Journal Reading
Journal Reading
Journal Reading
Pembimbing :
dr. Sjafril Sanusi, Sp.OG
Disusun Oleh:
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
ABSTRAK
Penelitian ini disetujui oleh IRB (Rumah Sakit Ibu dan Anak, No. Proyek 14-
0075), dengan desain penelitian studi cross sectional. Peneliti menginklusikan
wanita dengan usia 18-80 tahun dengan diagnosis kanker endometrium sebelumnya
yang telah dioperasi histerektomi sekurang-kurangnya 6 bulan dan tidak melakukan
kemoterapi atau radioterapi dalam waktu 3 bulan terakhir. Pasien akan
dieksklusikan jika mereka tidak dapat membaca maupun menulis dalam Bahasa
Inggris karena penelitian ini menggunakan Bahasa Inggris.
Kuisioner tersebut dalam bentuk anonim dan termasuk di dalamnya 24
pertanyaan mengenai tinggi badan, berat badan, riwayat kanker dalam keluarga dan
pribadi, pertanyaan resiko kesadaran, dan informasi demografis. Pertanyaan resiko
kesadaran dikembangkan berdasarkan pertanyaan yang telah divalidasi dan telah
dipublikasikan oleh Pusat Sistem Pengawasan Faktor Resiko Tingkah Laku Kontrol
Penyakit (Behavioral Risk factor surveillance system), Forum Harvard pada
pertanyaan Penelitian Kesehatan (Lake Snell Perry and Associates, 2003), dan
sebelumnya pernah diterapkan pada populasi umum wanita (Soliman PT, Bassett
RL, Wilson EB et al, 2008). Klasifikasi berat badan didefinisikan berdasarkan pada
WHO diantaranya adalah berat badan dibawah normal (BMI <19 kg/m2), berat
badan normal (BMI 19-24.99 kg/m2), berat badan berlebih (BMI 25-29.99 kg/m2),
obesitas (BMI 30-34.99 kg/m2), obesitas parah (BMI 35-39.99 kg/m2), dan obesitas
morbid (40+ kg/m2).
Pasien dilakukan skrining pada kunjungan klinik mereka untuk uji kelayakan,
dan pasien yang memenuhi syarat diberikan kuisioner pada saat pendaftaran.
Kuisioner yang telah lengkap dikembalikan pada saat akhir kunjungan. Variabel
kategorik dinilai menggunakan uji Fisher.Variabel kontinyu dinilai menggunakan
T test, uji ANOVA, uji Wilcoxon, atau uji Kruskal-Wallis. Uji tau-b Kendall
digunakan untuk menilai hubungan. Semua nilai P merupakan dua arah dengan P
<0.05 berdasarkan nilai signifikan secara statistik. Berdasarkan dari 110 kuisioner
yang diisi lengkap, ini memungkinkan untuk mendeteksi 10% perbedaan dalam
kemampuan untuk mengidentifikasi secara tepat kelas berat badan dengan
kelompok BMI dan 30% perbedaan dalam kesadaran pada obesitas sebagai faktor
resiko kanker.
HASIL
Dari total 140 kuisioner yang dibagikan kepada responden terpilih, 133
kuisioner (95,0%) diterima kembali. Dari 112 wanita (84,2%) berdasarkan usianya,
rata-rata umur responden yaitu 63,2 tahun. Dari 127 wanita (95,5%) berdasarkan
tinggi badan dan berat badannya, rata-rata BMI responden yaitu 33,4 kg/m2.
Mayoritas responden termasuk dalam Ras Kaukasian (88,7%). Data tingkat
pendidikan responden meliputi 42 wanita (31,6%) berpendidikan SMA sederajat
dan yang kurang dari itu, serta 32 wanita (24,1%) berpendidikan tingkat sarjana
atau profesi (Tabel 1).
