
peningkatan kadar protein yang signifikan dan subtitusi tepung tempe kedelai 10%
(P
2
) juga memberikan pengaruh peningkatan kadar protein yang signifikan namun
setelah peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai selanjutnya, yaitu 15% (P
3
)
tidak memberikan pengaruh peningkatan protein yang signifikan.
Tabel 5. 3 Kadar Protein Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Protein (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
9.8
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
10.75
b

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
11.43
c

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
11.91
c

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kontribusi protein terbesar dalam mie basah pasta talas belitung berasal
dari tepung tempe kedelai. Subtitusi tepung tempe kedelai dalam pengolahan mie
basah pasta talas belitung bertujuan untuk mencapai SNI 0128971992 tentang
syarat mutu kadar protein mie basah adalah min 8% b/b sehingga mie basah pasta
talas belitung telah memenuhi standart SNI yang ditentukan. Subtitusi tepung
tempe kedelai dilakukan karena tepung terigu disubtitusi talas belitung dimana
talas belitung merupakan bahan makanan yang rendah protein Semakin tinggi
subtitusi tepung tempe kedelai, protein mie basah subtitusi pasta talas belitung
cenderung meningkat. Tepung tempe kedelai mengandung protein yang cukup
tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan protein mie basah pasta talas
belitung akibat penurunan subtitusi tepung terigu. Sebagaimana dijelaskan
Cahyadi (2006) bahwa kadar protein tempe sebesar 41.5 g/100 g lebih tinggi
dibandingkan tepung terigu sebesar 9 g/ 100 g.
Pengolahan mie basah pasta talas belitung subtitusi tepung tempe kedelai
selain meningkatkan kadar protein juga sebagai penganekaragaman menu bagi
penderita DM. Kontribusi protein mie basah pasta talas belitung menyumbang
sebesar 20%/100 g dari rata-rata total kebutuhan 60 g/hari relatif lebih tinggi
dibandingkan beras dan kentang, yaitu 14%/100 g dan 13%/100 g (PERKENI,
2011). Penderita DM membutuhkan asupan protein cukup sebesar 15 %/ hari
62

dari total energi, yaitu 60 70 g/ hari untuk mencegah terjadinya katabolisme
protein dalam otot tubuh.
Protein mie basah pasta talas belitung mengandung asam amino yang
bermanfaat bagi metabolisme penderita DM, yaitu arginin dan lisin yang terkait
sekresi insulin dan glukagon dari pankreas. Sebagaimana dijelaskan Bhathena
(2002) bahwa protein pada tempe kedelai tinggi kandungan arginin dan glisin.
Pemberian asam amino arginin dan glisin saat terjadi peningkatan kadar glukosa
darah, menyebabkan sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa meningkat 2 kali
lipat sehingga memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin. Lebih
lanjut, insulin akan meningkatkan transpor glukosa ke dalam hati, otot, dan sel-sel
lain yang mengakibatkan kadar glukosa darah kembali normal. Sedangkan, peran
arginin pada sekresi glukagon yaitu glukagon memacu konversi cepat asam amino
menjadi glukosa sehingga banyak glukosa yang tersedia di dalam jaringan.
Namun, respon glukagon dan insulin tidak bertentangan satu sama lain. Selain
itu, protein kedelai juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada DM tipe 2.
Kandungan protein mie basah pasta talas belitung yang lebih tinggi dibandingkan
beras dan kentang dengan manfaat asam aminonya, diharapkan mampu menjadi
salah satu makanan penukar bagi penatalaksaan diet penderita DM untuk
meningkatkan derajat kesehatannya.

5.2.4 Lemak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah pasta talas
belitung berkisar 4.8 6.1 g/100 g bahan dengan rata- rata 5.4 0.5 g/100 g.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung
tempe kedelai, kadar lemak mie basah cenderung meningkat sebagaimana
disajikan pada Tabel 5.4. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi pasta talas belitung
dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.002)
terhadap kadar lemak mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 4). Lebih
lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi
pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
)
belum memberikan pengaruh yang signifikan. Sedangkan pada subtitusi pasta talas
63

belitung 35%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 10% (P
2
) telah
memberikan pengaruh peningkatan lemak yang signifikan namun semakin meningkat
subtitusi pasta talas belitung (P
3
), memberikan pengaruh peningkatan lemak yang
tidak signifikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah pasta talas
belitung meningkat dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung
tempe kedelai. Talas belitung sedikit memberikan kontribusi lemak karena
kandungan lemak pada talas belitung rendah (1%) sehingga bahan subtitusi mie
basah yang berkontribusi meningkatkan kadar lemak adalah tepung tempe kedelai.
Tabel 5. 4 Kadar Lemak Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Lemak (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
4.8
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
5.1
a

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
5.7
b

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
6.1
b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kadar lemak tepung tempe kedelai cukup tinggi sebagaimana dijelaskan
Cahyadi (2006) bahwa selain sebagai sumber protein, tepung tempe kedelai juga
merupakan sumber lemak. Tepung tempe kedelai mengandung lemak sebesar
22,2%. Sebagian besar lemak yang ada pada tepung tempe kedelai merupakan
lemak tak jenuh, yaitu asam linoleat yang merupakan asam lemak utama pada
tempe, secara spesifik bersifat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Lebih
lanjut Mann (2007) menjelaskan bahwa jika konsumsi energi dari lemak jenuh
diganti oleh asam linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan kolesterol
darah sehingga tidak terjadi hiperlipidemia akibat hiperglikemik. Selain itu,
tingginya lemak mie basah pasta talas belitung juga dipengaruhi penambahan
minyak goreng setelah mie dikukus. Mie basah pasta talas belitung memberikan
kontribusi lemak sebesar 13%/100 g dari kebutuhan 50 g/hari, lebih tinggi
dibandingkan dengan lemak dari beras dan kentang masing-masing 3.5%/100 g
dan 0.8%/100 g dengan total kebutuhan yang sama (PERKENI, 2011). Maksimal
jumlah lemak dalam mie berkisar 15 - 20% (Sunoko, 2008 dalam Hermianti,
2011).
64

5.2.5 Serat Kasar
Hasil penelitian menunjukkan kadar serat mie basah pasta talas belitung
berkisar 0.87 1.86 g/100 g bahan dengan rata-rata 1.51 0.4 g/100 g. Semakin
tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai maka kadar serat
mie basah pasta talas belitung akan meningkat sebagaimana disajikan pada Tabel
5.5. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta talas belitung, tepung
tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.008) terhadap kadar serat mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 5).
Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa
subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5%
(P
1
) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar serat yang signifikan, dan
semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh peningkatan
kadar serat yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar serat mie basah meningkat
dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai. Talas
belitung mengandung serat kasar rendah namun mengandung serat pangan yang
tak larut (oligosakarida) cukup tinggi. Selain itu, tepung tempe kedelai juga
merupakan sumber serat. Tepung tempe kedelai memiliki serat yang merupakan
karbohidrat atau polisakarida sebanyak 7,2 g/100g bahan yang tidak dapat dicerna
oleh tubuh. Sedangkan pasta talas belitung mengandung serat kasar sebesar 1%
(Mahmud, 2004). Selain itu, bahan-bahan subtitusi mie basah mengandung serat
lebih tinggi dibandingkan tepung terigu yang hanya mengandung 0.3%
(Mahmud, 2004).

Tabel 5. 5 Kadar Serat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Serat (g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
0.87
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
1.60
b

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
1.71
b

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
1.86
b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
65

Hasil analisis berupa serat kasar dapat bermanfaat bagi penderita DM
karena serat kasar mampu menahan makanan dalam saluran pencernaan sehingga
penderita DM cepat kenyang dan tidak mudah lapar. Sebagaiman dijelaskan E.
Mary (1993) bahwa makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar
dicerna dan memberikan isi sehingga untuk mencerna memerlukan waktu lebih
lama karena makanan berserat berada lebih lama di dalam lambung. Selain itu,
serat kasar banyak terdapat pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan
produk olahannya seperti tempe memiliki pengaruh yang besar terhadap
penyerapan karbohidrat. Dalam penatalaksanaan diet DM, serat memiliki sifat
memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga mampu mengontrol peningkatan
kadar glukosa darah.

5.2.6 Gula Reduksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gula reduksi mie basah pasta
talas belitung berkisar 0.173 0.248 mg/dl bahan dengan rata-rata 0.203 0.032
mg/dl. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai
maka kadar gula reduksi mie basah cenderung menurun sebagaimana disajikan
pada Tabel 5.6. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan
95% menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh yang signifikan
(p = 0.041) terhadap kadar gula reduksi mie basah pasta talas belitung (Tabel
Lampiran 6). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT)
menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan
tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah memberikan pengaruh penurunan kadar gula
reduksi yang signifikan, dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung
memberikan pengaruh penurunan kadar gula reduksi yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Penurunan kadar gula reduksi dipengaruhi oleh bahan-bahan subtitusi mie
basah yaitu pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, maka kadar gula reduksi akan
semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan gizi pasta talas belitung
yang banyak mengandung oligosakarida (serat pangan tak larut). Gula reduksi
adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi karena adanya gugus
66

aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang termasuk gula reduksi adalah
glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan galaktosa termasuk dalam jenis
karbohidrat monosakarida. Sehingga gula reduksi digunakan sebagai indikator
seberapa besar gula sederhana dalam bahan pangan yang mampu diserap oleh
tubuh.
Tabel 5. 6 Kadar Gula Reduksi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Gula Reduksi
(mg/dl)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
0.248
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
0.200
b

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
0.193
b

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
0.173
b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Gula reduksi berkaitan dengan kemampuan cepat lambatnya makanan
diserap oleh tubuh karena gula reduksi merupakan indikator jumlah glukosa
dalam bahan makanan. Apabila makanan tersebut mengandung gula reduksi
tinggi maka kadar glukosa darah cepat meningkat demikian sebaliknya. Gula
reduksi berkaitan pula dengan indeks glikemik (IG) pangan dimana bahan
makanan yang memiliki gula reduksi tinggi kemungkinan IG tinggi. IG Pasta
talas belitung sebesar 29 45, lebih rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi
jalar ungu (54 - 68) (Rimbawan dan Siagian, 2004). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung maka kadar
gula reduksi cenderung menurun. Bagi penderita DM, konsumsi makanan dengan
kadar gula reduksi rendah menjadi saat penting karena makanan tersebut tidak
cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Makanan dengan kadar gula reduksi
tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat setelah dikonsumsi
dan hal tersebut berbahaya bagi penderita DM.

