Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
A. Hasyim Nawawie
Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
ABSTRACT
The cancellation of the marriage begins after the Court's decision has binding
legal force and effect since the time of the marriage. The decision to revoke the
marriage does not apply retroactively to the children born of the marriage. Act
No. 1 of 1974 Article 22 on Marriage states that marriage annulment can be done
, if the parties do not qualify into marriage means that marriage is prohibited if
not meeting the requirements of marriage and marriage can be canceled.
The reality in the society there are still people who are performing marriages
when there are conditions that are not fulfilled or there are prohibitions have been
violated as a marriage annulment cases occurred in the Religious Court in
Tulungagung, in case Number : 0554 /Pdt. G/ 2009 / PA.TA in this case the
applicant who serves as his wife reported her husband to the lawsuit marriage
because it alleged that between them they have no blood ties that the defendant is
the little brother of the father Bulik applicant or applicants who are forbidden to
marry by Sya r'i and Legal OF . Further than this marriage itself had been born a
boy and also acquired the joint property in the form of vehicles, household
furniture, and some money. The court in this case has decided to grant the request
for the applicant to make a decision in the form of cancellation of marriage.
In the second case, the cancellation of marriage occurs in case Number: 0845 /
Pdt.G / 2010 / PA.TA. In the case of an applicant who works as a maid servant
marriage registrar to apply for annulment of marriage to couples who were
suspected of committing the practice of polyandry, in which the wife is known to
still married to another man before. Further than this marriage itself had been
born a girl and also acquired the joint property in the form of a sum of money.
After checking the case the court decided to grant the petition of the applicant to
make a decision in the form of cancellation of marriage.
This ruling brings legal consequences against the husband and wife whose
marriage was canceled covering their legal status, legal status of children, and
the status of property obtained during marriage after a court decision on the
cancellation of the marriage. The problems that arise are the Marriage Law and
the Compilation of Islamic Law does not regulate explicitly on the legal status as
a result of the cancellation of the marriage related about the legal status of
husband and wife whose marriage is canceled, the legal status of child care and
the legal status of property obtained during marriage after the entry into force of
a court decision on the cancellation of the marriage.
ABSTRAK
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para
pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan berarti bahwa
perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dan
perkawinannya dapat dibatalkan.
Kenyataan dalam masyarakat masih ada orang-orang yang melaksanakan
perkawinan padahal ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi atau ada larangan-
larangan yang telah dilanggar seperti kasus pembatalan perkawinan terjadi di
wilayah Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung, yaitu pada perkara Nomor:
0554 /Pdt.G/2009/PA.TA pada perkara ini pemohon yang berkedudukan sebagai
istri melaporkan suaminya dengan gugatan pembatalan perkawinan karena
ditengarai bahwa di antara mereka masih ada hubungan darah yaitu termohon
adalah adik kandung ayah pemohon atau bulik pemohon yang dilarang untuk
menikah secara Sya r'i dan Undang-undang. Lebih jauh dari perkawinan ini
sendiri telah lahir seorang anak laki laki dan juga diperoleh harta bersama berupa
kendaraan, perabot rumah tangga, dan sejumlah uang. Pengadilan dalam perkara
ini telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan
menjatuhkan putusan berupa pembatalan perkawinan.
Pada kasus kedua, pembatalan perkawinan terjadi pada perkara Nomor:
0845/Pdt.G/2010/PA.TA. Pada perkara tersebut pemohon yang berprofesi sebagai
pembantu pegawai pencatat nikah mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan terhadap pasangan suami istri yang ditengarai melakukan praktek
poliandri, di mana pihak istri diketahui masih terikat perkawinan dengan pria lain
sebelumnya. Lebih jauh dari perkawinan ini sendiri telah lahir seorang anak
perempuan dan juga diperoleh harta bersama berupa sejumlah uang. Setelah
memeriksa perkara tersebut pengadilan kemudian memutuskan untuk
mengabulkan permohonan pemohon dengan menjatuhkan putusan berupa
pembatalan perkawinan.
