Laporan Kesuburan

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 32

LAPORAN AKHIR

KESUBURAN TANAH DAN PEMUPUKAN

Oleh:

RAMOT JEVON SILALAHI


NIM. 1506120472

AGROTEKNOLOGI-B

Asisten:
EKA LUPITA SARI

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menyediakan unsur hara

yang dibutuhkan oleh tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan

reproduksinya. Unsur hara dalam bentuk nutrisi dapat diserap oleh tanaman

melalui akar. Nutrisi dapat diartikan sebagai proses untuk memperoleh nutrien,

sedangkan nutrien dapat diartikan sebagai zat-zat yang diperlukan untuk

kelangsungan hidup tanaman berupa mineral dan air (Hardjowigeno, 2003)

Nutrisi di dalam tanah diserap tanaman agar dapat tumbuh dengan baik.

Penyediaan nutrisi bagi tanaman dapat dilakukan dengan penambahan pupuk yang

merupakan kunci dari kesuburan tanah. Nutrisi yang biasanya dibutuhkan oleh

tumbuhan tidak terlepas dari tiga unsur hara, yaitu Nitrogen (N), fosfor (P), dan

kalium (K). Peranan ketiga unsur hara (N, P, dan K) sangat penting dan

mempunyai fungsi yang saling mendukung satu sama lain dalam proses

pertumbuhan dan produksi tanaman.

Terung (Solanum melongena L) merupakan sejenis tumbuhan yang

dikenal sebagai sayur-sayuran dan ditanam untuk dimanfaatkan sebagai bahan

makanan. Secara umum ciri fisik terung berbentuk bulat/lonjong, panjang, warna

buah ungu, berkulit mulus, dengan tangkai buah yang besar sesuai dengan ukuran

buahnya. Kendala yang umumnya terjadi dalam budidaya di lapangan adalah

tanah marginal yang memiliki beberapa masalah yang menjadi faktor pembatas.

Tanah marginal adalah tanah sub-optimum yang potensial untuk pertanian

baik untuk tanaman kebun, hutan, ataupun pangan. Tetapi secara alami kesuburan
an tanah marginal ini tergolong rendah yang ditunjukkan oleh tingkat keasaman

yang tinggi, ketersediaan hara yang rendah, kejenuhan, dan basa-basa dapat

dipertukarkan rendah. Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan

basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat

masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering berupa

tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).

Perbaikan tanah marginal dapat dilakukan dengan memperbaiki sifat tanah

baik fisika, biologi ataupun kimia. Menurut Prasetyo et al., (2006), peningkatan

produktivitas tanah marginal Ultisol dan Inceptisol dapat dilakukan melalui

perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menarik membuat judul

tentang “Laporan Akhir Kesuburan Tanah dan Pemupukan”

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dilaksanakan praktikum adalah mahasiswa mengetahui

respon terhadap pertumbuhan tanaman terong dengan media tanam Ultisol dan

Inceptisol, mahasiswa mengetahui sifat-sifat tanah Ultisol dan Inceptisol,

mahasiswa mengetahui respon pertumbuhan tanaman terong tanaman terhadap

pemberian pupuk N, P dan K .


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah Ultisol

Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-

basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik.

Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun,

dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat

kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20 −

12,50 cmol kg-1 liat. Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga

merah. Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna

tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R,

nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al., 1986).

Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut,

dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan

kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada

umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan

bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-

kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar

kation rendah, dan peka terhadap erosi (Adiningsih dan Mulyadi, 1993).

Di Indonesia tanah jenis Ultisol cukup luas yaitu sekitar 38,4 juta hektar

atau sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-

kelemahan yang menonjol pada Ultisol adalah pH rendah, kapasitas tukar kation

rendah, kejenuhan basa rendah, kandungan unsur hara seperti N, P, K, Ca, dan Mg
sedikit dan tingkat Al-dd yang tinggi, mengakibatkan tidak tersedianya unsur hara

yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Prasetyo et al., 2006).

Tanah ultisol memiliki ciri adanya horizon argilik atau kandik dengan

kejenuhan basa (dengan menghitung jumlah kation) kurang dari 35 persen.

Sebaran terluas tanah Ultisol terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di

Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000

ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat

dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung (Prasetyo et al.,

2006).

Dari data analisis tanah Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia,

menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH

4,1–4,8). Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8–12 cm), umumnya

rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5–10). Kandungan P-

potensial yang rendah dan K- potensial yang bervariasi sangat rendah sampai

rendah, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar rendah,

kandungan K-dd hanya berkisar 0 – 0,1 me 100 g-1 tanah disemua lapisan

termasuk rendah, dapat disimpulkan potensi kesuburan alami Ultisol sangat

rendah sampai rendah (Subagyo et al., 1986).

Konsepsi pokok dari Ultisol (Ultimus terakhir) adalah tanah-tanah yang

bewarna merah kuning, yang sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut

(ultimate), sehingga merupakan tanah yang memiliki penampang dalam (> 2 m),

menunjukkan adanya kenaikan kandungan liat dan terakumulasi di sebut haorizon

Argilik (Subagyo et al., 1986).


2.2. Tanah Inceptisol

Inceptisol adalah tanah – tanah yang dapat memiliki epipedon okhrik dan

horizon albik seperti yang dimiliki tanah Entisol juga yang menpunyai beberapa

sifat penciri lain (misalnya horizon kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi

ordo tanah yang lain. Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) yang

perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih

banyak menyerupai sifat bahan induknya (Hardjowigeno, 2003).

