Ika Heri Kustanti - 1003000069
Ika Heri Kustanti - 1003000069
Ika Heri Kustanti - 1003000069
i
= pengaruh taraf perlakuan ke-i
ij
= kesalahan (galat) percobaan pada taraf perlakuan ke-i replikasi ke-j
p = banyaknya taraf perlakuan
n = banyaknya replikasi pada taraf perlakuan ke-i
Hipotesis Statistik:
Ho : Tidak ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik pada mie
basah.
H
a
: Ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe
kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan mutu fisik pada mie basah.
Penarikan kesimpulan :
Ho ditolak apabila Sig. < 0.05 berarti ada pengaruh substitusi talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu kimia dan
mutu fisik pada mie basah.
Ha diterima apabila Sig > 0,05 berarti tidak ada pengaruh substitusi talas
belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap nilai energi, mutu
kimia dan mutu fisik pada mie basah.
53
Langkah- langkah pengujian One Way Anova :
Penggunaan One Way Anova dalam hal ini menggunakan data penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtitusi talas belitung, tepung tempe
kedelai dan tepung tapioka. Penelitian menggunakan desain RAL sebagai
perlakuan adalah tepung terigu : talas belitung : tepung tapioka : tepung tempe
kedelai. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali.
Langkah selanjutnya untuk mengetahui taraf perlakuan yang berbeda nyata,
digunakan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Selanjutnya data
rata-rata nilai energi dan mutu kimia disajikan secara deskriptif. Statistik Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95% dengan model
sebagai berikut :
JNT (, d, v) = JND (, d, v) x KTG/u
Penarikan Kesimpulan :
Perbedaan signifikan jika nilai perbedaan mean dalam satu pasang taraf
perlakuan terdapat pada kolom subset yang berbeda.
4.6.2 Mutu organoleptik (Warna, Tekstur, Aroma dan Rasa)
Pengolahan data pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan
tepung tempe kedelai pada mie basah terhadap mutu organoleptik pada tingkat
kepercayaan 95% yaitu digunakan dengan analisis statistik Kruskal Walis. Rumus
yang digunakan yaitu sebagai berikut :
KW = [ 12 / N (N + 1) nj R
-2 j
] 3 (N + 1)
Keterangan :
KW = banyaknya taraf perlakuan
Nj = banyaknya replikasi pada taraf perlakuan ke -j
N = nj
Rj = rata-rata dari rangking skor taraf perlakuan ke -j
Hipotesis statistik :
Ho : Tidak ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah.
H
a
: Ada pengaruh substitusi talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe
kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah.
54
Penarikan kesimpulan :
Ho ditolak apabila Sig. < 0,05 berarti ada pengaruh substitusi talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap mutu organoleptik mie basah
Ha diterima apabila Sig > 0,05 berarti tidak ada pengaruh substitusi talas
belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai terhadap mutu organoleptik
mie basah.
Jika Ho ditolak, maka dilanjutkan uji statistik perbandingan ganda Mann
Whitney untuk menentukan pasangan perlakuan mana yang berbeda signifikan.
Analisis ini dilakukan dengan cara menguji taraf perlakuan ke u dengan taraf
perlakuan ke v sebagai berikut:
[Ru Rv] Z / {k(k-1)} {N (N-1)/12} {1/nu + 1/nv}
Keterangan :
Z / [k (k 1)] = nilai normal baku
K (k 1) = banyaknya pasangan taraf perlakuan
Maka dinyatakan bahwa median taraf perlakuan ke-u dan median taraf
perlakuan ke-v adalah sama. Perbandingan ini akan ada sebanyak k (k-1)
pasangan, karena perlakuan yang dibandingkan ada sebanyak k.
Penarikan Kesimpulan :
Taraf perlakuan satu dengan taraf perlakuan yang lain yang menghasilkan
perbedaan signifikan ditunjukkan oleh angka Sig. < 0,05.
4.6.6 Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
a. Hasil penentuan taraf perlakuan terbaik dari masing-masing responden
ditabulasi sehingga diperoleh jumlah nilai masing-masing variabel dan rata-
ratanya.
b. Ranking variabel ditentukan berdasarkan nilai rata-rata masing-masing variabel
dimana variabel yang memiliki rata-rata terbesar diberi ranking ke-1 dan
variabel dengan rata-rata terendah diberi ranking ke-9.
c. Bobot variabel ditentukan dengan membagi nilai rata-rata tiap variabel dengan
rata-rata tertinggi. Variabel dengan nilai rata-rata semakin besar, maka rata-
rata terendah sebagai nilai terjelek dan rata-rata tertinggi sebagai nilai terbaik.
Bobot Variabel = Rata-rata variabel
Rata-rata tertinggi
55
d. Bobot normal masing-masing variabel didapat dari variabel dibagi bobot total
variabel.
e. Setiap variabel kemudian dihitung nilai efektifitasnya (Ne) dengan rumus :
f. Nilai yang digunakan untuk menentukan taraf perlakuan terbaik adalah jumlah
nilai hasil (Nh) dimana nilai ini dapat dihitung dengan cara mengalikan bobot
normal masing-masing variabel dengan Ne dan selanjutnya dijumlahkan.
g. Taraf perlakuan terbaik adalah taraf perlakuan yang memiliki nilai hasil
tertinggi.
4.6.4 Instrument Analisis Data
Instrument untuk analisis data antara lain kalkulator scientific, computer
dengan program Microsoft word, Microsoft excel, dan SPSS 16.0 serta alat tulis.
Bobot Normal = Bobot Variabel
Bobot Total Variabel
Ne = Nilai perlakuan Nilai terjelek
Nilai terbaik Nilai terjelek
Nh = Bobot Normal x Ne
56
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5. 1 Deskripsi Produk
Mie basah pasta talas belitung merupakan produk yang ditujukan kepada
penderita DM dalam rangka menghasilkan alternatif makanan penukar sumber
energi untuk penatalaksaan diet. Mi basah pasta talas belitung bertujuan untuk
diversifikasi pangan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang secara
empiris mengandung zat gizi yang sesuai bagi penderita DM (IG rendah) dan
belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu talas belitung. Dilakukan subtitusi
tepung tempe kedelai dalam rangka meningkatkan mutu dan mencapai SNI
0128971992 tentang syarat mutu mie basah akibat penurunan penggunaan
tepung terigu. Selain itu, mie basah pasta talas belitung disubtitusi tepung tapioka
agar mampu mempertahankan elastisitas dan daya putus mie. Elastisitas dan daya
putus tersebut akan mempengaruhi tekstur mie sebelum dan setelah menjadi mie
goreng.
Mie basah pasta talas belitung berbentuk lebar dan memanjang
menyerupai spaghetti dengan warna kuning gelap. Warna kuning gelap tersebut
merupakan hasil penambahan telur pada pengolahan mie basah pasta talas
belitung. Sebagaimana dijelaskan Rustandi (2011) bahwa penambahan kuning
telur akan memberikan keseragaman warna kuning pada mie sehingga dapat
meningkatkan kualitas mie. Warna kuning gelap juga berasal dari warna coklat
tepung tempe kedelai yang merupakan salah satu bahan penyusun mie basah pasta
talas belitung. Warna coklat tersebut berasal dari proses penepungan pada suhu
70
0
selama 10 jam. Visualisasi warna mie basah disajikan pada Gambar 5.1.
Mie basah pasta talas belitung tidak beraroma langu. Aroma mie basah
pasta belitung normal dan hampir tidak beraroma apapun sebelum dan setelah
menjadi mie goreng. Berdasarkan SNI 0128971992 tentang syarat mutu aroma
mie basah adalah normal. Rustandi (2011) menambahkan bahwa aroma mie yang
tidak disukai konsumen adalah berbau tepung mentah atau berbau apek. Aroma
mie yang berbau apek, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yaitu
tepung yang digunakan. Apabila bahan baku yang digunakan beraroma apek
57
maka produk akhir yang dihasilkan juga beraroma apek. Sedangkan aroma tepung
mentah dipengaruhi oleh proses pengolahan yang kurang optimal seperti sebagian
adonan pada saat proses pengadukan tidak menyerap air dengan baik (tidak rata)
sehingga tidak terbentuk adonan yang kalis/tercampur rata.
P
0
P
1
P
2
P
3
Keterangan :
P
0
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0
P
1
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5
P
2
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10
P
3
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15
Gambar 5. 1 Visualisasi Warna Mie Basah
Rasa mie basah pasta talas belitung adalah normal (tidak berasa). Bahan-
bahan subtitusi tidak mempengaruhi rasa mie basah yang dihasilkan. Berdasarkan
SNI 0128971992 tentang syarat mutu rasa mie basah adalah normal. Lebih
lanjut Rustandi (2011) menjelaskan bahwa rasa mie basah yang tidak disukai oleh
konsumen adalah berasa adonan mentah, tepung dan berasa alkali/bersabun.
58
Tekstur mie basah pasta talas belitung agak lunak dan elastis. Semakin
rendah subtitusi tepung terigu, elastisitas mie basah pasta talas belitung cenderung
menurun. Hal tersebut disebabkan karena bahan-bahan penyusun mie basah pasta
talas belitung rendah gluten. Gluten terdapat di dalam tepung terigu dan berfungi
membentuk tekstur mie basah menjadi elastis. Sehingga apabila terjadi penurunan
subtitusi tepung terigu akan mempengaruhi elastisitas mie basah yang dihasilkan.
Sebagaimana dijelaskan Astawan (2008) bahwa tepung terigu memiliki
kemampuan untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat
elastis gluten pada adonan mie berfungsi agar tidak mudah putus pada proses
pencetakan dan pemasakan mie.
5. 2 Mutu Kimia
5.2.1 Kadar Air
Hasil penelitian menunjukkan kadar air mie basah pasta talas belitung
berkisar 31.95 41.20 g/100 g bahan dengan rata-rata 37.72 4.0 g/100 g.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, kadar air mie basah pasta talas
belitung cenderung meningkat sebagaimana disajikan pada Tabel 5.1. Hasil
analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.037) terhadap kadar air mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 1).
Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa
subtitusi pasta talas belitung 30% (P
1
) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar
air yang signifikan dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung memberikan
pengaruh peningkatan kadar air yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Peningkatan kadar air tersebut dipengaruhi oleh peningkatan subtitusi
pasta talas belitung karena kadar air talas belitung yang cukup tinggi.
Sebagaimana dijelaskan Mahmud (2004) bahwa kadar air pasta talas belitung
lebih tinggi dibanding tepung terigu masing-masing 63% dan 11.8%. Kadar air
mie basah pasta talas belitung yang relatif tinggi juga dipengaruhi penambahan air
pada proses pengolahan. Air dalam pengolahan mie basah berfungsi untuk
mengikat dan mencampurkan bahan-bahan subtitusi sehingga terbentuk adonan
yang kalis dan dapat dicetak. Sebagaimana dijelaskan Soenaryo (1985) bahwa
59
kegunaan air pada pengolahan mie adalah untuk media reaksi antara glutein
dengan karbohidrat, larutan garam dan membentuk sifat kenyal dari glutein.
Tabel 5. 1 Kadar Air Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata- rata Kadar
Air (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
32
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
38
b
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
39
b
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
41
b
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kadar mie basah pasta talas belitung dimana masih diatas 35%
menunjukkan bahwa kurang memenuhi standart SNI 0128971992 tentang syarat
mutu kadar air mie basah yaitu 20 35% b/b. Namun Widyaningsih dan Murtini
(2006) menjelaskan bahwa kadar air mie basah dapat mencapai 52% sehingga
daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar, mie basah hanya
bertahan 10 12 jam karena mie akan berbau asam dan berlendir/ basi. Sehingga
mie basah pasta talas belitung masih sesuai dengan kriteria mie basah namun daya
simpannya perlu diperhatikan karena relatif tidak tahan lama.
5.2.2 Kadar Abu
Hasil penelitian menunjukkan kadar abu mie basah pasta talas belitung
berkisar 1.07 2.18 g/100 g bahan dengan rata- rata 1.51 0.23 g/100 g.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung
tempe kedelai menunjukkan bahwa kadar abu mie basah pasta talas belitung
cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2. Namun demikian,
hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang tidak signifikan
(p = 0.420) terhadap kadar abu mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 2).
Peningkatan kadar abu dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing bahan
subtitusi. Bahan yang berkontribusi mengandung kadar abu tinggi adalah tepung
tempe kedelai karena kadar abu talas belitung rendah. Komponen terbesar talas
belitung adalah air yaitu 63% (Mahmud, 2004).
60
Tabel 5. 2 Kadar Abu Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata- rata Kadar
Abu (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
1.1
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
1.0
a
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
1.4
a
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
1.5
a
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kadar abu berasal dari unsur mineral dan komposisi kimia yang tidak
teruapkan selama proses pengabuan. Kadar abu menunjukkan jumlah mineral
yang terkandung dalam bahan, biasanya ditentukan dengan cara pengabuan atau
pembakaran (Pangloli dan Royaningsih, 1998). Sebagaimana dijelaskan Santoso
(1995) bahwa tepung tempe kedelai mengandung nilai gizi cukup tinggi sebagai
sumber karbohidrat, vitamin dan mineral. Lebih lanjut Sudarmaji (2006)
menjelaskan bahwa kandungan mineral total dalam bahan pangan diperkirakan
sebagai kandungan abu yang merupakan residu an-organik yang tersisa setelah
bahan-bahan organik terbakar habis. Kadar abu pada produk pangan menunjukkan
tingkat kebersihan produk yang dapat berasal dari bahan baku, proses pembuatan,
pengemasan maupun penyimpanan. Kadar abu produk mie basah harus memenuhi
persyaratan SNI 0128971992 yaitu mengandung maksimal 3% b/b. Berdasarkan
hal tersebut, mie basah subtitusi pasta talas belitung tiap taraf perlakuan telah
memenuhi standart SNI yang ditentukan.
5.2.3 Protein
Hasil penelitian menunjukkan kadar protein mie basah pasta talas belitung
berkisar 9.76 11.91 g/100 g bahan dengan rata-rata 10.96 0.93 g/100 g.
