"Penulisan Ilmiah" Membuat Artikel (Sejarah Kebudayaan Batak Mandailing)

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 21

“PENULISAN ILMIAH”

MEMBUAT ARTIKEL

(Sejarah Kebudayaan Batak Mandailing )

DOSEN PENGAMPU

Isroyati M.Pd

Disusun Oleh :

Siti Aisyah 201644400399


Irfan Ardiyansyah 201644500360
Fadilah Suherman 201544500147
Bayu Apriyanto 201644500406

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2019
Sejarah Kebudayaan Batak Mandailing Kelompok 1

Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

Abstract. Indonesia is a country rich in culture and heritage of beauty. It is presented in colorful
cultures. Indonesian culture has various shapes and colors. The culture is conveyed in the activities
of tribes in Indonesia. Culture is human thought while culture is the result of that thinking. Tribe is
the highest MADAT social unit consisting of one or more clans (in Ambon language known as
mataruma). One tribe that has a variety of cultures is the Batak tribe. The Batak tribe is not just one
but is based on the area where they live. There are Toba Batak, Karo Batak, Simalungun Batak and
also Mandailing Batak. These tribes are Batak tribes on the island of Sumatra. Mandailing is a
tribal name as well as region in Mandailing Natal district, North Sumatra. The Mandailing tribe
has similarities with other Batak tribes such as the existence of a clan system and respect for adat.
The Mandailing tribe has its own customs, culture and language. They speak in Mandailing. The
Mandailing language itself is closely related to the Angkola and Toba Batak languages. Judging
from the cultural, customary and linguistic traditions there are close links in the past between the
Mandailing Batak tribe and the Angkola, Toba and Padang Lawas Batak tribes. In addition, they
are also expected to be related to past relations with the Rokan Batak tribe and the Rao tribe.

Keywords : History, Tribe, Culture.

Abstrak. Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan warisan keindahan. Hal itu tersajikan
dalam warna-warni budaya. Budaya yang dimiliki oleh Indonesia beragam bentuk dan warnanya.
Budaya tersebut tersampaikan dalam kegiatan suku-suku di Indonesia. Budaya adalah pemikiran
manusia sedangkan kebudayaan adalah hasil dari pemikiran tersebut. Suku ialah unit sosial MADAT
tertinggi yang terdiri dari satu atau lebih marga (dalam bahasa ambon dikenal dengan mataruma).
Salah satu suku yang memilki ragam kebudayaanadalah suku batak. Suku batak tidak hanya satu
saja melainkan ada sesuai daerah tempat tinggalnya. Ada batak Toba, batak Karo, batak Simalungun
dan juga batak Mandailing. Suku-suku tersebut merupakan suku batak yang ada di Pulau Sumatera.
Mandailing merupakan nama suku sekaligus wilayah di kabupaten Mandailing Natal, Sumatera
Utara. Suku mandailing memiliki persamaan dengan suku batak lainnya seperti adanya sistem marga
dan penghormatan terhadap adat. Suku Mandailing memiliki adat, budaya dan bahasa sendiri.
Mereka berbicara dalam bahasa Mandailing. Bahasa Mandailing sendiri sangat berkerabat dengan
bahasa Batak Angkola dan Batak Toba. Dilihat dari tradisi budaya, adat dan bahasa terdapat
keterkaitan erat di masa lalu antara suku Batak Mandailing dengan suku Batak Angkola, Toba dan
Padang Lawas. Selain itu mereka juga diperkirakan masih terkait hubungan di masa lalu dengan
suku Batak Rokan dan suku Rao.

Kata kunci: Sejarah, Suku, Kebudayaan.