Inceptisol merupa kan ordo tanah yang belum berkembang lanjut dengan

ciri-ciri bersolum tebal antara 1.5-10 meter di atas bahan induk, bereaksi masam

dengan pH 4.5-6.5. Bila mengalami perkembangan lebih lanjut pH naik menjadi

kurang dari 5.0, dan kejenuhan basa dari rendah sampai sedang. Tekstur seluruh

solum ini umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah dan konsistensi adalah

gembur. Secara umum, kesuburan dan sifat kimia Inceptisol relatif rendah, akan

tetapi masih dapat diupayakan untuk ditingkatkan dengan penanganan dan

teknologi yang tepat (Hardjowigeno, 2003).

Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat – sifat tersedianya

air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut – turut

dalam mus im – musim kemarau, satu atau lebih horison pedogenik dengan

sedikit akumulasi bahan selain karbonat atau silikat amorf, tekstur lebih halus dari

pasir geluhan dengan beberapa mineral lapuk dan kemampuan menahan kation

fraksi lempung ke dalam tanah tidak dapat di ukur. Kisaran kadar C organik

dalam tanah Inceptisol sangat lebar dan demikian juga kejenuhan basa. Inceptisol

dapat terbentuk hampir di semua tempat kecuali daerah kering mulai dari kutub

sampai tropika (Darmawijaya, 1990).


Sebagian besar Inceptisol menunjukkan kelas besar butir berliat dengan

kandungan liat cukup tinggi (35-78%), tetapi sebagian termasuk berlempung halus

dengan kandungan liat lebih rendah (18-35%). Reaksi tanah masam sampai agak

masam (4.6-5.5), sebagian khususnya pada Eutrudepts reaksi tanahmya lebih

tinggi, agak masam sampai netral (5.6-6.8). Kandungan bahan organik sebagian

rendah sampai sedang dan sebagian lagi sedang sampai tinggi. Kandungann

lapisan atas selalu lebih tinggi daripada lapisan bawah, dengan rasio C/N

tergolong rendah (5-10) sampai sedang (10-18) (Prasetyo et al., 2006).

Jumlah basa-basa dapat tukar diseluruh lapisan tanah Inceptisol tergolong

sedang sampai tinggi. Kompleks absorbsi didominasi ion Mg dan Ca, dengan

kandungan ion K relatif rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) sedang sampai

tinggi di semua lapisan. Kejenuan basa (KB) rendah sampai tinggi (Damanik, et

al., 2011).

Karena Inceptisol merupakan tanah yang baru berkembang, biasanya

mempunyai tekstur yang beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini

tergantung tingkat pelapukan bahan induknya. Masalah yang dijumpai karena

nilai pH yang sangat rendah, sehingga sulit untuk dibudidayakan. Kesuburan

tanahnya rendah, jeluk efektifnya beragam dari dangkal hingga dalam. Di dataran

rendah pada umumnya tebal, sedangkan pada daerah-daerah lereng curam

solumnya tipis. Pada tanah berlereng cocok untuk tanaman tahunan atau tanaman

permanen untuk menjaga kelestarian tanah (Munir, 1996).

Ada kecenderungan bahwa nilai KTK tanah tidak dipengaruhi oleh

kandungan bahan organiknya. Inceptisol yang diteliti kandungan fraksi liatnya

tergolong tinggi dan didominasi oleh mineral smekt it yang mempunyai KTK
tinggi. Dengan demikian pengaruh bahan organik terhadap nilai KTK Inceptisol

tidak nyata. Tampaknya, semakin tinggi KTK, nilai C-organik semakin rendah.

Hal ini relatif sama dengan pola hubungan antara pH tanah dengan C-Organik

(Nurdin, 2012).

2.3. Tanaman Terong

Terung (Solanum melongena, L.) merupakan salah satu sayuran dalam

bentuk buah. Tanaman terung yang dalam bahasa Inggris disebut eggplant

merupakan tanaman daerah tropis yang berasal dari benua Asia, terutama

Indonesia, India dan Myanmar (Mashudi, 2007).

Berdasarkan tata nama taksonomi tumbuhan, tanaman terung

diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta, Sub divisi : Angiospermae, Kelas :

Dycotyledonae, Ordo : Tubiflorae, Famili : Solanaceae, Genus : Solanum, dan

Spesies : Solanum melongena L., (Rukmana, 1995).

Terung merupakan jenis sayur yang dapat tumbuh di iklim sub tropis

maupun iklim tropis. Terung disebut dengan istilah brinjal di India dan aubergine

di Eropa. Dalam bahasa Inggris, terung disebut dengan nama eggplant yang

berasal dari bentuk buah dari beberapa varietas berwarna putih dan berbentuk

menyerupai telur ayam (Directorate Plant Production, 2011). Terung banyak

digemari oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Terung memiliki istilah

tersendiri pada setiap daerah. Di pulau Jawa, terung disebut dengan istilah terong.

Di Bali disebut dengan taung, dan nasubi di Jepang (Hastuti, 2007).


2.3.1. Morfologi Tanaman Terung

Terung (Solanum melongena L.) merupakan tanaman setahun berjenis

perdu yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 60-90 cm. Daun tanaman ini

lebar dan berbentuk telinga. Bunganya berwarna ungu dan merupakan bunga yang

sempurna, biasanya terpisah dan terbentuk dalam tandan bunga. Tinggi pohon

terung 40-150 cm, memiliki daun berukuran panjang 10-20 cm dan lebar 5-10 cm,

bunga berwarna putih hingga ungu memiliki lima mahkota bunga (Samadi, 2001).