Kadar protein tersebut telah memenuhi syarat kadar protein pada SNI
0128971992 yaitu mengandung minimal 8% b/b. Semakin tinggi subtitusi pasta
talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai maka kadar protein
mie basah pasta talas belitung cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada
Tabel 5.3. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe
kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.001) terhadap kadar protein mie
basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 10). Lebih lanjut, analisis Duncan
61
Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%,
tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah memberikan pengaruh
peningkatan kadar protein yang signifikan dan subtitusi tepung tempe kedelai 10%
(P
2
) juga memberikan pengaruh peningkatan kadar protein yang signifikan namun
setelah peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai selanjutnya, yaitu 15% (P
3
)
tidak memberikan pengaruh peningkatan protein yang signifikan.
Tabel 5. 3 Kadar Protein Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Protein (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
9.8
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
10.75
b
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
11.43
c
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
11.91
c
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kontribusi protein terbesar dalam mie basah pasta talas belitung berasal
dari tepung tempe kedelai. Subtitusi tepung tempe kedelai dalam pengolahan mie
basah pasta talas belitung bertujuan untuk mencapai SNI 0128971992 tentang
syarat mutu kadar protein mie basah adalah min 8% b/b sehingga mie basah pasta
talas belitung telah memenuhi standart SNI yang ditentukan. Subtitusi tepung
tempe kedelai dilakukan karena tepung terigu disubtitusi talas belitung dimana
talas belitung merupakan bahan makanan yang rendah protein Semakin tinggi
subtitusi tepung tempe kedelai, protein mie basah subtitusi pasta talas belitung
cenderung meningkat. Tepung tempe kedelai mengandung protein yang cukup
tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan protein mie basah pasta talas
belitung akibat penurunan subtitusi tepung terigu. Sebagaimana dijelaskan
Cahyadi (2006) bahwa kadar protein tempe sebesar 41.5 g/100 g lebih tinggi
dibandingkan tepung terigu sebesar 9 g/ 100 g.
Pengolahan mie basah pasta talas belitung subtitusi tepung tempe kedelai
selain meningkatkan kadar protein juga sebagai penganekaragaman menu bagi
penderita DM. Kontribusi protein mie basah pasta talas belitung menyumbang
sebesar 20%/100 g dari rata-rata total kebutuhan 60 g/hari relatif lebih tinggi
dibandingkan beras dan kentang, yaitu 14%/100 g dan 13%/100 g (PERKENI,
2011). Penderita DM membutuhkan asupan protein cukup sebesar 15 %/ hari
62
dari total energi, yaitu 60 70 g/ hari untuk mencegah terjadinya katabolisme
protein dalam otot tubuh.
Protein mie basah pasta talas belitung mengandung asam amino yang
bermanfaat bagi metabolisme penderita DM, yaitu arginin dan lisin yang terkait
sekresi insulin dan glukagon dari pankreas. Sebagaimana dijelaskan Bhathena
(2002) bahwa protein pada tempe kedelai tinggi kandungan arginin dan glisin.
Pemberian asam amino arginin dan glisin saat terjadi peningkatan kadar glukosa
darah, menyebabkan sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa meningkat 2 kali
lipat sehingga memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin. Lebih
lanjut, insulin akan meningkatkan transpor glukosa ke dalam hati, otot, dan sel-sel
lain yang mengakibatkan kadar glukosa darah kembali normal. Sedangkan, peran
arginin pada sekresi glukagon yaitu glukagon memacu konversi cepat asam amino
menjadi glukosa sehingga banyak glukosa yang tersedia di dalam jaringan.
Namun, respon glukagon dan insulin tidak bertentangan satu sama lain. Selain
itu, protein kedelai juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin pada DM tipe 2.
Kandungan protein mie basah pasta talas belitung yang lebih tinggi dibandingkan
beras dan kentang dengan manfaat asam aminonya, diharapkan mampu menjadi
salah satu makanan penukar bagi penatalaksaan diet penderita DM untuk
meningkatkan derajat kesehatannya.
5.2.4 Lemak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah pasta talas
belitung berkisar 4.8 6.1 g/100 g bahan dengan rata- rata 5.4 0.5 g/100 g.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dengan peningkatan subtitusi tepung
tempe kedelai, kadar lemak mie basah cenderung meningkat sebagaimana
disajikan pada Tabel 5.4. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa peningkatan subtitusi pasta talas belitung
dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.002)
terhadap kadar lemak mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 4). Lebih
lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi
pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
)
belum memberikan pengaruh yang signifikan. Sedangkan pada subtitusi pasta talas
63
belitung 35%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 10% (P
2
) telah
memberikan pengaruh peningkatan lemak yang signifikan namun semakin meningkat
subtitusi pasta talas belitung (P
3
), memberikan pengaruh peningkatan lemak yang
tidak signifikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah pasta talas
belitung meningkat dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung
tempe kedelai. Talas belitung sedikit memberikan kontribusi lemak karena
kandungan lemak pada talas belitung rendah (1%) sehingga bahan subtitusi mie
basah yang berkontribusi meningkatkan kadar lemak adalah tepung tempe kedelai.
Tabel 5. 4 Kadar Lemak Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Lemak (g/ 100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
4.8
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
5.1
a
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
5.7
b
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
6.1
b
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Kadar lemak tepung tempe kedelai cukup tinggi sebagaimana dijelaskan
Cahyadi (2006) bahwa selain sebagai sumber protein, tepung tempe kedelai juga
merupakan sumber lemak. Tepung tempe kedelai mengandung lemak sebesar
22,2%. Sebagian besar lemak yang ada pada tepung tempe kedelai merupakan
lemak tak jenuh, yaitu asam linoleat yang merupakan asam lemak utama pada
tempe, secara spesifik bersifat meningkatkan HDL dan menurunkan LDL. Lebih
lanjut Mann (2007) menjelaskan bahwa jika konsumsi energi dari lemak jenuh
diganti oleh asam linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan kolesterol
darah sehingga tidak terjadi hiperlipidemia akibat hiperglikemik. Selain itu,
tingginya lemak mie basah pasta talas belitung juga dipengaruhi penambahan
minyak goreng setelah mie dikukus. Mie basah pasta talas belitung memberikan
kontribusi lemak sebesar 13%/100 g dari kebutuhan 50 g/hari, lebih tinggi
dibandingkan dengan lemak dari beras dan kentang masing-masing 3.5%/100 g
dan 0.8%/100 g dengan total kebutuhan yang sama (PERKENI, 2011). Maksimal
jumlah lemak dalam mie berkisar 15 - 20% (Sunoko, 2008 dalam Hermianti,
2011).
64
5.2.5 Serat Kasar
Hasil penelitian menunjukkan kadar serat mie basah pasta talas belitung
berkisar 0.87 1.86 g/100 g bahan dengan rata-rata 1.51 0.4 g/100 g. Semakin
tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai maka kadar serat
mie basah pasta talas belitung akan meningkat sebagaimana disajikan pada Tabel
5.5. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta talas belitung, tepung
tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.008) terhadap kadar serat mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 5).
Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa
subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5%
(P
1
) telah memberikan pengaruh peningkatan kadar serat yang signifikan, dan
semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh peningkatan
kadar serat yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar serat mie basah meningkat
dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai. Talas
belitung mengandung serat kasar rendah namun mengandung serat pangan yang
tak larut (oligosakarida) cukup tinggi. Selain itu, tepung tempe kedelai juga
merupakan sumber serat. Tepung tempe kedelai memiliki serat yang merupakan
karbohidrat atau polisakarida sebanyak 7,2 g/100g bahan yang tidak dapat dicerna
oleh tubuh. Sedangkan pasta talas belitung mengandung serat kasar sebesar 1%
(Mahmud, 2004). Selain itu, bahan-bahan subtitusi mie basah mengandung serat
lebih tinggi dibandingkan tepung terigu yang hanya mengandung 0.3%
(Mahmud, 2004).
Tabel 5. 5 Kadar Serat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Serat (g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
0.87
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
1.60
b
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
1.71
b
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
1.86
b
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
65
Hasil analisis berupa serat kasar dapat bermanfaat bagi penderita DM
karena serat kasar mampu menahan makanan dalam saluran pencernaan sehingga
penderita DM cepat kenyang dan tidak mudah lapar. Sebagaiman dijelaskan E.
Mary (1993) bahwa makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar
dicerna dan memberikan isi sehingga untuk mencerna memerlukan waktu lebih
lama karena makanan berserat berada lebih lama di dalam lambung. Selain itu,
serat kasar banyak terdapat pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan
produk olahannya seperti tempe memiliki pengaruh yang besar terhadap
penyerapan karbohidrat. Dalam penatalaksanaan diet DM, serat memiliki sifat
memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga mampu mengontrol peningkatan
kadar glukosa darah.
5.2.6 Gula Reduksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gula reduksi mie basah pasta
talas belitung berkisar 0.173 0.248 mg/dl bahan dengan rata-rata 0.203 0.032
mg/dl. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai
maka kadar gula reduksi mie basah cenderung menurun sebagaimana disajikan
pada Tabel 5.6. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan
95% menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta talas belitung,
tepung tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh yang signifikan
(p = 0.041) terhadap kadar gula reduksi mie basah pasta talas belitung (Tabel
Lampiran 6). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT)
menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15% dan
tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah memberikan pengaruh penurunan kadar gula
reduksi yang signifikan, dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung
memberikan pengaruh penurunan kadar gula reduksi yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Penurunan kadar gula reduksi dipengaruhi oleh bahan-bahan subtitusi mie
basah yaitu pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai.
Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, maka kadar gula reduksi akan
semakin rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan gizi pasta talas belitung
yang banyak mengandung oligosakarida (serat pangan tak larut). Gula reduksi
adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi karena adanya gugus
66
aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang termasuk gula reduksi adalah
glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan galaktosa termasuk dalam jenis
karbohidrat monosakarida. Sehingga gula reduksi digunakan sebagai indikator
seberapa besar gula sederhana dalam bahan pangan yang mampu diserap oleh
tubuh.
Tabel 5. 6 Kadar Gula Reduksi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Kadar
Gula Reduksi
(mg/dl)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
0.248
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
0.200
b
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
0.193
b
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
0.173
b
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Gula reduksi berkaitan dengan kemampuan cepat lambatnya makanan
diserap oleh tubuh karena gula reduksi merupakan indikator jumlah glukosa
dalam bahan makanan. Apabila makanan tersebut mengandung gula reduksi
tinggi maka kadar glukosa darah cepat meningkat demikian sebaliknya. Gula
reduksi berkaitan pula dengan indeks glikemik (IG) pangan dimana bahan
makanan yang memiliki gula reduksi tinggi kemungkinan IG tinggi. IG Pasta
talas belitung sebesar 29 45, lebih rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi
jalar ungu (54 - 68) (Rimbawan dan Siagian, 2004). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung maka kadar
gula reduksi cenderung menurun. Bagi penderita DM, konsumsi makanan dengan
kadar gula reduksi rendah menjadi saat penting karena makanan tersebut tidak
cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Makanan dengan kadar gula reduksi
tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat setelah dikonsumsi
dan hal tersebut berbahaya bagi penderita DM.
5.2.7 Karbohidrat
Hasil penelitian menunjukkan kadar karbohidrat mie basah pasta talas
belitung hasil penelitian berkisar 37.41 51.59 g/100 g bahan dengan rata-rata
43.13 g/100 g. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung dan tepung tempe
kedelai maka kadar karbohidrat mie basah cenderung menurun sebagaimana
67
disajikan pada tabel 5.7. Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi bahan-bahan mie basah (pasta
talas belitung, tepung tapioka dan tepung tempe kedelai) memberikan pengaruh
yang signifikan ( = 0.003) terhadap kadar karbohidrat mie basah pasta talas
belitung (Tabel Lampiran 7). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test
(DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30%, tepung tapioka 15%
dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah memberikan pengaruh penurunan kadar
karbohidrat yang signifikan, dan semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung
memberikan pengaruh penurunan kadar karbohidrat yang tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Tabel 5. 7 Kadar Karbohidrat Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf
Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung Tapioka :
Tepung Tempe Kedelai
Rata- rata Kadar
Karbohidrat (g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
51.59
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
42.97
b
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
40.53
b
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
37.41
b
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Penurunan karbohidrat dipengaruhi oleh kadar air, abu, protein, lemak dan
serat kasar mie basah. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung, kadar
karbohidrat cenderung menurun. Hal tersebut disebabkan kandungan karbohidrat
pada pasta talas belitung lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu masing-
masing 34% dan 77% (Mahmud, 2004). Peningkatan subtitusi tepung tempe juga
tidak memberikan kontribusi karbohidrat yang besar karena tepung tempe kedelai
termasuk dalam bahan pangan dengan karbohidrat rendah. Sebagaimana
dijelaskan Cahyadi (2006) bahwa kandungan karbohidrat tepung tempe kedelai
sebesar 29.6% sehingga penurunan subtitusi tepung terigu akan menurunkan
kadar karbohidrat mie basah pasta talas belitung. Kadar protein, lemak, dan serat
terendah adalah taraf perlakuan P
0
dengan subtitusi 100% tepung terigu yaitu 4.8
g/100 g, 9.8 g/100 g dan 0.87 g/100 g namun memiliki kadar karbohidrat tertinggi
yaitu 51.59 g/100 g. Sedangkan kadar karbohidrat terendah terdapat pada mie
basah taraf perlakuan P
3
dengan subtitusi pasta talas belitung 40%, tepung tapioka
10% dan tepung tempe 15% yang memiliki kadar protein, lemak dan serat
tertinggi sebesar 6.1 g/100 g, 12 g/100 g dan 1.86 g/100 g.