Untuk menentukan bahwa responden mampu menggolongkan berat
badannya, responden diminta menyebutkan tinggi badan dan berat badan mereka
dan mendeskripsikan apakah mereka termasuk obesitas, berat badan berlebih, berat
badan normal, berat badan dibawah normal, atau tidak yakin. Bagi wanita obesitas
(BMI > 30 kg/m2), kenaikan BMI berkorelasi dengan meningkatnya kesadaran diri
akan keadaan obesitas yang diderita oleh dirinya. Tidak ada wanita dengan BMI
<30 kg/m2 merasa dirinya sebagai penderita obesitas. Dari wanita dengan BMI
30,0-34,99 kg/m2, 12,9% merasa dirinya termasuk obesitas, dibandingkan dengan
32,0% wanita dengan BMI 35,0-39,99 kg/m2, dan 72,7% wanita dengan BMI >40,0
kg/m2. Dari semua wanita obesitas (BMI >30,0 kg/m2), 35,9% merasa dirinya
sebagai obesitas (Tabel 2). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan
dengan peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi kelas berat badan yang
benar (P=0,02). Dari wanita dengan pendidikan SMA sederajat atau kurang, 65,8%
tidak setuju antara yang dirasakan dan pengukuran yang aktual tentang pembagian
kelas berat badan. Sebagai perbandingan, dari wanita dengan tingkat pendidikan
sarjana atau profesi, hanya 28,1% yang tidak menunjukkan kesesuaian dalam
menyampaikan kelas berat badan antara yang dirasakan dan pengukuran yang
aktual. Tidak terdapat korelasi yang signifikan dari tingkatan pendidikan dan
kategori BMI. Etnis dan pendapatan juga tidak berhubungan secara signifikan
dengan kemampuan mengidentifikasi kelas berat badan (p=0,4, p=0,2).
Wanita juga ditanya tentang hubungan antara kenaikan berat badan dengan
risiko kanker payudara, kanker kolon, dan kanker endometrium (Tabel 3). Respon
dari “kenaikan risiko yang banyak” atau “kenaikan risiko yang sedikit” dihitung
sebagai jawaban afirmatif. Dari wanita yang disurvey, 49,6% mengetahui bahwa
obesitas meningkatkan risiko kanker payudara. Wanita dengan tingkat pendidikan
sarjana atau profesi mampu menjawab secara lebih tepat (78,1%, p<0,0001). Dari
semua wanita yang disurvey, 48,1% mengetahui bahwa obesitas meningkatkan
risiko kanker kolon. Wanita dengan tingkat pendidikan sarjana atau profesi juga
lebih tepat dalam menjawab pertanyaan terkait kanker kolon (71,9%, p=0,003).
Dari penelitian tersebut, 44,4% wanita mampu menjawab secara tepat bahwa
obesitas meningkatkan risiko kanker endometrium. Namun, tidak ada korelasi yang
signifikan antara tingkat pendidikan dan peluang dalam menghubungkan obesitas
dengan risiko kanker endometrium (p=0,1). Kenaikan BMI juga berhubungan
dengan kemampuan untuk mengidentifikasi obesitas sebagai salah satu faktor risiko
kanker endometrium (p<0,0001), namun tidak untuk kanker payudara atau kanker
kolon (p=0,07, p=0,4). Dari kesemuanya, kurang dari separuh wanita yang disurvey
mengetahui hubungan antara obesitas dan kanker payudara, kanker kolon, atau
kanker endometrium (masing-masing 49,6, 48,1, dan 44,4%). Etnis, hubungan
pribadi, riwayat keluarga dari kanker lainnya tidak berkorelasi dengan kemampuan
untuk mengidentifikasi obesitas sebagai sebuah faktor risiko untuk kanker
payudara, kanker kolon, dan kanker endometrium.
Lebih lanjut, wanita juga ditanya tentang diskusi yang pernah dilakukan
sebelumnya tentang diet, olahraga, maupun pengendalian berat badan bersama
dokter umum atau ahli onkologi mereka. 77,3% wanita dengan dokter umum
dilaporkan pernah mendiskusikan hubungan berat badan ini, sedangkan 38,0%
wanita dilaporkan pernah mendiskusikan kenaikan berat badan ini dengan ahli
onkologi mereka. Temuan ini tidak terkait dengan BMI (p=0,2).
Tabel 1. Informasi Demografi Responden Penelitian, 2016
Tabel 2. Kelas Berat Badan berdasarkan Kategori BMI, 2016
Konflik kepentingan
Penulis (EV Connor, CA Raker, MA Clark, dan AR Stuckey) menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki konflik kepentingan untuk diungkapkan.