PENDAHULUAN

Jika sedang membahas tentang suku batak pastilah tidak ada habisnya, dari

tentang kebudayaannya, bahasa, partuturan adat yang mungkin berbeda-beda. Jika

diartikel sebelumnya sudah pernah membahas tentang Suku Batak, maka kita dapat

mengetahui bahwa Suku batak memiliki 7 subetnis, yaitu Toba, Karo, Pakpak,

Simalungun, Mandailing, Angkola. Mandailing atau Mandahiling diperkirakan

berasal dari kata Mandala dan Holing. Mandala berarti pusat dari federasi beberapa

kerajaan, sedangkan Holing berasal dari nama kerajaan Kalingga. Kerajaan

Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum kerajaan Sriwijaya

dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan

Kesultanan Dharmasraya setelah diislamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin

Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu

Sima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra,

pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan

Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang

Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal


dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk

Rajendra. Dalam bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang

yang bermaksud “ibu yang hilang”. Oleh karenanya ada pula anggapan berdasarkan

silsilah, yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan

Pagaruyung di Minangkabau. Itu sebabnya bahasa Melayu dialek Minangkabau

masih dikenal luas sebagai bahasa asli di wilayah-wilayah penyebaran etnis

Mandailing di Sumatra.

Dalam rangka devide et impera, banyak sejarahwan asing yang dipengaruhi

pemikiran Gubernur Jenderal Hindia Timur Thomas Stamford Raffless dalam

rangka kristenisasi, menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak. Secara

administrasi, pemasukan Mandailing dalam sub etnis Batak dimulai pada masa

pemerintahan Belanda pada awal abad ke-20 lalu, walau pun orang-orang

Mandailing yang diwakili raja-raja Kuria menolak untuk disub etniskan dalam etnis

Batak. Akibatnya muncul peristiwa yang dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf

Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, hingga berlanjut ke

pengadilan. Akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan

Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak,

karena berdasarkan de facto, etnis Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis

Mandailing. Berdasarkan silsilah yang diakui etnis Batak sendiri dalam Tarombo

Si Raja Batak,- Si Raja Batak merupakan nenek moyang orang Batak, ibunya yang

bernama Deak Boru Parujar berasal dari etnis Mandailing. Jadi sebelum ada etnis

Batak, etnis Mandailing sudah ada. Etnis Mandailing sendiri, menurut silsilahnya

berasal dari etnis Minangkabau.


Suku Mandailing mempunyai aturan adat istiadat yang diatur dalam suatu

tuntunan yang bernama Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Surat

Tumbaga Holing biasanya selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Selain itu,

orang Mandailing pun mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak atau

Urup Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatra, yang berasal

dari huruf Pallawa. Bentuknya tidak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara

Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuno, dan Aksara Nusantara lainnya.

Meskipun Etnis Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-

tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha /

pustaka, tetapi hampir tidak ada sejarah yang dituliskan dalam huruf itu, umumnya

huruf itu hanya digunakan untuk menulis aturan adat dan pengobatan. Sejarah

Mandailing sendiri berkaitan erat dengan Sejarah Minangkabau, tetapi

perbedaannya sejarah Mandailing diceritakan berdasarkan garis silsilah laki-laki,

sementara sejarah Minangkabau berdasarkan garis silsilah perempuan. Oleh sebab

itu, sejarah Mandailing umumnya tertulis dalam bahasa Minangkabau. Suku

Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun

matrilineal.

Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Berbeda

dengan orang Batak yang mengenal sampai 500 marga, walau pun orang

Mandailing jauh lebih banyak, tetapi hanya mengenal belasan marga saja,

diantaranya adalah Lubis Singasoro, Lubis Singengu, Nasution, Harahap,

Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe atau Nai

Monte, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut.


Umumnya marga-marga Mandailing berasal dari keturunan yang sama yaitu

berasal dari Bugis/Lubis, sehingga tanah Mandailing disebut juga sebagai Tanah

Bugis (Bugih) Lamo. Umumnya orang-orang Mandahiling tidak mengenal

pelarangan perkawinan semarga seperti yang terjadi pada etnis Batak. Tak heran,

bila marga-marga di Batak bertambah banyak karena banyaknya perkawinan

semarga yang diharuskan membuat marga baru, sementara pada etnis Mandailing

hanya ada kewajiban memotong korban berupa ayam, kamping, atau kerbau

tergantung status sosial orang Mandailing itu pada masyarakatnya. Marga-marga di

Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbagi kepada Lubis

Kota Nopan dan Lubis Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang,

Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Di Mandailing Godang, Nasution juga

terpecah lagi dalam beberapa marga, seperti Nasution Panyabungan, Tambangan,

Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Di Mandailing

Angkola, Lubis terpecah dalam Harahap dan Hutasuhut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui pengalaman saya sendiri yang tinggal di daerah

suku rao jadi suku rao ini perbatasan antara Sumatra barat dan Sumatra utara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara garis besar, Mandailing adalah salah satu suku yang banyak ditemui

di utara Pulau Sumatera atau lebih spesifik berada di selatan Provinsi Sumut. Suku

ini memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan

kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak dan Melayu. Generalisasi kata
Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli

wilayah itu. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak.