68
Rendahnya karbohidrat mie basah pasta talas belitung merupakan
keunggulan tersendiri apabila dikonsumsi penderita DM. Berbagai jenis
karbohidrat termasuk monosakarida, disakarida dan polisakarida. Bagi penderita
DM harus membatasi konsumsi karbohidrat jenis monosakarida karena
meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat. Berbeda dengan karbohidrat
jenis polisakarida termasuk oligosakarida yang banyak terdapat pada umbi-
umbian, antara lain talas belitung. Jenis karbohidrat polisakarida (kompleks) akan
merespon glukosa secara lambat sehingga tidak terjadi peningkatan kadar glukosa
darah secara cepat. Karbohidrat mempunyai banyak fungsi bagi tubuh. Fungsi
utama karbohidrat yaitu sumber energi dimana satu gram karbohidrat setara
dengan 4 Kalori (Winarno, 2004). Energi tersebut berasal dari metabolisme
makanan. Makanan yang dimetabolisme akan menghasilkan glukosa, cepat
lambatnya proses metabolisme tergantung pada jenis karbohidrat yang ada di
dalam makanan. Makanan yang mengandung karbohidrat monosakarida akan
cepat dimetabolisme sehingga kadar glukosa darah cepat meningkat. Berbeda
dengan jenis karbohidrat oligosakarida (kompleks) yang melalui beberapa tahap
pemecahan dalam proses metabolisme sebelum menghasilkan glukosa sehingga
proses metabolisme relatif lebih lama. Makanan dengan jenis karbohidrat
kompleks baik bagi penderita DM karena tidak meningkatkan kadar glukosa darah
secara cepat.
5. 3 Nilai Energi
Nilai energi mie basah pasta talas belitung berkisar 252 288 Kalori/100 g
dengan rata-rata 264.95 16 Kalori/100 g. Semakin tinggi subtitusi pasta talas
belitung maka nilai energi mie basah pasta talas belitung cenderung menurun,
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.8. Hasil analisis statistik Oneway Anova
pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas Belitung
memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.025) terhadap nilai energi mie basah
pasta talas belitung (Tabel Lampiran 8). Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple
Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung 30% (P
1
) telah
memberikan pengaruh penurunan nilai energi yang signifikan dan semakin tinggi
69
subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh penurunan nilai energi yang
tidak signifikan (P
1
-P
3
).
Penurunan nilai energi mie basah pasta talas belitung dipengaruhi oleh
kandungan zat gizi penghasil energi yaitu karbohidrat, protein dan lemak.
Sebagaimana dijelaskan Almatsier (2003) bahwa nilai energi ditentukan oleh
kandungan karbohidrat, protein dan lemak makanan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa zat gizi menentukan penurunan nilai energi mie basah pasta
talas belitung adalah kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat menurun dengan
meningkatnya subtitusi pasta talas belitung karena kadar karbohidrat pasta talas
belitung lebih rendah dibanding tepung terigu masing-masing 34.2% dan 77.3%
(Mahmud, 2004). Secara empiris, nilai energi tepung terigu lebih tinggi
dibanding pasta talas belitung masing-masing 333 Kalori/100 g dan 145
Kalori/100 g.
Tabel 5. 8 Nilai Energi Mie Basah Pasta Talas Belitung tiap Taraf Perlakuan
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung : Tepung
Tapioka : Tepung Tempe Kedelai
Rata-rata Nilai Energi
(Kalori/100 g)
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
288
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
261
b
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
259
b
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
252
b
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Penurunan nilai energi yang dipengaruhi oleh penurunan karbohidrat
diikuti dengan peningkatan kadar serat dan protein dalam mie basah pasta talas
belitung. Hal ini sesuai dengan tujuan pengolahan mie basah pasta talas belitung
yaitu menghasilkan makanan yang baik bagi penderita DM, dimana makanan
tersebut tidak hanya sumber energi tetapi juga sumber oligosakarida (serat pangan
tak larut). Oligosakarida mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran
makanan dalam saluran pencernaan sehingga penderita DM akan merasa kenyang
dan tidak cepat lapar. Sebagaimana dijelaskan Rimbawan dan Siagian (2004)
bahwa serat pangan tak larut memperlambat lewatnya makanan pada saluran
pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses
pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon glukosa darah menjadi lebih
rendah.
70
Mie basah pasta talas belitung memberi kontribusi energi 13%/100 g dari
kebutuhan energi penderita DM sebesar 1900 Kalori/ hari. Energi tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan beras dan kentang, yaitu 18%/100 g dan 17%/100 g
dengan total kebutuhan yang sama (PERKENI, 2011). Walaupun nilai energi mie
basah pasta talas belitung lebih rendah namun energi tersebut berasal dari
karbohidrat dalam bentuk oligosakarida (serat pangan tak larut) sehingga
memperlambat respon glukosa darah dan tidak mempercepat peningkatan kadar
glukosa darah.
5. 4 Mutu Fisik
5.4.1 Elastisitas
Hasil penelitian menunjukkan elastisitas mie basah pasta talas belitung
berkisar 10.00 46.67% dengan rata-rata 30.83 12%. Semakin tinggi subtitusi
pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai, elastisitas mie basah pasta talas
belitung cenderung menurun sebagaimana disajikan pada Gambar 5.2. Hasil
analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa subtitusi pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.005) terhadap elastisitas mie basah pasta talas belitung (Tabel Lampiran 9).
Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa
subtitusi pasta talas belitung 35%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai
10% (P
2
) telah memberikan pengaruh penurunan elastisitas yang signifikan.
Penurunan elastisitas mie basah pasta talas belitung disebabkan karena
bahan subtitusi mie basah yang digunakan (pasta talas belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe kedelai) merupakan bahan yang rendah gluten. Penurunan
subtitusi tepung terigu membuat elastisitas mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun. Gluten terdapat di dalam tepung terigu. Sebagaimana
dijelaskan Astawan (2008) bahwa keistimewaan terigu diantara serealia lainnya
adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan mie menyebabkan mie
yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan.
Lebih lanjut, Rustandi (2011) mengatakan bahwa gluten merupakan campuran
protein gliadin dan glutenin yang terkumpul bersama pati di dalam lapisan
endosperm gandum. Gluten membuat adonan menjadi kenyal dan dapat
71
mengembang karena mampu mengikat udara. Pengurangan terigu dalam
pengolahan mie basah pasta talas belitung memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap elastisitas mie basah pasta talas belitung.
Pada taraf perlakuan P
1
-P
3
disubtitusi dengan tepung tapioka untuk
memperbaiki elastisitas mie basah pasta talas belitung akibat penurunan proporsi
tepung terigu karena tepung tapioka memiliki sifat mengikat. Sebagaimana
dijelaskan Belitz dan Grosch (1999) bahwa tepung tapioka memiliki sifat sebagai
bahan pengikat. Tapioka mengandung 17% amilosa dan 73% amilopektin.
Lebih lanjut, Winarno (2004) menambahkan bahwa perbandingan amilosa dan
amilopektin yang terdapat pada tepung dapat mempengaruhi sifat tepung.
Semakin rendah kadar amilosa maka semakin tinggi kadar amilopektin. Jika
kadar amilosa rendah maka pati akan semakin kental dan lekat demikian
sebaliknya. Namun, tetap terjadi penurunan elastisitas pada taraf perlakuan P
1
-P
3.
Keterangan :
P
0
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0
P
1
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5
P
2
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka :Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10
P
3
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka :Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (= 0.05)
Gambar 5. 2 Rata-rata Elastisitas Mie Basah tiap Taraf Perlakuan
Penurunan subtitusi tepung terigu yang membuat penurunan elastisitas tiap
taraf perlakuan. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein
dan sumber karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan
72
dalam pengolahan mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin
(prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk
pengolahan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis
dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi (Rustandi, 2011).
Elastisitas taraf perlakuan subtitusi tepung terigu 50% (P
1
) relatif sama
dengan taraf perlakuan P
0
karena subtitusi tepung terigu yang cukup tinggi
dibandingkan taraf perlakuan yang lain. Elastisitas merupakan parameter uji fisik
bagi produk mie dimana semakin tinggi nilai elastisitas mie maka menunjukkan
tekstur mie semakin baik. Sebagaimana dijelaskan Kusrini (2008) dalam
Rustandi (2011) bahwa kualitas mie yang ideal adalah kenyal, elastis, halus
permukaannya dan tidak lengket. Salah satu upaya untuk mengolah mie basah
agar tidak lengket adalah dengan menambahkan tepung tapioka.
5.4.2 Daya Putus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya putus mie basah pasta talas
belitung berkisar 0.3 2.9 N dengan rata-rata sebesar 1.15 0.93 N. Semakin
tinggi subtitusi pasta talas belitung maka nilai gaya daya putus mie basah pasta
talas belitung cenderung menurun, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.3.
Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka dan tepung
tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0.000) terhadap daya
putus mie basah pasta talas belitung. Lebih lanjut, analisis Duncan Multiple
Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa penambahan subtitusi pasta talas
belitung 30%, tepung tapioka 15% dan tepung tempe kedelai 5% (P
1
) telah
memberikan pengaruh penurunan daya putus yang signifikan (Tabel Lampiran
10).
Daya putus merupakan besarnya gaya tiap satuan luas penampang bahan
yang dibutuhkan untuk memutuskan suatu produk (Yuwono, 1998). Rendahnya
daya putus mie basah pasta talas belitung dipengaruhi oleh sifat masing-masing
bahan subtitusi. Pasta talas belitung bersifat lunak dan tidak mengandung gluten
sehingga membuat tekstur mie basah pada taraf perlakuan (P
1
-P
3
) lebih lunak
dibandingkan mie basah pada taraf perlakuan (P
0
). Hal tersebut membuat beban
73
gaya yang diberikan untuk memotong/memutus mie basah pasta talas belitung
lebih kecil dibandingkan dengan mie basah pada taraf perlakuan P
0
. Selain itu,
kadar air pasta talas belitung relatif tinggi, yaitu 63% (Mahmud, 2004) dan rendah
gluten sehingga tidak mampu memperkuat tektur mie basah pasta talas belitung.
Bahan semi basah (pasta) talas belitung apabila bercampur dengan bahan kering
(tepung-tepungan) akan mempengaruhi tekstur yang terbentuk, salah satunya
adalah mudah putus.
Subtitusi tepung tapioka tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap
nilai gaya putus mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
1
-P
3
. Hal
tersebut berbeda dengan taraf perlakuan P
0
dimana nilai gaya putusnya relatif
lebih tinggi meskipun tanpa subtitusi tepung tapioka. Hal tersebut dipengaruhi
kandungan tepung tapioka yang rendah gluten sehingga tidak mampu memperkuat
tekstur mie basah pasta talas belitung saat diberikan gaya. Daya putus merupakan
parameter kualitas fisik mie selain elastisitas. Daya putus menggambarkan
ketahanan mie selama pengolahan terutama terhadap perlakuan mekanis. Mie
basah pasta talas belitung memiliki nilai daya putus cenderung rendah sehingga
rawan putus selama proses pengolahan karena teksturnya cenderung lebih lunak
dibandingkan mie dari tepung terigu (taraf perlakuan P
0
).
Keterangan :
P
0
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung:Tepung Tapioka:Tepung tempe kedelai) = 100 : 0 : 0 : 0
P
1
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka: Tepung tempe kedelai) = 50 : 30 : 15 : 5
P
2
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 40 : 35 :15:10
P
3
(Tepung Terigu: Pasta talas belitung: Tepung Tapioka : Tepung tempe kedelai) = 35 : 40 :10:15
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (= 0.05)
Gambar 5. 3 Rata-rata Daya Putus Mie Basah tiap Taraf Perlakuan
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
P0 P1 P2 P3
D
a
y
a
P
u
t
u
s
(
N
)
Taraf Perlakuan
a
0.7
0.5
0.8
2.5
b
b
b
74
5. 5 Mutu Organoleptik
5.5.1 Warna
Tingkat penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung
pada saat menjadi mie basah dan mie goreng masing-masing sebesar 40 85%
dan 70 90%. Warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng
adalah kuning gelap. Hal tersebut dipengaruhi oleh bahan penyusun mie basah
yang mampu menghasilkan reaksi selama proses pengolahan antara lain reaksi
Maillard. Warna kuning gelap tersebut membuat penerimaan kesukaan panelis
terhadap warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng
cenderung menurun. Berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung
tapioka dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang signifikan (p =
0.004) terhadap warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie
goreng. Uji lanjut, Mann-Whitney menunjukkan bahwa pasangan taraf perlakuan
yang memberikan pengaruh signifikan adalah antara P
0
dengan P
2
dan P
0
dengan
P
3
, namun berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung
tapioka dan tepung tempe kedelai memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p
= 0.884) terhadap warna mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie
goreng (Tabel Lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung pada tiap taraf
perlakuan saat masih berupa mie basah dan settelah menjadi mie goreng relatif
sama.
Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap
warna mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng adalah tidak
suka (2) sampai suka (3). Sedangkan modus tingkat kesukaan terhadap warna
setelah menjadi mie goreng adalah suka (3). Tingkat penerimaan dan modus hasil
uji kesukaan terhadap warna mie basah disajikan pada Gambar 5. 4 dan Tabel
5.9.
75
Tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun sebelum menjadi mie goreng salah satunya dipengaruhi oleh
subtitusi tepung tempe kedelai. Peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai
menghasilkan mie basah dengan warna kuning gelap. Warna kuning gelap ini
cenderung menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah.
Rustandi (2011) menjelaskan bahwa warna yang disukai konsumen adalah warna
krem segar untuk mie segar (mie ayam) sedangkan untuk mie basah biasanya
berwarna kuning.
Tabel 5. 9 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Warna Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas
Belitung : Tepung Tapioka : Tepung
Tempe Kedelai
Modus
Mie Basah
Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
3
a
3
a
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
2
b
3
a
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
2
b
3
a
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Warna kuning gelap pada mie basah pasta talas belitung dapat berasal dari
warna tepung tempe kedelai yang merupakan salah satu bahan penyusun mie
0
10
20
30
40
50
60
P0 P1 P2 P3
53.78
42.85
34.45
30.92
37.32
42.4
41.2 41.08
M
e
a
n
R
a
n
k
Taraf Perlakuan
Mie Basah
Mie Goreng
Gambar 5. 4
Tingkat Penerimaan Panelis terhadap Warna Mie basah
Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng
76
basah dan reaksi Maillard yang terjadi selama pemanasan mie basah.
Sebagaimana dijelaskan Winarno (2008) bahwa ada lima hal yang menyebabkan
suatu bahan makanan berwarna gelap antara lain reaksi Maillard yang terjadi
akibat reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi.
Peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai kedelai menyebabkan semakin
coklatnya warna mie basah. Hal ini membuktikan bahwa terjadi reaksi Maillard
yang lebih besar apabila subtitusi tepung tempe kedelai semakin tinggi.
Visualisasi warna mie basah sebelum pemberian bumbu disajikan pada Gambar
5. 1.