Semua prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini, yang melibatkan peserta
manusia, telah sesuai dengan standar etika institusi peneliti, yang telah disetujui
oleh Lembaga Ulasan Institusional peneliti, dan telah sesuai dengan deklarasi
Helsinki tahun 1964 dan amandemen selanjutnya atau standar etika yang sebanding.
Pernyataan informed consent disertakan di bagian atas instrumen penelitian yang
menjelaskan bahwa partisipasi bersifat sukarela, bahwa tanggapan akan
dipertahankan sebagai anonim, dan bahwa tanggapan penelitian tidak akan
mempengaruhi perawatan klinis mereka.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ogden CL, Carroll MD, Kit BK et al (2014) Prevalence of childhood and
adult obesity in the US, 2011–2012. JAMA 311(8):806–814
[3] Crosbie EJ, Zwahlen M, Kitchener HC (2010) Body mass index, hormone
replacement therapy, and endometrial cancer risk: a meta-analysis. Cancer
Epidemiol Biomark Prev 19:3119–3130
[4] Jenabi E, Poorolaial J (2015) The effect of body mass index on endometrial
cancer: a meta-analysis. Public Health 129(7):872–880
[6] Renehan A, Tyson M, Egger M et al (2008) Body mass index and incidence
of cancer: a systematic review and meta-analysis of prospective observational
studies. Lancet 371:569–578
[8] Koutoukidis DA, Knobf MT, Lancely A (2015) Obesity, diet, physical
activity, and health-related quality of life in endometrial cancer survivors.
Nutr Rev 73(6):399–408
[9] Smits A, Lopes A, Das N et al (2014) The impact of BMI on quality of life in
obese endometrial cancer survivors: does size matter? Gynecol Oncol
132(1):137–141
[12] Ward KK, Shah NR, Saenz CC et al (2012) Cardiovascular disease is the
leading cause of death among endometrial cancer patients. Gynecol Oncol
126(2):176–179
[13] Secord, Hasselblad V AA, Von Gruenigen VE et al (2016) Body mass index
and mortality in endometrial cancer: a systematic review and meta-analysis.
Gynecol Oncol 140:184–190
[14] Soliman PT, Bassett RL, Wilson EB et al (2008) Limited public knowledge
of obesity and endometrial cancer risk. Obstet Gynecol 112(4):835–842
[15] Behavioral Risk factor surveillance system. Center for Disease Control.
http://www.cdc.gov/brfss/questionnaires.
[16] Lake Snell Perry and Associates (2003) Obesity as a public health issue: a
look at solutions, results from a national poll
A. Kanker Endometrium
1. Definisi
Kanker endometrium adalah kanker ginekologi yang paling
sering terjadi di dunia barat, menempati urutan ke empat kanker pada
wanita setelah kanker payudara, kanker usus besar, dan kanker paru.
Dengan mortalitas sekitar 3.4 per 100.000 wanita diketahui bahwa
sebenarnya prognosis kanker ini cukup baik apabila diketahui dini dan
ditangani dengan tepat. Kanker endometrium memiliki 5 years life
survival sebesar 84%. Hal ini disebabkan karena sebagian kanker
endometrium berada dalam stadium awal sehingga dapat disembuhkan
secara sempurna. Lebih dari 75% wanita dengan kanker endometrium
adalah wanita menopause. Maka dari itu, gejala yang paling sering
terjadi adalah perdarahan post menopause (Creasman, 2017).
Kanker endometrium merupakan kanker yang dimulai di lapisan
endometrium (American Cancer Society, 2012). Berdasarkan
histopatologi, profil molekul dan perjalanan klinis kanker endometrium
dibagi menjadi dua kategori. Tipe I (Classic category) yaitu terjadi pada
wanita obese, wanita kulit putih, hiperlipidemia, hiperesterogen,
perdarahan pada uterus, infertilitas dan late menopause. Tipe ini
memiliki hiperplasia pada ovarium dan endometrium. Tipe ini sensitif
terhadap progesteron. Prognosis tipe ini baik, jarang ditemukan
penyebaran ke ekstra uterin. Kebanyakan wanita dengan kanker
endometrium masuk kategori ini. Tipe II tidak berkaitan dengan
hormon. Pada tipe II ini terjadi mutasi gen p53 dan hilangnya
heterozigositas di beberapa lokus kromosom. Kanker tipe II terkait
dengan penyebaran ke kelenjar getah bening dan penurunan sensitifitas
terhadap progesteron dan prognosis yang lebih jelek. Kebanyakan tipe
ini terjadi pada wanita kurus, multipara dan orang afrika amerika
(Creasman, 2017).