5.2.7 Karbohidrat
Hasil penelitian menunjukkan kadar karbohidrat mie basah pasta talas
belitung hasil penelitian berkisar 37.41 51.59 g/100 g bahan dengan rata-rata
43.13 g/100 g. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe
kedelai maka kadar karbohidrat mie basah cenderung menurun sebagaimana
67

disajikan pada tabel 5.7. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta
talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh
yang signifikan ( = 0.003) terhadap kadar karbohidrat mie basah pasta talas
belitung (Tabel Lampiran 7). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test
(DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15%
dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah memberikan pengaruh penurunan kadar
karbohidrat yang signifikan, dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung
memberikan pengaruh penurunan kadar karbohidrat yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Tabel 5. 7 Kadar Karbohidrat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata- rata Kadar
Karbohidrat (g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
51.59
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
42.97
b

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
40.53
b

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
37.41
b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Penurunan karbohidrat dipengaruhi oleh kadar air, abu, protein, lemak dan
serat kasar mie basah. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, kadar
karbohidrat cenderung menurun. Hal tersebut disebabkan kandungan karbohidrat
pada pasta talas belitung lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu masing-
masing 34% dan 77% (Mahmud, 2004). Peningkatan subtitusi tepung tempe juga
tidak memberikan kontribusi karbohidrat yang besar karena tepung tempe kedelai
termasuk dalam bahan pangan dengan karbohidrat rendah. Sebagaimana
dijelaskan Cahyadi (2006) bahwa kandungan karbohidrat tepung tempe kedelai
sebesar 29.6% sehingga penurunan subtitusi tepung terigu akan menurunkan
kadar karbohidrat mie basah pasta talas belitung. Kadar protein, lemak, dan serat
terendah adalah taraf perlakuan P
0
dengan subtitusi 100% tepung terigu yaitu 4.8
g/100 g, 9.8 g/100 g dan 0.87 g/100 g namun memiliki kadar karbohidrat tertinggi
yaitu 51.59 g/100 g. Sedangkan kadar karbohidrat terendah terdapat pada mie
basah taraf perlakuan P
3
dengan subtitusi pasta talas belitung 40%, tepung tapioka
10% dan tepung tempe 15% yang memiliki kadar protein, lemak dan serat
tertinggi sebesar 6.1 g/100 g, 12 g/100 g dan 1.86 g/100 g.
68

Rendahnya karbohidrat mie basah pasta talas belitung merupakan
keunggulan tersendiri apabila dikonsumsi penderita DM. Berbagai jenis
karbohidrat termasuk monosakarida, disakarida dan polisakarida. Bagi penderita
DM harus membatasi konsumsi karbohidrat jenis monosakarida karena
meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat. Berbeda dengan karbohidrat
jenis polisakarida termasuk oligosakarida yang banyak terdapat pada umbi-
umbian, antara lain talas belitung. Jenis karbohidrat polisakarida (kompleks) akan
merespon glukosa secara lambat sehingga tidak terjadi peningkatan kadar glukosa
darah secara cepat. Karbohidrat mempunyai banyak fungsi bagi tubuh. Fungsi
utama karbohidrat yaitu sumber energi dimana satu gram karbohidrat setara
dengan 4 Kalori (Winarno, 2004). Energi tersebut berasal dari metabolisme
makanan. Makanan yang dimetabolisme akan menghasilkan glukosa, cepat
lambatnya proses metabolisme tergantung pada jenis karbohidrat yang ada di
dalam makanan. Makanan yang mengandung karbohidrat monosakarida akan
cepat dimetabolisme sehingga kadar glukosa darah cepat meningkat. Berbeda
dengan jenis karbohidrat oligosakarida (kompleks) yang melalui beberapa tahap
pemecahan dalam proses metabolisme sebelum menghasilkan glukosa sehingga
proses metabolisme relatif lebih lama. Makanan dengan jenis karbohidrat
kompleks baik bagi penderita DM karena tidak meningkatkan kadar glukosa darah
secara cepat.

5. 3 Nilai Energi
Nilai energi mie basah pasta talas belitung berkisar 252 288 Kalori/100 g
dengan rata-rata 264.95 16 Kalori/100 g. Semakin tinggi subtitusi pasta talas
belitung maka nilai energi mie basah pasta talas belitung cenderung menurun,
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.8. Hasil analisis statistik Oneway Anova
pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas Belitung
memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.025) terhadap nilai energi mie basah
pasta talas belitung (Tabel Lampiran 8). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple
Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30% (P
1
) telah
memberikan pengaruh penurunan nilai energi yang signifikan dan semakin tinggi
69

subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh penurunan nilai energi yang
tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Penurunan nilai energi mie basah pasta talas belitung dipengaruhi oleh
kandungan zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, protein dan lemak.
Sebagaimana dijelaskan Almatsier (2003) bahwa nilai energi ditentukan oleh
kandungan karbohidrat, protein dan lemak makanan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa zat gizi menentukan penurunan nilai energi mie basah pasta
talas belitung adalah kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat menurun dengan
meningkatnya subtitusi pasta talas belitung karena kadar karbohidrat pasta talas
belitung lebih rendah dibanding tepung terigu masing-masing 34.2% dan 77.3%
(Mahmud, 2004). Secara empiris, nilai energi tepung terigu lebih tinggi
dibanding pasta talas belitung masing-masing 333 Kalori/100 g dan 145
Kalori/100 g.
Tabel 5. 8 Nilai Energi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung
Tapioka : Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Nilai Energi
(Kalori/100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
288
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
261
b

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
259
b

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
252
b

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Penurunan nilai energi yang dipengaruhi oleh penurunan karbohidrat
diikuti dengan peningkatan kadar serat dan protein dalam mie basah pasta talas
belitung. Hal ini sesuai dengan tujuan pengolahan mie basah pasta talas belitung
yaitu menghasilkan makanan yang baik bagi penderita DM, dimana makanan
tersebut tidak hanya sumber energi tetapi juga sumber oligosakarida (serat pangan
tak larut). Oligosakarida mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran
makanan dalam saluran pencernaan sehingga penderita DM akan merasa kenyang
dan tidak cepat lapar. Sebagaimana dijelaskan Rimbawan dan Siagian (2004)
bahwa serat pangan tak larut memperlambat lewatnya makanan pada saluran
pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses
pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon glukosa darah menjadi lebih
rendah.
70

Mie basah pasta talas belitung memberi kontribusi energi 13%/100 g dari
kebutuhan energi penderita DM sebesar 1900 Kalori/ hari. Energi tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan beras dan kentang, yaitu 18%/100 g dan 17%/100 g
dengan total kebutuhan yang sama (PERKENI, 2011). Walaupun nilai energi mie
basah pasta talas belitung lebih rendah namun energi tersebut berasal dari
karbohidrat dalam bentuk oligosakarida (serat pangan tak larut) sehingga
memperlambat respon glukosa darah dan tidak mempercepat peningkatan kadar
glukosa darah.

5. 4 Mutu Fisik
5.4.1 Elastisitas
Hasil penelitian menunjukkan elastisitas mie basah pasta talas belitung
berkisar 10.00 46.67% dengan rata-rata 30.83 12%. Semakin tinggi subtitusi
pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai, elastisitas mie basah pasta talas
belitung cenderung menurun sebagaimana disajikan pada Gambar 5.2. Hasil
analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.005) terhadap elastisitas mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 9).
Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa
subtitusi pasta talas belitung 35%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai
10% (P
2
) telah memberikan pengaruh penurunan elastisitas yang signifikan.
Penurunan elastisitas mie basah pasta talas belitung disebabkan karena
bahan subtitusi mie basah yang digunakan (pasta talas belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe kedelai) merupakan bahan yang rendah gluten. Penurunan
subtitusi tepung terigu membuat elastisitas mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun. Gluten terdapat di dalam tepung terigu. Sebagaimana
dijelaskan Astawan (2008) bahwa keistimewaan terigu diantara serealia lainnya
adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie
yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan.
Lebih lanjut, Rustandi (2011) mengatakan bahwa gluten merupakan campuran
protein gliadin dan glutenin yang terkumpul bersama pati di dalam lapisan
endosperm gandum. Gluten membuat adonan menjadi kenyal dan dapat
71

mengembang karena mampu mengikat udara. Pengurangan terigu dalam
pengolahan mie basah pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap elastisitas mie basah pasta talas belitung.
Pada taraf perlakuan P
1
-P
3
disubtitusi dengan tepung tapioka untuk
memperbaiki elastisitas mie basah pasta talas belitung akibat penurunan proporsi
tepung terigu karena tepung tapioka memiliki sifat mengikat. Sebagaimana
dijelaskan Belitz dan Grosch (1999) bahwa tepung tapioka memiliki sifat sebagai
bahan pengikat. Tapioka mengandung 17% amilosa dan 73% amilopektin.
Lebih lanjut, Winarno (2004) menambahkan bahwa perbandingan amilosa dan
amilopektin yang terdapat pada tepung dapat mempengaruhi sifat tepung.
Semakin rendah kadar amilosa maka semakin tinggi kadar amilopektin. Jika
kadar amilosa rendah maka pati akan semakin kental dan lekat demikian
sebaliknya. Namun, tetap terjadi penurunan elastisitas pada taraf perlakuan P
1
-P
3.


Keterangan :
P
0
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0
P
1
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5
P
2
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka :Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10
P
3
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka :Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (= 0.05)
Gambar 5. 2 Rata-rata Elastisitas Mie Basah tiap Taraf Perlakuan
Penurunan subtitusi tepung terigu yang membuat penurunan elastisitas tiap
taraf perlakuan. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein
dan sumber karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan
72

dalam pengolahan mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin
(prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk
pengolahan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis
dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi (Rustandi, 2011).
Elastisitas taraf perlakuan subtitusi tepung terigu 50% (P
1
) relatif sama
dengan taraf perlakuan P
0
karena subtitusi tepung terigu yang cukup tinggi
dibandingkan taraf perlakuan yang lain. Elastisitas merupakan parameter uji fisik
bagi produk mie dimana semakin tinggi nilai elastisitas mie maka menunjukkan
tekstur mie semakin baik. Sebagaimana dijelaskan Kusrini (2008) dalam
Rustandi (2011) bahwa kualitas mie yang ideal adalah kenyal, elastis, halus
permukaannya dan tidak lengket. Salah satu upaya untuk mengolah mie basah
agar tidak lengket adalah dengan menambahkan tepung tapioka.

5.4.2 Daya Putus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya putus mie basah pasta talas
belitung berkisar 0.3 2.9 N dengan rata-rata sebesar 1.15 0.93 N. Semakin
tinggi subtitusi pasta talas belitung maka nilai gaya daya putus mie basah pasta
talas belitung cenderung menurun, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.3.
Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.000) terhadap daya
putus mie basah pasta talas belitung. Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple
Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa penambahan subtitusi pasta talas
belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah
memberikan pengaruh penurunan daya putus yang signifikan (Tabel Lampiran
10).
Daya putus merupakan besarnya gaya tiap satuan luas penampang bahan
yang dibutuhkan untuk memutuskan suatu produk (Yuwono, 1998). Rendahnya
daya putus mie basah pasta talas belitung dipengaruhi oleh sifat masing-masing
bahan subtitusi. Pasta talas belitung bersifat lunak dan tidak mengandung gluten
sehingga membuat tekstur mie basah pada taraf perlakuan (P
1
-P
3
) lebih lunak
dibandingkan mie basah pada taraf perlakuan (P
0
). Hal tersebut membuat beban
73

gaya yang diberikan untuk memotong/memutus mie basah pasta talas belitung
lebih kecil dibandingkan dengan mie basah pada taraf perlakuan P
0
. Selain itu,
kadar air pasta talas belitung relatif tinggi, yaitu 63% (Mahmud, 2004) dan rendah
gluten sehingga tidak mampu memperkuat tektur mie basah pasta talas belitung.
Bahan semi basah (pasta) talas belitung apabila bercampur dengan bahan kering
(tepung-tepungan) akan mempengaruhi tekstur yang terbentuk, salah satunya
adalah mudah putus.
Subtitusi tepung tapioka tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap
nilai gaya putus mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
1
-P
3
. Hal
tersebut berbeda dengan taraf perlakuan P
0
dimana nilai gaya putusnya relatif
lebih tinggi meskipun tanpa subtitusi tepung tapioka. Hal tersebut dipengaruhi
kandungan tepung tapioka yang rendah gluten sehingga tidak mampu memperkuat
tekstur mie basah pasta talas belitung saat diberikan gaya. Daya putus merupakan
parameter kualitas fisik mie selain elastisitas. Daya putus menggambarkan
ketahanan mie selama pengolahan terutama terhadap perlakuan mekanis. Mie
basah pasta talas belitung memiliki nilai daya putus cenderung rendah sehingga
rawan putus selama proses pengolahan karena teksturnya cenderung lebih lunak
dibandingkan mie dari tepung terigu (taraf perlakuan P
0
).