Warna kuning gelap mie basah pasta talas belitung dapat perbaiki dengan
pemberian bumbu sehingga menjadi mie goreng. Panelis memberikan penilaian 3
(suka) pada mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie goreng. Bumbu
mie basah akan bercampur dengan mie sehingga berdasarkan analisis statistik
Kruskal Walis menunjukkan bahwa subtitusi pasta talas belitung, tepung tapioka
dan tepung tempe kedelai pada tingkat penerimaan panelis terhadap warna
memberikan pengaruh yang tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap warna mie basah pasta talas
belitung pada tiap taraf perlakuan setelah menjadi mie goreng relatif sama
5.5.2 Aroma
Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie basah pasta talas belitung
sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing sebesar 60 70% dan 70
95%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap
aroma mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng adalah 3 (suka).
Tingkat penerimaan dan modus hasil uji kesukaan terhadap aroma mie basah
disajikan pada Gambar 5.5 dan Tabel 5.10. Berdasarkan analisis statistik Kruskal
Walis dengan tingkat kepercayaan 95% memberikan pengaruh yang tidak
signifikan terhadap aroma mie basah pasta talas belitung sebelum (p = 0.760) dan
setelah menjadi mie goreng (p = 0.539) (Tabel Lampiran 12). Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap aroma mie
basah pasta talas belitung pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi
mie goreng relatif sama.
77
Gambar 5. 5
Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Aroma Mie
basah Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng
Tabel 5. 10 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas
Belitung : Tepung Tapioka : Tepung
Tempe Kedelai
Modus
Mie Basah Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
3
a
3
a
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
3
a
3
a
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
3
a
3
a
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung dan tepung
tempe kedelai. Berdasarkan modus tingkat kesukaan terhadap aroma mie basah
pasta talas belitung relatif sama antara sebelum dan setelah menjadi mie goreng.
Peningkatan subtitusi pasta talas belitung tidak berpengaruh besar terhadap aroma
mie basah pasta talas belitung karena talas belitung tidak beraroma mencolok.
Penurunan tingkat penerimaan kesukaan panelis terhadap aroma mie basah pasta
talas belitung antara lain dipengaruhi peningkatan subtitusi tepung tempe kedelai.
Semakin tinggi subtitusi tepung tempe kedelai, mie basah pasta talas belitung
akan beraroma langu sehingga tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie
0
10
20
30
40
50
P0 P1 P2 P3
40.02
44.85
38.92
38.2
46.4
39.2 38.7
37.7
M
e
a
n
R
a
n
k
Taraf Perlakuan Mie Basah
Mie Goreng
78
basah pasta talas belitung cenderung menurun. Aroma langu pada tepung tempe
kedelai disebabkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat
dalam kedelai. Enzim lipoksigenase dapat menghidrolisis asam lemak tak jenuh
ganda dan menghasilkan senyawa-senyawa volatil penyebab aroma langu,
khususnya etil fenil keton.
Pada subtitusi tepung tempe kedelai 5%, aroma mie basah pasta talas
belitung normal sama seperti mie basah pada umumnya. Peningkatan subtitusi
tepung tempe kedelai sampai 15% pada mie basah pasta talas belitung
menimbulkan aroma langu namun tidak mencolok. Pada penelitian ini, sebelum
dilakukan proses penepungan, tempe yang digunakan di-blanching terlebih dahulu
pada suhu 100C selama 15 menit sehingga aroma langu dapat diminimalisir. Hal
ini dilakukan untuk menginaktivasi enzim lipoksigenase yang terdapat dalam
tempe. Cowan dalam Paula (2006) menyebutkan bahwa proses steam blanching
dengan pengukusan pada suhu 70 100C selama 10 sampai 15 menit pada
pembuatan tepung tempe kedelai telah mampu menginaktivasi enzim
lipoksigenase dan memperbaiki aroma tepung yang dihasilkan.
5.5.3 Rasa
Tingkat penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung
sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing berkisar 35 70 dan 60
75%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan terhadap
rasa mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing-masing adalah
tidak suka (2) sampai suka (3) dan 3 (suka). Tingkat penerimaan dan modus hasil
uji kesukaan terhadap aroma mie basah disajikan pada Gambar 5.6 dan Tabel
5.11. Berdasarkan analisis statistik Kruskal Walis dengan tingkat kepercayaan
95% mie basah pasta talas belitung sebelum dan setelah menjadi mie goreng
memberikan pengaruh yang tidak signifikan (p = 0.422) dan (p = 0.585) terhadap
rasa mie basah (Tabel Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung pada
tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif sama.
79
Gambar 5. 6
Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Rasa Mie basah
Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng
Tabel 5. 11 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas
Belitung : Tepung Tapioka : Tepung
Tempe Kedelai
Modus
Mie Basah Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
2
b
3
a
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
2
b
3
a
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
2
b
3
a
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung
sebelum menjadi mie goreng cenderung menurun dengan peningkatan subtitusi
pasta talas belitung dan tepung tempe kedelai. Semakin tinggi subtitusi pasta
talas belitung, rasa mie basah akan terasa hambar. Rasa hambar tersebut mungkin
dipengaruhi oleh talas belitung yang tidak berasa. Sebenarnya, talas akan
meninggalkan rasa gatal setelah dikonsumsi karena talas mengandung kalsium
oksalat. Namun, kalsium oksalat dapat hilang dengan cara merendam talas
belitung ke dalam larutan cuka selama 45 menit sebelum pengolahan menjadi
pasta. Sehingga pasta talas belitung yang digunakan tidak menimbulkan rasa
gatal tetapi rasanya menjadi hambar. Sebagaimana dijelaskan Schumm (1978)
dalam Ridal (2003) bahwa perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat
0
10
20
30
40
50
P0 P1 P2 P3
47.45
38.75
37.65
38.15
42.1
35.6
44.1
40.2
M
e
a
n
R
a
n
k
Taraf Perlakuan Mie Basah
Mie Goreng
80
kimiawi kalsium oksalat juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan
kristal kalsium oksalat dalam talas belitung. Perlakuan tersebut adalah dengan
melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium
oksalat menjadi asam oksalat.
Rasa mie basah pasta talas belitung tidak jauh berbeda dengan mie basah
pada taraf perlakuan kontrol (P
0
) yaitu normal dan hampir tidak berasa apapun.
Hal tersebut dikarenakan bahan baku P
0,
berupa tepung terigu memang tidak
memiliki rasa apapun. Mie basah pasta talas belitung setelah menjadi mie goreng
menjadi lebih berasa karena pengaruh pemberian bumbu. Hal tersebut membuat
tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap rasa mie basah pasta talas belitung
pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif sama.
Produk mie basah harus memenuhi persyaratan SNI 0128971992 dimana syarat
mutu rasa mie basah adalah normal. Berdasarkan hal tersebut, rasa mie basah
subtitusi pasta talas belitung tiap taraf perlakuan telah memenuhi standart SNI
yang ditentukan. Lebih lanjut Rustandi (2011) menjelaskan bahwa rasa mie basah
yang tidak disukai oleh konsumen adalah berasa adonan mentah, tepung dan
berasa alkali/bersabun. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah
kurang lamanya mengaduk adonan sehingga bahan-bahan mie belum tercampur
secara merata sehingga adonan masih berasa tepung serta penambahan garam
alkali yang terlalu banyak (> 0.1 0.75%) akan membuat mie berasa alkali
bahkan berasa pahit.
5.5.4 Tekstur
Tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas belitung
sebelum dan setelah menjadi mie goreng masing- masing berkisar 50 65% dan
55 75%. Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa modus tingkat kesukaan
terhadap tekstur mie basah sebelum dan setelah menjadi mie goreng adalah suka
(3). Tingkat penerimaan dan modus hasil uji kesukaan terhadap tekstur mie
basah disajikan pada Gambar 5.7 dan Tabel 5.12. Berdasarkan analisis statistik
Kruskal Walis dengan tingkat kepercayaan 95% mie basah subtitusi pasta talas
belitung, tepung tempe dan tepung tapioka memberikan pengaruh yang tidak
signifikan sebelum (p = 0.485) dan setelah (p = 0.135) menjadi mie goreng
81
terhadap tekstur mie basah (Tabel Lampiran 14). Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kesukaan penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas
belitung pada tiap taraf perlakuan sebelum dan setelah menjadi mie goreng relatif
sama.
Tabel 5.12 Modus Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Mie Basah Sebelum dan
Setelah Menjadi Mie goreng
Taraf Perlakuan
(Tepung Terigu : Pasta Talas Belitung :
Tepung Tapioka : Tepung Tempe Kedelai
Modus
Mie Basah
Mie Goreng
P
0
( 100 : 0 : 0 : 0 )
3
a
3
a
P
1
( 50 : 30 : 15 : 5)
2
b
3
a
P
2
( 40 : 35 : 15 : 10)
2
b
3
a
P
3
( 35 : 40 : 10 : 15)
2
b
3
a
Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan ( = 0.05)
Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas belitung
cenderung menurun. Peningkatan subtitusi pasta talas belitung mempengaruhi
tingkat penerimaan kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah pasta talas
belitung. Tekstur mie menunjukkan kualitas dari mie yang dihasilkan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terjadi penurunan elastisitas dan daya putus mie
basah seiring dengan peningkatan subtitusi pasta talas belitung. Hal tersebut
0
10
20
30
40
50
P0 P1 P2 P3
46.1
41.1
37.6
36.9
40
38
37.2
36.8
M
e
a
n
R
a
n
k
Taraf Perlakuan
Mie Basah
Mie Goreng
Gambar 5.7 Tingkat Penerimaan Kesukaan Panelis terhadap Tekstur Mie
basah Sebelum dan Setelah menjadi Mie goreng
82
dipengaruhi oleh penurunan penggunaan tepung terigu yang mengandung gluten
dimana gluten merupakan pembentuk tekstur mie basah. Keistimewaan terigu
diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk glutein pada adonan
mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan
dan pemasakan. Rustandi (2011) menjelaskan bahwa tekstur mie yang disukai
adalah kenyal dan sedikit keras tetapi mempunyai gigitan yang empuk serta
permukaan halus. Salah satu parameter pengujian tekstur mie adalah elastisitas
dan daya tahan putus.
Berdasarkan analisis daya putus mie basah dimana daya putus mie basah
pasta talas belitung (P
1
-P
3
) memiliki nilai gaya putus lebih kecil dibandingkan
dengan mie basah pada taraf perlakuan kontrol (P
0
) dan nilai elastisitas yang
semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat masing-masing bahan
subtitusi. Semakin rendah elastisitas dan daya putus mie basah maka mie tersebut
akan mudah hancur selama proses pengolahan. Namun, hal itu tidak
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur setelah menjadi mie
goreng karena hasilnya relatif sama dengan tingkat kesukaan panelis pada saat
mie basah. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama proses pengolahan, mie
basah pasta talas belitung tetap mampu menjaga teksturnya (tingkat
kekerasan/kemudahan hancur relatif sama antara saat mie basah dan setelah
menjadi mie goreng) sehingga modus tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur
juga meningkat.
5. 6 Taraf Perlakuan Terbaik
Berdasarkan hasil penilaian taraf perlakuan terbaik menunjukkan bahwa
variabel yang terpenting untuk mie basah adalah karbohidrat, gula reduksi, nilai
energi dan serat kasar. Karbohidrat memegang peran penting dalam kehidupan,
karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang
mempunyai harga relatif lebih murah (Kartasapoetra, 2005). Sumber karbohidrat
adalah serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan dan gula (Almatsier, 2004).
Karbohidrat yang terdapat dalam makanan pada umumnya hanya tiga jenis yaitu
monosakarida, disakarida, dan polisakarida (Sediaoetama, 1985). Untuk
memelihara kesehatan, WHO (1990) menganjurkan agar 60 - 75% konsumsi
83
energi total berasal dari karbohidrat kompleks dan paling banyak hanya 10%
berasal dari gula sederhana (Almatsier, 2004). Paradigma baru tentang indeks
glikemik bahan makanan membuat masyarakat harus memilih mana makanan
yang mampu meningkatkan indeks glikemik secara cepat maupun makanan
dengan jenis karbohidrat yang lambat diserap oleh usus. Pengenalan karbohidrat
berdasarkan efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG)
berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber
karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Dengan
mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak
meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah
dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan yang memiliki IG rendah
membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar glukosa
darah (Rimbawan danSiagian, 2004).
Makanan berserat merupakan makanan yang liat, sukar dicerna dan
memberikan isi sehingga untuk mencerna perlu waktu lebih lama karena makanan
berserat tinggal lebih lama di dalam lambung. Selain itu, serat banyak terdapat
pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai beserta produk olahannya seperti
tempe memiliki pengaruh yang besar terhadap penyerapan karbohidrat. Dalam
penatalaksanaan diet penderita DM, serat memiliki sifat memperlambat
penyerapan karbohidrat sehingga mampu mengontrol peningkatan kadar glukosa
darah (E. Mary. 1993). Serat larut memiliki kemampuan memperlambat
penyerapan glukosa sehingga menunda dan mengurangi kenaikan kadar glukosa
darah sedangkan serat tidak larut mengurangi proses glukoneogenesis yang
berpengaruh terhadap peningkatan sekresi insulin sehingga dapat mengurangi
kenaikan kadar glukosa (Meyes, 2003). Hal tersebut yang menjadikan serat kasar
penting bagi penderita DM.
Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi.
Hal ini dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang
termasuk gula reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan
galaktosa (Budiyanto, 2002). Glukosa dalam tubuh berfungsi sebagai sumber
energi. Glukosa dalam darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang
mengandung karbohidrat dari nasi, ubi, jagung, kentang dan lain- lain. Kadar
84
glukosa dalam darah dapat melonjak atau berlebihan/ hiperglikemik. Keadaan ini
akan memicu munculnya DM yang merupakan suatu kelainan yang terjadi karena
tubuh kekurangan atau kerusakan hormon insulin sehingga glukosa tetap beredar
dalam darah dan sukar menembus dinding sel. Hasil taraf perlakuan terbaik untuk
rata- rata rangking variabel disajikan pada Tabel 5. 13.