Putusan ini membawa akibat hukum terhadap pihak suami dan istri yang
perkawinannya dibatalkan meliputi status hukum mereka, status hukum
pengasuhan anak, dan status harta yang diperoleh saat perkawinan setelah putusan
pengadilan tentang pembatalan perkawinan. Permasalahan yang muncul adalah
Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur
secara eksplisit tentang status hukum akibat pembatalan perkawinan yang
berkaitan tentang status hukum suami dan istri yang perkawinannya dibatalkan,
status hukum pengasuhan anak dan status hukum harta yang diperoleh saat
perkawinan setelah berlakunya putusan pengadilan tentang pembatalan
perkawinan.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan perkawinan memberikan tambahan hak dan kewajiban
pada seseorang, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun
masyarakat. Namun demikian dengan berubahnya status seseorang akibat
dari perkawinan tersebut belum berarti seseorang telah mengerti hak-hak
dan kewajibannya dalam hubungan perkawinan tersebut. Berkaitan dengan
tujuan dari pelaksanaan perkawinan, diperlukan adanya peraturan-
peraturan yang akan menjadi dasar dan syarat yang harus dipenuhi
sebelum dilaksanakannya perkawinan.
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.Keputusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan,
bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan berarti
bahwa perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan dan perkawinannya dapat dibatalkan. Penjelasan kata “dapat”
dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana
menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan
lain. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
ini berarti dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Dengan demikian
perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan,
lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan
19
tertentu.
Pembatalan perkawinan ini terjadi setelah ditemukan pelanggaran
terhadap Undang undang Perkawinan atau Hukum Islam. Jika ini terjadi
maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan atas permohonan
19
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974, sampai KHI, Jakarta:
Kencana, hlm. 106-107.
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 262
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana akibat hukum putusan pembatalan perkawinan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten tulungagung terhadap status suami dan
istri pada perkara nomor: 0554 /Pdt.G/2009/PA.TA dan perkara
nomor 0845/Pdt.G/2010/PA.TA.
b. Bagaimana akibat hukum putusan pembatalan perkawinan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung terhadap pengasuhan
anak pada perkara nomor:0554/Pdt.G/2009/PA.TA dan perkara nomor
0845/Pdt.G/2010/PA.TA.
c. Bagaimana akibat hukum putusan pembatalan perkawinan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten Tulungagung terhadap harta yang
diperoleh selama masa perkawinan pada perkara nomor: 0554
/Pdt.G/2009/PA.TA dan perkara nomor 0845/Pdt.G/2010/PA.TA.
3. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui akibat hukum putusan pembatalan perkawinan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten tulungagung terhadap status suami dan
istri pada perkara nomor: 0554 /Pdt.G/2009/PA.TA dan perkara
nomor 0845/Pdt.G/2010/PA.TA.
b. Menelaah secara mendalam tentang akibat hukum putusan
pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama Kabupaten
Tulungagung terhadap pengasuhan anak pada perkara
Nomor:0554/Pdt.G/2009/PA.TA dan perkara nomor
0845/Pdt.G/2010/PA.TA.
c. Menelaah secara mendalam tentang akibat hukum putusan
pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama Kabupaten
Tulungagung terhadap harta yang diperoleh selama masa perkawinan
pada perkara nomor: 0554 /Pdt.G/2009/PA.TA dan perkara Nomor
0845/Pdt.G/2010/PA.TA
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 266
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Pembatalan Perkawinan
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) permasalahan pembatalan
perkawinan dijelaskan secara rinci pada Pasal 70 sampai 76. Dalam Pasal
70 KHI dinyatakan bahwa perkawinan batal (batal demi hukum) apabila :
a. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah, semenda, sesusuan, sampai derajat tertentu
yang menghalangi perkawinanmenurut Pasal 8 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 yaitu : berhubungan darah dalam garis
lurus kebawah atau keatas, berhubungan darah dalam garis lurus
keturunan menyamping, bersemenda yaitu mertua, anak tiri, dan
ibu atau ayah tiri, berhubungan susuan yaitu orang tua susuan,
anak susuan, dan bibi atau paman susuan, istri adalah saudara
kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-
istrinya.
b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li'annya
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi 3 kali
talak oleh dirinya. kecuali jika bekas istrinya sudah menikah
lagi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da dukhul
22
dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat
dibatalkan apabila : a), seorang suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama, b). perempuan yang dikawini ternyata kemudian
diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud, c). perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suuami lian, d).
perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan Pasal 7 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, e). perkawinan
22
Amir Syarfuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan
Undang-undang Perkawinan, hlm. 253
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 267
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak,
23
f). perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan
diatur dalam KHI Pasal 73 yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas, kebawah baik dari pihak suami atau pun istri; suami istri; pejabat
yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-
undang; para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67. Adapun
menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan yaitu setelah
keputusan pengadilan Agama yang mempunyai ketetapan hukum tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan (KHI Pasal 74 Ayat (2).