Keterangan :
P
0
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0
P
1
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5
P
2
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10
P
3
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (= 0.05)
Gambar 5. 3 Rata-rata Daya Putus Mie Basah tiap Taraf Perlakuan
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
P0 P1 P2 P3
D
a
y
a

P
u
t
u
s

(
N
)
Taraf Perlakuan
a
0.7
0.5
0.8
2.5
b
b
b
74

5. 5 Mutu Organoleptik
5.5.1 Warna
Tingkat penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung
pada saat menjadi mie basah dan mie goreng masing-masing sebesar 40 85%
dan 70 90%. Warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng
adalah kuning gelap. Hal tersebut dipengaruhi oleh bahan penyusun mie basah
yang mampu menghasilkan reaksi selama proses pengolahan antara lain reaksi
Maillard. Warna kuning gelap tersebut membuat penerimaan kesukaan panelis
terhadap warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng
cenderung menurun. Berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung
tapioka dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.004) terhadap warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie
goreng. Uji lanjut, Mann-Whitney menunjukkan bahwa pasangan taraf perlakuan
yang memberikan pengaruh signifikan adalah antara P
0
dengan P
2
dan P
0
dengan
P
3
, namun berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung
tapioka dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p
= 0.884) terhadap warna mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie
goreng (Tabel Lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung pada tiap taraf
perlakuan saat masih berupa mie basah dan settelah menjadi mie goreng relatif
sama.
Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap
warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng adalah tidak
suka (2) sampai suka (3). Sedangkan modus tingkat kesukaan terhadap warna
setelah menjadi mie goreng adalah suka (3). Tingkat penerimaan dan modus hasil
uji kesukaan terhadap warna mie basah disajikan pada Gambar 5. 4 dan Tabel
5.9.

75



Tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun sebelum menjadi mie goreng salah satunya dipengaruhi oleh
subtitusi tepung tempe kedelai. Peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai
menghasilkan mie basah dengan warna kuning gelap. Warna kuning gelap ini
cenderung menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah.
Rustandi (2011) menjelaskan bahwa warna yang disukai konsumen adalah warna
krem segar untuk mie segar (mie ayam) sedangkan untuk mie basah biasanya
berwarna kuning.
Tabel 5. 9 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Warna Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas
Belitung : Tepung Tapioka : Tepung
Tempe Kedelai

Modus
Mie Basah

Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
3
a
3
a

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
2
b
3
a

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
2
b
3
a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Warna kuning gelap pada mie basah pasta talas belitung dapat berasal dari
warna tepung tempe kedelai yang merupakan salah satu bahan penyusun mie
0
10
20
30
40
50
60
P0 P1 P2 P3
53.78
42.85
34.45
30.92
37.32
42.4
41.2 41.08
M
e
a
n

R
a
n
k
Taraf Perlakuan
Mie Basah
Mie Goreng

Gambar 5. 4

Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Warna Mie basah
Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng
76

basah dan reaksi Maillard yang terjadi selama pemanasan mie basah.
Sebagaimana dijelaskan Winarno (2008) bahwa ada lima hal yang menyebabkan
suatu bahan makanan berwarna gelap antara lain reaksi Maillard yang terjadi
akibat reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi.
Peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai kedelai menyebabkan semakin
coklatnya warna mie basah. Hal ini membuktikan bahwa terjadi reaksi Maillard
yang lebih besar apabila subtitusi tepung tempe kedelai semakin tinggi.
Visualisasi warna mie basah sebelum pemberian bumbu disajikan pada Gambar
5. 1.
Warna kuning gelap mie basah pasta talas belitung dapat perbaiki dengan
pemberian bumbu sehingga menjadi mie goreng. Panelis memberikan penilaian 3
(suka) pada mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie goreng. Bumbu
mie basah akan bercampur dengan mie sehingga berdasarkan analisis statistik
Kruskal Walis menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe kedelai pada tingkat penerimaan panelis terhadap warna
memberikan pengaruh yang tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas
belitung pada tiap taraf perlakuan setelah menjadi mie goreng relatif sama

5.5.2 Aroma
Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie basah pasta talas belitung
sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing sebesar 60 70% dan 70
95%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap
aroma mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng adalah 3 (suka).
Tingkat penerimaan dan modus hasil uji kesukaan terhadap aroma mie basah
disajikan pada Gambar 5.5 dan Tabel 5.10. Berdasarkan analisis statistik Kruskal
Walis dengan tingkat kepercayaan 95% memberikan pengaruh yang tidak
signifikan terhadap aroma mie basah pasta talas belitung sebelum (p = 0.760) dan
setelah menjadi mie goreng (p = 0.539) (Tabel Lampiran 12). Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap aroma mie
basah pasta talas belitung pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi
mie goreng relatif sama.
77



Gambar 5. 5

Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Aroma Mie
basah Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

Tabel 5. 10 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas
Belitung : Tepung Tapioka : Tepung
Tempe Kedelai

Modus
Mie Basah Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
3
a
3
a

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
3
a
3
a

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
3
a
3
a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung
tempe kedelai. Berdasarkan modus tingkat kesukaan terhadap aroma mie basah
pasta talas belitung relatif sama antara sebelum dan setelah menjadi mie goreng.
Peningkatan subtitusi pasta talas belitung tidak berpengaruh besar terhadap aroma
mie basah pasta talas belitung karena talas belitung tidak beraroma mencolok.
Penurunan tingkat penerimaan kesukaan panelis terhadap aroma mie basah pasta
talas belitung antara lain dipengaruhi peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai.
Semakin tinggi subtitusi tepung tempe kedelai, mie basah pasta talas belitung
akan beraroma langu sehingga tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie
0
10
20
30
40
50
P0 P1 P2 P3
40.02
44.85
38.92
38.2
46.4
39.2 38.7
37.7
M
e
a
n

R
a
n
k
Taraf Perlakuan Mie Basah
Mie Goreng
78

basah pasta talas belitung cenderung menurun. Aroma langu pada tepung tempe
kedelai disebabkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat
dalam kedelai. Enzim lipoksigenase dapat menghidrolisis asam lemak tak jenuh
ganda dan menghasilkan senyawa-senyawa volatil penyebab aroma langu,
khususnya etil fenil keton.
Pada subtitusi tepung tempe kedelai 5%, aroma mie basah pasta talas
belitung normal sama seperti mie basah pada umumnya. Peningkatan subtitusi
tepung tempe kedelai sampai 15% pada mie basah pasta talas belitung
menimbulkan aroma langu namun tidak mencolok. Pada penelitian ini, sebelum
dilakukan proses penepungan, tempe yang digunakan di-blanching terlebih dahulu
pada suhu 100C selama 15 menit sehingga aroma langu dapat diminimalisir. Hal
ini dilakukan untuk menginaktivasi enzim lipoksigenase yang terdapat dalam
tempe. Cowan dalam Paula (2006) menyebutkan bahwa proses steam blanching
dengan pengukusan pada suhu 70 100C selama 10 sampai 15 menit pada
pembuatan tepung tempe kedelai telah mampu menginaktivasi enzim
lipoksigenase dan memperbaiki aroma tepung yang dihasilkan.

5.5.3 Rasa
Tingkat penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung
sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing berkisar 35 70 dan 60
75%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap
rasa mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing adalah
tidak suka (2) sampai suka (3) dan 3 (suka). Tingkat penerimaan dan modus hasil
uji kesukaan terhadap aroma mie basah disajikan pada Gambar 5.6 dan Tabel
5.11. Berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat kepercayaan
95% mie basah pasta talas belitung sebelum dan setelah menjadi mie goreng
memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0.422) dan (p = 0.585) terhadap
rasa mie basah (Tabel Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung pada
tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif sama.
79



Gambar 5. 6

Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Rasa Mie basah
Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

Tabel 5. 11 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas
Belitung : Tepung Tapioka : Tepung
Tempe Kedelai

Modus
Mie Basah Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
2
b
3
a

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
2
b
3
a

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
2
b
3
a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung
sebelum menjadi mie goreng cenderung menurun dengan peningkatan subtitusi
pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai. Semakin tinggi subtitusi pasta
talas belitung, rasa mie basah akan terasa hambar. Rasa hambar tersebut mungkin
dipengaruhi oleh talas belitung yang tidak berasa. Sebenarnya, talas akan
meninggalkan rasa gatal setelah dikonsumsi karena talas mengandung kalsium
oksalat. Namun, kalsium oksalat dapat hilang dengan cara merendam talas
belitung ke dalam larutan cuka selama 45 menit sebelum pengolahan menjadi
pasta. Sehingga pasta talas belitung yang digunakan tidak menimbulkan rasa
gatal tetapi rasanya menjadi hambar. Sebagaimana dijelaskan Schumm (1978)
dalam Ridal (2003) bahwa perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat
0
10
20
30
40
50
P0 P1 P2 P3
47.45
38.75
37.65
38.15
42.1
35.6
44.1
40.2
M
e
a
n

R
a
n
k
Taraf Perlakuan Mie Basah
Mie Goreng
80

kimiawi kalsium oksalat juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan
kristal kalsium oksalat dalam talas belitung. Perlakuan tersebut adalah dengan
melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium
oksalat menjadi asam oksalat.
Rasa mie basah pasta talas belitung tidak jauh berbeda dengan mie basah
pada taraf perlakuan kontrol (P
0
) yaitu normal dan hampir tidak berasa apapun.
Hal tersebut dikarenakan bahan baku P
0,
berupa tepung terigu memang tidak
memiliki rasa apapun. Mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie goreng
menjadi lebih berasa karena pengaruh pemberian bumbu. Hal tersebut membuat
tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung
pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif sama.
Produk mie basah harus memenuhi persyaratan SNI 0128971992 dimana syarat
mutu rasa mie basah adalah normal. Berdasarkan hal tersebut, rasa mie basah
subtitusi pasta talas belitung tiap taraf perlakuan telah memenuhi standart SNI
yang ditentukan. Lebih lanjut Rustandi (2011) menjelaskan bahwa rasa mie basah
yang tidak disukai oleh konsumen adalah berasa adonan mentah, tepung dan
berasa alkali/bersabun. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah
kurang lamanya mengaduk adonan sehingga bahan-bahan mie belum tercampur
secara merata sehingga adonan masih berasa tepung serta penambahan garam
alkali yang terlalu banyak (> 0.1 0.75%) akan membuat mie berasa alkali
bahkan berasa pahit.

5.5.4 Tekstur
Tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas belitung
sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing- masing berkisar 50 65% dan
55 75%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan
terhadap tekstur mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng adalah suka
(3). Tingkat penerimaan dan modus hasil uji kesukaan terhadap tekstur mie
basah disajikan pada Gambar 5.7 dan Tabel 5.12. Berdasarkan analisis statistik
Kruskal Walis dengan tingkat kepercayaan 95% mie basah subtitusi pasta talas
belitung, tepung tempe dan tepung tapioka memberikan pengaruh yang tidak
signifikan sebelum (p = 0.485) dan setelah (p = 0.135) menjadi mie goreng
81

terhadap tekstur mie basah (Tabel Lampiran 14). Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas
belitung pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif
sama.
Tabel 5.12 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng

Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung :
Tepung Tapioka : Tepung Tempe Kedelai
Modus
Mie Basah

Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a

P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
2
b
3
a

P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
2
b
3
a

P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
2
b
3
a

Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)


Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun. Peningkatan subtitusi pasta talas belitung mempengaruhi
tingkat penerimaan kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas
belitung. Tekstur mie menunjukkan kualitas dari mie yang dihasilkan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terjadi penurunan elastisitas dan daya putus mie
basah seiring dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung. Hal tersebut
0
10
20
30
40
50
P0 P1 P2 P3
46.1
41.1
37.6
36.9
40
38
37.2
36.8
M
e
a
n

R
a
n
k
Taraf Perlakuan
Mie Basah
Mie Goreng
Gambar 5.7 Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Tekstur Mie
basah Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng

82

dipengaruhi oleh penurunan penggunaan tepung terigu yang mengandung gluten
dimana gluten merupakan pembentuk tekstur mie basah. Keistimewaan terigu
diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan
mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan
dan pemasakan. Rustandi (2011) menjelaskan bahwa tekstur mie yang disukai
adalah kenyal dan sedikit keras tetapi mempunyai gigitan yang empuk serta
permukaan halus. Salah satu parameter pengujian tekstur mie adalah elastisitas
dan daya tahan putus.
Berdasarkan analisis daya putus mie basah dimana daya putus mie basah
pasta talas belitung (P
1
-P
3
) memiliki nilai gaya putus lebih kecil dibandingkan
dengan mie basah pada taraf perlakuan kontrol (P
0
) dan nilai elastisitas yang
semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat masing-masing bahan
subtitusi. Semakin rendah elastisitas dan daya putus mie basah maka mie tersebut
akan mudah hancur selama proses pengolahan. Namun, hal itu tidak
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur setelah menjadi mie
goreng karena hasilnya relatif sama dengan tingkat kesukaan panelis pada saat
mie basah. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama proses pengolahan, mie
basah pasta talas belitung tetap mampu menjaga teksturnya (tingkat
kekerasan/kemudahan hancur relatif sama antara saat mie basah dan setelah
menjadi mie goreng) sehingga modus tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur
juga meningkat.