Taraf perlakuan P
3
dalam pengolahan mie basah dengan subtitusi talas
belitung 40%, tepung tapioka 10% dan tepung tempe 15% memiliki total nilai
tertinggi yaitu 0.64 (Lampiran 6). Karakteristik nilai energi dan kadar zat gizi
mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
3
disajikan pada Tabel 5. 14.
Tabel 5. 13 Rata- rata dan Rangking Variabel dalam Penentuan Taraf Perlakuan
Terbaik
Variabel Rata- rata Rangking
Karbohidrat 1.266 1
Gula reduksi 0.308 2
Serat Kasar 0.126 3
Nilai Energi 0.054 4
Protein 0.030 5
Tekstur 0.021 6
Rasa 0.015 7
Elastisitas 0.011 8
Lemak 0.009 9
Daya putus 0.006 10
Aroma 0.004 11
Warna 0.003 12
Abu 0.002 13
Air 0.002 14
Hal terpenting dalam penatalaksanaan diet penderita DM adalah
pengontrolan asupan karbohidrat. Kadar karbohidrat P
3
lebih rendah dibanding
dengan beras dan kentang. Pada taraf perlakuan P
3
dimana subtitusi pasta talas
belitung paling tinggi sebesar 40% mempengaruhi kadar karbohidrat dan gula
reduksi. Gula reduksi merupakan jumlah glukosa yang mampu diserap oleh
tubuh. Talas belitung merupakan jenis umbi yang kaya karbohidrat jenis
oligosakarida sehingga kadar gula reduksinya rendah. Hal tersebut terlihat dari IG
talas belitung, yaitu 29 45 lebih rendah dibanding kentang (41 - 59) dan ubi jalar
ungu (54 - 68), (Rimbawan dan Siagian, 2004).
85
Tabel 5. 14 Karakteristik Mie Basah Pada Taraf Perlakuan (P
3
)
Karakteristik
Mie Basah Pasta Talas
Belitung
Syarat Mutu Mie
Basah
(SNI 0128911992)
Energi (Kalori) 252 -
Kadar Karbohidrat (g) 37.41 -
Kadar Protein (g) 12 Min 8
Kadar Lemak (g) 6.1 -
Kadar Serat Kasar (g) 1.86 -
Kadar Abu (g) 1.5 Maks 3
Kadar Air (g) 41 20 35
Kadar Gula Reduksi (mg/dl) 0.173 -
Elastisitas (%) 20 -
Daya Putus (N) 0.7 -
Warna Kuning gelap Normal
Aroma Tidak beraroma Normal
Rasa Hambar Normal
Tekstur Elastis dan agak lunak Normal
Tabel 5. 15 Perbandingan Kandungan Gizi Mie Basah Pasta Talas Belitung
Kalori/ hari 1900 2100
Bahan
Makanan
(g)
Mie Pasta
Talas
Belitung
(100)
Beras
(100)
Kentang
(200)
Mie Pasta
Talas
Belitung
(100)
Beras
(100)
Kentang
(200)
Energi (%) 13 18 17 12 17 16
Karbohidrat
(%)
12.5 26 25 12 24 24
Protein (%) 20 14 13 19 13.5 13
Lemak(%) 13 3.5 0.8 11.5 3 3.2
Serat (%) 7 0.8 8 7 0.8 8
Sumber: PERKENI (2011)
Pengetahuan tentang IG pangan membuat penderita DM secara mandiri
dengan mudah dapat memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat
meningkatkan kadar glukosa darah. Memilih makanan dengan IG rendah, secara
tidak langsung menunjukkan konsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh
karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga
mendukung upaya penganekaragaman makanan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Pada umumnya penderita DM melakukan diet non nasi dan mengganti dengan
kentang. Hal tersebut memang memiliki dampak positif karena dapat mengurangi
jumlah konsumsi beras namun harga kentang yang relatif lebih mahal dan nilai IG
86
yang relatif lebih tinggi dapat menjadikan talas belitung alternatif pangan lokal
untuk penatalaksanaan diet penderita DM.
Mie basah pasta talas belitung yang diolah dengan bahan-bahan pilihan
berupa pasta talas belitung, tepung tempe dan bahan pengikat berupa tepung
tapioka memiliki keunggulan kandungan gizi dibandingkan dengan mie basah
pada umumnya (100% tepung terigu). Faktor lain untuk mengkonsumsi mie
basah pasta talas belitung karena beras yang dikonsumsi di Indonesia telah
mengalami penyosohan lanjut sehingga rendah serat dan secara umum memiliki
IG tinggi (Winarno, 2012) sehingga diharapkan para penderita DM mengurangi
asupan beras. Pada taraf perlakuan P
3
, hasil uji kesukaan terhadap warna, aroma,
rasa dan tekstur mie basah pasta talas belitung sebelum menjadi mie goreng
cenderung menurun. Namun, setelah menjadi mie goreng rata-rata meningkat
atau relatif sama dibandingkan sebelum menjadi mie goreng. Sehingga mie basah
pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
3
masih bisa dikembangkan dan
dipromosikan sebagai bahan makanan penukar sumber energi bagi penderita DM
mengingat kandungan gizi dan manfaatnya yang cukup besar selain bahan
bakunya banyak tersedia di masyarakat.
Tabel 5. 16 Angka Kecukupan Gizi Per Takaran Saji
Kandungan
Gizi
(Makan
Siang)
Energi (Kkal)
1900 2100
Kecukupan*)
Mie
Talas
(150 g)
Tingkat
konsumsi
(%)
Kecukupan*)
Mie
Talas
(200 g)
Tingkat
Konsumsi
(%)
Energi
(Kkal)
570 378 67 630 504 80
Karbohidrat
(g)
90 56.11 62 96 74.82 78
Protein (g) 18 18 100 18.6 24 129
Lemak (g) 14.4 9.1 63 16 12.2 76
*PERKENI (2011)
Tabel 5.16 menunjukkan jumlah takaran saji mie basah pasta talas belitung
yang bisa dikonsumsi sebagai menu sehari-hari. Namun, tidak dianjurkan hanya
mengkonsumsi mie basah pasta talas belitung saja meskipun dengan konsumsi
200 g telah memenuhi kebutuhan protein satu kali makan (makan siang = 30%
total energi, 1900 Kalori/hari) karena masih ada zat-zat gizi lain yang mengalami
defisit seperti karbohidrat. Selain itu, kurang sesuai dengan PUGS (Pesan Umum
87
Gizi Seimbang) tentang makanlah makanan yang beraneka ragam. Sehingga, mie
basah pasta belitung dapat dikonsumsi dengan menambahkan sayuran untuk
melengkapi zat-zat gizi lain yang mengalami defisit sekaligus menambah sumber
serat. Mie basah pasta talas belitung aman dikonsumsi bagi penderita DM tipe
apapun dengan tetap memperhatikan total kebutuhan zat gizi sehari-hari seperti
penderita DM dengan komplikasi nefropati yang membatasi jumlah konsumsi
protein sehingga dalam mengkonsumsi mie basah pasta talas belitung harus
menambahkan asupan serat dari sayuran (apabila protein dalam satu kali waktu
makan penderita telah tercukupi dari mie basah pasta talas belitung).
88
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung maka nilai energi mie basah
pasta talas belitung cenderung menurun. Demikian dengan mutu kimia
yaitu kadar karbohidrat dan gula reduksi cenderung menurun namun kadar
air, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat cenderung meningkat dan
kadar abu relatif sama. Analisis mutu fisik menunjukkan bahwa semakin
tinggi subtitusi pasta talas belitung maka elastisitas dan daya putus mie
basah pasta talas belitung cenderung menurun.
2. Semakin tinggi subtitusi pasta talas belitung maka tingkat penerimaan
panelis terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur mie basah pasta talas
belitung sebelum menjadi mie goreng cenderung menurun. Namun,
setelah menjadi mie goreng tingkat penerimaan panelis terhadap warna,
aroma, rasa dan tekstur mie basah pasta talas belitung relatif sama bahkan
cenderung meningkat.
3. Taraf perlakuan P
3
dalam pengolahan mie basah dengan subtitusi talas
belitung 40%, tepung tapioka 10% dan tepung tempe 15% merupakan taraf
perlakuan terbaik dengan total nilai, yaitu 0.64. Energi dan karbohidrat
yang dihasilkan taraf perlakuan P
3
lebih rendah namun kadar protein dan
lemak mie basah pasta talas belitung lebih tinggi dibandingkan beras
maupun kentang. Lemak dan protein tersebut membantu proses
metabolisme penderita DM. Keunggulan lainnya adalah talas belitung
kaya akan oligosakarida sehingga kadar gula reduksinya rendah.
Walaupun tingkat penerimaan panelis terhadap warna dan tekstur
cenderung menurun namun setelah mie basah pasta talas belitung menjadi
mie goreng, tingkat penerimaan tersebut akan meningkat.
89
6.2 Saran
1. Mie basah pasta talas belitung pada taraf perlakuan P
3
dapat dijadikan
salah satu makanan penukar sumber energi dalam penatalaksaan diet
penderita DM dan merupakan taraf perlakuan terbaik karena memiliki
energi, karbohidrat dan gula reduksi yang relatif rendah. Selain itu, mie
basah pada taraf perlakuan P
3
memiliki protein (asam amino lisin dan
arginin) yang bermanfaat bagi penderita DM dan kandungan serat yang
lebih tinggi dibanding mie basah pada taraf perlakuan P
0
.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menjadikan mie basah pasta talas
belitung menjadi mie instan agar memiliki daya simpan yang lebih lama
dan analisis kadar oligosakarida dalam mie basah pasta talas belitung
untuk melihat bagaimana hubungannya dengan gula reduksi.
90
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Yuyun. 2010. Aneka Resep dan Kiat Usaha Mi Ayam Gerobak dan
Bakmi Resto. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Anomin. 2006. Teknologi Mie Instan. http://www.ebookpangan.com.
Dikunjungi 02 januari 2013.
Anonim. 2010b.[KlasifikasiTalas Belitung. http://www.plantamor.com/index.php]
. Dikunjungi 25 November 2012.
Astawan,M., 2008. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya : Jakarta.
Badan Standardiasi Nasional, 1992, SNI 01-2897-1992 tentang Mie Basah. Badan
Standardiasi Nasional, Jakarta.
Belitz HD, Grosch W (1999) Food Chemistry. Edisi ke-2. Terjemahan:
Burghagen et al. (ed). Lehrbuch der Lebbensmittelchemie. Edisi ke-4.
Springer Verlag, Berlin.
Bhathena SJ, Velasquez MT. Beneficial role of dietary phytoestrogens in obesity
and diabetes. Am J Clin Nutr 2002;76:11911201.
BPS. 2007 .Stastika Indonesia 2007. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
BPS. 2012. Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian dan Perkebunan.
[http://m.koran-jakarta.com/?id=109044&mode_beritadetail=1] diakses
tanggal 28 Desember 2012.
Departemen Perdagangan Indonesia, 2008. Import Tepung Terigu.
http://www.depdag.go.id/ . Jakarta. Dikunjungi tanggal 27 Desember
2012.
Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Profil Kesehatan Kabupaten Jombang
2011. Jombang : Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.
Dzulkarnain, B. 1999. Kolesterol Tinggi? Hajar Pakai Seledri.
://www.indomedia.com/intisari/1996/april/seledri.htm, diakses 02 Januari
2013.
E. Mary. 1993. Ilmu Gizi dan Diet. Yayasan Essentia Medica : Yogyakarta
91
Faridah, D.N. dkk. 2008. Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi
pangan, IPB, Bogor.
Findi, Muhammad. 2008. Skirpsi. Perkembangan Industri Tepung Terigu di
Indonesia. FISIP. UI.
Ghozali DS, Handharyani E, Rimbawan. Pengaruh Tempe terhadap Kadar Gula
Darah dan Kesembuhan Luka pada Tikus Diabetik. Cermin Dunia
Kedokteran April 2010 Vol. 37 No. 3 : 167-173.
Harahap, Nur. 2007. Skripsi. Pembuatan Mie Basah dengan Penambahan
Wortel ( Daucus Carota L.). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera
Utara.
Hermianti, W. dan Silfia. 2011. Pengaruh Beberapa Jenis Talas (Xanthosoma sp)
dan Bahan Fortifikasi Pangan dalam Pembuatan Mie. Jurnal Litbang
Industri, (Vol. I No. 1. 2011 : 39 -45).
Indrasari, Siti. Korelasi Amilosa terhadap Konsistensi Gel, Nisbah Penyerapan
Air (NPP) dan Nisbah Pengembangan Volume (NPV) pada Beras Varietas
Lokal. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Indrasti, Dias. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma
sagitifolium) dalam pembuatan cookis. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Jusuf, M., & Marzempi, M.S., 1993. Pengolahan palawija dalam pengembangan
agroindustri. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami, Solok.
Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi Kesahatan dan Produktifitas
Kerja). Jakarta : Rineka Cipta.
Koswara, Sutrisno. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Kurniawati dan Fitriyono. 2012. Pengaruh Subtitusi Tepung Terigu dengan
Tepung Tempe dan Tepung Ubi Jalar Kuning terhadap Kadar Protein,
Kadar - Karoten dan Mutu Organoleptik Roti Manis. Journal of Nutrition
College. Volume 1. Nomor 1. Hal 299- 312.
Lehninger A.L. 1982. Principles of Biochemistry (Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1)
Terjermahan: M. Theawijaya. Jakarta: Erlangga.
Mahmud, Mien dkk. 2004. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Elex
Media Komputindo
92
Mann, Jim and A. Stewart Truswell (ed). Essentials of human nutrition (Third
edition). London: Oxford University Press, 2007.
Mardiah, 1994. Sifat Fungsional & Nilai Gizi Tepung Tempe Serta
Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi
Anak. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Marinih. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan Tingkat Pedas
yang Berbeda. Semarang. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi.
Univeristas Negeri Semarang.
Meyes PA. Glukoneogenesis dan Pengontrolan Kadar Glukosa Darah. Dalam :
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper 25th
edition. Jakarta: EGC; 2003. Hal. 178-216.
Moehyi, S. 1997. Pengaturan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Muchtadi D. 2010. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Hal
20-160.
Munarso, S dan Haryanto, Bambang. 2012. Perkembangan Teknologi
Pengolahan Mie. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian dan Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri,
BPPT.