Berbagai varietas terung tersebar luas di dunia, perbedaannya terletak pada

bentuk, ukuran, dan warna tergantung dari varietas terungnya, terung memiliki

sedikit perbedaan konsistensi dan rasa. Secara umum terung memiliki rasa pahit

dan daging buahnya menyerupai spons. Varietas awal terung memiliki rasa pahit,

tetapi terung yang telah mengalami proses penyilangan memiliki perbaikan rasa.

Terung merupakan jenis tanaman yang memiliki kedekatan dengan tanaman

kentang, tomat, dan paprika (Mashudi, 2007).

Menurut Mashudi (2007) buah terung merupakan buah sejati tunggal dan

berdaging tebal, lunak dan tidak akan pecah meskipun buah telah masak. Daging

buahnya tebal, lunak dan berair, daging buah ini merupakan bagian yang enak

dimakan. Biji-biji terdapat bebas di dalam selubung lunak yang terlindung oleh

daging buah. Pangkal buah menempel pada kelopak bunga yang telah menjelma

menjadi karangan bunga. Morfologi terung ungu memiliki bentuk yang beragam

yaitu silindris, lonjong, oval atau bulat.

Letak buah terung tergantung dari tangkai buah. Dalam satu tangkai

umumnya terdapat satu buah terung, tetapi ada juga yang memiliki lebih dari satu

buah. Biji terung terdapat dalam jumlah banyak yang tersebar di dalam daging
buah. Daun kelopak melekat pada dasar buah, berwarna hijau atau keunguan.

Bunga terong ungu sering disebut sebagai bunga banci, karena memiliki dua

kelamin. Dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari) dan alat

kelamin betina (putik). Bunga terung bentuknya mirip bintang, berwarna biru atau

lembayung, cerah sampai gelap. Penyerbukan bunga dapat berlangsung secara

silang maupun menyerbuk sendiri (Rukmana, 1995).

2.3.2. Syarat Tumbuh Tanaman Terung

Tanaman terung umumnya memiliki daya adaptasi yang sangat luas,

namun kondisi tanah yang subur dan gembur dengan sistem drainase dan tingkat

keasamaan yang baik merupakan syarat yang ideal bagi pertumbuhan terung.

Untuk pertumbuhan optimum, pH tanah harus berkisar antara 5,5 -6,7, namun

tanaman terung masih toleran terhadap pH tanah yang lebih rendah yaitu 5,0

(Samadi, 2001).

Pada tanah dengan pH yang lebih rendah dari 5,0 akan menghambat

pertumbuhan tanaman yang mengakibatkan rendahnya tingkat produksi tanaman.

Tanaman terung adalah tanaman yang sangat sensitif yang memerlukan kondisi

tanam yang hangat dan kering dalam waktu yang lama untuk keberhasilan

produksi. Temperatur lingkungan tumbuh sangat mempengaruhi pertumbuhan

tanaman dan pencapaian masa berbunga pada terung. Lingkungan tumbuh yang

memiliki rata-rata temperatur yang tinggi dapat mempercepat pembungaan dan

umur panen menjadi lebih pendek. Tanaman terung dapat tumbuh baik di dataran

rendah hingga dataran tinggi. Terung yang dibudidayakan di dataran rendah dan

bertopografi datar mempunyai umur panen yang lebih pendek dibandingkan

dengan terung yang dibudidayakan di dataran tinggi (Samadi, 2001).


Terung mengandung komposisi mineral dan vitamin yang cukup lengkap

meskipun dalam jumlah rendah. Kandungan fosfor pada terung sama dengan yang

terkandung dalam wortel (37 mg/100 mg). Terung merupakan hasil pertanian

yang memiliki cita rasa yang khas, bernilai gizi yang diantaranya mengandung

vitamin A, B1, B2, C, Fosfat dan Fosfor (Hastuti, 2007).

2.4. NPK

2.4.1 .Urea (N)

Urea (N) adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon,

hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga

dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa.

Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl

diamide dan carbonyldiamine (Rinsema, 1993) .

Urea merupakan pupuk nitrogen yang paling mudah dipakai. Zat ini

mengandung nitrogen paling tinggi (46%) di antara semua pupuk padat. Unsur

nitrogen diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian vegetatif

tanaman, seperti daun, batang dan akar. Berperan penting dalam hal pembentukan

hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis, unsur N berperan untuk

mempercepat fase vegetative karena fungsi utama unsur N itu sendiri sebagai

sintesis klorofil (Rinsema, 1993).

Urea mudah dibuat menjadi pelet atau granul (butiran) dan mudah

diangkut dalam bentuk curah maupun dalam kantong dan tidak mengandung

bahaya ledakan. Zat ini mudah larut didalam air dan tidak mempunyai residu

garam sesudah dipakai untuk tanaman. Kadang-kadang zat ini juga digunakan

untuk pemberian makanan daun. Disamping penggunaannya sebagai pupuk, urea


juga digunakan sebagai tambahan makanan protein untuk hewan pemamah biak,

juga dalam produksi melamin, dalam pembuatan resin, plastik, adhesif, bahan

pelapis, bahan anti ciut, tekstil, dan resin perpindahan ion. Bahan ini merupakan

bahan antara dalam pembuatan amonium sulfat, asam sulfanat, dan ftalosianina

(Rinsema, 1993).