5. 6 Taraf Perlakuan Terbaik
Berdasarkan hasil penilaian taraf perlakuan terbaik menunjukkan bahwa
variabel yang terpenting untuk mie basah adalah karbohidrat, gula reduksi, nilai
energi dan serat kasar. Karbohidrat memegang peran penting dalam kehidupan,
karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang
mempunyai harga relatif lebih murah (Kartasapoetra, 2005). Sumber karbohidrat
adalah serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan dan gula (Almatsier, 2004).
Karbohidrat yang terdapat dalam makanan pada umumnya hanya tiga jenis yaitu
monosakarida, disakarida, dan polisakarida (Sediaoetama, 1985). Untuk
memelihara kesehatan, WHO (1990) menganjurkan agar 60 - 75% konsumsi
83

energi total berasal dari karbohidrat kompleks dan paling banyak hanya 10%
berasal dari gula sederhana (Almatsier, 2004). Paradigma baru tentang indeks
glikemik bahan makanan membuat masyarakat harus memilih mana makanan
yang mampu meningkatkan indeks glikemik secara cepat maupun makanan
dengan jenis karbohidrat yang lambat diserap oleh usus. Pengenalan karbohidrat
berdasarkan efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG)
berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber
karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan
mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak
meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah
dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah
membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar glukosa
darah (Rimbawan danSiagian, 2004).
Makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar dicerna dan
memberikan isi sehingga untuk mencerna perlu waktu lebih lama karena makanan
berserat tinggal lebih lama di dalam lambung. Selain itu, serat banyak terdapat
pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai beserta produk olahannya seperti
tempe memiliki pengaruh yang besar terhadap penyerapan karbohidrat. Dalam
penatalaksanaan diet penderita DM, serat memiliki sifat memperlambat
penyerapan karbohidrat sehingga mampu mengontrol peningkatan kadar glukosa
darah (E. Mary. 1993). Serat larut memiliki kemampuan memperlambat
penyerapan glukosa sehingga menunda dan mengurangi kenaikan kadar glukosa
darah sedangkan serat tidak larut mengurangi proses glukoneogenesis yang
berpengaruh terhadap peningkatan sekresi insulin sehingga dapat mengurangi
kenaikan kadar glukosa (Meyes, 2003). Hal tersebut yang menjadikan serat kasar
penting bagi penderita DM.
Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi.
Hal ini dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang
termasuk gula reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan
galaktosa (Budiyanto, 2002). Glukosa dalam tubuh berfungsi sebagai sumber
energi. Glukosa dalam darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang
mengandung karbohidrat dari nasi, ubi, jagung, kentang dan lain- lain. Kadar
84

glukosa dalam darah dapat melonjak atau berlebihan/ hiperglikemik. Keadaan ini
akan memicu munculnya DM yang merupakan suatu kelainan yang terjadi karena
tubuh kekurangan atau kerusakan hormon insulin sehingga glukosa tetap beredar
dalam darah dan sukar menembus dinding sel. Hasil taraf perlakuan terbaik untuk
rata- rata rangking variabel disajikan pada Tabel 5. 13.
Taraf perlakuan P
3
dalam pengolahan mie basah dengan subtitusi talas
belitung 40%, tepung tapioka 10% dan tepung tempe 15% memiliki total nilai
tertinggi yaitu 0.64 (Lampiran 6). Karakteristik nilai energi dan kadar zat gizi
mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
3
disajikan pada Tabel 5. 14.
Tabel 5. 13 Rata- rata dan Rangking Variabel dalam Penentuan Taraf Perlakuan
Terbaik
Variabel Rata- rata Rangking
Karbohidrat 1.266 1
Gula reduksi 0.308 2
Serat Kasar 0.126 3
Nilai Energi 0.054 4
Protein 0.030 5
Tekstur 0.021 6
Rasa 0.015 7
Elastisitas 0.011 8
Lemak 0.009 9
Daya putus 0.006 10
Aroma 0.004 11
Warna 0.003 12
Abu 0.002 13
Air 0.002 14

Hal terpenting dalam penatalaksanaan diet penderita DM adalah
pengontrolan asupan karbohidrat. Kadar karbohidrat P
3
lebih rendah dibanding
dengan beras dan kentang. Pada taraf perlakuan P
3
dimana subtitusi pasta talas
belitung paling tinggi sebesar 40% mempengaruhi kadar karbohidrat dan gula
reduksi. Gula reduksi merupakan jumlah glukosa yang mampu diserap oleh
tubuh. Talas belitung merupakan jenis umbi yang kaya karbohidrat jenis
oligosakarida sehingga kadar gula reduksinya rendah. Hal tersebut terlihat dari IG
talas belitung, yaitu 29 45 lebih rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi jalar
ungu (54 - 68), (Rimbawan dan Siagian, 2004).


85

Tabel 5. 14 Karakteristik Mie Basah Pada Taraf Perlakuan (P
3
)
Karakteristik
Mie Basah Pasta Talas
Belitung
Syarat Mutu Mie
Basah
(SNI 0128911992)
Energi (Kalori) 252 -
Kadar Karbohidrat (g) 37.41 -
Kadar Protein (g) 12 Min 8
Kadar Lemak (g) 6.1 -
Kadar Serat Kasar (g) 1.86 -
Kadar Abu (g) 1.5 Maks 3
Kadar Air (g) 41 20 35
Kadar Gula Reduksi (mg/dl) 0.173 -
Elastisitas (%) 20 -
Daya Putus (N) 0.7 -
Warna Kuning gelap Normal
Aroma Tidak beraroma Normal
Rasa Hambar Normal
Tekstur Elastis dan agak lunak Normal

Tabel 5. 15 Perbandingan Kandungan Gizi Mie Basah Pasta Talas Belitung
Kalori/ hari 1900 2100
Bahan
Makanan
(g)
Mie Pasta
Talas
Belitung
(100)
Beras
(100)
Kentang
(200)
Mie Pasta
Talas
Belitung
(100)
Beras
(100)
Kentang
(200)
Energi (%) 13 18 17 12 17 16
Karbohidrat
(%)
12.5 26 25 12 24 24
Protein (%) 20 14 13 19 13.5 13
Lemak(%) 13 3.5 0.8 11.5 3 3.2
Serat (%) 7 0.8 8 7 0.8 8
Sumber: PERKENI (2011)
Pengetahuan tentang IG pangan membuat penderita DM secara mandiri
dengan mudah dapat memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat
meningkatkan kadar glukosa darah. Memilih makanan dengan IG rendah, secara
tidak langsung menunjukkan konsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh
karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga
mendukung upaya penganekaragaman makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pada umumnya penderita DM melakukan diet non nasi dan mengganti dengan
kentang. Hal tersebut memang memiliki dampak positif karena dapat mengurangi
jumlah konsumsi beras namun harga kentang yang relatif lebih mahal dan nilai IG
86

yang relatif lebih tinggi dapat menjadikan talas belitung alternatif pangan lokal
untuk penatalaksanaan diet penderita DM.
Mie basah pasta talas belitung yang diolah dengan bahan-bahan pilihan
berupa pasta talas belitung, tepung tempe dan bahan pengikat berupa tepung
tapioka memiliki keunggulan kandungan gizi dibandingkan dengan mie basah
pada umumnya (100% tepung terigu). Faktor lain untuk mengkonsumsi mie
basah pasta talas belitung karena beras yang dikonsumsi di Indonesia telah
mengalami penyosohan lanjut sehingga rendah serat dan secara umum memiliki
IG tinggi (Winarno, 2012) sehingga diharapkan para penderita DM mengurangi
asupan beras. Pada taraf perlakuan P
3
, hasil uji kesukaan terhadap warna, aroma,
rasa dan tekstur mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng
cenderung menurun. Namun, setelah menjadi mie goreng rata-rata meningkat
atau relatif sama dibandingkan sebelum menjadi mie goreng. Sehingga mie basah
pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
3
masih bisa dikembangkan dan
dipromosikan sebagai bahan makanan penukar sumber energi bagi penderita DM
mengingat kandungan gizi dan manfaatnya yang cukup besar selain bahan
bakunya banyak tersedia di masyarakat.
Tabel 5. 16 Angka Kecukupan Gizi Per Takaran Saji
Kandungan
Gizi
(Makan
Siang)
Energi (Kkal)
1900 2100

Kecukupan*)
Mie
Talas
(150 g)
Tingkat
konsumsi
(%)

Kecukupan*)
Mie
Talas
(200 g)
Tingkat
Konsumsi
(%)
Energi
(Kkal)
570 378 67 630 504 80
Karbohidrat
(g)
90 56.11 62 96 74.82 78
Protein (g) 18 18 100 18.6 24 129
Lemak (g) 14.4 9.1 63 16 12.2 76
*PERKENI (2011)
Tabel 5.16 menunjukkan jumlah takaran saji mie basah pasta talas belitung
yang bisa dikonsumsi sebagai menu sehari-hari. Namun, tidak dianjurkan hanya
mengkonsumsi mie basah pasta talas belitung saja meskipun dengan konsumsi
200 g telah memenuhi kebutuhan protein satu kali makan (makan siang = 30%
total energi, 1900 Kalori/hari) karena masih ada zat-zat gizi lain yang mengalami
defisit seperti karbohidrat. Selain itu, kurang sesuai dengan PUGS (Pesan Umum
87

Gizi Seimbang) tentang makanlah makanan yang beraneka ragam. Sehingga, mie
basah pasta belitung dapat dikonsumsi dengan menambahkan sayuran untuk
melengkapi zat-zat gizi lain yang mengalami defisit sekaligus menambah sumber
serat. Mie basah pasta talas belitung aman dikonsumsi bagi penderita DM tipe
apapun dengan tetap memperhatikan total kebutuhan zat gizi sehari-hari seperti
penderita DM dengan komplikasi nefropati yang membatasi jumlah konsumsi
protein sehingga dalam mengkonsumsi mie basah pasta talas belitung harus
menambahkan asupan serat dari sayuran (apabila protein dalam satu kali waktu
makan penderita telah tercukupi dari mie basah pasta talas belitung).























88

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung maka nilai energi mie basah
pasta talas belitung cenderung menurun. Demikian dengan mutu kimia
yaitu kadar karbohidrat dan gula reduksi cenderung menurun namun kadar
air, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat cenderung meningkat dan
kadar abu relatif sama. Analisis mutu fisik menunjukkan bahwa semakin
tinggi subtitusi pasta talas belitung maka elastisitas dan daya putus mie
basah pasta talas belitung cenderung menurun.
2. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung maka tingkat penerimaan
panelis terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur mie basah pasta talas
belitung sebelum menjadi mie goreng cenderung menurun. Namun,
setelah menjadi mie goreng tingkat penerimaan panelis terhadap warna,
aroma, rasa dan tekstur mie basah pasta talas belitung relatif sama bahkan
cenderung meningkat.
3. Taraf perlakuan P
3
dalam pengolahan mie basah dengan subtitusi talas
belitung 40%, tepung tapioka 10% dan tepung tempe 15% merupakan taraf
perlakuan terbaik dengan total nilai, yaitu 0.64. Energi dan karbohidrat
yang dihasilkan taraf perlakuan P
3
lebih rendah namun kadar protein dan
lemak mie basah pasta talas belitung lebih tinggi dibandingkan beras
maupun kentang. Lemak dan protein tersebut membantu proses
metabolisme penderita DM. Keunggulan lainnya adalah talas belitung
kaya akan oligosakarida sehingga kadar gula reduksinya rendah.
Walaupun tingkat penerimaan panelis terhadap warna dan tekstur
cenderung menurun namun setelah mie basah pasta talas belitung menjadi
mie goreng, tingkat penerimaan tersebut akan meningkat.