2. Etiologi dan faktor risiko
Beberapa fakto risiko telah diidentifikasi pada pasien yang mengalami
kanker endometrium, di antaranya adalah:
a. Obesitas meningkatkan fakto risiko terjadinya kanker endometrium.
Wanita yang mempunyai kelebihan berat badan 11-25 kg
mempunyai risiko 3 kali, sementara wanita yang mempunyai
kelebihan berat badan sebanyak 25 kg memiliki risiko 10 kali lipat
(Soekimin, 2005).
b. Nulliparitas
Pada wanita nulliparitas dijumpai peningkatan risiko sebesar 2-3
kali dibanding multipara. Hipotesis bahwa infertilitas menjadi faktor
risiko dari kanker endometrium didukung penelitian yang
menunjukkan risiko lebih tinggi untuk nullipara dibanding wanita
yang belum menikah (Frederic, 2005).
c. Late menopause
Wanita menopause setelah umur 52 tahun akan mengalami
peningkatan risiko sebesar 2,4 kali untuk terjadinya kanker
endometrium. Disamping itu kanker endometrium dapat terjadi pada
wanita pramenopause dengan siklus haid yang teratur (Soekimin,
2005).
d. Penggunaan Tamoxifen
Obat anti kanker yang paling umum digunakan adalah tamoxifen.
Beberapa penelitian menemukan bahwa obat ini sebagai penyebab
meningkatnya insidensi kanker endometrium. Data tersebut
diperoleh dari hasil analisis retrospektif pada wanita penderita
kanker payudara yang mengkonsumsi tamoxifen, ditemukan
peningkatan terjadinya kanker endometrium sebesar 2-3 kali.
Namun pada penelitian yang menggunakan database SEER, setelah
memperbaiki confounding factor, insidensi kanker endometrium
tidak meningkat pada pasien yang mengkonsumsi tammoxifen
(Creasman, 2017).
e. KB Pil
Beberapa penelitian menemukan bahwa konsumsi pil KB memiliki
0.5 resiko relative untuk menimbulkan kanker endometrium
dibandingkan wanita yang belum pernah konsumsi pil KB
(Creasman, 2017).
f. Merokok
Merokok menurunkan faktor risiko berkembangnya kanker
endometrium. Efek dari merokok berkaitan dengan berat badan.
Wanita yang memiliki kelebihan berat badan dan meroko memiliki
faktor risiko rendah. Wanita yang merokok mengalami menopause
1-2 tahun lebih cepat dibanding yang tidak merokok. Meskipun
dikatakan merokok mengurangi faktor risiko pengembangan
stadium awal dari kanker endometrium, namun keuntungan ini tidak
sebanding dengan risiko timbulnya kanker paru dan masalah
kesehatan lainnya akibat rokok (Creasman, 2017).
g. Kondisi medis terkait (kanker payudara, kanker colon)
Wanita yang memiliki kanker payudara memiliki faktor risiko 2-3
kali mengalami kanker endometrium. Wanita yang memiliki
hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC) memiliki risiko
tinggi mengalami kanker endometrium. Wanita dengan HNPCC 2-
10% nya menderita kanker colon, namun 5% nya menderita kanker
endometrium (Creasman, 2017).
h. Sindrom metabolik
Sindroma metabolik dihubungkan dengan meningkatnya fakto
risiko timbulnya kanker endometrium (Soekimin, 2005)
i. Riwayat penyakit keluarga
Individu yang memiliki riwayat penyakit keluarga kanker
endometrium memiliki risiko lebih tinggi (Soekimin, 2005).
3. Patofisiologi
Terdapat 2 jenis kanker endometrium yang paling sering terjadi,
yaitu tipe endometrioid carsinoma dan serous carsinoma. Kedua tipe ini
dibedakan dari lesi awal yang mendahului kanker. Endometrioid
carsinoma berasal dari perkembangan lesi pra kanker hyperplasia
atypical. Serous carsinoma berasal dari lesi pra kanker atropic
endometrium (Kumar, Abul, dan Jon, 2015). Secara umum konsep
pertumbuhan jaringan terjadi akibat hilangnya fungsi fisiologis gen
tumor suppressor dan gen tumor proliferator (Berek, 2012).