2.4.2. Fosfor (P)

Fosfor merupakan salah satu nutrisi utama yang sangat penting dalam

pertumbuhan tanaman. Fosfor tidak terdapat secara bebas di alam. Fosfor

ditemukan sebagai fosfat dalam beberapa mineral, tanaman dan merupakan unsur

pokok dari protoplasma. Fosfor terdapat dalam air sebagai ortofosfat. Sumber

fosfor alami dalam air berasal dari pelepasan mineral-meneral dan biji-bijian

(Rinsema 1993).

Fosfat terdapat dalam tiga bentuk yaitu H2PO4-, HPO42-, dan PO43-. Fosfat

umumnya diserap oleh tanaman dalam bentuk ion ortofosfat primer H2PO4- atau

ortofosfat sekunder HPO42- sedangkan PO43- lebih sulit diserap oleh tanaman.

Bentuk yang paling dominan dari ketiga fosfat tersebut dalam tanah bergantung

pada pH tanah. Pada pH lebih rendah, tanaman lebih banyak menyerap ion

ortofosfat primer, dan pada pH yang lebih tinggi ion ortofosfat sekunder yang

lebih banyak diserap oleh tanaman (Hanafiah, 2005).

2.4.3. Kalium

Kalium merupakan logam alkali yang sangat reaktif, mempunyai rumus

atom K+, berwarna putih perak dan merupakan logam yang lunak. Kalium

mempunyai nomor atom 19, titik didih 1033ºK, titik lebur 336,8 ºK, dan massa

jenis 0,86 gr/cm. Kalium dapat teroksidasi di udara dan bereaksi dengan air yang
menghasilkan kalium hidroksida dan gas hydrogen. Reaktif dengan air sehingga

reaksinya dapat menimbulkan ledakan dan nyala api (Rinsema, 1993).

Sumber hara kalium di dalam tanah adalah berasal dari kerak bumi. Kadar

kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K2O, sedangkan air laut

mengandung kalium sekitar 0,04 K2O. Rerata kadar kalium pada lapisan olah

tanah pertanian adalah sekitar 0,83% yang mana kadar ini lima kali lebih besar

dari nitrogen dan 12 kali lebih besar dari fosfor. Mineral-mineral primer sebagai

sumber utama kalium adalah mineral biotit (H,K)2(Mg,Fe)2Al2(SiO4)3, muskovit

H2Kal(SiO4)3, dan felspart KalSi3O8 (Rinsema, 1993).

Tingkat ketersediaan kalium dari mineral-mineral tersebut adalah biotit >

muskovit > felspart. Kalium dapat bertambah kedalam tanah melalui berbagai

sumber sisa tanaman, hewan, pupuk kandang dan pelapukan mineral kalium.

Pertambahan kalium dari sisa tanaman dan hewan merupakan sumber yang

penting dalam menjaga keseimbangan kadar kalium di dalam tanah. Pupuk kalium

yang banyak digunakan adalah pupuk KCl dan pupuk K2SO4 (Damanik, et al.,

2011).

Sumber kalium yang terdapat dalam tanah berasal dari pelapukan mineral

yang mengandung K. Mineral tersebut bila lapuk melepaskan K kelarutan tanah

atau terjerapan tanah dalam bentuk tertukar. Letak kalium dalam lempung

umumnya dalam permukaan dakhil (internal surface) yang sering diduduki oleh

ion Mg2+, Fe3+, Al4+dan molekul H2O (Damanik, et al., 2011).

Menurut Rinsema (1993) berikut dibawah ini beberapa fungsi dari N, P

dan K dalam tanaman adalah sebgai berikut:

a) Nitrogen
Peranan utama nitrogen (N) bagi tanaman adalah untuk merangsang

pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun. Selain itu,

nitrogen pun berperan penting dalam pembentukan hijau daun yang sangat

berguna dalam proses fotosintesis. Fungsi lainnya ialah membentuk protein,

lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya.

b) Fosfor

Untuk fosfor (P) bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan

akar, khususnya akar benih dan tanaman muda. Selain itu, fosfor berfungsi

sebagai bahan mentah untuk pembentukan sejumlah protein tertentu, membantu

asimilasi dan pernafasan, serta mempercepat pembungaan, pemasakan biji dan

buah.

c) Kalium

Fungsi utama kalium (K) ialah membantu pembentukan protein dan

karbohidrat. Kalium berperan dalam memperkuat tubuh tanaman agar daun,

bunga, dan buah tidak mudah gugur. Kalium merupakan sumber kekuatan bagi

tanaman dalam menghadapi kekeringan dan penyakit.


III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Kegiatan praktikum Kesuburan Tanah dan Pemupukan dilakukan pada

bulan Oktober sampai November 2017 di Kebun Percobaan Unit Pelayanan

Teknis (UPT) Fakultas Pertanian Universitas Riau, Kampus Bina Widya km 12,5

Kelurahan Simpang Baru, KecamatanTampan, Pekanbaru, Riau.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah cangkul, parang, ayakan tanah, karung,

polybag, gembor, timbangan, dan terpal.

Bahan yang digunakan adalah benih tanaman terong, tanah ultisol, tanah

Inceptisol, air, dan pupuk NPK tunggal.