Paula Kartika Dewi. Pengaruh lama fermentasi dan suhu pengeringan terhadap
jumlah asam amino lisin dan karakter fisiko kimia tepung tempe. [skripsi].
Semarang: Fakultas Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang. 2006.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DMTipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB. PERKENI; 2006. Hal 3-14, 30-31.
PERKENI. 2002. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia
Permatasari, Siti. dkk. 2009. Pengaruh Rasio Tepung Talas dan Tepung Terigu
terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Mie Basah. ISBN 978-602-8659-
02-4. Prosiding Seminar Nasional FTP UNUD 2009.
Persatuan Diabetes Indonesia. 2011. Gambaran Kepatuhan Penderita Diabetes
Melitus dalam Menjalankan Diet.
[http://hstw4n.blogspot.com/2012/08/gambaran-kepatuhan-penderita
diabetes.html] diakses 17 Desember 2012.
93
Rahadiyanti, Ayu. 2011. Artikel Penelitian. Pengaruh Tempe Kedelai terhadap
Kadar Glukosa darah pada Prediabetes. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Rahmawati, Wida. Dkk. 2012. Karakterisasi Pati Talas ((Colocasia esculenta)
sebagai Alternative Sumber Pati Industri di Indonesia. Jurnal Teknologi
Kimia dan Industri, Vol 1. No. 1 Hal 347 351.
Richana, Widaningrum, Widowati S. 2008. Potensi Komoditas Harapan (Aneka
Umbi Lokal) dalam Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Teknologi
Pengolahan untuk Penganekaragaman Konsumsi Pangan. ISBN 978-979-
1116-14-5. Hlm 109-135. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Rimbawan, dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih
Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rustandi, Deddy. 2011. Produksi Mi. Solo : Metagraf
Sarwono,B.2003. Membuat Tempe Dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Ilmu Gizi utuk mahasiswa dan profesi jilid
1. Jakarta: Dian Rakyat.
Setianingrum, A.W. dan Marsono, 1999. Pengkayaan vitamin A dan vitamin E
dalam Pembuatan Mie instant Menggunakan Minyak Sawit Merah.
Kumpulan Penelitian Terbaik Bogasari 1998-2001, Jakarta.
Soegondo, Sidartawan. 2006. Diabetes, The Silent Killer.
http://medicastore.com/diabetes/2009. [27 November 2012].
Soekarto, Soewarno T. 1985. Penilaian Organoleptik Jakarta: Bhratara aksara.
Soenaryo, E., 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan
Makanan Pertanian. Liberty, Yogyakarta
Sulaeman, A, dkk. 1995. Metode Analisis Mutu kimia dan Komponen Kimia
Lainnya Dalam Makanan. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Suprapti,M.L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta.
94
Suyono S. DM di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4.
Jakarta : Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 1852-56.
Syahbania, Nur. 2012. Studi Pemanfaatan talas (Colocasia esculenta) sebagai
bahan pengisi dalam pembuatan es krim. Skripsi. Universitas Hasanuddin
Makasar.
Syarief, R dan A.Irawati.1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Ubaidillah, M., 2000. Penambahan Pengental pada Mie. Karya Ilmiah, F-MIPA,
USU, Medan.
Villegas R, Gao YT, Gong Y, Li HL, Elasy TA, Zheng W, et al. Legume and soy
food intake and the incidence of type 2 diabetes in the Shanghai Womens
Health Study. Am J Clin Nutr 2008;87:1627.
Waluyo, S. 2009. 100 Question&Answer Diabetes. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko K. Hasil Penelitian Indeks
Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. Hal 10-16.
Waspadji, S. dkk. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Balai Penerbit FK UI:
Jakarta.
Widowati, Sri. 2007. Sehat dengan Pangan Indks Glikemik Rendah. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No. 3.
Widyaningsih, T.B. dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.
Widyastuti, S.K., dkk. 2001. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sebagai
Model Diabetes Mellitus : Pengaruh Hiperglikemia pada Lipid Darah,
Serum Oksida, Nitrit, dan Tingkah Laku Monyet. Jurnal Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Vol 2 (2).
Winarno, F. G, 2012 dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Diabetes
dan Indeks Glikemik Penurunan Konsumsi Beras. Jakarta.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wirdayanti. 2012. Studi Pembuatan Mie Kering dengan Penambahan Pasta Ubi
Jalar, Pasta Kacang Tunggak dan Pasta Tempe Kacang Tunggak.
Skripsi. Teknologi Pertanian : Universitas Hasanuddin
95
Wiyono, Paulus. 2004. Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 sebagai Usaha
Menghambat Peningkatan Prevalensi dan Komplikasinya. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah
Mada.
Yitnosumarto, Suntoyo. 1993. Percobaan Perancangan Analisis dan
Interpretasinya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Yuwono. S. dan Tri Susanto. 2001. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi
Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya.
96
Lampiran 1. Syarat Mutu Mie Basah
MI BASAH
SNI 0128971992
1. Ruang Lingkup
Standar ini meliputi definisi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara
uji, syarat penandaan dan cara pengemasan mi basah.
2. Acuan
SNI 0102221995, Bahan Tambahan Makanan
SNI 1904281989, Petunjuk Pengambilan Contoh Padatan.
SNI 0128911992, Cara Uji Makanan dan Minuman.
SNI 0128941992, Cara Uji Bahan Tambahan Makanan/Bahan Perngawet.
SNI 0128951992, Cara Uji Pewarna Tambahan Makanan.
3. Definisi
Mi basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau
tanpa pengambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diijinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan.
4. Cara Pengambilan Contoh
Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 1904281989, Petunjuk
Pengambilan Contoh padatan.
5. Cara Uji
5.1. Keadaan
Cara uji keadaan sesuai dengan SNI 0128911992, Cara Uji Makanan
dan Minuman, butir 1.2.
5.2 Persiapan conoth untuk uji kimia
Cara persiapan contoh sesuai dengan SNi 0128911992, Cara Uji
Makanan dan Minuman Untuk Contoh Padatan, butir 4
5.3. Air
Cara uji air sesuai dengan SNI 0128911992, butir 5.1
5.4. Abu
Cara uji abu sesuai dengan SNI 0128911992, Cara Uji Makanan dan
Minuman, butir 6.1.
97
5.5. Protein
Cara uji protein sesuai dengan SNI 0128911992, Cara Uji Makanan
dan Minuman, butir 7.1.
5.6. Bahan tambahan makanan
5.6.1. Cara uji boraks dan asam borat sesuai dengan SNI 0128941992,
Cara uji Bahan Tambahan yang Dilarang untuk Makanan, butir 3.1.
5.6.2. Cara uji pewarna makanan sesuai dengan SNI 0128951992
5.6.3. Cara uji formalin sesuai dengan SNI 012894, Cara Uji untuk
Bahan untuk Bahan Tambahan Makanan yang Dilarang untuk
Makanan.
5.6.4. Cemaran logam
Cara uji cemaran logam sesuai dengan SNI 1928961992, Cara Uji
Cemaran Logam, butir 3.
5.6.5. Cemaran Arsen (As)
Cara uji cemaran arsen sesuai dengan SNI 1928961992, Cara Uji
Cemaran Logam, butir 6.
5.6.6. Cemaran Mikroba
Cara uji cemaran mikroba sesuai dengan SNI 1928971992, Cara
Uji Cemaran Mikroba.
6. Syarat Penandaan
Sesuai dengan Dep. Kes. R.I. yang belaku tentang label dan periklanan
makanan.
8. Syarat Pengemasan
Mi basah dikemas dalam wadah yang baik dan dapat melindungi isi dari
pencemaran tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi.
98
8. Syarat Mutu
Syarat mutu mi basah sesuai dengan Tabel di bawah ini :
Tabel Syarat mutu mi basah
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
1.1 Bau Normal
1.2 Rasa Normal
1.3 Warna Normal
2 Air %b/b 20 - 35
3 Abu (dihitung atas dasar bahan kering %b/b Maks. 3
4 Protein (N x 6.25) (dihitung atas dasar
bahan kering)
% b/b Min. 8
5 Bahan tambahan makanan
5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada
5.2 Pewarna Tidak boleh ada
5.3 Formalin Tidak boleh ada
6 Cemaran logam
6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 1.0
6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10
6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40
6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05
7 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5
8 Cemaran Mikroba
8.1 Angka lempeng total Koloni/ g Maks. 10
6
8.2 E. coli APM/g Maks. 10
8.3 Kapang Koloni/ g Maks. 1 x 10
4
99
Lampiran 2. Gambar Randomisasi dan Penentuan Desain Lay Out
Besar unit penelitian mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan
perlakuan, maka dalam penempatan unit penelitian digunakan randomisasi atau
pengacakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memberi nomor urut pada semua unit penelitian, yaitu 1 - 12
b. Mengambil bilangan random dari kalkulator menggunakan 3 digit sebanyak
jumlah unit penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1.
c. Memberi ranking pada bilangan random yang diperoleh (Gambar 4.1).
1
158
1
2
378
3
3
495
7
4
460
6
5
897
11
6
915
12
7
385
4
8
530
8
9
264
2
10
615
10
11
443
5
12
554
9
Baris pertama : Nomor urut (Penempatan Unit Penelitian sebelum Randomisasi)
Baris kedua : Bilangan Random
Baris Ketiga : Ranking (Penempatan Unit Penelitian setelah Randomisasi)
Gambar 4.1 Nomor urut, Bilangan Random, dan Ranking
d. Dengan menggunakan prinsip permutasi sederhana, maka nomor ranking dapat
dianggap mewakili nomor urut sesuai dengan jumlah unit penelitian. Dengan
demikian taraf perlakuan P
0
akan diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit
penelitian nomor 1, 9, dan 2. Taraf perlakuan P
1
akan diulang 3 kali dan
ditempatkan pada unit penelitian nomor 7, 11, dan 4. Taraf perlakuan P
2
akan
diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit penelitian 3, 8, dan 12. Taraf
perlakuan P
3
akan diulang 3 kali dan ditempatkan pada unit penelitian 10, 5,
dan 6.
e. Memasukkan unit penelitian dalam lay out.
Urutan 1 ditempati oleh unit penelitian X
01
, urutan 2 ditempati oleh unit
penelitian X
03
, urutan 3 ditempati oleh unit penelitian X
21
, dan seterusnya
sampai urutan 12 ditempati unit penelitian X
23.
100
Lampiran 3. Formulir Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test)
Formulir Uji Skala Kesukaan (Hedonic Scale Test)
Nama Panelis :
Tanggal :
Contoh : Mie Basah bagi penderita Diabetes Mellitus
Instruksi : Dihadapan Saudara disajikan contoh Mie Basah. Saudara
diminta untuk memberikan penilaian terhadap tekstur, aroma, warna, dan rasa
dengan menggunakan skala penilaian sebagai berikut :
4 = Sangat Suka
3 = Suka
2 = Tidak Suka
1 = Sangat Tidak Suka
Setelah saudara mencicipi salah satu sampel saudara diminta berkumur
dengan air putih yang telah disediakan sebelum mencicipi sampel yang lain.
Selain itu saudara juga diminta memberikan kritik dan saran.
Kode
Sampel
Kriteria Penilaian
Tekstur Aroma Warna Rasa
385
460
158
264
Kritik dan Saran:
Terima Kasih Atas Partisipasinya.
101
Lampiran 4. Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
Panelis :
Tanggal :
Produk : Mie Basah bagi penderita Diabetes Melitus
Saudara diminta untuk mengemukakan pendapat tentang variabel yang
terpenting untuk menentukan Parameter Mutu Produk. Dengan cara merangking
(mengurutkan) 9 variabel dari tertinggi ke terendah dengan mencantumkan 1-9.
Angka terendah untuk variabel kurang penting dan angka tertinggi untuk variabel
yang terpenting. Pemberian nilai boleh sama apabila dirasa variabel yang dinilai,
sama penting.
Variabel Rangking
Nilai energi
Kadar karbohidrat
Kadar protein
Kadar serat
Kadar gula reduksi
Kadar lemak
Kadar air
Kadar abu
Elastisitas
Daya putus
Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Terima Kasih Atas Partisipasinya
102
Lampiran 5. Daftar Indeks Glikemik Bahan Pangan
Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pangan
No. Jenis/Nama Pangan Indeks glikemik
I.
Kue-kue
Kue pisang (dengan gula)
Kue bolu (plain)
Donat
39 - 55
40 - 52
76
II.
Minuman
Soft drink
Yakult
Jus tomat (tanpa gula)
46 - 74
40 - 52
34 42
III.
Roti
Oat bread
Roti tepung beras
roti tepung terigu
60
63 - 81
50 56
IV.
Biji Serealia
Barley
Jagung (USA)
Beras putih (Oryza sativa)
Tepung terigu
24 - 26
60
54 84
42
V.
Buah
Apel
Pisang
Semangka
Papaya
Nanas
36 - 40
46 - 51
59 - 85
58 - 60
51 67
VI.
Sayur dan Umbi
Wortel
Kentang rebus
Ubi jalar
Talas (Colocasia esculenta)
Yam (mbote)
Ubi kayu
31 - 63
41 - 59
54 - 68
44 - 68
29 - 45
46
VII.
Kacang-kacangan
Kacang kedelai
Kacang hijau
Kacang polong
Kacang merah
Kacang tanah
15 - 21
32
22
27
23
VIII.