Abdur-Razzaq Lubis dalam bukunya “Mandailing-Batak-Malay: A People

Defined and Divided. In: 'From Palermo to Penang: A Journey into Political

Anthropology', University of Fribourg, 2010, mengemukakan, bahwa penjajahan

Belanda di Sumatera menyebabkan Mandailing menjadi bagian dari Suku Batak

berdasarkan aturan irisan yang dibuat untuk mengklasifikasi dan membuat tipologi.

Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak

Mandailing di Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia.

Mengenai sejarah Mandailing, M Dolok Lubis dalam Bukunya

“Mandailing; Sejarah, Adat dan Arsitektur Mandailing” menjelaskan bahwa

keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan

dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa Gajah Mada pada syair

ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca sebagai daerah ekspansi

Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di luar Jawa.

Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya

tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun

1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai

Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah

pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat

bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing.

Budayawan Mandailing, Z Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-

usul Marga di Mandailing’. Nama Mandailing disebut berasal dari kata


Mandehilang (bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang). Kata Mundahilang,

kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di

Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir

ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa

Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera.

Marga Dalam Batak Mandailing

Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diyakini berawal sejak

abad ke-9 atau ke-10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan

Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari

Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di

Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai

pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi

berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang

berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah.

Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora

Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan

berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora

Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola.

Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan

antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik

perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga.


Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang

berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut

Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang

menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut

Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang,

membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan

Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin

serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.

Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku

lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu

1. Suku Sakai, bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan

di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia.

2. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan

adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir.

3. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya

berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu.

Pendapat lain menyebutkan bahwa suku Mandailing di Sumut lahir di

bawah pengaruh Kaum Padri yang memerintah Minangkabau di Tanah Datar.

Hasilnya, suku ini dipengaruhi oleh budaya Islam. Suku ini juga tersebar di

Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak. Suku ini juga memiliki keterkaitan

dengan Suku Angkola (Tapanuli Selatan).

Budayawan Mandailing-Angkola Basyral Hamidy Harahap

mengemukakan, umumnya nenek moyang Mandailing merantau ke Semenanjung


karena Perang Padri (1816-33). Ada yang menuntut ilmu agama, berniaga,

membuka huta harajoan (beraja) yang baru, membawa diri kerana perselisihan

paham di kalangan keluarga atau menghindarkan penjajahan Belanda. Seperti

kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu

mengikuti nasab keturunan ayah. Karena itu, hanya laki-laki saja bisa menyambung

marga orang tuanya. Sebagaimana orang Arab dan China, orang Mandailing

mempunyai pengetahuan mengenai silsilah mereka sampai beberapa keturunan

sekaligus riwayat nenek moyang mereka.

Struktur Adat dan Sistem Sosial

Dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya, Mandailing menggunakan

satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga).

Masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas

1. Kahanggi, (kelompok orang semarga),

2. Mora (kelompok kerabat pemberi anak gadis) dan


3. Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak gadis).

Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan

kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan/pesta), yaitu tiga jenis yaitu, (1) Horja

Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak),

memasuki rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak

(haroan boru); (2) Horja Siluluton (upacara Kematian) dan (3) Horja Siulaon

(gotong royong).

Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda

merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat. Yaitu raja

dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing

terdiri atas beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah

Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk),

Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban

Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta). Semua raja Panusunan yang ada di

Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan

marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di

wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas Namora (orang yang menjadi kepala dari

tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan kahanggi raja), Natoras

(seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang yang semarga dengan

Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo

Nagodang (mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama

pada waktu tertentu ke huta tersebut).


Sistem sosial ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sangat

menghormati dan menghargai orang tua. Namun demikian, orang tua yang

dihormati tidak lantas tinggi hati. Tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara

bahkan orang lain yang bukan siapa-siapa bagi mereka dalam melaksanakan setiap

aktivitas di dalam huta.