89

6.2 Saran
1. Mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
3
dapat dijadikan
salah satu makanan penukar sumber energi dalam penatalaksaan diet
penderita DM dan merupakan taraf perlakuan terbaik karena memiliki
energi, karbohidrat dan gula reduksi yang relatif rendah. Selain itu, mie
basah pada taraf perlakuan P
3
memiliki protein (asam amino lisin dan
arginin) yang bermanfaat bagi penderita DM dan kandungan serat yang
lebih tinggi dibanding mie basah pada taraf perlakuan P
0
.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menjadikan mie basah pasta talas
belitung menjadi mie instan agar memiliki daya simpan yang lebih lama
dan analisis kadar oligosakarida dalam mie basah pasta talas belitung
untuk melihat bagaimana hubungannya dengan gula reduksi.

























90

DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, Yuyun. 2010. Aneka Resep dan Kiat Usaha Mi Ayam Gerobak dan
Bakmi Resto. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Anomin. 2006. Teknologi Mie Instan. http://www.ebookpangan.com.
Dikunjungi 02 januari 2013.

Anonim. 2010b.[KlasifikasiTalas Belitung. http://www.plantamor.com/index.php]
. Dikunjungi 25 November 2012.

Astawan,M., 2008. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya : Jakarta.

Badan Standardiasi Nasional, 1992, SNI 01-2897-1992 tentang Mie Basah. Badan
Standardiasi Nasional, Jakarta.

Belitz HD, Grosch W (1999) Food Chemistry. Edisi ke-2. Terjemahan:
Burghagen et al. (ed). Lehrbuch der Lebbensmittelchemie. Edisi ke-4.
Springer Verlag, Berlin.

Bhathena SJ, Velasquez MT. Beneficial role of dietary phytoestrogens in obesity
and diabetes. Am J Clin Nutr 2002;76:11911201.

BPS. 2007 .Stastika Indonesia 2007. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

BPS. 2012. Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian dan Perkebunan.
[http://m.koran-jakarta.com/?id=109044&mode_beritadetail=1] diakses
tanggal 28 Desember 2012.

Departemen Perdagangan Indonesia, 2008. Import Tepung Terigu.
http://www.depdag.go.id/ . Jakarta. Dikunjungi tanggal 27 Desember
2012.

Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Profil Kesehatan Kabupaten Jombang
2011. Jombang : Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

Dzulkarnain, B. 1999. Kolesterol Tinggi? Hajar Pakai Seledri.
://www.indomedia.com/intisari/1996/april/seledri.htm, diakses 02 Januari
2013.

E. Mary. 1993. Ilmu Gizi dan Diet. Yayasan Essentia Medica : Yogyakarta


91

Faridah, D.N. dkk. 2008. Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi
pangan, IPB, Bogor.

Findi, Muhammad. 2008. Skirpsi. Perkembangan Industri Tepung Terigu di
Indonesia. FISIP. UI.

Ghozali DS, Handharyani E, Rimbawan. Pengaruh Tempe terhadap Kadar Gula
Darah dan Kesembuhan Luka pada Tikus Diabetik. Cermin Dunia
Kedokteran April 2010 Vol. 37 No. 3 : 167-173.

Harahap, Nur. 2007. Skripsi. Pembuatan Mie Basah dengan Penambahan
Wortel ( Daucus Carota L.). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera
Utara.

Hermianti, W. dan Silfia. 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Talas (Xanthosoma sp)
dan Bahan Fortifikasi Pangan dalam Pembuatan Mie. Jurnal Litbang
Industri, (Vol. I No. 1. 2011 : 39 -45).
Indrasari, Siti. Korelasi Amilosa terhadap Konsistensi Gel, Nisbah Penyerapan
Air (NPP) dan Nisbah Pengembangan Volume (NPV) pada Beras Varietas
Lokal. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Indrasti, Dias. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma
sagitifolium) dalam pembuatan cookis. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Jusuf, M., & Marzempi, M.S., 1993. Pengolahan palawija dalam pengembangan
agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami, Solok.

Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi Kesahatan dan Produktifitas
Kerja). Jakarta : Rineka Cipta.
Koswara, Sutrisno. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Kurniawati dan Fitriyono. 2012. Pengaruh Subtitusi Tepung Terigu dengan
Tepung Tempe dan Tepung Ubi Jalar Kuning terhadap Kadar Protein,
Kadar - Karoten dan Mutu Organoleptik Roti Manis. Journal of Nutrition
College. Volume 1. Nomor 1. Hal 299- 312.

Lehninger A.L. 1982. Principles of Biochemistry (Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1)
Terjermahan: M. Theawijaya. Jakarta: Erlangga.

Mahmud, Mien dkk. 2004. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Elex
Media Komputindo

92

Mann, Jim and A. Stewart Truswell (ed). Essentials of human nutrition (Third
edition). London: Oxford University Press, 2007.


Mardiah, 1994. Sifat Fungsional & Nilai Gizi Tepung Tempe Serta
Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi
Anak. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Marinih. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan Tingkat Pedas
yang Berbeda. Semarang. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi.
Univeristas Negeri Semarang.

Meyes PA. Glukoneogenesis dan Pengontrolan Kadar Glukosa Darah. Dalam :
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper 25th
edition. Jakarta: EGC; 2003. Hal. 178-216.

Moehyi, S. 1997. Pengaturan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Muchtadi D. 2010. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Hal
20-160.
Munarso, S dan Haryanto, Bambang. 2012. Perkembangan Teknologi
Pengolahan Mie. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian dan Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri,
BPPT.

Paula Kartika Dewi. Pengaruh lama fermentasi dan suhu pengeringan terhadap
jumlah asam amino lisin dan karakter fisiko kimia tepung tempe. [skripsi].
Semarang: Fakultas Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang. 2006.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DMTipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB. PERKENI; 2006. Hal 3-14, 30-31.

PERKENI. 2002. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia

Permatasari, Siti. dkk. 2009. Pengaruh Rasio Tepung Talas dan Tepung Terigu
terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Mie Basah. ISBN 978-602-8659-
02-4. Prosiding Seminar Nasional FTP UNUD 2009.

Persatuan Diabetes Indonesia. 2011. Gambaran Kepatuhan Penderita Diabetes
Melitus dalam Menjalankan Diet.
[http://hstw4n.blogspot.com/2012/08/gambaran-kepatuhan-penderita
diabetes.html] diakses 17 Desember 2012.
93

Rahadiyanti, Ayu. 2011. Artikel Penelitian. Pengaruh Tempe Kedelai terhadap
Kadar Glukosa darah pada Prediabetes. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Rahmawati, Wida. Dkk. 2012. Karakterisasi Pati Talas ((Colocasia esculenta)
sebagai Alternative Sumber Pati Industri di Indonesia. Jurnal Teknologi
Kimia dan Industri, Vol 1. No. 1 Hal 347 351.

Richana, Widaningrum, Widowati S. 2008. Potensi Komoditas Harapan (Aneka
Umbi Lokal) dalam Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Teknologi
Pengolahan untuk Penganekaragaman Konsumsi Pangan. ISBN 978-979-
1116-14-5. Hlm 109-135. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Bogor.

Rimbawan, dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih
Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rustandi, Deddy. 2011. Produksi Mi. Solo : Metagraf

Sarwono,B.2003. Membuat Tempe Dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Ilmu Gizi utuk mahasiswa dan profesi jilid
1. Jakarta: Dian Rakyat.

Setianingrum, A.W. dan Marsono, 1999. Pengkayaan vitamin A dan vitamin E
dalam Pembuatan Mie instant Menggunakan Minyak Sawit Merah.
Kumpulan Penelitian Terbaik Bogasari 1998-2001, Jakarta.

Soegondo, Sidartawan. 2006. Diabetes, The Silent Killer.
http://medicastore.com/diabetes/2009. [27 November 2012].

Soekarto, Soewarno T. 1985. Penilaian Organoleptik Jakarta: Bhratara aksara.

Soenaryo, E., 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan
Makanan Pertanian. Liberty, Yogyakarta

Sulaeman, A, dkk. 1995. Metode Analisis Mutu kimia dan Komponen Kimia
Lainnya Dalam Makanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Suprapti,M.L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta.

94

Suyono S. DM di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4.
Jakarta : Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 1852-56.

Syahbania, Nur. 2012. Studi Pemanfaatan talas (Colocasia esculenta) sebagai
bahan pengisi dalam pembuatan es krim. Skripsi. Universitas Hasanuddin
Makasar.

Syarief, R dan A.Irawati.1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Ubaidillah, M., 2000. Penambahan Pengental pada Mie. Karya Ilmiah, F-MIPA,
USU, Medan.

Villegas R, Gao YT, Gong Y, Li HL, Elasy TA, Zheng W, et al. Legume and soy
food intake and the incidence of type 2 diabetes in the Shanghai Womens
Health Study. Am J Clin Nutr 2008;87:1627.

Waluyo, S. 2009. 100 Question&Answer Diabetes. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko K. Hasil Penelitian Indeks
Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. Hal 10-16.

Waspadji, S. dkk. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Balai Penerbit FK UI:
Jakarta.

Widowati, Sri. 2007. Sehat dengan Pangan Indks Glikemik Rendah. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No. 3.

Widyaningsih, T.B. dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.

Widyastuti, S.K., dkk. 2001. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sebagai
Model Diabetes Mellitus : Pengaruh Hiperglikemia pada Lipid Darah,
Serum Oksida, Nitrit, dan Tingkah Laku Monyet. Jurnal Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Vol 2 (2).

Winarno, F. G, 2012 dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Diabetes
dan Indeks Glikemik Penurunan Konsumsi Beras. Jakarta.

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wirdayanti. 2012. Studi Pembuatan Mie Kering dengan Penambahan Pasta Ubi
Jalar, Pasta Kacang Tunggak dan Pasta Tempe Kacang Tunggak.
Skripsi. Teknologi Pertanian : Universitas Hasanuddin

95

Wiyono, Paulus. 2004. Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 sebagai Usaha
Menghambat Peningkatan Prevalensi dan Komplikasinya. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah
Mada.

Yitnosumarto, Suntoyo. 1993. Percobaan Perancangan Analisis dan
Interpretasinya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Yuwono. S. dan Tri Susanto. 2001. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi
Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya.


























96

Lampiran 1. Syarat Mutu Mie Basah

MI BASAH
SNI 0128971992
1. Ruang Lingkup
Standar ini meliputi definisi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara
uji, syarat penandaan dan cara pengemasan mi basah.
2. Acuan
SNI 0102221995, Bahan Tambahan Makanan
SNI 1904281989, Petunjuk Pengambilan Contoh Padatan.
SNI 0128911992, Cara Uji Makanan dan Minuman.
SNI 0128941992, Cara Uji Bahan Tambahan Makanan/Bahan Perngawet.
SNI 0128951992, Cara Uji Pewarna Tambahan Makanan.
3. Definisi
Mi basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau
tanpa pengambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diijinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan.
4. Cara Pengambilan Contoh
Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 1904281989, Petunjuk
Pengambilan Contoh padatan.
5. Cara Uji
5.1. Keadaan
Cara uji keadaan sesuai dengan SNI 0128911992, Cara Uji Makanan
dan Minuman, butir 1.2.
5.2 Persiapan conoth untuk uji kimia
Cara persiapan contoh sesuai dengan SNi 0128911992, Cara Uji
Makanan dan Minuman Untuk Contoh Padatan, butir 4
5.3. Air
Cara uji air sesuai dengan SNI 0128911992, butir 5.1
5.4. Abu
Cara uji abu sesuai dengan SNI 0128911992, Cara Uji Makanan dan
Minuman, butir 6.1.
97

5.5. Protein
Cara uji protein sesuai dengan SNI 0128911992, Cara Uji Makanan
dan Minuman, butir 7.1.
5.6. Bahan tambahan makanan
5.6.1. Cara uji boraks dan asam borat sesuai dengan SNI 0128941992,
Cara uji Bahan Tambahan yang Dilarang untuk Makanan, butir 3.1.
5.6.2. Cara uji pewarna makanan sesuai dengan SNI 0128951992
5.6.3. Cara uji formalin sesuai dengan SNI 012894, Cara Uji untuk
Bahan untuk Bahan Tambahan Makanan yang Dilarang untuk
Makanan.
5.6.4. Cemaran logam
Cara uji cemaran logam sesuai dengan SNI 1928961992, Cara Uji
Cemaran Logam, butir 3.
5.6.5. Cemaran Arsen (As)
Cara uji cemaran arsen sesuai dengan SNI 1928961992, Cara Uji
Cemaran Logam, butir 6.
5.6.6. Cemaran Mikroba
Cara uji cemaran mikroba sesuai dengan SNI 1928971992, Cara
Uji Cemaran Mikroba.
6. Syarat Penandaan
Sesuai dengan Dep. Kes. R.I. yang belaku tentang label dan periklanan
makanan.
8. Syarat Pengemasan
Mi basah dikemas dalam wadah yang baik dan dapat melindungi isi dari
pencemaran tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi.