Pada endometrioid carsinoma, lesi diawali dengan mutasi gen
PTEN pada 30-80% kasus. Gen lainnya yang juga mengalami mutasi
namun tidak pasti ditemukan di kebanyakan kasus yaitu gen KRAS,
FGF2, MSI, CTNNB1, dan TP53. Mutasi beberapa gen tersebut
menyebabkan peningkatan aktivitas pada jalur PI3K/AKT. Peningkatan
aktivitas jalur ini menyebabkan proliferasi sel abnormal secara besar-
besaran membentuk massa neoplasma (Kumar, Abul, dan Jon, 2015).
Neoplasma yang terbentuk pada endometrioid carsinoma berupa
struktur glandular, glandular-solid, dan dominan solid. Pada serous
carsinoma, lesi diawali dari mutasi gen tumor suppressor TP53.
Hilangnya gen suppressor ini menyebabkan proliferasi sel besar-
besaran. Neoplasma yang terbentuk pada serous carsinoma memiliki
struktur kelenjar yang mengeluarkan sekret dengan tipe serous.
Deskripsi ini dapat pula diungkapkan dengan derajat G1, G2, dan G3.
G1 yaitu diferensiasi sel masih baik. G2 yaitu sudah terdapat bagian
solid/padat. G3 yaitu sebagian sel adalah padat/solid, atau diferensiasi
sel sudah tidak baik lagi (undifferentiated) (Wiknjosastro, Abdul, dan
Trijatmo, 2012).
Struktur kedua tipe neoplasma yang terbentuk bersifat rapuh,
hiperemia, dan membentuk ulkus. Apabila ada trauma sedikit saja,
neoplasma mudah berdarah (Wiknjosastro, Abdul, dan Trijatmo, 2012).
Secara histologis, morfologi sel kedua jenis carsinoma endometrium
adalah sama, yaitu sel atipia, hiperkromatik, mitosis, dan padat (Berek,
2012).
Penyebaran sel carsinoma endometrium dapat melalui jalur
direct, limfogen, dan hematogen. Penyebaran terutama dapat diamati
pada derajat G3. Pada tahap awal, sel berproliferasi dan menyebar ke
kavum uterus dan endoserviks. Setelah sampai endoserviks, sel
neoplasma menyebar secara cepat ke kelenjar regional, kelenjar iliaka
luar dan iliaka dalam, kelenjar limfe inguinal dan femoral. Penyebaran
secara direct yaitu ke bagian distal vagina. Penyebaran hematogen
jarang terjadi (Kumar, Abul, dan Jon, 2015).
Serous carsinoma memiliki sifat sudah menyebar ekstrauterine
terlebih dahulu meskipun neoplasma baru sebatas di endometrium atau
epitel permukaan. Hal ini menjadi landasan terapi yang dilakukan pada
carsinoma endometrium yaitu pengangkatan uterus beserta kelenjar
limfe terkait (Wiknjosastro, Abdul, dan Trijatmo, 2012).
4. Penegakkan Diagnosis
Tanda dan gejala klinis yang mengarahkan diagnosis kepada
carsinoma endometrium yaitu perdarahan irreguler pada
postmenopauseal vaginal bleeding, leukorrhea. Apabila sudah kronik,
terbentuk massa di uterus (Kumar, Abul, dan Jon, 2015).
Pemeriksaan fisik head to toe dapat dilakukan pada pasien
carsinoma endometrium. Pemeriksaan yang berpeluang akan
menghasilkan temuan klinis yaitu pemeriksaan conjunctiva, abdomen,
genitalia, dan organ-organ yang terkait apabila sudah terdapat metastasis
(Wiknjosastro, Abdul, dan Trijatmo, 2012).
Conjuctiva berpeluang menghasilkan keadaan anemis (pucat).
Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan perut datar sampai
cembung akibat pembesaran massa, nyeri tekan, teraba massa abnormal,
perkusi timpani sampai pekak, auskultasi bising usus normal.
Pemeriksaan genitalia menekankan pada pemeriksaan palpasi bimanual
dan inspekulo. Inspeksi vulva vagina biasanya menghasilkan keadaan
yang normal. Palpasi bimanual dapat menghasilkan temuan pembesaran
uterus dan nyeri pada palpasi. Apabila terdapat metastasis, teraba massa
padat pada area sekitar uterus seperti vagina atau adneksa
(Wiknjosastro, Abdul, dan Trijatmo, 2012).