3.3. ProsedurPelaksanaan

3.3.1. Persiapan Lahan dan Media Tanam

Persiapan lahan yang dilakukan adalah membersihkan lahan atau lokasi

yang akan digunkaan untuk menyusun polybag yang telah di isi tanah. Persiapan

lahan dilakukan dengan membersihkan lahan dari gulma dan vegetasi – vegatasi

yang mengganggu proses pertumbuhan tanaman. Persiapan media tanam hal yang

paling utama dilakukan adalah mencari tanah subsoil ultisol, dan tanah Inceptisol

setelah itu medium dikeringanginkan selama 2 minggu. Tanah yang sudah

dikeringanginkan di ayak dengan menggunakan pengayak tanah, tanah yang

sudah diayak dimasukkan kedalam polybag, ditimbang dengan takaran 10 kg per

polybag.
3.3.2. Penanaman dan Perawatan

Hal yang utama dalam penanaman benih adalah penyemaian, setelah

proses penyemaian benih terong yang telah tumbuh ditanam di polybag yang telah

diisi oleh tanah, tanah inceptisol dan ultisol. Benih ditanam setiap polybag dengan

satu benih. Pemeliharaan dilakukan dengan cara membersihkan tanaman dari

gulma, penggemburan tanah, penyisipan tanaman dan penyiraman.

3.3.3. Pemupukan

Dilakukan pemberian pupuk NPK tunggal, pemberian pupuk dilakukan dengan

jarak 2-3 cm dari pangkal batang tanaman.

3.3.4. Pengamatan

Pada pengamatan tanaman terong yang telah diberi perlakuan parameter

yang diamati yaitu tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun.Tinggi

tanaman diukur dengan menggunakan penggaris. Diameter tanaman diukur

dengan seutas tali yang dililitkan ke batang tanaman lalu diukur panjangnya

dengan penggaris dan dibagi dua pada hasil pengukuran. Jumlah daun dihitung

ssesuai dengan banyaknya daun pada tanaman sampel


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tanah Ultisol

Tabel 1. Uji Pengaruh Pemberian Pupuk Berbagai Dosis terhadap Pertumbuhan


Tanaman Terong pada Tanah Ultisol

Parameter
Perlakuan
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Diameter Batang
P0 15,28 a 5,0 a 0,37 a
P1 17,78 a 5,0 a 0,46 a
P2 20,81 a 5,5 a 0,43 a
P3 13,08 a 4,7 a 0,34 a

Berdasakan Tabel 1. pemberian pupuk Urea, TSP dan KCl dengan

berbagai dosis sesuai perlakuan memberikan hasil berbeda tidak nyata terhadap

parameter pertumbuhan seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang.

Kendala pada tanah Ultisol adalah sifat fisik, kimia biologi tanah yang

terdapat didalamnya faktor yang menyebabkan tidak berpengaruhnya pupuk

terhadap parameter pertumbuhan meskipun sudah diberi dosis 1,5 kali dari dosis

anjuran yaitu permasalahan kemasaman tanah pada tanah Ultisol menyebabkan

unsur hara makro seperti Fosfor (P) menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Adiningsih dan Mulyadi (1993) tanah Ultisol

mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang

tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi

tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai

potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin

kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na,

dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, Selain kandungan P,

kandungan N juga relatif rendah, kandungan P-potensial yang rendah dan K


potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan atas maupun

lapisan bawah.

Pelapukan yang lanjut pada tanah Ultisol dapat membentuk liat oksida,

hidrous Fe dan Al dalam jumlah yang tinggi dan dapat bereaksi dengan P

membentuk sederetan hidroksida yang sukar larut sehingga kurang tersedia bagi

tanaman. Tingkat pelapukan dan pembentukan Ultisol berjalan lebih cepat pada

daerah beriklim humid dengan suhu tinggi dan curah hujan tinggi (seperti halnya

di Indonesia) dengan iklim tropis, ini berarti Ultisol merupakan tanah yang telah

mengalami proses pencucian sangat intensif akibat keadanaa iklim yang tidak

stabil, hal ini yang menyebabkan Ultisol mempunyai kejenuhan basa rendah.

Selain itu, Ultisol juga memiliki kandungan Al-dd yang tinggi (Hardjowigeno,

2003).

Kandungan bahan organik lapisan atas tanah Ultisol yang tipis (8–12 cm),

umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5–10) yang akan

menghambat aktivitas mikrooganisme dalam pelapukan bahan organik dalam

tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Kandungan P- potensial yang rendah dan K-

potensial yang bervariasi dari rendah sampai sangat rendah, baik lapisan atas

maupun lapisan bawah. Hal ini yang akan menyebabkan beberapa parameter

seperti diameter batang tidak dapat membesar akibat K-potensial rendah.

Pengaruh pupuk K terhadap tanaman umumnya cenderung membuat tanaman

lebih cepat bertambah tinggi (Rahayu, 2012). Fungsi unsur hara K secara umum

adalah meningkatkan pertumbuhan jaringan meristem, memperkuat tegaknya

batang dan membantu perkembangan akar tanaman (Rahayu, 2012). Jumlah basa-

basa tukar rendah, kandungan K-dd hanya berkisar 0 – 0,1 me 100 g-1 tanah
disemua lapisan termasuk rendah, dapat disimpulkan potensi kesuburan alami

Ultisol sangat rendah sampai rendah (Subagyo et al., 1986).

4.2. Tanah Inseptisol

Tabel 2. Uji Pengaruh Pemberian Pupuk Berbagai Dosis terhadap Pertumbuhan


Tanaman Terong pada Tanah Inseptisol

Parameter
Perlakuan
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Diameter Batang
B0 19,45 a 5,5 ab 0,37 a
B1 17,43 a 4,5 a 0,36 a
B2 23,20 a 5,5 ab 0,39 ab
B3 22,97 a 6,2 b 0,53 b

Berdasarkan Tabel 2. pemberian pupuk Urea, TSP dan KCl dengan dosis

sesuai perlakuan memberikan hasil berbeda tidak nyata terhadap tinggi tanaman.