98

8. Syarat Mutu
Syarat mutu mi basah sesuai dengan Tabel di bawah ini :
Tabel Syarat mutu mi basah
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
1.1 Bau Normal
1.2 Rasa Normal
1.3 Warna Normal
2 Air %b/b 20 - 35
3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering %b/b Maks. 3
4 Protein (N x 6.25) (dihitung atas dasar
bahan kering)
% b/b Min. 8
5 Bahan tambahan makanan
5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada
5.2 Pewarna Tidak boleh ada
5.3 Formalin Tidak boleh ada
6 Cemaran logam
6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.0
6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10
6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40
6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05
7 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5
8 Cemaran Mikroba
8.1 Angka lempeng total Koloni/ g Maks. 10
6

8.2 E. coli APM/g Maks. 10
8.3 Kapang Koloni/ g Maks. 1 x 10
4














99

Lampiran 2. Gambar Randomisasi dan Penentuan Desain Lay Out
Besar unit penelitian mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan
perlakuan, maka dalam penempatan unit penelitian digunakan randomisasi atau
pengacakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memberi nomor urut pada semua unit penelitian, yaitu 1 - 12
b. Mengambil bilangan random dari kalkulator menggunakan 3 digit sebanyak
jumlah unit penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1.
c. Memberi ranking pada bilangan random yang diperoleh (Gambar 4.1).
1
158
1
2
378
3
3
495
7
4
460
6
5
897
11
6
915
12
7
385
4
8
530
8
9
264
2
10
615
10
11
443
5
12
554
9
Baris pertama : Nomor urut (Penempatan Unit Penelitian sebelum Randomisasi)
Baris kedua : Bilangan Random
Baris Ketiga : Ranking (Penempatan Unit Penelitian setelah Randomisasi)

Gambar 4.1 Nomor urut, Bilangan Random, dan Ranking
d. Dengan menggunakan prinsip permutasi sederhana, maka nomor ranking dapat
dianggap mewakili nomor urut sesuai dengan jumlah unit penelitian. Dengan
demikian taraf perlakuan P
0
akan diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit
penelitian nomor 1, 9, dan 2. Taraf perlakuan P
1
akan diulang 3 kali dan
ditempatkan pada unit penelitian nomor 7, 11, dan 4. Taraf perlakuan P
2
akan
diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit penelitian 3, 8, dan 12. Taraf
perlakuan P
3
akan diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit penelitian 10, 5,
dan 6.
e. Memasukkan unit penelitian dalam lay out.
Urutan 1 ditempati oleh unit penelitian X
01
, urutan 2 ditempati oleh unit
penelitian X
03
, urutan 3 ditempati oleh unit penelitian X
21
, dan seterusnya
sampai urutan 12 ditempati unit penelitian X
23.

100

Lampiran 3. Formulir Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test)
Formulir Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test)
Nama Panelis :
Tanggal :
Contoh : Mie Basah bagi penderita Diabetes Mellitus
Instruksi : Dihadapan Saudara disajikan contoh Mie Basah. Saudara
diminta untuk memberikan penilaian terhadap tekstur, aroma, warna, dan rasa
dengan menggunakan skala penilaian sebagai berikut :
4 = Sangat Suka
3 = Suka
2 = Tidak Suka
1 = Sangat Tidak Suka
Setelah saudara mencicipi salah satu sampel saudara diminta berkumur
dengan air putih yang telah disediakan sebelum mencicipi sampel yang lain.
Selain itu saudara juga diminta memberikan kritik dan saran.
Kode
Sampel
Kriteria Penilaian
Tekstur Aroma Warna Rasa
385
460
158
264

Kritik dan Saran:



Terima Kasih Atas Partisipasinya.



101

Lampiran 4. Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
Panelis :
Tanggal :
Produk : Mie Basah bagi penderita Diabetes Melitus
Saudara diminta untuk mengemukakan pendapat tentang variabel yang
terpenting untuk menentukan Parameter Mutu Produk. Dengan cara merangking
(mengurutkan) 9 variabel dari tertinggi ke terendah dengan mencantumkan 1-9.
Angka terendah untuk variabel kurang penting dan angka tertinggi untuk variabel
yang terpenting. Pemberian nilai boleh sama apabila dirasa variabel yang dinilai,
sama penting.

Variabel Rangking
Nilai energi
Kadar karbohidrat
Kadar protein
Kadar serat
Kadar gula reduksi
Kadar lemak
Kadar air
Kadar abu
Elastisitas
Daya putus
Warna
Aroma
Rasa
Tekstur


Terima Kasih Atas Partisipasinya

102

Lampiran 5. Daftar Indeks Glikemik Bahan Pangan

Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pangan
No. Jenis/Nama Pangan Indeks glikemik
I.
Kue-kue
Kue pisang (dengan gula)
Kue bolu (plain)
Donat

39 - 55
40 - 52
76
II.
Minuman
Soft drink
Yakult
Jus tomat (tanpa gula)

46 - 74
40 - 52
34 42
III.
Roti
Oat bread
Roti tepung beras
roti tepung terigu

60
63 - 81
50 56
IV.
Biji Serealia
Barley
Jagung (USA)
Beras putih (Oryza sativa)
Tepung terigu

24 - 26
60
54 84
42
V.
Buah
Apel
Pisang
Semangka
Papaya
Nanas

36 - 40
46 - 51
59 - 85
58 - 60
51 67
VI.
Sayur dan Umbi
Wortel
Kentang rebus
Ubi jalar
Talas (Colocasia esculenta)
Yam (mbote)
Ubi kayu

31 - 63
41 - 59
54 - 68
44 - 68
29 - 45
46
VII.
Kacang-kacangan
Kacang kedelai
Kacang hijau
Kacang polong
Kacang merah
Kacang tanah

15 - 21
32
22
27
23
VIII.
Snack
pop corn
potato crispy (Kanada)

48 - 62
44 58

Sumber : Foster-Powel K,dkk (2002) dan Marsono, dkk (2002) dalam Rimbawan
(2004).`
103

Lampiran 6. Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik

No Variabel
Panelis
Jumlah Rata-Rata Ranking BV
1 2 3 4 5 6 7
1 Nilai Energi 13 10 10 11 12 12 11 79 11.3 4 0.84
2 KH 14 14 14 14 14 12 11 93 13.3 1 0.99
3 Protein 12 10 11 10 11 10 9 73 10.4 5 0.78
4 Serat Kasar 11 14 13 13 14 11 12 88 12.6 3 0.94
5 Lemak 8 10 11 12 14 9 6 70 10.0 9 0.75
6 Air 7 10 6 4 10 9 5 51 7.3 14 0.54
7 Abu 7 10 10 5 10 9 4 55 7.9 13 0.59
8 Gula reduksi 12 14 12 14 14 11 14 91 13.0 2 0.97
9 Elastisitas 10 12 7 7 11 12 14 73 10.4 6 0.78
10 Daya putus 9 12 7 6 11 12 13 70 10.0 10 0.75
11 Warna 6 10 8 8 9 10 9 60 8.6 11 0.64
12 Aroma 6 10 7 10 9 9 8 59 8.4 12 0.63
13 Rasa 13 10 9 10 10 9 10 71 10.1 8 0.76
14 Tekstur 11 12 8 9 11 9 12 72 10.3 7 0.77






104

Perlakuan Energi KH Protein Lemak Air Abu
Gula
Reduksi Elastisitas
Daya
Putus Serat Warna Aroma Rasa Tekstur
P0 288.0 51.59 9.76 4.73 31.95 1.10 0.248 43.33 2.53 0.87 3.2 2.6 2.6 2.6
P1 261.0 42.97 10.75 5.13 38.48 1.07 0.200 38.89 0.80 1.60 2.8 2.6 2.5 2.4
P2 259.0 40.53 11.43 5.67 39.27 1.39 0.193 21.11 0.53 1.71 2.5 2.9 2.3 2.7
P3 252.0 37.41 11.91 6.07 41.20 1.55 0.173 20.00 0.73 1.86 2.4 2.6 2.4 2.4
Min 288.0 51.59 9.76 4.73 31.95 1.07 0.248 20.00 0.53 0.87 2.4 2.6 2.3 2.4
Max 252.0 37.41 11.91 6.07 41.20 1.55 0.173 43.33 2.53 1.86 3.2 2.9 2.6 2.7
Max -
Min [-36.0] [-14.2] 2.2 1.3 9.3 0.5 [-0.1] 23.3 2.0 1.0 0.8 0.3 0.3 0.3
















105

Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik Tiap Taraf Perlakuan

No Variabel BV BN
Perlakuan
P0 P1 P2 P3
NE NH NE NH NE NH NE NH
1 Nilai Energi 0.85 0.08 0.00 0.00 0.75 0.06 0.81 0.07 1.00 0.08
2 KH 1.00 0.10 0.00 0.00 0.61 0.06 0.78 0.07 1.00 0.10
3 Protein 0.79 0.08 0.00 0.00 0.46 0.03 0.78 0.06 1.00 0.08
4 Lemak 0.76 0.07 0.00 0.00 0.30 0.02 0.70 0.05 1.00 0.07
5 Air 0.48 0.05 0.00 0.00 0.71 0.03 0.79 0.04 1.00 0.05
6 Abu 0.54 0.05 0.06 0.00 0.00 0.00 0.67 0.03 1.00 0.05
7 Gula reduksi 0.99 0.09 0.00 0.00 0.64 0.06 0.73 0.07 1.00 0.09
8 Elastisitas 0.73 0.07 1.00 0.07 0.81 0.06 0.05 0.00 0.00 0.00
9 Daya putus 0.69 0.07 1.00 0.07 0.14 0.01 0.00 0.00 0.10 0.01
10 Serat Kasar 0.94 0.09 0.00 0.00 0.74 0.07 0.85 0.08 1.00 0.09
11 Warna 0.60 0.06 1.00 0.06 0.50 0.03 0.13 0.01 0.00 0.00
12 Aroma 0.60 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.06 0.00 0.00
13 Rasa 0.78 0.07 1.00 0.07 0.67 0.05 0.00 0.00 0.33 0.02
14 Tekstur 0.76 0.07 0.67 0.05 0.00 0.00 1.00 0.07 0.00 0.00
Jumlah 10.51

0.32

0.48

0.60

0.64





106

Lampiran 7. Data Organoleptik Mie Basah Tanpa Bumbu















Panelis
Tekstur Aroma Warna
Rasa
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3