Snack
pop corn
potato crispy (Kanada)
48 - 62
44 58
Sumber : Foster-Powel K,dkk (2002) dan Marsono, dkk (2002) dalam Rimbawan
(2004).`
103
Lampiran 6. Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik
No Variabel
Panelis
Jumlah Rata-Rata Ranking BV
1 2 3 4 5 6 7
1 Nilai Energi 13 10 10 11 12 12 11 79 11.3 4 0.84
2 KH 14 14 14 14 14 12 11 93 13.3 1 0.99
3 Protein 12 10 11 10 11 10 9 73 10.4 5 0.78
4 Serat Kasar 11 14 13 13 14 11 12 88 12.6 3 0.94
5 Lemak 8 10 11 12 14 9 6 70 10.0 9 0.75
6 Air 7 10 6 4 10 9 5 51 7.3 14 0.54
7 Abu 7 10 10 5 10 9 4 55 7.9 13 0.59
8 Gula reduksi 12 14 12 14 14 11 14 91 13.0 2 0.97
9 Elastisitas 10 12 7 7 11 12 14 73 10.4 6 0.78
10 Daya putus 9 12 7 6 11 12 13 70 10.0 10 0.75
11 Warna 6 10 8 8 9 10 9 60 8.6 11 0.64
12 Aroma 6 10 7 10 9 9 8 59 8.4 12 0.63
13 Rasa 13 10 9 10 10 9 10 71 10.1 8 0.76
14 Tekstur 11 12 8 9 11 9 12 72 10.3 7 0.77
104
Perlakuan Energi KH Protein Lemak Air Abu
Gula
Reduksi Elastisitas
Daya
Putus Serat Warna Aroma Rasa Tekstur
P0 288.0 51.59 9.76 4.73 31.95 1.10 0.248 43.33 2.53 0.87 3.2 2.6 2.6 2.6
P1 261.0 42.97 10.75 5.13 38.48 1.07 0.200 38.89 0.80 1.60 2.8 2.6 2.5 2.4
P2 259.0 40.53 11.43 5.67 39.27 1.39 0.193 21.11 0.53 1.71 2.5 2.9 2.3 2.7
P3 252.0 37.41 11.91 6.07 41.20 1.55 0.173 20.00 0.73 1.86 2.4 2.6 2.4 2.4
Min 288.0 51.59 9.76 4.73 31.95 1.07 0.248 20.00 0.53 0.87 2.4 2.6 2.3 2.4
Max 252.0 37.41 11.91 6.07 41.20 1.55 0.173 43.33 2.53 1.86 3.2 2.9 2.6 2.7
Max -
Min [-36.0] [-14.2] 2.2 1.3 9.3 0.5 [-0.1] 23.3 2.0 1.0 0.8 0.3 0.3 0.3
105
Hasil Penentuan Taraf Perlakuan Terbaik Tiap Taraf Perlakuan
No Variabel BV BN
Perlakuan
P0 P1 P2 P3
NE NH NE NH NE NH NE NH
1 Nilai Energi 0.85 0.08 0.00 0.00 0.75 0.06 0.81 0.07 1.00 0.08
2 KH 1.00 0.10 0.00 0.00 0.61 0.06 0.78 0.07 1.00 0.10
3 Protein 0.79 0.08 0.00 0.00 0.46 0.03 0.78 0.06 1.00 0.08
4 Lemak 0.76 0.07 0.00 0.00 0.30 0.02 0.70 0.05 1.00 0.07
5 Air 0.48 0.05 0.00 0.00 0.71 0.03 0.79 0.04 1.00 0.05
6 Abu 0.54 0.05 0.06 0.00 0.00 0.00 0.67 0.03 1.00 0.05
7 Gula reduksi 0.99 0.09 0.00 0.00 0.64 0.06 0.73 0.07 1.00 0.09
8 Elastisitas 0.73 0.07 1.00 0.07 0.81 0.06 0.05 0.00 0.00 0.00
9 Daya putus 0.69 0.07 1.00 0.07 0.14 0.01 0.00 0.00 0.10 0.01
10 Serat Kasar 0.94 0.09 0.00 0.00 0.74 0.07 0.85 0.08 1.00 0.09
11 Warna 0.60 0.06 1.00 0.06 0.50 0.03 0.13 0.01 0.00 0.00
12 Aroma 0.60 0.06 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.06 0.00 0.00
13 Rasa 0.78 0.07 1.00 0.07 0.67 0.05 0.00 0.00 0.33 0.02
14 Tekstur 0.76 0.07 0.67 0.05 0.00 0.00 1.00 0.07 0.00 0.00
Jumlah 10.51
0.32
0.48
0.60
0.64
106
Lampiran 7. Data Organoleptik Mie Basah Tanpa Bumbu
Panelis
Tekstur Aroma Warna
Rasa
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
1 2 3 3 2 3 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3 2
2 3 2 3 3 3 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2
3 3 3 4 2 3 3 3 3 4 2 3 1 3 2 2 1
4 3 3 3 2 2 1 2 3 3 3 3 3 1 1 2 2
5 2 2 3 3 3 2 4 1 3 2 2 3 3 1 1 1
6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3
7 3 2 2 3 3 2 4 3 4 2 2 2 3 3 3 2
8 3 2 2 2 3 4 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2
9 2 4 3 3 3 3 4 3 4 3 1 1 3 3 3 3
10 3 1 2 3 1 3 1 2 4 3 2 2 3 2 2 3
11 3 1 2 3 1 3 1 2 3 3 2 1 3 2 2 3
12 3 2 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 3 3
13 2 2 2 2 3 3 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2
14 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3
15 2 3 3 3 2 2 4 3 2 2 3 3 3 2 2 3
16 2 2 3 3 3 2 2 4 2 3 3 4 2 2 2 3
17 3 1 2 2 3 3 3 2 4 3 2 3 3 2 2 2
18 4 3 2 1 2 3 4 1 3 3 3 2 2 4 3 1
19 2 3 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 1 2 2 2
20 2 3 3 2 4 4 4 4 3 3 3 2 4 4 3 4
Jumlah 52 48 55 49 53 53 57 52 64 56 50 47 53 49 47 47
Rata-
Rata 2.6 2.4 2.7 2.4 2.6 2.6 2.9 2.6 3.2 2.8 2.5 2.4 2.6 2.5 2.3 2.4
Median 3 2.5 3 2.5 3 3 3 3 3 3 2.5 2 3 2 2 2
Modus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2
107
Lampiran 8. Data Organoleptik Mie Basah Dengan Bumbu
Panelis
Tekstur Aroma Warna Rasa
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P
0
P
1
P
2
P
3
P0 P
1
P
2
P
3
1 2 3 3 2 4 4 4 4 3 2 2 3 3 4 3 3
2 2 3 3 2 3 4 2 1 3 3 3 2 1 3 4 2
3 2 3 3 3 2 3 2 3 3 4 3 3 1 3 2 3
4 2 2 3 2 4 3 3 3 3 4 2 2 4 1 3 3
5 3 3 4 3 3 2 3 3 4 4 4 4 3 3 3 3
6 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3
7 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3
8 3 3 3 3 1 3 4 4 3 3 3 3 2 1 3 4
9 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3
10 3 2 4 1 3 3 2 3 4 4 4 4 3 3 3 3
11 3 3 2 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3
12 4 3 2 2 3 3 3 3 4 3 4 4 2 2 4 2
13 2 3 4 4 3 3 3 3 1 2 3 4 3 3 3 2
14 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 2 3 3
15 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 2 3
16 2 2 3 2 4 4 3 2 2 3 3 3 3 3 4 3
17 2 2 4 2 3 3 3 3 4 3 4 2 3 2 1 2
18 3 3 2 3 4 3 3 2 2 3 2 3 4 3 2 2
19 3 2 4 3 3 3 2 2 1 3 4 2 3 3 3 2
20 3 2 2 2 3 3 4 4 2 3 3 3 3 3 2 3
Jumlah 52 51 60 51 61 63 58 57 57 62 61 61 55 51 57 55
Rata-
Rata 2.6 2.6 3 2.6 3 3.2 2.9 2.9 2.9 3.1 3 3 2.8 2.6 2.9 2.8
Median 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Modus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
108
Lampiran 9. Hasil Analisis Mutu Kimia dan Fisik Mie Basah Pasta Talas
Belitung
Hasil Analisis Mutu Kimia (Kadar Air, Kadar Abu, Protein, Lemak, dan Gula
Reduksi) di Laboratorium Kimia Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang
Kode
Taraf
Perlakuan
Kadar (g/100 g)
Air Abu Protein Lemak
Gula Reduksi
554 2
38.4
0.95 10.92
5.2
0.223
615 1
42.1
0.92 10.93
4.8
0.189
530 2
41.2
1.39 11.44
6
0.169
443 1
33.0
1.38 10.42
5.2
0.197
158 0
33.5
1.43 9.93
4.6
0.288
264 1
40.4
0.91 10.91
5.4
0.215
897 3
45.0
0.96 11.42
6
0.190
385 2
38.2
1.83 11.92
5.8
0.186
460 3
37.8
1.85 11.90
6
0.153
495 0
30.2
0.93 9.43
5
0.212
378 0
32.1
0.94 9.92
4.6
0.243
915 3
40.8
1.83 12.40
6.2
0.175
109
Pembuatan Kurva Standart Gula Reduksi
Rumus Mencari Kurva Standart ( y = c + x)
X C B x Y
0.02 0.0917 2.185 0.0437 0.1354
0.04 0.0917 2.185 0.0874 0.1791
0.06 0.0917 2.185 0.1311 0.2228
0.08 0.0917 2.185 0.1748 0.2665
0.1 0.0917 2.185 0.2185 0.3102
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
1 2 3 4 5
KURVA GULA REDUKSI STANDART
Y
Blanko X Y Xi = x- xj Yi = y- yj Xi . Yi Xi2
1 0.02 0.166 -0.04 -0.0568 0.002272 0.0016
2 0.04 0.187 -0.02 -0.0358 0.000716 0.0004
3 0.06 0.145 0 -0.0778 0 0
4 0.08 0.276 0.02 0.0532 0.001064 0.0004
5 0.1 0.34 0.04 0.1172 0.004688 0.0016
Jumlah 0.3 1.114
0.00874 0.004
Rata- rata 0.06 0.2228
= Xi . Yi 2.185
Xi
2
C = y - (.x)
hasil . X
0.2228 - (2.185 X 0.06 ) 0.1311
Hasil C = 0.0917
110
Tabel Lampiran 1. Kadar Air Mie Basah
Descriptives
Air
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 31.9333 1.65630 .95627 27.8189 36.0478 30.20 33.50
P1 3 38.5000 4.83839 2.79344 26.4808 50.5192 33.00 42.10
P2 3 39.2667 1.67730 .96839 35.1000 43.4333 38.20 41.20
P3 3 41.2000 3.61663 2.08806 32.2158 50.1842 37.80 45.00
Total 12 37.7250 4.57148 1.31967 34.8204 40.6296 30.20 45.00
ANOVA
Air
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 145.789 3 48.596 4.623 .037
Within Groups 84.093 8 10.512
Total 229.882 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Air
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -6.56667
*
2.64722 .038 -12.6712 -.4622
P2 -7.33333
*
2.64722 .024 -13.4378 -1.2288
P3 -9.26667
*
2.64722 .008 -15.3712 -3.1622
P1 P0 6.56667
*
2.64722 .038 .4622 12.6712
P2 -.76667 2.64722 .779 -6.8712 5.3378
P3 -2.70000 2.64722 .338 -8.8045 3.4045
P2 P0 7.33333
*
2.64722 .024 1.2288 13.4378
P1 .76667 2.64722 .779 -5.3378 6.8712
P3 -1.93333 2.64722 .486 -8.0378 4.1712
P3 P0 9.26667
*
2.64722 .008 3.1622 15.3712
P1 2.70000 2.64722 .338 -3.4045 8.8045
P2 1.93333 2.64722 .486 -4.1712 8.0378
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
111
Tabel Lampiran 2. Kadar Abu Mie Basah
Descriptives
Abu
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 1.1000 .28583 .16503 .3900 1.8100 .93 1.43
P1 3 1.0700 .26851 .15503 .4030 1.7370 .91 1.38
P2 3 1.3900 .44000 .25403 .2970 2.4830 .95 1.83
P3 3 1.5467 .50817 .29339 .2843 2.8090 .96 1.85
Total 12 1.2767 .39200 .11316 1.0276 1.5257 .91 1.85
ANOVA
Abu
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups .479 3 .160 1.055 .420
Within Groups 1.211 8 .151
Total 1.690 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Abu
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 .03000 .31771 .927 -.7026 .7626
P2 -.29000 .31771 .388 -1.0226 .4426
P3 -.44667 .31771 .197 -1.1793 .2860
P1 P0 -.03000 .31771 .927 -.7626 .7026
P2 -.32000 .31771 .343 -1.0526 .4126
P3 -.47667 .31771 .172 -1.2093 .2560
P2 P0 .29000 .31771 .388 -.4426 1.0226
P1 .32000 .31771 .343 -.4126 1.0526
P3 -.15667 .31771 .635 -.8893 .5760
P3 P0 .44667 .31771 .197 -.2860 1.1793
P1 .47667 .31771 .172 -.2560 1.2093
P2 .15667 .31771 .635 -.5760 .8893
112
Tabel Lampiran 3. Kadar Protein Mie Basah
Descriptives
Protein
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 9.7600 .28583 .16503 9.0500 10.4700 9.43 9.93
P1 3 10.7533 .28885 .16677 10.0358 11.4709 10.42 10.93
P2 3 11.4267 .50013 .28875 10.1843 12.6691 10.92 11.92
P3 3 11.9067 .49003 .28292 10.6894 13.1240 11.42 12.40
Total 12 10.9617 .90958 .26257 10.3837 11.5396 9.43 12.40
ANOVA
Protein
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.790 3 2.597 15.848 .001
Within Groups 1.311 8 .164
Total 9.101 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Protein
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -.99333
*
.33050 .017 -1.7555 -.2312
P2 -1.66667
*
.33050 .001 -2.4288 -.9045
P3 -2.14667
*
.33050 .000 -2.9088 -1.3845
P1 P0 .99333
*
.33050 .017 .2312 1.7555
P2 -.67333 .33050 .076 -1.4355 .0888
P3 -1.15333
*
.33050 .008 -1.9155 -.3912
P2 P0 1.66667
*
.33050 .001 .9045 2.4288
P1 .67333 .33050 .076 -.0888 1.4355
P3 -.48000 .33050 .184 -1.2421 .2821
P3 P0 2.14667
*
.33050 .000 1.3845 2.9088
P1 1.15333
*
.33050 .008 .3912 1.9155
P2 .48000 .33050 .184 -.2821 1.2421
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
113
Tabel Lampiran 4. Kadar Lemak Mie Basah
Descriptives
Lemak
N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 4.7333 .23094 .13333 4.1596 5.3070 4.60 5.00
P1 3 5.1333 .30551 .17638 4.3744 5.8922 4.80 5.40
P2 3 5.6667 .41633 .24037 4.6324 6.7009 5.20 6.00
P3 3 6.0667 .11547 .06667 5.7798 6.3535 6.00 6.20
Total 12 5.4000 .58465 .16877 5.0285 5.7715 4.60 6.20
ANOVA
Lemak
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3.093 3 1.031 12.373 .002
Within Groups .667 8 .083
Total 3.760 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Lemak
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -.40000 .23570 .128 -.9435 .1435
P2 -.93333
*
.23570 .004 -1.4769 -.3898
P3 -1.33333
*
.23570 .000 -1.8769 -.7898
P1 P0 .40000 .23570 .128 -.1435 .9435
P2 -.53333 .23570 .053 -1.0769 .0102
P3 -.93333
*
.23570 .004 -1.4769 -.3898
P2 P0 .93333
*
.23570 .004 .3898 1.4769
P1 .53333 .23570 .053 -.0102 1.0769
P3 -.40000 .23570 .128 -.9435 .1435
P3 P0 1.33333
*
.23570 .000 .7898 1.8769
P1 .93333
*
.23570 .004 .3898 1.4769
P2 .40000 .23570 .128 -.1435 .9435
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
114
Tabel Lampiran 5. Kadar Serat Mie Basah
Descriptives
Serat
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 .8667 .08505 .04910 .6554 1.0779 .78 .95
P1 3 1.5967 .42477 .24524 .5415 2.6519 1.14 1.98