Namun, parameter jumlah daun dan diameter batang memberikan hasil yang

berbeda nyata terutama pada perlakuan B3 (1,5 dari dosis anjuran) bila dibanding

dengan perlakuan B0 dan B1 tidak berbeda nyata.

Pemberian pupuk Urea, TSP dan KCl 1,5 dari dosis anjuran memberikan

hasil yang berbeda dibandingkan dengan dosis lainnya dikarenakan kebutuhan

pupuk N pada tanah Inceptisol lebih tinggi dibandingkan pada tanah Oksisol dan

Andisol. Karena unsur N pada tanah Inceptisol tergolong rendah. Ketersediaan

unsur hara seperti N yang rendah, merupakan kendala penting dalam kaitannya

terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudirja (2007)

Inceptisol merupakan ordo tanah yang belum berkembang lanjut dengan ciri-ciri

bersolum tebal antara 1.5-10 meter di atas bahan induk, bereaksi masam dengan

pH 4.5-6.5. Bila mengalami perkembangan lebih lanjut pH naik menjadi kurang

dari 5.0, dan kejenuhan basa dari rendah sampai sedang. Tekstur seluruh solum ini
umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah dan konsistensi adalah gembur.

Secara umum, kesuburan dan sifat kimia Inceptisol relatif rendah, akan tetapi

masih dapat diupayakan untuk ditingkatkan dengan penanganan dan teknologi

yang tepat. Selain itu akibat dari pemberian pupuk yang lebih dari dosis anjuran,

maka terjadi pertumbuhan yang signifikan dibandingkan perlakuan lainnya. Pada

tanah inseptisol mempunyai nilai P-tersedia yang rendah, hal ini disebabkan oleh

kelarutan unsur Al, Fe dan Mn sangat tinggi pada tanah masam sehingga

cenderung mengikat ion-ion fosfat menjadi fosfat tidak larut dan tidak tersedia

bagi tanaman. Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan hara fosfat didalam

tanah melalui hasil pelapukannya yaitu asam-asam organik dan CO2. Asam-asam

organik seperti tersebut akan menghasilkan anion organik, anion organik ini dapat

mengikat logam-logam seperti Al, Fe dan Ca dari dalam larutan tanah. Sehingga

unsur P yang diikat logam tersebut terlepas sehingga menjadi P yang tersedia.

Selain itu, penambahan pupuk anorganik juga akan meningkatkan hara tersedia

didalam tanah sehingga pertumbuhan tanaman akan meningkat (Hanafiah, 2005).

4.1. Hasil Analisis Tanah Sebelum Pemupukan

Tabel 1. Hasil analisis tanah


Analisis Tanah Perlakuan Hasil
Analisis Ph Tanah ultisol + aquades 3,51
Tanah ultisol + KCL 4,90
Tanah inseptisol + aquades 3,77
Tanah inseptisol + KCL 4,54
Analisis Kadar air Tanah ultisol 1,5%
Tanah inseptisol 1%
Analisis P Tanah ultisol 0,082
Tanah inseptisol 0,134
Hasil pH tanah yang didapatkan menunjukkan bahwa pH tanah yang diukur

secara aktual (H2O) maupun potensial (KCl) dari hasil praktikum ini diperoleh

untuk pengukuran pH aktual untuk tanah ultisol + aquades adalah sebesar 3,51

dan pH Potensial tanah ultisol + KCL adalah sebesar 4,90. Sedangkan pH tanah

inceptisol aktual untuk tanah inceptisol + aquades adalah sebesar 3,77 dan ph

tanah inceptisol + KCL potensialnya sebesar 4,54. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Subagyo et al., (1986) yang menyatakan bahwa tanah Inceptisol

merupakan ordo tanah yang belum berkembang lanjut dengan ciri-ciri bersolum

tebal antara 1.5-10 meter di atas bahan induk, bereaksi masam dengan pH 4.5-6.5.

Tekstur seluruh solum Inceptisol umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah

dan konsistensi adalah gembur.

Percobaan menggunakan pH meter terlihat bahwa pH H2O (aktual) lebih

tinggi dibandingkan pH KCl (potensial). Pelarut pada KCl lebih rendah jika di

bandingkan dengan pelarut H2O dikarenakan garam KCl akan melepas ion K+ dari

kompleks jerapan, sehingga tanah akan lebih masam. Tanah yang masam

memiliki kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion Al3+ yang bersifat masam

karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dengan menggunakan

H2O dan KCl, pH H2O dihasilkan lebih tinggi dari pH KCL. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Hakim (2008) kemasaman yang di ukur dengan menggunakan H2O

adalah kemasaman aktif sedangkan pH KCl mengukur kemasan aktif dan

kemasaman potensial. KCl mampu mengukur menguku raktivitas H+ yang ada

diluar tanah disebabkan karena ion K+ yang berasal dari KCl dapat ditukar

dengan ion H+, sedangkan hal tersebut tidak berlaku untuk H2O.
Hasil analisis P dengan metode ekstraksi HCl pada tanah ultisol 0,082 dan

tanah inceptisol hasilnya 0,134. dengan status P-tanah rendah (Ultisol) dan sedang

(Inceptisols). Tanah Ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan

bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam. Kandungan bahan

organik lapisan atas yang tipis (8 – 12 cm), umumnya rendah sampai sedang.

Rasio C/N tergolong rendah (5 – 10). Kandungan P -potensial yang rendah yaitu

sekitar 0,05 – 0,3 mg/kg tanah. . Jumlah basa - basa tukar rendah, kandungan K-

dd hanya berkisar 0 - 0,1 me/100 g tanah (Hardjowigeno, 2003).