1 2 3 3 2 3 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3 2
2 3 2 3 3 3 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2
3 3 3 4 2 3 3 3 3 4 2 3 1 3 2 2 1
4 3 3 3 2 2 1 2 3 3 3 3 3 1 1 2 2
5 2 2 3 3 3 2 4 1 3 2 2 3 3 1 1 1
6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3
7 3 2 2 3 3 2 4 3 4 2 2 2 3 3 3 2
8 3 2 2 2 3 4 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2
9 2 4 3 3 3 3 4 3 4 3 1 1 3 3 3 3
10 3 1 2 3 1 3 1 2 4 3 2 2 3 2 2 3
11 3 1 2 3 1 3 1 2 3 3 2 1 3 2 2 3
12 3 2 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 3 3
13 2 2 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2
14 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3
15 2 3 3 3 2 2 4 3 2 2 3 3 3 2 2 3
16 2 2 3 3 3 2 2 4 2 3 3 4 2 2 2 3
17 3 1 2 2 3 3 3 2 4 3 2 3 3 2 2 2
18 4 3 2 1 2 3 4 1 3 3 3 2 2 4 3 1
19 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 1 2 2 2
20 2 3 3 2 4 4 4 4 3 3 3 2 4 4 3 4
Jumlah 52 48 55 49 53 53 57 52 64 56 50 47 53 49 47 47
Rata-
Rata 2.6 2.4 2.7 2.4 2.6 2.6 2.9 2.6 3.2 2.8 2.5 2.4 2.6 2.5 2.3 2.4
Median 3 2.5 3 2.5 3 3 3 3 3 3 2.5 2 3 2 2 2
Modus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2
107

Lampiran 8. Data Organoleptik Mie Basah Dengan Bumbu














Panelis
Tekstur Aroma Warna Rasa
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P0 P
1
P
2
P
3

1 2 3 3 2 4 4 4 4 3 2 2 3 3 4 3 3
2 2 3 3 2 3 4 2 1 3 3 3 2 1 3 4 2
3 2 3 3 3 2 3 2 3 3 4 3 3 1 3 2 3
4 2 2 3 2 4 3 3 3 3 4 2 2 4 1 3 3
5 3 3 4 3 3 2 3 3 4 4 4 4 3 3 3 3
6 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3
7 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3
8 3 3 3 3 1 3 4 4 3 3 3 3 2 1 3 4
9 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3
10 3 2 4 1 3 3 2 3 4 4 4 4 3 3 3 3
11 3 3 2 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3
12 4 3 2 2 3 3 3 3 4 3 4 4 2 2 4 2
13 2 3 4 4 3 3 3 3 1 2 3 4 3 3 3 2
14 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3
15 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 2 3
16 2 2 3 2 4 4 3 2 2 3 3 3 3 3 4 3
17 2 2 4 2 3 3 3 3 4 3 4 2 3 2 1 2
18 3 3 2 3 4 3 3 2 2 3 2 3 4 3 2 2
19 3 2 4 3 3 3 2 2 1 3 4 2 3 3 3 2
20 3 2 2 2 3 3 4 4 2 3 3 3 3 3 2 3
Jumlah 52 51 60 51 61 63 58 57 57 62 61 61 55 51 57 55
Rata-
Rata 2.6 2.6 3 2.6 3 3.2 2.9 2.9 2.9 3.1 3 3 2.8 2.6 2.9 2.8
Median 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Modus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
108

Lampiran 9. Hasil Analisis Mutu Kimia dan Fisik Mie Basah Pasta Talas
Belitung

Hasil Analisis Mutu Kimia (Kadar Air, Kadar Abu, Protein, Lemak, dan Gula
Reduksi) di Laboratorium Kimia Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang

Kode
Taraf
Perlakuan
Kadar (g/100 g)
Air Abu Protein Lemak
Gula Reduksi
554 2
38.4
0.95 10.92
5.2
0.223
615 1
42.1
0.92 10.93
4.8
0.189
530 2
41.2
1.39 11.44
6
0.169
443 1
33.0
1.38 10.42
5.2
0.197
158 0
33.5
1.43 9.93
4.6
0.288
264 1
40.4
0.91 10.91
5.4
0.215
897 3
45.0
0.96 11.42
6
0.190
385 2
38.2
1.83 11.92
5.8
0.186
460 3
37.8
1.85 11.90
6
0.153
495 0
30.2
0.93 9.43
5
0.212
378 0
32.1
0.94 9.92
4.6
0.243
915 3
40.8
1.83 12.40
6.2
0.175



















109

Pembuatan Kurva Standart Gula Reduksi

Rumus Mencari Kurva Standart ( y = c + x)

X C B x Y
0.02 0.0917 2.185 0.0437 0.1354
0.04 0.0917 2.185 0.0874 0.1791
0.06 0.0917 2.185 0.1311 0.2228
0.08 0.0917 2.185 0.1748 0.2665
0.1 0.0917 2.185 0.2185 0.3102




0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
1 2 3 4 5
KURVA GULA REDUKSI STANDART
Y

Blanko X Y Xi = x- xj Yi = y- yj Xi . Yi Xi2
1 0.02 0.166 -0.04 -0.0568 0.002272 0.0016
2 0.04 0.187 -0.02 -0.0358 0.000716 0.0004
3 0.06 0.145 0 -0.0778 0 0
4 0.08 0.276 0.02 0.0532 0.001064 0.0004
5 0.1 0.34 0.04 0.1172 0.004688 0.0016
Jumlah 0.3 1.114

0.00874 0.004
Rata- rata 0.06 0.2228


= Xi . Yi 2.185


Xi
2



C = y - (.x)

hasil . X


0.2228 - (2.185 X 0.06 ) 0.1311


Hasil C = 0.0917

110

Tabel Lampiran 1. Kadar Air Mie Basah

Descriptives
Air

N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 31.9333 1.65630 .95627 27.8189 36.0478 30.20 33.50
P1 3 38.5000 4.83839 2.79344 26.4808 50.5192 33.00 42.10
P2 3 39.2667 1.67730 .96839 35.1000 43.4333 38.20 41.20
P3 3 41.2000 3.61663 2.08806 32.2158 50.1842 37.80 45.00
Total 12 37.7250 4.57148 1.31967 34.8204 40.6296 30.20 45.00

ANOVA
Air
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 145.789 3 48.596 4.623 .037
Within Groups 84.093 8 10.512
Total 229.882 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Air
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -6.56667
*
2.64722 .038 -12.6712 -.4622
P2 -7.33333
*
2.64722 .024 -13.4378 -1.2288
P3 -9.26667
*
2.64722 .008 -15.3712 -3.1622
P1 P0 6.56667
*
2.64722 .038 .4622 12.6712
P2 -.76667 2.64722 .779 -6.8712 5.3378
P3 -2.70000 2.64722 .338 -8.8045 3.4045
P2 P0 7.33333
*
2.64722 .024 1.2288 13.4378
P1 .76667 2.64722 .779 -5.3378 6.8712
P3 -1.93333 2.64722 .486 -8.0378 4.1712
P3 P0 9.26667
*
2.64722 .008 3.1622 15.3712
P1 2.70000 2.64722 .338 -3.4045 8.8045
P2 1.93333 2.64722 .486 -4.1712 8.0378
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


111

Tabel Lampiran 2. Kadar Abu Mie Basah

Descriptives
Abu

N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 1.1000 .28583 .16503 .3900 1.8100 .93 1.43
P1 3 1.0700 .26851 .15503 .4030 1.7370 .91 1.38
P2 3 1.3900 .44000 .25403 .2970 2.4830 .95 1.83
P3 3 1.5467 .50817 .29339 .2843 2.8090 .96 1.85
Total 12 1.2767 .39200 .11316 1.0276 1.5257 .91 1.85

ANOVA
Abu
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups .479 3 .160 1.055 .420
Within Groups 1.211 8 .151
Total 1.690 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Abu
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 .03000 .31771 .927 -.7026 .7626
P2 -.29000 .31771 .388 -1.0226 .4426
P3 -.44667 .31771 .197 -1.1793 .2860
P1 P0 -.03000 .31771 .927 -.7626 .7026
P2 -.32000 .31771 .343 -1.0526 .4126
P3 -.47667 .31771 .172 -1.2093 .2560
P2 P0 .29000 .31771 .388 -.4426 1.0226
P1 .32000 .31771 .343 -.4126 1.0526
P3 -.15667 .31771 .635 -.8893 .5760
P3 P0 .44667 .31771 .197 -.2860 1.1793
P1 .47667 .31771 .172 -.2560 1.2093
P2 .15667 .31771 .635 -.5760 .8893


112

Tabel Lampiran 3. Kadar Protein Mie Basah

Descriptives
Protein

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 9.7600 .28583 .16503 9.0500 10.4700 9.43 9.93
P1 3 10.7533 .28885 .16677 10.0358 11.4709 10.42 10.93
P2 3 11.4267 .50013 .28875 10.1843 12.6691 10.92 11.92
P3 3 11.9067 .49003 .28292 10.6894 13.1240 11.42 12.40
Total 12 10.9617 .90958 .26257 10.3837 11.5396 9.43 12.40

ANOVA
Protein
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.790 3 2.597 15.848 .001
Within Groups 1.311 8 .164
Total 9.101 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Protein
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -.99333
*
.33050 .017 -1.7555 -.2312
P2 -1.66667
*
.33050 .001 -2.4288 -.9045
P3 -2.14667
*
.33050 .000 -2.9088 -1.3845
P1 P0 .99333
*
.33050 .017 .2312 1.7555
P2 -.67333 .33050 .076 -1.4355 .0888
P3 -1.15333
*
.33050 .008 -1.9155 -.3912
P2 P0 1.66667
*
.33050 .001 .9045 2.4288
P1 .67333 .33050 .076 -.0888 1.4355
P3 -.48000 .33050 .184 -1.2421 .2821
P3 P0 2.14667
*
.33050 .000 1.3845 2.9088
P1 1.15333
*
.33050 .008 .3912 1.9155
P2 .48000 .33050 .184 -.2821 1.2421
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

113

Tabel Lampiran 4. Kadar Lemak Mie Basah

Descriptives
Lemak

N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 4.7333 .23094 .13333 4.1596 5.3070 4.60 5.00
P1 3 5.1333 .30551 .17638 4.3744 5.8922 4.80 5.40
P2 3 5.6667 .41633 .24037 4.6324 6.7009 5.20 6.00
P3 3 6.0667 .11547 .06667 5.7798 6.3535 6.00 6.20
Total 12 5.4000 .58465 .16877 5.0285 5.7715 4.60 6.20

ANOVA
Lemak
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3.093 3 1.031 12.373 .002
Within Groups .667 8 .083
Total 3.760 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Lemak
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -.40000 .23570 .128 -.9435 .1435
P2 -.93333
*
.23570 .004 -1.4769 -.3898
P3 -1.33333
*
.23570 .000 -1.8769 -.7898
P1 P0 .40000 .23570 .128 -.1435 .9435
P2 -.53333 .23570 .053 -1.0769 .0102
P3 -.93333
*
.23570 .004 -1.4769 -.3898
P2 P0 .93333
*
.23570 .004 .3898 1.4769
P1 .53333 .23570 .053 -.0102 1.0769
P3 -.40000 .23570 .128 -.9435 .1435
P3 P0 1.33333
*
.23570 .000 .7898 1.8769
P1 .93333
*
.23570 .004 .3898 1.4769
P2 .40000 .23570 .128 -.1435 .9435
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

114

Tabel Lampiran 5. Kadar Serat Mie Basah

Descriptives
Serat

N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 .8667 .08505 .04910 .6554 1.0779 .78 .95
P1 3 1.5967 .42477 .24524 .5415 2.6519 1.14 1.98
P2 3 1.7067 .27062 .15624 1.0344 2.3789 1.41 1.94
P3 3 1.8567 .14012 .08090 1.5086 2.2047 1.70 1.97
Total 12 1.5067 .45743 .13205 1.2160 1.7973 .78 1.98

ANOVA
Serat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.741 3 .580 8.273 .008
Within Groups .561 8 .070
Total 2.302 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Serat
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -.73000
*
.21623 .010 -1.2286 -.2314
P2 -.84000
*
.21623 .005 -1.3386 -.3414
P3 -.99000
*
.21623 .002 -1.4886 -.4914
P1 P0 .73000
*
.21623 .010 .2314 1.2286
P2 -.11000 .21623 .625 -.6086 .3886
P3 -.26000 .21623 .264 -.7586 .2386
P2 P0 .84000
*
.21623 .005 .3414 1.3386
P1 .11000 .21623 .625 -.3886 .6086
P3 -.15000 .21623 .508 -.6486 .3486
P3 P0 .99000
*
.21623 .002 .4914 1.4886
P1 .26000 .21623 .264 -.2386 .7586
P2 .15000 .21623 .508 -.3486 .6486
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