Marga-Marga Mandailing

Menurut Abdoellah Loebis, penulis asal Mandailing:

1. marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan adalah Lubis (yang terbagi

kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu

Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan.

2. Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah Nasution yang terbagi kepada

Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga,

Pidoli, dan lain-lain.

3. Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan),

Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai

Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan

Parinduri asalnya satu marga.)

Menurut Basyral Hamidy Harahap, di daerah Angkola dan Sipirok terdapat

marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga

terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan,

Nasution dan Lubis di Padang Lawas. Selain di Mandailing Natal (Madina), suku

Mandailing juga banyak tersebar di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten


Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Padangsidimpuan.

Kelompok pertama yang datang di wilayah tersebut adalah Pulungan dan Nasution.

Seiring waktu, kini populasi orang Mandailing tersebar luas ke penjuru

Indonesia dan luar negeri. Mereka mudah dikenal karena adanya identitas marga

yang melekat pada nama mereka.

Kesenian tradisional

1. Gordang Sambilan adalah alat kesenian terdiri atas sembilan gendang besar

(beduk) yang ditabuh bersamaan, dalam rangka tertentu, misalnya pada hari

raya. Salah satu beduk ditabuh oleh seorang raja/pemimpin wilayah, yang

biasanya memulai irama penabuhan.

2. Tarian Tor-tor atau Tarian Gunung-gunung adalah tarian yang dilakukan

oleh raja-raja dan keturunannya di Mandailing. Tor dalam bahasa

Mandailing bisa berarti gunung, bisa juga berarti bukit, yang berasal dari

bahasa Arab/Ibrani, yaitu Thur. Tarian Tor-tor di Mandailing dilakukan

dengan irama lambat, dengan gerakan pelan dan lembut dari penarinya, dan
berpindah tempat secara pelan atau diam di tempat, sehingga terkesan

sakral. Biasanya Tarian Tortor ini diiringi musik yang disebut sebagai

Onang-onang. Tarian Tor-tor ini dikenal sebagai warisan dari Nabi

Sulaiman yang berasal dari suku Levi's, yang diciptakan sekitar 3000 tahun

yang lalu, ketika berhasil menguasai wilayah Saba'.

3. Moncak atau Poncak adalah tarian yang berasal dari gerakan pencak silat.

Biasanya tarian ini dilakukan dalam rombongan yang hendak mendatangi

tempat yang dituju, semisal dalam rangka pesta perkawinan

(Marolet/Baralek), ketika rombongan pengantin pria mendatangi tempat

mempelai perempuan.

4. Markusip yang berarti berbisik adalah acara yang dilakukan para bujang di

Mandailing dalam rangka merayu anak gadis yang diincarnya pada tengah

malam, dengan cara mendatangi bawah kolong kamar dimana sang anak

gadis itu tidur (biasanya pada zaman dahulu rumah tradisional di


Mandailing berbentuk rumah panggung. Awalnya, sang bujang akan

meniup Tulila, yaitu alat tiup tradisional dengan irama tertentu, sehingga

anak gadis yang diincarnya mengetahui keberadaannya. Selanjutnya, anak

bujang akan mengeluarkan rayuan melalui pantun dan kata-kata bersyair

secara berbisik-bisik, melalui lubang papan lantai, dan dibalas dengan

pantun dan kata-kata bersyair pula.

5. Ende-ende adalah nyanyian tradisional yang berbentuk puisi atau pantun

yang dinyanyikan secara oral, yang isinya menggambarkan nilai-nilai

budaya, relijius, filsafat, estetika serta hiburan, juga termasuk di dalamnya

riwayat leluhur atau kisah tertentu.

6. Turi-turian adalah cerita adat yang menggambarkan cerita atau kejadian di

masa lalu, yang pernah terjadi dalam masyarakat Mandailing, bisa

menggambarkan silsilah keluarga dan lainnya.

7. Salung adalah alat musik tiup yang digunakan untuk menghibur dengan cara

sambil menyanyikan sebuah cerita dalam suatu pesta adat.