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1995, hlm. 130
24 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, ( Jakarta:
Kencana, 2006), cet ke-III, h.. 113
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 268
26 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Penerbit UI, Jakarta, hlm. .83-84
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 271
Tahun 1974 maupun Kompilasi hukum Islam. Namun dalam hal ini
peneliti akan menggunakan pendapat ulama fiqih dalam menganalisis
status hukum suami istri setelah perkawinan dibatalkan.
Perkawinan yang telah batal demi hukum maka status perkawinan
yang pernah dijalankan dianggap tidak pernah terjadi. Pisahnya suami istri
akibat pembatalan perkawinan secara hukum berbeda dengan yang
diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak
raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedangkan talak
ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun pembatalan perkawinan
baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-
syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan
seketika itu. Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat
mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan
talak raj’i kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah
habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatan terhitung satu
talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.
keduanya menjadi tidak sah. Akan tetapi status hukum pihak suami dan
istri tetap dianggap sudah pernah menikah. Status hukum keduanya bukan
lagi jejaka atau perawan karena diantara mereka telah terjadi persetubuhan
dan mempunyai anak.
Pendapat hakim di atas jika di cari dalam Undang-undang
Perkawinan Tahun 1974 maupun KHI tidak ditemukan, dalam salinan
putusan perkara yang diputus juga tidak disebutkan kalau status hukum
suami istri dianggap sudah pernah pernah menikah.
Sedangkan pada perkara Nomor 0845/Pdt.G/2010/PA.TA status
suami istri meski kembali seperti semula namun status hukum mereka
tidak sama dengan perkara Nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA karena
penyebab pembatalan perkawinan pada perkara Nomor
0845/Pdt.G/2010/PA.TA adalah adanya pemalsuan identitas yang
dilakukan oleh pihak suami, sehingga akibat hukum yang timbul setelah
perkawinanya batal demi hukum adalah status suami kembali pada
perkawinan yang pertama, karena pada perkara ini pihak suami telah
melakukan praktek perkawinan poligami, sedangkan status suami menjadi
duda karena pihak suami telah melakukan perkawinan yang ke dua, oleh
sebab itu setelah perkawinan yang ke dua batal demi hukum maka
statusnya kembali pada perkawinan pertama yang telah berakhir dengan
perceraian.
Perbedaan pada kedua perkara tersebut sebenarnya terletak pada
alasan atau penyebab perkawinannya batal demi hukum, dalam teori di bab
2 telah dijelaskan bahwa Istilah batal nya perkawinan dapat menimbulkan
salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal
(nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan)
zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklraad,
sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak.
3. Akibat Hukum Putusan Pembatalan Perkawinan oleh Pengadilan
Agama Kabupaten Tulungagung Terhadap Pengasuhan Anak
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 277
35 Ibid., hlm. 32
36 Ibid.,
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 283
Jadi baik itu dalam KHI maupun dalam hukum Islam harta bersama
salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus
merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan.
Memang temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam
Peradilan Agama, Pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.”
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Akibat hukum putusan pembatalan perkawinan oleh Pengadilan
Agama Kabupaten Tulungagung terhadap status suami dan istri adalah
diantara keduanya dianggap tidak pernah terjadi perkawinan. Pada
perkara Nomor 0554/Pdt.G/2009/PA.TA status hukum permohon dan
termohon kembali pada status semula yaitu secara hukum status
mereka menjadi jejaka dan perawan walaupun mereka dianggap telah
melakukan persetubuhan. Pada perkara Nomor
0845/Pdt.G/2010/PA.TA status Termohon I kembali ke posisi
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 284
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995.
al-Zuhailiy, Wahbah, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, cet II, Libanon: Dar Fikr,
1985.
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet VII,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Fajar, A. Mukti, Tentang dan Sekitar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Malang: Si Unyil, 1982. Azhar Basyir, Op. Cit h. 13
Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung, Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan
Kompilasi Hukum Islam, 2009.
Khalaf, Abdul Wahhab , Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syari‟ah al-
Islamiyyah „Ala Waqfi Madzhab Abi Hanifah wa Ma „Alaih al-Amal
bi al-Mahakim
Lubis, M.Solly 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju.
Marzuki, Peter Mahmud 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 8, cet I
Yogyakarta: Liberty, 2009.
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan? Panduan Pemula
untuk
Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak,
Malang: PSG Publishing dan Pilar Media, 2006.
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan? Panduan Pemula
untuk
Journal Diversi, Volume 2, Nomor 1, April 2016 : 239-379 286