Ketersediaan Fosfor dalam tanah masam kurang tersedia dikarenakan

kandungan Al dan Fe pada kedua jenis tanah yaitu Ultisol dan Inceptisol memiliki

kesamaan nilai pH serta kejenuhan basa-basa di dalam tanah. Kandungan pH yang

tinggi akan menyebabkan kandungan Al dan Fe tinggi sehingga unsur hara P (ion

fosfat) dapat bereaksi dengan Fe dan Al membentuk senyawa tidak larut,

sehingga tanaman mengalami kekurangan kandungan P sedangkan ketersediaan P

pada tanah alkalis juga kurang karena ion fosfat bereaksi dengan Ca membentuk

senyawa tidak larut. Hal ini menyebabkan ketersediaan P bagi tanaman sangat

rendah, P-total dalam tanah jarang lebih dari 0,01% . Pemberian pupuk P penting

untuk mencapai hasil tanaman yang optimum (Damanik et al., 2011).

Hasil analisis kadar air pada tanah ultisol adalah 1,5% sedangkan pada tanah

inceptisol 1%. Perbedaan tersebut di pengaruhi oleh perbedaan bahan organik

pada masing-masing tanah yang berbeda. Bahan organik akan mempengaruhi

porositas tanah dan infiltrasi. Semakin tinggi tinggi kadar bahan organik didalam

tanah maka semakin tinggi pula kadar air dan ketersediaan air pada tanah tersebut

(Subagyo et al., 1986).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang

ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi bagian tubuh

tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman. Kesuburan tanah merupakan

kemampuan tanah menghasilkan bahan tanaman yang dipanen. Sifat dan kelakuan

tanah sangat menetukan tanggapan tanah terhadap intervensi teknologi dalam

pengelolaan kesuburan tanah seperti halnya tanah Ultisol dan Inceptisol yang

memiliki sifat berbeda. Pemupukan pemberian bahan yang dimaksudkan untuk

menambah hara tanaman pada tanah . Pemberian bahan yang dimaksudkan untuk

memperbaiki suasana tanah, baik fisika, kimia, ataupun biologi, disebut

amandemen (amandment) yang berarti reparation atau restutition.

5.2. Saran

Diharapkan asisten lebih akrab dan lebih toleransi terhadap kesibukan

yang dihadapi oleh praktikan terlebih khususnya dalam penentuan jadwal

pengumpulan laporan harus sudah jauh-jauh hari menyampaikannya kepada

praktikan agar laporan akhir selanjutnya akan lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan


pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29−50. Dalam S. Sukmana,
Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri
(Ed.). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan.
Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian

Damanik, M. M. B., Bachtiar, E. H., Fauzi, Sarifuddin, Hamidah, H., 2011.


Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.

Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah, Dasar-dasar Teori Bagi Penelitian


Tanah dan Pelaksanaan Penelitian. UGM Press, Yogyakarta.

Hanafiah, K.A, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. RajaGrafindo


Persada.

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis Edisi III.


Akademika Pressindo, Jakarta.

Hastuti, Liana D. S. 2007. Terung Tinjauan Langsung Ke Beberapa Pasar di


Kota Bogor. Universitas Sumatra Utara. Artikel.

Mashudi. 2007. Budidaya Terung. Azka Press. Jakarta.

Munir, M. 1996. Tanah Ultisol – Tanah Ultisol Di Indonesia. Pustaka Jaya.


Jakarta

Nazaruddin, 1993. Komoditi Ekspor Pertanian. Jakarta, Penebar Swadaya.

Prasetyo, B. H., Y. Suleman, D. Subardja, dan Hikmatullah. 2006. Karakteristik


Lahan Marginal dalam kaitannya dengan pengelolaan tanah untuk
pertanian di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. J. Tanah dan Iklim
24:69-79.

Rahayu, S. 2012. Pengaruh pemberian pupuk K terhadap pertumbuhan dan


hasil bawang merah di tanah Ultisol. Jurnal Agronomi. IPB Press.
Bogor.

Rinsema, W. T., 1993. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara.
Jakarta.

Rukmana, R, 1996. Terong: Budidaya dan Pascapanen. Kanisus, Yogyakarta.


Samadi, B. 2001. Budi Daya Terung Hibrida. Penerbit Kanisius.

Subagyo, H., P. Sudewo, dan B.H. Prasetyo. 1986. Pedogenesis beberapa profil
Mediteran Merah dari batu kapur di sekitar Tuban, Jawa Timur. hlm.
103−122 dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri
Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan
Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November.1981. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor
LAMPIRAN

1. Data Pengamatan
1.1.Tanah Ultisol

PARAMETER
PERLAKUAN TINGGI TANAMAN JUMLAH DAUN DIAMETER BATANG
MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 1 MINGGU 2
P0U1 11,8 12,1 5 5 0,318 0,318
P0U2 12,8 13 6 4 0,318 0,382
P0U3 20 22 4 6 0,445 0,445
P1U1 17 17,8 5 4 0,414 0,414
P1U2 22,2 21 5 5 0,636 0,636
P1U3 13,7 15 6 5 0,382 0,286
P2U1 16,5 22,5 4 5 0,477 0,318
P2U2 16,5 19,3 10 5 0,445 0,382
P2U3 24,6 25,5 5 4 0,541 0,445
P3U1 11,5 11,8 5 5 0,318 0,286
P3U2 17,4 20,3 3 6 0,382 0,445
P3U3 9 8,5 4 5 0,318 0,318