115

Tabel Lampiran 6. Kadar Gula Reduksi Mie Basah

Descriptives
Glukosa

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 .24767 .038214 .022063 .15274 .34260 .212 .288
P1 3 .20033 .013317 .007688 .16725 .23341 .189 .215
P2 3 .19267 .027610 .015941 .12408 .26125 .169 .223
P3 3 .17267 .018610 .010745 .12644 .21890 .153 .190
Tota
l
12 .20333 .036405 .010509 .18020 .22646 .153 .288

ANOVA
Glukosa
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .009 3 .003 4.411 .041
Within Groups .005 8 .001
Total .015 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Glukosa
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 .047333 .021394 .058 -.00200 .09667
P2 .055000
*
.021394 .033 .00566 .10434
P3 .075000
*
.021394 .008 .02566 .12434
P1 P0 -.047333 .021394 .058 -.09667 .00200
P2 .007667 .021394 .729 -.04167 .05700
P3 .027667 .021394 .232 -.02167 .07700
P2 P0 -.055000
*
.021394 .033 -.10434 -.00566
P1 -.007667 .021394 .729 -.05700 .04167
P3 .020000 .021394 .377 -.02934 .06934
P3 P0 -.075000
*
.021394 .008 -.12434 -.02566
P1 -.027667 .021394 .232 -.07700 .02167
P2 -.020000 .021394 .377 -.06934 .02934
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
116

Tabel Lampiran 7. Kadar Karbohidrat Mie Basah

Descriptives
Karbohidrat

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 51.4367 2.14050 1.23582 46.1194 56.7540 49.27 53.55
P1 3 42.9467 4.47135 2.58153 31.8392 54.0541 39.58 48.02
P2 3 40.5433 2.20998 1.27594 35.0534 46.0332 38.20 42.59
P3 3 37.4233 3.21612 1.85683 29.4340 45.4126 33.94 40.28
Total 12 43.0875 6.06372 1.75045 39.2348 46.9402 33.94 53.55

ANOVA
Karbohidrat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 324.852 3 108.284 10.882 .003
Within Groups 79.604 8 9.951
Total 404.456 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Karbohidrat
LSD

(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 8.49000
*
2.57559 .011 2.5507 14.4293
P2 10.89333
*
2.57559 .003 4.9540 16.8327
P3 14.01333
*
2.57559 .001 8.0740 19.9527
P1 P0 -8.49000
*
2.57559 .011 -14.4293 -2.5507
P2 2.40333 2.57559 .378 -3.5360 8.3427
P3 5.52333 2.57559 .064 -.4160 11.4627
P2 P0 -10.89333
*
2.57559 .003 -16.8327 -4.9540
P1 -2.40333 2.57559 .378 -8.3427 3.5360
P3 3.12000 2.57559 .260 -2.8193 9.0593
P3 P0 -14.01333
*
2.57559 .001 -19.9527 -8.0740
P1 -5.52333 2.57559 .064 -11.4627 .4160
P2 -3.12000 2.57559 .260 -9.0593 2.8193
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

117

Tabel Lampiran 8. Nilai Energi Mie Basah

Descriptives
Energi


N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound
Upper
Bound
P0
3 2.8807E2 6.83805 3.94795 271.0800 305.0533 281.80 295.36
P1
3 2.6100E2 17.96401 10.37153 216.3749 305.6251 245.24 280.56
P2
3 2.5888E2 5.60328 3.23506 244.9607 272.7993 252.56 263.24
P3
3 2.5192E2 12.58005 7.26309 220.6694 283.1706 239.36 264.52
Total
12 2.6497E2 17.55008 5.06627 253.8159 276.1175 239.36 295.36

ANOVA
Energi


Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
2269.822 3 756.607 5.413 .025
Within Groups
1118.238 8 139.780

Total
3388.060 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Energi
LSD

(I)
Perlakua
n
(J)
Perlakua
n
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 27.06667
*
9.65331 .023 4.8061 49.3273
P2 29.18667
*
9.65331 .016 6.9261 51.4473
P3 36.14667
*
9.65331 .006 13.8861 58.4073
P1 P0 -27.06667
*
9.65331 .023 -49.3273 -4.8061
P2 2.12000 9.65331 .832 -20.1406 24.3806
P3 9.08000 9.65331 .374 -13.1806 31.3406
P2 P0 -29.18667
*
9.65331 .016 -51.4473 -6.9261
P1 -2.12000 9.65331 .832 -24.3806 20.1406
P3 6.96000 9.65331 .491 -15.3006 29.2206
P3 P0 -36.14667
*
9.65331 .006 -58.4073 -13.8861
P1 -9.08000 9.65331 .374 -31.3406 13.1806
P2 -6.96000 9.65331 .491 -29.2206 15.3006
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
118

Tabel Lampiran 9. Elastisitas Mie Basah

Descriptives
Elastisitas


N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0
3 43.3333 3.33500 1.92546 35.0487 51.6179 40.00 46.67
P1
3 38.8867 5.09211 2.93993 26.2372 51.5362 33.33 43.33
P2
3 21.1100 11.70454 6.75762 -7.9657 50.1857 10.00 33.33
P3
3 20.0000 3.33000 1.92258 11.7278 28.2722 16.67 23.33
Total
12 30.8325 12.31889 3.55616 23.0055 38.6595 10.00 46.67

ANOVA
Elastisitas


Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
1299.031 3 433.010 9.355 .005
Within Groups
370.274 8 46.284

Total
1669.306 11

Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Elastisitas
LSD

(I)
Perlakua
n
(J)
Perlakua
n
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1
4.44667 5.55483 .447 -8.3628 17.2561
P2 22.22333
*
5.55483 .004 9.4139 35.0328
P3 23.33333
*
5.55483 .003 10.5239 36.1428
P1 P0
-4.44667 5.55483 .447 -17.2561 8.3628
P2 17.77667
*
5.55483 .013 4.9672 30.5861
P3 18.88667
*
5.55483 .009 6.0772 31.6961
P2 P0
-22.22333
*
5.55483 .004 -35.0328 -9.4139
P1 -17.77667
*
5.55483 .013 -30.5861 -4.9672
P3 1.11000 5.55483 .847 -11.6995 13.9195
P3 P0
-23.33333
*
5.55483 .003 -36.1428 -10.5239
P1 -18.88667
*
5.55483 .009 -31.6961 -6.0772
P2 -1.11000 5.55483 .847 -13.9195 11.6995
. The mean difference is significant at the 0.05 level.
119

Tabel Lampiran 10. Daya Putus Mie Basah

Descriptives
Putus

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval
for Mean
Minimum Maximum
Lower
Bound Upper Bound
P0 3 2.5333 .32146 .18559 1.7348 3.3319 2.30 2.90
P1 3 .8000 .00000 .00000 .8000 .8000 .80 .80
P2 3 .5333 .20817 .12019 .0162 1.0504 .30 .70
P3 3 .7333 .15275 .08819 .3539 1.1128 .60 .90
Total 12 1.1500 .85865 .24787 .6044 1.6956 .30 2.90


ANOVA
Putus
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.770 3 2.590 60.941 .000
Within Groups .340 8 .043
Total 8.110 11

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons
Putus
LSD

(I)
Perlakua
n
(J)
Perlakua
n
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 1.73333
*
.16833 .000 1.3452 2.1215
P2 2.00000
*
.16833 .000 1.6118 2.3882
P3 1.80000
*
.16833 .000 1.4118 2.1882
P1 P0 -1.73333
*
.16833 .000 -2.1215 -1.3452
P2 .26667 .16833 .152 -.1215 .6548
P3 .06667 .16833 .702 -.3215 .4548
P2 P0 -2.00000
*
.16833 .000 -2.3882 -1.6118
P1 -.26667 .16833 .152 -.6548 .1215
P3 -.20000 .16833 .269 -.5882 .1882
P3 P0 -1.80000
*
.16833 .000 -2.1882 -1.4118
P1 -.06667 .16833 .702 -.4548 .3215
P2 .20000 .16833 .269 -.1882 .5882
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

120

Tabel Lampiran 11.1 Warna Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Warna P0 20 53.78
P1 20 42.85
P2 20 34.45
P3 20 30.92
Total 80

Test Statistics
a,b

Warna
Chi-Square 13.363
Df 3
Asymp. Sig. .004
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Mann-Whitney Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P0
20 23.60 472.00
P1 20 17.40 348.00
Total 40

Test Statistics
b

Warna
Mann-Whitney U 138.000
Wilcoxon W 348.000
Z -1.862
Asymp. Sig. (2-tailed) .063
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .096
a

a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan


121

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P0 20 25.40 508.00
P2 20 15.60 312.00
Total 40

Test Statistics
b

Warna
Mann-Whitney U 102.000
Wilcoxon W 312.000
Z -2.861
Asymp. Sig. (2-tailed) .004
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007
a

a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan


Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P0 20 25.78 515.50
P3 20 15.22 304.50
Total 40


Test Statistics
b

Warna
Mann-Whitney U 94.500
Wilcoxon W 304.500
Z -3.012
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.004
a

a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan

122

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P1
20 22.80 456.00
P2 20 18.20 364.00
Total 40

Test Statistics
b

Warna
Mann-Whitney U 154.000
Wilcoxon W 364.000
Z -1.389
Asymp. Sig. (2-tailed) .165
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.221
a

a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P1
20 23.65 473.00
P3 20 17.35 347.00
Total 40

Test Statistics
b

Warna
Mann-Whitney U 137.000
Wilcoxon W 347.000
Z -1.843
Asymp. Sig. (2-tailed) .065
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.091
a

a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
123

Mann-Whitney Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P2 20 21.65 433.00
P3 20 19.35 387.00
Total 40


Test Statistics
b

Warna
Mann-Whitney U 177.000
Wilcoxon W 387.000
Z -.673
Asymp. Sig. (2-tailed) .501
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.547
a

a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan















124

Tabel Lampiran 11.2 Warna Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Warna P0 20 37.32
P1 20 42.40
P2 20 41.20
P3 20 41.08
Total 80


Test Statistics
a,b

Warna
Chi-Square .653
Df 3
Asymp. Sig.
.884
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan







125

Tabel Lampiran 12. 1 Aroma Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Aroma P0 20 40.02
P1 20 44.85
P2 20 38.92
P3 20 38.20
Total 80

Test Statistics
a,b

Aroma
Chi-Square 1.171
Df 3
Asymp. Sig. .760
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan

Tabel Lampiran 12.2 Aroma Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Aroma P0 20 46.40
P1 20 39.20
P2 20 38.70
P3 20 37.70
Total 80
Test Statistics
a,b

Aroma
Chi-Square 2.164
Df 3
Asymp. Sig. .539
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan

126

Tabel Lampiran 13.1 Rasa Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Rasa P0
20 47.45
P1 20 38.75
P2 20 37.65
P3 20 38.15
Total 80

Test Statistics
a,b

Rasa
Chi-Square 2.806
Df 3
Asymp. Sig. .422
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan

Tabel Lampiran 13.2 Rasa Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Rasa P0
20 42.10
P1 20 35.60
P2 20 44.10
P3 20 40.20
Total 80
Test Statistics
a,b

Rasa
Chi-Square 1.941
Df 3
Asymp. Sig. .585
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan

127

Tabel Lampiran 14.1 Tekstur Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank
tekstur P0 20 46.10
P1 20 41.40
P2 20 37.60
P3 20 36.90
Total 80

Test Statistics
a,b

Tekstur
Chi-Square 2.445
Df 3
Asymp. Sig. .485
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Tabel Lampiran 14.2 Tekstur Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan

Kruskal-Wallis Test
Ranks

Perlakuan N Mean Rank
Tekstur P0 20 40.00
P1 20 38.00
P2 20 37.20
P3 20 36.80
Total 80

Test Statistics
a,b


Tekstur
Chi-Square 5.5514
Df 3
Asymp. Sig. .135
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan

You might also like