P2 3 1.7067 .27062 .15624 1.0344 2.3789 1.41 1.94
P3 3 1.8567 .14012 .08090 1.5086 2.2047 1.70 1.97
Total 12 1.5067 .45743 .13205 1.2160 1.7973 .78 1.98
ANOVA
Serat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.741 3 .580 8.273 .008
Within Groups .561 8 .070
Total 2.302 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Serat
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 -.73000
*
.21623 .010 -1.2286 -.2314
P2 -.84000
*
.21623 .005 -1.3386 -.3414
P3 -.99000
*
.21623 .002 -1.4886 -.4914
P1 P0 .73000
*
.21623 .010 .2314 1.2286
P2 -.11000 .21623 .625 -.6086 .3886
P3 -.26000 .21623 .264 -.7586 .2386
P2 P0 .84000
*
.21623 .005 .3414 1.3386
P1 .11000 .21623 .625 -.3886 .6086
P3 -.15000 .21623 .508 -.6486 .3486
P3 P0 .99000
*
.21623 .002 .4914 1.4886
P1 .26000 .21623 .264 -.2386 .7586
P2 .15000 .21623 .508 -.3486 .6486
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
115
Tabel Lampiran 6. Kadar Gula Reduksi Mie Basah
Descriptives
Glukosa
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 .24767 .038214 .022063 .15274 .34260 .212 .288
P1 3 .20033 .013317 .007688 .16725 .23341 .189 .215
P2 3 .19267 .027610 .015941 .12408 .26125 .169 .223
P3 3 .17267 .018610 .010745 .12644 .21890 .153 .190
Tota
l
12 .20333 .036405 .010509 .18020 .22646 .153 .288
ANOVA
Glukosa
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .009 3 .003 4.411 .041
Within Groups .005 8 .001
Total .015 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Glukosa
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 .047333 .021394 .058 -.00200 .09667
P2 .055000
*
.021394 .033 .00566 .10434
P3 .075000
*
.021394 .008 .02566 .12434
P1 P0 -.047333 .021394 .058 -.09667 .00200
P2 .007667 .021394 .729 -.04167 .05700
P3 .027667 .021394 .232 -.02167 .07700
P2 P0 -.055000
*
.021394 .033 -.10434 -.00566
P1 -.007667 .021394 .729 -.05700 .04167
P3 .020000 .021394 .377 -.02934 .06934
P3 P0 -.075000
*
.021394 .008 -.12434 -.02566
P1 -.027667 .021394 .232 -.07700 .02167
P2 -.020000 .021394 .377 -.06934 .02934
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
116
Tabel Lampiran 7. Kadar Karbohidrat Mie Basah
Descriptives
Karbohidrat
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0 3 51.4367 2.14050 1.23582 46.1194 56.7540 49.27 53.55
P1 3 42.9467 4.47135 2.58153 31.8392 54.0541 39.58 48.02
P2 3 40.5433 2.20998 1.27594 35.0534 46.0332 38.20 42.59
P3 3 37.4233 3.21612 1.85683 29.4340 45.4126 33.94 40.28
Total 12 43.0875 6.06372 1.75045 39.2348 46.9402 33.94 53.55
ANOVA
Karbohidrat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 324.852 3 108.284 10.882 .003
Within Groups 79.604 8 9.951
Total 404.456 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Karbohidrat
LSD
(I)
Perlaku
an
(J)
Perlaku
an
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 8.49000
*
2.57559 .011 2.5507 14.4293
P2 10.89333
*
2.57559 .003 4.9540 16.8327
P3 14.01333
*
2.57559 .001 8.0740 19.9527
P1 P0 -8.49000
*
2.57559 .011 -14.4293 -2.5507
P2 2.40333 2.57559 .378 -3.5360 8.3427
P3 5.52333 2.57559 .064 -.4160 11.4627
P2 P0 -10.89333
*
2.57559 .003 -16.8327 -4.9540
P1 -2.40333 2.57559 .378 -8.3427 3.5360
P3 3.12000 2.57559 .260 -2.8193 9.0593
P3 P0 -14.01333
*
2.57559 .001 -19.9527 -8.0740
P1 -5.52333 2.57559 .064 -11.4627 .4160
P2 -3.12000 2.57559 .260 -9.0593 2.8193
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
117
Tabel Lampiran 8. Nilai Energi Mie Basah
Descriptives
Energi
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound
Upper
Bound
P0
3 2.8807E2 6.83805 3.94795 271.0800 305.0533 281.80 295.36
P1
3 2.6100E2 17.96401 10.37153 216.3749 305.6251 245.24 280.56
P2
3 2.5888E2 5.60328 3.23506 244.9607 272.7993 252.56 263.24
P3
3 2.5192E2 12.58005 7.26309 220.6694 283.1706 239.36 264.52
Total
12 2.6497E2 17.55008 5.06627 253.8159 276.1175 239.36 295.36
ANOVA
Energi
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
2269.822 3 756.607 5.413 .025
Within Groups
1118.238 8 139.780
Total
3388.060 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Energi
LSD
(I)
Perlakua
n
(J)
Perlakua
n
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 27.06667
*
9.65331 .023 4.8061 49.3273
P2 29.18667
*
9.65331 .016 6.9261 51.4473
P3 36.14667
*
9.65331 .006 13.8861 58.4073
P1 P0 -27.06667
*
9.65331 .023 -49.3273 -4.8061
P2 2.12000 9.65331 .832 -20.1406 24.3806
P3 9.08000 9.65331 .374 -13.1806 31.3406
P2 P0 -29.18667
*
9.65331 .016 -51.4473 -6.9261
P1 -2.12000 9.65331 .832 -24.3806 20.1406
P3 6.96000 9.65331 .491 -15.3006 29.2206
P3 P0 -36.14667
*
9.65331 .006 -58.4073 -13.8861
P1 -9.08000 9.65331 .374 -31.3406 13.1806
P2 -6.96000 9.65331 .491 -29.2206 15.3006
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
118
Tabel Lampiran 9. Elastisitas Mie Basah
Descriptives
Elastisitas
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
P0
3 43.3333 3.33500 1.92546 35.0487 51.6179 40.00 46.67
P1
3 38.8867 5.09211 2.93993 26.2372 51.5362 33.33 43.33
P2
3 21.1100 11.70454 6.75762 -7.9657 50.1857 10.00 33.33
P3
3 20.0000 3.33000 1.92258 11.7278 28.2722 16.67 23.33
Total
12 30.8325 12.31889 3.55616 23.0055 38.6595 10.00 46.67
ANOVA
Elastisitas
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups
1299.031 3 433.010 9.355 .005
Within Groups
370.274 8 46.284
Total
1669.306 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Elastisitas
LSD
(I)
Perlakua
n
(J)
Perlakua
n
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1
4.44667 5.55483 .447 -8.3628 17.2561
P2 22.22333
*
5.55483 .004 9.4139 35.0328
P3 23.33333
*
5.55483 .003 10.5239 36.1428
P1 P0
-4.44667 5.55483 .447 -17.2561 8.3628
P2 17.77667
*
5.55483 .013 4.9672 30.5861
P3 18.88667
*
5.55483 .009 6.0772 31.6961
P2 P0
-22.22333
*
5.55483 .004 -35.0328 -9.4139
P1 -17.77667
*
5.55483 .013 -30.5861 -4.9672
P3 1.11000 5.55483 .847 -11.6995 13.9195
P3 P0
-23.33333
*
5.55483 .003 -36.1428 -10.5239
P1 -18.88667
*
5.55483 .009 -31.6961 -6.0772
P2 -1.11000 5.55483 .847 -13.9195 11.6995
. The mean difference is significant at the 0.05 level.
119
Tabel Lampiran 10. Daya Putus Mie Basah
Descriptives
Putus
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval
for Mean
Minimum Maximum
Lower
Bound Upper Bound
P0 3 2.5333 .32146 .18559 1.7348 3.3319 2.30 2.90
P1 3 .8000 .00000 .00000 .8000 .8000 .80 .80
P2 3 .5333 .20817 .12019 .0162 1.0504 .30 .70
P3 3 .7333 .15275 .08819 .3539 1.1128 .60 .90
Total 12 1.1500 .85865 .24787 .6044 1.6956 .30 2.90
ANOVA
Putus
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.770 3 2.590 60.941 .000
Within Groups .340 8 .043
Total 8.110 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Putus
LSD
(I)
Perlakua
n
(J)
Perlakua
n
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
P0 P1 1.73333
*
.16833 .000 1.3452 2.1215
P2 2.00000
*
.16833 .000 1.6118 2.3882
P3 1.80000
*
.16833 .000 1.4118 2.1882
P1 P0 -1.73333
*
.16833 .000 -2.1215 -1.3452
P2 .26667 .16833 .152 -.1215 .6548
P3 .06667 .16833 .702 -.3215 .4548
P2 P0 -2.00000
*
.16833 .000 -2.3882 -1.6118
P1 -.26667 .16833 .152 -.6548 .1215
P3 -.20000 .16833 .269 -.5882 .1882
P3 P0 -1.80000
*
.16833 .000 -2.1882 -1.4118
P1 -.06667 .16833 .702 -.4548 .3215
P2 .20000 .16833 .269 -.1882 .5882
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
120
Tabel Lampiran 11.1 Warna Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Warna P0 20 53.78
P1 20 42.85
P2 20 34.45
P3 20 30.92
Total 80
Test Statistics
a,b
Warna
Chi-Square 13.363
Df 3
Asymp. Sig. .004
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Mann-Whitney Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P0
20 23.60 472.00
P1 20 17.40 348.00
Total 40
Test Statistics
b
Warna
Mann-Whitney U 138.000
Wilcoxon W 348.000
Z -1.862
Asymp. Sig. (2-tailed) .063
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .096
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
121
Mann-Whitney Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P0 20 25.40 508.00
P2 20 15.60 312.00
Total 40
Test Statistics
b
Warna
Mann-Whitney U 102.000
Wilcoxon W 312.000
Z -2.861
Asymp. Sig. (2-tailed) .004
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .007
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
Mann-Whitney Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P0 20 25.78 515.50
P3 20 15.22 304.50
Total 40
Test Statistics
b
Warna
Mann-Whitney U 94.500
Wilcoxon W 304.500
Z -3.012
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.004
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
122
Mann-Whitney Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P1
20 22.80 456.00
P2 20 18.20 364.00
Total 40
Test Statistics
b
Warna
Mann-Whitney U 154.000
Wilcoxon W 364.000
Z -1.389
Asymp. Sig. (2-tailed) .165
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.221
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
Mann-Whitney Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P1
20 23.65 473.00
P3 20 17.35 347.00
Total 40
Test Statistics
b
Warna
Mann-Whitney U 137.000
Wilcoxon W 347.000
Z -1.843
Asymp. Sig. (2-tailed) .065
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.091
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
123
Mann-Whitney Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
Warna P2 20 21.65 433.00
P3 20 19.35 387.00
Total 40
Test Statistics
b
Warna
Mann-Whitney U 177.000
Wilcoxon W 387.000
Z -.673
Asymp. Sig. (2-tailed) .501
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.547
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Perlakuan
124
Tabel Lampiran 11.2 Warna Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Warna P0 20 37.32
P1 20 42.40
P2 20 41.20
P3 20 41.08
Total 80
Test Statistics
a,b
Warna
Chi-Square .653
Df 3
Asymp. Sig.
.884
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
125
Tabel Lampiran 12. 1 Aroma Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Aroma P0 20 40.02
P1 20 44.85
P2 20 38.92
P3 20 38.20
Total 80
Test Statistics
a,b
Aroma
Chi-Square 1.171
Df 3
Asymp. Sig. .760
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Tabel Lampiran 12.2 Aroma Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Aroma P0 20 46.40
P1 20 39.20
P2 20 38.70
P3 20 37.70
Total 80
Test Statistics
a,b
Aroma
Chi-Square 2.164
Df 3
Asymp. Sig. .539
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
126
Tabel Lampiran 13.1 Rasa Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Rasa P0
20 47.45
P1 20 38.75
P2 20 37.65
P3 20 38.15
Total 80
Test Statistics
a,b
Rasa
Chi-Square 2.806
Df 3
Asymp. Sig. .422
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
Tabel Lampiran 13.2 Rasa Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Rasa P0
20 42.10
P1 20 35.60
P2 20 44.10
P3 20 40.20
Total 80
Test Statistics
a,b
Rasa
Chi-Square 1.941
Df 3
Asymp. Sig. .585
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan
127
Tabel Lampiran 14.1 Tekstur Mie Basah Sebelum Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
tekstur P0 20 46.10
P1 20 41.40
P2 20 37.60
P3 20 36.90
Total 80
Test Statistics
a,b
Tekstur
Chi-Square 2.445
Df 3
Asymp. Sig. .485
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Tabel Lampiran 14.2 Tekstur Mie Basah Setelah Menjadi Hidangan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Tekstur P0 20 40.00
P1 20 38.00
P2 20 37.20
P3 20 36.80
Total 80
Test Statistics
a,b
Tekstur
Chi-Square 5.5514
Df 3
Asymp. Sig. .135
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Perlakuan