1.2.Tanah Inseptisol

PARAMETER
TINGGI TANAMAN JUMLAH DAUN DIAMETER BATANG
PERLAKUAN MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 1 MINGGU 2
B0U1 7,7 26 5 6 0,191 0,477
B0U2 11,4 27 5 6 0,222 0,541
B0U3 20,6 24 6 5 0,382 0,414
B1U1 20,1 9,2 5 4 0,382 0,191
B1U2 20,1 11,5 5 5 0,382 0,286
B1U3 22,5 21,2 5 3 0,414 0,541
B2U1 24,5 24,1 6 6 0,414 0,573
B2U2 25,4 28,5 7 6 0,414 0,636
B2U3 13,5 23,2 2 6 0,414 0,509
B3U1 24,5 27,2 7 6 0,445 0,732
B3U2 23,8 24 8 4 0,478 0,605
B3U3 24,2 14,1 9 3 0,541 0,35
2. Analisis Sidik Ragam
2.1.Tanah Ultisol

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: TINGGI TANAMAN
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
76,497a 3 25,499 1,294 ,341
Model
Intercept 3104,083 1 3104,083 157,468 ,000
Pupuk 76,497 3 25,499 1,294 ,341
Error 157,700 8 19,713
Total 3338,280 12
Corrected
234,197 11
Total
a. R Squared = ,327 (Adjusted R Squared = ,074)

Post Hoc Test


TINGGI TANAMAN
Duncana,b
Subset
PERLAKUAN N 1
P3 3 13,0833
P0 3 15,2833
P1 3 17,7833
P2 3 20,8167
Sig. ,081
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 19,778.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

Tests of Between-Subjects Effects


DependentVariable: JumlahDaun
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1,063a 3 ,354 ,425 ,740
Intercept 305,021 1 305,021 366,025 ,000
Pupuk 1,063 3 ,354 ,425 ,740
Error 6,667 8 ,833
Total 312,750 12
Corrected Total 7,729 11
a. R Squared = ,137 (Adjusted R Squared = -,186)
Post Hoc Test
JUMLAH DAUN
Duncana,b
Subset
PERLAKUAN N 1
P3 3 4,6667
P0 3 5,0000
P1 3 5,0000
P2 3 5,5000
Sig. ,323
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,833.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = 0,05.

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent
Variable: DIAMETER BATANG
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model ,027a 3 ,009 1,009 ,438
Intercept 1,948 1 1,948 221,99 ,000
Pupuk ,027 3 ,009 1,009 ,438
Error ,070 8 ,009
Total 2,044 12
Corrected Total ,097 11
a. R Squared = ,274 (Adjusted R Squared = ,002)

Post Hoc Test


DIAMETER BATANG

Duncana,b
Subset
PERLAKUAN N 1
P3 3 ,3445
P0 3 ,3710
P2 3 ,4347
P1 3 ,4613
Sig. ,189
2.2.Tanah Inseptisol

Tests of Between-Subjects Effects


DependentVariable: TINGGI TANAMAN

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Corrected Model 70,817 a 3 23,606 1,758 ,233
Intercept 5172,977 1 5172,977 385,276 ,000
PERLAKUAN 70,817 3 23,606 1,758 ,233
Error 107,413 8 13,427
Total 5351,208 12
Corrected Total 178,231 11
a. R Squared = ,397 (Adjusted R Squared = ,171)

Post Hoc Test


TINGGI TANAMAN
Duncan, ab
Subset
PERLAKUAN N
1
B1 3 17,4333
B0 3 19,45
B3 3 22,9667
B2 3 23,2
Sig. 0,108

Tests of Between-Subjects Effects


DependentVariable: JUMLAH DAUN
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 4,250a 3 1,417 2,720 ,115
Intercept 352,083 1 352,083 676,000 ,000
PERLAKUAN 4,250 3 1,417 2,720 ,115
Error 4,167 8 ,521
Total 360,500 12
Corrected Total 8,417 11
a. R Squared = ,505 (Adjusted R Squared = ,319)
Post Hoc Test
JUMLAH DAUN
Duncan,a,b

Subset
PERLAKUAN N
1 2
B1 3 4,5
B0 3 5,5 5,5
B2 3 5,5 5,5
B3 3 6,1667
Sig. 0,142 0,309

Tests of Between-Subjects Effects

DependentVariable: DIAMETER BATANG

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Corrected Model ,061a 3 ,020 4,692 ,036
Intercept 2,312 1 2,312 534,121 ,000
PERLAKUAN ,061 3 ,020 4,692 ,036
Error ,035 8 ,004
Total 2,407 12
Corrected Total ,096 11
a. R Squared = ,638 (Adjusted R Squared = ,502)

Post Hoc Test


JUMLAH DAUN
Duncan,a,b

Subset
PERLAKUAN N
1 2
B1 3 ,3660
B0 3 ,3712
B2 3 ,4933 ,4933
B3 3 ,5252
Sig. ,053 ,570
DOKUMENTASI

Gambar 1. Pembersihan Lahan Pene- Gambar 2. Pengayakan Tanah


Litian

Gambar 3. Penimbangan Tanah den- Gambar 4. Penyusunan Polybag


gan Polybag Pada Lahan Penelitian

Gambar 5. Pengambilan Sampel Tanah Gambar 6. Sampel Tanah


Inceptisol Inceptisol
Gambar 7. Sampel Tanah Ultisol Gambar 8. Penyiangan gulma

Gambar 9. Pemberian Pupuk NPK


Tunggal

You might also like