Penegakan diagnosis didasarkan dengan tanda dan gejala klinis
yang mengarahkan kepada carsinoma endometrium disertai tindakan
kuretase. Setelah diagnosis tegak, segera dilakukan Total Abdominal
Hysterectomy dan Bilateral Salphyngo-oophorectomy (TAH BSO) /
surgical staging untuk mengetahui sejauh manakah neoplasma sudah
menyebar dan menentukan prognosis (Berek, 2012). Penentuan stadium
pada carsinoma dapat mengikuti pedoman dari FIGO atau sistem TNM
seperti berikut (Gambar 4).
Gambar 4. Penentuan Staging Carsinoam Endometrium (NCCN, 2017)
5. Penyebaran
Penyebaran karsinoma endometrium dapat terjadi di beberapa
bagian, diantaranya (Sonoda, Barakat, 2005):
a. Jaringan sekitarnya
Penyebaran karsinoma endometrium pada jaringan sekitarnya
umumnya lambat, terutama pada yang berdiferensiasi baik.
Penyebarannya ke arah kavum uteri dan endoserviks. Dari kavum
uteri menuju stroma endometrium, maju ke miometrium, lalu ke
ligamentum latum dan jaringan sekitarnya.
b. Melalui kelenjar limfe
Penyebarannya melalui kelenjar limfe ovarium menuju ke kelenjar
para aorta. Melalui kelenjar uterus akan menuju ke kelenjar iliaka
interna, kelenjar iliaka eksterna, dan kelenjar iliaka komunis.
Melalui kelenjar limfe ligamentum rotundum akan menuju ke
kelenjar limfe inguinal dan femoral.
c. Melalui aliran darah
Biasanya proses penyebarannya sangat lambat. Tempat
metastasenya antara lain menuju ke paru, hati, dan otak.
6. Penatalaksanaan
Radiasi atau histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis
merupakan pilihan terapi untuk adenokarsinoma endoserviks yang
masih terlokalisasi, sedangkan staging surgical yang meliputi
histerektomi simple dan pengambilan contoh kelenjar getah bening
para-aorta adalah penatalaksanaan umum adenokarsinoma
endometrium (Prawirohardjo, 2006).
a. Pembedahan
Kebanyakan penderita akan menjalani histerektomi (pengangkatan
rahim). Kedua tuba falopii dan ovarium juga diangkat (salpingo-
ooforektomi bilateral) karena sel-sel tumor bisa menyebar ke
ovarium dan sel-sel kanker dorman (tidak aktif) yang mungkin
tertinggal kemungkinan akan terangsang oleh estrogen yang
dihasilkan oleh ovarium. Jika ditemukan sel-sel kanker di dalam
kelenjar getah bening disekitar tumor, maka kelenjar getah bening
tersebut juga diangkat. Jika sel kanker telah ditemukan di dalam
kelenjar getah bening, maka kemungkinan kanker telah menyebar
ke bagian tubuh lainnya. Jika sel kanker belum menyebar ke luar
endometrium (lapisan rahim), maka penderita tidak perlu
menjalani pengobatan lainnya (Prawirohardjo, 2006).
b. Radioterapi
Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk
membunuh sel-sel kanker. Terapi penyinaran merupakan terapi
lokal, hanya menyerang sel-sel kanker didaerah yang disinari. Pada
stadium I, II atau III dilakukan terapi penyinaran dan pembedahan.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien kanker endometrium
menurun 20-30% dibanding dengan pasien dengan operasi dan
penyinaran. Penyinaran bisa dilakukan sebelum pembedahan
(untuk memperkecil ukuran tumor) atau setelah pembedahan
(untuk membunuh sel-sel kanker yang tersisa). Stadium I dan II
secara medis hanya diberi terapi penyinaran. Pada pasien dengan
risiko rendah (stadium IA grade 1 atau 2) tidak memerlukan radiasi
adjuvan pasca operasi. Radiasi adjuvan diberikan kepada
(Prawirohardjo, 2006) :
1) Penderita stadium I, jika berusia diatas 60 tahun, grade III
dan/atau invasi melebihi setengah miometrium.