8. Sibaso adalah acara yang dilakukan oleh dukun/tabib dalam rangka

menyembuhkan penyakit atau memberi peruntungan pada masyarakat yang

membutuhkannya. Pada masa masyarakat pra Islam, Si Baso biasanya

melakukan hal-hal magis dengan upacara tertentu, untuk memenuhi

keinginan masyarakat yang meminta bantuannya. Dalam riwayatnya, acara

Sibaso ini diperkenalkan oleh seorang Datu (Dukun/Tabib tradisional) yang

berasal dari Bugis yang tinggal di Sayurmaincat.


Religi Masyarakat Suku Mandailing

Agama masyarakat mandailing sekarang ini mayoritas adalah penganut

Islam yang taat meskipun demikian ada juga orang mandailing yang menganut

kristen. Namun sebelumnya, suku batak adalah penyembah berhala dan banyak

dewa (begu) atau yang disebut si pelebegu. Orang mandailing hampir 100% adalah

penganut agama islam yang taat, oleh karena itu Islam memiliki pengaruh yang

besar dalam pelaksanaan upacara adat. Dalam mandailing ada falsafah yang

menyebutkan Hombar do adat dohot ibadat yang artinya adalah adat dan ibadat

tidak dapat dipisahkan. Adat tidak boleh bertentangan dengan agama islam. Jika

dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan pelaksanaan agama, adat

itu harus dikesampingkan. Adat istiadat mandailing baik dalam kehidupan sehari-

hari atau upacara adat masih tetap dipakai oleh orang mandailing. Adat istiadat

mandailing berdasarkan Dalihan Na Tolu.

Sebelum Islam masuk, pelaksanaaan upacara adat masih terasa kental sekali

namun setelah Islam masuk , upacara masih dilakukan namun disesuaikan dengan

kaidah islam. Contohnya sebelum islam masuk, mayat dibawa dengan keranda

bertingkat-tingkat atau yang disebut roto dam keluarga harus meratapi kepergian

anggota keluarganya tersebut, namun setelah islam masuk kegiatan meratap itu

dihiliangkan.

Letak wilayah Mandailing yang berbatasan langsung dengan wilayah

Minagkabau (Sumatera Barat) memberikan andil yang besar terhadap proses

Islamisasi di bagian pedalaman Mandailing, Angkola (Tapanuli selatan), dan

sampai ke perbatasan Tapanuli bagian Utara (Batak toba). Pengembangan Islam di


wilayah ini di kaitkan dengan perang pantry atau Paderi di Minangkabau Sumatera

Barat tahun 1821-1837. Agama Islam disebarkan dari Minangkabau dan sekarang

ini dianut oleh sebagian besar masyarakat batak Mandailing dan batak Angkola.

Sedangkan agama Kristen Katolik dan Protestan disebarkan oleh para missionaris

Jerman dan Belanda sejak tahun 1863 ke daerah batak Toba, Simalungun, Pak Pak

Fungsionaris Adat

Fungsionaris adat adalah orang yang berfungsi mengatur dan menjaga agar

adat dapat terpelihara dengan baik. Fungsionaris adat adalah orang yang berfungsi

mengatur dan menjaga agar adat dapat terpelihara dengan baik, fungsionaris adat

terdiri dari Raja, Namora Natoras dan pembantu-pembantu raja lainnya.

1. Raja menurut Commissie Kruese Stibhe terdiri dari

a. Raja Panusunan yaitu raja tertinggi sesuai perjanjian dan sekaligus sebagai

raja huta. Raja ini menjadi pemimpin dalam hutanya sendiri. Raja

panusunan ini merupakan raja tertinggi dari kesatuan beberapa huta.

b. Raja Ihutan merupakan raja dari kumpulan huta yang berada dibawah Raja

Panusunan.

c. Raja Pamusuk yaitu raja yang berada dibawah raja Ihutan yang memimpin

satu huta.

d. Raja Sioban Ripe berada dibawah raja pamusuk dan berdiam bersama-sama

di satu huta.

e. Suhu, yang berada dibawah raja pamusuk dan raja sioban ripe.

Adapun ketentuannya yaitu pagaran dipimpin oleh raja ripe karena

belum memnuhi syarat sebagai suatu huta. Contoh Pagaran Sigatal dan pagaran
Korak. Jika pagaran sudah berkembang karena penduduk banyak dan syarat

sebagai huta terpenuhi, maka menjadi huta. Apabila beberapahuta bersatu untuk

kepentingan tertentu maka disebut janjian dan dipimpin oleh Raja Janjian.