2) Penderita stadium IIA/IIB, grade I, II, III.
3) Penderita dengan stadium IIIA atau lebih diberi terapi tersendiri
d. Terapi Hormonal
1) Terapi primer
Salah satu keunikan kanker endometrium adalah merespon
terapi hormon. Progestin digunakan sebagai terapi primer wanita
yang mempunyai resiko tinggi operasi. Namun terapi ini jarang
dilakukan. Ini bisa saja merupakan satu-satunya pilihan terapi
paliatif dalam beberapa kasus. Pada kasus yang jarang lainnya,
pada adenocarcinoma stadium 1 yang sulit di operasi, intrauterine
progestional dapat membantu. Namun terapi ini harus digunakan
dengan hati-hati (Schorge JO, et al. 2008).
2) Terapi Hormonal Adjuvan
Single-agent progestin telah menunjukkan aktifitas pada
penderita dengan stadium lanjut. Tamoxifen memodulasi ekspresi
dari progesteron reseptor dan meningkatkan efikasi progestin.
Tamoksifen dan progestin sebagai terapi adjuvan telah
menunjukkan tingkat respon yang tinggi. Secara umum, toksisitas
sangat rendah, kombinasi ini paling sering digunakan untuk
penyakit rekuren (Schorge JO, et al. 2008).
3) Terapi Pengganti Estrogen
Karena dugaan kelebihan estrogen sebagai penyebab
perkembangan kanker endometrium, ada kekhawatiran bahwa
penggunaan estrogen pada wanita dengan kanker endometrium
dapat meningkatkan resiko kekambuhan atau kematian. Namun,
efek seperti itu belum ada penelitiannya. Gog meneliti efek terapi
pengganti estrogen secara acak pada 1236 wanita yang telah
menjalani operasi kanker stadium I dan II dengan memberikan
estrogen atau plasebo. Hasilnya terdapat kekambuhan yang
rendah. Karena beresiko dan keamanannya belum terbukti, pasien
harus diberi konseling hati-hati sebelum memulai rejimen
estrogen pasca operasi (Schorge JO, et al. 2008).
7. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengontrol faktor risiko
yang masih bisa diubah (modifiable factor) seperti diabetes mellitus,
hipertensi esensial, dan obesitas (Wiknjosastro, Abdul, dan Trijatmo,
2012). Diabetes mellitus dikelola dengan dua cara yaitu mencegah agar
DM tidak terjadi dan kontrol gula darah apabila DM sudah terjadi. DM
dicegah dengan pola makan sehat seimbang (seimbang karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral). Sedangkan bagi para penderita DM,
kontrol gula darah adalah hal yang utama dengan konsumsi obat
(insulin, metformin) secara teratur dan ubah pola hidup (Sudoyo et al.,
2012).
Hipertensi esensial dapat diterapi menggunakan captopril,
losartan, hidroklorotiazide. Kemudian, konsumsi makanan berminyak
diturunkan dan hentikan aktivitas merokok (Sudoyo et al., 2012).
Obesitas meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh melalui proses
aromatisasi lemak subkutan. Obesitas dapat dicegah dan diterapi dengan
olah raga 30 menit / hari selama 3-5 kali seminggu, mengurangi hidup
sedenter, mengontrol berat badan agar IMT 18,5 – 24,9 (Kasper et al.,
2015).
Pencegahan kanker endometrium paling utama yaitu dengan
mengenali tanda dan gejala sejak dini yaitu perdarahan abnormal di
masa menopause atau postmenopause karena kanker endometrium
sudah menunjukkan gejala perdarahan pada saat kanker masih terbatas
di uterus (Berek, 2012). Screening dini menggunakan Pap smear
dilaporkan tidak memiliki kemaknaan yang signifikan sehingga tidak
disarankan (Berek, 2012).
8. Prognosis
Sejumlah faktor prognosis di bawah ini digunakan untuk menilai
kekambuhan maupun keberhasilan terapi pada penyakit ini (Berek,
2012).
a. Umur penderita
b. Jenis histologi
c. Diferensiasi histologi
d. Invasi ke miometrium
e. Sitologi peritoneum
f. Metastase kelenjar limfe
g. Metastase adneksa
h. Reseptor hormon
i. Ukuran tumor
j. Lymph vascular space invasion
DAFTAR PUSTAKA