Pimpinan haruslah yang tertua dan berwibawa.

2. Namora Natoras

Namora natoras berfungsi sebagai pendamping raja dalam mengambil

keputusan saat membahas atau mnyelesaikan suatu peradatan yang menyangkut

kepentingan bersama huta yang dipimpinya serta mengawasi raja dalam

menjalankan pemerintahannya. Namora natoras terdiri dari namora yaitu orang

yangmenjadi kepala dari satu parompuan. Saparompuan berarati satu nenek,

empu, eyang, kakak. Kemudian natoras yaitu seorang yang tertua dari satu

parompuan yang oleh suatu kerapatan adat suatu huta diangkta dan disahkan

sebagai utusan untuk mewakili kerabatnya pada setiap kerapatan adat. Toras

berarti seorang teras (trunk) yang secara sosiologis dipandang sebagai primus

interpares. Namora natoras dapat dirinci dengan :

a. Anggi ni Raja yaitu yang duduk membantu raja dalam pelaksanaan tugas

pemerintahan sebagai wakil raja.

b. Imbang raja yaitu yang bertugas memberikan saran-saran yang diperlukan

dalam memajukan hutanya.

c. Suhu ni Raja yaitu yang memberikan nasehat-nasehat dan pertimbangan

kepada raja.

d. Lelu ni Raja yaitu yang menjaga keamanan raja

e. Gading ni Raja yaitu yang turut menentukan jalannya pemerintahan


f. Sibaso ni Raja yaitu yang membantu keamanan raja dalam melaksanakan

tugasnya dengan memebrikan doa-doa dan pasu-pasu dalam tugasnya

selalau dilindungi Tuhan.

g. Bayo-bayo Nagodang yaitu orang yang mengetahui seluk beluk

perbendaharaan raja atau yang mengatur keuangan raja.

h. Goruk-goruk hapinis yaitu yang mempertahankan kerajaaan dari gangguan

keamanan.

Bagas Godang Dan Sopo Godang

Tanda bahwa sebuah huta telah menjadi bpna bulu adalah mempunyai bagas

godang sebagai tempat tinggal raja dan sopo godang sebagai balai pertemuan serta

telah ditanami pohon-pohon bambu, beringin yang berfungsi sebagai bentang

terhadap seranagan musuh dari luar dan telah disesuaikan dengan ketentuan adat.

Bagas godang mempunyai pekarangan yang luas yang disebut dengan alaman bolak

atau alaman silang se utang yang berarti apabila sesorang yang berutang dikejar

oleh yang berpiutang dan dia lari ke alaman bolak dia tidak boleh lagi diganggu,

pertengkaran harus dihentikan dan dicari perdamaian.

Bagas godang berfungsi sebagai tempat timpat raja panusunan maupun raja

pamusuk sebagai tempat tinggal raja. Biasanaya bagas godang raja panusunan lebih

besar dari raja pamusuk. Secara adat, bagas godang melambangkan bona bulu yang

berarti bahwa huta tersebut telah memiliki satu perangkat desa yang lengkap seperti

dalihan na tolu, namora natoras, datu, sibaso, ulu balang, panggora dan raja

pamusuk sebagai raja adat. Setiap Bagas Godang yang senantiasa didampingi oleh

sebuah Sopo Godang harus mempunyai sebidang halaman yang cukup luas. Oleh
kerana itulah maka kedua bangunan tersebut ditempatkan pada satu lokasi yang

cukup luas dan datar dalam Huta. Halaman Bagas Godang dinamakan Alaman

Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang).

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa


DAFTAR PUSTAKA

https://travel.dream.co.id/news/4-fakta-unik-suku-batak-mandailing-yang-

jarang-diketahui-1711215.html

https://daerah.sindonews.com/read/1260799/29/asal-asul-mandailing-sejarah-

dan-kebesaran-marga-marga-1511712612

http://geschiedenisfarizpratama.blogspot.com/2015/11/sejarah-suku-

mandailing-sumatera-utara.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandahiling

You might also like